Anda di halaman 1dari 36

BAB IV.

KEAADAAN UMUM LOKASI

4.1 Kondisi Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang


4.1.1 Sejarah Berdirinya Lokasi BBPBAP Jepara
Rentang sejarah BBPBAP Jepara dapat dikatakan dimulai pada tahun 1971,
diawali dengan berdirinya Lembaga Research Center Udang (RCU) yang secara
hierarkhi berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Departemen Pertanian. Sasaran utamanya adalah meneliti siklus hidup udang
windu (Penaeus monodon) dari proses kematangan telur (gonad), perkembangan
larva hingga dewasa secara terkendali untuk selanjutnya dibudidayakan di
tambak.
Pada tahun 1978 sesuai dengan Surat Keterangan Menteri Pertanian RI No:
306/Kpts/Org/5/1978 tentang susunan organisasi dan tata laksana balai, telah
diatur dan ditetapkan lembaga yang semula bernama Research Center Udang
menjadi Balai Budidaya Air Payau (BBAP). BBAP Jepara ini merupakan unit
pelaksana teknis (UPT) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen Pertanian. Pada periode ini BBAP Jepara telah berhasil menorehkan
prestasi gemilang yang menjadi pendorong bagi perkembangan industri udang
nasional. Keberhasilan tersebut diantaranya adalah penerapan teknik pematangan
gonad induk udang dengan cara ablasi mata yang dapat mengatasi kesulitan
penyediaan induk matang telur, yang pada masa itu merupakan masalah yang
serius. Selain keberhasilan dalam hal teknik ablasi mata, BBAP Jepara juga telah
berhasil melaksanakan penerapan teknologi pembenihan udang skala rumah
tangga (backyard hatchery), yang merupakan suatu bentuk usaha yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir di wilayah Indonesia.
Pada periode kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid, dibentuk
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan yang merupakan embrio dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan saat sekarang. Untuk meningkatkan peran
dan fungsi dalam pelaksanaan tugas-tugas serta beban kerja yang semakin
meningkat, pada tanggal 1 Mei 2001 Menteri Kelautan dan Perikanan
menerbitkan SK No. : 26C/MEN/2001 yang menetapkan lembaga ini menjadi
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara sebagai unit pelaksana
teknis di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada tanggal 3 Februari 2014, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Perikanan Budidaya Air Tawar, Perikanan Budidaya Air Payau dan
Perikanan Budidaya Laut disebutkan bahwa Balai Besar Perikanan Budidaya Air
Payau dalam hal ini Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
mempunyai tugas melaksanakan uji terap teknik dan kerjasama, pengelolaan
produksi, pengujian laboratorium (mutu pakan, residu, kesehatan ikan dan
lingkungan) serta bimbingan teknis perikanan budidaya air payau. Selain itu,
BBPBAP Jepara juga mempunyai tugas sebagai pusat induk unggul (broodstock
center) perikanan budidaya dan sebagai laboratorium acuan kesehatan ikan dan
lingkungan.

4.1.2 Letak Geografis dan Topografi Balai Besar Perikanan Budidaya Air
Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah
Lokasi BBPBAP Jepara terletak di Jalan Cik Lanang No 1, Desa Bulu,
Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah dan berada di tepi
pantai utara Jawa Tengah, tepatnya 1100 39’ 11” BT dan 60 35’ 10” LS dengan
tanjung kecil landai yang memiliki ketinggian 0 sampai dengan 0,5 meter dari
permukaan laut. BBPBAP Jepara berada di tepi pantai utara Jawa yang berbatasan
dengan beberapa wilayah yaitu bagian utara berbatasan dengan pantai utara Jawa,
bagian timur berbatasan dengan Desa Kauman, bagian selatan berbatasan dengan
Pantai Kartini dan bagian barat berbatasan dengan Pulau Panjang.
Kondisi perairan pantai berbatu dan berpasir dengan salinitas 26 – 35 ppt dan
suhu udara berkisar 20 – 300C. Jenis tanahnya lempung berpasir dan datarannya
cenderung liat. Beda pasang naik dan turun ± 1 meter, sehingga baik digunakan
untuk kegiatan budidaya. Luas areal BBPBAP Jepara yaitu seluas 64,547 Ha.
Dari jumlah lahan yang dimiliki oleh BBPBAP Jepara ini terdiri dari perkantoran,
perumahan dinas, asrama, masjid, unit pembenihan, lapangan olahraga,
auditorium dan labolatorium seluas dan 54,547 Ha lainnya digunakan sebagai area
pertambakan baik digunakan sebagai tambak beberapa spesies ikan, udang dan
rumput laut.
4.2 Organisasi dan Tenaga Kerja
4.2.1 Struktur Organisasi
Struktur organisasi BBPBAP Jepara berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. : 6/PERMEN-KP/2014 tanggal 3 Februari 2014
bahwa Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau merupakan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berada di bawah
naungan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, dan dipimpin oleh seorang Kepala Balai.
Kepala balai bertugas sebagai penanggung jawab penuh atas kinerja para pegawai.
Susunan organisasi BBPBAP Jepara terdiri dari beberapa bidang seperti
penjelasan masing-masing bidang kepegawaian seperti yang tercantum pada
penjelasan berikut ini:
1. Bidang Pengujian dan Dukungan Teknis
a. Seksi Dukungan Teknis
b. Seksi Produksi dan Pengujian
2. Bidang Uji Terap Teknik dan Kerjasama
a Seksi Uji Terap Teknik
b Seksi Kerjasama dan Informasi
3. Bagian Tata Usaha
a. Sub Bagian Keuangan dan Umum
b. Sub Bagian Kepegawaian
4. Kelompok Jabatan Fungsional
a. Perekayasa
b. Litkayasa
c. Pengawas Perikanan
d. Pustakawan
e. Pengawas Hama Penyakit Ikan
f. Arsiparis
g. Pranata Humas
h. Pranata Komputer
Berikut tersaji pula struktur organisasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air
Payau (BBPBAP) Jepara pada tahun 2016 dimana dari gambar dapat diperoleh
penjelasan bahwa seorang kepala balai memiliki wewenang dan tanggung jawab
khusus kepada seluruh pegawai yang berada di BBPBAP Jepara. Kepala balai
dalam melakukan segala tugas dibantu oleh semua jajaran pegawai sehingga
terciptalah kondisi kerja yang dinamis, sehingga dapat tercapai hasil yang
maksimal dalam melakukan tugas sebagai UPT Budidaya Air Payau. Struktur
organisasi Balai Besar Perikanan Air Payau (BBPBAP) Jepara seperti yang tertera
pada Gambar 1.

Kepala Balai

Bagian Tata Usaha

Sub Sub
Bag.Kepegawai Bag.Keuangan
an dan Umum

Bidang Uji Terap Teknik Bidang Pengujian dan


dan Kerjasama Dukungan Tekinis

Seksi Seksi
Uji Terap Teknik Dukungan
Teknis
Seksi Kelompok Jabatan
Kerjasama dan Fungsional Seksi Produksi
Informasi dan Pengujian

Gambar 1. Struktur organisasi BBPBAP Jepara Jawa Tengah

4.2.2 Ketenagakerjaan
Pada tahun 2016 jumlah pegawai BBPBAP Jepara sebanyak 167 orang yang
terdiri dari 138 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), 2 orang pegawai
diperbantukan dari Pusat Penyuluh SDM-KP serta 27 orang tenaga kontrak.
Sedangkan pengurangan pegawai sebanyak 2 orang dikarenakan pensiun. Berikut
tersaji rincian tenaga kerja yang berada di BBPBAP Jepara baik yang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) maupun tenaga kontrak yang terdaftar pada tahun 2017.
Rincian ini menjelaskan jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh BBPBAP Jepara
berdasarkan tingkat pendidikan maupun berdasarkan profesi masing-masing
pegawai. Rincian jumlah pegawai BBPBAP Jepara menurut tingkat pendidikan
tersaji pada Tabel 1 sedangkan kondidi pegawai BBPBAP Jepara berdasarkan
profesi pada tahun 2017 tersaji pada Tabel 2.
Tabel 1.Jumlah Pegawai BBPBAP Jepara Menurut Tingkat Pendidikan
dan Golongan Tahun 2017

