Anda di halaman 1dari 124

Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan

Pada Perusahaan Perkebunan Sawit Untuk


Meningkatkan Tarap Hidup Masyarakat
Di Provinsi Kalimantan Selatan

Ketua
Syahrida, S.H., M.H.
Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum
Dr. Ifrani, S.H. M.H.

Editor
Dr. Ifrani, S.H. M.H.

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


Desember 2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kami


panjatkan kehadirat Allah SWT, tas karunia-Nya Buku yang
berjudul “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada
Perusahaan Perkebunan Sawit“ akhirnya dapat
terselesaikan juga. Buku Ajar ini merupakan hasil luaran
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Tahun 2016 yang
dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Buku ini sangat membantu membantu mahasiswa
dalam mempelajari Hukum Perusahaan dan Hukum Investasi.
Perkembangan investasi di Indonesia sangat lah pesat,
khususnya di bidang agrobisnis perkebunan Kelapa Sawit.
Dengan perkembangannya investasi perkebunan kelapa
sawit, menimbulkan kewajiban oleh peraturan perundang-
undangan, bagi perusahaan kelapa sawit untuk melakukan
tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk masyarakat
sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan
Pasal 15 poin b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, “setiap penanaman modal

i
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan” dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, pada Pasal 74 ayat (1) “Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab, Sosial dan Lingkungan”. Berdasarkan
itulah Penulis meneliti seberapa besar pengaruh tanggung
jawab sosial dan lingkungan perkebunan kelapa sawit di
daerah, khususnya Kalimantan Selatan membawa
kesejahteraan bagi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan
kelapa sawit.
Akhir kata, semoga Buku ini bermanfaat bagi banyak
pihak, tidak hanya untuk mahasiswa tetapi bagi praktisi
hukum serta pengambil kebijakan di pemerintah daerah
Kabupaten, Kota dan Provinsi Kalimantan Selatan dalam
pengembangan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan, agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar. Terimakasih kami ucapkan kepada semua
pihak sehingga buku ini terwujud kehadapan pembaca,
terutama kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan
Ketua Lembanga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

ii
ULM, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu
per satu, sehingga buku ini dapat terselesaikan.

Banjarmasin, Desember 2019

Penulis,

Hj.Syahrida, S.H., M.H.


Prof. Abdul Halim B, S.H., M.Hum
Dr. Ifrani, S.H., M.H.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah.................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................... 10
2.1. Sejarah Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan .................................. 10
2.2. Makna dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Dewasa Ini17
2.3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan dalam Undang-Undang di
Indonesia. ...................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN .................................. 34
3.1. Tipe Penelitian .............................................. 34
3.2. Wilayah Studi................................................ 34
3.3. Teknik Tengumpulan Data............................ 37
3.4. Analisis data .................................................. 40
3.5. Keabsahan Data............................................. 42

i
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................... 44
4.1. Bentuk Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terhadap
Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar
Perusahaan Perkebunan Sawit yang Ada di
Provinsi Kalimantan Selatan. ........................ 44
4.2. Bentuk Kebijakan Yang Diterapkan
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan Terkait Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Dalam Meningkatkat
Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Perusahaan
Sawit. ............................................................ 90
BAB V KESIMPULAN................................................. 111
5.1. Kesimpulan ............................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 113

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Setiap negara dalam perkembangannya akan selalu
berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakatnya melalui pembangunan di berbagai bidang.
Bidang Ekonomi sebagai salah satu bidang yang sangat
penting dalam proses pembangunan sebuah negara menjadi
bidang yang sangat menentukan. Salah satu usaha yang selalu
dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin
investasi, khususnya asing masuk ke negaranya. 1 Bagi
Indonesia, masuknya modal asing bagi perekonomian
Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi
maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana
pembangunan perekonomian Indonesia melalui investasi
modal secara langsung sangat baik dibandingkan dengan

1
Ahmad Yulianto, “Peran Multilateral Investment Guarantee
Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol
22, No. 5, Tahun 2003, hlm. 39.

1
penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman dari
luar negeri.2
Kegiatan investasi khususnya perkebunan kelapa sawit,
baik di daerah maupun di pusat harus diakui mempunyai
dampak positif dan negatif. Satu sisi kegiatan investasi
memberikan pemasukan bagi negara serta membuka
lowongan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, di sisi lain
kegiatan investasi menimbulkan lahan perkebunan rakyat
menjadi lahan perkebunan perusahaan, tanah ulayat
masyarakat hukum adat menjadi lahan perkebunan
perusahaan sehingga rentan menimbulkan sengketa antara
pemilik penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan
kelapa sawit, berkurangnya kesuburan tanah dan pencemaran
lingkungan. Inilah yang kemudian melahirkan ide bahwa
sebuah korporasi tidak hanya mengambil keuntungan untuk
dirinya sendiri tetapi juga harus memberikan manfaat bagi
masyarakat serta lingkungan sekitar. Ide ini dikenal dengan
tangggung jawab sosial dan lingkungan (disingkat TJSL)

2
Yulianto Syahyu, “Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan
Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum”,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm. 46.

2
perusahaan atau lebih dikenal dengan corporate social
responsibility (CSR).
Namun pendapat berbeda diungkapkan Milton
Friedman, tujuan korporasi, menurutnya, hanyalah
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang
sahamnya. Jika korporasi memberikan sebagian
keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka
korporasi telah menyalahi kodratnya. 3 Joel Bahkan dalam
bukunya, The Corporation, apapun cara akan dipakai
korporasi untuk mencari laba setinggi-tingginya.4
Friedman menyimpulkan bahwa doktrin tanggung
jawab sosial dari bisnis merusak sistem ekonomi pasar bebas.
Doktrin ini juga bersifat ancaman terhadap masyarakat yang
bebas dan demokratis. Kemudian Friedman menyatakan,

3
Milton Friedman adalah profesor emeritus dari Universitas
Chicago dan pemenang hadiah Nobel bagian ekonomi pada tahun
1976. Milton Friedman adalah pelopor utama dari neoliberalisme,
aliran dalam ekonomi yang ingin sedapat mungkin menerapkan pemikiran
liberalisme klasik (Adam Smith) pada abad ke - 20. Milton Friedman
telah merumuskan pandangannya tentang tanggung jawab sosial
perusahaan dalam bukunya, Capitalism and Freedom (1962), tetapi
yang menjadi terkenal dalam konteks ini adalah tulisannya yang dimuat
dalam New York Times Magazine, 13 September 1970, dengan judul The
social responsibility of is to increase its profits.
4
Siti Maemunah, Negara Lemah, CSR Menguat, Forum
Keadilan No. 22, tanggal 23 September 2007, hlm. 46.

3
yang dikutip dari bukunya Capitalism and Freedom, bahwa
dalam masyarakat bebas : “terdapat hanya satu tanggung
jawab sosial untuk bisnis, yakni memanfaatkan sumber
daya alam dan melibatkan diri dalam kegiatan - kegiatan
yang bertujuan meningkatkan keuntungannya, selama hal itu
sebatas aturan-aturan main, artinya, melibatkan diri dalam
kompetisi yang terbuka dan bebas tanpa penipuan dan
kecurangan.”5 bisnis dari bisnis hanyalah bisnis (the business
of business is business). Tanggung jawab sosial hanya ada
pada individu dan tidak melekat pada perusahaan sebab
tanggung jawab perusahaan adalah menghasilkan keuntungan
yang sebesar - besarnya bagi pemegang saham.6
Namun jika dipandang dari segi moral hakikat manusia
maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa
tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya memiliki
tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang
saham shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada

5
K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis, Seri Filsafat Atmajaya.
Kanisius : Yogyakarta, 2000, hlm.294.
6
Sri Hartati Samhadi, Etika Sosial Perusahaan
Multinasional, Harian Kompas, tanggal 4 Agustus 2007.

4
stakeholders pada umumnya.7 Perusahaan sesungguhnya
tidak hanya memiliki sisi tanggung jawab ekonomis
kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh
profit dan menaikkan harga saham atau tanggung jawab
legal kepada pemerintah, seperti membayar pajak,
memenuhi persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan), dan ketentuan lainnya. Namun, jika
perusahaan ingin eksis dan akseptabel, harus disertakan
pula tanggung jawab yang bersifat sosial.8
Di Indonesia, awalnya wacana tanggung jawab sosial
perusahaan ini masih bersifat sukarela dan belum ada
pengaturannya melalui produk perundang-undangan atau
hukum perusahaan. Bahkan Undang - Undang Perseroan
Terbatas yang lama yaitu UU Nomor 1 tahun 1995
sebagai payung Hukum Perseroan belum mengatur
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Namun
setelah tanggal 16 Agustus 2007, tanggung jawab sosial
perusahaan di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 40

7
Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, CV. Alfabeta,
Bandung, 2007, hlm. 28.
8
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho
Publishing, Gresik, 2007, hlm. xxiii.

5
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan
UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bahwa
tanggung jawab sosial perusahaan yang dikenal dalam
Undang - undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal
1 ayat (3) yang berbunyi : ”Tanggung jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan
serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Bahkan tanggung jawab sosial perusahaan dan
lingkungan (TJSL) ini merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan bagi perseroan yang kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
karena telah disertai dengan sanksi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 74 Undang - undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Selain diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, tanggung jawab sosial perusahaan juga
diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal Asing dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

6
2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perseroan Terbatas. Namun perlu diakui bahwa pengaturan
tanggung jawab sosial perusahaan yang terdapat dalam uu
tersebut belum mampu mendorong pelaksanaan TJSL
Perseroan dilapangan. Apalagi dalam UU tersebut hal yang
diatur masih terbatas. Hanya berkaitan dengan hal tertentu
saja. Padahal CSR tidak saja berkaitan dengan tanggung
jawab perusahaan tehadap lingkungan dalam arti sempit,
namun juga dalam arti luas seperti tanggung jawab
perusahaan terhadap pendidikan, perekonomian, dan
kesejahteraan rakyat sekitar. Hal ini di atas tentunya menjadi
sebuah pelajaran yang berharga untuk segera dicari jalan
keluarnya. Oleh karena itu membuat regulasi mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan merupakan jalan terbaik.
Regulasi yang dimaksud adalah dengan membuat produk
hukum (UU) yang akan mengatur secara tegas, jelas, dan
komprehensif mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.
UU ini dibutuhkan agar tanggung jawab sosial perusahaan
dilaksanakan oleh semua perusahaan dan memberikan
manfaat nyata bagi semua stakeholder yang ada.

7
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan selama
ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen
perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap
perusahaan tidak sama dan sangat tergantung sekali kepada
kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan kepada
kesadaran dan komiteman perusahaan mempunyai beberapa
kelemahan. Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya
sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan. Kondisi ini tidak akan
mendorong pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan di
Indonesia. Selama ini juga, bagi perusahaan yang
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan tidak
memilki arah yang jelas. Padahal ada banyak sekali manfaat
yang diperoleh apabila tanggung jawab sosial perusahaan
dilaksanakan dengan aturan dan arahan yang jelas.
Di Kalimantan Selatan, terdapat banyak perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang berdiri dan beroperasi. Hal ini
tentu menjadi salah satu nilai tambah bagi daerah khususnya
terhadap perkembangan ekonomi daerah. Namun harus juga
diakui bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut

8
seharusnya bukan hanya memberikan keuntungan secara
finansial bagi daerah tetapi juga memberikan kemajuan bagi
masyarakat sekitar melalui kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaannya. Selama ini perusahaan-perusahaan tersebut
belum memaksimalkan pelaksanaan tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai bagian dari nilai moral perusahaan
terhadap masyarakat. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian
lebih dari daerah karena daerah mempunyai kewenangan
untuk membuat aturan sesuai dengan kewenangan
otonominya.

1.2. Rumusan Masalah


Berangkat dari kenyataan tersebut, maka Peneliti
mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan terhadap peningkatan taraf
hidup masyarakat sekitar perusahaan perkebunan sawit
yang ada di Kalimantan Selatan?
2. Bagaimana bentuk kebijakan yang harus diterapkan
pemerintah daerah Kalimantan Selatan terkait tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam

9
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar
perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan


Perseroan
Struktur TJSL Perseroan dalam sebuah korporasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama teori korporasi
yang dianut, budaya, dan sistem hukum yang berlaku.
Beberapa teori mengenai korporasi telah dikembangkan
selama ini, di antaranya yang paling terkemuka adalah
agency theory dan stewardship theory. Teori-teori ini
merupakan turunan dari beberapa teori di atasnya, yang
berkembang sejalan dengan perkembangan korporasi dari
waktu ke waktu. Teori-teori ini dapat membantu untuk
memahami berbagai model dan karakter interaksi antara

10
fungsi pengawasan, pengelolaan, dan kepemilikan dalam
suatu korporasi.9
Teori yang merupakan induk teori dari teori korporasi
yang berkembang dari waktu ke waktu adalah equity theory.
Teori ini merupakan teori korporasi yang menjadi landasan
dari berbagai teori korporasi yang ada. Teori ini pada intinya
menjelaskan tentang model hubungan antara perusahaan dan
pemilik. Teori ini lahir pada saat timbulnya revolusi industri
di Inggris. Sejak timbulnya revolusi industri pada awal abad
ke-19, perkembangan dunia industri melaju sangat pesat baik
dalam hal teknologi maupun sistem manajemennya. Pada
awalnya, bisnis hanya melibatkan individu tertentu sebagai
pengelola sekaligus pemilik bisnis. Pada tahap yang masih
sangat sederhana ini, belum banyak benturan kepentingan.
Hubungan yang ada baru sebatas hubungan antara karyawan
(employees) dengan pemilik (owners), yaitu pemilik yang
sekaligus bertindak sebagai pengelola. Pemilik menguasai

9
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini. 2004. Komisaris
Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan. Jakarta : Penerbit
PT Indeks, hlm. 3.

