Oleh :
T FAJAR KHAIRULLAH
NIM : 160303049
Oleh :
1
LEMBARAN PENGESAHAN
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya yang telah memberikan banyak kesempatan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan praktek kerja lapangan dengan judul “Teknik
Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) Jepara Jawa Tengah”
Laporan ini disusun sebagai tahap akhir dalam kegiatan PKL yang
merupakan kurikulum pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Samudra. Dalam penulisan laporan ini, penulis melaporkan segala
kegiatan yang dilakukan pada saat PKL yang selanjutnya juga disampaikan hasil
atau ilmu yang didapat berdasarkan jenis kegiatan atas ketentuan dan SOP Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara terutama Balai Unit II
Hatchery Udang, Bandengan yang telah menerima penulis selama pelaksanaan
Praktek Kerja Lapangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Muhammad Fauzan Isma S.Pi., M.Si
2. Bapak Eddy Nur Cahyono S.Pi selaku pembimbing lapangan dalam
pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang telah membimbing penulis
dengan sangat baik sehingga laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu.
3. Ibu Siti Komariyah, S.IK., M.Si selaku Koordinator Program Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Samudra.
4. Ibu Ir. Cut Mulyani, MP. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Samudra.
5. Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah.
Langsa, 14 April 2019
Penyusun
3
4
DAFTAR ISI
5
4.2 Metode Praktek Kerja lapang (PKL) ........................................... 22
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kepiting bakau (scylla serrata) ............................................................ 11
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau .............................................................. 14
Gambar 3. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
Jepara. ................................................................................................. 20
Gambar 4. Bak Pemeliharaan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata) ................. 20
Gambar 5. Perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) ........................ 21
Gambar 6. Pakan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata)..................................... 22
Gambar 7. Bak pengeraman kepiting bakau (Scylla serrata) ................................ 23
Gambar 8. Dekapulasi artemia .............................................................................. 27
Gambar 9. Kultur Chlorella sp pada (a) bak fiberglass dan (b) bak beton........... 28
Gambar 10. Macam – macam pakan larva kepiting bakau. .................................. 29
7
DAFTAR TABEL
Table 1. Jadwal Dan Dosis Pakan Larva Kepiting Bakau .................................... 29
Table 2, Kisaran Kualitas Air Selama Pemeliharaan Larva .................................. 30
8
BAB I. PENDAHULUAN
9
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan pengetahuan terkait teknik
pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata) yang dilakukan pada kegiatan praktek
kerja lapangan (PKL) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
Jepara, Jawa Tengah.
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
11
karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat
keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki. Pasangan kaki
pertama disebut cheliped (capit) yang berperan sebagai alat memegang dan
membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata
dalam menghadapi musuh, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih)
berfungsi sebagai kaki renang yang berpola poligon dan pasangan kaki selebihnya
sebagai kaki jalan). Pada dada terdapat organ pencernaan, organ reproduksi
(gonad pada betina dan testis pada jantan). Bagian tubuh (abdomen) melipat rapat
dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu bermuara saluran
pencernaan (dubur).
12
2.4 Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Habitat hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan
berkembang (nursery ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi
makanan dari kepiting bakau. Habitat alami kepiting bakau adalah daerah perairan
payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai yang banyak
ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di
wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih (Xylocarpus
sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang (Brugueira sp.),
tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.).
13
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Sihainenia, 2008)
14
b. Stadia Megalopa
Kepiting bakau telah mampu menggigit yang dicirikan dengan tumbuhnya
gigi tajam pada bagian pinggir mandibula dan maxilliped 3 semakin sempurna.
Ciri morfologi lainnya adalah panjang karapaks 1,52 mm, panjang abdomen 1,87
mm, panjang tubuh total 4,1 mm.
c. Tadia Crab (Kepiting Muda)
Kepiting muda telah memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya
kepiting dewasa, namun ukurannya masih kecil.
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus
menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai
sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
masih memiliki bagian ekor yang panjang.Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai.Zoea
membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk
menjadi kepiting dewasa.
Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan
pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase
kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih
kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).
15
laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur (gonad) merujuk
pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature) belum dapat dilihat
dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna
kuning keputihan.
Ketika telur matang sedang, ukuran gonad bertambah besar dan mengisi
hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung dan daerah dada, terlihat
berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya telur itu akan
berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).
Menurut Poovachiranon (1991) terdapat 4 tingkat kematangan gonad dari
induk kepiting, yaitu :
1. Tingkat I : gonad belum masak, terlihat tipis dan transparan, abdomen
berbentuk triangular dan terlihat menggembung pada kepiting betina yang
masih muda.