Tingkat Pegawai Negeri Sipil Tenaga


No. Jumlah
Pendidikan IV III II I Honorer

1. Pasca Sarjana S-3 2 - - - - 2


2. Pasca Sarjana S-2 9 1 - - - 10
3. Sarjana S-1 & D IV 5 5 - - 1 51
4. Sarjana Muda/ D 3 - 6 2 - - 18
5. SLTA - 3 8 - 24 75
6. SLTP - - 5 - 1 6
7. SD - - 4 - 1 5
Jumlah 6 4 9 - 27 167

Tabel 2.Kondisi Pegawai BBPBAP Jepara Berdasarkan Profesi Tahun 2016


Pendidikan
No. Profesi Jumlah
S3 S2 S1/D4 D3 SLTA SLTP SD
1. Struktural
Kepala Balai - - 1 - - - - 1
Bagian Tata Usaha - - 3 - - - - 3
Bidang Uji Terap
- - 4 - 1 - - 5
Teknik & Kerjasama
Bidang Pengujian &
- - 3 - 2 - - 5
Dukungan Teknis
2. Fungsional Tertentu
Perekayasa 2 5 - - - - - 7
Litkayasa - - 2 2 1 - - 5
Pengawas dan PHPI - - 3 - - - - 4

Pranata Komputer - - - 1 - - - 1

Pranata Humas - - - - 1 - - 1
Pustakawan - - 1 - - - - 1
Arsiparis - - - 1 - - - 1
Penyuluh Perikanan - - 1 - 1 - - 2
Fungsional Umum - - - 4 41 5 4 4

4.3 Sarana dan Prasarana Pembenihan

BBPBAP Jepara memiliki beberapa sarana dan prasarana yang digunakan


dalam kegiatan pembenihan rajungan.Beberapa sarana dan prasarana tersebut
diantaranya meliputi fasilitas utama, sistem tata air dan sistem aerasi. Sedangkan
fasilitas pendukung terdiri dari gedung auditorium dan gedung tata usaha.

4.3.1 Sarana
Berlangsungnya kegiatan pembenihan dibutuhkan sarana sebagai elemen
penting dalam proses produksi. Sarana tersebut terdiri dari wadah/bak budidaya,
sumber energi, sistem tata air dan sistem aerasi. Keempat sistem tersebut harus
tersedia selama kegiatan pembenihan.
a. Sistem Penyediaan Listrik
Listrik merupakan sarana vital dan salah satu pendukung utama kegiatan utama
dibalai secara umum. Pembangkit listrik yang digunakan bersumber dari jaringan
Pembangkit Listrik Negara (PLN), daya yang terpasang sebesar 147 KVA dan
197 KVA dengan panjang jaringan 5000 m, 6 buah genset yang digunakan untuk
menanggulangi sewaktu-waktu aliran listrik PLN mengalami gangguan/padam.
Genset yang tersedia juga dilengkapi dengan alarm yang akan berbunyi secara
otomatis apabila listrik PLN padam. Tenaga listrik di BBPBAP Jepara digunakan
terutama untuk penerangan jalan, kantor, bagian pembenihan, bagian pembesaran,
laboratorium, perumahan dinas, asrama dan mushola. System penyediaan listrik di
BBPBAP Jepara tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem penyediaan listrik

b. Sistem Penyediaan Air Laut dan Tawar


Sistem tata air yang digunakan di BBPBAP Jepara meliputi air laut dan air
tawar.Air tawar dimanfaatkan untuk sterilisasi wadah dan menyeimbangkan
salinitas. Sedangkan air laut dimanfaatkan untuk media pemeliharaan induk,
pemeliharaan larva serta kultur pakan alami.
Air laut diambil dari laut Jepara yang berjarak 200 meter dari Balai
menggunakan pipa PVC 8 inchi yang langsung dihubungkan dengan pompa
electromotor berkapasitas 15 PK. Air laut langsung dialirkan ke tandon
pengendapan air laut yang berisi pasir kuarsa yang berfungsi sebagai penyaring,
kemudian air laut masuk ke dalam tandon pengendapan yang berisi pasir hitam
yang berfungsi sebagai penyaring lanjutan. Air laut selanjutnya difilter lagi
menggunakan preasure sand filter yaitu alat yang didalamnya terdapat pasir
kuarsa yang bertekanan tinggi, kemudian masuk ke dalam membrane
ultrafiltration filter yaitu alat yang berbentuk panjang didalamnya terdapat
membran yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Air laut selanjutnya masuk ke
dalam bak penampungan dan ditreatmen dengan menambahkan klorin dengan
dosis 10 ppm yang bertujuan untuk membersihkan air (mengikat partikel - partikel
yang ada di dalam air dan meningkatkan suhu). Kemudian diberi eritromisin
(antibiotik) dengan dosis 0 - 1,5 ppm yang berfungsi sebagai pembunuh bakteri
dan menghambat pertumbuhan virus, kemudian air dialirkan di setiap jaringan
pembenihan melalui pipa PVC 4 inchi dengan menggunakan pompa 7 PK.
Air tawar didapatkan dari air tanah yang dipompa dari sumur bor dan
ditampung dalam tandon penampungan air tawar. Jarak antara sumber air tawar
dengan pembenihan rajungan yaitu sekitar 100 meter. Berikut ini sarana sistem air
laut dan air tawar pembenihan rajungan tersaji pada Gambar 3.
(a) (b)

(c)
Gambar 3. Sistem penyediaan air tawar dan air laut (a) Tandon air tawar
(b) Tandon air laut (c) Sand filter
c. Sistem Aerasi
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian besar
organisme akuatik. Kandungan oksigen yang terlarut dalam lingkungan budidaya
di bak secara terkontrol sangat berperan penting dan harus disuplai secara teratur
kedalam bak pemeliharaan. Penggunaan aerator adalah cara yang paling umum
digunakan dalam suatu unit pembenihan.
Kebutuhan oksigen terlarut yang mencukupi dalam bak pemeliharaan induk
maupun bak pemeliharaan larva dan pakan alami juga tidak terlepas dari
perencanaan instalasi aerasi yang baik dan terkontrol. Suplai oksigen harus benar-
benar cukup dimana sesuai dengan kebutuhan biota-biota yang dipelihara.
Kebutuhan setiap biota berbeda-beda tergantung dari aktifitas dan kebiasaan
hidupnya, ada yang membutuhkan sedikit suplai oksigen namun ada juga yang
membutuhkan banyak oksigen dimana semakin berat dan semakin intensif
aktifitasnya semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan. Kebutuhan aerasi
dalam bak pemeliharaan tergantung dari ukuran yang digunakan dan seberapa
besar kekuatan aerator. Beberapa aerator yang dapat digunakan dalam suatu usaha
pembenihan adalah blower, kompresor dan aerator akuarium. Kompresor aeraor
akuarium jarang digunakan dalam usaha pembenihan karena menghasilkan
tekanan udara yang kecil. Sedangkan yang umum digunakan adalah blower.
Kebutuhan oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi budidaya khususnya
dalam pemeliharaan larva dan induk rajungan karena sedikit saja oksigen terlarut
kurang dari kebutuhan optimal maka akan sangat mempengaruhi kehidupan dari
induk dan larva rajungan yang dipelihara. Untuk memenuhi suplai kebutuhan
oksigen yang cukup dalam air, maka diberi penambahan blower sebagai sumber
oksigen. Berikut ini root blower yang merupakan sumber aerasi pada pembenihan
rajungan di BBPBAP Jepara yang tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4. Root blower


d. Konstrusi Bak/Wadah
Wadah yang digunakan dalam kegiatan pembenihan rajungan (P.
sanginolentus) di BBPBAP Jepara meliputi wadah tandon air laut dan air tawar,
wadah pemeliharaan induk dan larva yang terdiri dari 6 bak beton ditambah 1 bak
tandon air laut selain itu juga terdapat bak-bak fiber sebanyak 18 bak dengan
berbagai ukuran. Bak-bak fiber sering digunakan untuk memelihara larva dalam
jumlah yang tidak terlalu banyak sekaligus agar mudah dalam pengelolaan dan
perawatannya serta dapat pula digunakan sebagai tempat untuk kultur pakan alami
misalnya Chlorella sp. Untuk lebih lengkapnya tersaji pada Lampiran 3 mengenai
fasilitas wadah/bak pada pembenihan rajungan di BBPBAP Jepara.
● Bak induk
Bak induk rajungan di BBPBAP Jepara dibagi menjadi 2 komplek yaitu terdiri
dari bak pemeliharaan induk yang belum matang gonad dan bak induk yang
sudah matang gonad. Untuk bak induk yang belum matang gonad terbuat dari
beton berbentuk pesegi panjang dengan ukuran sebesar 4,4 x 2,5 x 0,6 meter yang
berkapasitas 6.600 L dan bak kedua untuk induk yang sudah matang gonad terbuat
dar fiber berkapsitas 200-250 L. Bak fiber berkapasitas 200 L ini digunakan untuk
memelihara induk yang sudah matang gonad dan siap untuk mengerami telur.
Berikut ini adalah bak pemeliharaan induk rajungan sebelum mencapai TKG III
tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5. Bak pemeliharaan induk sebelum TKG III

