Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL)

TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI BALAI


PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BPBAP) UJUNG BATEE

Oleh :
T FAJAR KHAIRULLAH
NIM : 160303049

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SAMUDRA
2019
TEKNIK PEMBENIHAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata)DI
BALAI BESAR PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU ( BBPBAP)
JEPARA, JAWA TENGAH

PRAKTEK KERJA LAPANGAN (PKL)


Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Kurikulum Sarjana
Srata Satu Pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Samudra

Oleh :

ANNISA NUR FADILLA


NIM : 160303040

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SAMUDRA
2019

1
LEMBARAN PENGESAHAN

Nama : Annisa Nur Fadilla


Nim : 160303040
Program Studi : Budidaya Perairan
Fakultas : Pertanian
Judul :Teknik Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Pada
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
Jepara Jawa Tengah.
Tanggal Pelaksanaan : 03 Januari – 08 Febuari 2019

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Muhammad Fauzan Isma S. Pi., M.Si


NIDN. 0012028702

Mengetahui,

Dekan, Koordinator Program studi


Fakultas Pertanian Budidaya Perairan

Ir. Cut Mulyani, M.P Siti Komariyah, S,IM.Si


NIP. 196507171992032002 NIP. 1315128801

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya yang telah memberikan banyak kesempatan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan praktek kerja lapangan dengan judul “Teknik
Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) Jepara Jawa Tengah”
Laporan ini disusun sebagai tahap akhir dalam kegiatan PKL yang
merupakan kurikulum pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Samudra. Dalam penulisan laporan ini, penulis melaporkan segala
kegiatan yang dilakukan pada saat PKL yang selanjutnya juga disampaikan hasil
atau ilmu yang didapat berdasarkan jenis kegiatan atas ketentuan dan SOP Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara terutama Balai Unit II
Hatchery Udang, Bandengan yang telah menerima penulis selama pelaksanaan
Praktek Kerja Lapangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Muhammad Fauzan Isma S.Pi., M.Si
2. Bapak Eddy Nur Cahyono S.Pi selaku pembimbing lapangan dalam
pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang telah membimbing penulis
dengan sangat baik sehingga laporan ini dapat diselesaikan tepat waktu.
3. Ibu Siti Komariyah, S.IK., M.Si selaku Koordinator Program Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Samudra.
4. Ibu Ir. Cut Mulyani, MP. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Samudra.
5. Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah.
Langsa, 14 April 2019

Penyusun

3
4
DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN..................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... 7

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 9

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 9

1.2 Manfaat PKL ............................................................................... 10

1.3 Tujuan ........................................... Error! Bookmark not defined.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11

2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)................................ 11

2.2 Morfologi Kepiting Bakau (scylla serrata) ................................. 11

2.3 Anatomi Kepiting Bakau (scylla serrata) ................................... 12

2.4 Habitat Kepiting Bakau (scylla serrata) .................................... 13

2.5 Siklus Hidup ................................................................................ 13

2.6 Pemijahan dan Perkembangan Telur Kepiting Bakau ................. 15

BAB III. KEADAAN UMUM LOKASI .................................................................. 17

3.1 Sejarah Berdirinya BBPBAP Jepara ........................................... 17

3.2 Keadaan Topografi dan Geografi ................................................ 17

3.3 Visi dan Misi BBPBAP Jepara .................................................... 18

3.4 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja ........................................ 18

STRUKTUR ORGANISASI BALAI BESAR PENGEMBANGAN


BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA .............................................................. 20

3.5 Lokasi BBPBAP Jepara............................................................... 20

3.6 Sarana dan Prasarana ................................................................... 21

BAB IV. METODELOGI DAN PELAKSANAAN KEGIATAN ......................... 22

4.1 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL) ........................ 22

5
4.2 Metode Praktek Kerja lapang (PKL) ........................................... 22

4.3 Sumber Data ................................................................................ 22

4.4 Teknik Pengumpukan Data ......................................................... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 19

5.1 Kegiatan Pembenihan Kepiting Bakau ........................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33

6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kepiting bakau (scylla serrata) ............................................................ 11
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau .............................................................. 14
Gambar 3. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
Jepara. ................................................................................................. 20
Gambar 4. Bak Pemeliharaan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata) ................. 20
Gambar 5. Perkembangan gonad kepiting bakau (Scylla serrata) ........................ 21
Gambar 6. Pakan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata)..................................... 22
Gambar 7. Bak pengeraman kepiting bakau (Scylla serrata) ................................ 23
Gambar 8. Dekapulasi artemia .............................................................................. 27
Gambar 9. Kultur Chlorella sp pada (a) bak fiberglass dan (b) bak beton........... 28
Gambar 10. Macam – macam pakan larva kepiting bakau. .................................. 29

7
DAFTAR TABEL
Table 1. Jadwal Dan Dosis Pakan Larva Kepiting Bakau .................................... 29
Table 2, Kisaran Kualitas Air Selama Pemeliharaan Larva .................................. 30

8
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak tahun 1980-an, kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan


penting, mempunyai nilai ekonomis penting, dan memiliki harga yang tinggi baik
di pasar dalam negeri maupun luar negeri, antara lain di Asia (seperti Singapura,
Thailand, Taiwan, Hongkong dan China) maupun di Amerika dan Eropa. Dalam
perdagangan internasional jenis kepiting bakau dikenal sebagai Mud Crab atau
bahasa Latinnya Scylla serrata (Rusdi dan Hanafi, 2009)
Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat
mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping
rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting
sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau
dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air
(Juwana 2004). Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat,
tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi
kesehatan. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan
lemak jenuh dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga
merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan
Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan
kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa
dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58
mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan
dan kecerdasan anak (Muskar, 2007).
Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya pun
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering
sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai
industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan
tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan
sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain dapat
digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman (Muskar 2007).

9
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan pengetahuan terkait teknik
pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata) yang dilakukan pada kegiatan praktek
kerja lapangan (PKL) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
Jepara, Jawa Tengah.

1.2 Tujuan PKL


Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah untuk mengetahui
informasi tentang teknik pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata)di BBPBAP
Jepara, Jawa Tengah.

1.3 Manfaat PKL


Adapun keguanaan pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL) tentang
teknik pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata)di BBPBAP Jepara, Jawa
Tengah adalah :
 Mempelajari teknik pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata)di
BBPBAP Jepara, Jawa Tengah.

