Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MID SEMESTER PEMBELAJARAN MATEMATIKA 1

RESUME PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DISUSUN OLEH:
IGNASIUS GERALDI SUDIN (210007301010)

PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2021/2022
RINGKASAN PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DALAM MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR DAN STRATEGI
PEMECAHANNYA (KELOMPOK I)

A. Pengertian Problematika Pembelajaran Matematika


Dalam kegiatan pembelajaran matematika tidak lepas dari kata problematika.
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu “problematic” yang
artinya persoalan atau masalah. Adapun masalah itu sendiri adalah suatu kendala atau
persoalan yang harus dipecahkan dengan baik, agar tercapai hasil yang maksimal.
Secara sederhana istilah pembelajaran mempunyai arti upaya untuk membelajarkan
seseorang atau kelompok orang yang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai
strategi, metode, dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan.
Pembelajaran dapat juga dikatan sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam
desain intruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif yang
menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Jadi, problematika dalam pembelajaran merupakan sebuah proses pembelajaran
yang dihadapkan pada beragam permasalahan yang mengganggu, menghambat,
mempersulit, atau bahkan mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Problematika dalam pembelajaran dapat ditelusuri dari jalannya proses
dasar pembelajaran. Dapat dikatakan pula bahwa problematika dalam pembalajaran
matematika merupakan permasalahan yang timbul pada saat proses belajar
berlangsung yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan
pembelajaran matematika yang diinginkan.
B. Problematika dalam Pembelajaran Bangun Ruang Sisi Datar
Bangun ruang sisi datar adalah bangun dimensi tiga yang sisi-sisi tegaknya
berupa bidang datar. Adapun bangun ruang sisi datar dibagi atas 4 macam yaitu:
kubus, balok, prisma, dan limas. Keempat bangun tersebut memiliki karakteristik,
rumus luas, dan rumus volume yang berbeda satu sama lain. Dengan banyaknya
submateri yang terdapat pada materi bangun ruang sisi datar ini ditemukan beberapa
problematika siswa diantaranya, yaitu:
1. Siswa tidak dapat membedakan unsur-unsur bangun ruang sisi datar (titik sudut,
rusuk, bidang, dan lainnya).
2. Siswa kurang memahami rumus-rumus pada tiap submateri, dalam hal ini
penggunaan rumus yang sering tertukar.
3. Siswa kerap kali kesulitan dalam mengerjakan soal yang berbeda dari contoh
yang diberikan guru, hal ini dapat terjadi karena kurangnya pemahaman dasar
siswa dan pemberian soal yang monoton dari guru.
4. Siswa kurang dalam memahami soal mengenai bangun ruang sisi datar dalam
bentuk soal cerita.
5. Siswa sering lupa menulis dan mengkonversi satuan pada saat menyelesaikan
soal.
C. Strategi Pemecahan Masalah dari Problematika Materi Bangun Ruang Sisi
Datar
Strategi yang ditawarkan agar siswa dapat mengurangi problematika yang ada
dalam pembelajaran bangun ruang sisi datar yaitu dengan pembelajaran
menggunakan model Problem-Based Learning yang merupakan pendekatan yang
relevan sebagai salah satu alternatif strategi dari masalah tersebut. Pembelajaran
dilaksanakan dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, dengan
menggunakan alat peraga berupa model-model bangun ruang sisi datar.
Problem Based Learning (PBL) adalah salah satu model pembelajaran inovatif
yang dapat memberikan kegiatan belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning
(PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan
suatu masalah (melalui tahap-tahap metode ilmiah) sehingga membuat siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus
memiliki keterampilan untuk memecahkan suatu masalah. Model pembelajaran
tersebut memiliki tujuan utama yaitu pengembangan kemampuan berfikir kritis dan
kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan kemampuan siswa
untuk aktif membangun pengetahuan sendiri.
Alat peraga adalah suatu perangkat benda konkrit yang dirancang, dibuat, dan
disusun secara sengaja yang digunakan untuk membantu menanamkan dan
memahami konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam pelajaran, khususnya
matematika. Materi bangun ruang sisi datar merupakan materi yang abstrak, sehingga
dalam penerapan model pembelajaran PBL ini, guru dapat menggunakan media alat
peraga sebagai bentuk konkret dari bangun ruang sisi datar yang dipelajari siswa.
Berikut ini akan dijelaskan fase/tahapan pelaksanaan PBL dalam pembelajaran:
1. Fase Pertama: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pada fase ini siswa diperlihatkan alat peraga untuk mengetahui unsurunsur
bangun ruang sisi datar, seperti bentuk, jaring-jaring. Guru diharapkan menjelaskan
dengan baik dan teliti macam-macam bangun ruang dan unsur-unsur pada bangun
ruang sisi datar. Penggunaan alat peraga ini dapat mengatasi problematika pada siswa
yang tidak dapat membedakan unsur-unsur bangun ruang sisi datar, sehingga
pembelajaran lebih realistis dan dapat diterima oleh siswa, karena siswa dapat melihat
secara nyata yang dimaksud dengan titik sudut, rusuk, dan bidang.
2. Fase Kedua: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar
anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan
memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan
siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti:
kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang
efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Selain pengelompokkan siswa, guru
juga membagikan lembar kerja siswa yang didalamnya terdapat sedikit materi tentang
bangun ruang sisi datar untuk mempermudah siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
3. Fase ketiga: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan
melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul
memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa
mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka
sendiri. Pada fase ini, siswa diorientasikan menghubungkan alat peraga yang telah
diamati untuk menentukan rumus dalam hal ini luas dan volume bangun ruang sisi
datar tersebut. Hal ini dapat membantu mengatasi problematika siswa yang kurang
memahami rumus-rumus dan sering tertukar dalam penggunaan rumus yang
dipelajarinya pada materi bangun ruang sisi datar.
Setelah mengetahui rumus bangun ruang sisi datar kemudian guru memberikan
sebuah contoh soal kepada siswa dengan tujuan untuk memperkuat pemahaman
konsepnya. Selanjutnya siswa di arahkan untuk mengerjakan soal latihan pada lembar
kerja siswa yang harus dipecahkan dalam diskusi kelompok. Soal latihan ini
bervariasi dapat berupa gambar maupun soal cerita. Tantangan utama bagi guru pada
tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah
kegiatan penyelidikan dan hasilhasil penyelidikan ini dapat menghasilkan
penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
4. Fase Keempat: Mengembangkan dan mempresentasikan hasil temuan
Tahap penyelidikan diikuti dengan penemuan penyelesaian dari masalah yang
diberikan. Pada fase ini siswa mempresentasikan hasil diskusinya dan guru berperan
sebagai organisator presentasi, serta guru membantu dan mengarahkan siswa dalam
menyampaikan hasil diskusinya kepada siswa lainnya. Akan lebih baik jika dalam
presentasi ini melibatkan siswa lainnya dan guru yang dapat menjadi “penilai” atau
memberikan umpan balik.
5. Fase Kelima: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk
membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan
keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini
guru meminta siswa untuk merekonstruksi dan menyimpulkan pemikiran dan
aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.
RINGKASAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH (KELOMPOK II)

