SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan
Oleh :
MUAMAR RAIHAN CHOLIF
41205425119033
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Abdul Rahman Rusli, S.Hut., M.Si Dwi Agus Sasongko, S.Hut., M.Si
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan Ketua Program Studi Kehutanan
Universitas Nusa Bangsa Universitas Nusa Bangsa
Dr. Ir. Luluk Setyaningsih,, M.Si.,IPU Ratna Sari Hasibuan, S.Hut., M.Si
Tanggal : Tanggal :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkat dan karuania-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan Usulan Penelitian yang berjudul “Kesejahteraan Burung Murai Batu
(Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Penangkaran Ciomas River View Bogor,
Jawa Barat” tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Hasil Penelitian ini merupakan tahapan awal untuk menyelesaikan studi
yang mana harus di penuhi dan merupakan salah satu syarat kelulusan bagi setiap
mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa. Kegiatan penelitian ini
di Penangkaran Bogor, Jawa Barat.
Semaksimal mungkin penyusun lakukan dalam penyusunan hasil penelitian
ini agar tidak terjadi kekeliruan. Namun jika masih ditemukan kesalahan dalam
penyusunan ini, penyusun dengan senang hati menerima kritikan dan saran yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
i
DAFTAR ISI
C. Ciri Morfologi dan Karakter Sifat Dasar Burung Murai Batu ...................... 11
D. Penangkaran ................................................................................................. 12
1. Studi Pustaka.............................................................................................. 19
ii
2. Wawancara................................................................................................. 19
1. Bebas dari Rasa Lapar dan Haus (freedom from hunger and thirst) ......... 32
2. Bebas dari Rasa Sakit, Luka, dan Penyakit (freedom from pain, injury, and
disease) .......................................................................................................... 33
5. Bebas dari Rasa Takut dan Tertekan (freedom from fair and distress) ..... 35
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. The Five Freedoms Satwa menurut the UK's Animal Welfare Councill
(1997) diacu dalam Appleby et al. (2004) .............................................. 10
Tabel 2. Data Penelitian Terdahulu ....................................................................... 15
Tabel 3. Alat dan Bahan ........................................................................................ 17
Tabel 4. Manajemen Pengelolaan Satwa .............................................................. 18
Tabel 5. Klasifikasi Penilaian Kesejahteraan Satwa Burung Murai Batu di Ciomas
River View .............................................................................................. 20
Tabel 6. Jenis dan Frekuensi Pemberian Pakan .................................................... 22
Tabel 7. Jumlah konsumsi pakan murai batu ........................................................ 22
Tabel 8. Spesifikasi kandang murai batu di penangkaran CRV............................ 24
Tabel 9. Fasilitas kandang murai batu di CRV ..................................................... 25
Tabel 10. Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di CRV ................. 28
Tabel 11. Perbedaan murai batu jantan dan betina ............................................... 29
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
pengelolaan satwa yang belum maksimal khususnya dari segi kesejahteraan satwa
(Animal welfare).
Appleby dan Hughes (1997) menyatakan masalah kesejahteraan itu
bermacam – macam dan bukan merupakan sesuatu yang sederhana. Pemeritah
Indonesia meluncurkan berbagai peraturan dari beberapa bidang Kementerian,
seperti Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Satwa yang mendefinisikan kesejahteraan satwa sebagai segala urusan yang
berhubungan dengan keadaan fisik dan mental satwa menurut ukuran perilaku
alami satwa yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari
perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap satwa yang dimanfaatkan manusia
dan adapula Peraturan Direktur Jenderal PHKA No P.9/IV-SET/2011 yang
mengatur lima standar minimum kesejahteraan satwa. Kelima standar tersebut
merupakan kriteria yang menjadi indikator terhadap ketercukupan kesejahteraan
hidup satwa di suatu lembaga konservasi. Jika kesejahteraan satwa terpenuhi
diharapkan tingkat keberhasilan pengembangbiakkan satwa juga akan tinggi yang
nantinya dapat mendukung peran lembaga konservasi sebagai sumber indukan dan
cadangan genetik untuk mendukung populasi in-situ.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mana melihara burung
merupakan aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan masyarakatnya sejak lama, baik
hanya untuk sekedar hobi maupun untuk kepentingan lomba atau kompetisi. Bagi
para penghobi pada dasarnya burung dipelihara untuk memberikan kepuasan bagi
pemiliknya karena dapat memberikan suasana alami berupa penampilan bentuk,
warna, serta kicauannya yang indah. Karena kemampuan tersebut, banyak juga
kelompok-kelompok yang memperlombakan burung kicauan, yang mana dapat
dinilai dengan beragam kategori (Dwi Saputro et al. 2016)
Burung berkicau tidak akan lepas dari satu jenis burung yang disebut dengan
nama burung murai. Burung murai batu menjadi salah satu jenis burung yang cocok
menjadi hewan peliharaan. Burung Murai Batu atau yang bernama latin Copsychus
malabaricus adalah anggota keluarga Turdidae. Burung keluarga Turdidae terkenal
memiliki kemampuan berkicau yang baik dengan suara yang merdu, bermelodi, dan
sangat bervariasi. Burung murai batu (Copsychus malabaricus) berasal dari daerah
Asia. Di Indonesia, habitat asli burung murai batu ditemukan di berbagai hutan
2
sekunder yang memiliki pepohonan hijau dan vegetasi yang lebat. Jenis hutan
dengan ciri demikian banyak dijumpai di Pulau Jawa, Sumatera, hingga
Kalimantan. Burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) merupakan burung yang
relatif pemalu, meskipun begitu, burung murai batu juga termasuk burung yang
mudah beradaptasi, mudah dijinakkan, dan tidak mudah stres jika diberikan
perawatan yang memadai (Dwi Saputro et al. 2016)
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
4
E. Kerangka Berpikir
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesejahteraan Satwa
6
adalah berdasarkan kesehatan, umur, kesuksesan bereproduksi, dan
gangguan pada perilaku dan psikologinya. Pada pendekatan ini banyak
perdebatan mengenai hubungan antara fungsi dengan dasar pengukuran dan
kesejahteraan satwa.
c. Pendekatan berdasarkan pengekspresian satwa berdasarkan perilaku normal
di alam. Penampilan secara penuh perilaku alamiah menyebabkan
timbulnya daftar kritikan luas oleh pengkritisi animal welfare, namun pada
sebagian orang pendekatan ini mungkin saja untuk bisa dikembangkan.
7
diberlakukan. Penyakit meliputi malnutrisi, trauma, dan infeksi yang
diderita satwa selama dipelihara manusia. Kebabasan ini dapat diwujudkan
dengan pencegahan, diagnosa yang tepat dan perawatan. Pengetahuan yang
cukup atau tersedianya tenaga ahli kesehetan satwa sangat penting (Phillips
2000 diacu dalam Islahuddin 2009).
3. Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan (freedom from environmental
discomfort)
Ketidaknyamanan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang tidak sesuai
pada satwa. Bebas dari rasa tidak nyaman dapat diwujudkan dengan
menyediakan tempat (ventilasi memadai, suhu dan kelembapan yang cukup,
adanya lantai, tempat tidur, dan sebagainya). Satwa akan merasa nyaman
pada lingkungan yang tepat, termasuk perkandangan dan area beristirahat
yang nyaman. Kondisi lingkungan yang ekstrim dan penerapan manajemen
yang membuat stres mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan satwa.
Akibatnya selain metabolisme, satwa yang stres akan memperburuk
penampilan (kurus), satwa juga akan lebih rentan terhadap infeksi agen
penyakit (Blecha 2000).
4. Bebas untuk mengekspresikan perilaku alami (freedom to express normal
behaviour)
Satwa mempunyai kebiasaan atau perilaku yang khas untuk masing-masing
jenis. Dalam perawatan manusia, satwa mungkin lebih sedikit kesempatan
untuk mengekspresikan perlikau alaminya tersebut. Pada kondisi ekstrim,
hal yang mungkin terjadi justru satwa menunjukkan perilaku menyimpang.
Penyediaan ruang yang cukup, fasilitas yang benar dan teman bagi satwa
dari sejenisnya akan membantu satwa mendapatkan kebebasan
menunjukkan perilaku alaminya. (Phillips 2000 diacu dalam Islahuddin
2009).
5. Bebas dari rasa takut dan tertekan (freedom from fear and distress)
Para peneliti mempunyai takaran tersendiri dalam mengukur tingkat stres,
seperti detak jantung dan kadar konsentrasi pada plasma katekolamin dan
kortikosteron. Peternak harus memastikan satwanya terbebas dari
penderitaan mental akibat kondisi sekitar, perlakuan, dan manajemen.
8
Untuk dapat bertahanan seekor satwa harus mampu menyesuaikan diri dan
mengatasi tantangan alam (Cook 2000). Respon terhadap tantangan alam ini
salah satu wujudnya adalah stres. Stres selalu hadir, dan tanpa kehadiran
stres berarti kematian (Wolfe 2000). Rangsangan yang memicu stres disebut
stressor. Stres berbeda dari distres, distres adalah stres yang buruk,
sementara stres tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap
kesejahteraan satwa. Istilah eustres digunakan untuk keadaan oleh stressor
yang menyenangkan, misalnya saat bermain dengan kawannya (Lay 2000).
Moberg (2000) menyatakan stres berpengaruh terhadap kesejahteraan satwa
tergantung besar kecilnya kerugian biologis akibat stres tersebut. Meskipun
akomodasi atas stres mungkin terjadi, namun jika tidak makan stres dapat
berakibat pada kematian satwa. Stres tidak hanya merupakan keadaan saat
satwa mempunyai respon yang lemah bahkan terhadap rangsangan normal
sehari-hari (Duncan dan Fraser 1997).
Rasa takut merupakan emosi primer yang dimiliki satwa yang mengatur
respon mereka terhadap lingkungan fisik dan sosialnya. Rasa takut dianggap
sebagai stres yang merusak satwa (Jones 1997 diacu dalam Islahuddin
2009). Rasa takut berkepanjangan tentu akan berimbas buruk bagi
kesejahteraan satwa. Cheeke (2004) diacu dalam Islahuddin (2009)
menitikberatkan pada teknik manajemen satwa yang meminimalisir atau
menghilangkan stres sebagai komponen penting dari animal welfare.
9
Tabel 1. The Five Freedoms Satwa menurut the UK's Animal Welfare Councill (1997) diacu dalam
Appleby et al. (2004)
No Prinsip Kesejahteraan Satwa Deskripsi
Dengan tersedianya air bersih dan
1. Bebas dari rasa lapar dan haus makanan untuk mendapatkan kekuatan
penuh
Dengan tersedianya lingkungan yang
Bebas dari rasa sakit, luka, dan
2. cocok, termasuk tempat berlindung dan
penyakit
tempat beristirahat
Dengan pencegahan atau diagnosa yang
3. Bebas dari rasa tidak nyaman
tepat dan pengobatan
Dengan tersedianya ruang yang cukup,
Bebas untuk menampilkan perilaku
4. fasilitas yang tepat, dan interaksi
alami
dengan jenisnya sendiri
Dengan menjamin kondisi dan
5. Bebas dari rasa takut dan tekanan perlakuan dengan menghindari tekanan
mental
10
Mua’rif (2012) mengklasifikasikan burung murai batu (Copsychus
malabaricus) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Muscicapidae
Genus : Copsychus
Spesies : Copsychus malabaricus, Scopoli 1788
C. Ciri Morfologi dan Karakter Sifat Dasar Burung Murai Batu
Turut (2011) menyatakan bahwa semua jenis murai batu memiliki ciri
umum sebagai berikut : ekor burung murai batu merupakan bagian yang paling
menonjol, karena ekor yang panjang melebihi ukuran badannya. Jumlah ekor
sebanyak 12 helai, 4 helai diantaranya berwarna putih dan 8 helai lainnya berwarna
hitam. Pada bagian ekor yang hitam, ada 2 helai bulu terpanjang dan terletak paling
atas, 2 helai lagi yang lebih pendek terletak di bawahnya. Bulu ekor yang berwarna
putih tersusun rapi dan terletak di bagian paling bawah. Hampir seluruh tubuhnya
berwarna hitam kecuali bagian bawah badan berwarna merah atau cokelat hingga
jingga. Warna betina dan jantan hampir sama, tetapi di dada bagian atas ada warna
cokelat.
Ciri burung murai batu ditambahkan oleh Mua’rif (2012) yaitu kepala, leher,
dada bagian atas, dan paruhnya berwarna hitam mengkilap. Panjang badan jantan
bisa mencapai 28 cm, sedangkan betina 22 cm. Burung murai batu (Copsychus
malabaricus) termasuk kedalam kedalam kelompok burung Thruses atau yang
dikenal bersifat teritorial dan sangat kuat mempertahankan teritorinya. Tipe
teritorinya adalah tipe mating, nesting, dan feeding territory. Dengan kata lain, areal
yang dipertahankan burung murai batu (Copsychus malabaricus) dalam habitatnya
adalah tempat untuk melakukan perkawinan, untuk bersarang, dan untuk mencari
makan (Putranto et al. 2018). Menurut Mua’rif (2012) bahwa sebagian besar burung
murai batu (Copsychus malabaricus) mempunyai karakter dan sifat dasar sebagai
berikut :
11
1. Burung murai batu (Copsychus malabaricus) ini bersifat pemalu, akan tetapi
kicaunnya merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi.
2. Setiap kali berkicau, burung murai batu (Copsychus malabaricus) akan
selalu menggerakkan badan dan ekornya yang panjang.
3. Mudah menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan karena
kemampuan beradaptasinya yang tinggi, burung murai batu (Copsychus
malabaricus) mudah untuk dijinakkan.
4. Ketika mendengar suara burung murai batu (Copsychus malabaricus) yang
lain atau melihat burung sejenis, semangat tempurnya langsung berkobar.
Hal ini mengacu kepada sifat Thruses atau lebih dikenal sifat teritorialnya.