11
dan memiliki perusahaan serta bertanggung jawab terhadap
keseluruhan aktivitas perusahaan.10
Konsep-konsep tentang hak kepemilikan (equalities)
terus tumbuh dan berubah seiring laju pertumbuhan industri
barang dan jasa serta perkembangan aspek-aspek sosial
budaya yang semakin kompleks hingga melahirkan turunan
teori-teori kepemilikan yang ada saat ini. Salah satu turunan
teori adalah entity theory dan agency theory:11
Entity theory ini mengasumsikan terjadinya pemisahan
antara kepentingan pribadi pemilik ekuitas (owners) dengan
entitas bisnisnya (perusahaan). Pendekatan ini kemudian
yang paling banyak dirujuk oleh praktik-praktik bisnis secara
umum.
Dalam teori ini, sebuah entitas bisnis menjadi suatu
bentuk personifikasi yang memiliki karakter tersendiri dan
sama sekali tidak identik dengan pemilik. Bahkan suatu
perusahaan dianggap memiliki eksistensi tersendiri yang
lepas dari interaksi langsung dengan pemiliknya. Pemilik
ekuitas, kreditur dan pemegang saham memiliki hak yang

10
Ibid
11
Ibid, hlm 3-5.

12
berbeda berkaitan dengan penghasilan, risiko, kendali, dan
likuidasi. Pendapatan yang diperoleh adalah hak entitas yang
kemudian didistribusikan ke shareholders sebagai deviden.
Profit yang tidak didistribusikan dianggap sebagai hak entitas
bisnis.
Agency theory merupakan teori yang menjelaskan
tentang hubungan kontraktual antara pihak yang
mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu (principal/
pemilik/pemegang saham) dengan pihak yang menerima
pendelegasian tersebut (agent/ direksi/manajemen). Agency
theory memfokuskan pada penentuan kontrak yang paling
efisien yang mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen.12
Teori agensi memberikan pandangan yang terbaru
terhadap good corporate governance (GCG), yaitu para
pendiri perseroan dapat membuat perjanjian yang seimbang
antara principal (pemegang saham) dengan agen (direksi).
Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan
(pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan
kepada tenaga-tenaga profesional (disebut agents) yang lebih
mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Teori ini

12
Ibid, hlm. 6.

13
muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan
perusahaan dengan pengelolaan, terutama pada perusahaan-
perusahaan besar yang modern.13
Tujuan dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan
perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang
seefisien mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh
tenaga-tenaga profesional.
Para profesional atau agen menjalankan tugasnya demi
kepentingan perusahaan dan mereka memiliki keleluasaan
dalam menjalankan manajemen perusahaan. Semakin besar
perusahaan memperoleh laba, semakin besar pula keuntungan
yang didapatkan agen. Sementara pemilik perusahaan
(pemegang saham) hanya bertugas untuk mengawasi dan
memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh
manajemen untuk memastikan bahwa mereka bekerja hanya
demi kepentingan perusahaan semata.
Para profesional, dalam hal ini direksi dan manajer
dalam teori klasik di atas memiliki fiduciary duty dan duty of

13
Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham Minoritas
dalam Rangka Good Corporate Governance. Tesis. Jakarta : Program
Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 27 – 28

14
care dan bertanggungjawab kepada perusahaan dan para
pemegang saham.14 Dalam pandangan teori korporasi yang
klasik di Amerika Serikat, CSR dimaknai sebagai tanggung
para manajer dan direksi kepada pemegang saham.
Pandangan tradisional ini tidak mencakup kewajiban
manajemen untuk memperhatikan kepentingan konstituen
perusahaan yang lain. Hal ini membatasi penerapan CSR
dalam perusahaan di mana perusahaan seolah-olah hanya
mementingkan kepentingan dirinya sendiri.15
Belakangan terjadi perluasan terhadap ruang lingkup
tanggung korporasi dari hanya tanggung jawab korporasi
kepada pemegang saham tetapi juga kepada stakeholder.
Perubahan ini seiring dengan adanya pembaruan
corporate governance. Pembaharuan corporate governance
bermula sebuah buku yang berjudul “The Modern
Corporation and Private Property. Buku ini dibuat oleh
Adolf Berle and Gardiner Means dan dipublikasikan pertama

14
Cynthia A. William. 2002. ”Corporate Social Responsibility in
an Era of Economic Globalization”, 35 University of California Davis
Law Review, hlm. 707.
15
Gary von Stange, “Corporate Social Responsibility through
Constituency Statutes: Legend or Lie ?”, 11 Hofstra Labour Law Journal,
1994, hlm. 465.

15
kali tahun 1932. Isi buku ini secara garis besar memuat
tentang pemisahan kepemilikan dan pengendalian
perusahaan. Dengan demikian, pemegang saham yang
memiliki perusahaan dan juga memiliki kekayaan yang
sangat besar dalam perusahaan tidak lagi mengendalikan dan
mengelola kekayaan mereka yang ada dalam perusahaan.
Kekayaan tersebut telah menjadi asset perusahaan dan
dikendalikan oleh seseorang yang dipercaya untuk
mengelolanya demi kepentingan mereka. Keadaan demikian
dikenal dengan nama “separation ownership from control.”
Dalam pembaharuan corporate governance memuat tentang
prinsip keterbukaan kepada publik dan kewajiban bagi
perusahaan untuk menjalankan perusahaannya dengan tidak
merugikan publik. Jadi secara tidak langsung konsep CSR
juga sebenarnya telah termuat dalam pembaharuan corporate
governance.16
Konsep CSR itu sendiri juga telah mengalami
perubahan. Konsep CSR yang lama menyatakan bahwa
perusahaan hanya mempunyai tanggung jawab kepada
pemegang saham perusahaan saja. Sedangkan konsep CSR

16
Ibid, hlm. 466.

16
yang baru menyatakan bahwa perusahaan juga harus
mempunyai tanggung jawab kepada pekerja, pemasok,
masyarakat, dan lingkungan di mana perusahaan itu
menjalankan kegiatannya.

2.2. Makna dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial


dan Lingkungan Perseroan Dewasa Ini
Walaupun konsep telah diterima dan dipercaya sudah
jelas maknanya, tetapi menurut Charles Chatterjee dalam
kenyataan tidak sama sekali. Kesulitan pertama yang timbul
dari CRS tersebut adalah konsep CSR itu sendiri. Istilah
corporate tidak selalu berkaitan dengan istilah social;
corporate responsibility, social responsibility, dan corporate
responsibility memiliki konotasi yang berbeda. Kemudian
muncul pertanyaan yang lebih penting, yakni apakah semua
bentuk korporasi diwajibkan untuk menunjukkan tanggung
jawab sosialnya. Pertanyaan penting lainnya yaitu pada
bagian mana korporasi menjalankan korporasinya dan
tanggung jawab sosialnya. 17

17
Charles Chatterjee, Op.cit, “ hlm. 388.

17
Istilah social responsibility berasal dunia Anglo Saxon
(Common Law). Istilah ini tidak diidentifikasikan dengan
teori civil responsibility yang ada dalam tradisi Roman-
Germanic Law.18
Istilah CSR hanya diterapkan pada korporasi. Karena
korporasi merupakan institusi yang dominan di bumi ini
di mana korporasi pasti berhadapan dengan persoalan
lingkungan dan sosial yang mempengaruhi kehidupan
manusia.
World Bank Group menyebut definisi CSR sebagai
komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama
dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga
mereka, komunitas setempat, dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang
bermanfaat, baik bagi bisnis itu sendiri maupun untuk
pembangunan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa CSR adalah
suatu keharusan dan bukan saja sebagai kewajiban. CSR itu

18
Raul Anibal Etcheverry. 2005. “Corporate Social Responsibility
– SCR”. 23 Peen State International Law Review, hlm. 498 – 499.

18
sendiri bukanlah gimmick marketing, melainkan bagian yang
menyatu dengan misi dan nilai perusahaan.19
Menurut Soeharto Prawirokusumo,20 tanggung jawab
sosial adalah sebuah konsep yang luas yang berhubungan
dengan kewajiban perusahaan atau organisasi dalam
memaksimumkan impact positif terhadap masyarakatnya.
Tanggung jawab sosial para pelaku usaha dalam suatu
perusahaan terdiri atas empat dimensi tanggung jawab yaitu;
ekonomi, hukum, etika dan philanthropies. Dari perspektif
ekonomi, semua perusahaan harus bertanggung jawab kepada
para pemegang saham, karyawan, dan masyarakat
sekelilingnya dalam hal pendapatan karyawan dan
tersedianya pekerjaan. Kedua tanggung jawab tersebut di atas
merupakan tanggung jawab pokok perusahaan yang
memperkokoh terjadinya tanggung jawab etika dan kegiatan
philanthropies.
Doktrin CSR yang diciptakan sebagai suatu etika atau
moral dalam perilaku perusahaan telah diterima ke dalam

19
Ibid.
20
Soeharto Prawirokusumo. 2003. “Perilaku Bisnis Modern –
Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial”. Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 22, No.4, hlm. 83.

19
aturan hukum, undang-undang, regulasi yang ada dalam
Code-Code dan European System. Namun demikian, istilah
CSR memiliki makna yang berbeda dengan etika, moral,
philanthropies, dan hukum.
CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-
perilaku tertentu. CSR muncul untuk meningkatkan image
perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu
menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan
kepedulian sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran.
Perencanaan sosial harus selalu masuk dalam rencana
strategik perusahaan. Kegiatan sosial tersebut bukan suatu
biaya, tetapi merupakan suatu investasi.21
Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya
ada dua tanggung jawab yang harus diajarkan dalam etika
bisnis, yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility)
yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana
(crime liability), dan aspek tanggung jawab sosial (social
responsibility) yang dibangun di atas landasan norma moral
yang berlaku di dalam masyarakat. Artinya, sekalipun suatu
kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak

21
Raul Anibal Etcheverry, loc.cit.

20
melanggar undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis
tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat atau
merugikan masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap
sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).
Penerapan CSR oleh perusahaan berarti bahwa
perusahaan bukan hanya merupakan entitas bisnis yang hanya
berusaha mencari keuntungan semata, tetapi perusahaan itu
merupakan satu kesatuan dengan keadaan ekonomi, sosial,
dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Direksi dan
pegawai perusahaan seharusnya lebih menyadari pentingnya
CSR karena CSR dapat memberikan perlindungan hak asasi
manusia bagi buruh dan perlindungan lingkungan bagi
masyarakat sekitar dan juga para pekerjanya. 22 Kehadiran
CSR dalam bisnis perusahaan menjadi lebih jelas dengan
adanya perkembangan globalisasi. Hal ini dapat dilihat dari
adanya :23
1. Pengelolaan risiko
2. Perlindungan dan meningkatkan reputasi dan image
perusahaan

22
Kristina K. Hermann. 2004. “Corporate Social Responsibility
and Sustainable Development: The European Union Initiative as a Case
Study”, 11 Indiana Journal of Global Legal Studies, hlm. 206.
23
Ibid, hlm. 207.

21
3. Membangun kepercayaan dan license to operate bagi
perusahaan
4. Meningkatkan efisiensi sumber daya yang ada dan
meningkatkan akses terhadap modal
5. Merespon atau mematuhi peraturan yang berlaku
6. Membina hubungan baik dengan stakeholder seperti
pekerja, konsumen, partner bisnis, investor yang
mempunyai tanggung jawab secara sosial, regulator,
dan komunitas di mana perusahaan itu beroperasi.
7. Mendorong pemikiran yang inovatif
8. Membangun kesempatan untuk mengikuti pasar masa
depan.

Kebijakan CSR dapat memberikan nilai dalam


rencana strategis kegiatan perusahaan sehari-hari.
Berdasarkan strategi ini yang mengintegrasikan praktik-
praktik berusaha yang bertanggungjawab secara sosial,
analisa keuntungan perusahaan, return on investment (ROI)
atau return on equity (ROE) sebagai bottom-line digantikan
menjadi triple bottom-line yang mencakup faktor ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Sebuah perusahaan yang
mengabaikan persoalan sosial dan ekonomi dalam kegiatan
usahanya memang masih tetap dapat memperoleh
keuntungan pada saat ini, tetapi di kemudian hari perusahaan
itu akan memberikan dampak negatif kepada sosial dan

22
lingkungan sehingga sulit bagi perusahaan tersebut untuk
mempertahankan eksistensinya. Hal ini akan menghilangkan
keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan pada masa
depan.24
Sony Keraf membagi isi tanggung jawab sosial
perusahaan ke dalam dua kategori, yakni:25
1. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak
yang sudah dilakukan dengan perusahaan lain,
memenuhi janji, membayar utang, memberi pelayanan
kepada konsumen dan pelanggan secara memuaskan,
bertanggung jawab dalam menawarkan barang dan
jasa kepada masyarakat dengan mutu yang baik,
memperhatikan hak karyawan, kesejahteraan
karyawan dan keluarganya, meningkatkan
keterampilan dan pendidikan karyawan, dan
sebagainya.
2. Terhadap relasi sekunder, bertanggung jawab atas
operasi dan dampak bisnis terhadap masyarakat pada
umumnya, atas masalah-masalah sosial, seperti:
lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, dan
pajak.

24
Ibid.
25
A. Sony Keraf – Robert Haryono Imam. 1993. Etika Bisnis, Cet.
II. Pustaka Filsafat. Yogyakarta : Kanisius, hlm. 97 – 98.

23
Berdasarkan isi tanggung jawab sosial tersebut, maka
tanggung jawab para pelaku usaha dalam bisnis adalah
keterlibatan perusahaan mereka dalam mengusahakan
kebaikan dan kesejahteraan sosial masyarakat, tanpa terlalu
menghiraukan untung ruginya dari segi ekonomis. Dengan
demikian, tanggung jawab sosial dapat dirumuskan dalam
dua wujud yaitu:26
1. Positif: Melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan
didasarkan pada perhitungan untung rugi, melainkan
didasarkan pada pertimbangan demi kesejahteraan
sosial.
2. Negatif: Tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari
segi ekonomis menguntungkan, tetapi dari segi sosial
merugikan kepentingan dan kesejahteraan sosial.
Sehingga dalam kerangka prinsip etika bisnis, dapat
dikatakan bahwa secara maksimum (positif) para pelaku
usaha dituntut untuk aktif mengupayakan kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat (prinsip berbuat baik), paling
kurang secara minimal (negatif) tidak melakukan tindakan
yang merugikan masyarakat (prinsip tidak berbuat jahat).