10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)


Kepiting bakau (Scylla serrata ) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang hidup diperairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau
(mangrove). Karena rasanya yang lezat, kepiting bakau banyak digemari oleh
konsumen domestik dan mancanegara, sehingga kepiting bakau menjadi salah
satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomis (Fujaya, 2012).
Menurut Stephenson dan Campbell (1960), Motoh (1977), Warner (1977),
Moosa (1980) dan Keenan dkk (1998), kepiting bakau dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Klass : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata

2.2 Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Gambar 1. Kepiting bakau (scylla serrata)


Sumber : FAO fisheries
Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting
ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar)
dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007).
Kulit yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang
selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting). Kepiting bakau genus Scylla
ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya
terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi
maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah

11
karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat
keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki. Pasangan kaki
pertama disebut cheliped (capit) yang berperan sebagai alat memegang dan
membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata
dalam menghadapi musuh, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih)
berfungsi sebagai kaki renang yang berpola poligon dan pasangan kaki selebihnya
sebagai kaki jalan). Pada dada terdapat organ pencernaan, organ reproduksi
(gonad pada betina dan testis pada jantan). Bagian tubuh (abdomen) melipat rapat
dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu bermuara saluran
pencernaan (dubur).

Pada kepiting betina, berdasarkan bentuk penutup abdomen terdapat 3 jenis


atau tipe meruncing dan triangular (V shape), tipe lebar dan globular (U shape),
dan tipe antara V dan U (intermediate V-U). Menurut Siahainenia (2008), kepiting
bakau memiliki warna karapas yang bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam
kecoklatan. Hal itu karena habitat alami hewan ini yang berada di kawasan
mangrove yang bertekstur tanah pasir berlumpur.Kepiting bakau jantan memiliki
sepasang capit yang dalam keadaan normal capit (cheliped) sebelah kanan lebih
besar dibandingkan capit sebelah kiri.

2.3 Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata)


Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan
terletak pada bagian bawah tubuh.Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut
berfungsi dalam memegang makanan dan memompakan air dari mulut ke
insang.Kepiting memiliki rangka luar yang keras, sehingga mulutnya tidak dapat
dibuka lebar.Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit
dalam memperoleh makanan.Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan
menggunakan capit, kemudian baru dimakan.
Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate),
mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda.Insang yang
terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat
dari luar.Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah karapas.
Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan karapas.

12
2.4 Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Habitat hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan
berkembang (nursery ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi
makanan dari kepiting bakau. Habitat alami kepiting bakau adalah daerah perairan
payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai yang banyak
ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di
wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih (Xylocarpus
sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang (Brugueira sp.),
tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.).

2.5 Siklus Hidup


Siklus hidup kepiting bakau (Scylla serrata) diawali dengan beruaya dari
perairan pantai menuju ke laut untuk memijah, lalu induk berusaha kembali ke
perairan pantai, muara sungai atau perairan di sekitar hutan bakau untuk
berlindung, mencari makanan dan membesarkan diri (Nontji, 2005). Reproduksi
kepiting terjadi di luar tubuh (eksternal), karena di dalam tubuh hewan ini
tersimpan telur-telur dan sperma dari induk jantan setelah kopulasi. Kemampuan
kepiting betina dalam menyimpan sperma cukup lama, sampai beberapa bulan.
Hal ini menyebabkan kepiting yang dipelihara di dalam keramba dapat bertelur
dengan sendirinya walaupun tidak dibuahi oleh induk jantan selama
pemeliharaan). Setelah telur dibuahi akan ditempatkan pada bagian bawah perut
(abdomen), berkembang dan akhirnya menetas (Prianto, 2007) (Gambar 2)

13
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Sihainenia, 2008)

Menurut Kanna (2002), ada 3 tahapan dalam perkembangan hidup kepiting


bakau yaitu :
a. Stadia Zoea
Merupakan stadia yang paling awal, waktu sekitar 18-20 hari. Stadia zoea
yang terdiri dari 5 tahapan :
1. Sub stadia zoea 1 : mempunyai warna transparan, panjang tubuh berukuran
1,15 mm.
2. Sub stadia zoea 2 : lebih aktif menangkap makanan, karena organ tubuhnya
makin berkembang, baik dalam hal ukuran maupun fungsinya, panjang
tubuh larva mencapai 1,51 mm.
3. Sub stadia zoea 3 : memiliki organ tubuh yang semakin lengkap, panjang
tubuh 1,93 mm.
4. Sub stadia zoea 4 : larva sudah semakin aktif, panjang tubuh 2,4 mm dan
terbentuk maxilleped 3 serta chelipeda bergerak.
5. Sub stadia zoea 5 : telah mampu secara efektif memangsa makanan yang
diberikan dan aktif berenang, karena telah memiliki pleopod yang sudah
cukup panjang dan periopoda, panjang tubuh 3,43 mm.

14
b. Stadia Megalopa
Kepiting bakau telah mampu menggigit yang dicirikan dengan tumbuhnya
gigi tajam pada bagian pinggir mandibula dan maxilliped 3 semakin sempurna.
Ciri morfologi lainnya adalah panjang karapaks 1,52 mm, panjang abdomen 1,87
mm, panjang tubuh total 4,1 mm.
c. Tadia Crab (Kepiting Muda)
Kepiting muda telah memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya
kepiting dewasa, namun ukurannya masih kecil.
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus
menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai
sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
masih memiliki bagian ekor yang panjang.Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai.Zoea
membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk
menjadi kepiting dewasa.
Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan
pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase
kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih
kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).

