Didi: Pak Didi Ivan: Pemuda Karang Taruna Dewi: Tetangga Mbok Bar Hani: ibu-ibu sosialita Dina : Tukang Sayur Alfin: Teman Tegar Nazri : mahasiswa semester akhir Intan: Ibu Sosialita
(Terlepas dari semua yang kita dengar ; rombongan burung peking
yang berkicau, terikakan itik mencari induknya, teriknya sinar matahari menerobos lubang dari tembok kepang mbok bar perlahan menghangati cangkir cangkir kopi yang telah dingin oleh embun pagi. Obrolan dari ibu ibu sosialita menambah kehangatan suasana pada siang hari itu, istri yang sholehah tanpa emas di tubuhnya, namun sertifikat tanahnya satu lemari penuh. Tak hanya sampai disitu, keluh kesah Mas nazri sesosok mahasiswa akhir semester yang sering mengeluh-ngeluhkan uang sakunya yang selalu tidak cukup sampai akhir bulan ikut tertumpah dalam pahitnya malam ...) Nazri: “perasaan baru kemarin ibu mengirimkan uang bulanan kok sudah habis saja yah.” Ivan: “lah emang uang nya di pake buat apa aja sama Mas Nazri?” Nazri: “paling ya buat kebutuhan seperti biasa” Alfin: “kebutuhan “biasa” itu yang gimana mas?” Nazri: “ya buat beli jet pribadi, sertifikat tanah Ya gitu-gitu” Alfin: “ah.. Mas naszri bisa aja” Mbok: “kalian kesini mau ngobrol doang apa gimana?” Nazri: “Ehh iya mbok, pesen kopinya 3, masukin aja ke buku ajaib mbok bar seperti biasa”
(Kedai yang berdiri sejak 20 tahun lalu selalu saja menawarkan
kehangatan, bukan hangatnya kopi yang ia tawarkan, bukan hangatnya pisang goreng yang ia sajikan, bukan juga hangatnya tahu masak yang ia suguhkan. Lebih dari sekadar itu, silaturahmi antar pelanggan setia, serta tentu saja yang paling menarik di sini adalah goyang pinggul mbok bar...) Mbok Bar: “Mau kemana pak didi?” Alfin: “Sini pak mampir ngopi dulu” Pak didi: “Bolehh, tapi bayarin yaaa” Nazri: “Bisa diatur, mbok kopi satu lagi, tambahin aja ke buku ajaib” Alfin: “Mandinya aja pake uanga, beli kopi rp. 3000 minta dibayarin” Mbok Bar: “Ini dibuku sudah penuh sama namanya mas nazri doang” Nazri: “Iya engga papa lahh, tambaih satu lagi ini kopi buat pak sultan” Mbok Bar: “Iya udah iyaaa, tapi besok dibayar iyaaa” Nazri: “Aman mbok santaiiii” Ivan: “Jadi gini, saya ada sedikit unek-unek, kemaren saya ketemu sama anak kecil, jadi dia kesaya seperti tidak ada tata tramanya” Nazri: “Tidak ada tata kramanya gimana?” Ivan: “Iya seperti, dia menyapa saya tapi tidak dengan sebutan pak/mas, langsung manggil nama.” Alfin: “Anak sekarang memang seperti itu, beda dengan zaman kita- kita dulu, dulu kita nakal sedikit sapu sampai melayang” Mbok Bar: “Memang anak zaman sekarang rata-rata seperti itu semua” Pak Didi: “Dengar-dengar juga kemarin anakanya si pak sodrun melmempari tukang sayur yang biasa lewat komplek sini.” (Di tengah-tengah asyiknya obrolan, terdengar Sayup-sayup suara teriakan merdu dari jeng dina dengan membawa sayur segar di panggulan nya) Dina: “Sayurrrrrr, sayur-sayurrrrr” (Teriakan khas nan merdu dari jeng dina mengundang ibu-ibu yang memang sedari pagi menunggu kedatangan nya) Dewi,hani: “Buuu sayur buuuu” Alfin: “Nahhh kebetulan sekali bu dina lewat, kita tanya sama bu dina saja” Hani: “loh loh.. bentar bentar.. ada berita hangat apa ini? kok kayak nya saya ketinggalan.” Dewi: “lah jeng hani ini dari mana saja kok bisa bisanya ngga tau ada berita ramai begini.” Ivan: “Nahhh, saya coba tanya sama bu dina, Apa benar? Bu dina kemaren dilempari batu sama anak kecil?” Bu Dina: “Iya, kemaren anak pak itu memang melempari saya batu untung saja saya ahli silat jadi saya bisa menghindar menggunakan jurus-jurus saya.” Pak didi: “Apa mungkin karena disekolah tidak diajarkan tata