26
Ibid, hlm. 98.

24
Sejauh pelaku usaha atau suatu bisnis arti segi
ekonomi mampu menjalankan tanggung jawab sosial dalam
bentuknya yang positif, maka pelaku usaha tersebut wajib
untuk menjalankan tanggung jawab sosial yang positif.
Sejauh kemampuan finansialnya memadai, pelaku usaha
wajib untuk mengusahakan kesejahteraan karyawan dan
keluarganya, selain itu juga wajib untuk memelihara
lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang baik dalam
masyarakat itu. Namun, kalau situasinya tidak
memungkinkan, maka minimal pelaku usaha itu tidak
melakukan kegiatan yang dari segi sosial tidak merugikan.27
Etika dibutuhkan dalam bisnis ketika manusia mulai
menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis justru telah
menyebabkan manusia semakin tersisih nilai-nilai
kemanusiaannya (humanistic). Sehingga, di kalangan pelaku
bisnis muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis. Bisnis
hanyalah mengabdi pada keuntungan sebanyak-banyaknya
(profit oriented). Dalam kaitan ini Richard T De George
(1986) menyebutnya sebagai mitos bisnis amoral. Telah

27
Ibid, hlm. 99.

25
bergulir suatu image, bahwa bisnis tidak boleh (jangan)
dicampuradukkan dengan moral.28
Karena tuntutan publik dan hukum itulah, maka bisnis
saat ini harus memberlakukan “being ethical and social
responsibility”. Dengan berlaku etis dan mempunyai
tanggung jawab sosial, bisnis akan langgeng dan akan terjadi
hubungan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok, dan
pihak lainnya. Pelanggan akan membeli produk sebuah
perusahaan yang mempunyai reputasi terbaik dalam tanggung
jawab sosial bilamana kualitas, pelayanan, dan harga sama di
antara para pesaing.29
Etika bisnis mempunyai pengaruh lebih luas daripada
peraturan formal. Melanggar atau melupakan masalah etika
akan menghancurkan kepercayaan. Kegiatan untuk mencari
etika bisnis tersebut menyangkut empat macam kegiatan,
yaitu:30
1. Menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada
khususnya atau praktek-praktek khusus dalam bisnis
menyangkut apa yang dinamakan meta-etika.

28
Redi Panuju, Op.cit, hlm.7
29
Soeharto Prawirokusumo, loc.cit.
30
Sony Keraf – Robert Haryono Imam., Op. cit, hlm. 59 - 60.

26
2. Menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya
serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya.
3. Meluas melampaui bidang etika.
4. Menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai, dan moral.
Dunia bisnis adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika
berkenaan dengan persoalan baik atau buruk, sedangkan
bisnis adalah dunia konkrit dan harus mewujudkan apa yang
telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan
orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau
mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan
dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua orang
yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu yang baik atau
positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain.
Sikap dan perbuatan yang seperti itu tidak akan menghasilkan
situasi “win-lose”, tetapi akan menghasilkan situasi “win-
win”.
Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka etika
adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan oleh
pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada

27
budaya masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak
bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan
haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia.
Selain itu, etika bisnis juga membatasi keuntungan,
sebatas tidak merugikan masyarakat. Kewajaran merupakan
ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan. Etika
bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan.
Meskipun keuntungan merupakan hak, tetapi penggunaannya
harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan
masyarakat sekitar. Jadi etika bisnis yang didambakan bagi
para pelaku usaha tidak akan dipraktikkan dengan sendirinya
oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya “aturan main” yang
jelas bagi dunia usaha itu sendiri.
Jika tidak menjalankan etika bisnis, taruhannya adalah
reputasi dan kepercayaan, sedangkan dalam berbisnis kedua
hal tersebut merupakan faktor utama. Hal ini sejalan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat menjaga
kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Karena Etika
bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada
profitabilitasnya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan
stakeholder-nya. Etika bisnis tidak bisa terlepas dari etika

28
personal, keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi.
Memahami teori etika pada dasarnya berguna untuk
merumuskan dan mengambil nilai-nilai kebenaran, yang oleh
individu ataupun masyarakat menjadi dasar bertindak. Tetapi,
di sisi lain, pemahaman terhadap etika bisa juga berfungsi
untuk menggeledah nilai-nilai kebenaran yang selama ini
dianggap sudah mapan. Apapun fungsinya yang diambil,
pasti akan menemukan kenyataan bahwa nilai-nilai
kebenaran itu ternyata beragam. Oleh karena itu maka
manusia diharapkan dapat bijaksana dalam menerapkan
ragam kebenaran secara profesional.
Dalam dunia bisnis, otonomi, aspek kebebasan dan
tanggung jawab menjadi titik pangkal dan landasan operasi
bagi bisnis. Hal tersebut tentunya dilakukan prakteknya
menggunakan etika dalam berbisnis sebagaimana mestinya,
karena semua itu berhubungan dengan manusia baik secara
individual maupun kelompok dalam hal ini terjadi interaksi
antar manusia dalam berbisnis.
Atas dasar itu, etika dan tanggung jawab sosial sudah
menjadi bagian dari proses perencanaan strategis perusahaan.

29
Bahkan beberapa perusahaan terkemuka sekarang ini sudah
mempunyai Code of Conduct dan juga sudah mempunyai
kode etika perusahaan yang dipatuhi oleh semua karyawan.

2.3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan


dalam Undang-Undang di Indonesia.

Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 Angka (3) menyebutkan
bahwa: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah
komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik
bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya. Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
”Sedangkan Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-undang
Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan
bahwa: “Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial
perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan

30
lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat”.
Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-undang Nomor 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Perbedaan
terminologi tersebut menjadi hambatan bagi setiap
perusahaan untuk menerjemahkannya dalam teknis
pelaksanaannya, karena: (1) Istilah yang digunakan dalam
Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 adalah Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan, sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (2) kata
“komitmen perseroan” dan “tanggung jawab yang melekat”
tidak dapat diartikan sama, (3) Undang-undang Nomor 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berorientasi pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat, sedangkan Undang-
undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
lebih berorientasi menciptakan hubungan yang serasi. 31
Dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal tidak ada pembatas terhadap bentuk
perusahaan dan bidang usahanya. Di sisi lain, dalam Undang-
undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
hanya diperuntukkan bagi bentuk perusahaan Perseroan

31
Mukti Fajar ND, Op.cit., hlm. 3.

31
Terbatas khusus yang bergerak di bidang Sumber Daya Alam
dan yang terkait, seperti yang tersebut dalam Pasal 74 ayat
(1) yaitu: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”.
Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
Klausula tersebut menimbulkan persoalan:
(1) diskriminasi bagi perusahaan Perseroan Terbatas dan
(2) diskriminasi hanya bagi perusahaan yang bergerak di
bidang sumber daya alam dan atau terkait saja. Sedangkan
perusahaan non Perseroan Terbatas dan tidak bergerak di
bidang tersebut dianggap tidak dibebani kewajiban tanggung
jawab sosial dan lingkungan. 32
Selanjutnya, apabila tanggung jawab sosial dan
lingkungan hanya dimaknai secara sempit, dalam bentuk
memberikan sebagian kekayaan kepada masyarakat, seperti
yang diatur dalam Pasal 74 ayat (2) Undangundang Nomor
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: “Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada

32
Mukti Fajar, Op.cit., hlm. 4

32
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran”. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
sebagai bentuk kewajiban menyalurkan kekayaan dianggap
melanggar hak kepemilikan privat (private property right)
dari korporasi. Sebab korporasi sebagai institusi privat
mempunyai hak kepemilikan yang dilindungi penuh secara
hukum. Hak miliki pribadi (private property right) harus
dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang
sakral (the sacred rights of private property).33 CSR sering
disebut corporate philantrophy, yang dapat diartikan sebagai
upaya menolong sesama, kegiatan berderma, atau kebiasaan
beramal dari korporasi yang dengan ikhlas menyisihkan
sebagian dari harta atau sumber daya yang dimilikinya untuk
disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan.34

33
Edwin Cannan. 1965. Adam Smith: An Inquiry Into The Nature
and Causes of The Wealth of Nation, The Modern Library, New York.
34
Im Ife & Frank Tesoriero. 2008. Community Development
Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi (Penterjemah:
Sastrawan Manullang, Nurul Yakin, M. Nursyahid), Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, hlm. 493-545.

33
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian


Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum
normatif dengan didukung dengan penelitian lapangan
dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau
“hibrida”.
Konsekuensi dari penelitian hukum yang menggunakan
paradigma socio-legal sebagai paradigma utama adalah
menggunakan penggabungan metode yuridis normatif dengan
analisis metode kualitatif. Sehingga dalam penelitian ini,
terlebih dulu akan menganalisis beberapa permasalahan yang
terkait dengan judul penelitian dengan peraturan
nasional/daerah maupun keputusan instansi terkait atau
kepala daerah (documentation studies).

3.2. Wilayah Studi


a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Provinsi Kalimantan Selatan terletak diantara
1”21’-4”10’ lintang selatan dan 114”19’-116”33’ bujur
timur. Provinsi Kalimantan Selatan merupakan wilayah

34
dataran yang di sebelah utara berbatasan dengan
Provinsi Kalimantan Timur, di sebelah Timur dengan
Selat Makasar, di bagian Selatan dengan Laut Jawa,
dan di sebelah Barat dengan Provinsi Kalimantan
Tengah. Daerah ini juga dikenal mempunyai potensi
sumber daya alam yang berlimpah, seperti provinsi
lainnya di Kalimantan.
Wilayah Kalimantan Selatan mencakup areal seluas
36.535 Km2, dengan tata guna lahan sebagai berikut:
areal hutan seluas 17.427 km2 atau 47.7%, semak
belukar 4.786 km2 atau 13.1%, padang rumput 5.992
km2 atau 16.4%, ladang 2.302 km2 atau 6.3%, sawah
4.128 km2 atau 11.3%, perkebunan 840 km2 atau 2.3%,
perairan darat 256 km2 atau 0.7%, pemukiman 585 km2
atau 1.65%, selebihnya 183 km2 atau 0.5% untuk budi
daya lainnya. Di lihat dari tata guna lahan tadi,
sebagian besar daerah Kal-Sel dapat dikatakan berupa
hutan atau sektor kehutanan.
Provinsi Kalimantan Selatan merupakan wilayah
yang terdiri dari dataran rendah, daerah perbukitan, dan
pegunungan. Di daerah ini tumbuh hutan primer, hutan

35
sekunder, dan padang alang-alang. Hamparan dataran
rendah yang sebagian besar berada di bagian barat
meliputi rawa-rawa dan padang ilalang. Vegetasi paling
dominan di daerah ini berupa hutan rawa, hutan bakau,
dan jenis-jenis rumput rawa. Di antara wilayah tersebut
terdapat bentangan daratan alluvial seluas 200.000
hektar, yang sangat subur. Kalimantan Selatan juga
dikenal dengan wilayah yang banyak terdapat sungai-
sungai, baik besar ataupun yang kecil. Sungai-sungai
besar di daerah ini berfungsi sebagai alat transportasi
dan pertanian yang sangat penting bagi kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan Selatan. Sungai
Barito yang panjangnya mencapai 900 kilometer
merupakan sungai terbesar dan mempunyai beberapa
anak sungai. Provinsi Kalimantan Selatan juga banyak
memiliki sejumlah danau dan pulau-pulau yang tersebar
di perairan Laut Jawa dan Selat Makasar yang
mengitari wilayah ini.
Secara administrasi, Provinsi Kalimantan Selatan terdiri
dari sebelas kabupaten yakni: Kabupaten Tanah Laut,
Tabalong, Kotabaru, Banjar, Hulu Sungai Tengah, Hulu

36
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito Kuala,
Tapin, Balangan, Tanah Bumbu dan ditambah dua
Kota, yakni Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru.
Dalam wilayah Kalimantan Selatan ini terdapat 109
wilayah kecamatan dan 2.168 kelurahan (desa). Daerah
Kalimantan Selatan memiliki kekayaan budaya yang
beraneka ragam. Ini tercermin dalam keanekaragaman
seni-budaya dan bahasa daerah, seperti Banjar, Bugis,
dan Dayak. Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan
beragama Islam, yaitu sekitar 2.839.000 orang;
beragama Protestan 29.184 orang; beragama Katolik
17.278 orang; beragama Hindu 11.049 orang; dan
beragama Budha 22.912 orang.35

3.3. Teknik Tengumpulan Data


Diawali dengan melakukan inventarisasi terhadap
bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai usaha pengelolaan
sumber daya alam sektor perkebunan di Indonesia. Sebagai

35
Center for Political Studies Soegeng Sarjadi Syndicated,
Otonomi Potensi Masa Depan Republik Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001) hlm. 724-725

37
negara hukum (state governed by law) maka bahan hukum
primer pertama adalah Konstitusi Indonesia yakni Undang-
Undang Dasar RI terutama pasal-pasal yang mengatur secara
normatif tentang Sumber Daya Alam dan pemanfaatannya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan diteruskan
dengan beberapa undang-undang lain yang terkait seperti;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan tentang dan lain-lain.
Bahan hukum primer di atas kembali didukung oleh
penelaahan terhadap bahan hukum sekunder yang berupa
buku textbook, literatur nasional maupun luar negeri, tulisan
atau pendapat pakar hukum yang memiliki kompetensi

38
mumpuni tentang aspek hukum pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan (TJSL) di Indonesia.
Tahap kedua dari penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan data empiris yang diambil dari wawancara
semi-terstruktur (semi-structured interview) dengan
purposive sample, key actors (informan) dan focus group
discussion.36
1. Wawancara semi-terstruktur yang merupakan
penggabungan dari wawancara terstruktur dan tidak
terstruktur akan fokus dalam pengambilan informasi
yang detail dan mendalam yang didapat dari
narasumber (purposive sample).
2. key actors (informan) akan dipilih secara hati-hati
berdasarkan pengetahuan khusus mereka dan informasi
yang mereka berikan harus dapat dipercaya
(reliabilitas).
3. focus group discussion akan dilaksanakan dengan
memakai pendekatan partisipatori untuk mencandra
perspektif masyarakat terhadap isu hukum dan sosial.

36
Reza Banakar and Max Travers,“Structured Interviewing”.
Socio-Legal Research Methods. 2nd Ed, United Kingdom, Oxford: OUP,
2005, hlm. 14.

39
3.4. Analisis data
Penelitian normatif yang didukung dengan penelitian
lapangan yang menggunakan cara analisis kualitatif, yakni
dengan menganalisis suatu data secara mendalam dan holistik
sebagaimana dikemukakan oleh David M. Fetterman37 bahwa
“ this description might include the group’s history, religion,
politics, economy andenvironment’, dengan kata lain socio-
legal research merepresentasikan keterkaitan antara konteks
dimana hukum berada (an interface with a context within
which law exists)38. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan akan
penjelasan lebih rinci dan cermat terhadap persoalan hukum
secara lebih bermakna dengan melakukan perbandingan
antara law in book dengan law in action.39
Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan
untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi
kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh
suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin

37
David M. Fetterman, Ethnography Step by Step, London, Sage
Publishing, 1998, hlm. 19.
38
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosio-Legal dan
Implikasi Metodologisnya, Jakarta, Makalah Seminar Nasional
Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI, 22 April 2009. hlm. 75.
39
Ibid. hlm. 179.

40
dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data
kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk
bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan
mudah.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai
saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah
mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran
penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut
pada upaya menjawab fokus penelitian. Di dalam penelitian
lapangan (field research) bisa saja terjadi karena memperoleh
data yang sangat menarik, peneliti mengubah fokus
penelitian. Ini bisa dilakukan karena perjalanan penelitian
kualitatif bersifat siklus, sehingga fokus yang sudah didesain
sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti
menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak
terbayangkan. Lewat data itu akan diperoleh informasi yang
lebih bermakna. Untuk bisa menentukan kebermaknaan data
atau informasi ini diperlukan pengertian mendalam,
kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman
dan expertise peneliti. Kualitas hasil analisis data kualitatif
sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.