2.6 Pemijahan dan Perkembangan Telur Kepiting Bakau


Proses pemijahan telur dari kepiting bakau umumnya berlangsung
sepanjang tahun, akan tetapi ada perbedaan dari masa puncak bertelur pada setiap
perairan. Di seluruh perairan tropis di Indonesia, hewan ini melakukan pemijahan
sepanjang tahun, namun karena adanya perbedaan musim hujan dan musim
kemarau, puncak kegiatan memijah tidak sama untuk setiap tempat dan setiap
tahunnya. Proses pemijahan biasa dilakukan pada dasar perairan, di sekitar
kawasan hutan mangrove di pinggir pantai, akan tetapi pada saat tertentu kepiting
ini juga ada di sekitar tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian Kasry (1996)
dan Kanna (2002), kepiting bakau juga dapat dipijahkan di laboratorium dengan
masa inkubasi 12 hari, namun kelulushidupan (survival) larva hasil pemijahan di

15
laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur (gonad) merujuk
pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature) belum dapat dilihat
dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna
kuning keputihan.
Ketika telur matang sedang, ukuran gonad bertambah besar dan mengisi
hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung dan daerah dada, terlihat
berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya telur itu akan
berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).
Menurut Poovachiranon (1991) terdapat 4 tingkat kematangan gonad dari
induk kepiting, yaitu :
1. Tingkat I : gonad belum masak, terlihat tipis dan transparan, abdomen
berbentuk triangular dan terlihat menggembung pada kepiting betina yang
masih muda.
2. Tingkat II : menampakkan perkembangan gonad, telur berwarna putih krim
atau kekuningan dan menempati seperempat bagian dari area diantara
kelenjar digestiva.
3. Tingkat III : keadaan gonad masak, kantong telur membesar dan menempati
setengah atau lebih dari area kelenjar digestiva, gonad sudah berwarna
kuning atau orange.
4. Tingkat IV : menempel pada seminal reseptakel, gonad berwarna merah.

16
BAB III. KEADAAN UMUM LOKASI

3.1 Sejarah Berdirinya BBPBAP Jepara


Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dalam
perkembangannya sejak didirikan mengalami beberapa kali perubahan status dan
hierarki. Pada awal berdirinya tahun 1971, lembaga ini diberi nama Research
Center Udang (RCU) dan secara hierarki berada dibawah Badan Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. Sasaran utama lembaga ini
adalah meneliti siklus hidup udang dari telur hingga dewasa secara terkendali dan
dapat dibudidayakan di lingkungan tambak.
Research Center Udang (RCU) diubah namanya menjadi Balai Budidaya
Air Payau (BBAP) yang secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal
Perikanan-Departemen Pertanian tahun 1977. Pada periode ini, jenis komoditas
yang dikembangkan selain jenis udang juga jenis ikan bersirip, Echinodemata dan
moluska air. Momentum yang menjadi pendorong bagi perkembangan industri
udang secara nasional berawal dari keberhasilan yang diraih BBPBAP dalam
produksi benih udang secara massal, khususnya benih udang windu pada tahun
1978. Pada saat itu diawali dengan diterapkannya teknik pematangan gonad induk
udang dengan cara ablasi mata, sehingga salah satu kendala dalam penyediaan
induk matang telur sudah dapat teratasi.
Posisi BBPBAP masih dibawah Direktorat Jenderal Perikanan saat
terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan yaitu pada tahun 2000.
Akhirnya pada bulan Mei 2001, status BBPBAP ditingkatkan menjadi Eselon II
dengan nama Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau di bawah
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.

3.2 Keadaan Topografi dan Geografi


Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara terletak di
Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah terletak
di tepi pantai utara jawa tepatnya 110’ 39” BT dan 6 35’ 10”LS dengan tanjung
kecil berada di sebelah barat. Batas-batas BBPBAP Jepara adalah sebagai berikut:

17
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Desa Jobokuto
Sebelah Selatan : Pantai Kartini, Desa Kauman
Sebelah Barat : Pantai Kartini, Pulau Panjang
Jepara merupakan daerah tropis dengan musim hujan terjadi pada bulan
November-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober.
Suhu udara rata-rata berkisar 20-30 oC. Jenis tanah di lokasi Praktek Kerja Lapang
cenderung mengandung liat pada daratan danpasir pada pantainya, hal ini
menyebabkan tekstur tanah pertambakan di sekitar lokasi relatif bervariasi atau
cenderung liat berpasir. Dilihat dari topografinya letak BBPBAP cocok untuk
daerah pertambakan, karena letaknya di tepi pantai selain itu keadaan tanahnya
juga datar.

3.3 Visi dan Misi BBPBAP Jepara


 Visi
“Mewujudkan Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang Mandiri,
Maju, Kuat dan Berbasis Kepentingan Nasional”
 Misi
1. Kedaulatan;
2. Keberlanjutan;
3. Kesejahteraan.

3.4 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja


Berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor : 264/ Kpts. / OT / 210 / 94
tanggal 18 April 1994 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, maka BBPBAP Jepara merupakan
Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan di bidang budidaya air
payau, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal
Perikanan yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari secara administratif dibina
oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Tugas
dan tata kerja kegiatan tersebut dituangkan dalam bentuk Organisasi BBPBAP
Jepara dan Organisasi Bagian Proyek Pengembangan Air Payau Jepara.

18
Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
(BBPBAP) Jepara terdiri dari Bidang Pelayanan Teknik yang membawahi Seksi
Sarana Laboratorium dan Seksi Sarana lapangan, Bidang Standarisasi dan
Informasi yang membawahi Seksi Standardisasi dan Seksi Informasi, Bidang Tata
Usaha yang membawahi Sub Bagian Umum dan Sub Bagian Keuangan, serta
Kelompok Jabatan Fungsional yang membawahi Bagian Perekayasa, Litkayasa,
Pengawas Benih, Pengawas Budidaya, Pengawas Hama dan Penyakit Ikan,
Pranata Humas.
Tugas pejabat fungsional dibentuk dalam kelompok kegiatan perekayasaan,
yaitu Kelompok Kegiatan Laboratorium, Kelompok Kegiatan National Shrimp
Broodstock Centre (NSBC), Kelompok Kegiatan Fasilitas Internal Balai,
Kelompok Kegiatan Produksi Benih dan Ikan, Kelompok Kegiatan Diseminasi
Teknologi yang bertujuan untuk mempermudah koordinasi dan memperlancar
pelaksanaan. Sumberdaya manusia BBPBAP Jepara adalah sebanyak 165 orang,
terdiri atas 162 orang PNS, 2 orang CPNS dan 1 orang tenaga honorer.