5. Burung murai batu (Copsychus malabaricus) sanggup hidup dan
berkembang biak di lingkungan yang bersuhu hangat maupun dingin
sehingga burung ini dapat dikembangbiakkan di seluruh Indonesia. Selain
itu, burung murai batu (Copsychus malabaricus) tidak menghendaki
kandang yang sangat teduh. Meskipun demikian, murai batu tidak menyukai
suhu yang berubah – ubah secara drastis. Bila suhu antara siang dan malah
hari memiliki perbedaan sangat tajam, dapat menyebabkan produksi burung
murai batu terganggu. Beberapa hal yang terjadi karena suhu yang tidak
stabil adalah burung murai batu tidak mau bertelur atau proses pengeraman
telur gagal.
6. Selain terhadap lingkungan, burung murai batu (Copsychus malabaricus)
memiliki tingkat kepekaan suara yang baik, burung murai batu cukup kuat
terhadap suara gaduh maupun lalu lalang manusia. Tingkat kepekaan
semacam ini memiliki keunggulan, yaitu kandang burung murai batu tidak
perlu ditutup secara maksimal.
7. Tingkat kepekaan terhadap cahaya burung murai batu sangat baik. Burung
murai batu tidak takut dengan cahaya terang, dan dapat diletakkan di tempat
yang terang maupun tempat yang memiliki sedikit cahaya.
D. Penangkaran
Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakkan dan
pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya. Menurut Peraturan Pemerintah tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan
12
satwa liar penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar
yang dilindungi atau yang tidak dilindungi serta di peroleh dari habitat alam atau
sumber – sumber lain yang sah.
Cara menangkarkan burung murai batu yang baik harus diperhatikan pakan
alami pada burung murai batu, yang berupa serangga seperti jangkrik, cacing, ulat
hongkong, serta telur semut rangrang (kroto). Saat burung sudah dimasukkan ke
dalam kandang, pakan alami sebaiknya selalu tersedia lebih dari 2-3 jenis pakan
(Cahyono 2015). Gunawan (2012) menyatakan bahwa hal utama yang perlu
diperhatikan dalam hal pakan adalah menu yang variatif sehingga kecukupan
nutrisi, vitamin, dan mineralnya. Pakan yang bagus selain lengkap nutrisinya seperti
protein, karbohidrat, juga lengkap vitamin seperti vitamin A, D3, B1, B2, B3
(Nicotimanide), B6, B12, C, dan K3. Selain itu, perlu pula mengandung zat
essensial seperti D-L Methionine, I-lisin HCl, Folic acid, dan Ca-D.
13
cairan tubuh, fungsi syaraf yang sehat, fungsi sistem pembuluh darah jantung, dan
lain-lain. Seperti vitamin, mineral berfungsi sebagai ko-enzim, memungkinkan
tubuh melakukan fungsinya, seperti memproduksi tenaga, pertumbuhan, dan
penyembuhan. Mineral yang diperlukan burung adalah Kalsium, Fosfor, Zat Besi,
Mangan, lodium, Tembaga, Seng, Magnesium, Sodium Klorida, dan Kalium.
Menjodohkan burung murai batu tidak mudah, karena tidak semua burung
murai batu bisa berjodoh dalam waktu yang singkat dengan alasan apapun. Untuk
indukan murai batu hasil tangkapan liar, penjodohan tidak bisa disamakan dengan
murai batu peliharaan dan terlatih. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat
dijadikan pilihan. Setelah penjodohan berlangsung maka akan menuju ke
perkawinan dan pengeraman (Turut 2011).
14
pengeraman telur yang dibutuhkan indukan murai batu sampai menetas paling lama
15 hari. Jika lebih, bisa dipastikan telur tidak jadi.
Anakan yang baru menetas perlu perawatan intensif karena kondisi fisik
masih lemah dan labil. Pada umumnya para penangkar akan mengambil anakan
murai batu dari sarang setelah berusia lebih dari 7 hari. Anakan yang dipisah dari
induknya akan dipelihara dengan intensif. Pemberian pakan pada anakan murai batu
bukan hanya dari pakan segar dan hidup, tetapi perlu diberikan pakan buatan. Untuk
mempercepat proses pertumbuhan fisik anakan, sangat dianjurkan mencampurkan
vitamin pada pakan yang dihaluskan sebanyak 2 atau 3 hari sekali. Porsi pakan
hidup tetap dibatasi (Mu’arif 2012).
F. Penelitian Terdahulu
Tabel 2. Data Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis Judul Tahun Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Mohamad Gambaran Menggambarkan Deskriptif Penialaian
Irfan, Dwi Kesejahteraan kesejahteraan burung Kuantitatif. kesejahteraan murai
Agustian, Andi Burung Murai murai batu. batu di Anafi Bird
Hiroyuki Batu (Copsychus Farm, Cirebon,
malabaricus) di Jawa Barat..
Anafi Bird Farm,
Cirebon, Jawa
Barat, 2020.
2. Wibiyanto Faktor Penentu Memperoleh nilai Observasi lapang, Aspek konservasi
Setiawan Keberhasilan, kontribusi terhadap wawancara, satwa dan aspek
Kontribusi, Nilai aspek konservasi penelusuran ekonomi.
Ekonomi dan satwa, memperoleh pustaka, dan
Strategi nilai pengembangan penyebaran
Pengembangan manajemen dalam kuisioner.
Taman Rekreasi pengelolaan konservasi
Margasatwa ex-situ.
Serulingmas
Banjarnegara,
2021
3. Agung Dwi Perilaku Burung Mengidentifikasi Pengamatan Murai batu siap
Saputro, Murai Batu perilaku ingestif, diam, langsung, produksi lebih
Khaira Nova, (Copsychus dan perilaku kawin wawancara dan banyak makan
Tintin Kurtini malabaricus) burung murai batu siap penelusuran untuk memenuhi
Siap Produksi, produksi guna pustaka. nutrisinya dalam
2016 keberhasilan mempersiapkan
penangkaran burung organ
murai batu. reproduksinya.
4. Marissa Teknik Mengidentifikasi Observasi lapang Teknik
Nurdiana Pemeliharaan dan teknik pemeliharaan dan wawancara pemeliharaan murai
Nilai Ekonomi murai batu kualitas batu kualitas kontes
Murai Batu kontes, sistem meliputi,
(Copsychus penilaian kontes, pengaturan pakan,
malabaricus) mengestimasikan nilai pemasteran,
penjemuran,
15
No Nama Penulis Judul Tahun Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Kualitas Kontes, ekonomi murai batu penggantangan,
2021 berdasarkan WTP. pengerondongan,
dan pengumbaran.
5. Isnia Estu Teknik Mengkaji teknik Pengamatan Ukuran
Marifa Pengelolaan dan pengelolaan dan langsung, keberhasilan
Penilaian menilai kesejahteraan pengukuran, teknik penangkaran murai
Kesejahteraan murai batu (Copsychus wawancara serta batu di MBOF
Murai batu malabaricus) di penelusuran tahun 2013 dan
(Copsychus MBOF. dokumen/studi 2014 yakni
malabaricus pustaka. persentase tingkat
Scopoli, 1788) di perkembangbiakan
Mega Bird and induk, daya tetas
Orchid Farm, telur, dan angka
Bogor, Jawa kematian serta
Barat, 2014. penialaian
kesejahteraan murai
batu di MBOF.