41
Penggunaan analisis data kualitatif didasarkan pada
pertimbangan, yaitu Pertama penelitian ini adalah penelitian
hukum. Kedua, bahan hukum yang dikaji beraneka ragam,
memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Ketiga, sifat dasar bahan hukum yang dikaji adalah
menyeluruh (comprehensive). Hal ini ditandai dengan
keanekaragaman bahannya serta memerlukan informasi yang
mendalam.

3.5. Keabsahan Data


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keabsahan
data penelitian kualitatif, yaitu: nilai subyektivitas, metode
pengumpulan dan sumber data penelitian. Banyak hasil
penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa
hal, yaitu subyektivitas peneliti merupakan hal yang dominan
dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan
adalah wawancara dan observasi mengandung banyak
kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa
kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan
mempengaruhi hasil akurasi penelitian.

42
Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara untuk
meningkatkan keabsahan data penelitian kualitatif, yaitu:
kredibilitas, transferabilitas dan konfirmitas.

43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Bentuk Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan


Lingkungan (TJSL) Perseroan Terhadap
Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar
Perusahaan Perkebunan Sawit yang Ada
di Provinsi Kalimantan Selatan.
Meningkatnya citra perusahaan akan memiliki
implikasi strategis bagi peusahaan itu sendiri karena reputasi
yang baik merupakan salah satu keunggulan yang kompetitif.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau istilah Undang-
Undang Perseroan Terbatas adalah Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan (yang selanjutnya disebut TJSL
Perseroan) merupakan suatu tindakan yang diambil pelaku
bisnis atau pemangku kepentingan melalui perilaku yang
secara sosial bertanggung jawab kepada masyarakat. Dalam
menjalankan tanggung hal, yakni ekonomi, sosial, dan
lingkungan, hal ini difokuskan sebagai kegiatan yang
berkesinambungan jawab sosialnya, pelaku bisnis atau
perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga dan salah

44
satu cara untuk mencegah krisis, yaitu dengan peningkatan
reputasi atau image.
Penerapan TJSL Perseroan saat ini berkembang pesat
termasuk di Indonesia, sebagai respon dunia usaha yang
melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk
meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari
pengelolaan risiko menuju sustainability kegiatan usahanya.
Substansi TJSL Perseroan adalah dalam rangka kemampuan
perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya,
komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya baik lokal,
nasional maupun global. Secara singkat, TJSL Perseroan
mengandung makna bahwa perusahaan memiliki tugas moral
untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjujung integritas
(Ardianto, 2011: 35).
Mc Williams dan Siegel, 2001 juga meyakini bahwa :
“CSR is conventionally defined as the social involvement,
responsiviness, and accountabilitty of companies apart from
their core profit activities and beyond the requirements of the
law and what is otherwise required by goverment. The World
Business Council for Sustainable Development (Business
Action for Sustainable Development”.

45
Dalam Solihin (2009: 28) mengungkapkan bahwa
TJSL atau CSR adalah :“The continuing commitmen by
business to behave ethically and contribute to economic
development while improving the quality of live of the
workforce and their families as well as of the local
community and society at large”. (TJSL atau CSR
diungkapkan sebagai komitmen berkelanjutan dari pelaku
bisnis atau perusahaan untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi serta meningkatkan para pekerja,
keluarga, demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat
luas).
Secara universal, dari kedua pemahaman tersebut
mengungkapkan bahwa aktivitas TJSL Perseroan pada
umumnya mempunyai tujuan sebagai keterlibatan sosial
pelaku bisnis atau stakeholder dalam mencapai peningkatan
kesejahteraan yang berkelanjutan dengan memperhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan pada kualitas hidup
pekerja atau masyarakat sebagai penunjang triple bottom line
perusahaan yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
dirasa mampu mendongkrak citra perusahaan dan
meningkatkan reputasi perusahaan dalam rentang waktu

46
panjang. Sebuah riset yang dikemukanan oleh Roper Search
Worldwide menunjukkan 75% responden memberikan nilai
lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh
perusahaan dalam memberikan kontribusi nyata kepada
komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66%
responden juga menunjukkan bahwa mereka siap berganti
merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif
(Susanto, 1997: 213).
Kedua hal tersebut membuktikan terjadinya perluasan
“minat” konsumen dari “produk” menuju korporat, yakni
konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab
sosial perusahaan yang lebih luas, dan menyangkut etika
bisnis serta tanggung jawab sosial perusahaan. Disinilah
salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dalam
suatu kegiatan TJSL Perseroan menjadi suatu kewajiban yang
digariskan oleh undang-undang.
Penerapan aktivitas TJSL Perseroan yang berkembang
di Indonesia, sesuai regulasi pemerintah dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
terdapat pada Pasal 1 Angka 3, menyatakan “Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan

47
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.
Dan Pasal 74 pada dasarnya mengatur sebagai berikut :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakn Tanggung Jawab, Sosial dan
Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kwajiban Perseroan
yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

48
Bahwa kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan merupakan suatu kegiatan yang
diwajibkan dan dilaksanakan berdasarkan pada kepatutan dan
kewajaran sesuai dengan peraturan pemerintahan. Fokus
utama dalam undang-undang terdapat pada Pasal 74 yakni,
lebih mewajibkan pada suatu kegiatan usaha di bidang atau
yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melakukan
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penentuan kebijakan pada kegiatan TJSL Perseroan
harus menjadikan bagian intergral dari program
pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Sebaliknya,
pihak perusahaan juga harus terlibat secara aktif dan
memiliki pemikiran untuk menjadi bagian dari komunitas
kegiatan TJSL Perseroan. Tidak bersifat tertutup atau
eksklusif ditengah masyarakat namun perusahaan juga harus
secara aktif dan komunikatif kepada komunitas mereka. Hal
inilah menjadikan suatu komitmen perusahaan untuk
meningkatkan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan
terhadap komunitas perusahaan. Dengan lebih banyak
memberikan perhatian kepada lingkungan atau komunitas,
hal ini mampu terpeliharanya kualitas kehidupan umat

49
manusia dalam jangka panjang dan juga keterlibatan
komunitas dalam sebuah perusahaan.
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2012 dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi
berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar
perseroan. Rencana Kerja tahunan perseroan tersebut memuat
rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhakn untuk
pelaksanaan TJSL. Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam
laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan
kepada RUPS (Pasal 6 PP 47/2012).
Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa
setiap penanaman modal wajib melaksanakan TJSL. Yang
dimaksud TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU
25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
Sedangkan yang dimaksud dengan penanaman modal adalah
perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman

50
modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeridan
penanaman modal asing (Pasal 1 angka 4 UU 25/2007).
Selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007juga diaturbahwa
setiap penanaman modal bertanggung jawab untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Ini merupakan juga bagian dari
TJSL.
Jika penanaman modal tidak melakukan kewajibannya
untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU
25/2007, penanaman modal dikenai sanksi administrasi
berupa : a. peringatan tertulis; b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal;atau d. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
Selain dikenai sanksi administratif, penanaman modal
juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU
25/2007).
Berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban :

51
a. Memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. Menjaga berkelanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
A.B. Susanto dalam bukunya “Reputation-Driven
Corporate Social Responsibility”, mengungkapkan bahwa
kompetensi perusahaan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat, diharapkan mampu memberikan
manfaat yang besar dan menguntungkan, manfaat pertama
implementasi kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan dapat berupa pengurangan risiko dan
tuduhan terhadap perlakukan tidak pantas yang diterima
perusahaan. Manfaat kedua implementasi TJSL Perseroan,
berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan
meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis,
adanya keterlibatan dan kebanggaan karyawan secara
konsisten melalukan upaya-upaya untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat
dan ligkungan sekitarnya, serta adanya konsisten akan
mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara
perusahaan dengan para stakeholdernya. Dengan adanya

52
manfaat inilah, kegiatan TJSL Perseroan dinilai mampu
mendongkrak citra perusahaan yang dalam rentang waktu
panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan.
Salah satu sampel yang Peneliti ambil dalam penerapan
TJSL Perseroan di Kabupaten Barito Kuala yang dilakukan
perusahaan penanaman modal asing yang masih berinvestasi
di Indonesia, yang bergerak di bidang usaha agribisnis
Perkebunan Kelapa Sawit, yakni Julong Group – PT. Putra
Bangun Bersama, telah mengembangkan pelaksanaan TJSL
Perseroan terintergrasi sebagai penunjang strategi, aktivitas
dan proses manajemen perusahaan antara perusahaan dan
program pemberdayaan masyarakat. Di Kabupaten Barito
Kuala ada 11 Perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis
Perkebunan Kelapa Sawit.

53
Daftar Perusahaan Perkebunan Industri Beserta Luas Lahan
Perusahaan Dan Tahun Izin Di Kab. Barito Kuala

Perusahaan Luas Total Luas sesuai Tahun Tahun


dari izin IUP Izin operasio
lokasi (Ha) n
Komoditas (Ha) a
l

1 2 3 4 5 6 7
1. PT. Agri Bumi sentosa (ABS) Kelapa sawit 15.204,8 15.172 2006 2007
2. PT. Putra Bangun Bersama (PBB) Kelapa sawit 10.962 10.956 2007 2007

3. PT. Tasnida Agro Lestari (TAL) Kelapa Sawit 8.157,98 8.157,98 2007 2010
4. PT. Tiga Daun Kapuas (TDK) Kelapa sawit 9.000 6.294 2007 2011
5. PT. Barito Putera Plantation Kelapa sawit 15.017 13.005,80 2009 2010
(BPP)
6. PT. Anugerah Sawit Andalan (ASA) Kelapa sawit 2.635 2.437,97 2009 2013

7. PT. Anugerah Wattiendo (sawit) Kelapa sawit 1.440,63 1.440,63 2009 2014

8. PT. Anugerah Watiendo (Karet) Karet 8.164 7.862,50 2010 2014


9. KSU. MAS Kelapa Sawit 1.891 1000 2010 2013
10. PT. ASIH Kelapa Sawit 2.031,733 1.786,93 2014 2015
11. KUD. Manuntung Kelapa Sawit 2.150 2.150 2015 2015
Total 76.654,143 70.263,81

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Batola


Tahun 201

54
Perkembangan Kondisi Tanaman Perkebunan Industri Dan Inti
Plasma di Kab. Barito Kuala Tahun 2015

17.377,06
12000

10000

7.342,11
8000
Tanaman Blm Menghasilkan
6000 5.910,42 (Ha)

Tanaman Menghasilkan (Ha)


4000

2000 1555,18

0
Perkebunan Industri Perkebunan Industri
Inti Plasma

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Batola


Tahun 2016

Sejak Julong Grup mengambil kepemilikan PT. Putra


Bangun Bersama pada tahun 2009 hingga saat ini,
manajemen dengan segala perangkatnya tidak pernah
berhenti untuk selalu memperbaiki kinerja operasional PT.
Putra Bangun Bersama dari segala aspek dan sisi serta
menjadikan perusahaan perkebunan harapan bagi segenap
stakeholder internal maupun eksternal.
Salah satunya adalah melalui penerapan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian

55
serta kepatutan sebagaimana tertuang dalam beberapa prinsip
ISPO / RSPO. ISPO ataupun RSPO tersebut kini telah
menjadi salah satu pedoman pelaksanaan manajemen
perkebunan kelapa sawit PT. Putra Bangun Bersama – Julong
Grup secara umum, baik dari aspek pembangunan,
pengembangan, operasional maupun dalam melakuan
interaksi sosial, khususnya masyarakat sekitar daerah
operasional perkebunan yaitu melalui kegiatan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan. Semangat yang
terkandung dalam penerapan TJSL itu sendiri memandang
masyarakat sebagai stakeholder penting bagi operasional
perusahaan.40
PT. Putra Bangun Bersama sudah melaksanakan TJSL
Perseroan sejak tahun 2012. Menurut Luqman Zakaria41 dari
Social, Security dan Legal Departement PT. Putra Bangun
Bersama-Julong Grup, bahwa Program TJSL Perseroan
PT. Putra Bangun Bersama Kabupaten Barito Kuala

40
Li Wei. 2014. Sambutan Direktur PT. Putra Bangun Bersama
dalam Laporan CSR Review Tahun 2014. Julong Grup : Barito Kuala,
hlm. 5.
41
Luqman Zakaria dari Social, Security dan Legal Departement
PT. Putra Bangun Bersama-Julong Grup Kabupaten Barito Kuala,
Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2016.

56
(disingkat PT.PBB Batola) adalah sebagai sebagai fungsi
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan. Program TJSL PT. PBB Batola
kegiatannya disusun berdasarkan rencana kerja selam kurun
waktu tertentu maupun kegiatan yang dilaksanakan
berdasarkan proposal-proposal yang diajukan oleh pihak
ketiga (Instansi / masyarakat) yang memenuhi visi misi
program CSR PT. PBB Batola.
Program TJSL PT.PBB Batola dikembangkan dan
dilaksanan ke arah 5 (lima) faktor utama yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara umum yaitu
ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, keolahragaan
dan keagamaan.
Untuk membantu peningkatan pendapatan masyarakat
sekitar, PT. PBB Batola telah menyediakan lapangan
pekerjaan secara besar-besaran dan fakta kenyataan bahwa
+90% tenaga kerja lapangan PT. PBB berasal dari warga
sekitar. Program ekonomi lainnya adalah memfasilitasi
pembangunan kebun plasma untuk masyarakat dan sampai
pada saat ini sudah terbangun +2000 Ha yang melebihi batas
minimal kewajiban 20% dari Pemerintah.

57
TJSL PT.PBB Batola dalam bidang pendidikan adalah
Beasiswa Berprestasi dan Honor Guru Bantu, sementara
dalam bidang kesehatan adalah pelayanan pengobatan gratis
dan pelayanan klinik kesehatan perusahaan. Dan dalam
bidang ifrastruktur antara lain perbaikan jalan masyarakat dan
pembuatan lapangan olah raga. Kepedulian perusahaan dalam
pembinaan keolahragaan masyarakat yaitu pemberian sarana
olah raga umum dan bantuan-bantuan pelaksanaan event-
event keolahragaan masyarakat.
Sasaran wilayah kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan PT. Putra Bangun Bersama Barito
Kuala meliputi :
1. Estate Nungki : Simpang Nungki, Tunjang, Sawahan,
Bantuil, Sei Rasau - Kecamatan Cerbon Kabupaten
Barito Kuala.
2. Estate Cindy : Simpang Arja, Sinar Baru, Sahurai,
Sungai Bamban, Gampa Asahi, Sungai Pantai,
Pindahan Baru - Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten
Barito Kuala.