2. Tingkat II : menampakkan perkembangan gonad, telur berwarna putih krim
atau kekuningan dan menempati seperempat bagian dari area diantara
kelenjar digestiva.
3. Tingkat III : keadaan gonad masak, kantong telur membesar dan menempati
setengah atau lebih dari area kelenjar digestiva, gonad sudah berwarna
kuning atau orange.
4. Tingkat IV : menempel pada seminal reseptakel, gonad berwarna merah.
16
BAB III. KEADAAN UMUM LOKASI
17
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Desa Jobokuto
Sebelah Selatan : Pantai Kartini, Desa Kauman
Sebelah Barat : Pantai Kartini, Pulau Panjang
Jepara merupakan daerah tropis dengan musim hujan terjadi pada bulan
November-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober.
Suhu udara rata-rata berkisar 20-30 oC. Jenis tanah di lokasi Praktek Kerja Lapang
cenderung mengandung liat pada daratan danpasir pada pantainya, hal ini
menyebabkan tekstur tanah pertambakan di sekitar lokasi relatif bervariasi atau
cenderung liat berpasir. Dilihat dari topografinya letak BBPBAP cocok untuk
daerah pertambakan, karena letaknya di tepi pantai selain itu keadaan tanahnya
juga datar.
18
Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
(BBPBAP) Jepara terdiri dari Bidang Pelayanan Teknik yang membawahi Seksi
Sarana Laboratorium dan Seksi Sarana lapangan, Bidang Standarisasi dan
Informasi yang membawahi Seksi Standardisasi dan Seksi Informasi, Bidang Tata
Usaha yang membawahi Sub Bagian Umum dan Sub Bagian Keuangan, serta
Kelompok Jabatan Fungsional yang membawahi Bagian Perekayasa, Litkayasa,
Pengawas Benih, Pengawas Budidaya, Pengawas Hama dan Penyakit Ikan,
Pranata Humas.
Tugas pejabat fungsional dibentuk dalam kelompok kegiatan perekayasaan,
yaitu Kelompok Kegiatan Laboratorium, Kelompok Kegiatan National Shrimp
Broodstock Centre (NSBC), Kelompok Kegiatan Fasilitas Internal Balai,
Kelompok Kegiatan Produksi Benih dan Ikan, Kelompok Kegiatan Diseminasi
Teknologi yang bertujuan untuk mempermudah koordinasi dan memperlancar
pelaksanaan. Sumberdaya manusia BBPBAP Jepara adalah sebanyak 165 orang,
terdiri atas 162 orang PNS, 2 orang CPNS dan 1 orang tenaga honorer.
19
STRUKTUR ORGANISASI BALAI BESAR PENGEMBANGAN
BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA
Kepala
BBPBAP
Kepala Bagian
Tata Usaha
Pejabat
Fungsional
20
Luas kompleks BBPBAP Jepara kurang lebih 64,5472 ha yang terdiri dari
kompleks balai seluas 10 ha dan tambak seluas 54,5472 ha. Kompleks balai terdiri
dari perkantoran, perumahan, asrama, unit pembenihan, unit pembesaran,
lapangan olahraga, auditorium, laboratorium (laboratorium pakan buatan dan
nutrisi, laboratorium pakan alami, laboratorium fisika-kimia, laboratorium hama
dan penyakit dan laboratorium manajemen kesehatan hewan akuatik). Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan sekitarnya merupakan
daerah beriklim tropis dengan musim hujan terjadi pada bulan November - Maret,
musim pancaroba terjadi pada bulan April - Juni dan musim kemarau terjadi pada
bulan Juli - Oktober.
21
BAB IV. METODELOGI DAN PELAKSANAAN KEGIATAN
22
c. Metode Partisipatif
Metode ini dilakukan dengan cara terlibat langsung pada kegiatan
pembenihan yang ada di Unit Pembenihan Kepiting Bakau dan
Rajungan Di BBPBAP Jepara.
23
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
19
5.2 Pengelolaan Induk
5.2.1. Bak Pemeliharaan Induk
Dalam memperoleh hasil yang baik dalam proses pematangan induk
kepiting bakau (Scylla serrata), BBPBAP Jepara menggunakan bak konstruksi
semen dengan ukuran 5,6 x 4,5 x 1 m (25,2 m3), dilengkapi dengan sekat-sekat
pemeliharaan ukuran 65 x 65 cm dan substrat pasir sebagai tempat berlindung
bagi induk kepiting dengan ketebalan 10-15 cm, serta air laut dengan ketinggian
40-60 cm. Selain itu, bak pemeliharaan induk juga harus dilengkapi dengan aerasi,
1 batu aerasi untuk setiap sekatnya. Berikut bak pemeliharaan induk kepiting
bakau (Gambar 4).