A. Problematika dalam Pembelajaran Matematika


Menurut Raras (2019) problematika yang terjadi dalam pembelajaran
matematika sebagai berikut:
1. Pemahaman konsep matematika yang kurang matang
Hal ini berdampak pada proses pembelajaran matematika di dalam kelas.
Kurangnya pemahaman konsep matematika peserta didik yang dibawa dari jenjang
kelas sebelumnya. Kebanyakan peserta didik cenderung melupakan pokok bahasan
yang telah diajarkan membuat guru harus selalu mengulang materi dan hal ini akan
menghabiskan banyak waktu pelajaran yang terbuang sia-sia serta tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan materi baru sesuai dengan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya.
Rendahnya penguasaan konsep matematika peserta didik dapat dijabarkan
dalam hal-hal sebagai berikut:
a. intelegensi peserta didik yang kurang baik,
b. bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang diberikan oleh
guru,
c. aktifitas belajar di dalam kelas yang kurang dan lebih banyak malas daripada
melakukan aktifitas belajar,
d. kebiasaan belajar yang kurang baik yaitu belajar dengan penguasaan ilmu
pengetahuan pada tingkat hafalan dan tidak dengan pengertian yang dapat
mereka mengerti tanpa hafalan.
2. Rendahnya motivasi belajar peserta didik
Rendahnya motivasi peserta didik disebabkan dari berbagai faktor, salah
satunyaakibat dari adanya game online disekitar lingkungannya. Keberadaan game
online disekitar mengakibatkan banyak peserta didik yang lebih senang bermain
game dibanding belajar, sehingga mereka sering lupa waktu kemudian telambat
memasuki kelas pada jam pelajaran matematika dan tidak bersemangat dalam belajar.
Motivasi dalam kegiatan belajar sangat diperlukan, sebab seseorang yang
tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas
belajar. Peserta didik yang mempunyai motivasi belajar matematika berarti
mempunyai minat dan usaha untuk mempelajari matematika. Apabila peserta didik
mempunyai motivasi yang tinggi tentunya dapat mempengaruhi minat belajar dalam
dirinya. Seperti yang dijelaskan menurut Ahmadi (2004: 41) minat merupakan
“perpaduan antara keinginan dan kemampuan yang dapat berkembang jika ada
motovasi”. Dengan motivasi yang tinggi tentunya minat peserta didik juga akan
tinggi. Sehingga peserta didik tidak malas untuk belajar dan akan merasa senang
untuk belajar.
3. Penggunaan media belajar yang kurang bervariasi
Guru tidak selalu menggunakan media pembelajaran dan kurang
menggunakan media yang bervariasi. Hal ini dikarenakan tidak semua materi
matematika dapat dijelaskan dengan menggunakan media yang konkrit dan media
yang digunakan tidak selalu dapat mendukung materi pembelajaran yang diajarkan.
B. Solusi Problematika dalam Pembelajaran Matematika
Solusi dari problematika pembelajaran matematika diatas yaitu:
1. Solusi untuk poblematika pertama yaitu pemahaman konsep matematika yang
kurang baik, seharusnya guru memberikan lebih banyak scaffolding dengan
pertimbanganbahwa peranan bantuan di saat diperlukan peserta didik adalah sesuatu
yang sangat berarti dan merupakan hal penting. Scaffolding bertujuan untuk
memberikan bantuan kepada peserta didik saat menemukan kesulitan dalam
pembelajaran.
2. Solusi untuk problematika kedua yaitu motivasi peserta didik yang kurang
baik yakni dengan cara guru memberikan pendekatan personal, memberikan
bimbingan dan pendekatan psikologis kepada peserta didik agar lebih semangat
dalam mengikuti pembelajaran matematika. Seperti yang diungkapkan Podomi
(2015) bahwa ada pengaruh yang baik dalam pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan analogi personal terhadap kemandirian belajar peserta didik.
3. Solusi untuk problematika ketiga yaitu dengan menggunakan media
pembelajaran yang dapat mendukung materi sepenuhnya dilakukan secara
kontekstual dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungan sekolah. Media
pembelajaran berfungsi sebagai penyaji stimulus informasi, sikap, juga lain-lain dan
untuk meningkatkan keserasian dalam penerimaan informasi. Media juga berfungsi
untuk mengatur langkah-langkah kemajuan serta memberikan umpan balik.
Solusi lain dari permasalahan diatas guru dapat menggunakan model
pembelajaran yang bisa membuat proses pembelajaran matematika berjalan dengan
efektif dan siswa dapat memahami materi dengan baik. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah
discovery Learning. Hasil dari penelitian Shabrina dkk (2018) penerapan model
pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika
dan motivasi belajar siswa.
Model pembelajaran Discovery Learning adalah suatu model untuk
mengembangkan cara siswa belajar aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki
sendiri, sehingga hasil yang diperoleh lebih bermakna, tahan lama dan tidak mudah
dilupakan siswa (Hosnan, 2014: 282). Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong
untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan
eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-
konsep bagi diri mereka sendiri.
Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan oleh
Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu mendorong
peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Anni, 2011). Menurut
Bruner (dalam Faturrohman ,2015), proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-
sungguh (yang berarti proses belajar secara optimal) jika suatu pengetahuan dipelajari
melalui 3 tahapan yaitu:
1. Tahap Enaktif (Enactive)
Tahap pertama anak belajar konsep dalah berhubungan dengan benda-benda
real atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya secara langsung. Pada tahap ini
anak masih dalam gerak refleks dan coba-coba, belum harmonis. Ia
memanipulasikan, menyusun, menjejerkan, mengotak-atik, dan bentuk-bentuk gerak
lainnya. Di dalam belajarnya, siswa pada tahap ini menggunakan atau memanipulasi
obyek-obyek konkret secara langsung.
2. Tahap Ikonik (Iconic)
Pada tahap ini, anak telah mengubah, menandai dan menyimpan peristiwa
atau benda dalam bentuk bayangan mental. Dengan kata lain anak dapat
membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda
atau peristiwa yang dialami atau dikenal nya pada tahap enaktif, walaupun peristiwa
itu berlalu atau benda real itu tidak lagi berada dihadapannya. Maksudnya, dalam
belajar siswa tidak lagi secara langsung memanipulasi objek seperti pada tahap
enaktif, melainkan sudah dapat dimanipulasi dengan menggunakan gambar dari
obyek.
3. Tahap Simbolik (Symbolic)
Pada tahap terakhir ini anak dapat mengutarakan bayangan mental dalam
bentuk simbol dan bahasa. Apabila ia berjumpa dengan suatu simbol, maka bayangan
mental yang ditandai oleh simbol itu akan dapat dikenalnya kembali. Pada tahap ini
anak sudah mampu memahami simbol-simbol dan menjelaskan dengan bahasanya.
Dalam belajar, pada tahap ini siswa memanipulasi simbol- simbol secara langsung
dan tidak ada lagi kaitannya dengan obyek-obyek konret maupun gambar.
RINGKASAN PROBLEMATIKA KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
MATEMATIS DAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
(KELOMPOK III)