58
Jejangkit Timur, Jejangkit Barat, Jejangkit Pasar,
Jejangkit Muara, Sampurna – Kecamatan Jejangkit
Kabupaten Barito Kuala.
3. Estate Tapin : Keladan, Sei Salai Hulu, Sei Salai Hilir,
Sei Puting – Kecamatan Candi Laras Utara Kabupaten
Tapin Pandahan dan Pematang Karangan Ilir
Kecamatan Tapin Tengah Kabupaten Tapin.
Visi TJSL PT. Putra Bangun Bersama adalah :
“Terciptanya keseimbangan perusahaan dan masyarakat
menuju peningkatan kesejahteraan dan kemandirian yang
berkelanjutan”. Misi TJSL PT. Putra Bangun Bersama yaitu :
1. Mewujudkan keserasian lingkungan hidup secara
berkelanjutan.
2. Memberdayakan potensi sumberdaya menuju
peningkatan kualitas hidup dan kemandirian
masyarakat.
3. Meningkatkan citra positif perusahaan dikalangan
stakeholders.
4. Membangun sinergi perusahaan dengan stakeholders
untuk berkelanjutan operasional perusahaan.

59
5. Melaksanakan program-program kemasyarakatan yang
selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Strategi dan kebijakan TJSLPT. Putra Bangun Bersama
sebagai berikut :
a. Secara Internal
Program TJSL PT. Putra Bangun Bersama
dimaksudkan untuk mendorong budaya kerja yang
lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan
perkebunan kelapa sawit sehingga pada akhirnya
perusahaan akan dapat bertahan secara berkelanjutan
untuk memperoleh manfaat ekonomi yang diinginkan.
b. Secara Eksternal
Program TJSL PT. Putra Bangun Bersama diharapkan
dapat membentuk dan menciptakan usaha perkebunan
kelapa sawit yang berkelanjutan dengan menciptakan
dan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak
secara terus menerus dalam bidang sosial, ekonomi dan
lingkungan yang lebih sejahatera dan mandiri.

60
c. Program Kerja
Program Kerja TJSL PT. Putra Bangun Bersama
dituangkan dalam bentuk program tahunan yang
terformat dalam Rencana Kerja per tahun.

Keberhasilan program TJSL PT. PBB Batola tidak


dapat terwujud secara instan dalam jangka pendek dan hanya
dapat tercapai jika terdapat partisipasi aktif dari seluruh
pemangku kepentingan melalui keterlibatan dalam penilaian
masalah, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta
evaluasi program. Oleh karena itu PT. Putra Bangun Bersama
berusaha menggalang kerjasama dengan pihak-pihak seperti
Pemerintah Daerah (Muspida), Pemerintah Kecamatan
(Muspika), Instansi-instansi, mitra kerja, para pekerja,
masyarakat lokal maupun non lokal. Dengan kerjasama ini
diharapkan berkelanjutan perusahaan baik dari sisi ekonomi,
sosial maupun lingkungan dapat terwujud.

61
Tabel 1
Realisasi Pelaksanaan TJSL/CSR 2014
PT. Putra Bangun Bersama
No. Jenis Kegiatan Nilai (Rp) Prosentase

1. Pendidikan 15.600.000 5,58%

2. Olahraga 46.718.349 16.74%

3. Keagamaan 15.500.000 5.55%

4. Kesehatan 76.106.740 28,35%

5. Infrastruktrur 99.800.000 35,75%

6. Sosial Kemasyarakatan 22.400.000 8,03%

Jumlah Total 279.125.089 100%

Sumber : CSR Review 2014, PT. Putra Bangun Bersama.

Ruang lingkup kegiatan TJSL PT. Putra Bangun


Bersama mencakup program internal dan eksternal. Program
internal ditujukan pada pembangunan masyarakat dalam
konteks karyawan perusahaan yang dijalani dengan
membentuk sikap bersih, sehat dan senyum sejahtera dalam
bekerja sebagai bagian dari budaya perusahaan yang

62
memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kualitas
hidup manusia dan lingkungannya.
Program TJSL secara eksternal ditujukan pada kegiatan
TJSL yang diperuntukkan untuk masyarakat di luar
perusahaan. Program TJSL yang dilakkukan PT. Putra
Bangun Bersama – Julong Grup sebagai berikut :
1. Pendidikan : Program Beasiswa SD siswa berprestasi.
2. Olahraga : Bantuan peralatan dan kustom olahraga
sepak bola dan bola volley.
3. Keagamaan : Bantuan peringatan hari besar Islam dan
bantuan hewan sapi Qurban.
4. Kesehatan : Pengobatan massal gratis dan Imunisasi
bagi Balita.
5. Infrastruktur : Pembangunan jembatan masyarakat.
6. Sosial Kemasyarakatan : partisipasi sosial.

63
64
65
66
Tabel 3
Persentase Penduduk Miskin (P0) Kabupaten Barito Kuala Tahun 2006 - 2014

Persentase Penduduk Miskin (P0)


Kab
upaten
2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000

Barito
5,19 5,12 5,12 5,41 5,72 5,61 7,18 8,17 9,07 7,1 6,85 8 10 13,59 12,21
Kuala
Sumber : BPS Kabupaten Barito Kuala, Tahun 2014.

Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Fuad Syekh
mengatakan, ada empat kebijakan percepatan pembangunan
kemiskinan di kabupaten tersebut."Empat kebijakan itu
diantaranya pengurangan pekerja anak, penyaluran pupuk
bersubsidi tanpa bunga bagi para petani, kemudian
pendidikan dan latihan keterampilan bagi warga miskin, serta
program bawa tas belanjaan sendiri," ujar Kepala Dinas
Sosnakertrans Batola H Fuad Syekh, di Marabahan, Senin.
Menurut beliau, kebijakan percepatan pembangunan
kemiskinan di Batola tersebut salah satunya melalui Program
Percepatan Keluarga Harapan (PKH).
Pada tahun 2016 jumlah bantuan tahap pertama yang
sudah diserahkan kepada para peserta PKH di Batola sebesar
Rp2.414.355.000.Sedangkan untuk penyerahan bantuan tahap

67
kedua, sebut dia, sudah dilaksanakan sejak Juli hingga awal
Agustus 2016 dengan besaran nominal Rp974.955.000.
Dijelaskannya, bila tidak ada halangan, dalam waktu dekat
penyerahan bantuan PKH tahap kedua juga akan
dilaksanakan di Kecamatan Tabukan, setelah launching
program bawa tas sendiri belanja untuk mengurangi kantong
pelastik.
Untuk mendapatkan bantuan program PKH, jelas dia,
ada persyaratan yang harus dilengkapi oleh masing-masing
kecamatan, salah satunya adalah tercukupinya jumlah
keluarga miskin sesuai ketentuan program PKH.
Jadi, terang dia, syarat jumlah masyarakat miskin per
kecamatan yang berhak mendapat bantuan dalam program
PKH ini sekitar 100 KK.
Program PKH, tegasnya, merupakan kegiatan berbentuk
bantuan tunai bersyarat yang diberikan untuk keluarga sangat
miskin. Tujuan dari kegiatan tersebut, ungkap dia, membantu
keluarga sangat miskin dan memastikan generasi berikutnya
sehat dan dapat menyelesaikan pendidikan dasar.42

42
Sukarli dan Hasan Zainuddin. 2016. Empat Kebijakan
Percepatan Pembangunan Kemiskinan Barito Kuala. Koran Antara News

68
Data Kabupaten Kotabaru
Kondisi Geografis Kabupaten Kotabaru
Kabupaten Kotabaru memiliki ibukota kabupaten
yang terletak di Kecamatan Pulau Laut Utara. Kabupaten ini
terdiri dari 21 kecamatan dengan 198 desa dan 4 kelurahan.
Kelurahan tersebut meliputi kelurahan Kotabaru Tengah,
Kotabaru Hulu, Kotabaru Hilir, dan Baharu Selatan yang
keseluruhannya juga terdapat di kecamatan Pulau Laut Utara.
Jumlah desa terbanyak berada di kecamatan Pulau Laut Utara
(sebanyak 21 desa), sedangkan kecamatan Pulau Sembilan
dan Pamukan Barat terbagi atas masing-masing 5 desa yang
merupakan kecamatan dengan jumlah desa terkecil.
Secara geografis Kabupaten Kotabaru terletak antara
2 20’- 4021’ Lintang Selatan dan 115015’-116030’ Bujur
0

Timur. Sedangkan secara administratif, Kabupaten Kotabaru


berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah
utara, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur
dengan Selat Makassar dan sebelah barat dengan Kabupaten

Kalsel Marabahan. Tanggal 2 Agustus 2016,


http://kalsel.antaranews.com/berita/38423/empat-kebijakan-percepatan-
pembangunan-kemiskinan-barito-kuala, diunduh tanggal 28 November
2016.

69
Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Banjar dan Tanah
Bumbu. Kondisi alam di Kabupaten Kotabaru sangat
bervariasi. Terdiri dari perpaduan tanah pegunungan dan
daerah pantai (genangan) serta daerah daratan dengan daerah
perairan yang dipenuhi pulau-pulau kecil.

Luas Wilayah Kabupaten Kotabaru


Kabupaten Kotabaru yang memiliki wilayah seluas
9.422,46 km2 merupakan kabupaten terluas di Provinsi
Kalimantan Selatan dengan luas lebih dari seperempat
(25,11%) dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kabupaten Kotabaru terbagi menjadi 21 kecamatan dengan
198 desa dan 4 kelurahan. Kecamatan Hampang merupakan
kecamatan yang terluas dengan luas wilayah 17,88% dari luas
Kabupaten Kotabaru, sedangkan kecamatan yang memiliki
luas terkecil adalah Kecamatan Pulau Sembilan yang luasnya
hanya 0,05% dari luas wilayah Kabupaten Kotabaru, lebih
jelasnya disajikan pada tabel berikut:

70
Tabel 2
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten
Kotabaru Tahun 2014
No Kecamatan Luas (Km2) Persentase (%)
1 P. Sembilan 4,76 0,05
2 P. Laut Barat 297,81 3,16
3 P. Laut Tanjung Selayar 101,01 1,07
4 P. Laut Selatan 378,07 4,01
5 P. Laut Kepulauan 107,12 1,14
6 P. Laut Timur 642,81 6,82
7 P. Sebuku 225,5 2,39
8 P. Laut Utara 159,3 1,69
9 P. Laut Tengah 337,64 3,58
10 Kelumpang Selatan 279,66 2,97
11 Kelumpang Hilir 281,2 2,98
12 Kelumpang Hulu 553,44 5,87
13 Hampang 589,15 6,25
14 Sungai Durian 1.684,64 17,88
15 Kelumpang Tengah 1.042,38 11,06
16 Kelumpang Barat 349,29 3,71
17 Kelumpang Utara 279,45 2,97
18 Pamukan Selatan 391,87 4,16
19 Sampanahan 488,89 5,19
20 Pamukan Utara 638,63 6,78
21 Pamukan Barat 589,84 6,26
Jumlah 9.422,46 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Kotabaru (2015)

71
Adapun peta wilayah geografis Kabupaten Kotabaru
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3.1
Peta Geografis Kabupaten Kotabaru

Sumber: BPS Kabupaten Kotabaru Tahun 2014

72
Penduduk Kabupaten Kotabaru
Jumlah penduduk Kabupaten Kotabaru hasil proyeksi
penduduk tahun 2014 adalah 308.730 jiwa yang tersebar
di 202 desa/kelurahan. Jumlah penduduk terbesar masih
berada di Kecamatan Pulau Laut Utara dengan 84.335 jiwa.
Jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Kelumpang
Utara yang hanya tercatat sebesar 5.619 jiwa.
Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus
bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan penyebaran
penduduk. Selama ini sebagian besar penduduk Kabupaten
Kotabaru masih terpusat di Kecamatan Pulau Laut Utara.
Sekitar 27,32 persen penduduk tinggal di kecamatan tersebut.
Ironisnya, Kecamatan Hampang yang memiliki luas sekitar
17,88 persen dari luas total Kabupaten Kotabaru hanya dihuni
sekitar 3,53 persen penduduk.
Rasio jenis kelamin penduduk Kotabaru adalah
108,79. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-
laki di kabupaten Kotabaru lebih banyak daripada jumlah
penduduk perempuan. Dilihat dari usia, menunjukkan bahwa
penduduk Kabupaten Kotabaru didominasi oleh penduduk

73
usia muda. Jumlah penduduk terbesar berasal dari golongan
usia di bawah 10 tahun sebesar 70.140 anak.
Besarnya jumlah penduduk di Kecamatan Pulau Laut
Utara menyebabkan kepadatan penduduk kecamatan tersebut
menjadi sangat tinggi yaitu 529 penduduk per km 2. Di sisi
lain, kepadatan penduduk kecamatan Hampang sebagai
kecamatan dengan wilayah terluas hanya sebesar 19
penduduk per km2. Tabel berikut menunjukkan jumlah
penduduk menurut kecamatan yang merupakan angka
perkiraan pada tahun 2014.
Tabel 3
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten
Kotabaru Tahun 2014
Luas Desa/
Penduduk
No Kecamatan Area Kelurahan
Population
(Km2) Village
1 P. Sembilan 4,76 5 6.106
2 P. Laut Barat 297,81 11 9.780
3 P. Laut Tanjung Selayar 101,01 10 10.327
4 P. Laut Selatan 378,07 8 9.403
5 P. Laut Kepulauan 107,12 9 11.673

74
6 P. Laut Timur 642,81 14 13.534
7 P. Sebuku 225,5 8 7.650
8 P. Laut Utara 159,3 21 84.327
9 P. Laut Tengah 337,64 7 9.956
10 Kelumpang Selatan 279,66 9 9.692
11 Kelumpang Hilir 281,2 9 21.404
12 Kelumpang Hulu 553,44 10 15.406
13 H a m p a n g 589,15 9 10.905
14 Sungai Durian 1.684,64 7 11.022
15 Kelumpang Tengah 1.042,38 13 13.258
16 Kelumpang Barat 349,29 6 5.658
17 Kelumpang Utara 279,45 7 5.618
18 Pamukan Selatan 391,87 11 13.782
19 Sampanahan 488,89 10 10.451
20 Pamukan Utara 638,63 13 19.080
21 Pamukan Barat 589,84 5 9.667
Kotabaru 2014 9.422,46 202 308.699*
*) Angka Sementara Proyeksi Penduduk Tahun 2014
Sumber: BPS Kabaupaten Kotabaru Tahun 2014