19
STRUKTUR ORGANISASI BALAI BESAR PENGEMBANGAN
BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA

Kepala
BBPBAP
Kepala Bagian
Tata Usaha

Kepala Sub Kepala Sub


Bagian Bagian Umum
Keuangan

Kepala Bidang Kepala Bidang


Standarisasi dan Pelayanan Teknis
Informasi

Kepala Kepala Kepala Seksi Kepala Seksi


Seksi seksi Sarana Sarana
Standarisasi Informasi Laboratorium Lapangan

Pejabat
Fungsional

Gambar 3. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air


Payau Jepara. (sumber : BBPBAP Jepara)

3.5 Lokasi BBPBAP Jepara


Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara berlokasi di
Jalan Cik Lanang, Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupataen Jepara, Propinsi
Jawa Tengah. Letak geografis Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau
(BBPBAP) Jepara adalah 1100 39’ 11’’ BT dan 60 33’ LS. Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara terletak di Kelurahan Bulu dengan
batasbatas antara lain yaitu sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah
timur dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Demaan, sebelah utara dengan
Kelurahan Kauman.

20
Luas kompleks BBPBAP Jepara kurang lebih 64,5472 ha yang terdiri dari
kompleks balai seluas 10 ha dan tambak seluas 54,5472 ha. Kompleks balai terdiri
dari perkantoran, perumahan, asrama, unit pembenihan, unit pembesaran,
lapangan olahraga, auditorium, laboratorium (laboratorium pakan buatan dan
nutrisi, laboratorium pakan alami, laboratorium fisika-kimia, laboratorium hama
dan penyakit dan laboratorium manajemen kesehatan hewan akuatik). Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan sekitarnya merupakan
daerah beriklim tropis dengan musim hujan terjadi pada bulan November - Maret,
musim pancaroba terjadi pada bulan April - Juni dan musim kemarau terjadi pada
bulan Juli - Oktober.

3.6 Sarana dan Prasarana


Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dilengkapi
dengan berbagai sarana dan prasarana, antara lain sebaga i berikut :
1. 116 petak tambak
2. 116 unit bak pemuliaan induk udang windu, pembenihan udang windu,
udang vaname, kakap, bandeng dan nila.
3. Kantor pusat administrasi.
4. 6 unit gedung kantor staf teknis.
5. Laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan, kualitas air, nutrisi serta
laboratorium keliling .
6. Karantina.
7. Workshop.
8. Auditorium dengan kapasitas kurang lebih 500 orang dilengkapi 3 buah
ruang rapat dengan kapasitas170orang.
9. Perpustakaan .
10. Wisma tamu.
11. Asrama 26 kamar dengan kapasitas 80 orang.
12. Sarana olahraga.
13. Hotspot internet

21
BAB IV. METODELOGI DAN PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL)


Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan di instansi Balai Besar
Perikana Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 03
Januari – 08 Februari 2019.

4.2 Metode Praktek Kerja lapang (PKL)


Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL)
ini adalah metode survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual,
baik tentang instalasi sosial, ekonomi, atau politik suatu kelompok ataupun suatu
daerah (Nazir, 1988).

4.3 Sumber Data


Adapun sumber data yang dikumpulkan adalah sumber data primer dan
data sekunder.Menurut Nazir (1988) data primer adalah sumber-sumber dasar
yang merupakan bukti atau saksi dari kejadian yang lalu.Sedangkan data sekunder
adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang jaraknya
telah jauh dari sumber orisinal.

4.4 Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi Langsung
Teknik pengambilan data dengan cara pengamatan langsung bagaimana
kegiatan yang ada di Unit Pembenihan Kepiting Bakau Dan Rajungan
Di BBPBAP Jepara.
b. Interview / wawancara
Metode yang dilakukan secara aktif dalam seriap kegiatan kerja
lapangan, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara langsung
dari pihak-pihak terkait yang ada di Unit Pembenihan Kepiting Bakau
dan Rajungan Di BBPBAP Jepara.

22
c. Metode Partisipatif
Metode ini dilakukan dengan cara terlibat langsung pada kegiatan
pembenihan yang ada di Unit Pembenihan Kepiting Bakau dan
Rajungan Di BBPBAP Jepara.

23
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kegiatan Pembenihan Kepiting Bakau


5.1.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan
Pemeliharaan kepiting bakau ((Scylla serrata) dimulai dengan melakukan
persiapan wadah yang dibutuhkan selama pemeliharaan. Wadah yang dibutuhkan
selama pemeliharaan baik induk maupun larva yaitu bak fiber dan bak beton. Bak
yang telah digunakan harus dilakukan sterilisasi kembali menggunakan klorin.
Klorin yan digunakan yaitu kaporit (CaOCl2) dengan dosis 15 ppm. Kaporit ini
berfungsi untuk meminimalkan organisme, parasit atau pathogen yang ada.
Kaporit yang digunakan ada yang berwujud cair dan ada pula yang bubuk.
Sebelum digunakan kaporit bubuk dilarutkan dalam air terlebih dahulu kemudian
disiram merata pada media yang akan di bersihkan. Penyikatan bak dilakukan
setelah bak yang telah diberi kaporit didiamkan selama minimal 24 jam dan
disiram menggunakan air tawar.
5.1.2. Persiapan Air
Bak yang sudah dibersihkan kemudian diisi air dengan salinitas 28 ppt dari
campuran air laut dengan air tawar. Air dari laut di alirkan melalui pipa dan
dimasukkan kedalam tandon. Emudian didiamkan untuk diendapkan kotoran-
kotorannya sehingga terpisah. Air laut dari tandon, selanjutnya dialirkan menuju
bak-bak melalui pipa-pipa dengan di filter menggunakan filter bag.
Air laut yang ada sebelum digunakan untuk pemeliharaan terlebih dahulu
diklorinasi menggunakan kaporit dengan dosis 15 ppm. Menurut Setiawan et.al,
(2013) klorinasi bertujuan untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme
yang ada didalam air. Pemberian tambahan Natrium Thiosulfat juga dibutuhkan,
karena Natrium Thiosulfat digunakan untuk menetralkan kandungan klorin yan
ada di dalam air. Natrium Thiosulfat ini menggunakan dosis sebesar 5 ppm.
Setelah itu air siap siap untuk digunakan.