A. Kemampuan Berpikir Kritis


1. Definisi Kemampuan Berpikir Kritis
Gerhard dalam Maulana (2017) menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai proses
kompleks yang melibatkan penerimaan, penguasaan data, analisis data, evaluasi serta
membuat seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Adapun
menurut Wiliawanto dkk (2019) menyebutkan berpikir kritis merupakan bagian
terpenting dari tujuan sebuah pembelajaran. Berpikir kritis merupakan proses berpikir
intelektual di mana pemikir dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir
menggunakan pemikiran yang reflektif, independen, jernih, dan rasional.
Kemampuan berpikir kritis adalah proses berpikir secara sistematis mulai dari
analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam proses berpikirnya melalui berbagai
pertimbangan kemungkinan hingga sampai pada pemecahan masalah.
2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Menurut Nurdwiandari indikator kemampuan berpikir kritis yaitu sebagai
berikut:
 Memfokuskan pada suatu pertanyaan
 Menganalisis dan menjelaskan pertanyaan, jawaban serta argumen
 Mempertimbangkan sumber yang tepercaya
 Mendeduksi serta menganalisa deduksi
 Menginduksi serta menganalisa induksi
 Menyusun pertimbangan yang bernilai
 Berinteraksi dengan yang lain
3. Problematika Kemampuan Berpikir Kritis
Problematika yang terjadi mengenai kemampuan berpikir kritis peserta didik
dalam belajar matematika sangat banyak terjadi. Beberapa penelitian yang dilakukan
tentang kemampuan berpikir kritis dan problematikanya adalah sebagai berikut:
 Penelitian yang dilakukan oleh Alawiyah dan Rina Marlina (2019) dengan
judul “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa” menunjukkan
bahwa pada kenyataannya masih banyak peserta didik yang belum mampu
berpikir kritis sehingga berpengaruh dalam menyelesaikan soal matematika.
Melalui pengumpulan data, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir kritis peserta didik masih rendah dan masih perlu
ditingkatkan dengan dilatih lebih lanjut.
 Penelitian yang dilakukan oleh Gabriela Purnama Ningsi (2018) dengan
judul “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa dalam
Memecahkan Masalah Matematika Siswa Kelas IX SMPN 1 Mbeliling,
Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur” menyatakan bahwa data
penelitian diperoleh dari hasil tes peserta didik dalam memecahkan masalah
matematika, selanjutnya dianalisis berdasarkan indikator kemampuan
berpikir kritis dan kreatif serta pedoman penskoran yang dibuat. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik dan
kreatif peserta didik dalam memecahkan masalah matematika masih
tergolong rendah.
B. Kemampuan Berpikir Kritis dengan Group Investigation
1. Definisi Group Investigation
Group Investigation (GI) adalah model pembelajaran yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran di kelas, dimana peserta didik diminta untuk melakukan
penyelidikan tentang topik yang sedang dibicarakan. Melalui penyelidikan tersebut,
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Dwi Astuti berpendapat bahwa model Group Investigation (GI) adalah model
pembelajaran dan teknik pembelajarannya merupakan hal utama dalam proses
pembelajaran dimana dapat melatih peserta didik agar mempunyai tanggung jawab
terhadap pekerjaan yang mereka pilih karena model ini mengutamakan aktivitas
peserta didik dimana peserta didik diberi kebebasan untuk berpikir kritis.
2. Tujuan Model Group Investigation
Menurut Winataputra (2001), model Group Investigation (GI) memiliki tujuan
sebagai berikut:
 Dapat membantu peserta didik untuk melakukan investigasi terhadap
sistematis dan analitik. Hal ini mempunyai implikasi yang positif terhadap
keterampilan penemuan dan membentuk mencapai tujuan.
 Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman secara
mendalam terhadap suatu topik yang dilakukan melalui investigasi.
 Dapat melatih peserta didik untuk bekerja secara kooperatif dalam
memecahkan suatu masalah. Dengan adanya kegiatan tersebut, peserta didik
dibekali keterampilan hidup (life skill) yang berharga dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Tahap Group Investigation
Setiawan (2006) mengemukakan tahapan-tahapan model Group Investigation
(GI) adalah sebagai berikut:
 Tahap Pengelompokan (Grouping)
1) Peserta didik mengamati sumber, memilih topik, dan menentukan
kategori-kategori topik permasalahan.
2) Peserta didik bergabung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan
topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki.
3) Guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 4
sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.
 Tahap Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini peserta didik bersama-sama merencanakan tentang apa yang
mereka pelajari, bagaimana mereka belajar, siapa yang melakukan satu tugas
dan siapa yang melakukan tugas lain, serta apa tujuan mereka menyelidiki
topik tersebut.

 Tahap Penyelidikan atau Implementasi (Investigation)


1) Peserta didik mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat
simpulan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki.
2) Masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap
kegiatan kelompok.
3) Peserta didik saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan
mempersatukan ide dan pendapat.
 Tahap Pengorganisasian atau Analisis dan Sintesis (Organizing)
1) Anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam proyeknya
masing-masing.
2) Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan
bagaimana mempresentasikannya.
3) Perwakilan dari masing-masing kelompok membentuk panitia diskusi
kelas dalam presentasi investigasi.
 Tahap Presentasi Hasil Final (Presenting)
1) Penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi
bentuk penyajian.
2) Kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai
pendengar.
3) Pendengar mengevaluasi, mengklarifikasi, dan mengajukan pertanyaan
atau tanggapan terhadap topik yang disajikan.
 Tahap Evaluasi (Evaluating)
1) Peserta didik menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya,
pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman
efektifny.
2) Guru dan peserta didik mengkolaborasi, mengevaluasi tentang
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
3) Penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman peserta
didik.
4. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dengan Group Investigation
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis adalah model Group Investigation (GI). Hal ini
dikarenakan model GI merupakan suatu model pembelajaran dimana peserta didik
mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan pengetahuan, keterampilan berpikir
tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri (Winaputra, 2001).
Menurut Lestari dkk (2019), salah satu alternatif model pembelajaran yang
memungkinkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis (penalaran,
komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah pembelajaran GI.
Melalui model GI yang diterapkan diharapkan peserta didik dalam proses
pembelajaran di kelas, juga dapat menumbuhkan keterampilan komunikasi matematis
dan mampu membentuk kepribadian peserta didik menjadi belajar mandiri dalam
berbagai masalah yang dihadapinya.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan model GI secara nyata juga
ditunjukkan oleh penelitian Newell dan Simon yang menunjukkan bahwa dapat
melatih kemampuan peserta didik untuk menganalisis, berpikir kritis, dan
metakognitif. Selain itu, menunjukkan bahwa model Gi dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis secara signifikan (Pradhana & Pramukantoro, 2013).
Terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis peserta didik yang mendapatkan pembelajaran matematika
dengan menggunakan model GI. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis peserta didik yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
menggunakan model GI lebih baik daripada peserta didik yang pembelajaran
matematikanya secara konvensional baik pada peringkat sekolah tinggi, peringkat
sekolah sedang, dan gabungan kedua peringkat sekolah (Ulum & Hidayah, 2015).