20
Gambar 5. Perkembangan gonad kepiting bakau
(Scylla serrata) Sumber : dokumentasi pribadi,2019
21
Kemudian pada saat akan memberikan pakan pada indukan, cumi-cumi
atau kerang darah di keluarkan terlebih dahulu dari freezer beberapa saat
sebelumnya. Banyaknya pakan yang diberikan untuk induk adalah 5-10% dari
berat biomassa per harinya. Pakan sejumlah itu diberikan dua kali per-hari, yaitu
pada jam 06.00 pagi dan jam 16.00 sore. Sebelum diberikan pakan pada indukkan
lebih baik dicek terlebih dahulu apakah pakan masih tersisa atau tidak. Apabila
pakan masih tersisa banyak, maka pemberian pakan harus dikurangi. Sebaliknya
apabila pakan yang diberikan habis, pakan yang diberikan harus ditambah
(Gambar 6).
22
ukur yaitu suhu, salinitas dan pH. pH dan suhu diukur menggunakan alat pH
meter, dan salinitas diukur menggunakan alat refractometer. Untuk menjaga
kearutan kualitas air, maka sebelum penggunaan alat kualitas air dilakukan
kalibrasi terlebih dahulu.
23
Setelah telur menetas induk langsung di angkat dan di pindahkan ke bak
induk. Lalu larva kepiting di pindahkan kedalam ember yang berukuran 10 liter.
Sebelum larva kepiting dipindahkan kedalam ember berukuran 10 liter, harus
dilakukan pengamatan terlebih dahulu yaitu caranya angkat aerasi yang ada
didalam bak fiber, lalu biarkan selama 10-15 menit, setelah itu lakukan
pengamatan. Larva yang baik dan sehat akan berenang kepermukaan karena
adanya cahaya matahari atau fototaksis positif. Sedangkan larva yang tidak sehat
atau mati akan mengeendap kedasar bak dan kemudian di shipon lalu dibuang.
Larva yang baik sudah dipindahkan kedalam ember selanjutnya dilakukan
sampling, metode yang digunakan yaitu sebagai berikut :
1. Zoe yang baru menetas dipindahkan ke dalam ember yang berukuran air
sebanyak 10 liter.
2. Kemudian diambil sample zoe menggunakan beakerglass sebanyak 200
ml pada sampel yang di ambil, kemudian pindahkan ke baskom yang
besisi air dengan volume 4 L dan dilakukan perhitungan secara manual
dengan bantuan handtalycounter.
3. Setelah dihitunh semua total sampel tadi kemudian dijumlahkan
keseluruhan sampel tersebut, dan untuk mengetahui berapa jumlah zoe
yang ditebar dalam 1 bak fiber maka total sampel yang telah dihitung tadi
di bagikan dengan jumlsh bak fiber yang digunakan, setelah itu barulah
diketahui berapa padat tebar dalam 1 bak fiber.
4. Setelah itu diketahui berapa total telur yang menetas kemudian larva
dimasukka kedalam bak pemeliharaan benih dengan kepadatan yang 60-
100 ekor/liter, kepiting yang baru menetas bisanya disebut zoe 1.
Berikut adalah rumus yang digunakan untuk perhitungan larva kepiting bakau :
𝑁
∑ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 = 𝑉 𝑥
𝑃
Diketahui :
∑ = jumlah larva yang dihasilkan
V = volume larva (L)
N = jumlah larva terhitung
P = volume pengambilan sampel (L)
24
Berikut ini adalah hasil perhitungan larva kepiting :
𝑁
∑ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 = 𝑉 𝑥
𝑃
2,225
= 20 L x 20 𝑚𝑙
2,225
= 20 L x 0,02 𝐿
= 20 L x 111,250
= 2.225,000,00
25
buatan. Pakan alami berupa zooplankton spesies rotifer Branchionus sp dan
Artemia salina sedangkan pakan buatan berasal dari olahan pabrik.
A. Pakan Alami
1. Pengkulturan Artemia
Untuk pengkulturan artemia yang pertama sekali harus dilakukan adalah
persiapan wadah pengkulturan seperti biasa wadah yang sudah dicuci bersih di
pasang perlengkapan aerasi kemudian diisikan air laut. Sebelum dikultur terlebih
dahulu telur artemia atau kista artemia dilakukan dekapulasi.