16
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini membutuhkan alat dan bahan yang mana untuk menunjang
keberhasilan pengambilan data. Adapun alat dan bahan yang di butuhkan dan
fungsinya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat dan Bahan
No Alat dan Bahan Fungsi
1. Literatur Digunakan sebagai acuan dan melengkapi
data primer yang dapat berasal dari data
buku, jurnal penelitian, skripsi, laporan, dan
data dari internet.
2. Kamera Digunakan untuk pengambilan gambar yang
dibutuhkan sebagai pelengkap data atau
mendokumentasikan kegiatan yang
dilakukan.
3. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat semua hasil atau
data yang telah diperoleh
4. Alat Ukur Meteran Untuk Mengukur
5. Lembar Observasi Digunakan untuk memberikan penilaian
Checklist atau Tally terhadap Five Freedom of Animal Welfare
Sheet
6. Laptop Digunakan untuk pembuatan
laporan/mengolah data
C. Jenis Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data berupa data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah secara
langsung dari sumbernya oleh pengguna data atau peneliti. Data sekunder adalah
data yang dikumpulkan oleh pengguna data, dan data itu telah diolah dan
dipublikasikan pihak lain (Kusmayadi 2004).
17
1. Data Primer
2. Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai asal – usul bibit
burung murai batu yang ditangkarkan, sejarah kegiatan penangkaran murai
batu di Penangkaran Ciomas River View.
18
D. Metode Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Studi pustaka bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai satwa yang
terdapat di penangkaran Ciomas River View dari berbagai sumber seperti dokumen
pengelola, buku, laporan, dan lain – lain. Data yang diperoleh dari studi pustaka
yang diverifikasi di lapangan. Selain data satwa, juga dikumpulkan data mengenai
sejarah penangkaran.
2. Wawancara
Kegiatan wawancara dilakukan secara langsung melalui wawancara dan
mengisi lembar observasi checklist. Wawancara yang dilakukan meliputi :
a. Wawancara dengan pengelola dilakukan pada pemilik penangkaran Ciomas
River View, dan bird keeper mengenai persepsi pengelola terhadap aspek –
aspek pengelolaan kesejahteraan satwa termasuk pengetahuan, dan kegiatan
apa saja yang telah dilaksanakan dalam pengelolaan kesejahteraan satwa di
penangkaran Ciomas River View.
b. Wawancara terstruktur tentang pengelolaan kesejahteraan satwa dan
memberikan nilai pada lembar observasi checklist. Pengambilan data untuk
penilaian kesejahteraan satwa dilakukan dengan menggunakan metode total
sampling.
3. Pengamatan Lapang
Pengamatan lapang dilaksanakan dengan cara melakukan pengamatan
langsung terhadap objek kajian di lapang atau di lokasi penelitian. Pengamatan
yang dilakukan adalah pengamatan terhadap pengelolaan burung murai batu
(Copsychus malabaricus) di penangkaran Ciomas River View. Pengamatan
dilakukan dengan mengikuti secara langsung pengelolaan satwa yang terdapat di
kandang penangkaran Ciomas River View mulai dari pemberian pakan,
pembersihan kandang, pemberian obat, dan kegiatan lain yang bersinggungan
langsung dengan kesejahteraan satwa tersebut, serta data jenis pakan yang
diberikan, waktu pemberian pakan, jumlah pemberian pakan, cara pemberian pakan
dan jumlah konsumsi. Kegiatan tersebut dicatat dan didokumentasikan.
19
E. Metode Analisis Data
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Penangkaran
1. Pengelolaan Pakan
Ketersediaan pakan merupakan hal penting untuk satwa karena kebutuhan
nutrisi dari pakan termasuk kualitas, konsentrasi, jumlah pakan yang harus dapat
memenuhi kebutuhan satwa sehingga berat dan kesehatan satwa tetap terjaga
dengan baik. Pakan yang ada di CRV terdiri dari dua jenis, yaitu pakan utama dan
pakan tambahan. Pakan utama merupakan pakan murai batu yang rutin diberikan
setiap hari. Sedangkan, pakan tambahan adalah pakan yang diberikan mingguan
atau ketika dalam persiapan kontes dengan tujuan menambah stamina atau birahi
murai batu. Pakan utama dan pakan tambahan yang di CRV dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Pakan murai batu: (a dan b) pakan utama; (c) pakan tambahan
21
Pengelolaan pakan yang menjadi perhatian di penelitian ini meliputi jenis
pakan, frekuensi pemberian pakan, dan waktu pemberian pakan. Pakan murai batu
yang diberikan berdasarkan penelitian ini tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis dan Frekuensi Pemberian Pakan
Jenis Pakan Frekuensi Pemberian
No
Pakan Utama Pakan Tambahan Pakan
1. Voer Kroto Voer : setiap 1 hari sekali
Jangkrik : setiap 2 kali sehari
2. Jangkrik pada pagi dan sore hari
Kroto : setiap 3 hari sekali
Sumber : Hasil observasi lapang dan wawancara
22
dengan jumlah konsumsi pakan voer tertinggi adalah murai batu yang sedang
mabung sebanyak 7,3 gram dalam sehari. Akdiatmojo dan Sitanggang (2014)
menyatakan, masa mabung membuat murai batu mengalami peningkatan
metabolisme tubuh, sehingga jumlah konsumsi pakan voer melebihi murai batu
lainnya. Murai batu yang sedang sakit memiliki jumlah konsumsi pakan voer
terendah, yaitu 3,3 gram dalam sehari karena ketika sakit murai batu akan
kehilangan nafsu makan sendiri.
2. Pengelolaan Kandang
Satwa di lembaga konservasi khususnya di penangkaran sebagian besar di
lingkungan yang terbatas baik di dalam maupun di luar kandang. Faktor dari dalam
kandang seperti bentuk desain kandang, luas kandang, material kandang, dan
kelengkapan kandang merupakan contoh bagian yang dapat berdampak pada
kenyamanan satwa. Faktor dari luar kandang seperti lingkungan, cuaca,
pencahayaan juga merupakan faktor luar yang berpotensi menimbulkan satwa
23
mengalami stres jika berada di kondisi lingkungan yang tidak sesuai dan melebihi
batas toleransi satwa (Setiawan 2021).
Dalam penelitian ini, jenis kandang dalam penangkaran burung murai batu
terdiri dari tiga bagian, yaitu kandang pembesaran, kandangan indukan, dan
kandang inkubator. Ukuran, kapasitas, konstruksi, dan fasilitas setiap kandang
dapat dilihat pada Tabel 8.
24
Kandang inkubator murai batu terletak di dalam ruangan khusus di
penangkaran CRV. Inkubator berfungsi untuk memelihara anakan yang berusia satu
minggu sampai usia satu bulan. Kandang inkubator di CRV dapat dikatakan sudah
sesuai karena memiliki lubang sirkulasi udara. Lubang sirkulasi udara pada
kandang inkubator terbuat dari kawat ram yang berbentuk persegi dengan panjang
15cm. Suprijatna et al. (2008) menyatakan bahwa inkubator yang baik harus dapat
mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Berdasarkan hal tersebut, kandang
inkubator di CRV dapat dikatakan sesuai.