● Bak Pengeraman Telur


Wadah/bak inkubasi telur rajungan yang telah mencapai TKG III adalah
bak fiber yang berkapasitas 200 liter dan dilengkapi dengan satu titik aerasi. Bak
ini digunakan sebagai tempat melepas dan menetaskan telur induk rajungan.
Berikut bak penetasan telur yang tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6. Bak pengeraman induk


● Bak pemeliharaan larva
Bak pemeliharaan larva ini berfungsi sebagai wadah pemeliharaan larva
rajungan hingga berukuran pada stadia megalopa. Bak pemeliharaan larva yang
ada di BBPBAP Jepara terdapat 26 bak, 8 bak beton dan 18 bak fiber yang
berukuran dengan kedalaman rata-rata 0,5-1 meter yang berkapasitas 200-1000 L
untuk memelihara larva. Berikut ini gambar bak pemeliharaan larva yang tersaji
pada Gambar 7.
Gambar 7. Bak pemeliharaan larva

● Bak Kultur Pakan Alami


Pakan alami yang digunakan dalam pembenihan rajungan (P. sanginolentus)
yaitu branchionus sp. dan Artemia sp. Kultur pakan alami membutuhkan aerasi
untuk proses pengadukan supaya merata. Bak yang digunakan untuk kultur
branchionus sp. berukuran 6x1x1 meter dengan kapasitas 6 ton yang berjumlah 3
bak.
Pada kultur Artemia sp. menggunakan tangki yang berbentuk kerucut/ conicel
dengan kapasitas 50 liter. Pipa berbentuk kerucut dan terdapat kran dibagian
bawahnya, hal ini bertujuan agar artemia yang telah menetas dan terlepas dari
cangkangnya terkumpul dibagian bawah dipa, sehingga memudahkan pada saat
pemanenan Artemia sp. juga dapat dipanen dengan cara di saring menggunakan
selang kecil seperti yang dilakukan pada proses penyifonan. Bak kultur pakan
alami tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8. Bak kultur pakan alami


4.3.2 Prasarana
a. Jalan dan Transportasi
Lokasi PKL ini dekat dengan jalan raya yang cukup baik namun ada beberapa
jalan berlubang terutama menuju ke BBPBAP Jepara sehingga menjadikan
prasarana transportasi ini sedikit terganggu dan selain itu pula jalan tersebut juga
dijadikan sebagai jalan utama transportasi yang hendak kepelabuhan
penyeberangan dan tempat wisata di Pantai Kartini Jepara.
Kelancaran sarana transportasi sangat diperlukan untuk menuju lokasi balai,
karena transportasi diperlukan untuk pengangkutan benih dan induk rajungan (P.
sanginolentus), pakan dan pengangkutan hasil produksi untuk dilepas dialam.
Untuk memperlancar kegiatan pembenihan, maka diperlukan mobil dengan bak
yang terbuka (pick up) sebagai alat transportasi untuk mengangkut benih. Berikut
ini adalah gambar akses jalan menuju lokasi pembenihan rajungan yang tersaji
pada Gambar 9.

Gambar 9 a. Akses jalan menuju pembenihan rajungan b. Transportasi


di BBPBAP Jepara
b. Sistem Komunikasi
Prasarana komunikasi yang dipergunakan dalam BBPBAP Jepara ini sudah
dapat dikatakan maju, karena lokasi balai ini tidak jauh dari pusat kota Jepara dan
pelabuhan penyeberangan yang terdapat di pantai Kartini Jepara. Alat komunikasi
yang digunakan adalah telepon genggam (handphone) dan televisi serta
penggunaan internet untuk sumber informasi. Sumber komunikasi dan sistem
komunikasi di BBPBAP Jepara tersaji pada Gambar 10.
Gambar 10. Sistem komunikasi dan sumber informasi
c. Fasilitas Pendukung Lainnya
Fasilitas pendukung BBPBAP Jepara berfungsi untuk menunjang
keberlangsungan proses produksi. Fasilitas penunjang yang terdapat di BBPBAP
Jepara berupa bangunan produksi, bangunan umum dan alat transportasi. Salah
satu diantaranya kantor, auditorium, asrama pegawai (mess), asrama tamu,
laboratorium pakan alami, laboratorium hama dan penyakit, kantor utama kantor
tata usaha, rumah genset, serta perumahan karyawan dan mess tamu. Sedangkan
penunjang mobilitas transportasi, kendaraan yang dimiliki adalah pick up, truck,
elf dan bis. Sarana pendukung di BBPBAP Jepara tersaji pada Gambar 11.

(a) (b)
Gambar 11. Fasilitas pendukung (a) Gedung tata usaha (b)
Auditorium Alie Poernomo
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemeliharaan Induk

5.1.1 Persiapan Wadah Pemeliharaan


Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan induk pada pembenihan
rajungan (P. sanginolentus) ada dua jenis yaitu bak pemeliharaan induk rajungan
(P. sanginolentus) yang terbuat dari beton berbentuk persegi empat dan bak fiber
berkapasitas 200 L untuk pengeraman telur. Dasar bak beton diberikan substrat
pasir sebagai tempat berlindung bagi induk rajungan (P. sanginolentus) dengan
ketinggian pasir sekitar 10 cm. Bak ini berfungsi untuk memelihara induk
rajungan (P. sanginolentus) sebelum mencapai tahap TKG III, bak induk rajungan
sebelum mencapai tahap TKG III tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Bak pemeliharaan induk sebelum TKG III


Kemudian wadah yang kedua adalah tempat untuk pengeraman yaitu dengan
menggunakan bak fiber bundar yang berkapasitas 200 liter. Persiapan yang
dilakukan diawali dengan membuang air yang masih terdapat pada bak fiber,
kemudian dilakukan penyikatan untuk menghilangkan kerak hasil metabolisme
atau sisa pakan. Kemudian bak fiber dibilas dengan air bersih dan dilakukan
pembilasan terakhir menggunakan air kaporit sebesar 100 ppm sebagai disenfeksi
terhadap patogen. Selanjutnya dibilas dengan air hingga bersih dan sisa kaporit
hilang.
Setelah kegiatan pembersihan bak selesai, maka bisa dilanjutkan dengan
pengisian air laut yang telah melalui filterisasi sebelum masuk ke dalam bak
tandon. Langkah selanjutnya adalah melengkapi wadah pengeraman maupun bak
pemeliharaan dengan 1 titik aerasi lengkap dengan batu aerasi beserta
pemberatnya serta bak ditutup dengan anyaman bambu.Selanjutnya induk
rajungan (P. sanginolentus) yang mencapai TKG III dipindah pada wadah
pengeraman (inkubasi) dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Bak pengeraman/Inkubasi Induk


Bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk terbuat dari semen berbentuk
empat persegi panjang. Bagian dalam bak pemeliharaan induk sebaiknya
berwarna gelap. Penetasan telur dapat dilakukan dalam bak fiberglass yang
berbentuk kerucut dengan volume 300 – 500 liter (Kanna, 2002).