RINGKASAN PROBLEMATIKA PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA


SISWA PADA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL
SERTA SOLUSI PEMECAHAN MASALAH (KELOMPOK IV)

A. Pengertian Problematika Pembelajaran Matematika


problematika adalah sesuatu masalah yang masih menimbulkan perdebatan dan
membutuhkan penyelesaian untuk mencapaian tujuan yang di inginkan sehingga tidak
terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu siswa
agar dapat menerima pengetahuan yang diberikan dan membantu memudahkan
pencapaian tujuan pembelajaran serta membimbing siswa menuju proses
pendewasaan diri.
Dalam hal ini yang di bahas adalah problematika yang terdapat pada
pembelajaran matematika. Problematika pembelajaran matematika adalah
permasalahan yang timbul pada proses pembelajaran matematika sehinggah
mengurangi keefektifan pencapaian tujuan pembelajaran.
B. Problematika Yang Biasa di Jumpai Dalam Pembelajaran Matematika
Khususnya Materi Persamaan Linear Dua Variabel
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditemukan problematika pemahaman konsep
siswa dalam materi sistem persamaan linear dua variabel di antaranya :
1. Siswa kesulitan menetukan hal yang diketahui dan ditanyakan dari soal
persamaan linear dua variabel.
2. Siswa kesulitan membuat model matematika dari soal persamaan linear dua
variabel.
3. Siswa tidak dapat menentukan metode yang efektif dalam memecahkan
masalah pada system persamaan linear dua variabel.
4. Siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah dengan model yang
berbeda dari contoh yang diberikan oleh guru.
5. Serta siswa belum mampu menggunakan konsep serta prosedur dalam
menyelesaikan soal yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua
variabel dalam kehidupan sehari-hari.
6. Selain itu, jika diberikan soal cerita dengan data-data pengecoh, sebagian
besar siswa terkecoh dan menganggap bahwa semua data yang diberikan
pada soal harus digunakan untuk menemukan solusi.
C. Indikator Pemahaman Konsep Matematika pada Sistem Persamaan Linear
Dua Variabel
Konsep yang diangkat dalam makalah ini adalah konsep Sistem Persamaan
Linear Dua Variabel. Sehingga pemahaman konsep yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah pemahaman siswa terhadap konsep Sistem Persamaan Linear Dua
Variabel. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), indikator-indikator
yang menunjukkan pemahaman konsep, yaitu:
1. Menyatakan ulang sebuah konsep
2. Mengklasifikasi objek-objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsepnya
3. Memberikan contoh dan non contoh dari konsep
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
5. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah
6. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu
7. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
D. Strategi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Number Head Together
Sebagai Solusi Masalah
1. Pengertian Model Pembelajaran Number Head Together (NHT)
Menurut suprijino (2014) pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran number head together diawali dengan numbering guru membagi kelas
menjadi kelompok-kelompok kecil. Menurut trianto (Dalam Danu, dkk., 2015),
number head together pertama kali dikembangkan untuk melibatkan siswa lebih
banyak dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu materi pelajaran dan
mengecek pemahaman terhadap isi pembelajaran tersebut.
Numbered Head Together memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Berdasarkan
jawaban-jawaban tersebut, maka para siswa dapat mengembangkan diskusi secara
lebih mendalam sehingga para siswa dapat menemukan jawabandari pertanyaan atau
tugas yang diberikan oleh guru sebagai pengetahuan yang utuh menurut Jamal
(Dalam Nunung,2019).
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tipe Number Head
Together yaitu :
1. Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2. Siswa dapat meneriman teman-teman baru dalam kelompoknya
3. Dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa.
2. Langkah-Langkah Model Pembelajaran NHT
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut
(Hamdayama 2015: 176-177) sebagai berikut.
a) Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran sesuai membuat
Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
b) Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan ini kelompok di sesuaikan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa kedalam beberapa kelompok
yang beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberikan nomor kepada setiap
siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda.
c) Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan,
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket
atau panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau
masalah yang di berikan oleh guru.
d) Diskusi kelompok.
Dalam kerja kelompok, guru membagi LKS kepada setiap siswa sebagai
bahan yang akan telah di pelajari.
e) Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban.
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban kepada siswa di kelas.
f) Memberi kesimpulan.
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan
yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
3. Manfaat, Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran kooperatif tipe
Number Head Together
1. Manfaat model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together
Model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together ini memberi manfaat
besar terhadap siswa yang hasil belajarnya rendah seperti membuat Rasa harga diri
siswa menjadi lebih tinggi, Memperbaiki kehadiran siswa, Penerimaan terhadap
individu menjadi lebih besar, Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, Konflik
antara pribadi berkurangPemahaman yang lebih mendalam, Meningkatkan kebaikan
budi, kepekaan dan toleransi dan Hasil belajar siswa jadi lebih tinggi.
2. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together menurut
(Hamdani 2011: 90)
a. Setiap siswa menjadi siap belajar semua.
b. Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
c. Siswa yang pandai dapat mengajari yang kurang pandai.
3. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together
menurut (Hamdani 2011: 90)
a. Kemungkinan nomor yang sudah dipanggil dapat dipanggil lagi oleh guru.
b. Tidak semua anggota kelompok yang memiliki nomor yang sama terpanggil
oleh guru untuk presentase mewakili kelompoknya.
RINGKASAN PROBLEMATIKA KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIS SISWA DAN STRATEGI PEMECAHANNYA (KELOMPOK V)