75
Kondisi Perekonomian Kabupaten Kotabaru
Secara umum, perekonomian Kabupaten Kotabaru
di tahun 2013 menunjukkan aktivitas ekonomi yang baik.
Semua sektor dan subsektor ekonomi mampu membukukan
kinerja positif. Ditinjau dari besaran nilai PDRB, Kabupaten
Kotabaru termasuk kabupaten yang mempunyai kontribusi
ekonomi yang besar di Propinsi Kalimantan Selatan dengan
share 15,94 persen terhadap total PDRB Propinsi Kalimantan
Selatan.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
melihat tingkat perkembangan perekonomian suatu daerah
adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
PDRB disini menggunakan pendekatan produksi yaitu nilai
tambah bruto dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di dalam satu wilayah dalam jangka
waktu tertentu (satu tahun).
Struktur ekonomi suatu daerah diukur dari peran
masing-masing sektor/lapangan usaha terhadap total PDRB.
Semakin besar nilai tambah yang tercipta di suatu sektor

76
ekonomi akan membuat peran sektor tersebut semakin
penting. Struktur ekonomi suatu daerah menjadi indikator
penentu apakah daerah tersebut didominasi oleh sektor
primer, sekunder ataupun tersier. Sektor primer adalah sektor
yang masih banyak mengandalkan peran sumber daya alam
dalam proses produksi, yaitu: sektor pertanian dan sektor
pertambangan dan penggalian.
Barang dan jasa yang diproduksi dinilai dengan harga
produsen yang belum termasuk biaya transport dan
keuntungan pemasaran. Unit-unit produksi ini
dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok lapangan
usaha yaitu: (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian,
(3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5)
konstruksi, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) angkutan
dan komunikasi, dan (8) keuangan, sewa, dan jasa
perusahaan, serta (9) jasa-jasa. PDRB atas dasar harga
berlaku Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada tabel berikut:

77
Tabel 4
Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Kotabaru Atas
Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun
2011 – 2014 (Ribuan Rp)
2011 2012 2013 2014*
No Sektor
Rp % Rp % Rp % Rp %
1 Pertanian 3.587.099 32,81 3.877.413 32,02 4.194.310 31,57 4 .681.053 31,92
2 Pertambangan
dan 2.637.532 24,13 2.901.285 23,96 3.023.942 22,76 3 .061.969 20,88
Penggalian
3 Industri
700.772 6,41 777.857 6,42 863.421 6,50 949.233 6,47
Pengolahan
4 Listrik, Gas
17.668 0,16 19.017 0,16 20.470 0,15 23.142 0,15
dan Air Bersih
5 Bangunan /
570.945 5,22 656.587 5,42 755.075 5,68 833.306 5,68
Konstruksi
6 Perdagangan,
Hotel dan 1.893.178 17,32 2.173.944 17,95 2.495.535 18,79 2.888.678 19,70
Restoran
7 Angkutan dan 1.126.847
815.964 7,48 903.095 7,42 993.095 7,48 7,68
Komunikasi
8 Bank dan
Lembaga 160.306 1,47 179.940 1,49 202.995 1,53 229.302 1,56
Keuangan lain
9 Jasa – jasa 547.840 5,01 617.058 5,15 735.025 5,53 867.306 5,91
PDRB dengan
10 sektor 10.931.305 100,00 12.106.197 100,00 13.283.868 100 14.660.835 100
pertambangan
PDRB tanpa
11 sektor pertam- 8.350.849 9.267.695 10.328.988 11.673.750
baangan
*) Angka Sementara
Sumber : BPS Kabupaten Kotabaru, Tahun 2015

78
Kegiatan program CSR secara umum di Indonesia
bentuknya beranekaragam, tidak hanya terbatas pada program
sosial maupun secara ekonomi. Ada beberapa bidang lain
yang dapat dijadikan sasaran pertanggungjawaban sosial
perusahaan seperti, sosial, pendidikan, dan lingkungan.
Upaya tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 pasal 74
dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (UU PM). Kedua undang-undang tersebut mengatur
bahwa setiap perseroan atau penanam modal diwajibkan
untuk melakukan sebuah upaya pelaksanaan tanggung jawab
perusahaan (CSR). Sangat banyak data yang mencatat usaha
perusahaan yang berkontribusi dalam pembangunan fisik
maupun sosial melalui program CSR nya. Jenis bantuan pada
masyarakat oleh perusahaan kepada masyarakat sekitar
perusahaan pertambangan dan perkebunan di Kabupaten
Kotabaru, diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut.

79
Tabel 5
Jenis Bantuan pada Masyarakat oleh Perusahaan Kepada
Masyarakat Sekitar Perusahaan Pertambangan dan
Perkebunan di Kabupaten Kotabaru

Jenis bantuan pada masyarakat oleh


No Perusahaan perusahaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pertambangan
1 PT. Sebuku Sejaka Coal
2 PT. Ferry
3 PT. Indocemen
4 PT. Tunas Jaya
5 PT. Indonesia Bulk Terminal
6 PT. Shell Indonesia
PT. Arutmin Indonesia
7
(NPLCT)
8 PT. Metalindo Bumi Raya
PT. Bahari Cakrawala
9
Sebuku
10 PT. Sebuku Iron Lateritic

80
Olres (PT. Silo)
11 PT. Sebuku Tanjung Coal
Perkebunan
1 PT. Smart Tbk
2 PT. SKIP
3 PT. Bumi Prada
4 PT. Inhutani II
5 PT. Bumi Raya Investisindo
6 PT. Golden Hope Nusantara
Ket: 1) Jalan, 2) Sarana Pendidikan, 3) Pasar dan UMKM,
4) Intensif guru, 5) Sarana ibadah, 6) Sarana kesehatan,
7) Beasiswa, 8) sunatan masal, 9) Sembako, 10) Sarana
Air Bersih
Sumber: Analisis data primer, 2016.
Dalam bidang ekonomi, model kegiatan yang lazim
dilakukan dalam membangun hubungan antara perusahaan
dan masyarakat sekitar yang lebih berkualitas adalah melalui
pengembangan sarana prasarna perekonomian seperti pasar
dan jalan. Peran perusahaan dalam pengembangan
infrastruktur dapat dilakukan dengan memberikan bantuan
kepada UMKM sehingga UMKM tersebut dapat membentuk

81
capacity building, financial support dan jalur pemasaran yang
kuat. CSR sebagai salah satu solusi kemitraan dapat
memperkuat daya saing UMKM.
Dalam kaitan ini, kepedulian perusahaan akan
memberi manfaat kepada kedua belah pihak, khususnya
dalam rangka pengurangan dampak gejolak sosial sebagai
akibat adanya kecemburuan sosial-si kaya semakin kaya dan
si miskin semakin miskin. Secara spesifik menyebutkan
bahwa CSR bisa diarahkan bantuan permodalan, atau dalam
bentuk peningkatan kapasitas seperti inovasi packaging,
inovasi branding, inovasi produk, serta penampilan produk.
Selain hal-hal tersebut, bentuk program CSR lainnya yang
juga bisa dilakukan adalah pengembangan lembaga layanan
bisnis dan yayasan lain yang intinya diarahkan untuk
pengembangan UMKM.

82
SASARAN TANGGNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN

DI KABUPATEN KOTABARU

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


(Corporate Social Responsibility)

CSR Bidang CSR Bidang Kesehatan


Pendidikan
1. Pengobatan gratis
1. Beasiswa 2. Donor darah
2. Pendirian sarana 3. Bantuan peralatan
pendidikan posyandu
3. pengadaan 4. Fasilitas Olahraga

CSR Bidang Modal CSR Bidang CSR Bidang Ekonomi


Sosial Lingkungan dan Kewirausahaan

1. Bantuan bencana 1. Lembaga Keuangan


alam Mikro(LKM)
2. penyediaan sarana Pembibitan dan 2. Pemberdayaan Petani

Masyarakat

83
Kepala Badan Pusat Statistik Kotabaru Misnawati
mengatakan, jumlah penduduk miskin periode 2012 tersebut
jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni,
2011 sebanyak 15.374 jiwa atau sekitar 5.18 persen dari
jumlah penduduk Kotabaru. Dikatakan, penduduk miskin
periode 2010 sebanyak 15.894 jiwa atau sekitar 5,45 persen.
Meski jumlah penduduk miskin berangsur turun,
pemerintah daerah tetap harus fokus bahwa program-program
pembangunan yang ada harus prorakyat dan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menurunkan
angka kemiskinan di daerah. Selain menghadapi jumlah
penduduk miskin, Kotabaru kini juga dihadapkan pada
meningkatnya angka pengangguran, dari 4,38 persen menjadi
4,60 persen dari jumlah penduduk Kotabaru yang berjumlah
290.142 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Naiknya angka pengangguran salah satunya disebabkan
terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan
pertambangan. Terjadinya PHK di sektor pertambangan,
salah satunya akibat dampak kebijakan pemerintah yakni,
larangan ekspor hasil tambang mineral. Diakui Misnawati,
tingginya angka urbanisasi atau perpindahan penduduk dari

84
Pulau Jawa, dan daerah lainnya ke Kotabaru juga menjadi
salah satu faktor penyumbang tingginya angka pengangguran
di "Bumi Saijaan". 43
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) terakhir, tingkat pengangguran di Kotabaru pada
2012 sebesar 4,38 persen dari jumlah penduduk 290.142 jiwa.
Dan 2013, tingkat pengangguran naik sebesar 0,22 persen
menjadi 4,60 persen dari jumlah penduduk sebesar 290.142
jiwa.Kabupaten menduduki peringkat ke-IV jumlah
pengangguran terbesar dari 13 kabupaten/kota di Provinsi
Kalimantan Selatan. Bahkan angka pengangguran di
Kotabaru terjadi fenomena, sebab 12 kabupaten kota di
Kalsel prosentase pengangguran cenderung turun, sebaliknya
di Kotabaru terjadi kenaikan. Prosentase pengangguran
terbesar periode 2013 terjadi di Kabupaten Tanah Bumbu
yakni sebesar 7,32 persen turun dari tahun sebelumnya, 8,68
persen. Tapin tingkat pengangguran 2013 sebesar 5,43
persen, turun dibandingkan periode sebelumnya 6,99 persen,
43
Imam Hanafi. 2014. Penduduk Miskin Kotabaru 14.600 Jiwa.
Kantor Berita Antara Kalsel. Jumat, 28 Maret 2014 11:21 WIB.
http://www.antarakalsel.com/berita/16874/penduduk-miskin-kotabaru-
14600-jiwa, diakses 28/11/2016.

85
Kota Banjarmasin sebesar 5,24 persen lebih rendah dari
periode sebelumnya sebesar 7,08 persen.Kota Banjarbaru
prosentase pengangguran terjadi penurunan signifikan,
periode 2012 sebesar 8,56 persen dan periode 2013 turun
sebesar 5,91 persen menjadi 2,65 persen. Naiknya angka
pengangguran di Kotabaru bertolak belakang dengan naiknya
investasi di Kotabaru. Terpisah, Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kotabaru H Ansyar Noor, menyatakan,
investasi di Kotabaru periode 2013 naik sekitar 300 persen.
Kenaikan nilai investasi tersebut juga disampaikan Bupati
Kotabaru di beberapa acara resmi di daerah Kotabaru. Namun
sayang, menurut sejumlah masyarakat Kotabaru, ternyata
naiknya investasi tersebut belum mampu menurunkan tingkat
pengangguran di Kotabaru, justru sebaliknya, angka
pengangguran semakin tinggi. 44
Tingkat kemiskinan di Kalimantan Selatan keadaan
Maret 2016 tercatat 4,85 persen naik 0,13 poin
dibandingkan September 2015 yang sebesar 4,72 persen.

44
Ibid.

86
Pada Maret 2016, persentase penduduk miskin di daerah
perkotaan 3,48 persen dan di perdesaan 5,89 persen.45
Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan Maret
2016 sebesar 195,70 ribu orang, dengan rincian 60,83 ribu
orang di perkotaan dan 134,87 ribu orang di perdesaan.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan masih
lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Pada Maret 2016, peranan Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) sebesar 71,76
persen.Komoditi Makanan yang mempunyai peranan relatif
besar dalam menentukan GK adalah beras, rokok kretek
filter, kue basah, telur ayam ras, mie instan dan gula pasir.
Sedangkan komoditi nonmakanan yang mempunyai peranan
relatif besar adalah sewa rumah, bensin, air, listik, biaya
pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Pada periode September 2015 – Maret 2016, Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan

45
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2016.
Kondisi Kemiskinan di Kalsel Maret 2016 Jumlah Penduduk Miskin
195,70 Ribu Orang. Berita Resmi Statistik, BPS Kalsel No.
039/07/63/Th.XX, 18 Juli 016.

87
Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Pada Maret 2016
Indeks kedalaman Kemiskinan sebesar 0,711 sedangkan
Indeks Keparahan Kemiskinan sebesar 0,164.
Beberapa Faktor Penyebab Kenaikan Tingkat
Kemiskinan, sebagai berikut:46
a. Inflasi di daerah perkotaan lebih rendah dari daerah
perdesaan. Inflasi perkotaan sebesar 0,14 sedangkan di
perdesaan 0,42. Pada Maret 2016 terjadi inflasi di
daerah pedesaan Kalimantan Selatan sebesar 0,42
persen. Hal ini diakibatkan oleh naiknya indeks harga
pada subkelompok bahan makanan sebesar 0,71
persen, subkelompok makanan jadi naik sebesar 0,11
persen, subkelompok perumahan naik sebesar
0,69persen, subkelompok sandang naik sebesar 0,23
persen, subkelompok kesehatan naik sebesar 0,27
persen, subkelompok pendidikan, rekreasi, dan
olahraga naik sebesar 0,06 persen, dan subkelompok
transportasi dan komunikasi naik sebesar 0,09 persen.
Hal ini mengakibatkan daya beli masyarakat terutama
di daerah perdesaan semakin menurun.
b. Perlambatan kinerja ekonomi Kalimantan Selatan.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2015 sebesar
4,14 sedangkan pada triwulan I 2016 sebesar 3,97.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut terutama
dari sektor pertambangan batubara, dan komoditi
unggulan seperti sawit dan karet. Petani karet telah
kehilangan pendapatan potensialnya karena harga jual

46
Ibid.

88
karet mengalami penurunan. Akibatnya masyarakat
yang menggantungkan pendapatan dari sektor tersebut
juga turun, sehingga daya beli juga turun. Jika daya beli
mengalami penurunan, maka frekuensi/volume
komoditas yang dikonsumsi juga mengalami
penurunan.