5.1.2 Seleksi Induk Rajungan


Rajungan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan di Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah jenis Portunus
sanginolentus. Induk yang digunakan hanya induk betina tanpa induk jantan. Cara
membedakan induk ranjungan jantan dan induk rajungan betina adalah dengan
melihat warna tubuh rajungan jantan adalah dasar biru dengan bercak putih
sedangkan induk betina berwarna dasar hijau kotor dengan bercak putih kotor,
ukuran rajungan jantan lebih besar dan berpigmen biru terang sedangkan yang
betina berwarna sedikit lebih coklat (Susanto, 2005).
Harga satu indukan rajungan (P. sanginolentus) berkisar antara Rp. 35.000,00
hingga Rp. 40.000,00. Induk rajungan dipilih dengan syarat aktif, tidak cacat,
bersih, tidak terdapat parasit serta yang telah bertelur (TKG III). Induk rajungan
yang dipilih adalah induk dengan massa telur yang padat dan bersih, seperti yang
tersaji pada Gambar 14.
Gambar 14.Induk rajungan TKG III
Pemilihan induk rajungan berdasarkan Standart Nasional Indonesia (SNI)
adalah bebas dari penyakit dan tidak cacat serta merupakan induk unggul hasil
pemuliaan atau domestikasi dan adanya kejelasan asal induk. Kemudian
berdasarkan pada parameter bobot dan panjang karapas ideal adalah 100-300
gram untuk bobot dan 10-15 cm untuk panjang karapas. Menurut Iromo et al.
(2012) Induk yang telah matang gonad berukuran lebar karapas > 90 mm dan
berat > 200 gr. Induk dikumpulkan dari nelayan yang memperoleh tangkapan
induk betina matang gonad pada setiap fase. Induk betina matang gonad tersebut
akan dipelihara hingga melepaskan telur.
Tingkat kematangan gonad pada rajungan tersaji pada Tabel 3 seperti dibawah
ini.
Tabel 3. Tingkat Kematangan Gonad Rajungan (Muhsoni, 2009)
TKG Betina Jantan
I Tidak ada gonad mikroskopik Tidak ada gonad mikroskopik
II Ovigerous berwarna pucat, Gonad tembus cahaya dan
kuning telur berwarna gelap, berwarna putih diameter outis
eyespot telur kelihatan berukuran 0,14 mm
III Ovigerous berwarna kuning Gonad berwarna kuning jeruk,
keabu-abuan, telur berkumpul, daerah hepatic tidak melebar,
eyespot telur terbentuk ooties 0,22-0,44 mm
IV Ovigerous dengan telur Gonad berwarna jeruk
berwarna kuning keabu-abuan terang/cerah memperpanjang
berkumpul, eyespot dan ke dalam daerah hepatic,
cromatophores dapat oocytes 0,22-0,40 mm.
dibedakan.

5.1.3 Manajemen Induk Rajungan (Portunus sanginolentus) Bertelur


Manajemen induk rajungan (P. sanginolentus) yang telah mencapai TKG III
dan siap mengerami telur adalah dengan pemindahan media pemeliharaan ke
dalam bak pengeraman. Wadah yang digunakan sebagai tempat pengeraman telur
berupa bak fiber yang berkapasitas 200 L. Bak pengeraman dilengkapi dengan
satu aerasi dan diberikan anyaman bambu jika induk sudah dimasukkan kedalam
bak pengeraman. Padat tebar yang diterapkan adalah 1 ekor/200 L. Induk rajungan
yang memasuki TKG III maka telur akan menetas setelah 7–9 hari berikutnya.
Indukan rajungan (P. sanginolentus) yang telah dibeli dari nelayan sekitar
Jepara terlebih dahulu diaklimatisasi dengan direndam dalam baskom air laut
steril. Kemudian induk dipindahkan ke bak beton sebagai bak pemeliharaan induk
sebelum mencapai TKG III tingkat akhir, selanjutnya induk dipindah ke bak fiber
indukan berkapasitas 200 L yang ditutup menggunakan anyaman bambu untuk
melalui proses pengeraman dan penetasan telur. Pengeraman telur induk rajungan
dari TKG III hingga menetas berlangsung sekitar 7-9 hari. Proses pengeraman
telur tertera Gambar 15.

Gambar 15. Induk rajungan yang sedang mengerami telur

Calon induk dapat berasal dari hasil penangkapan di tambak tradisional atau
perairan di pinggir pantai, atau dapat juga berasal dari penangkapan di laut. Induk
yang berasal dari laut biasanya terlihat lebih jernih dibandingkan dengan calon
induk dari tambak. Kesehatan calon induk juga harus diperhatikan, oleh karena itu
dipilih yang bersih, tidak berbercak atau mempunyai tanda-tanda penyakit pada
tubuhnya. Di samping itu calon induk dipilih yang mempunyai organ tubuh
lengkap. Induk rajungan yang digunakan adalah induk alam yang telah berisi telur
(Kordi, 2008).

5.1.4 Manajemen Pakan Induk Rajungan


Selama pemeliharaan induk rajungan yang belum matang telur diberi pakan
segar berupa cumi-cumi. Pakan cumi-cumi yang telah dibersihkan dan dipotong
kecil kurang lebih 5 cm dapat dipertahankan kesegarannya dengan cara
dimasukkan ke dalam plastik, dibagi untuk pakan setiap harinya 1 bungkus
plastik. Potongan cumi-cumi tersebut disimpan ke dalam freezer berukuran 2x1
m. Pakan disimpan dalam freezer sehingga pakan segar tersebut membeku, jadi
sebelum pakan diberikan terlebih dahulu direndam dalam air untuk mencairkan
pakan yang membeku tersebut. Pakan cumi-cumi segar dapat dilihat pada Gambar
16. Pakan diberikan 1 kali sehari yaitu pada sore hari. Pemberian pakan
ditebarkan secara perlahan dan merata di setiap sisi bak. Menurut Yusuf (2007),
hasil analisis protein terhadap cumi-cumi menunjukkan bahwa kandungan
proteinnya cukup tinggi yaitu 63,77%. Tersedianya kandungan protein yang
cukup tinggi memungkinkan tersedianya asam amino yang mencukupi.
Keunggulan komposisi kimia cumi-cumi adalah mengandung asam lemak
esensial yang lebih tinggi sehingga dapat mempercepat perkembangan gonad.

Gambar 16. Pakan induk rajungan

5.2 Pemijahan

BBPBAP Jepara tidak melakukan budidaya untuk induk rajungan jantan,


sehingga tidak melakukan sistem pemijahan. Karena induk betina rajungan yang
dipilih dan dibeli pada nelayan sudah membawa telur yang sudah matang. Induk
Rajungan (P. sanginolentus) yang dimiliki BBPBAP Jepara berjumlah total 5 ekor
induk betina yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di alam yang telah
matang telur dan diperoleh di sekitar perairan pantai di Jepara. Pemilihan induk
betina berkualitas unggul adalah dengan memperhatikan, juga ciri fisik sehat yang
dicirikan dengan gerakan aktif serta tubuh bebas dan bersih dari parasit, tidak
keropos baik karapas maupun organ lain, serta organ tubuh lengkap dan tidak
cacat. Kemudian berdasar pada parameter bobot dan panjang karapas yang ideal
untuk induk yang dapat digunakan adalah 150 – 250 g untuk bobot tubuhnya, 10 –
13 cm untuk lebar karapas dan 5-8 cm untuk panjang karapas rajungan. Dapat
pula dilihat dari ciri fisiknya.
Menurut Efrizal (2013), kondisi tingkat kematangan gonad (TKG) induk betina
rajungan dapat dilihat dengan cara menekan celah antara punggung kepiting dan
abdomen; bila kelihatan bewarna keputih -putihan berarti gonad (ovarium) induk
betina belum berkembang, sebaliknya bila bewarna kuning atau oranye berarti
gonad (ovarium) induk betina tersebut telah berkembang atau matang.

5.3 Penetasan Telur dan Perhitungan Larva

5.3.1 Penetasan Telur


TKG III telur rajungan terus mengalami perkembangan embrio, yaitu dari
tingkat perkembangan embrio I hingga tingkat VIII. Perkembangan embrio ini
dapat terlihat dari perubahan warna telur yang terjadi pada rajungan, yaitu kuning
tua, keabu-abuan, kehitam-hitaman seperti yang tersaji para Gambar 18,
kemudian telur akan menetas dan menjadi Zoea yang selanjutnya akan
berkembang. Rajungan yang telah melepaskan telurnya maka akan terlihat seakan
perutnya telah kosong karena telur telah dilepaskan.
Menurut Susanto et al. (2005), setelah induk menetaskan telurnya menjadi
Zoea 1 yang berarti status induk menjadi TKG IV atau disebut dengan fase salin
(spent), yaitu tingkat terakhir dimana seluruh telur menetas sehingga ruang di
bawah abdomen terlihat kosong. Induk rajungan yang telah menetaskan telur
selanjutnya akan dipindahkan ke bak pemeliharaan. Hasil pengamatan pengelolah
pembenihan rajungan BBPBAP Jepara menyebutkan bahwa telur rajungan
menetas pada pukul 20.00-24.00 WIB dan 06.00-08.00 WIB. Rajungan yang telah
menetaskan telurnya akan dipindah dari bak inkubasi (pengeraman) dan larva
rajungan akan dipindahkan ke dalam bak pemeliharaan larva yaitu bak fiber
berkapasitas 200 L.