A. Problematika Pembelajaran Matematika


problematika adalah suatu masalah yang terjadi dan menuntut adanya perubahan
serta penyelesaian, yang belum dapat terselesaikan sehingga perlu diadakan
penelitian ilmiah. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi problematika diantaranya
adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu dalam diri peserta
didik dan faktor eksternal yaitu dari lingkungan keluarga, perkampungan, sekolah dan
pendidik.
Pada pembelajaran matematika pemecahan masalah menjadi salah satu
problematika yang sering muncul di sekolah menengah pertama. Pemecahan masalah
yang abstrak tersusun secara berurutan dan berjenjang serta diperlukan pembuktian
khusus, sehingga dalam proses pembelajaran pemecahan masalah sebelumnya harus
dikuasai karena merupakan prasyarat berikutnya.
Banyak peserta didik pada tiap tingkatan di negara-negara berkembang memiliki
masalah dalam pembelajaran matematika. Masalah yang timbul disebabkan oleh
masalah dari dalam diri dan luar peserta didik. Masalah akademik dan pribadi peserta
didik dalam lembaga pendidikan dapat didefinisikan dan diselesaikan dalam berbagai
cara yang berhubungan dengan psikolog pendidikan, konselor sekolah dan penelitian
pendidikan. Biasanya, masalah peserta didik cenderung banyak, beragam dan
kompleks dan membutuhkan interdisipliner pendekatan untuk memahami mereka
secara memadai.
B. Kemampuan Pemecahan Masalah
1. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Hamalik (2001) pemecahan masalah adalah suatu proses berfikir sebagai upaya
untuk menemukan suatu masalah dan kemudian memecahkannya dengan
memanfaatkan informasi yang telah diperoleh dari berbagai sumber sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang tepat. Pemecahan masalah juga merupakan aktivitas
yang sangat penting dalam pembelajaran matematika, untuk dapat mengerti apa yang
dimaksud dengan pemecahan masalah matematis.
Menurut NCTM, kemampuan pemecahan matematis adalah kemampuan siswa
untuk memahami masalah, merencanakan strategi dan prosedur pemecahan masalah
matematis, melakukan prosedur pemecahan masalah matematis, memeriksa kembali
langkah-langkah yang dilakukan dan hasil yang diperoleh serta menuliskan jawaban
akhir sesuai dengan permintaan pada soal.
2. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah
Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang dikemukakan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) adalah sebagai berikut:
a. Menunjukkan pemahaman masalah
b. Mengorganisasi data dan menulis informasi yang relevan dalam memecahkan
masalah
c. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk
d. Memilih pendekatan dan metode dalam pemecahan masalah secara tepat
e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah
f. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah
Menyelesaikan masalah matematika yang tidak rutin
C. Solusi Problematika dalam Pembelajaran Matematika
Solusi dalam mengatasi problematika pembelajaran matematika di atas adalah
dengan menggunakan salah satu model pembelajaran yang dipandang efektif
digunakan.Dalam hal ini menggunakan model pembelajaran Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC).
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) yang pada awalnya
diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Tetapi model ini juga sudah diterapkan dalam
pembelajaran matematika seperti penelitian yang dilakukan oleh Siti Nur Azizah dkk
menunjukkan bahwa model Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) dapat membantu peserta didik memahami dan menyelesaikan soal cerita.
Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik adalah 1) langkah
orientasi, yang terdiri dari penyampaian tujuan dan apersepsi, 2) langkah organisasi,
terdiri dari penjelasan materi, pembagian kelompok, permainan ular tangga,
pembagian bahan bacaan, 3) langkah pengenalan konsep, yaitu diskusi kelompok, 4)
langkah publikasi, penyampaian hasil diskusi, 5) langkah penguatan dan refleksi.
Dalam pembelajaran model Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) siswa dibagi menjadi kelompok kecil yang heterogen yang terdiri dari 4 atau
5 siswa.Sebelum membentuk kelompok, peserta didik diarahkan untuk saling
bekerjasama dalam kelompok tersebut. Salah satu peserta didik membacakan soal dan
dapat memberikan penjelasan kepada teman sekelompoknya tentang isi penyelesaian
soal-soal cerita matematika, kemudian berdiskusi kepada teman-temannya yang
menciptakan suatu dorongan kepada teman-teman yang lain untuk bekerjasama,
menghargai pendapat teman lain dan sebagainya. Dengan demikian pada model ini
dapat diartikan bahwa siswa tidak hanya menerima saja materi yang diberikan, tetapi
siswa juga berusaha menggali dan mengembangkan sendiri potensinya dalam
kelompoknya.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa seluruh kelas, guru menggunakan
beberapa fase sebagai sintaks, fase tersebut adalah:
1. Fase pengenalan konsep
Fase ini guru memperkenalkan suatu konsep atau istilah baru yang mengacu
pada hasil penemuan selama eksplorasi.Pengenalan ini didapat dari konsep
yang disampaikan guru, buku paket atau media lainnya.
2. Ase eksplorasi dan aplikasi
Fase ini memberikan peluang kepada siswa untuk mengungkapkan
pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru dan menjelaskan
fenomena yang mereka alami dengan bimbingan dari guru
3. Fase publikasi
Fase ini peserta didik mampu mengkomunikasikan hasil temuan-temuan,
membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas. Penemuan ini
dapat bersifat sebagai sesuatu yang baru atau sekedar membuktikan hasil
pengamatannya
Model pembelajaran CIRC memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 4-5
orang
2. Guru menjelaskan secara singkat materi pembelajaran dan memberikan soal
permasalahan berupa soal cerita
3. Siswa bekerja sama saling membacakan, menemukan kata kunci dan soal
cerita, memberikan jawaban dan penyelesaian soal cerita yang dituliskan pada
lemba kertas.
4. Siswa mempresentasikan atau membacakan hasil kelompok
5. Siswa memberikan penguatan (reinfoecement)
6. Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan
7. Penutup
Adapun kelebihan dari model pembelajaran ini adalah model ini dipandang tepat
untuk meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menyelesaikan masalah,
dominasi guru dalam pembelajaran berkurang, siswa termotivasi pada hasil secara
teliti karena bekerja dalam kelompok, siswa dapat memahami makna soal dan saling
mengecek pekerjaannya dan dapat membantu anggota-anggota kelompoknya yang
tergolong lemah dalam matematika.
RINGKASAN PENGUATAN LITERASI NUMERASI DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA GUNA MENDUKUNG ASESMEN
NASIONAL (KELOMPOK VI)