19
5.2 Pengelolaan Induk
5.2.1. Bak Pemeliharaan Induk
Dalam memperoleh hasil yang baik dalam proses pematangan induk
kepiting bakau (Scylla serrata), BBPBAP Jepara menggunakan bak konstruksi
semen dengan ukuran 5,6 x 4,5 x 1 m (25,2 m3), dilengkapi dengan sekat-sekat
pemeliharaan ukuran 65 x 65 cm dan substrat pasir sebagai tempat berlindung
bagi induk kepiting dengan ketebalan 10-15 cm, serta air laut dengan ketinggian
40-60 cm. Selain itu, bak pemeliharaan induk juga harus dilengkapi dengan aerasi,
1 batu aerasi untuk setiap sekatnya. Berikut bak pemeliharaan induk kepiting
bakau (Gambar 4).

Gambar 4. Bak Pemeliharaan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata)


Sumber : Dokumentasi Pribadi,2019
5.2.2. Seleksi Induk
Kegiatan teknik pembenihan dimulai dari perolehan calon induk kepiting.
Untuk pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata) yang ada di BBPBAP Jepara,
induk yang digunakan hanya induk betina saja, tanpa adanya perkawinan antara
jantan betina. Calon induk kepiting diperoleh dari pedagang sekitar balai atau bisa
juga diperoleh dengan memesan langsung pada nelayan. Ada juga yang di
datangkan dari Taraka (Kalimantan Timur). Induk yang digunakan adalah induk
yang sudah masuk TKG II atau TKG III. TKG induk dapat diketahui dengan cara
menekan bagian pangkal abdomen pada kepiting bakau (Scylla serrata) (gambar
5).

20
Gambar 5. Perkembangan gonad kepiting bakau
(Scylla serrata) Sumber : dokumentasi pribadi,2019

Dalam pemilihan induk, kesehatan calon induk harus benar-benar di


perhatikan. Induk yang dipilih adalah induk yang kulitnya bersih dari organisme
penempel, anggota tubuhnya lengkap dan tidak cacat, pastikan juga indukan
masih dalam keadaan hidup dan sehat saat di beli di nelayan atau dari pedagang
sekitar balai. Selanjutnya agar produksi benih bagus dan menghasilkan telur yang
banyak, kepiting betina harus dipilih berbobot 200 gram atau lebih, dengan lebar
karapas 10-15 cm.

5.2.3. Pakan dan Pengelolaan Kualitas Air Induk


Selama pemeliharaan induk berlangsung, pakan yang diberikan adalah
potongan cumi-cumi dan kerang darah. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan
oleh BBPBAP Jepara menunjukkan bahwa cumi-cumi dan kerang darah itu baik
untuk merangsang perkembangan gonad bagi binatang krustasea seperti udang,
dan kepiting. Selanjutnya berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu
pegawai unit pembenihan kepiting bakau selama praktek kerja lapangan di Jepara,
cumi-cumi dan kerang darah berfungsi untuk mengoptimalkan pembenihan.
Sebelum diberi makan pada indukkan cumi-cumi dibersihkan terlebih
dahulu bagian dalamnya dan juga kulit tipis dibagian luarnya. Setelah dibersihkan
lalu cumi-cumi di potong kecil-kecil, dicuci sampai bersih, dimasukkan kedalam
wadah (baskom) lalu di simpan didalam freezer untuk stok pakan dihari
selanjutnya. Sedangkan untuk kerang darah, sebelumnya kerang di cuci terlebih
dulu menggunakan air, setelah itu dipisahkan bagian dalam kerang dari
cangkangnya, di cuci sampai bersih, dan di masukkan dalam kantong plastik dan
di simpan dalam freezer untuk stok di hari selanjutnya.

21
Kemudian pada saat akan memberikan pakan pada indukan, cumi-cumi
atau kerang darah di keluarkan terlebih dahulu dari freezer beberapa saat
sebelumnya. Banyaknya pakan yang diberikan untuk induk adalah 5-10% dari
berat biomassa per harinya. Pakan sejumlah itu diberikan dua kali per-hari, yaitu
pada jam 06.00 pagi dan jam 16.00 sore. Sebelum diberikan pakan pada indukkan
lebih baik dicek terlebih dahulu apakah pakan masih tersisa atau tidak. Apabila
pakan masih tersisa banyak, maka pemberian pakan harus dikurangi. Sebaliknya
apabila pakan yang diberikan habis, pakan yang diberikan harus ditambah
(Gambar 6).

Gambar 6. Pakan Induk Kepiting Bakau (Scylla Serrata)


Sumber : Dokumentasi Pribadi,2019

Agar kualitas air pemeliharaan induk tetap terjaga, pergantian kolam


sangatlah sangatlah perlu dilakukan. Di BBPBAP Jepara, pergantian air kolam di
pemeliharaan induk dilakukan 100% selama 2-3 hari sekali dan pada saat ada
indukan baru yang dimasukkan kedalam kolam pemeliharaan dengan cara air
dibuang 100%, kemudian setelah itu di semprot dengan menggunakan air laut
untuk membersihkan kotoran dan sisa pakan di setiap sekat pemeliharaannya,
setelah bersih baru kolam diisi air kembali dengan ketinggian 40-60 cm.
Selain pergantian air, hal yang harus diperhatikan selama pemeliharaan
induk untuk menjaga kualitas air adalah pengontrolan kulaitas air. Pengontrolan
dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Parameter kualitas air yang di

22
ukur yaitu suhu, salinitas dan pH. pH dan suhu diukur menggunakan alat pH
meter, dan salinitas diukur menggunakan alat refractometer. Untuk menjaga
kearutan kualitas air, maka sebelum penggunaan alat kualitas air dilakukan
kalibrasi terlebih dahulu.

5.2.4. Pengeraman (Inkubasi) Induk dan Penetasan Telur Kepiting Bakau


Induk kepiting yang sudah masuk TKG III akan mengeluarkan telurnya.
Selanjutnya induk akan mengerami telurnya selama 7-10 hari sampai induk
memasuki tahap TKG IV atau sampai telur berubah warna dari orange, coklat
kemudian hitam.
Setelah telur kepiting berwarna hitam, kemudian induk dipindah ke dalam
bak pengeraman/penetasan dengan kepadatan 1 ekor/wadah dan di tunggu 1-2 hari
untuk telur menetas. Bak yang digunakan untuk penetasan adalah bak fiber bundar
ukuran 200-300 liter. Selama penetasan berlangsung, bagian atas bak fiber harus
diberi tutup karena pada saat proses penegeraman telur, induk lebih suka tempat
yang gelap dan biasanya telur kepiting akan menetas pada pagi hari. Selama induk
kepiting bakau berada dalam bak pengeraman/penetesan tidak diberikan pakan
sama sekali sampai saat penetasan telur dikarenakan pada fase ini biasasanya
induk kepiting melakukan puasa selain itu juga tidak diberikan pakan berfungsi
untuk menjaga kualitas air didalam bak penetasan (Gambar 7).

