secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menyampaikan serta dapat
mendekatkan kepada sesuatu.
secara syar’i (terminologi) (yang diperintahkan di dalam Al-Qur-an) adalah segala hal yang
dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu berupa amal ketaatan yang
disyari’atkan.
Tawasul dilakukan dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya atau mendapatkan
hajat yang diinginkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar radhiallahuanhu pada saat
meminta hujan.
1. Masyru’, yaitu tawassul kepada Allah Azza wa Jalla dengan Asma’ dan Sifat-Nya dengan amal
shalih yang dikerjakannya atau melalui do’a orang shalih yang masih hidup.
3. Tawassul kepada Allah dengan do’a orang shalih yang masih hidup.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia
menyadari kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allah, sedang ia ingin mendapatkan
sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan
ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang Al-Qur-an serta As-
Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar berdo’a kepada Allah untuk
dirinya, supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini
termasuk tawassul yang dibolehkan.
Pertama, Anas bin Malik, berkata: “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di
hari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, telah
musnah harta dan telah kelaparan keluarga.’ Lalu Rasulullah mengangkat kedua tangannya
seraya berdo’a: ‘Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan
kepada kami.” Tidak lama kemudian turunlah hujan.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan melalui ‘Abbas bin
‘Abdil Muthalib Radhiyallahu anhu, lalu berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-
Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami
memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Ia (Anas bin
Malik) berkata: “Lalu mereka pun diberi hujan.”
2. Bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara yang tidak disebutkan
dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang shalih, dengan
kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
1. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
kedudukan orang selainnya.
Perbuatan ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi: ِإ َذا َسَأ ْل ُت ُم
ِ َفِإنَّ َجاهِي عِ ْن َد, ْهللا َفاسْ َألُ ْوهُ ِب َجاهِي
هللا َعظِ ْي ٌم َ . “Jika kalian hendak memohon kepada Allah, maka
mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah adalah
agung.” Hadits ini adalah bathil yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak terdapat sama sekali
dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan, tidak juga seorang ulama pun yang
menyebutnya sebagai hadits. Jika tidak ada satu pun dalil yang shahih tentangnya, maka itu
berarti tidak boleh, sebab setiap ibadah tidak dilakukan kecuali berdasarkan dalil yang
shahih dan jelas.
2. Tawassul dengan dzat makhluk. Tawassul ini -seperti bersumpah dengan makhluk- tidak
dibolehkan, sebab sumpah makhluk terhadap makhluk tidak dibolehkan, bahkan termasuk
syirik, sebagaimana disebutkan di dalam hadits. Dan Allah tidak menjadikan permohonan
kepada makhluk sebagai sebab dikabulkannya do’a dan Dia tidak mensyari’atkan hal
tersebut kepada para hamba-Nya.
3. Syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah,
termasuk berdo’a kepada mereka, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada
mereka.
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara
dalam ibadah seperti berdo’a kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan
atau meminta syafaat kepada mereka. Tawassul dengan meminta do’a kepada orang mati
tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit tidak mampu
berdo’a seperti ketika ia masih hidup.
Allah Ta’ala berfirman: َِّين ا َّت َخ ُذوا مِن دُو ِن ِه َأ ْولِ َيا َء َما َنعْ ُب ُد ُه ْم ِإاَّل لِ ُي َقرِّ بُو َنا ِإلَى هَّللا ِ ُز ْل َف ٰى ِإن
َ َأاَل هَّلِل ِ ال ِّدينُ ْال َخالِصُ ۚ َوالَّذ
ون ۗ ِإنَّ هَّللا َ اَل َي ْهدِي َمنْ ه َُو َكا ِذبٌ َك َّفا ٌر
َ ُهَّللا َ َيحْ ُك ُم َب ْي َن ُه ْم فِي َما ُه ْم فِي ِه َي ْخ َتلِف
“Ingatlah, hanya milik Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah
akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar.” [Az-Zumar: 3]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa
yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)
kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi
Allah” (QS. Yunus:18).
Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, mendekatkan mereka
kepada Allah dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta
kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan
pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita.
Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi
syafaat bagi mereka.
Tambahan :
Adakalanya kita dengar seseorang mengatakan, “Wahai Muhammad, berilah syafa’at kepada kami!”
atau “Wahai Muhammad, syafa’atilah kami!”
Perhatikanlah firman Allah, “Katakanlah: Hanya kepunyaan Allah lah syafa’at itu semuannya. Milik-
Nya lah kerajaan langit dan bumi. Kemudiaan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Az Zumar: 44)
Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa syafa’at segenap seluruh macamnya itu hanya milik
Allah semata. Allah kemudian memberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk memberikan syafa’at
kepada sebagian hamba yang lainnya dengan tujuan untuk memuliakan menampakkan
kedudukannya pemberi syafa’at dibanding yang disyafa’ati serta memberikan keutamaan dan
karunia-Nya kepada yang disyafa’ati untuk bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih baik atau
kebebasan dari adzab-Nya.
Wallahua’lam bisshowaf
Sumber: https://muslim.or.id/379-syafaat-hanya-milik-allah.html
Sumber: https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html
Referensi: https://almanhaj.or.id/2461-hukum-wasilah-tawassul.html