Kandang pembesaran murai batu di CRV berjumlah 15 kandang. Kandang
pembesaran berfungsi untuk membesarkan anakan murai batu yang berusia satu
bulan sampai menjadi murai batu dewasa yang siap untuk dijadikan indukan.
Kandang pembesaran murai batu di CRV dapat dikatakan sesuai karena menurut
Soemarjoto dan Prayitno (1999) ukuran kandang atau sangkar untuk murai batu
sebaiknya berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang dan lebar lebih dari
50cm dan tinggi kurang lebih 60cm.
3. Fasilitas Kandang
Fasilitas atau perlengkapan kandang merupakan salah satu hal yang perlu
diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Fasilitas kandang murai batu
di CRV berbeda-beda tergantuk dari jenis kandangnya yang akan disajikan dalam
Tabel 9.
Tabel 9. Fasilitas kandang murai batu di CRV
No. Jenis Kandang Fasilitas Kandang Fungsi
1. Kandang pembesaran Tempat pakan dan Wadah pakan dan air
minum minum
Tenggeran Untuk bertengger
2. Kandang reproduksi dan Tempat pakan dan Wadah pakan dan air
pemeliharaan induk minum minum
Kayu tenggeran Untuk bertengger
Kotak sarang Tempat untuk bertelur dan
mengeraminya
3. Inkubator Tempat pakan dan Wadah pakan dan air
minum minum
Sarang Wadah untuk menaruh
Lampu 5watt anakan dan sebagai
pengahangat tubuh anakan
Sumber : Hasil observasi lapang dan pengamatan
25
Fasilitas kandang pembesaran murai batu di CRV dinilai sudah sesuai untuk
menunjang keberlangsungan hidup satwa. Untung dan Turut (1994) menjelaskan
perlengakapan kandang yang diperlukan oleh murai batu adalah kayu untuk
tenggeran, tempat pakan dan minum, dan bak atau wadah untuk mandi. Tempat
pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat dari plastik yang diletakkan
dibagian sisi kandang (Gambar 3). Penggunaan plastik untuk tempat pakan dan
minum berfungsi agar tidak mudah pecah jika terjatuh. Sudrajad (1999)
menyatakan bahwa tempat pakan dan minum sebaiknya terbuat dari bahan yang
tidak mudah bocor dan tidak mudah pecah, seperti plastik, bambu, dan alumunium.
Kayu tenggeran pada kandang pembesaran terbuat dari ranting pohon yang
diletakkan di tengah kandang. Menurut Turut (1999) bahwa tenggeran yang baik
berupa cabang atau ranting kayu dengan diameter kurang dari 2cm. Murai batu yang
berada di kandang pembesaran dimandikan setiap pagi oleh pengelola pada tempat
mandi khusus yang terbuat dari besi. Air yang digunakan untuk murai batu berasal
dari air tanah. Fauzi (2014) menjelaskan bak mandi pada murai batu sebaiknya diisi
dengan air bersih.
26
Kotak sarang pada kandang reproduksi terbuat dari triplek yang berbeentuk
persegi panjang dengan lubang di bagian tengah untuk tempat keluar masuknya
induk. Ukuran kotak sarang yaitu memiliki panjang 20cm, lebar 20cm, dan panjang
20cm. Menurut Fauzi (2014) bahwa wadah sarang bagi murai batu idealnya
memiliki panjang 15-25cm, lebar 15-20cm, dan tinggi 15-20cm. Penempatan kotak
sarang diletakkan di bagian atas dinding kandang yang tertutup oleh asbes agar
tidak terkena air hujan dan panas matahari. Bahan penyusun sarang murai batu di
CRV terbuat dari ijuk dan daun pinus kering, Bahan penyusun sarang tersebut
sebagian sudah dimasukkan kedalam kotak sarang oleh pengelola dan sebagian
diletakkan di lantai kandang agar burung dapat membangun sarangnya sendiri.
27
4. Pengelolaan Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan
keberhasilan penangkaran. Jenis yang pernah diderita murai batu diantaranya diare,
berak kapur, flu, dan gangguan pernapasan (Tabel 10).
Tabel 10. Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di CRV
No. Jenis Penyakit Gejala Obat
1. Diare Feses cair Tony’s treasure
2. Berak kapur Feses cair, berlendir dan Tony’s treasure
berwarna putih
3. Flu Paruh dan hidung berair, Tony’s treasure
bersin-bersin
4. Gangguan pernapasan Paruh selalu terbuka seperti Tony’s treasure
sesak napas
Sumber : Hasil observasi lapang dan wawancara
Segala jenis penyakit yang menyerang murai batu di CRV diobati dengan
obat yang sama yaitu tony’s treasure. Tony’s treasure merupakan obat yang terbuat
dari berbagai jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati segala macam
penyakit. Cara pemberian obat pada anakan murai batu yaitu dengan cara
menghaluskan obat terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam air minum.
Pada indukan, obat langsung diberikan dengan cara dimasukkan ke dalam paruh
murai batu dan dicampur dengan air agar mempermudah proses penelanan.
Bentuk perawatan kesehatan lainnya yaitu dengan memberikan suplemen
kepada anakan dan indukan murai batu serta melakukan penjemuran pada anakan
dan indukan. Penjemuran murai batu di CRV dilakukan setiap pagi hari sekitar
pukul 07.00-09.00 WIB selama 15-30 menit. Penjemuran dilakukan untuk
membantu pembentukkan vitamin D pada murai batu. Suplemen yang diberikan
kepada anakan murai batu yaitu scott’s emulsion. Indukan murai batu diberikan
suplemen TM-Vita. Tujuan pemberian suplemen pada indukan murai batu adalah
untuk menjaga stamina burung agar selalu sehat dan meningkatkan produktivitas.
Upaya pencegahan yang dilakukan pengelola CRV agar terhindar dari serangan
penyakit adalah selalu menjaga kebersihan kandang dan memandikan burung agar
tubuh burung tidak kotor.
28
Gambar 6. Obat murai batu: (a) Tony's treasure; (b) Scott emulsion; (C) TM-Vita
5. Pengelolaan Perkembangbiakkan
Beberapa aspek perkembangbiakkan yang terpenting untuk diperhatikan
dalam penangkaran diantaranya penentuan jenis kelamin, pemilihan induk,
penjodohan, pengeraman, dan penetasan serta pembesaran anakan murai batu
(Marifa 2014)
2. Memiliki warna bulu hitam pekat pada Memiliki warna bulu yang pudar atau ke
kepala dan punggung abu-abuan
3. Warna bulu dada cokelat atau kuning Warna bulu dada lebih pucat
4. Memiliki ekor panjang, biasanya lebih dari Ekor lebih pendek dari ekor jantan antara
17cm 10-15cm
5. Variasi kicauan yang dimiliki lebih Variasi kicauan yang dimiliki monoton
beragam dengan volume suara besar dan volume suara lebih kecil
29
Pengelola CRV dapat menentukan jenis kelamin pada murai batu saat usia
2 bulan. Perbedaan jenis kelamin murai batu dibedakan berdasarkan ukuran tubuh
dan bulu pada sayap. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan dengan betina.