Gambar 18 Perbedaan warna telur rajungan sebelum dan sesudah TKG III
5.3.2 Perhitungan Larva
Setelah telur menetas kemudian dilakukan perhitungan zoea dengan cara
sampling, yaitu dengan mengambil 2 kali larva secara acak menggunakan
beakerglass 100 ml, dan untuk memudahkan perhitungan larva maka
dipindahkan pada baskom yang berisi air dengan volume 4 L dan dilakukan
perhitungan secara manual dengan bantuan handtalycounter. Berikut adalah
rumus perhitungan larva:

𝑁
∑ larva = 𝑉 𝑥
𝑃

Diketahui :
Σ = jumlah larva yang dihasilkan
V = Volume bak (L)
N = jumlah larva terhitung (ekor)
P = volume pengambilan sampel (ml)

Berikut ini adalah hasil perhitungan larva rajungan yang baru menetas (zoea 1)
yang telah dilakukan dengan cara sampling, yang tersaji pada Tabel 4 dan gambar
perhitungan tersaji pada Gambar 19.
Tabel 4. Data Pemanenan Zoea dari 2 Induk Rajungan
No. Sampel Volume Sampel Jumlah Larva

1. 31 Juli 2017 20 ml 525.000 (1 induk)


2. 31 Juli 2017 40 ml 637.000 (1 induk)
Rerata 581.000 ekor

Contoh perhitungan larva (zoea 1) di hatchery rajungan BBPBAP Jepara yang


telah dilakukan pada saat pelaksanaan PKL tersaji pada Lampiran 7.
Gambar 19. Perhitungan sampel larva rajungan

5.4 Pemeliharaan Larva

Induk rajungan (P. sanginolentus) yang telah mencapai TKG III dengan ciri
telur berwarna kuning membutuhkan waktu selama 7-8 hari untuk menetaskan
telurnya. Stadia hidup larva rajungan mengalami 4 fase Zoea dan 1 fase
Megalopa. Pada stadia Zoea, larva rajungan membutuhkan waktu 7-8 hari (zoea 1
3 hari, zoea 2 2 hari, zoea 3 2 hari, zoea 4 2 hari) waktu pemeliharaan untuk
mencapai stadia Megalopa. Kemudian pada stadia Megalopa membutuhkan
waktu selama 2-3 hari untuk mencapai stadia Crablet, dan setelah 5-6 hari
kemudian saat mencapai stadia Crab yaitu benih (Baby Crab) sudah siap panen.
Keterlambatan perpindahan stadia disebabkan karena beberapa faktor, yaitu :
kepadatan terlalu tinggi, kualitas air kurang baik, serta pakan Branchionus sp yang
kurang. Kegiatan pemeliharaan larva rajungan di BBPBAP Jepara meliputi
persiapan wadah pemeliharaan induk dan larva, penebaran larva, pengontrolan
kualitas air, kultur pakan alami, pemberian pakan, pencegahan dan pemberantasan
hama penyakit, pemanenan serta pengiriman ke berbagai daerah seperti
Kabupaten Brebes, Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Demak.

Sebelum dilakukan pemeliharaan larva, harus dilakukan seleksi terhadap


kesehatan larva (zoea) yang akan dipelihara. Larva yang sehat ditandai dengan
berenang di kolam air dan bergerak ke arah permukaan air begitu menetas
menjadi Zoea 1, karena sesuai dengan sifatnya yang fototaksis positif yaitu
mendekati cahaya. Larva yang tidak sehat dicirikan dengan mengendap di dasar
permukaan bak, kemudian dibuang dengan cara penyifonan. Hal yang dilakukan
pada saat seleksi larva adalah pengangkatan aerasi dari bak inkubasi dan media
diputar sehingga larva yang tidak sehat akan mengendap didasar bak. Setelah itu
dilakukan penyifonan dan dilakukan perhitungan jumlah larva yang sehat dengan
menggunakan sampling, yaitu dengan mengambil 2 kali larva secara acak
menggunakan beaker glass 100 ml, dan untuk memudahkan perhitungan larva
maka dipindahkan pada baskom yang berisi air dengan volume 4 L dan dilakukan
perhitungan secara manual dengan bantuan handtaly counter.
Menurut Bond (2007), setelah telur rajungan menetas menjadi larva (Zoea 1)
maka seluruh larva sehat hasil panen dipindahkan ke bak-bak pemeliharaan larva.
Penebaran larva dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan lama terhadap
lingkungan baru (aklimatisasi) menjadi faktor penting yang harus diperhatikan.
Setelah penetasan dilakukan pada bak inkubasi larva yang baru menetas segera
dipindahkan pada bak pemeliharaan. Sewaktu melakukan pemindahan dari bak
inkubasi ke bak pemeliharaan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar larva
tidak stress dan mati. Penebaran sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari dengan
tujuan agar larva terhindar dari stress akibat suhu lingkungan dan media yang
tinggi. Kepadatan larva yang diterapkan di BBPBAP Jepara adalah 50-100
larva/L.

5.4.1 Persiapan Wadah Pemeliharaan


Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan benih rajungan (P.
sanginolentus) adalah bak fiber dan bak beton. Bak fiber dengan kapasitas 200 L
digunakan sebelum benih mencapai fase megalopa. Bak semen/beton dengan
kapasitas 6000 L digunakan setelah benih mencapai tahap megalopa dan
dipelihara hingga ukuran crab. Persiapan bak pemeliharaan larva yaitu terlebih
dahulu dibersihkan dengan menyikat dan membilasnya menggunakan air bersih
yang dilakukan sebelum larva menetas, serta mensterilkannya menggunakan
larutan kaporit 100 ppm dengan metode pembilasan dan mendiamkannya selama
24 jam. Selain itu, juga dilakukan sterilisasi pada selang-selang aerasi dengan
merendamnya dalam larutan kaporit 100 ppm selama 24 jam, setelah itu dilakukan
pembilasan dan pengeringan. Kemudian melakukan pemasangan selang aerasi
kembali ke dalam bak pemeliharaan dengan jarak antar aerasi 0,5 m, dan jarak
batu aerasi dengan dasar bak diatur pada jarak 3-5 cm.
Bak yang digunakan dalam pemeliharaan benih rajungan adalah 2 buah bak
semen volume 6 ton. Bak ditempatkan di ruang terbuka dengan atap dari kaca
agar mendapatkan cahaya yang cukup. Bak pemeliharaan benih dilengkapi dengan
sistem aerasi, jarak aerasinya adalah 0,5 m. Bak sebagian ditutup dengan terpal
yang berfungsi untuk menjaga kestabilan suhu dalam bak pemeliharaan (Tanti dan
Laksmi, 2010).
Masalah yang sering ditemukan dalam kegiatan pembenihan rajungan selama
pelaksanaan Praktek Kerja Lapang adalah sifat kanibalisme pada stadia megalopa
dan crablet khususnya pada saat moulting. Cara menghindarinya adalah dengan
menyediakan fasilitas pelindung (shelter) berupa waring serta menyediakan pakan
yang berkualitas dan cukup jumlahnya (Qory, 2009). Fungsi lain dari shelter
adalah memperluas permukaan, karena megalopa mulai menempel sehingga
menjadi media permukaan bagi megalopa. Shelter di pasang horizontal, dengan
pemberat di keempat ujungnya. Waring yang digunakan berukuran 0,5 x 0,5 m.
Berikut adalah bak pemeliharaan larva tersaji pada Gambar 21.