Dekapulasi berfungsi agar telur artemia dapat menetas lebih cepat,
langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut :
a) Artemia dalam kemasan kaleng di buka dan di rendam dalam air tawar
selama 30 menit
b) Artemia ditiriskan dengan sringan mess size 150 mikro
c) Artemia kemudian dimasukkan ke dalam larutan kaporit 15 ppm dan
diaduk secara terus menerus dan dipertahankan pada kisaran suhu
maksimal 40○ C dengan menambahkan air sedikit demi sedikit
d) Kista artemia ditiriskan dan disiram air hingga berubah warna coklat
menjadi orange
e) Proses diatas dilakukan berulang-ukang sampai warna menjadi orange
f) Untuk menghilankan khlorin kista artemia direndam dengan larutan
natriumthiosulfat 5 ppm kemudian dibilas sampai bersih dengan
menggunakan air steril.
g) Hasil dekapulasi disimpan dalam lemari pendingin untuk dapat digunakan
secara berulang sesuai kebutuhan.
h) Kemudian telur artemia siap di kultur dengan cara diambil sesuai
kebutuhan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah pengkulturan.
i) Kultur dan panen artemia
26
Gambar 8. Dekapulasi artemia (Sumber : dokumentasi pribadi, 2019)
27
(a) (b)
Gambar 9. (a) Kultur Chlorella sp pada bak fiberglass (b) bak beton
B. Pakan Buatan
Pemeliharaan benih kepiting selain diberikan pakan alami juga ditambah
dengan memberikan pakan buatan. Pemberian pakan dimaksudkan untuk
melengkapi nutrisi yang tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton
maupun zooplankton. Pada larva kepiting stadia zoea 1 hingga zoea 4 pakan
buatan yang diberikan berupa Fripack berukuran 150 mikron dengan dosis 0,3
ppm. Selanjutnya pada stadia megalopa pakan buatan yang diberikan berukuran
28
300 mikron dengan dosis pakan 1 ppm. Kemudian stadia crablet diberikan pakan
buatan yang berasal dari unit pabrik pembuatan pakan di BBPBAP Jepara
(Gambar. 10)
Pakan diberikan dengan frekuensi 6 kali sehari dengan jadwal dan dosis
sebagai berikut :
Table 1. Jadwal Dan Dosis Pakan Larva Kepiting Bakau
Stadia larva Frekuensi Kepadatan Kepadatan Pakan buatan
pemberian Branchionus sp Artemia salina (mg/L)
(kali/hari) (individu/ml) (individu/ml)
Zoea 1 6 10 – 15 - 0,3
Zoea 2 6 10 – 15 - 0,4
Zoea 3 6 10 – 15 0,5 – 3 0,5
Zoea 4 6 10 – 15 0,5 – 3 0,6
Zoea 5 6 10 – 15 0,5 – 3 0,7
Megalopa 6 - 3–5 1
Crablet 6 - - 1–2
29
pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan sangat penting, dimulai dari stadia
larva karena sangat rentan sekali terhadap perubahan dan kondisi hidupnya yaitu
air. Oleh sebab itu, kondisi air perlu dikontrol dan dipertahankan secara baik serta
optimal dimana harus sesuai dengan kebutuhan larva kepiting bakau. Kegiatan
pengelolaan kualitas air yang dilakukukan di unit pembenihan Kepiting –
Rajungan BBPBAP Jepara meliputi penggantian air setiap 2 – 3 hari sekali,
penyifonan, dan pengukuran kualitas air yaitu suhu, salinitas, pH, dan DO.
Table 2, Kisaran Kualitas Air Selama Pemeliharaan Larva
No Parameter Kisaran
1. Suhu (°C) 30°C – 34°C
2. Salinitas (%0) 28 – 35 ppt
3. Ph 8
4. DO (mg/L) 4 – 5,7
Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh selama pemeliharaan adalah
berkisar 30 °C – 34 °C dan 28 – 35 ppt. Menurut Jamal et al., (2013), pengaruh
fluktuasi suhu terhadap rendahnya kelulushidupan larva zoea dapat diminimalisir
yaitu dengan mempertahankan salinitas dan suhu yang optimum yaitu berkisar
antara 28 °C – 30 °C dan 31 ppt. Untuk mengontrol suhu agar tetap dalam kisaran
yang optimum ruangan pembenihan yang digunakan harus dalam keadaan tertutup
rapat sehingga tidak ada celah untuk udara dari luar ruangan biasa masuk dan
dilakukan pengukuran pada media air setiap pagi dan sore hari. Sedangkan untuk
salinitas juga diukur setiap pagi dan sore hari, apabila salinitas terlalu tinggi dapat
ditambahkan air tawar pada bak pemeliharaan larva kepiting. pH yang diperoleh
selama pemeliharaan berkisar antara 8. Menurut Siahanenia (2008), menyatakan
bahwa perariran yang kisaran pHnya 6,50 – 7,50 dikatakan perairan yang cukup
baik, sedangkan perairan yang kisaran pH 7,50 – 8,90 dikategorikan baik.