Bulu sayap pada jantan terdapat banyak bintik-bintik cokelat sedangkan bulu sayap
pada betina memiliki bintik-bintik cokelat yang lebih sedikit.
Murai batu dijadikan indukan oleh pengelola CRV berasal dari kandang
pembesaran. Murai batu yang akan dijadikan induk dipilih yang tidak berasal dari
satu keturunan. Pemilihan induk murai batu di CRV didasarkan dengan kriteria
yang tidak cacat, sudah dewasa, memiliki ukuran tubuh besar, dan memiliki kualitas
suara yang baik. Murai batu dewasa memiliki ukuran tubuh sekitar 28cm dengan
berat 34gram (MacKinnon et al. 2010 diacu dalam Fauzi 2014). Perbandindangan
seks ratio jantan dan betina di CRV adalah 1:1. Artinya jantan dan betina selalu
dipasangkan dalam satu kandang.
5.2. Penjodohan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjodohkan murai batu adalah
umur dan tingkat birahi pada burung. Birahi atau estrus suatu periode yang terjadi
pada satwa betina dewasa yang siap untuk melakukan proses reproduksi dengan
satwa jantan. Birahi pada satwa digambarkan dengan perubahan kadar reproduksi
sehingga menyebabkan satwa betina bersifat reseptif terhadap satwa jantan
(Marcondes et al. 2002). Murai batu yang dijodohkan di CRV berusia 2 tahun pada
betina dan 3 tahun pada jantan. Menurut Fauzi (2014) bahwa burung murai batu
mencapai tingkat kedewasaan kelamin pada usia 1 tahun pada betina dan 2 tahun
pada jantan. Penjodohan murai batu di CRV dilakukan dengan cara memasukkan
jantan dan betina ke dalam kandang reproduksi. Murai batu jantan yang berada di
kandang reproduksi dimasukkan ke dalam sangkar dan digantung di dinding
kandang, sedangkan murai batu betina dilepaskan di dalam kandang. Tanda-tanda
murai batu yang berjodoh yaitu murai betina akan sering mendekati sangkar yang
berisi murai jantan. Penjodohan murai batu di CRV dapat berlangsung selama 1-2
bulan. Apabila proses penjodohan berhasil maka murai batu jantan akan dilepaskan
dari sangkar dan disatukan dengan betina pada kandang reproduksi. Murai batu
yang tidak berjodoh akan diganti oleh pengelola dengan murai batu betina yang
lain.
30
5.3 Peneluran, Pengeraman, dan Penetasan Telur
Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur murai batu dilakukan di dalam
kandang reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan murai batu di CRV umumnya 2-
3 butir. Proses pengeraman telur murai batu berlangsung 14-16 hari. Murai batu di
penangkaran CRV dapat bertelur sebanyak 5-7 kali dalam setahun. Penetasan telur
murai batu di CRV dilalukan secara alami tanpa menggunakan mesin tetas.
Menurut Fauzi (2014) beberapa faktor penyebab kegagalan dalam penetasan
burung murai batu diantaranya adalah proses pembuahan yang tidak sempurna,
pengeraman yang kurang bagus, kondisi lingkungan yang buruk, serta gangguan
dari binatang lain. Anakan murai batu yang baru menetas akan dibiarkan di kandang
dan dipelihara oleh induknya selama beberapa hari. Setelah usia 5-7 hari pengelola
memisahkan anakan murai batu dan memasukkannya ke dalam kandnag inkubator
untuk mendapatkan perawatan.
31
satwa yang terdapat di dalamnya (Lampiran 1). Capaian kesejahteraan satwa di
penangkaran berdasarkan pengamatan dan penilaian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Capaian implementasi kesejahteraan satwa
2,5 2,75
2,55
2 2,29 2,29
1,5 1,67
1
0,5
Bebas dari rasa lapar dan haus Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan
Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit Bebas untuk berperilkau alami
Bebas dari rasa takut dan tertekan
1. Bebas dari Rasa Lapar dan Haus (freedom from hunger and thirst)
Implementasi prinsip bebas dari rasa lapar dan haus sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan pakan satwa. Pengelolaan pakan burung murai batu di
Penangkaran Ciomas River View berdasarkan data dan informasi yang didapatkan
sudah baik dengan mendapatkan skor 2,75. Menurut Peraturan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.6/IV-SET/2011, PKBSI
(Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia), dan diacu dalam Irwani Gustiana
(2010) yang disesuaikan dengan keperluan penelitian, satwa yang berada dalam
tempat tinggalnya wajib dipenuhi mutu pakan dan minum dengan memperhatikan
jenis, jumlah serta frekuensi pemberian pakan dan minum, menu pakan, dan cara
penyajian pakan bagi pemenuhan kebutuhan dasar satwa.
Beberapa praktik pengelolaan yang dinilai sudah baik pada komponen ini
adalah pemberian jumlah pakan dan minum bagi satwa, bentuk dan kualitas pakan,
32
kondisi pakan dan minum saat diberikan pada satwa, serta kebersihan tempat pakan
dan minum satwa. Skor penilaian terkecil pada komponen ini yaitu apakah satwa
ditimbang secara teratur untuk mencatat perubahan satwa. Menimbang berat
burung berkicau khususnya murai batu secara teratur adalah penting, karena
bobotnya dapat berubah dengan cepat. Simpanan lemak dan bobot mereka banyak
berfluktuasi di sekitar musim kawin (Smithsonian’s National Zoo & Conservation
Biology Institute 2021).
2. Bebas dari Rasa Sakit, Luka, dan Penyakit (freedom from pain, injury,
and disease)
Implementasi prinsip bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit dengan
pengelolaan kesehatan satwa. Pemeriksaan kesehatan, pemberian suplemen serta
melakukan penjemuran. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit adalah upaya
pengelola dalam merawat kesehatan satwa dan mencegah kemungkinan satwa jatuh
sakit atau menderita luka-luka (Eccleston 2009 dan Balaa dan Marie 2006).
Komponen bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit memiliki skor penilaian 2,29.
Kondisi kesehatan murai batu di CRV secara keseluruhan dalam kondisi cukup
baik.
Praktik pengelolaan yang masih kurang terkait komponen ini adalah fasilitas
peralatan medis dan ruangan medis yang belum tersedia dan tidak adanya pelayanan
tenaga ahli dalam pemeriksaan kesehatan satwa. Fasilitas peralatan dan ruangan
medis dinilai sangat penting dalam suatu penangkaran satwa. Penangkaran CRV
tidak memiliki ruangan khusus bagi satwa yang menderita sakit, sehingga tidak ada
pemisahan tempat bagi satwa yang sakit. Perlakuan seperti ini seharusnya tidak
boleh terjadi dalam suatu penangkaran penangkaran satwa. Murai batu yang sedang
sakit seharusnya diletakkan terpisah agar murai batu yang sehat tidak tertular.
