Hibatul Azizi Aminullah (19301244018) Nur Ayuni Maulidya R. (19301244026) Siswa sering diposisikan sebagai “orang yang tidak tahu apa-apa” dan hanya menunggu apa yang guru berikan.
Dalam kurikulum matematika sekolah di Indonesia, masih melekat
kebiasaan pembelajaran pada siswa yang seperti berikut, (1) Diajarkan teori/ teorema/definisi, (2) Diberikan contoh-contoh, dan (3) Diberikan latihan soal-soal. ● Realistic Mathematics Education (RME) merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang menuntut siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui aktivitas yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran dengan bimbingan orang dewasa. ● Telah dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30 tahun dan menunjukkan hasil yang baik. ● Dikembangkan di beberapa negara lain seperti USA, Afrika Selatan, Malaysia, Inggris, Brazil, dan lain-lain. • Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam model pembelajaran RME, yaitu: (a) Petunjuk menemukan kembali/matematisasi progresif (guided reinvention/progessive mathematizing), (b) Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology), (c) Mengembangkan model sendiri (Self developed models). • “masalah kontekstual” → “model dari masalah kontekstual tersebut” → “model ke arah formal” → “pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001b). p 1. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengalaman yang telah dimiliki siswa. 2. Urutan pembelajaran haruslah menghadirkan suatu aktivitas atau eksplorasi. 3. Menekankan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah. 4. Siswa mengalami proses pembelajaran secara bermakna dan memahami matematika dengan penalaran. 5. Siswa belajar matematika dengan pemahaman secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan awal. 6. Dalam pembelajaran siswa dilatih untuk megikuti pola kerja, intuisi – coba – salah – dugaan/spekulasi – hasil. 7. Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. 1. Fase Aktivitas. Pada fase ini, siswa mempelajari matematika melalui aktivitas doing, yaitu dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara khusus. 2. Fase Realitas. Tujuan utama fase ini adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. 3. Fase Pemahaman. Pada fase ini, proses belajar matematika mencakup berbagai tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai dengan menemukan prinsip-prinsip keterkaitan. 4. Fase Interwinement. Pada tahap ini, siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalah matematika yang kaya akan konteks dengan menerapkan berbagai konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan. 5. Fase Interaksi. Proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial. 6. Fase Bimbingan. Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba menemukan sendiri prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh guru. Langkah 1: Memahami masalah konstektual. Langkah 2: Menjelaskan masalah kondisi soal dengan memberikan petunjuk atau saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual. Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Langkah 5: Menyimpulkan hasil dari diskusi. ● Siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya. ● Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan. ● Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya. ● Memupuk kerja sama dalam kelompok. ● Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya. ● Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat. ● Pendidikan berbudi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara ● Siswa masih kesulitan menemukan sendiri jawabannya. ● Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa yang memiliki kemampuan yang rendah. ● Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai. ● Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu. ● Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi atau memberi nilai. CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo, including icons by Flaticon, and infographics & images by Freepik