Gambar 7. Bak pengeraman kepiting bakau (Scylla serrata)


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2019

23
Setelah telur menetas induk langsung di angkat dan di pindahkan ke bak
induk. Lalu larva kepiting di pindahkan kedalam ember yang berukuran 10 liter.
Sebelum larva kepiting dipindahkan kedalam ember berukuran 10 liter, harus
dilakukan pengamatan terlebih dahulu yaitu caranya angkat aerasi yang ada
didalam bak fiber, lalu biarkan selama 10-15 menit, setelah itu lakukan
pengamatan. Larva yang baik dan sehat akan berenang kepermukaan karena
adanya cahaya matahari atau fototaksis positif. Sedangkan larva yang tidak sehat
atau mati akan mengeendap kedasar bak dan kemudian di shipon lalu dibuang.
Larva yang baik sudah dipindahkan kedalam ember selanjutnya dilakukan
sampling, metode yang digunakan yaitu sebagai berikut :
1. Zoe yang baru menetas dipindahkan ke dalam ember yang berukuran air
sebanyak 10 liter.
2. Kemudian diambil sample zoe menggunakan beakerglass sebanyak 200
ml pada sampel yang di ambil, kemudian pindahkan ke baskom yang
besisi air dengan volume 4 L dan dilakukan perhitungan secara manual
dengan bantuan handtalycounter.
3. Setelah dihitunh semua total sampel tadi kemudian dijumlahkan
keseluruhan sampel tersebut, dan untuk mengetahui berapa jumlah zoe
yang ditebar dalam 1 bak fiber maka total sampel yang telah dihitung tadi
di bagikan dengan jumlsh bak fiber yang digunakan, setelah itu barulah
diketahui berapa padat tebar dalam 1 bak fiber.
4. Setelah itu diketahui berapa total telur yang menetas kemudian larva
dimasukka kedalam bak pemeliharaan benih dengan kepadatan yang 60-
100 ekor/liter, kepiting yang baru menetas bisanya disebut zoe 1.
Berikut adalah rumus yang digunakan untuk perhitungan larva kepiting bakau :

𝑁
∑ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 = 𝑉 𝑥
𝑃
Diketahui :
∑ = jumlah larva yang dihasilkan
V = volume larva (L)
N = jumlah larva terhitung
P = volume pengambilan sampel (L)

24
Berikut ini adalah hasil perhitungan larva kepiting :
𝑁
∑ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 = 𝑉 𝑥
𝑃
2,225
= 20 L x 20 𝑚𝑙
2,225
= 20 L x 0,02 𝐿

= 20 L x 111,250
= 2.225,000,00

Selama hidupnya kepiting bakau mengalami molting atau proses


pergantian kulit, molting ini mulai terjadi dari saat menetas hingga sampai mati,
molting ini di akibatkan karena pertambahan bobot atau bertambahnya ukuran
tubuh individu tersebut. Semakin sering seekor kepiting melakukan molting maka
semakin baik ini berartu kepiting tersebut mengalami pertumbuhan yang bagus.
Pada saat pertama menetas hingga panen larva kepiting bakau memiliki
beberapa stadia sebagai berikut :
 Zoe 1 berlangsung dari pertama menetas hingga sampai hari ke 5
 Zoe 2 berlangsung selama 4 hari
 Zoe 3 berlangsung selama 4 hari
 Zoe 4 berlangsung 3 – 4 hari
 Zoe 5 berlangsung 4 – 5 hari
 Stadia megalopa ke stadia crab berlangsung 5 – 8 hari
Pada stadia crablet 1 dan seterusnya, dimana pada stadia crablet ini larva
kepiting bakau sudah menyerupai kepiting dewasa.

5.3 Pengelolaan dan Pengkulturan Pakan


Pakan merupakan aspek penting dalam pemeliharaan larva kepiting bakau
karena digunakan sebagai sumber energi untuk metabolisme tubuhnya. Pemberian
pakan pada larva kepiting terutama saat zoea harus benar-benar diperhatikan baik
dari kepadatan pakan, ukuran pakan dan kualitas pakan yang diberikan. Pakan
diberikan dengan frekuensi 6 kali sehari. Dalam kegiatan pemeliharaan larva
kepiting bakau di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
menggunakan kombinasi dua jenis pakan yaitu pakan alami (biofeed) dan pakan

25
buatan. Pakan alami berupa zooplankton spesies rotifer Branchionus sp dan
Artemia salina sedangkan pakan buatan berasal dari olahan pabrik.
A. Pakan Alami
1. Pengkulturan Artemia
Untuk pengkulturan artemia yang pertama sekali harus dilakukan adalah
persiapan wadah pengkulturan seperti biasa wadah yang sudah dicuci bersih di
pasang perlengkapan aerasi kemudian diisikan air laut. Sebelum dikultur terlebih
dahulu telur artemia atau kista artemia dilakukan dekapulasi.
Dekapulasi berfungsi agar telur artemia dapat menetas lebih cepat,
langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut :
a) Artemia dalam kemasan kaleng di buka dan di rendam dalam air tawar
selama 30 menit
b) Artemia ditiriskan dengan sringan mess size 150 mikro
c) Artemia kemudian dimasukkan ke dalam larutan kaporit 15 ppm dan
diaduk secara terus menerus dan dipertahankan pada kisaran suhu
maksimal 40○ C dengan menambahkan air sedikit demi sedikit
d) Kista artemia ditiriskan dan disiram air hingga berubah warna coklat
menjadi orange
e) Proses diatas dilakukan berulang-ukang sampai warna menjadi orange
f) Untuk menghilankan khlorin kista artemia direndam dengan larutan
natriumthiosulfat 5 ppm kemudian dibilas sampai bersih dengan
menggunakan air steril.
g) Hasil dekapulasi disimpan dalam lemari pendingin untuk dapat digunakan
secara berulang sesuai kebutuhan.
h) Kemudian telur artemia siap di kultur dengan cara diambil sesuai
kebutuhan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah pengkulturan.
i) Kultur dan panen artemia