Keterlibatan tenaga ahli dalam memeriksa kesehatan penting untuk dilakukan.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor P.6/IV-SET/2011, PKBSI (Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia),
dan diacu dalam Irwani Gustiana (2010) yang disesuaikan dengan keperluan
penelitian, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit adalah apabila telah
terpenuhinya kebutuhan satwa salah satunya yaitu perawatan kesehatan dari tenaga
ahli untuk mencegah, mengobati luka, dan penyakit yang diderita oleh satwa.
33
3. Bebas dari Ketidaknyamanan Lingkungan (freedom from
environmental discomfort)
Implementasi bebas dari ketidaknyamanan lingkungan erat kaitannya
dengan kondisi tempat tinggal atau kandang satwa. Hasil skor penilaian komponen
bebas dari ketidaknyamanan lingkungan yaitu 2,55 termasuk baik. Eccleston (2009)
menyatakan bahwa komponen bebas dari rasa tidak nyaman yaitu tersedianya
kondisi lingkungan yang sesuai dan menyenangkan bagi satwa. Fungsi kandang
sebagai pelindung satwa baik itu dari cuaca (panas dan hujan) maupun gangguan
satwa lainnya (Gustina 2010). Kandang pada penangkaran sudah memenuhi bebas
dari ketidaknyamanan dari terik panas matahari dan hujan, akan tetapi ada beberapa
spot yang berfungsi sebagai tempat penjemuran burung murai batu.
Kandang murai batu di CRV juga dibersihkan secara rutin agar tidak
menimbulkan penyakit dan diharapkan dapat mencipatkan rasa nyaman bagi satwa.
Selain itu ketersediaan ventilasi pada kandang membuat kandang menjadi tidak
lembab karena selalu terkenan sinar matahari. Astiti (2010) menyatakan bahwa
pencegahan penyakit pada satwa dapat dilakukan dengan memperhatikan
perkandangan seperti menyediakan ventilasi didalam kandang dan menjaga
kebersihan lingkungan kandang.
Beberapa praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini yaitu
kondisi dan pengayaan kandang yang sudah sesuai serta kebebasan satwa untuk
bereproduksi. Kondisi kandang murai batu di CRV dibuat sedemikian rupa agar
memenuhi kesejahteraan satwa. Penempatan kandang murai batu juga sudah baik
sehingga tidak saling terganggu. Fasilitas yang terdapat di kandang murai batu yaitu
kayu tenggeran, bahan sarang, dan kotak sarang, serta pepohonan kecil. Adanya
34
fasilitas kandang akan membentuk suatu habitat buatan yang menunjang satwa
untuk bertingkah laku seperti dihabitat alaminya. Murai batu yang telah mencapai
usia dewasa kelamin akan dipindahkan oleh pengelola dari kandang pembesaran ke
kandang reproduksi.
5. Bebas dari Rasa Takut dan Tertekan (freedom from fair and distress)
Implementasi komponen bebas dari rasa takut dan tertekan pada burung
murai batu di CRV mendapat skor penilaian yaitu 2,29 yang mana termasuk dalam
kategori cukup. Eccleston (2009) menjelaska bebas dari rasa takut dan tertekan
adalah menjamin kondisi dan perlakuan satwa dengan baik untuk menghindari
satwa dari ancaman, takut, stres, dan kesusahan. Sebagian besar murai batu di CRV
yang ditangkarkan di CRV tidak menunjukkan perilaku tertekan atau stres. Perilaku
murai batu yang stres ditandai dengan hilangnya nafsu untuk makan, menyakiti diri
sendiri, dan agresif. Murai batu akan terlihat stres ketika didekati oleh manusia.
Rasa takut dan stres pada satwa akan berpengaruh pada kehidupan satwa yang akan
mempengaruhi mental dan fisik, pertumbuhan serta kemampuan reproduksi satwa
(Jones dan Waddington 1992).
Praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini yaitu kandang
bagi satwa yang sedang berkembangbiak dan adanya pengontrolan hama atau
hewan pengganggu yang membuat murai batu dapat stres. Draper dan Harris (2012)
menyatakan untuk menghindari terjadinya stres pada satwa, maka sebaiknya satwa
terhindar dari kontak fisik dengan banyak orang. Pengontrolan hewan pengganggu
yang terdapat di kandang murai batu di CRV yaitu tikus. Selain membuat satwa
stres, tikus juga terkadang memakan voer yang terdapat di dalam kandang murai
batu. Komariah et al. (2010) menyatakan bahwa tikus merupakan hewat mengerat
yang membawa, menyebarkan, dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia,
ternak, dan hewan peliharaan. Skor penilaian terkecil terkait komponen ini yaitu
tidak adanya kandang sementara yang mana menjadi tempat untuk adaptasi burung
35
murai batu yang didapat dari alam liar. Kandang sementara/karantina diperlukan
bagi satwa yang baru datang untuk mencegah dari rasa stres dan takut karena
kondisi lingkungan yang baru (Marifa 2014).
36
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengelolaan pakan
Pakan yang ada di CRV terdiri dari dua jenis, yaitu pakan utama dan pakan
tambahan. Pakan utama merupakan pakan murai batu yang rutin diberikan
setiap hari berupa voer dan jangkrik. Sedangkan, pakan tambahan adalah
pakan yang diberikan mingguan atau ketika dalam persiapan kontes dengan
tujuan menambah stamina atau birahi murai batu berupa kroto.
2. Pengelolaan kandang
Jenis kandang dalam penangkaran burung murai batu terdiri dari tiga bagian,
yaitu kandang pembesaran, kandangan indukan, dan kandang inkubator.
3. Fasilitas kandang
Fasilitas atau perlengkapan kandang merupakan salah satu hal yang perlu
diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Fasilitas kandang
murai batu di CRV berbeda-beda tergantuk dari jenis kandangnya. Fasilitas
kandang pembesaran murai batu di CRV dinilai sudah sesuai untuk
menunjang keberlangsungan hidup satwa. Untung dan Turut (1994)
menjelaskan perlengakapan kandang yang diperlukan oleh murai batu
adalah kayu untuk tenggeran, tempat pakan dan minum, dan bak atau wadah
untuk mandi. Tempat pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat
dari plastik yang diletakkan dibagian sisi kandang.
4. Pengelolaan kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan
keberhasilan penangkaran. Jenis yang pernah diderita murai batu
diantaranya diare, berak kapur, flu, dan gangguan pernapasan. Kesehatan
merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan
penangkaran. Jenis yang pernah diderita murai batu diantaranya diaere,
berak kapur, flu, dan gangguan pernapasan
37
5. Pengelolaan perkembangbiakkan
Pengelolaan perkembangbiakkan meliputi penentuan jenis kelami,
penjodohan, peneluran, pengeraman, dan penetasan telur serta pembesaran
anakan murai batu.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan sebagai upaya perbaikan dan pengembangan bagi
penangkaran Ciomas River View yaitu :
38
DAFTAR PUSTAKA
39
Draper C, Harris S. 2012. The assessment of animal welfare in british zoo by
goverment-appointed inspectors. Journal of Animals. 2: 507-528.