Sehingga dari hasil pH yang diperoleh dikategorikan baik untuk pemeliharaan
larva. Kisaran oksigen terlarut (DO) yang didapat berkisar 4 – 5,7 mg/L. Menurut
Purnamaningtyas dan Arman (2010), bahwa kebutuhan oksigen bagi kepiting
bakau adalah >4,0 mg/L, namun untuk kehidupan biota bentik oksigen terlarut 1
mg/L masih dapat ditoleransi. Untuk mempertahankan kualitas air pemeliharaan
dilakukan penggantian air yang mulai dilakukan pada stadia zoea – 3. Penggantian
air dilakukan 2 – 3hari sekali tergantung dari kondisi air pemeliharaan, yaitu
30
mengganti sebanyak 10 – 20% dari volume air total. Menurut Gunarto dkk,
(2004) untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan larva, dilakukan
penggantian air sebanyak 5 – 10 % setiap 2 – 3 hari, sedangkan suhu
dipertahankan pada kisaran 29 – 31 ppt.
Secara teknis penggantian air dilakukan dengan memasukkan selang
kedalam bak pemeliharaan, kemudian pada bagian yang di luar bak dipasang
saringan dengan mesh size 100 mikron untuk mencegah larva ikut terbuang
bersama air. Pengontrolan kondisi kualitas air dilakukan setiap hari dengan
mencatat suhu, salinitas, pH dan DO pada media pemeliharaan di pagi dan sore
hari.
31
BAB VI . KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan Praktek Kerja Lapang yang dilakukan di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Teknik pembenihan kepiting bakau di BBPBAP Jepara dilakukan secara
alami. Teknik yang dilakukan meliputi persiapan sarana dan prasarana,
seleksi induk, pemeliharaan induk, pengeraman dan penetasan telur,
pemeliharaan larva, pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air;
2. Induk dengan gonad TKG III gonad berwarna kuning tua. Induk matang
gonad (TKG IV) gonad akan berwarna hitam ke abu abuan
3. Selama kegiatan pemeliharaan larva kepiting bakau belum menemukan
hambatan dan kendala yang terjadi.
6.2 Saran
Dalam pelaksanaan kegiatan pembenihan kepiting bakau, perlu adanya
penerapan biosecurity guna meminimalisir terkontaminasi penyakit dari luar
pembenihan. Untuk mencegah kerugian dalam peningkatan produksi benih
perlu dilakukan perawatan sarana, prasarana dan mengoptimalkan penyediaan
pakan maupun pengelolaan kualitas air.
32
DAFTAR PUSTAKA
Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine Resources Of
The Western Central Pacific Volume 2: Cephalopods, crustaceans,
holothurians and shark. Food And Agriculture Organization of the United
States. Roma.
Fujaya, Y. Aslamyah, St. Fujaya,L. Alam, Nur. 2012. Budidaya dan Bisnis
Kepiting Lunak. Brillian International. Surabaya. 2-16
Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015.
Life-history, movement, and Habitat use of Scylla serrata (Decapoda,
Portunidae): Current Knowledge and Future Challenges. Journal of
Hydrobiologia (2016) 763:5-21
Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014.
Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla olivacea
(Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular Malaysia. Asian
Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.
Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman
Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi
daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta.
428-473.
Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.
Jakarta. 93 hal
Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan
Ekonomis.ANDI.Yogyakarta.396 hlm.
Muskar YF. 2007. Mempersiapkan Kepiting menjadi Komoditas Andalan. Pusat
Informasi & Data PSDA Sulawesi.
Phelan M, M Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11.
Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and
Mines. Northern Territory Government of Australia, Darwin.
33
Prianto, E. 2007.Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove.Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai
Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Rusdi I., dan A. Hanafi, 2009. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Asal Hatchery di Lahan Mangrove. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali 2009
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat.Disertasi Program Pascasarjana
IPB. Bogor
Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau (Scylla serrata.)
Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat Di Kawasan Tambak Silvofishery,
Eretan Indramayu. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
34
LAMPIRAN KEGIATAN
Pengisian air laur pada bak larva proses pengenceran pakan buatan untuk larva
kepiting bakau
Proses
penyiponan pada bak larva wadah pengeraman induk kepiting bakau
35
Dekapulasi Artemai
36
pemberian pakan pada induk pengecekan kualitas air
kepiting bakau (Scylla serrata)
37
38