Masih ditemukan permasalahan dalam implementasi


penanggulangan kemiskinan yang menyangkut : 47
1. Masih lemahnya koordinasi terutama dalam hal
pendataan, pendanaan, dan kelembagaan;
2. Lemahnya koordinasi antar program-program
penanggulangan kemiskinan antara instansi pemerintah
pusat dan daerah;
3. Lemahnya integrasi program pada tahap perencanaan,
sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, dan
sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha,
masyarakat madani);
4. Belum optimalnya kelembagaan di pemerintah, dunia
usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra
dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan
serta penciptaan lapangan kerja.

47
Irawanto Karimun. 26 November 2009. Isu-isu Strategis
Penanganan Masalah Kemiskinan di Kabupaten Barito Kuala, Banjar
dan Hulu Sungai Utara.
https://irawantokarimun.wordpress.com/2009/11/26/isu-isu-strategis-
penangananan-masalah-kemiskinan-di-kabupaten-barito-kuala-banjar-
dan-hulu-sungai-utara/, diunduh tgl 28 nov 2016.

89
Dengan dimensinya yang luas dan kompleks,
kemiskinan perlu ditangani secara komprehensif dan
sistemik. Faktor-faktor penyebab kemiskinan dipengaruhi
oleh begitu banyak variabel, baik yang bersifat internal
maupun global, dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu
sehingga membutuhkan upaya penanggulangan kemiskinan
yang harus terus diperbaharui. Pemecahan masalah
kemiskinan juga tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah
sendiri melalui kebijakan yang terpusat dan berjangka
pendek, melainkan memerlukan pendekatan yang terpadu,
terencana, berkesinambungan, dan menuntut keterlibatan
berbagai pihak.

4.2. Bentuk Kebijakan Yang Diterapkan Pemerintah


Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Terkait
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Dalam Meningkatkat Taraf Hidup Masyarakat
Sekitar Perusahaan Sawit.
Pada dasarnya, pengembangan perkebunan kelapa sawit
di Indonesia dimaksudkan untuk menaikkan pendapatan
masyarakat dan devisa negara melalui pekerjaan yang

90
produktif. Di samping itu, pembudidayaan ini juga ditujukan
untuk meningkatkan nilai tambah dan nilai saing, mencukupi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku, memacu tingkat
pertumbuhan daerah, serta memaksimalkan pengelolaan
sumber daya alam.

Syarat tumbuh tanaman kelapa sawit yang berada


di iklim tropis dengan curah hujan yang cukup
memungkinkan tanaman ini sangat cocok apabila
dibudidayakan di Nusantara. Selain mendorong tingkat
produktivitas yang tinggi, kesesuaian ini juga dapat menekan
biaya produksi serendah mungkin. Bahkan investasi yang
harus dikeluarkan untuk membudidayakan kelapa sawit jauh
lebih murah jika dibandingkan dengan tanaman-tanaman

91
penghasil minyak nabati lainnya seperti kelapa, kedelai,
bunga matahari, zaitun, dan sebagainya.
Seluruh kegiatan pemeliharaan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu, maka
dibuatlah suatu pedoman dasar penilaian terhadap
pembangunan kelapa sawit yang disebut ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) atau Sistem Minyak Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia. Tujuannya yaitu untuk meingkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya memproduksi sawit
dengan memakai sistem yang berkelanjutan, meningkatkan
nilai dan daya saing kelapa sawit buatan Indonesia di pasar
gobal, dan mendukung komitmen Indonesia tentang
pertemuan Kopenhagen pada 2009.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan
dalam penyusunan ISPO antara lain :
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman.
2. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan.

92
3. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar
Pokok Agraria.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman.
6. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
7. UU No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik,
Hak Pakai Atas Tanah
8. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.
9. PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
10. Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman
Perizinan Perkebunan
11. Permentan No. 14 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa
Sawit.
12. Permentan No. 7 tahun 2009 tentang Pedoman
Penilaian Usaha Perkebunan.
13. Permentan No. 36 tahun 2009 tentang Persyaratan
Penilaian Usaha Perkebunan.

93
14. Permentan No. 37 tahun 2006 tentang Pengujian,
Penilaian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas.
15. Permentan No. 38 tahun 2006 tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih
16. Permentan No. 39 tahun 2006 tentang Produksi,
Sertifikasi, dan Peredaran Benih Bina
17. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 2 tahun
1999 tentang Izin Lokasi.
18. Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri
Pertanian, dan Kepala BPN No. 364/Kpts-II/1990,
No. 519/Kpts/Hk.050/7/1990, dan No. 23/VIII/90
tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan
Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan.
19. Peraturan Dirjenbun No. 174 tahun 2009 tentang
Kuesioner Penilaian Usaha Perkebunan dan
Pengolahan Data untuk Penilaian Usaha Perkebunan
Tahap Pembangunan dan Operasional.

Karena pembuatan ISPO berlandaskan pada peraturan


perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sehingga
ketentuan ini merupakan kewajiban/mandatory yang harus

94
dipatuhi oleh setiap pelaku usaha kebun kelapa sawit di
negeri ini.
Ketentuan dari Pemerintah yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 dan
diperbaharui Peraturan Menteri Pertanian No 98 tahun 2013
menekankan bahwa sejak bulan Februari 2007 apabila terjadi
pembangunan kebun kelapa sawit, perusahaan inti wajib
untuk membangun kebun masyarakat di sekitarnya dimana
areal lahan diperoleh dari 20% ijin lokasi perusahaan atau
membangun kebun dari lahan masyarakat yang ada
disekitarnya.
Pemerintah juga telah mencantumkan ketentuan
Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dalam UU
Perkebunan No. 39 Tahun 2014 yang mewajibkan
perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa
sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti ketentuan
peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yakni
perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial,
ekonomi, dan lingkungan dimana salah satunya membangun
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan

95
pembangunan kebun kelapa sawit yang kepemilikan lahannya
oleh masyarakat.
Mengingat pembangunan kebun plasma membutuhkan
proses sosialisasi awal dan pembinaan dalam jangka waktu
yang lama maka dibutuhkan pendampingan dari pihak yang
berpengalaman untuk membantu perusahaan dalam
merealisasikan pembangunan kebun plasma dengan sepuluh
tahapan pelaksanaan yang perlu dilakukan : sosialisasi,
penetapan struktur organisasi perkebunan inti plasma,
pembentukan koperasi dan dokumen kelengkapan koperasi,
perijinan kebun plasma (legalitas), pembangunan kebun, pre
financing dan pembiayaan kebun plasma, penilaian kebun
plasma, pembagian hasil kebun plasma, pembinaan admin
dan teknis kebun, pembinaan pasca kredit lunas.
Pembangunan kebun plasma yang dilaksanakan dengan
pola kemitraan oleh pihak perusahaan dapat mencapai
keberhasilan apabila dilakukan dengan mengikuti kriteria-
kriteria yang harus dipenuhi sebagai berikut : Pertama,
perusahaan memberikan komitmen yang tertuang dalam surat
pernyataan kepada pemerintah maupun perbankan.Tercantum
dalam surat perjanjian kerjasama antara perusahaan dan

96
koperasi bahwa selama masa pembangunan kebun sampai
dengan tanaman menghasilkan umur 30 tahun, perusahaan
memberikan dukungan pre financing. Hal ini terjadi dimulai
dari selama proses sosialisasi, perijinan, pembentukan
koperasi dan tahap pembangunan kebun awal (tahun 0).
Berupa pinjaman serta pembinaan secara teknis dan admin
kebun guna menjamin keberhasilan pembangunan kebun
sampai kredit dilunasi, bahkan sampai masa replanting.
Kedua, perusahaan harus menjadi Avalist/penjamin
terhadap pembiayaan (financing) kebun plasma yang
diajukan kepada pihak Bank dimana pada masa-masa kebun
belum menghasilkan produksi yang optimal. Apabila harga
TBS juga dibawah harga yang tercantum dalam proyeksi
keuangan, maka perusahaan akan menalangi angsuran
pinjaman kepada pihak Bank. Kecuali terjadi force majeur
(hal-hal yang tidak bisa dielakkan karena faktor eksternal
atau kebijakan pemerintah yang mempengaruhi
usaha/perekonomian luar biasa) bisa diajukan reschedule
pinjaman.
Faktor ketiga, baik perusahaan maupun masyarakat,
saling menghormati janji dan komitmen yang telah disepakati

97
dan tertuang dalam perjanjian kerjasama dengan
mengedepankan proses komunikasi yang
intensif. Perusahaan juga menjalankan peran pembinaan
secara serius dan berkelanjutan melalui manajemen kebun
plasma.
Hal-hal tersebut di atas tentunya dibangun dari
kesadaran bahwa kehadiran perusahaan di lokasi areal kebun
sebagai agen perubahanan ataupun agen pembangunan dan
bukan sebagai mercusuar yang memberi kehidupan dan
kesejahteraan bagi seluruh pihak yang tinggal dan berada
di sekitar lokasi perkebunan tersebut. Dan perusahaan
dipastikan akan mendapatkan keuntungan dalam jangka
panjang apabila kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi
masyarakat bisa berkembang dengan harmonis dan serasi
serta menumbuhkan mutual simbiosis. Apabila hal ini
tercapai maka tujuan pemerintah melalui ISPO dalam
pembangunan kebun kelapa sawit berkelanjutan dapat
diwujudkan.48

48
Fadjar Ari Dewanto. 2015. Pembangunan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Pola Kemitraan.
http://beritadaerah.co.id/2015/03/25/pembangunan-kebun-kelapa-sawit-
plasma-pola kemitraan/, diakses tanggal 5/9/2016.

98
Untuk Kabupaten Barito Kuala kebijakan TJSL belum
ada kebijakan khusus yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Kuala
menyerahkan kesurekarelaan dari perusahaan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan. Kalau pun ada hanya untuk mengatur Forum
CSR yang dituangkan dalam Peraturan Bupati. Tidak ada
batasan bantuan CSR yang diberikan oleh perusahaan
disesuaikan dengan keuntungan perseroan itu sendiri dan
Pemerintah daerah Barito Kuala membebaskan dana CSR
yang diberikan oleh perusahaan yang ada di Kabupatenaten
Barito Kuala.
Di Kabupaten Kotabaru sudah membentuk Peraturan
Daerah Kotabaru Nomor 19 Tahun 2013 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, yang
mempunyai ruang lingkup yang diatur dalam Pasal 6 bahwa
“Ruang lingkup pengaturan TSLP meliputi bantuan
pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
kompensasi pemulihan dan/atau peningkatan fungsi
lingkungan hidup dan memacu pertumbuhan ekonomi
berkualitas berbasis kerakyatan yang selaras dengan

99
program/kegiatan pemerintah daerah. Ruang lingkup berlaku
dalam kawasan yang secara langsung maupun tidak langsung
menerima dampak atas kegiatan operasional Perseroan”.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan juga
sudah membentuk Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perusahaan, terdiri dari 23 Pasal. Ruang
lingkup pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan
Perusahaan diatur dalam Pasal 2 Pengaturan mengenai
TJSLP dimaksudkan untuk:
a. mendorong Perusahaan untuk berpartisipasi dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan di Daerah;
b. memberi arahan kepada Perusahaan dalam
perencanaan dan pelaksanaan TJSLP agar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan program
pembangunan di Daerah;
c. memberi pedoman bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan pihak lainnya dalam melakukan
koordinasi dan fasilitasi perencanaan dan pelaksanaan
TJSLP di Daerah; dan
d. mengoptimalkan peran serta masyarakat, terutama
pelaku usaha dalam mendukung percepatan
pembangunan di Daerah.
Masyarakat merupakan salah satu sumber utama faktor
produksi terpenting bagi kegiatan dan eksistensi perusahaan.

100
Tanpa masyarakat, maka perusahaan tidak akan pernah eksis
dan mampu berkembang. Oleh sebab itu, perusahaan
memiliki tanggung jawab sosial atau Corporate Social
Responsibility (CSR) terhadap keberadaan masyarakat
di lingkungan perusahaannya. Kesetaraan sosial dan ekonomi
seluruh masyarakat akan berpengaruh sangat positif terhadap
seluruh kegiatan perusahaan serta eksistensi perusahaan,
sebab masyarakat merupakan penyedia tenaga kerja sekaligus
sebagai pasar dari seluruh hasil produksi perusahaan.
Masyarakat yang sejahtera dan memiliki kesetaraan sosial
ekonomi akan mampu menyediakan tenaga kerja yang
berkualitas dalam jumlah yang mencukupi. Pada saat yang
sama kesejahteraan sosial ekonomi akan meningkatkan daya
beli masyarakat terhadap produk-produk yang dipasarkan
perusahaan.
Dari berbagai peraturan perundangan tersebut jelas
bahwa sesungguhnya konsep TJSLP telah diatur dan
dinyatakan sebagai kewajiban. Namun, masih tersebar di
berbagai peraturan perundangan sehingga belum mampu
memberikan manfaat bagi pembangunan di Provinsi
Kalimantan Selatan.

101
Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan yang
mengatur TJSLP sehingga pelaksanaan TJSLP bisa lebih
terarah dan tepat sasaran yang disesuaikan dengan arah
pembangunan Kalimantan Selatan (RPJM dan RPJP
Kalimantan Selatan) baik pembangunan bidang sosial
maupun lingkungan. Dengan demikian jelaslah bahwa
konsep hubungan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha
dan masyarakat merupakan conditio sine quanon yang
menurut Albareda dalam Bart & Wolff (2009)49, menunjukan
adanya relasi antar unsur di dalam ekosistem dan TJSLP
tergambar di irisan ketiga unsur. Hal ini menunjukkan sifat
triangular dari TJSLP yang pelaksanaannya menekankan
kepada peran serta ketiga pihak. Idealnya, kegiatan TJSLP
menuntut pembagian tanggung jawab yang merata tanpa
adanya predominasi yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Aspek ekonomi dan legal secara mutlak mengikat
perusahaan, menjadikan tanggung jawab yang ada sebagai
sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Kedua aspek ini
memiliki sifat koersif yang pelaksanaannya diatur secara

49
Barth, Regine dan Franziska Wolff. 2009. Corporate Social
Responsibility in Europe: Rhetoric and Realities. Cheltenham: Edward
Elgar Publishing, hlm. 7.