Gambar 21. Bak pemeliharaan larva (Crab)

5.4.2 Manajemen Pakan Larva


Pakan merupakan salah satu bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
makhluk hidup dalam bentuk energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas
sehari-hari, pemeliharaan, metabolisme tubuh dan reproduksi. Salah satu kendala
dalam melakukan pembenihan rajungan untuk mendapatkan kelangsungan hidup
yang tinggi adalah faktor ketersediaan pakan yang cukup. Pakan alami yang
diberikan selama stadia Zoea adalah Rotifer, Artemia dan Pakan buatan. Rotifer
diberikan dengan kepadatan 10-15 individu/ml mulai stadia zoea 1. Selain rotifer,
pakan buatan ukuran 150 µm dengan dosis 0,3 ppm. Memasuki stadia zoea 2,
naupli Artemia salina mulai diberikan dengan kepadatan 0,5-5 individu/ml
diberikan pada pagi hari. Pada stadia megalopa, pakan yang diberikan adalah
naupli Artemia salina dengan kepadatan 3-5 individu/liter pada pagi dan sore hari.
Untuk pakan buatan yang diberikan berukuran 200-300 µm dengan dosis pakan
buatan yang diberikan adalah 1 ppm. Pakan untuk stadia crablet dapat berupa
biomass artemia dan ikan rucah halus dan diberikan pagi dan sore hari disesuaikan
dengan kebutuhan crablet. Untuk stadia Crab, pakan yang diberikan adalah ikan
rucah yang diberikan pada pagi dan sore hari.
Menurut Tanti dan Laksmi (2010), pemeliharaan benih rajungan selain
diberikan pakan alami juga ditambah dengan memberikan pakan buatan.
Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk melengkapi nutrisi yang tidak
terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu
pakan buatan harus mudah diperoleh. Pakan buatan di berikan dengan harapan
dapat memenuhi kebutuhan nutrisi biota budidaya apabila keberadaan pakan alami
kurang.
Menurut Ruliaty et al, (2009), artemia merupakan pakan dengan kandungan
protein yang tinggi dan biasanya berupa cyst (telur) yang disimpan dalam kaleng.
Setelah 18-24 jam diinkubasi (ditetaskan) dalam air laut, telur artemia akan
menetas menjadi naupli yang dapat langsung diberikan pada larva sebagai pakan
alami. Pakan lain yang digunakan untuk masa pemeliharaan rajungan adalah
pakan beku berupa pakan buatan merk Frippak. Pakan tersebut diberikan pada
masa pemeliharaan megalopa sampai sebelum panen dengan dosis pakan yang
digunakan 5-7 gr. Frekuensi pemberian pakan dilakukan 2 kali/hari.

Gambar 22. Proses pemberian pakan pada larva rajungan

5.5 Kultur Pakan Alami Secara Massal


5.5.1 Kultur Chlorella sp
Kultur massal fitoplankton ini pertama-tama yang dilakukan adalah
membersihkan wadah kultur yang berupa bak beton berkapasitas 8 ton dengan
larutan kaporit 20 ppm. Dibersihkan hingga bau kaporit tidak tercium lagi, lalu
bak beton diisi dengan air laut yang telah mengalami beberapa kali penyaringan
melalui sand filter sebanyak 2/3 bagian dari volume bak. Pupuk yang telah
disiapkan yaitu berupa pupuk organik dengan formulasi pupuk UREA 70 ppm:
ZA 40 ppm, TSP 40 ppm, Na2EDTA 3 ppm, FeCl 1 ppm dilarutkan 1 liter air dan
dimasukkan kedalam bak beton serta diberi aerasi kuat hingga pupuk tercampur
merata. Pupuk yang sifatnya solid seperti urea terlebih dahulu ditumbuk agar lebih
cepat terakumulasi dalam air. Kemudian bibit Chlorella sp yang berasal dari skala
semi massal laboratorium pakan alami BBPBAP Jepara yang siap untuk
dikulturkan dimasukkan kedalam bak kultur. Kepadatan awal kultur sebanyak 3 –
5 106 sel/ml. Chlorella sp siap dipanen pada hari ke 8.

Gambar 23. Bak kultur massal Chlorella sp

5.5.2 Kultur Branchionus sp.


Kegiatan kultur massal zooplankton dimulai dengan melakukan kultur
fitoplankton (Chlorella sp) sebagai pakan zooplankton (Branchionus sp) secara
bertahap yaitu 1/3 dari kapasitas bak lalu dimasukkan benih rotifer dengan
kepadatan awal 10 ind/ml. Pada saat melakukan pengkulturan Branchionus sp.
ditambahkan vitamin B, vitamin B12, vitamin C dan taurin yang diperoleh dari
kemasan Extrajoss. Untuk taurin sendiri sudah sering diaplikasikan sebagai bahan
tambahan dalam pakan dan sudah pernah diuji cobakan pada beberapa spesies
ikan dan hasilnya menunjukkan bahwa penambahan taurin dapat meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan larva ikan Japanese flounder Paralichthys
olivaceus (Melianawati, 2012). Untuk bak berkapasitas 6000 L diberikan vitamin
masing-masing 2 butir serta 1 kemasan Extrajoss yang dicampur dan selanjutnya
ditebar pada bak pengkulturan. Rotifer dipanen pada hari ke 5 dengan
menggunakan Screen Net ukuran 20 mikron. Branchionus sp. yang telah dipanen
akan dilakukan pembersihan dengan cara disiram dan dicuci menggunakan air
bersih sehingga diperoleh Branchionus sp. yang baik sebelum diberikan pada
larva rajungan (P. sanginolentus). Bak kultur Branchionus sp. tersaji pada
Gambar 25.
Rotifer (Brachionus sp.) merupakan zooplankton yang biasa dipergunakan
sebagai pakan alami bagi beberapa jenis spesies ikan atau udang budidaya.
Brachionus sp. biasa diberikan pada bagi larva udang, ikan maupun rajungan.
Kelebihan dari zooplankton Branchionus sp. ini adalah memiliki toleran yang
baik terhadap perubahan lingkungan, tinggi dalam kemampuan bereproduksi,
mempunyai ukuran yang kecil (muda: 60-80 µ, dewasa: 130-320 µ,) dan
pergerakannya lambat, serta dapat dipelihara dengan kepadatan yang sangat tinggi
(2000 ind/ml). Secara alami sebagai zooplankton penyaring pakan alami dan
mudah dalam meningkatkan nilai nutrisinya (Bombeo, 2005).

Gambar 25. Gambar bak kultur massal Branchionus sp.

5.5.3 Penetasan Kista Artemia sp.


Artemia sp. adalah genus dari krustasea air yang dikenal sebagai udang air
garam. Artemia sp. satu-satunya genus dalam keluarga Artemiidae. Di alam,
artemia hidup di danau garam. Artemia sp. hampir tidak pernah ditemukan di laut
terbuka, kemungkinan besar karena kurangnya makanan .Artemia sp. dapat hidup
di air yang memiliki kandungan garam lebih atau jauh lebih sedikit dari air laut
normal. Artemia dapat mentolerir jumlah garam setinggi 50%, dan dapat hidup
selama beberapa hari dalam media yang berbeda dari air laut, misalnya pada
kalium permanganat.Warna Artemia sp. tergantung pada konsentrasi garam,
dengan konsentrasi tinggi warna Artemia sp. sedikit merah. Di air tawar, Artemia
sp. meninggal setelah sekitar satu jam.
Ada dua metode penetasan kista artemia yaitu dengan dekapsulasi dan non-
dekapsulasi. Penetasan kista artemia yang dilakukan pada hatchery rajungan di
BBPBAP Jepara yaitu dengan metode dekapsulasi.Metode dekapsulasi adalah
metode penetasan kista Artemia dengan melakukan proses penghilangan lapisan
luar (kista) / cangkang dengan menggunakan larutan kaporit (CaOCl) atau klorin
(NaOCl). Sedangkan metode nondekapsulasi adalah metode penetasan kista
Artemia tanpa melakukan proses penghilangan lapisan luar kista (tidak
menggunakan larutan kaporit (CaOCl) atau klorin (NaOCl) tetapi secara langsung
ditetaskan dalam wadah penetasan.
Kepadatan kista Artemia sp. dalam penetasan adalah 1,5 – 2 gr/L dalam media
penetasan. Media penetasan adalah air laut bersalinitas 30 – 35 ppt. Wadah
penetasan terbuat dari fiberglass berbentuk conical dengan dasar berkerucut yang
berkapasitas 50 L. Wadah penetasan artemia harus dilengkapi aerasi yang besar.
Kista artemia akan menetas setelah 18-24 jam dan kemudian naupli artemia dapat
dipanen untuk secepat mungkin diberikan kepada larva rajungan.