26
Gambar 8. Dekapulasi artemia (Sumber : dokumentasi pribadi, 2019)

(2). Kultur dan Panen Chlorella sp


Bibit Chlorella sp diambil dari laboratorium kultur murni sebanyak 100
liter, kemudian bibit chlorella sp dimasukkan dalam wadah bak fiber berbentuk
persegi dengan volume 1 m3 dan diberi aerasi. Kemudian bibit Chlorella dalam
wadah ditambah air laut steril hingga volume 200 liter.Untuk pemberian pupuk
pada Chlorella diberikan dengan dosis urea 10 mg/L, ZA 10 mg/L, TSP 15 mg/L,
dan EDTA 5 mg/L pada hari ke-4 kultur kemudian ditambahkan kembali air steril,
pada hari ke-7 kultur ditambahkan air steril hingga 1 m3 dan pupuk dengan dosis
yang sama pula. Setelah hari ke-14 bibit Chlorella dipindahkan ke bak dengan
volume yang lebih besar untuk pengembangan secara massal. Untuk pemupukan
dan penambahan air pada kultur massal dilakukan setiap 3 – 5 hari sekali dengan
dosis pupuk yang sama pula. Selanjutnya bibit Chlorella dapat dikembangbiakkan
dan dapat dipanen secara berkala sebagai bakal starter makanan dalam kultur
rotifer Branchionus sp (Gambar 9).

27
(a) (b)

Gambar 9. (a) Kultur Chlorella sp pada bak fiberglass (b) bak beton

(3) Kultur dan Panen Branchionus sp


Bibit rotifer Branchionus sp diambil dari laboratorium kultur murni,
kemudian bibit rotifer Branchionus sp dimasukkan dalam bak kultur massal yang
sebelumnya sudah ditambahkan air steril dan Chlorella sp hingga volume 200
liter. Apabila rotifer Branchionus sp berkembang dapat dilihat dari media kultur
yang semula berwarna hijau berubah menjadi warna bening. Selanjutnya dapat
ditambahkan Chlorella sp sesuai kebutuhan dan dikembang biakan terus menerus
sesuai kebutuhan pula. Untuk pemanenan rotifer Branchionus sp dilakukan
dengan menggunakan saringan mesh size 150 mikron, kemudian hasil panen
ditampung dalam wadah ember dan siap diberikan pada larva kepiting. Sebelum
pakan Branchionus sp diberikan pada larva, dilakukan terlebih dahulu pengkayaan
dengan multivitamin dan oxy C untuk menambah kandungan nutrisinya.
Pemanenan biasanya dilakukan 2 jam sebelum pakan Branchionus sp diberikan.
Branchionus sp diberikan pada stadia zoea 1 – zoea 4 dengan kepadatan 10 – 15
individu/ml.

B. Pakan Buatan
Pemeliharaan benih kepiting selain diberikan pakan alami juga ditambah
dengan memberikan pakan buatan. Pemberian pakan dimaksudkan untuk
melengkapi nutrisi yang tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton
maupun zooplankton. Pada larva kepiting stadia zoea 1 hingga zoea 4 pakan
buatan yang diberikan berupa Fripack berukuran 150 mikron dengan dosis 0,3
ppm. Selanjutnya pada stadia megalopa pakan buatan yang diberikan berukuran

28
300 mikron dengan dosis pakan 1 ppm. Kemudian stadia crablet diberikan pakan
buatan yang berasal dari unit pabrik pembuatan pakan di BBPBAP Jepara
(Gambar. 10)
Pakan diberikan dengan frekuensi 6 kali sehari dengan jadwal dan dosis
sebagai berikut :
Table 1. Jadwal Dan Dosis Pakan Larva Kepiting Bakau
Stadia larva Frekuensi Kepadatan Kepadatan Pakan buatan
pemberian Branchionus sp Artemia salina (mg/L)
(kali/hari) (individu/ml) (individu/ml)
Zoea 1 6 10 – 15 - 0,3
Zoea 2 6 10 – 15 - 0,4
Zoea 3 6 10 – 15 0,5 – 3 0,5
Zoea 4 6 10 – 15 0,5 – 3 0,6
Zoea 5 6 10 – 15 0,5 – 3 0,7
Megalopa 6 - 3–5 1
Crablet 6 - - 1–2

(a) Artemia sp (b) Branchionus sp (c) Pakan buatan


Gambar 10. Macam – macam pakan larva kepiting bakau

5.4 Pengelolaan Kualitas Air


Pengelolaan kualitas air dengan baik dan menjaga biosecurity selama
pemeliharaan larva kepiting sangat penting agar diperoleh kelulushidupan crablet
yang tinggi (Havarasan et al., 2012). Pengelolaan kualitas air merupakan salah
satu upaya untuk menjaga serta mempertahankan kondisi air tetap dalam keadaan
yang optimal dimana sesuai dengan kebutuhan biota yang dipelihara. Kegiatan

29
pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan sangat penting, dimulai dari stadia
larva karena sangat rentan sekali terhadap perubahan dan kondisi hidupnya yaitu
air. Oleh sebab itu, kondisi air perlu dikontrol dan dipertahankan secara baik serta
optimal dimana harus sesuai dengan kebutuhan larva kepiting bakau. Kegiatan
pengelolaan kualitas air yang dilakukukan di unit pembenihan Kepiting –
Rajungan BBPBAP Jepara meliputi penggantian air setiap 2 – 3 hari sekali,
penyifonan, dan pengukuran kualitas air yaitu suhu, salinitas, pH, dan DO.
Table 2, Kisaran Kualitas Air Selama Pemeliharaan Larva
No Parameter Kisaran
1. Suhu (°C) 30°C – 34°C
2. Salinitas (%0) 28 – 35 ppt
3. Ph 8
4. DO (mg/L) 4 – 5,7
Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh selama pemeliharaan adalah
berkisar 30 °C – 34 °C dan 28 – 35 ppt. Menurut Jamal et al., (2013), pengaruh
fluktuasi suhu terhadap rendahnya kelulushidupan larva zoea dapat diminimalisir
yaitu dengan mempertahankan salinitas dan suhu yang optimum yaitu berkisar
antara 28 °C – 30 °C dan 31 ppt. Untuk mengontrol suhu agar tetap dalam kisaran
yang optimum ruangan pembenihan yang digunakan harus dalam keadaan tertutup
rapat sehingga tidak ada celah untuk udara dari luar ruangan biasa masuk dan
dilakukan pengukuran pada media air setiap pagi dan sore hari. Sedangkan untuk
salinitas juga diukur setiap pagi dan sore hari, apabila salinitas terlalu tinggi dapat
ditambahkan air tawar pada bak pemeliharaan larva kepiting. pH yang diperoleh
selama pemeliharaan berkisar antara 8. Menurut Siahanenia (2008), menyatakan
bahwa perariran yang kisaran pHnya 6,50 – 7,50 dikatakan perairan yang cukup
baik, sedangkan perairan yang kisaran pH 7,50 – 8,90 dikategorikan baik.
Sehingga dari hasil pH yang diperoleh dikategorikan baik untuk pemeliharaan
larva. Kisaran oksigen terlarut (DO) yang didapat berkisar 4 – 5,7 mg/L. Menurut
Purnamaningtyas dan Arman (2010), bahwa kebutuhan oksigen bagi kepiting
bakau adalah >4,0 mg/L, namun untuk kehidupan biota bentik oksigen terlarut 1
mg/L masih dapat ditoleransi. Untuk mempertahankan kualitas air pemeliharaan
dilakukan penggantian air yang mulai dilakukan pada stadia zoea – 3. Penggantian
air dilakukan 2 – 3hari sekali tergantung dari kondisi air pemeliharaan, yaitu