A. Literasi Numerik
1. Pengertian Literasi Numerik
Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) menggunakan
berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar
untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan
sehari-hari dan (b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
(grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk
memprediksi dan mengambil keputusan (Kemendikbud, 2017: 3).
Literasi numerik adalah adalah subjek yang didorong oleh aplikasi yang
berhubungan dengan kehidupan matematika. Hal ini memungkinkan peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan dan kepercayaan diri untuk berpikir secara
numerik dan spasial untuk menafsirkan dan menganalisis situasi sehari-hari secara
kritis dan untuk memecahkan masalah (Salim, 2018: 595).
2. AKM
Konteks yang luas sangat penting digunakan pada AKM Numerasi sehingga
peserta didik dapat mengenali peran matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilihan strategi dan penggunaan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika
untuk menjelaskan kejadian, menyelesaikan masalah, atau mengambil keputusan
sangat bergantung pada konteks di mana kejadian atau masalah tersebut timbul.
AKM mengharuskan peserta didik menggunakan berbagai keterampilan kognitif
dalam menjawab soal-soal. Level kognitif numerasi Asesmen Kompetensi Minimum
dibagi menjadi tiga level.
a. Knowing
Soal dalam level kognitif ini menilai kemampuan pengetahuan peserta didik
tentang fakta, proses, konsep, dan prosedur. Kata kunci yang biasa digunakan pada
level ini antara lain mengingat, mengidentifikasi, mengklasifikasikan, menghitung,
mengambil/memperoleh, dan mengukur.
b. Applying (Penerapan)
Soal pada level kognitif ini menilai kemampuan matematika dalam
menerapkan pengetahuan dan pemahaman tentang fakta-fakta, relasi, proses, konsep,
prosedur, dan metode pada konteks situasi nyata untuk menyelesaikan masalah atau
menjawab pertanyaan. Kata kunci yang biasa digunakan pada level ini antara lain
memilih/menentukan, menyatakan/membuat model, dan menerapkan/melaksanakan.
c. Reasoning (Penalaran)
Soal dalam level kognitif ini menilai kemampuan penalaran peserta didik
dalam menganalisis data dan informasi, membuat kesimpulan, dan memperluas
pemahaman mereka dalam situasi baru, meliputi situasi yang tidak diketahui
sebelumnya atau konteks yang lebih kompleks. Pertanyaan dapat mencakup lebih dari
satu pendekatan atau strategi. Kata kunci yang biasa digunakan pada level ini antara
lain menganalisis, memadukan (mensintesis), mengevaluasi, menyimpulkan, dan
membuat justifikasi.
B. Problematika
Peringkat literasi matematis siswa Indonesia sejak tahun 2009 hingga 2015 tidak
menunjukan adanya kenaikan yang signifikan. Tahun 2015 peringkat Indonesia
berada di urutan 63 dari 72 negara. Hasil selama tiga kali survey menunjukan
kemampuan peserta didik di Indonesia pada literasi matematis khususnya masih
tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara peserta PISA lainnya, bahkan di
bawah negara kecil Vietnam (Ayuningtas, 2020: 238).
Literasi numerik berkaitan erat dengan pemecahan masalah matematika. Tanpa
adanya pemecahan masalah manfaat pembelajaran matematika menjadi terbatas,
karena inti dari pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah. Pemecahan
masalah yang dimaksud bukan sebatas penyelesaian masalah rutin matematika tetapi
lebih pada menemukan solusi permasalahan kontekstual yang dihadapi sehari-hari
dimana penalaran mutlak diperlukan(Pangesti, 2018).
Pentingnya kemampuan literasi numerasi dapat dicermati melalui contoh berikut
bus yang akan digunakan pada kegiatan studi wisata berkapasitas 48 orang. Jika
peserta studi wisata ternyata 165 orang maka bagaimana cara untuk mengefisienkan
biaya bus?. Pada soal ini siswa belajar menyadari bahwa meskipun hasil dari 165 : 48
adalah 3,44 tetapi dalam kegiatan wisata tersebut setidaknya memerlukan empat bus
pariwisata. Konsep pembulatan bilangan tidak digunakan dalam soal ini. Selanjutnya,
agar biaya menjadi efisien kapasitas bus keempat dipilih sesuai dengan kekurangan
kursi peserta bukan menggunakan empat bus berkapasitas 48 orang.
Terdapat tiga prinsip dasar literasi numerasi: (1) bersifat kontekstual, sesuai
dengan kondisi geografis dan sosial budaya, (2) selaras dengan cakupan matematika
dalam kurikulum 2013; dan (3) saling bergantung dan memperkaya unsur literasi
lainnya (Tim GLN2017b). Keterampilan literasi numerasi secara eksplisit diajarkan
dalam matematika tetapi siswa diberikan kesempatan menggunakannya di luar
kurikulum matematika dan di berbagai situasi. Hal ini sejalan dengan penerapan soal
HOTS dalam pembelajaran. Ada kalanya satu soal HOTS mengukur kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa dalam berbagai lintas kurikulum. Untuk mendukung
literasi numerasi, penerapan soal HOTS dalam pembelajaran matematika dipandang
perlu.
Masalah mengenai kurangnya kemampuan dalam membaca, penggunaan
angka, dan simbolmatematika dalam memecahan permasalahan pada kehidupan
sehari-hari. Kesulitan dalam bahasa dan membaca ini dialami peserta didik jika
dihadapkan dengan istilah-istilah matematika, terlebih pada soal-soal cerita
matematika, dalam hal ini sumber kesulitan belajarnya adalah kurang memahami
struktur bahasa dari soal cerita, mengakibatkan peserta didik tidak mampu dengan
sendirinya menentukan langkah-langkah yang dibutuhkan dalam menyelesaikan soal-
soal.
Dari pemaparan problematika di atas maka diusulkan solusi yang sekiranya
bisa meningkatkan kemampuan literasi numerik peserta didik, yaitu:

1. Penguatan pemahaman konsep yang kuat pada peserta didik.


Penguatan pemahaman konsep memang seharusnya sudah diperkuat pada jenjang
dasar. Konsep yang sudah dikuasai sedari awal akan sangat menunjang dalam
pembelajaran materi selanjutnya. Penguasaan terhadap konsep juga membantu
siswa mengerjakan soal-soal dalam bentuk soal yang beragam. Menguasai konsep
berarti siswa tidak hanya dibekali kepiawaian menghafal dan menyelesaikan soal,
namun juga dibekali cara berpikir “penyebab” soal diselesaikan dengan cara itu
(Rismayanti & Pujiastuti, 2020). Mengusai konsep juga menandakan siswa
mampu mengaplikasikan konsep tersebut dalam kesehariannya(Andriani et al.,
2017; Nirmalasari Yulianty, 2019).
2. Pembiasaan pemberian soal HOTS
Sebelum memberikan soal HOTS guru perlu mengetahui kemampuan awal dan
kesiapan siswa. Hal ini dilakukan agar soal HOTS tidak menjadi bumerang yang
hanya membebani kognitif dan psikologis siswa. Teknik pertama yang dilakukan
untuk menumbuhkembangkan literasi numerasi dalam pembelajaran matematika
yaitu memperkenalkan siswa dengan soal HOTS secara berjenjang, dari soal
mudah menuju soal sukar. Melalui teknik ini, siswa belajar menyelesaikan soal
HOTS sekaligus sebagai wahana menumbuhkan kepercayaan diri bahwa siswa
mampu berpikir tingkat tinggi.Penerapan soal HOTS dalam pembelajaran
matematika dapat melatih siswa berpikir dalam tingkat menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta.Dalam situasi nyata pembelajaran matematika. Tidak
hanya materi matematika yang berkategori kompleks tetapi untuk seluruh materi
(Sumaryanta, 2018).Pembiasaan menyelesaikan soal HOTS dalam pembelajaran
matematika perlu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan sehingga
siswa mampu meningkatkan literasi numerasinya
3. Memgaplikasikan dan mengintegrasikan numerasi pada berbagai bidang
pelajaran. Misal pada mata pelajaran PJOK, memperkirakan kalori yang dibakar
pada kegiatan fisik, mapel seni: meperkirakan ruangan yang dibutuhkan untuk
menggambar dengan proporsi yang tepat , pada mapel ekonomi membandingkan
tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun dsb.
4. Menerapkan berbagai strategi pengembangan numerasi di Sekolah.
 Eksplorasi
“Mathematics is not a spectator’s sport”. Kutipan ini berarti bahwa matematika
tidak dapat dipelajari secara pasif dengan hanya menjadi “penonton”. Sebaliknya,
matematika perlu dipelajari secara aktif. Sebagai guru, ciptakan lingkungan belajar
yang memungkinkan siswa untuk bereskplorasi, misalnya dengan penggunaan benda
konkret atau objek yang dapat ditemukan di sekitar rumah. Biarkan siswa
bereskplorasi dan bermain dengan benda konkret sebagai tahap awal belajar.
(Pendekatan Matematika Realistik). Misalnya munakan lengan dan tangan untuk
membandingkan panjang benda-benda,menggunakan tutup botol muntuk belajar
lingkaran dsb.
 Diskusi
Diskusi antarteman dan diskusi yang diarahkan oleh guru dapat mengembangkan
numerasi, sekaligus keterampilan komunikasi dan kolaborasi yang merupakan
kecakapan abad ke-21. Selain itu, diskusi dapat menolong siswa untuk mengenali
konsep yang keliru (misconception) sehingga dapat diklarifikasi oleh guru.
 Latihan terbimbing maupun latihan mandiri
Latihan terbimbing dan latihan mandiri diperlukan untuk penguasaan konsep.
Latihan hendaknya mencakup model soal rutin maupun nonrutin. Latihan soal
nonrutin dapat mencakup aktivitas untuk identifikasi pola, misalnya menyortir
permen berwarna-warni, mengamati pola tanggal pada kalender, mengamati pola
geometris pada pengubinan, dan sebagainya.
 Refleksi
Menurut John Dewey, kita belajar bukan dari pengalaman, melainkan dari
merefleksikan pengalaman. Refleksi belajar dapat mengenai konten pembelajaran
atau proses pembelajarannya.

Anda mungkin juga menyukai