5.6 Pengontrolan Kualitas Air

Berdasarkan hasil dari Praktek Kerja Lapang di BBPBAP Jepara pada


pembenihan rajungan (P. sanginolentus) diperoleh kisaran parameter kualitas air
pada pemeliharaan larva yang telah dilakukan pengukuran pada saat pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang yang tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan
No. Parameter Kualitas Air Hasil Pengamatan / Hari
1 Suhu 28,0-33,0 0C
2 Salinitas 31,0-37,0 ppt
3 pH 7-8
4 DO 4

Lingkungan yang optimal pada media pemeliharaan sangat diperlukan untuk


menunjang proses pemeliharaan larva. Kegiatan pengelolaan kualitas air yang
berada di unit pembenihan rajungan BBPBAP Jepara meliputi penggantian air
setiap 2 hari sekali sebanyak 20-50%, penyifonan, dan pengukuran parameter
kualitas air yaitu suhu dan salinitas setiap pagi dan sore hari. Menurut Wulandari
et al., (2014), salah satu parameter kualitas air yang dapat menentukan
kelulushidupan rajungan adalah suhu dan salinitas perairan yang optimum yaitu
berkisar 300 C sampai 320 C dan 30 ppt sampai 34 ppt. Salinitas diukur setiap pagi
dan sore apabila salinitas terlalu tinggi ditambahkan air tawar pada bak
pemeliharaan.
Sementara itu untuk pengelolaan kualitas air pada bak pengeraman telur baik
yang di bak beton ataupun di bak fiber yaitu dengan cara mengganti air sebanyak
100% setiap harinya. Penggantian air dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-09.00
WIB dengan cara mengisi air di bak yang lain, selanjutnya induk rajungan di
pindahkan ke bak yang baru tersebut. Kemudian bak yang lama dibuang airnya
dengan cara dibuka outletnya. Menurut Ruliaty et al, (2009), penggantian air
pada bak pengeraman rajungan (P. sanginolentus) dilakukan setiap hari sebanyak
100%, dan selama masa pengeraman induk bertelur tidak diberi pakan
(pemuasaan).
Secara teknis pergantian air pada bak larva dilakukan dengan memasukkan
selang kedalam bak pemeliharaan dan pada bagian selang yang diluar dipasang
saringan dengan mess size 100 sebagai upaya untuk menghindari larva lolos
terbuang keluar. Pergantian air dilakukan dimulai saat stadia zoea 2 yaitu
sebanyak 10% per hari, kemudian meningkat sampai stadia megalopa menjadi
20%-50% per hari. Proses pergantian air pada larva tersaji pada Gambar 26.
Menurut Susanto et al, (2005), penggantian air sebanyak 20% setiap dua hari
sekali untuk bertujuan untuk menjaga kualitas air media
pemeliharaan. Penggantian air dapat menjaga tingkat kelarutan oksigen,
mengurangi kandungan bahan organik serta senyawa beracun lainnya.

Gambar 26. Proses pergantian air pada larva rajungan


5.7 Pengendalian Hama dan Penyakit

5.7.1 Pencegahan Hama Dan Penyakit Pada Indukan


Selama kegiatan Praktek Kerja Lapang pembenihan rajungan di BBPBAP
Jepara tidak ditemukan adanya hama dan penyakit yang menimbulkan masalah
hingga berakibat pada tingkat kelangsungan hidup induk rajungan. Berdasarkan
data sekunder diperoleh informasi bahwa penyakit yang sering menyerang induk
rajungan adalah jamur yang menempel pada karapas dan bagian tubuh
lainnya.Jamur yang menyerang adalah tergolong dari Aspergillus flavus.
Pencegahan hama dan penyakit pada induk hanya melakukan perendaman induk
rajungan (P. sanginolentus) pada baskom 4 L berisi air tawar selama 5 menit.
Selain itu pencegahan lainnya yaitu dengan pergantian air 100 % setiap harinya
yang dilakukan pada pagi hari.

5.7.2 Manajemen Hama dan Penyakit Larva Rajungan


Berdasarkan data sekunder didapat informasi untuk penyakit yang sering
menyerang larva rajungan hampir sama dengan penyakit yang juga menyerang
induk yaitu ektoparasit dan jamur. Salah satu jamur yang menyerang adalah jenis
Aspergillus flavus. Selama lapang pencegahan hama dan penyakit, dilakukan
pencegahan terhadap penyakit jamur dengan cara dilakukan pergantian air 2 hari
sekali sebanyak 30-50%. Pencegahan timbulnya hama dan penyakit pada rajungan
juga dilakukan dengan penambahan EDTA yang berfungsi sebagai pengikat
molekul air dan meningkatkan suhu yang diberikan pagi hari serta diberi
Eritromisin pada sore hari yang berfungsi sebagai antibiotik. EDTA dan
Eritomisin ditambahkan ke dalam media pemeliharaan ketika telah dilakukan
pergantian air.
Menurut Kanna (2002), pergantian air dapat dilakukan setelah menginjak zoea-
3, yaitu sebanyak 25%. Pergantian air dapat ditingkatkan menjadi 30% untuk
zoea-4 dan stadia megalopa ke atas.Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah
parasit maupun jamur menyerang larva.Pergantian air hendaknya diusahakan agar
tidak terjadi perubahan (fluktuasi) suhu dan salinitas yang terlalu tinggi.
Pergantian air pada larva dapat dilakukan dengan cara penyifonanseperti yang
tersaji pada Gambar 28.
Gambar 27. Proses penyifonan pada larva rajungan

5.7.3 Identifikasi Hama Dan Penyakit Pada Rajungan


Selama dilakukan kegiatan PKL tidak ditemukan adanya hama dan penyakit
yang menyerang dan membahayakan induk maupun larva rajungan. Berdasarkan
data sekunder cara yang dilakukan untuk mengidentifikasi hama dan penyakit
oleh pengelola hatchery rajungan di BBPBAP Jepara adalah dengan melihat
secara langsung apakah terdapat tanda-tanda adanya hama dan penyakit yang
menyerang rajungan yang dapat membahayakan kelulushidupan serta kegiatan
pembenihan rajungan. Tanda-tanda tersebut adalah timbulnya perubahan warna
pada media pemeliharaan dan timbulnya bau tidak sedap pada air dan dasar bak
pemeliharaan.

5.8 Pemanenan Benih

Tahap terakhir dari kegiatan pembenihan adalah pemanenan. Kegiatan


pemanenan dilakukan setelah rajungan sudah memasuki stadia Crablet. Crablet
yang telah mencapai ukuran lebar karapas (internal carapace width) mencapai 1,5
– 2 cm dengan usia pemeliharaan 21 hari. Tahap-tahap pemanenan benih rajungan
adalah pertama disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk kegiatan
pemanenan benih rajungan seperti bak, mangkok, hapa dan segala keperluan yang
dibutuhkan, kemudian dilakukan pengangkatan shelter dan aerasi yang berapa
pada bak/kolam pemeliharaan benih, setelah itu dipasang hapa di outlet dan
dilakukan penyiraman di dalam bak/kolam dan dikumpulkan dalam satu bak
setelah semua benih keluar dari bak pemeliharaan. Sebelum benih dimasukkan ke
dalam plastik packing benih terlebih dahulu di hitung agar kepadatan dalam
plastik tidak terlalu padat. Benih di masukkan ke wadah plastik yang telah diisi
oksigen dan suhu air diturunkan menjadi 200 C. benih rajungan di packing dalam
plastic kapasitas 5 liter. Satu kantong plastic diisi air 5 liter, diberi potongan
shelter, oksigen dan diisi crablet dengan kepadatan 200 – 250 individu/kantong.
Kantong plastic yang telah diisi crablet dimasukkan kedalam box styroform dan
ditambahkan es batu kedalam box yang akan digunakan untuk pengiriman. Es
batu tersebut dibungkus dengan kertas koran dan di atur dalam box styroform
hingga suhu berkisar 200C. Box styroform kemudian ditutup dan di plester rapat,
selanjutnya benih siap di transportasikan. Waktu pengangkutan hendaknya
dilakukan pada pagi atau sore hari, untuk menghindari perubahan suhu yang
ekstrim.