30
mengganti sebanyak 10 – 20% dari volume air total. Menurut Gunarto dkk,
(2004) untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan larva, dilakukan
penggantian air sebanyak 5 – 10 % setiap 2 – 3 hari, sedangkan suhu
dipertahankan pada kisaran 29 – 31 ppt.
Secara teknis penggantian air dilakukan dengan memasukkan selang
kedalam bak pemeliharaan, kemudian pada bagian yang di luar bak dipasang
saringan dengan mesh size 100 mikron untuk mencegah larva ikut terbuang
bersama air. Pengontrolan kondisi kualitas air dilakukan setiap hari dengan
mencatat suhu, salinitas, pH dan DO pada media pemeliharaan di pagi dan sore
hari.

5.5 Pencegahan Hama dan Penyakit


Selama kegiatan Praktek Kerja Lapang di BBPBAP Jepara tidak
ditemukan adanya hama dan penyakit yang menimbulkan masalah hingga
berakibat pada tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau. Berdasarkan data
sekunder didapat informasi untuk penyakit yang sering menyerang larva kepiting
bakau hampir sama dengan penyakit yang menyerang indukan yaitu ektoparasit
dan jamur. Salah satu jamur yang menyerang adalah jenis Aspergillus flavus.
Selama PKL pencegahan hama dan penyakit yang disebabkan oleh jamur dengan
cara dilakukan pengelolaan air media pemeliharaan yaitu melakukan penggantian
air sebanyak 20 – 30% setiap 2 hari sekali. Selain itu, pencegahan dilakukan
dengan penambahan EDTA yang berfungsi sebagai pengikat molekul air dan
meningkatkan suhu air media. Tindakan pencegahan juga dilakukan dengan
pemberian obat – obatan seperti antibiotik Erithromycin yang dilakukan setiap 3
hari sekali setelah pergantian air.

31
BAB VI . KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan Praktek Kerja Lapang yang dilakukan di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Teknik pembenihan kepiting bakau di BBPBAP Jepara dilakukan secara
alami. Teknik yang dilakukan meliputi persiapan sarana dan prasarana,
seleksi induk, pemeliharaan induk, pengeraman dan penetasan telur,
pemeliharaan larva, pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air;
2. Induk dengan gonad TKG III gonad berwarna kuning tua. Induk matang
gonad (TKG IV) gonad akan berwarna hitam ke abu abuan
3. Selama kegiatan pemeliharaan larva kepiting bakau belum menemukan
hambatan dan kendala yang terjadi.

6.2 Saran
Dalam pelaksanaan kegiatan pembenihan kepiting bakau, perlu adanya
penerapan biosecurity guna meminimalisir terkontaminasi penyakit dari luar
pembenihan. Untuk mencegah kerugian dalam peningkatan produksi benih
perlu dilakukan perawatan sarana, prasarana dan mengoptimalkan penyediaan
pakan maupun pengelolaan kualitas air.

32
DAFTAR PUSTAKA

Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine Resources Of
The Western Central Pacific Volume 2: Cephalopods, crustaceans,
holothurians and shark. Food And Agriculture Organization of the United
States. Roma.
Fujaya, Y. Aslamyah, St. Fujaya,L. Alam, Nur. 2012. Budidaya dan Bisnis
Kepiting Lunak. Brillian International. Surabaya. 2-16
Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015.
Life-history, movement, and Habitat use of Scylla serrata (Decapoda,
Portunidae): Current Knowledge and Future Challenges. Journal of
Hydrobiologia (2016) 763:5-21
Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014.
Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla olivacea
(Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular Malaysia. Asian
Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.
Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman
Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi
daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta.
428-473.
Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.

Jakarta. 93 hal
Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan
Ekonomis.ANDI.Yogyakarta.396 hlm.
Muskar YF. 2007. Mempersiapkan Kepiting menjadi Komoditas Andalan. Pusat
Informasi & Data PSDA Sulawesi.
Phelan M, M Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11.
Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and
Mines. Northern Territory Government of Australia, Darwin.

33
Prianto, E. 2007.Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove.Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai
Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Rusdi I., dan A. Hanafi, 2009. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Asal Hatchery di Lahan Mangrove. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali 2009
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat.Disertasi Program Pascasarjana
IPB. Bogor
Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau (Scylla serrata.)
Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat Di Kawasan Tambak Silvofishery,
Eretan Indramayu. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.

34
LAMPIRAN KEGIATAN

Persiapan wadah kultur pakan alam

Pengisian air laur pada bak larva proses pengenceran pakan buatan untuk larva
kepiting bakau

Proses
penyiponan pada bak larva wadah pengeraman induk kepiting bakau

35
Dekapulasi Artemai

36
pemberian pakan pada induk pengecekan kualitas air
kepiting bakau (Scylla serrata)

Pemberian pakan pada larva menghitung larva kepiting bakau yang


menetas

Bahan untuk pemupukkan chorells

37
38

Anda mungkin juga menyukai