Duncan IJH, D Fraser. 1997. Understanding Animal Welfare. Di dalam: Appleby
MC dan BO Hughes. Animal Welfare. Wallingford: CABI Publishing. Hal:
19-31.
Dwi Saputro, Agung et al. 2016. “PERILAKU BURUNG MURAI BATU
(Copsychus Malabaricus) SIAP PRODUKSI The Behaviours Of White
Rumped Shama (Copsychus Malabaricus) Ready To Production.” Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu 4(3):188–94.
Eccleston KJ. 2009. Animal walfare di Jawa Timur: model kesejahteraan binatang
di Jawa Timur [skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang.
Ekesbo I. 1992. Monitoring System Using Clinical, Subclinical and Behavioural
Records for Improving Health and Welfare. Di dalam: Moss R. Livestock
Health and Welfare. Essex: Longman. Hal: 20-50.
Fauzi FN. 2014. Murai Batu. Klaten (ID): Sahabat.
Gunawan BI, Adikampana IM. 2018. Kesempatan kerja bagi masyarakat dengan
adanya Bali Safari and Marine Park di Desa Serongga Kabupaten Gianyar.
Jurnal Destinasi Pariwisata. 6(2):361–367.
Gustina, irwani. 2010. “KAJIAN PENGELOLAAN KESEJAHTERAAN SATWA
DAN PENGEMBANGAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI OBYEK
WISATA DI TAMAN WISATA ALAM PUNTI KAYU PALEMBANG
SUMATERA SELATAN.” Kajian Pengelolaan Kesejahteraan Satwa Dan
Pengembangan Pemanfaatannya Sebagai Obyek Wisata Di Taman Wisata
Alam Punti Kayu Palembang Sumatera Selatan. (564):1–77.
INDONESIA, P. R. (1999). Peraturan Pemerintah Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar. 15.
Indonesia, P. R. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Sekretariat
Negara.
Irfan, Mohamad et al. 2020. “Gambaran Kesejahteraan Burung Murai Batu
(Copsychus Malabaricus) Di Annafi Bird Farm, Cirebon, Jawa Barat.”
Indonesia Medicus Veterinus 9(5):683–94. doi: 10.19087/imv.2020.9.5.683.
40
Islahuddin, B. O. (2009). Animal Welfare Implementation in the Live Bird Markets
(LBMs) in Bogor.
Jones RB, Waddington D. 1992. Modification of fear in domestic chicks, Gallus
gallus domesticus, via reguler handling and early enviromental enrichment.
Journal of Animal Behaviour 43: 1021-1033.
Ketaren PP. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Jurnal Wartazoa. 20
(4): 172-180.
Komariah, Pratita S, Malaka T. 2010. Pengendalian vektor. Jurnal Kesehatan Bina
Husada. 6 (1): 34-43.
Kusmayadi. 2004. Statistika Pariwisata Deskriptif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Lay Jr DC. 2000. Consequences of Stress During Development. Di dalam: Moberg
GP dan Mench JA. The Biology of Animal Stress. Wallingford Oxon: CABI
Publishing. Hal: 249-267.
MacKinnon J, Phillipps K, v. Balen. 2010. Seri panduan lapang burung-burung di
Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan LIPI.
Marcondes FK, Bianchi FJ, Tanno AP. 2002. Determination of the estrous cycle
phase of rats: some helpful considerations. Journal Brazilian Archieves of
Biology and Technology. 62 (4): 600-614.
Marifa, Isnia Estu. 2014. “TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN
KESEJAHTERAAN MURAI BATU ( Copsychus Malabaricus Scopoli, 1788)
DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT ISNIA
ESTU MARIFA.” Daya Tetas Telur, Kematian, Kesejahteraan Satwa, Murai
Batu, Perkembangbiakan 1–39.
Menteri Lingkungan Hidup, R. I. (2019). Lembaga Konservasi. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No. 22 Tahun 2019, 1–62.
Moberg GP. 2000. Biological Response to Stress: Implications for Animal Welfare.
Di dalam: Moberg GP dan Mench JA. The Biology of Animal Stress.
Wallingford Oxon: CABI Publishing. Hal: 1-21.
Moss R. 1992. Definition of Health and Welfare. Di dalam: Moss R. Livestock
Health and Welfare. Essex: Longman. Hal: 1-19.
41
Mu’arif Z. 2012. Rahasia Penangkaran Burung Murai Batu . Yogyakarta: Lily
Publisher.
Nurdiana, Marisa. 2021. “TEKNIK PEMELIHARAAN DAN NILAI EKONOMI
MURAI BATU ( Copsychus Malabaricus ) KUALITAS KONTES.”
Putranto HD, Okvianto D, Prakoso H. 2018. Studi reproduksi burung murai batu
(Copsychus malabaricus) pada penangkaran lokal di Kota Bengkulu. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia. 13(2):130-139.
Semiadi G. 1997. Teknik perawatan anak rusa tropika sejak lahir hingga masa
sapih. Jurnal Media Konservasi. 5(2): 77-80.
Setiawan, Wibiyanto. 2021. “FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN,
KONTRIBUSI, NILAI EKONOMI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS
BANJARNEGARA.” Conservation Organization, Contribution Value,
Management Strategy, Socioeconomy 14(1):1–91.
Smithsonian’s National Zoo & Conservation Biology Institute. 2021. “How Do
You Weigh Animals at the Zoo.” Erin Stromberg. Retrieved July 6, 2023
(https://nationalzoo.si.edu/animals/news/how-do-you-weigh-animals-zoo).
Soemarjoto R, Prayitno. 1999. Agar Burung Selalu Sehat. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Sudrajad. 1999. Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Turut R. 1999. Sukses Melatih Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Untung O, Turut R. 1994. Melatih Murai Batu Berkicau. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Wolfle TL. 2000. Understanding the Role of Stress in Animal Welfare: Practical
Considerations. Di dalam: Moberg GP dan Mench JA. The Biology of Animal
Stress. Wallingford Oxon: CABI Publishing. Hal: 355-368.
42
LAMPIRAN
Skor Keterangan
1. Buruk; apabila pengelolaan tidak ada
2. Cukup; apabila pengelolaan ada tapi belum dilaksanakan
3. Baik; apabila pengelolaan ada dan sudah dilaksanakan
Skor 1 21
Total Skor 22
Rata-rata 2,75 (baik)
Sumber : Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.6/IV-
SET/2011, PKBSI (Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia), dan diacu dalam Irwani Gustiana
(2010) yang disesuaikan dengan keperluan penelitian.
43
Sumber : Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.6/IV-
SET/2011, PKBSI (Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia), dan diacu dalam Irwani Gustiana
(2010) yang disesuaikan dengan keperluan penelitian.
44
4. Apakah tingkah laku klise atau mutilasi terlihat atau tidak? √
45
No. Prinsip kesejahteraan satwa Jumlah rataan
1. Bebas dari rasa lapar dan haus 2,75
2. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit 2,29
3. Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan 2,55
4. Bebas untuk mengekspresikan perilaku alami 1,67
5. Bebas dari rasa takut dan tekanan 2,29
Jumlah 11,55
Rataan 2,31 (cukup)
46