102
legal sesuai hukum yang berlaku sebagai standar minimum
yang diberikan pemerintah guna membatasi gerak bebas
perusahaan, meliputi 1) hubungan antara Negara – Bisnis, 2)
Hubungan antara Bisnis dan Masyarakat, 3) Hubungan antara
Negara dan Masyarakat, dan 4) Ranah TJSLP.
Pelaksanaan TJSLP bukanlah hanya sekadar tunduk
pada peraturan hukum dan politik, namun perlu dianggap
sebagai faktor pendukung atau sebagai jembatan penghubung
yang harmonis antara perusahaan dan lingkungan.
Konsekuensinya, perusahaan tidak hanya berfokus pada
pekerjaan internal seperti urusan pajak, regulasi, bea cukai
atau hal-hal lain yang terkait dengan kepentingan perusahaan
semata.
Dalam rangka pelaksanaan atau operasionalisasi
TJSLP maka pemerintah daerah harus mengoptimalkan
potensi usaha yang dapat diajak bermitra untuk
menyelenggarakan TJSLP dan peduli pada masalah sosial
yang ada di daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Misalnya
dengan menyediakan peta permasalahan sosial. Peta dasar
permasalahan sosial ini sangat penting untuk dapat digunakan
sebagai acuan.

103
Kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan
merupakan prinsip dasar dan landasan kerjasama antara
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (termasuk di
dalamnya LSM). Kesetaraan berarti saling memiliki
kepercayaan penuh, saling menghargai, saling menghormati,
saling mengakui kemampuan dan wewenang masing-masing.
Keterbukaan saling percaya, jujur dan tidak ada kerahasiaan
serta yakin akan komitmen masing-masing. Saling
menguntungakan yang berarti mendapatkan manfaat bersama
dengan berkurangnya masalah sosial, berarti pemerintah telah
berhasil mengatasi masalah yang ada di lingkungan masing-
masing. Sementara dunia usaha juga mendapatkan dukungan
sosial karena keberadaannya mendapatkan pengakuan dan
dukungan pemerintah dan masyarakat.
Kunci keberhasilan dalam kemitraan tentunya adanya
komitmen bersama serta kerjasama yang harmonis dan
kolaborasi yang serasi, serta koordinasi yang baik, yang jauh
dari unsur-unsur tekanan karena telah terbangun iklim saling
kepercayaan antar mitra yang terlibat. Dalam tataran ini,
perlu rujukan berupa peraturan atau undang-undang yang
mengatur tentang TJSLP.

104
Dengan mengacu pada prinsip kemandirian, maka
pelaksanaan TJSLP tetap diserahkan pada para pelaku usaha
itu sendiri yaitu dengan memberikan kebebasan bagi para
pelaku usaha untuk melaksanakan TJSLP namun tetap di
dalam koridor atau sesuai arah dan tujuan kebijakan
pembangunan Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan
demikian negara memiliki dua fungsi sekaligus yaitu
regulator dan fasilitator.
Melalui prinsip kemandirian, para pelaku usaha juga
diberikan kebebasan untuk secara bersama-sama melalui
sebuah forum TJSLP melakukan penyusunan Rencana Kerja
Tahunan Perusahaan, menentukan masyarakat sasaran dan
program kegiatan TJSLP, mendapatkan kepastian hukum
dan perlindungan hukum, mendapatkan informasi yang
terbuka, mendapatkan pelayanan, termasuk insentif dan
kemudahan serta mendapatkan fasilitas dan/atau
penghargaan dari Pemerintah Daerah berdasarkan kepatuhan
Perusahaan dalam pelaksanaan TJSLP.
Di samping hak yang harus dihormati, mereka juga
memiliki kewajiban sebagai dampak dari hasil kegiatannya,
yaitu kewajiban menjalankan TJSLP,

105
melaksanakan Rencana Kerja Tahunan Perusahaan (RKTP)
dengan tetap memperhatikan kebijakan Pemerintah Daerah
Provinsi Kalimantan Selatan dan peraturan perundang-
undangan, menumbuhkan, memantapkan dan
mengembangkan sistem kerjasama dan kemitraan dengan
memperhatikan kepentingan.
Perusahaan, Pemerintah Daerah, dan masyarakat,
menerima usulan masyarakat baik perseorangan maupun
kelompok yang sesuai dengan pelaksanaan TJSLP,
membuat dan menyampaikan laporan kegiatan terhadap
pelaksanaan RKTP kepada Pemerintah Daerah melalui
FTJSLP secara berkala; dan mematuhi semua ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perusahaan yang wajib menjalankan TJSLP adalah
perusahaan yang berstatus pusat, kantor cabang dan/atau
kantor operasional perusahaan yang berkedudukan di wilayah
Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini dimaksudkan agar tidak
muncul kekawatiran bahwa pelaksanaan TJSLP akan
banyak mengalir ke kabupaten/ kota.
Kelembagaan sangatlah penting agar pelaksanaan
TJSLP bisa berjalan efektif. Oleh karena itu diperlukan

106
sebuah badan atau forum TJSLP (prinsip kemandirian) di
luar SKPD untuk merencanakan, mengawasi, dan
mengevaluasi pelaksanaan TJSLP di Provinsi Kalimantan
Selatan. Kewenangan yang diberikan Forum adalah
menyusun Rancangan Pedoman Tata Cara Pelaksanaan
TJSLP dan Laporan Kegiatan Perusahaan Pelaksanaan
TJSLP untuk melaksanakan RKTP. Rancangan ini disusun
dan ditetapkan melalui rapat koordinasi yang
diselenggarakan oleh forum yang dihadiri oleh organ Forum
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
(FTJSLP), SKPD terkait, pemerintah kabupaten/kota dan
FTJSLP kabupaten/kota.
Pemerintah melalui SKPD memfasilitasi rapat
koordinasi tersebut. Pedoman ini ditetapkan dalam
Peraturan Gubernur yang kemudian dapat dijadikan
pedoman pelaksanaan FTSP di kabupaten/kota. Pernyataan
dapat diartikan bisa ya atau tidak untuk dijadikan pedoman
bagi pelaksanaan TJSLP kabupaten/kota. Namun, bila
merujuk pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 1 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Perda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas

107
Perda Provinsi dan PerdaKabupaten/Kota. Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki
hirarki lebih tinggi dari pada Perda Kabupaten/Kota; Perda
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
memuat materi muatan untuk mengatur kewenangan
Provinsi dan/atau dapat mengatur kewenangan
kabupaten/kota. Perda Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapatmengatur kewenangan Kabupaten/Kota
apabila terdapat pengaturan yang materi muatannya terkait
Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, mendasarkan pada
Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut maka Pedoman
Tata Cara Pelaksanaan TJSLP dan Laporan Kegiatan
Perusahaan Pelaksanaan TJSLP yang ditetapkan dalam
peraturan gubernur bukan dapat melainkan harus dijadikan
pedoman pelaksanaan FTSP di kabupaten/kota. Sebaliknya,
hal ini bisa menjadi isu hukum tersendiri bila dikaitkan
dengan Pasal 18 Ayat (5) dan (6) UUD 1945.
Dalam rangka mendukung keberlanjutan program
TJSLP di Kalimantan Selatan, maka masyarakat sebagai
bagian dari civil society juga diberikan kesempatan untuk
berperan serta dalam pelaksanaan TJSLP dengan cara

108
penyampaian saran maupun penyampaian informasi potensi
daerah.Sedangkan fungsi pengawasan, pengendalian dan
pembinaan dilakukan oleh pemerintah melalui SKPD terkait.
Pengawasan dan pengendalian dilakukan dengan cara
verifikasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan ketentuan
TJSLP, tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan
TJSLP dan evaluasi Laporan pelaksanaan TJSLP dan dari
sumber informasi lainnya. Untuk pelaksanaan pembinaan
dilakukan dengan cara penyuluhan pelaksanaan ketentuan
TJSLP, pemberian konsultansi dan bimbingan pelaksanaan
TJSLP, fasilitasi dan bantuan penyelesaian
masalah/hambatan yang dihadapi Perusahaan dalam
merealisasikan program TJSLP.
Secara keseluruhan operasionalisasi Program TJSLP
yang melibatkan jaringan pemerintah, pelaku usaha dan
masyarakat dapat dirangkum dalam Pasal 18 Ayat (5) dan (6)
UUD 1945, yaitu :
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.

109
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan -peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

110
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
1. Hasil penelitian yang telah dilakukan Tim Peneliti
menggambarkan adanya persoalan dalam kendala
dalam penerapan hukum tanggung jawab sosial dan
lingkungan pada perusahaan perkebunan sawit untuk
meningkatkan tarap hidup masyarakat
di Provinsi Kalimantan Selatan., yang terdiri dari:
Pertama, persoalan materi isi paraturan perundang-
undangan yang mengatur penerapan hukum
tanggung jawab sosial dan lingkungan pada
perusahaan perkebunan sawit. Kedua, persoalan
dalam pelaksanaan penerapan hukum tanggung
jawab sosial dan lingkungan pada perusahaan
perkebunan sawit antara instasi pemerintah dan
masyarakat.

2. Penerapan hukum tanggung jawab sosial dan


lingkungan pada perusahaan perkebunan sawit
untuk meningkatkan tarap hidup masyarakat di

111
Provinsi Kalimantan Selatan. masih hanya bertujuan
untuk mengetahui bentuk pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan sebagai bentuk tanggung
jawab perusahaan terhadap lingkungannya demi
meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dan
apakah penerapan tanggung jawab sosial
perusahaannya telah berpengaruh positif terhadap
perekonomian masyarakat sekitar, dan untuk
menemukan bentuk peraturan atau kebijakan
pemerintah daerah yang aplikatif agar tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan dapat
diterapkan demi meningkatkan perekonomian
masyarakat sekitar, oleh karena itu diperlukan
strategi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan untuk dapat mencapai sasaran
meningkatkan tarap hidup masyarakat.

112
DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Abrar Saleng. 2004. Hukum Pertambangan. Yogyakarta :
Universitas Islam Indonesia Press.

Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini. 2004. Komisaris


Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan.
Jakarta : Penerbit PT Indeks.

Anwar. C. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. II.


Malang : Intrans Publishing.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2016.


Kondisi Kemiskinan di Kalsel Maret 2016 Jumlah
Penduduk Miskin 195,70 Ribu Orang. Berita Resmi
Statistik, BPS Kalsel No. 039/07/63/Th.XX, 18 Juli
016.

Bambang Sunggono. 2007. Metode Penelitian Hukum.


Jakarta : Rajawali Press.
Barth, Regine dan Franziska Wolff. 2009. Corporate Social
Responsibility in Europe: Rhetoric and Realities.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing.

Cynthia A. William. 2002. ”Corporate Social Responsibility


in an Era of Economic Globalization”, 35 University
of California Davis Law Review.

113
Djaja S. Meliala. Perkembangan Hukum Perdata Tentang
Benda dan Hukum Perikatan, Bandung : Nuansa
Aulia.

Edwin Cannan. 1965. Adam Smith: An Inquiry Into The


Nature and Causes of The Wealth of Nation, The
Modern Library, New York.

Fadjar Ari Dewanto. 2015. Pembangunan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Pola
Kemitraan.http://beritadaerah.co.id/2015/03/25/pemba
ngunan-kebun-kelapa-sawit-plasma-pola kemitraan/,
diakses tanggal 5/9/2016.

Gary von Stange. 1994. “Corporate Social Responsibility


through Constituency Statutes: Legend or Lie ?”, 11
Hofstra Labour Law Journal.

Hendrik Budi Untung. 2008. Corporate Sosial Responsibility.


Jakarta : Sinar Grafika.

Illias Bantekas. 2004. “Corporate Social Responsibility in


International Law”. 22 Boston University
International Law Review.

Im Ife & Frank Tesoriero. 2008. Community Development


Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era
Globalisasi (Penterjemah: Sastrawan Manullang,
Nurul Yakin, M. Nursyahid), Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

114
Imam Hanafi. 2014. Penduduk Miskin Kotabaru 14.600
Jiwa. Kantor Berita Antara Kalsel. Jumat, 28 Maret
2014 11:21 WIB.
http://www.antarakalsel.com/berita/16874/penduduk-
miskin-kotabaru-14600-jiwa, diakses 28/11/2016.

Irawanto Karimun. 26 November 2009. Isu-isu Strategis


Penanganan Masalah Kemiskinan di Kabupaten
Barito Kuala, Banjar dan Hulu Sungai Utara.
https://irawantokarimun.wordpress.com/2009/11/26/is
u-isu-strategis-penangananan-masalah-kemiskinan-di-
kabupaten-barito-kuala-banjar-dan-hulu-sungai-utara/,
diunduh tgl 28 nov 2016.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-


Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media,
dan HAM. Cet. II. Jakarta : Konstitusi Press.
Kristina K. Hermann. 2004. “Corporate Social Responsibility
and Sustainable Development: The European Union
Initiative as a Case Study”, 11 Indiana Journal of
Global Legal Studies.

Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham


Minoritas dalam Rangka Good Corporate
Governance. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum


Dalam Pembangunan. Bandung : Alumni.

Mukti Fajar ND. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

115
di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nandang Sudrajat. 2010. Teori dan Praktik Pertambangan
Indonesia Menurut Hukum. Yogyakarta : Pustaka
Yustisia, hlm 67.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum.Cet.I.
Jakarta : Kencana.

Philipus M.Hadjon. 1994. “Pengkajian Ilmu Hukum


Dogmatik (Normatif)”, dalam Jurnal Yuridika, No.6
Th.IX November-Desember. Surabaya : Universitas
Airlangga.

Pradjoto. “Tanggung Jawab Sosial Korporasi”. Kompas, 22


Juli 2007.

Raul Anibal Etcheverry. 2005. “Corporate Social


Responsibility – CSR”. 23 Peen State International
Law Review.

Ryan Kiryanto. “Mendudukkan CSR Sesuai Prinsip


Korporasi Modern”. Business News No. 7546,
tanggal 8 Agustus 2007.
Salim. HS. 2008. Hukum Pertambangan Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Soeharto Prawirokusumo. 2003. “Perilaku Bisnis Modern –
Tinjauan pada Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial”. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No.4.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian
Hukum Normatif. Jakarta : Rajawali Press.

116
Sony Keraf – Robert Haryono Imam. 1993. Etika Bisnis, Cet.
II. Pustaka Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.

Sukarli dan Hasan Zainuddin. 2016. Empat Kebijakan


Percepatan Pembangunan Kemiskinan Barito Kuala.
Koran Antara News Kalsel Marabahan. Tanggal 2
Agustus
2016,http://kalsel.antaranews.com/berita/38423/empat
-kebijakan-percepatan-pembangunan-kemiskinan-
barito-kuala, diunduh tanggal 28 November 2016.

Sutan Remy Sjahdeini. “Corporate Social Responsibility”,


Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26-No. 3 Tahun 2007.

Ukandar Rumidi. 2010. Memahami Pengelolaan Bahan


Tambang di Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Pustaka
Nusatama.
Winahyu Erwiningsih 2009. Hak Menguasai Negara Atas
Tanah. Yoygakarta : Total Media.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025.

117
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009


Tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014


Tentang Perkebunan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun


2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas.

118

Anda mungkin juga menyukai