trama seperti itu?” Hani: “Yaaa, mungkin seperti itu memang karakter anaknya” Nazri: “Bisa juga karena pergaulannya” Ivan: “Lohhh, jangan hanya menyalahkan sekolah pakkk, bisa juga karna dari kita sebagai orang tua memang kurang memperhatikan tikah laku dari anak kita masing-masing” Pak Didi: “benar juga sih mas memang peran orang tua sebagai pendidikan pertama sebahgai anak-anak sangat penting, tapi ya.. mas ivan tau sendiri la saya sendiri jarang sekali di rumah karna sibuh mengurusi sawah saya yang ber hektar-hektar.” Mbok bar: “pak didi ini uang nya banyak tapi pelit sekali untuk pemberadyaan anak sendiri, untuk anak sendiri saja pelit apa lagi untuk lingkungannya.” Dewi: “benar itu mbok, lihat saja pemuda dari lingkungan pak didi di tuntut untuk me ramaikan daerah nya namun dari pak didi sendiri tidak mensupport dalam bentuk apapun.” Pak Didi: “bukanya tidak mau memberikan support tapi memang tambah kesini bukan umur dan tenaga saja yang terkikis tapi isi dompet saya juga ikut terkisis hihihi (tertawa kecil) Nazri: “Bukanya uang pak didi itu ngga ada habisnya ya? hahaha.” Ivan: “sudah-sudah tidak usah saling memojokan, memang pendidikan yang berkualitas itu penting bagi anak kita tapi peran kita sebagai orang tua plus guru pertama anak kita juga tidak kalah penting.” Pak Didi: “NAH.. mas ivan ini pintar juga, ternyata mas ivan ini punya bakat terpendam kalo saya lihat-lihat, gimana kalo mas ivan jadi guru les anak saya? Tapi gratis ya? hehhe Semua: astaghfirullah hal’adzim(bersama sama) Ivan: “kalo begitu mending biar tetap terpendam saja bakat saya ini.” Nazri: “jadi menurut mas ivan bagaimana jalan keluar dari permasalahan ini?” Ivan: “Jadi gini, karena permasalahan ini sangat rumit dan complicated, maka harus diselesaikan oleh yang benar- benar paham. Jadi menurut jeng dina gimana ya?” Dina: “Lah kok tanya saya? Yo saya ndak tau loh, saya aja bingung ini nasib sayuran saya bagaimana” Hani: “Iya bener ngapain tanya Mas Tegar, yu dina aja masih bingung bagaimana cara untuk menghabiskan dagangan nya. Terus ini solusinya apa?” (sinar matahari yang awal berada tegak lurus dengan ubun-ubun semakin lama semakin dalam tak terlihat terhalang oleh dinding kepang kedai mbok bar, rombongan burung peking yang sedari tadi riang berkicaupun berbondong - bondong lari berpindah menuju arah australia nun jauh. Setumpukan winih yang dibawa pak Didi perlahan mulai layu oleh hawa hangat yang ditinggalkan dari teriknya surya) Pak Didi: “sudahlah berhubung sebentar lagi sudah mau adzan ashar saya mau pulang dulu keburu winih yang saya bawa layu.” Dina: “iya saya juga mau keliling lagi kelamaan ngobrol di sini saya kasian pelanggan-pelanggan saya yang lain sudah nungguin sayur-sayur segar saya.” Dewi,hani: “iya kami juga mau pulang dulu mau masak buat makan malam suami saya” Mbok bar: “ ini kalian bertiga ngga mau pulang juga? Pesan kopi masing masing segelas ngebon lagi, tapi ngobrolnya lama sekali.” Nazri: ya udah iya mbok kita pulang, ayo mas ivan mas alfin kita pulang udah di usir sama mbok bar kita.” (seketika suasana kedai mbok bar berubah menjadi hening, sepi, dan tak ada lagi keluh kesah yang disuarakan, Semua terdiam. Lantas apakah diam adalah solusi? Tentu saja bukan, dengan diam kita memiliki lebih banyak waktu untuk berfikir ; tentang bagaimana bertindak dengan kebijaksanaan. Semoga kedai Mbok bar menyadarkan kita semua tentang tidak ada pentingnya menggunjingkan Tetangga. Dan apapun yang anda lihat dan anda rasakan ketika melihat saya, itu semua hanyalah SAWANG SINAWANG..[] Kejabur, 14 Agustus 2022 SEKIAN DAN TERIMAKASIH