5.8 Hambatan

Pada pembenihan rajungan (P. sanginolentus) di BBPBAP Jepara,


hambatan yang sering dihadapi selama kegiatan pembenihan adalah sulitnya
mendapatkan induk unggul, hasil nilai SR yang masih relatif rendah serta sulitnya
proses pengkulturan pakan alami. Indukan rajungan di BBPBAP Jepara hanya
dibeli dari nelayan sekitar Jepara sehingga akan mengalami kesulitan dan
kegagalan dalamusaha pembenihan jika tidak cermat dan teliti dalam memilih
induk yang baik ketika pembelian karena terkadang terdapat induk rajungan yang
cacat atau capitnya tidak lengkap serta banyak pula induk yang lepas telur
sebelum TKG III (telur rontok) yang kemungkinan besar diakibatkan karena
induk mengalami stress selama perjalanan. Sementara itu, pakan alami yang
digunakan sebagai pakan larva diperoleh dari pengkulturan mandiri di hatchery
rajungan serta diperoleh dari kultur massal di laboratorium Pakan Hidup.
Terkadang pakan alami tersebut mengalami kontaminasi pada saat pengkulturan
sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan larva rajungan yang sedang
dipelihara.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang di Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara Jawa Tengah dapat ditarik
kesimpulan bahwa saya dapat memahami dan menguasai teknik pembenihan
rajungan (P. Sanginolentus) dengan melakukannya sendiri dari tahap awal hingga
tahap akhir kegiatan pembenihan.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk kegiatan pembenihan rajungan
(P.sanginolentus) yaitu dalam manajemen pemeliharaan larva harus diperhatikan
karena pada saat stadia ini, larva sangat rentan terhadap kondisi lingkungan.
Selain itu dalam perhitungan larva harus benar-benar diperhatikan dan teliti dalam
perhitungan karena telur yang dihitung cukup banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A., Efrizal, M.S. Kamarudin, dan C.R. Saad. 2006. Study of Fecundity,
Embriology and Larva Development of Blue Swimming Crab Portunus
pelagicus under Laboratory Conditions. Research Journal of Fisheries and
Hidrobiology, 1(1): 35-44.

Atar, H.H. and S. Secer. 2003. Width/length – Weight Relationship of Blue Crab
(Callinectus sapidus Rathbun 1896) Population Living in Beymelek
Lagoon Lake. Turk. J. Vet Amin. Sci. 27: 443-447.

Balai Perikanan Budidaya Air Payau. 2013. Teknologi Pembenihan Rajungan


(Portunus sanginolentus, Linnaeus 1758). Kementerian Kelautandan
Perikanan, Direktorat JenderalPerikanan Budidaya, Takalar.

Bombeo, R.F. 2005. Intensive Ritifer Culture. Seafdec AQD. Philippines.

Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals.Angus & Robertson, An


Inprint of harper colling Publishers.Australia, 324 pp.

Djaelani, A. R. 2013. Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif.


Majalah Ilmiah Pawiyatan. 20 (1) : 82-92.

Efrizal. 2013. Perkembang Gonad Induk Rajungan, Portunus sanginolentus


(Linnaeus, 1758), dengan Manipulasi Pakan Alami dan Buatan.
BioETI.45-51.

Hamdi, A.S dan E. Baharuddin.2014.Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi


dalam Pendidikan. Dee Publish. Yogyakarta.

Hermawan, A. 2005. Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif. PT. Grasindo.


Jakarta.
Husni., A. K. Hidayah dan Maskan. A. 2014. Analisis Finansial Usahatani Cabai
Rawit (Capsicum Frutescens L) di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan.
Jurnal Agrifor. 8 (1) : 49-52.

Iromo.H., N. Fariza, M,Amien. 2012. Konservasi Induk Betina Kepiting Bakau


Matang Gonad di Pulau Tarakan Kalimantan Timur. Prosiding
inSINnas.298-302.

Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya


Rajungan (Portunus sanginolentus). Jurnal Oseanografi LIPI 22: 1-12

Juwana, S dan Kasijan Romimohtarto. 2000. Rajungan, Perikanan, dan Cara


Budidaya. Djambatan, Jakarta.

Kementerian Perikanan dan Kelautan.2014. Laporan Kinerja Kemententerian


Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.

Kordi, K.M.G. 2008. Budidaya Kepitinng Dan Ikan Bandeng. Dahara Prize.:
Semarang.

Kordi, H. G. M. 2011. Marikultur – Prinsip dan Praktek Budi Daya Laut. Lily
Publisher, Yogyakarta.

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius.: Yogyakarta. 80 Hlm.

Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik


Pembenihannya. http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan
aspek biologi rajungan dalammenunjangteknik pembenihannya.(Akses 11
Juni 2010).

Melianawati, R. dan N. W. Widya Astuti. 2012. Penambahan Taurin Melalui


Rotifer Brachionus Rotundiformis Untuk Perbaikan Pertumbuhan Larva
Dan Peningkatan Produksi Benih Kerapu Sunu(Plectropomus Leopardus).
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali.

Muhsoni, F. F dan I. W. Abida. 2009. Analisis Potensi Rajungan (Portunus


Sanginolentus L.) Di Perairan Bangkalan- Madura. Jurnal Embryo. 6(2):
140-147.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. PT. LkiS Pelangi


Aksara.Yogyakarta.
Potter, I. C., P. J. Chrystal, and N. R. Loneragan. 1986. The Biology of The Blue
Manna Crab P.sanginolentus in anAustralian Estuary. Marine Biology
DalamKangas.M.I. 2000. Synopsisi Of Biology And Exploitation Of The
Blue Swimmer Crab, Portunus sanginolentus Linnaeus,In Western
Australia [Fisheries Research ReportNo.121]. Fisheries Western Australia,
Australia. 78:75-85
Rochima, E. 2014.Kajian Pemanfaatan Limbah Rajungan dan Aplikasinya untuk
Bahan Minuman Kesehatan Berbasis Kitosan.Jurnal Akuatika. 5 (1) : 71-
82.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang


Biota Laut. Djambatan, Jakarta.

Ruliaty, L. 2009. Teknik Produksi Benih Rajungan (Portunus sanginolentus)


Suatu Alternative Usaha Budidaya Perikanan. Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara.1-31.

Saputra, S. W. 2009. Buku Ajar Berbasis Riset Dinamika Populasi Ikan. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Sari, F. N. I. 2012.Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya


Rajungan (Portunussanginolentus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang,
Provinsi Banten [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor, 82 hlm.

Sumpton, W. D, M. A. Potter, and G. S. Smith. 1994. Reproduction and growth of


the commercial sand crab Portunus sanginolentus (L.) in Moreton Bay,
Queensland. Asian Fisheries Science 7: 103 - 113Svane, I. Dan Hopper,
G.E. 2004. Blue swimmer Crab (Portunussanginolentus) Fishery. Fishery
Assesment Report to PIRSA for the Blue Crab Fishery Management
Committee. South Australian Research and Development Institute
(Aquatic Science). Adelaide. RD. 03/0274-2.

Supartama, M., M. Antara dan R. A. Rauf.2013. Analisis Pendapatan dan


Kelayakan Usaha Tani Padi Sawah di Subak Baturiti Desa Balinggi
Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong.Agrotekbis. 1 (2) : 166-
172.

Susanto, B., I. Haryanti Dan Abdi. 2005. Teknologi pembenihan Rajungan


(Portunus sanginolentus). Pusat Riset Perikanan Budiaya. Jakarta.

Syahidah, D., B. Susanto, I. Setiadi. 2003. Percobaan Pemeliharaan Megalopa


Rajungan, Portunus sanginolentus Sampai Menjadi Rajungan Muda
(Crablet 1) Dengan Kisaran Salinitas Berbeda. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Gondol 2: 1-6.

Tanti, Yus., Laksmi, Sulwartiwi. 2010. Teknik Pemeliharaan Benih Rajungan


(Portunus sanginolentus). Jurnal Ilmiah perikananan dan kelautan.2 (I).

Yusuf, Z. 2007. Teknologi Pembenihan Ikan Laut Ekonomis. Modul Pelatihan.


Balai Budidaya Laut Batam. Kepulauan Riau.

Wandansari,N. D. 2013. Perlakuan Akuntansi Atas PPH Pasal 21 Pada PT. Artha
Prima Finance Kotamobagu.Jurnal EMBA. 1(3) : 568.
Widodo, J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.
GadjahMada University Press, Yogyakarta.

Wulandari, D. 2009. Keterkaitan Antara Kelimpahan Fitoplankton dengan


Parameter Fisika Kimia di Estuari Sungai Brantas (Porong), Jawa
Timur.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai