Anda di halaman 1dari 27

SISTEM POLITIK INDONESIA

Week 1

Introduction

Sistem politik berkaitan dengan aktor individu, pemilu, lembaga, dan partai. Sistem politik
berkaitan erat dengan pemikiran Barat, sejarah, dan behaviorisme. Sistem politik membahas
perubahan sistem dari otoriter (Orde Baru) ke demokrasi (Reformasi).

Hal-hal pokok dalam menganalisis fenomena politik

1. Teori Sistem Politik


2. Proses Politik
3. Pendekatan Politik

Dalam kelas Sistem Politik Indonesia, akan ada tugas individu dan kelompok.

Pengertian sistem politik

1. Keseluruhan dari bagian-bagian yang saling terhubung


2. Terdapat interaksi dalam sebuah sistem
3. Keadaan entitas kompleks yang memiliki bagian atau unsur yang saling terkait.

Istilah sistem sering dipakai sebagai akstraksi untuk menggambarkan suatu keadaa dan entitas
kompleks yang memiliki bagian-bagian antau unsur-unsur terkait satu sama lain.

Sistem politik berkaitan erat dengan teori Talcott Parsons mengenai Fungsionalisme.

Definisi politik

1. Kepentingan umum (Plato / Aristoteles)


2. Penyelenggara Negara
3. Kelembagaan (Weber)
4. Kekuasaan (Robsow)
5. Policy (Easton, Lassswell)
6. Konflik (Paul Conn)
7. The art of government
8. Public affairs
9. Compromise and consensus
10. Power and the distribution of resources

Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai ‘who gets what, when, and how’
Para penganut pendekatan sistem melihat dan memahami fenomena politik bukan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, melainkan sebagai sebagian dari atau sesuatu yang kompleks. Fenomena politik
merupakan sesuatu yang berhubungan, interelasi, bagian dari interaksi satu sama lain di dalam
suatu keseluruhan.

Sistem Politik

David Easton

- Allocates values (by means of policies)


- Its allocation are authorities, binding the society as a whole

Robert A. Dahl

- Persistent patter of human relationship that involves control, influence, power, or authority.

Gabriel A. Almond dan James S. Coleman

- The political system is that system of interactions to be found in all independent societies which
performs the functions of integration and adaptation (both internally and vis-a-vis other
societies) by means of the employment or threat of employment of more or less legitimate
physical complusion

Perbedaan antara Easton dan Dahl: Kontrol, Pengaruh, Kekuasaan, Wewenang.

Sistem politik adalah sistem interaksi yang terjadi di dalam masyarakat melalui alokasi
nilai-nilai kepada masyarakat. Pengalokasian nilai-nilai itu menggunakan paksaan fisik
yang sedikit banyak bersifat sah.

Nilai-nilai yang dialokasikan berupa power, enlightenment, wealth, well-being, skill, affection,
rectitude (involving righteousness and justice), and deference (or respect). Kemudian, oleh Karl
Deutsch ditambah security dan liberty.

Ciri-Ciri Sistem Politik

Gabriel A. Almond dan James S. Coleman

1. Semua sistem politik, baik modern maupun sederhana memiliki kebudayaan politik. Di
dalamnya terdapat nilai-nilai dan perilaku yang memola dan terbangun di dalam
struktur-struktur. Masyarakat paling sederhana sekalipun memiliki tipe struktur politik
yang terdapat dalam masyarakat kompleks. Tipe-tipe struktur politik tersebut dapat
dibandingkan satu sama lain menurut tingkat dan bentuk pembidangan kerja yang teratur.
2. Semua sistem politik, baik modern maupun sederhana, menjalankan fungsi yang sama.
Meskipun dalam kenyataannya, fungsi-fungsi terebut memiliki tingkatan yang
berbeda-beda karena disebabkan oleh perbedaan struktur. Model pelaksanaan maupun
cara/gaya dari fungsi-fungsi tersebut dapat diperbandingkan antara sistem politik satu
dengan lainnya.
3. Semua struktur politik, baik yang terdapat dalam masyarakt modern maupun sederhana,
memiliki sifat multifungsional (menjalankan banyak fungsi). Oleh karena itu, sistem politik
dapat dibandingkan menurut tingkat kekhususan tugas dari satu dengan yang lain.
4. Semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran (dalam pengertian kebudayaan).
Secara rasional, tidak ada struktur dan kebudayaan yang semuanya modern atau primitif.
Dalam pengertian tradisional semuanya adalah campuran antara unsur modern dan
tradisional.

David Eastion

1. Ciri Identifikasi

Untuk membedakan sistem politik dengan sistem-sistem sosial lain, maka seseorang harus
dapat mengidentifikasi, mengenali, dan mendeskripsikan unit-unitnya yang fundamental
dan dapat menerapkan batas-batas yang memisahkannya dari unit-unti yang berada di luar
sistem.

a. Unit-Unit

Unit-unit merupakan berbagai elemen atau unsur yang membentuk suatu sistem,
berwujud tindakan atau aktivitas politik.

b. Batas-batas

Batas suatu sistem politik dapat dinyatakan dengan tindakan yang sedikit banyak
berhubungan langsung dengan pembuatan keputusan-keputusan yang mengikat
masyarakat. Dengan demikian, setiap tindakan yang tidak mengandung ciri
tersebut akan dikeluarkan dari sistem politik dan secara otomatis akan dipandang
sebagai variabel eksternal dalam lingkungan.

2. Input dan Output

Di dalam sistem politik, input dapat berupa tuntutan dan dukungan. Outputnya adalah
keputusan-keputusan politik atau kebijakan-kebijakan publik. Mekanisme dari input
menjadi output itu disebut proses politik yang dapat dijelaskan dalam gambar berikut.
3. Diferensisi dalam Suatu Sistem

Diasumsikan bahwa lingkungan memberikan energi dan informasi yang mampu


mengaktifkan atau menggerakkan suatu sistem. Melalui energi itu, sistem dapat melakukan
aktivitasnya dan menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan input yang diperoleh dari
lingkungan tersebut. Apabila suatu sistem politik harus menjalankan pekerjaan yang
beraneka ragam dalam waktu yang terbatas, maka struktur-strukturnya harus mengenal
diferensiasi (pembagian tugas). Misalnya, ada struktur yang menjalankan fungsi legislatif,
yang membuat keputusan-keputusan berupa perundang-undangan, ada pula struktur yang
menjalankan fungsi eksekusi perundang-undangan itu.

4. Integrasi dalam Suatu Sistem

Kekuatan-kekuatan yang selalu berubah dalan suatu sistem secara potensial dapat merusak
integrasi sistem yang dimaksud. Jika unit-unit dalam suatu sistem politik sedang melakukan
kegiatan-kegiatan yang berbeda pada waktu bersamaan, perlu ada diferensiasi struktural
dan suatu mekanisme yang bisa mengintegrasikan atau memaksa anggota-anggotanya
(unit-unitnya) agar dapat dibuat suatu keputusan yang otoritatif. Ada tiga ciri yang selalu
melekat dalam suatu sistem, yakni sebagai berikut.

a. Antara bagian satu dengan yang lain terdapat hubungan fungsional dan saling
mempengaruhi (interaksi, interelasi, dan interdependensi).
b. Sistem itu bekerja dalam suatu lingkungan (environment) yang lebih luas, dan ada
perbatasan antara sistem yang satu dengan lainnya.
c. Pola-pola hubungan fungsional tersebut ditentukan oleh budaya politik tertentu.
Fungsi dan Struktur dalam Sistem Politik

Fungsi Politik

Adalah peranan politik yang merupakan tugas dan kewenangan atau hak dan kewajiban yang
melekat dalam struktur tertentu, baik yang secara formal dirumuskan dalam konstitusi maupun
tidak dirumuskan. Tugas-tugas ini dimaksudkan untuk pencapaian tujuan sistem politik.
Fungsi-fungsi yang dirumuskan dalam konstitusi, dilaksanakan oleh supra struktur politik, sedang
fungsi-fungsi lain yang tidak dirumuskan dalam konstitusi, dilaksanakan oleh infra struktur politik.

Jenis Fungsi Politik

1. Fungsi Sistem Politik dari Segi Kapabilitas

Fungsi ini yang akan mempengaruhi lingkungan sistem politik.

a. Extractive capability. Yang termmasuk dalam kapabilitas ekstraktif adalah


kemampuan untuk menarik pajak, memperoleh pendapata dari aset yang dimiliki,
memperoleh pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Kemampuan ini
dimaksudkan agar sistem politik memiliki kemampuan untuk membiayai dirinya.
b. The distributive capability. Alokasi atau distribusi dari berbagai jenis barang,
jasa, kehormatan, status, dan kesempatan yang berasal dari sistem politik kepada
individu-individu, kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan daerah.
Kemampuan distribusi itu terlihat dari bagaimana pemerintah mengalokasikan
sumber-sumber yang ada di dalam APBN/D.
c. The regulative capability. Sistem politik dituntut untuk memiliki kemampuan
untuk mengatur dirinya, mengatur individu, dan kelompok yang ada di dalamnya.
Adanya UU dan peraturan lain ,erupakan contohnya. UU tentang pemilu
mengatur proses perebutan dan pemertahanan kekuasaan.
d. The symbolic capability. Sistem politik dituntut untuk memiliki kemampuan
simbolik, baik di lingkungan domestik maupun internasional. Kapabilitas simbolik
itu misalnya adanya pemimpin karismatik dan melahirkan kebanggaan.
e. The responsive capability. Kemampuan ini menunjukkan hubungan antara
input dan outpot sistem politik. Sistem politik yang memiliki kemampuan
responsif yang rendah apabila kurang memperhatikan tuntutan-tuntutan yang
terdapat di lingkungan internal maupun eksternal.
f. Domestic and international capability. Sistem politik berada dan berinteraksi
dengan lingkungan domestik dan internasional. Perubahan-perubahan yang ada di
lingkungan internasional, mau tidak mau berpengaruh terhadap sistem politik.
2. Fungsi Sistem Politik dalam Rangka Adaptasi dan Pelestarian
Sistem politik memiliki fungsi untuk melestarikan diri dan melakukan adaptasi terhadap
perubahan-perubahan. Ada dua hal penting yang harus dilakukan, yakni melakukan
sosialisasi politik (penanaman nilai politik untuk menjadi pedoman berpolitik) dan
rekrutmen politik (orang-orang yang akan menjalankan peran-peran dalam sistem politik).

3. Fungsi Sistem Politik dalam Rangka Proses Konversi

Suatu proses dengan cara mana sistem politik mengubah input menjadi output. Input yang
berupa tuntutan dan dukungan diubah menjadi keputusan yang mengikat.

Week 2 (catatan ada di hebat)

Perspektif Teoritis Sistem Politik Indonesia: Orde Baru

Kekuatan negara lebih dominan sementara kekuatan masyarakat terbatas. Militer terlibat dalam
politik dalam dwifungsi: menjalankan fungsi pertahanan-keamanan dan fungsi sosial-politik.
Kekuasaan terkonsentrasi dan tersentralisasi (kekuasaan eksekutif lebih besar dari legislatif dan
yudikatif). Partai politik terbatas. Partisipasi politik melibatkan sekelompok kecil orang, sementara
partisipasi publik terbatas. Proses politik terbatas pada sekelompok kecil orang.

Alasan Orde Baru dapat bertahan lama

1. Kemampuan memperoleh revenue dari minyak pada 1970-an dan awal 1980-an dan
sumber-sumber ekonomi lain setelah itu.
2. Kemampuan memperoleh dukungan dari militer.

Pendekatan untuk menjelaskan fenomena politik yang ada pada Orde Baru

1. Pendekatan Sejarah Politik Indonesia sebagai Subordinasi dari Kepentingan Sosial Negara
(State Qua State)

Pendekatan ini dipakai dalam memahami penekanan tentang pentingnya negara sebagai
kekuatan yang menentukan proses-proses politik. Terdapat kepentingan yang secara
fundamental berbeda antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Pendekatan
ini memiliki kesepadanan dalam memandang negara sebagai kekuatan yang memiliki
otonomi dan kepentingan sendiri. Kekuatan semacam itu didukung oleh penguasaan
negara atas sumber-sumber dan kekayaan yang dimiliki negara. Karakteristik yang dikuasai
miiter tidak berbeda dengan negara di masa kolonial.

2. Pendekatan ‘bureaucratic polity’ (negara birokratik) dan patrimonial

Pendekatan ini menaruh perhatian pada negara, tetapi dikaitkan dengan dua konsep
penting: bureaucratic polity dan patrimonialism. Dalam konsep patrimonial, kepala negara
digambarkan sebagaimana pemimpin-pemimpin tradisional di masa lalu yang
mempertahankan posisinya melalui pemanfaatan sumber-sumber material yang ada dan
elite-elite di sekitar. Para elite yang bersaing di sekitar pemimpin terbangun atas suasana
patronase. Model patrimonial menekankan pada jaringan yang terbentuk antara patron
dan klien yang mempunyai ciri oleh adanya hubungan personal antara tiap individu yang
mana klien bergantung pada bantuan patron dalam perebutan pengaruh.

Dalam bureaucratic polity, peran elite birokrasi dalam penentuan kebijakan-kebijakan


sangat menonjol, tidak dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat. Negara model ini
mempunyai banyak kemiripan dengan karakter patrimonial yang mana pemimpin politik
bergantung pada kelompok elite untuk mempertahankan posisnya, sedangkan pihak yang
berada di luar kelompok elite dikecualikan dari proses partisipasi politik.

3. Pendekatan pluralisme birokrasi

Proses pembuatan kebijakan di Indonesia sebenarnya lebih bercorak teratur dan plural.
Wajah negara lebih bercorak pluralis jkarena di dalamnya dimungkinkan terjadinya
perdebatan, bahkan persaingan, di antara para pembuat keputusan. Kompetisi antar para
elite bukan sebatas pada persaingnan distribusi sumber-sumber bercorak patronase,
melainkan juga pada perdebatan-perdebatan yang substansial dan menyangkut kebijakan.

Negara Orde Baru diliihat kurang mencerminkan sebagai arena poltik dan dilihat relatif
imune dari pengaruh kekuatan-kekuatan di luarnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat
negara tidak mencerminkan kepentingan atau tuntutan yang ada dari masyarakat.

4. Pendekatan birokrasi-otoritarianisme

Adanya represi politik yang mana kekuasaan terkonsentrasi di tangna militer dan elite
birokrat. Sementara kekuatan-kekuatan yang ada di luar itu dikeluarkan dari proses-proses
politik. Implikasinya, terdapat penurunan drastis partisipasi politik masyarakat dan
penguatn dari apa yang disebut sebagai sistem korporatisme yang dikontrol oleh negara di
dalam hal perwakilan kepentingan. Di dalam birokrasi otoriter, rezim militer berusaha
melakukan transformsi bersama para teknokrat.

Usaha Orde Baru untuk membatasi pluralisme politik bisa dipahami dalam hal strategi
korporatnya bagi manajemen representasi kepentingan tertentu. Negara bisa saja
menjalankan korporatisme sebagai satu cara atau manajemen politik untuk mengontrol
permintaan masyarakat. Korporatisme berusaha menghilangkan artikulasi kepentingan
spontan dan mengembangkan jumlah terbatas dari kelompok-kelompok masyarakat.
Kekuatan politik sangat terpusat pada struktur negara.
5. Pendekatan strukturalis

Politik Indonesia sangat terpusat pada negara dan tidak lepas dari perkembangan para
borjuis yang muncul di dalam negara kapitalis. Kaum borjuis di Indonesia tidak mampu
mempengaruhi kebijakan itu sendiri secara langsung dan sistemik. Orde Baru dalam
mengembangkan struktur korporatis didesain untuk mengontrol energi politik pada sektor
vital dalam masyarakat. Kondisi pengecualian ini telah membuat kelas tertentu keluar dari
proses pemerintahan.

6. Pendekatan pluralisme terbatas

Liddle adalah satu-satunya pengamat utama luar negeri yang menguji proses pembentukan
kebijakan Indonesia yang memungkinkan adanya interaksi antara kepentingan negara dan
ekstra state. Ia mengklaim bahwa secara umum politik cenderung lebih plural di Indonesia.
Ia juga setuju dengan Emerson bahwa ada kisaran pelaku yang berbeda dalam struktur
negara yang terlibat dalam pembuatan kebijakan Yang membedakannya dengan Emerson
adalah adanya keragaman mengenai aktor ekstra state yang mungkin bisa mempengaruhi
kebijakan. Negara Orde Baru dilihat oleh Liddle tidak berdiri sendiri dan otonom tanpa
adanya pengaruh sama sekali dari kekuatan-kekuatan yang ada di luar negara.

Week 3

Gerakan Reformasi dan Perubahan Sistem Politik Indonesia

Pada tahun 1997 hingga 1998, terdapat titik tolak perubahan-perubahan besar di dalam sistem
politik di Indonesia.

Gerakan refrmasi berimplikasi pada adanya perubahan-perubahan kepemimpinan. Jatuhnya


pemerintahan Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun. Kelembangaan: berkurangnya
kekuasaan eksekutif dan menguatknya kekuasaan legislatif.

Pada Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan diganti oleh Habibie yang
sebelumnya merupakan wakil presiden. Mahasiswa awalnya tidak puas dan menginginkan pemilu
secepatnya karena Habibie dianggap antek Soeharto

Perubahan-perubahan kelembangaan secara besar-besaran terajadi setelah pergantian Soeharto


melalui amandemen UUD 1945.

Mengapa Berubah? Demokratisasi

Perubahan kepemimpinan dan kelembagaan itu berkonsekuensi pada jatuhnya rezim otoriter dan
berganti pada pemerintahan yang lebih demokratis.
Mengapa rezim pemerintahan otoriter bisa runtuh? Teori Demokratisasi bisa digunakan untuk
menganalisis. Dari perspektif perbandingan, terdapat empat penjelasan mengapa rezim otoriter
mengalami keruntuhan.

- Pertama, krisis ekonomi. Di sejumlah negara, demokratisasi didahului oleh adanya krisis
ekonomi. Fakta bahwa dari 27 kasus negara-negara yang sedang bertransisi menuju
demokrasi antara tahun 1970 – 1990, di antaranya pernah mengalami penurunan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan inflasi, sebelum bertransisi menuju demokrasi
(Haggard dan Kaufman, 1995).

Krisis ekonomi memunculkan pertanyaan tentang kompetensi rezim dalam mengatasi


ekonomi. Konsekuensinya, kontrol rezim terhadap masyarakat menjadi lebih lemah. Krisis
ekonomi acap kali berkaitan dengan kebijakan yang tidak populer. Hal tersebut
merangsang munculnya berbagai ketegangan. Krisis ekonomi juga membuat relasi antara
rezim dengan sektor ekonomi atau industri memburuk. Krisis ekonomi membuat
legitimasi rezim mengalami kemunduran.

Indonesia saat ini sedang mengalami krisis ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina. Inflasi
terjadi karena adanya masalah dalam rantai pasokan dunia.

- Kedua, mobilisasi politik. Rezim otoriter sering dikaitkan dengan mobilisasi politik
rakyat, seperti yang dikatakan oleh Amos Perimutter. Namun, mobilisasi itu ditandai oleh
berbagai pengekangan.

Mobilisasi diarahkan untuk mendukung rezim yang berkuasa. Ketika muncul kelas
menengah, industrialisasi, dan mobilisasi, mobilisasi sering dikaitkan dengan adanya
pertanyaan-pertanyaan terhadap rezim. Mobilisasi bukan lagi berupa dukungan, tetapi juga
berisi tantangan yang berpotensi meruntuhkan sebuah rezim.

- Ketiga, tekanan internasional. Runtuhnya rezim di sejumlah negara tidak lepas dari
tekanan-tekanan internasional. Misalnya, ada kebijakan untuk menekan suatu negara
melalui invasi militer dan embargo ekonomi Maksudnya, untuk mengganti rezim yang
berkuasa. Tekanan juga bisa berasal dari NGO internasional. Adanya penyebaran nilai-nilai
demokrasi ke negara-negara otoriter juga berpengaruh terhadap keruntuhan sebuah rezim.

- Keempat, pecahnya rezim. Jatuhnya rezim bisa terjadi mana kala sebuah rezim
mengalami keretakan atau perpecahan. Keretakan tersebut disebabkan oeh struktur
kelembagaan. Misalnya, tidak lagi ditemukan seorang pemimpin diktator yang disegani.
Bisa juga karena adanya soerang ditaktor yang terlalu dominan dan melahirkan kekecewaan
dalam masyarakat.
Bagaimana Memahami Runtuhnya Orde Baru?

Pada kasus Orde Baru, pada dasarnya merupakan konsekuensi dari akumulasi dari keempatnya
Pada 1997 hingga 1998 di Indonesia terjadi krisis ekonomi yang dimulai dari krisis moneter akibat
melemahnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan nilai mata uang lain pada
pertengahan 1997. Pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata sekitar 7 persen, sebelum krisis
moneter, merupakan fondasi yang kuat bagi pemerintahan Orde Baru untuk memperoleh
dukungan dari rakyat.

Krisis ekonomi telah meruntuhkan dukungan itu. Pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami minus 13 persen. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di dalam mengelola
perekonomian, akibat krisis itu, mengalami penurunan drastis. Konsekuensi lanjutannya:
dukungan politik juga berkurang drastis.

Krisis ekonomi merupakan momentum di dalam melakukan mobilisasi yang dilakukan oleh
kelompok civil society. Para mahasiswa bersama pemimpin-pemimpin sipil mengambil peran
sangat penting di dalam memobilisasi massa untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Perubahan Kelembangaan

Gerakan reformasi yang dimulai melalui aksi perlawanan berupa demonstrasi besar-besaran di
berbagai daerah dan pendudukan gedung DPR/MPR. Gerakan tersebut membawa hasil yang
pertama berupa pengunduran Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Posisi presiden diganti oleh
B.J. Habibie yag sebelumnya merupakan Wakil Presiden.

Habibie tidak meneruskan masa jabatan Presiden Soeharto, melainkan menjalankan ‘pemerintahan
transisi’, dari Mei 1998 sampai Oktober 1999. Di antara tugas pokok pemerintahan Habibie adalah
menyelanggarakan Pemilu yang demokratis untuk menghasilkan pemerintahan baru.

Perubahan-perubahan kelembagaan dilakukan secara lebih sistemis melalui proses amandemen


terhadap konstitusi dan UUD 1945. Perubahan-perubahan tersebut mencangkup pengakuan yang
lebih jelas tentang hak-hak politik warga negara, termasuk di dalam membentuk partai politik.
Pemberian otoritas yang lebih besar kepada lembaga legislatif dalam rangka check and balance.
Pemberian otonomi daerah yang lebih jelas,. Pembatasan masa jabatan presiden dan kepala daerah
menjadi dua periode.

Terdapat empat tahap amandemen UUD 1945, yakni sebagai berikut.

1. Pertama, amandemen yang dilakukan pada 19 Oktober 1999. Pasal-pasal yang


mengalami perubahan dan penambahan yaitu:
a. …
2. Kedua, amandemen yang dilakukan pada 18 Agustus 2000. Pasal-pasal yang
mengalami perubahan dan penambahan yaitu:
a. …
3. Ketiga, amandemen yang dilakukan pada 10 November 2001 . Pasal-pasal yang
mengalami perubahan dan penambahan yaitu:
a. …
4. Keempat, amandemen yang dilakukan pada 10 Agustus 2002 .

Week 4

Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu di Indonesia

Sistem politik berkaitan dengan sistem kepartaian di Indonesia. Apakah ada perbedaan partai
politik di Indonesia dan partai politik di negara lain?

1. Sistem
2. Ideologi

Indonesia menganut multi partai. Ada negara-negara yang menganut sistem dua partai, seperti
Amerika Serikat (Democratic, dan Nationalist), Arab, dan Australia (Buruh dan Liberal).

Di Indonesia, sistem kebijakan ekonomi lebih pragmatis. Misalnya partai-partai ‘wong cilik’ lebih
banyak berfokus pada negara, sehingga lebih mengontrol pasar.

Partai Sarekat Islam di Indonesia dalam sejarahnya pecah dan memunculkan partai komunis.
Kemudian, partai nasionalis muncul dengan Bung Karno sebagai tokoh utama. Barulah
partai-partai berbasis agama lain lahir. Total keterlibatan partai menghasilkan intervensi negara
terhadap ekonomi yang berbeda pula.

Konflik-konflik dalam berbagai partai menciptakan ketegangan, terutama partai berbasis agama
(partai Islam) dan partai berbasis nonagama (partai Komunis). Bung Karno ingin menyatukan
kedua partai tersebut dengan gagasan NASAKOM.

Definisi Partai

Karta partai menurut Susan E. Scarrow (2006) berasal dari bahasa Latin partir yang berarti
membagi (to divide). Kata ini banyak digunakan di Eropa pada abad ke-18. Kata itu cenderung
bermakna negatif, setara dengan kata ‘faction’, yang merujuk pada adanya perbedaan-perbedaan.
Pada abadd ke-19, istilah itu menjadi bermakna positif keitka terdapat perubahan-perubahan
politik di Eropa dan pemisahan kekuasaan. Sebelumnya, kekuasan berada di tangan raja.
Dalam legislatif, ada para aristokrat yang dipilih. Kemudian, ada kebutuhan yang mengharuskan
memilih anggota legislatif dari rakyat secara langsung. Metode pemilihan tersebut dipilih dari
kelompok-kelompok masyarakat yang berwujud partai politik. Partai politik muncul karena
ada kebutuhan untuk memilih anggota legislatif.

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia sempat menerapkan sistem parlemen.

Batasan Partai Politik

1. Anthony Downs

A political party is a coalition of men seeking to control the governing apparatus by


legal means.

2. Leon D. Epstein

A political party is any group, however loosely organized, seeking to elect government
officeholders under a given label.

3. John Aldrich

Political parties can be seen as coalitions of elites to capture and use political office.
But a political party is more than a coalition, a political party is an instutionalized coalition
that has adopted rules, norms, and procedures.

Partai dalam pandangan Andew Heywood berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena partai
berusaha memperoleh kekuasaan di pemerintahan melalui persaingan di dalam memperebutkan
jabatan-jabatan politiik. Partai merupakan organisasi formal yang mengadopsi isu-isu luas dan
memiliki ideologi tertentu. Tujuan utama partai politik adalah memperoleh kekuasaan.

Fungsi Partai Politik

1. Representation:
2. Elite Formation and Recruitment: Melakukan kaderisasi untuk menciptakan seorang
pemimpin, terutama dalam badan negara.
3. Interest Articulation and Aggregation:
4. Socialization and Mobilization:
5. Organization of Government:

Parties as Organizations Parties in Government Parties in the Electorate


1. Recruiting political 1. Creating majorities in 1. Simplifying choices
leaders and seeking government for voters
government office 2. Otganizing the 2. Educating citizens
2. Training political government 3. Generating symbols of
elites 3. Implementing policy identification and
3. Articulating political objectives loyalty
interests 4. Organizing dissent 4. Mobilizing people to
4. Pursuing political and opposition participate
interests 5. Ensuring
responsibility for
government actions
6. Controlling
government
administration
7. Fostering
government’s abilities

Tiga Teori Kemunculan Partai (Josepth LaPalombara dan Myron Winer, 1966)

1. Institutional theories yang menaruh perhatian adanya hubungan antara parlemen dan
kemunculan partai politik. Pada awalnya, demokrasi tumbuh secara elitis, yakni
pembentukan parlemen yang anggotanya beraal dari kalangan bangsawan, sehingga
bercorak alitis dan aristokratis. Keanggotaan parlemen pada awalnya bersifat penunjukan,
dipilih dari kalangan aristokrat. Setelah terdapat kebutuhan dari parlemen untuk
membentuk hubungan dengan rakyat, muncul gagasan membentuk partai politik.

2. Historical-Situation theories menaruh perhatian pada krisis historis dengan


kemunculan partai politik. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, dari
yang sederhana ke arah yang lebih kompleks acapkali melahirkan
kegoncangan-kegoncangan dan krisis. Ada tiga krisis dalam perubahan-perubahan tersebut,
yakni krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

Krisis legitimasi bermakna, mengingat berbagai perubahan yang besar, terdapat pertanyaan
tentang legitimasi yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan (adanya pengakuan yang
berbeda). Perubahan-perubahaan juga memungkinkan terganggunya integrasi
antarkekuatan dan para kelompok. Sementara itu, perubahan-perubahan juga menuntut
keterlibatan publik di dalam proses-proses politik. Menurut teori ini, partai politik muncul
akibat tuntutan partisipasi yang lebih luas di dalam proses-proses politik.

3. Developmental theories menyatakan bahwa kemunculan partai politik terkait dengan


proses modernisasi. Modernisasi mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
ekonomi, peningkatan pendidikan, munculnya teknologi, termasuk teknologi transportasi
dan informasi. Modernisasi melahirkan masyarakat yang lebih politik. Partai politik, dalam
teori ini, merupakan eksekusi dari modernisasi.

Tipologi Partai Politik

1. Asas dan Orientasi


a. Parpol Pragmatis: Program dan kegiatan tidak terikat kaku pada doktrin dan
ideologi tertentu.
b. Parpol Doktriner: Partai punya program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran
ideologi.
c. Parpol Kepentingan: Partai dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu.
2. Komposisi dan Fungsi Anggota
a. Parpol Massa: Mengandalkan kekuatan dan keunggulan jumlah anggota dengan
memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, mengembangkan diri sebagai pelindung
berbagai kelompok masyarakat.
b. Parpol Karder: Mengandalkan kualitas anggota, organisasi ketat, disiplin anggota
kuat.

Menurut Giovanni Sartori, partai politik dapat dibagi berdasarkan polaritas, yakni sebagai berikut

1. Pluralisme Sederhana
2. Pluralisme Moderat
3. Pluralisme Ekstrem: contohnya adalah partai yang berbasis agama dan partai yang berbasis
atheis

Sistem Politik Kutub Polaritas Dorongan

Pluralisme Sederhana Bipolar Tidak ada Sentripetal

Pluralisme Moderat Bipolar Kecil Sentripetal

Pluralisme Ekstrem Multipolar Besar Sentrifugal

Sisetm Kepartaian Berdasarkan Jumlah

Tipe Partai Definisi Contoh

Dominant Party System Satu partia pegang kekuasaan, Jepang


memperintah sendiri atau
koalisi dengan partai lain

Two Party System Dua partai utama Inggris


berkompetisi untuk
membangun pemerintahan
partai yang tunggal

Multiparty System Badan perwakilan terdiri dari Belgia, Belanda, Indonesia


beberapa partai minoritas, pasca Orde Baru
memimpin pemerintahan
dengan koalisi atau partai
minoritas

Sistem Kepartaian di Indonesia di Indonesia

Partai-partai politik di Indonesia muncul pada masa pemerintahan Belanda. Hal ini dimungkinkan
setelah Belanda membentuk parlemen (volksraad). Partai-partai juga muncul seiring dengan
tumbuhnya gerakan untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia. Setelah kemerdekaan,
Pemerintah membuat Maklumat Pemerintah No. X 16 Oktober 1945, yang memungkinkan
adanya kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik. Pada pemilu 1955, terdapat 172 partai
dan perorangan yang ikut pemilu. Akan tetapi, hanya empat partai yang memperoleh suara cukup:
PNI, Masyumi, NU, dan PKI.

Pasca Reformasi

Pasra reformasi, pemerintah memberi kebebasan di dalam mendirikan partai. Akan tetapi, tidak
semua partai bisa ikut pemilu dan tidak semua partai yang ikut pemilu bisa memperoleh kursi di
DPR. Ada proses Seleksi peserta pemilu yang mana dalam pemilihan, hanya partai yang lolos
ambang batas (electoral threshold) yang bisa memperoleh kursi di DPR (parliamentary threshold).
Parliamentary threshold mengalami kenaikan, dari 2,5% pada Pemilu 2009 menjadi 4% pada
pemilu 2019.

Sistem Pemilu

Secara sederhana, terdapat dua macam sistem pemilu. Pertama, sistem proporsional. Kedua, sistem
nonproporsional (sistem distrik). Secara lebih luas, terdapat empat rumpun sistem pemilu: sistem
pluralitas (mayoritas), sistem perwakilan proporsional, sistem campuran, dan sistem-sistem lainnya.

Di Indonesia, sistem pluralitas (mayoritas) lebih dikenal sebagai sistem distrik karena transfer
perolehan suara ke dalam perolehan kursi lebih didasarkan pada distrik atau daerah pemilihan.
Terdapat lima varian dalam sistem pluralitas, yakni sebagai berikut.
1. First Past the Post (FPTP) merupakan sistem pemilu yang paling sederhana. Sistem ini
menggunakan single member district yang berpusat pada calon. Pemenangnya adalah calon
yang memperoleh suara terbanyak. Singkatnya, siapa cepat yang terbanyak, dia yang
menang.
2. Two-Round System (TRS) menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk
menentukan pemenangnya. Fokusnya adalah suara mayoritas (50+1). Ketika di dalam
putaran pertama, tidak ditemukan calon yang memperoleh suara mayoritas, dilakukan
putaran kedua yang diikuti oleh dua peserta yang memperoleh suara terbanyak. Sistem ini
besaran distriknya tidak hanya single member district, melainkan juga multimember district.
Contohnya adalah pemilihan Presiden di Indoneisa.
3. The Alternative Vote (AV). Sistem ini memiliki prinsip yang sama dengan FPTP. Yang
membedakan adalah pemilih diberi otoritas untuk menentukan ranking terhadap
calon-calon yang ada. Calon yang memperoleh ranking terbanyak, yang menang.
4. Sistem Block Vote (BV). Sistem ini menggunakan formula pluralitas di dalam
multimember district. Para pemilih diberi keleluasaan untuk memilih calon-calon individu
yang terdapat di dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai calon-calon itu;
5. Party Block Vote (BV). Prinsipnya sama. Hanya yang menjadi pilihan adalah daftar partai.

Rumpun yang kedua adalah sistem proporsionalitas. Prinsip utamanya adalah perolehan kursi
di dalam pemilu merupakan terjemahan dari suara pemilih secara proporsional. Terdapat dua jenis
sistem proporsional. Pertama adalah list proportional representation (List PR). Pemilih memilih
daftar partai yang ada. Kedua single transferable vote. Di dalam sistem ini pemilih diberi otoritas
untuk menentukan pilihannya, yaitu calon-alon yang ada.

Rumpun ketiga adalah sistem campuran. Sistem ini merupakan gabungan dari sistem
pluralitas/mayoritas dan sistem proporsional. Ada dua jenis sistem proporsional. Pertama adalah
Mixed Member Proportional (MMP). Sistem ini dimaksudkan untuk mengatasi aspek
disproporsionalitas di dalam sistem distrik. Kedua adalah sistem paralel. Baik sistem proporsional
maupun distrik dijalankan secara bersama. Hanya penghutungan suaranya dilakukan secara
sendiri-sendiri. Ketika tidak ada kursi yang di dapat di dalam sistem distrik, prosesnya dihitung
melalui sistem proporsional.

Rumpun yang keempat adalah sistem lain-lain.

Indonesia menganut sistem proporsional.

Pemilihan Gubernur Jakarta berbeda dengan provinsi lain. Apabila di daerah lain 30%, di Jakarta
50%. Alasannya karena Jakarta (pernah) menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). Undang-Undang
untuk DKI berbeda dengan daerah lain. Oleh karena itu, pemilihan Gubernur Jakarta terdapat
putaran kedua.
Sistem Pemilu di Indonesia

Sejak pemilu 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional;

Hanya saja, sistem yang dipakai mengalami perubahan-perubahan.

Pada masa Orde Baru, pemilih dipersilahkan memilih partai saja. Setelah Orde Baru, terdapat
modifikasi. Selain memilih partai, pemilih juga memilih calon-calon yang diusulkan oleh
partai-partai.

Week 5

Sistem Perwakilan

Week 6

Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Politik Lokal

Desentralisasi: Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan lain sebagainya (Pemerintah Daerah),


diberikan kewewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah Pusat mengatur
kebijakan fiskal dan keamanan.

Fenomena Massive Desentralisasi

Desentralisasi terjadi di berbagai belahan dunia, baik negara yang demokratis maupun tidak.
Menurut William Delinger, pada periode awal 1980-an sampai awal 1990-an, dari 75 negara-negara
sedang berkembang dan sedang dalam masa transisi yang berpenduduk lebih dari 5 juta, hanya 12
negara yang tidak membuat kebijakan untuk mentransfer kekuasaan politiknya ke unit-unit
pemerintahan lokal. Lembaga-lembaga internasional (UNDP dan World Bank) ikut mendorong
kebijakan desentralisasi untuk memdorong pembangunan yang lebih menyeluruh di banyak
negara.

Aspek-aspek dalam demokrasi: Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipatif

Tiga kecenderungan

Andrew Parker mencatat tiga kecenderungan yang berkaitan dengan fenomena desentralisasi.

1. Pembentukan lembaga-lembaga demokrasi dan perluasan peran lembaga-lembaga di


banyak negara.
2. Pentingnya sumber daya finansial dalam pelaksanaan desentralisasi. Kegagalan kebijakan
desentralisasi di sejumlah negara di Afrika pada 1970-an, di antaranya karena minimnya
sumber daya finansial di tingkat lokal.
3. Keterlibatan lembaga0lembaga di luar pemerintahan, seperti sektor swasta dan LSM dalam
pelaksanaan desentralisasi, khususnya dalam masalah pelayanan publik. Pembanguann
dianggap bukan hanya urusan pemerintah.

Tiga Perspektif

1. Perspektif Politik: Desentralisasi ditempatkan dalam konteks relasi antara Pemerintah


Pusat dan Daerah dan Penguatan Demokrasi di Daerah.
2. Perspektif Administrasi: Cenderung membahas desentralisasi dalam konteks pembagian
kewenangan antara lembaga-lembaga atu agen-agen pemerintah Pusat dengan
lembaga-lembaga atau agen-agen di Pemerintahan Daerah.
3. Perspektif Ekonomi: Desentralisasi dapat dipahami dalam dua hal. Pertama adalah
berkaitan dengan pembagian sumber daya keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
atau yang disebut desentralisasi fiskal. Kedua adalah privatisasi pelayanan publik.

Desentralisasi di Indonesia

Desentralisasi atau otonomi daerah bukan fenomena baru di Indonesia. Pada awal abad ke-20,
Belanda telah membuat kebijakan desentralisasi. Pemerintahan Soekarno dan Soeharto juga pernah
membuat kebijakan desentralisasi. Hanya saja, pemerintahan pasca Orde Baru telah membuat
desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan desentralisasi mencangkup desentralisasi
administrasi, politik dan fiskal sekaligus. Pada masa sebelumnya, lebih dititikberatkan pada
desentralisasi administrasi.

Kabupaten/Kota menjadi titik tolak sebagai daerah otonom. Belakangan ini, provinsi diberi
otoritas lebih besar, seperti otoritas di dalam mengelola pendidikan SLTA. Sebelumnya, pendidikan
SLTA menjaid urusan kabupaten/kota. Selain itu, provinsi sekaligus merupakan wakkil dari
pemerintah pusat di daerah. Desa juga diberi otoritas. Kebijakan tersebut bukan dibuat sekadar
untuk efektivitas dan efisiensi roda peemerintahan, melainkan juga bagian dari demokratisasi.
Kebijakan demikian apakah dapat membawa lebih banyak manfaat?

Beberapa Istilah yang Terkait dengan Desentralisasi

1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingna masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
otonomi daerah.
3. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom berdasarkan asas otonomi.
4. Dekonstralisasi adalah pelimahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintah umum.
5. Instansi vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintahan
nonkementerian yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat
dari instansi terkait dengan urusan keagamaan, pertahanan, keuangan, dan pengadilan.
6. Tugas pembantuan adalah oenugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom
untuk melakukan sebagian urusan pemerintahan.

Di tingkat nasional: Presiden

Di tingkat Provinsi: Gubernur

Di tingkat Kabupaten: Bupati

Di tingkat Kota: Walikota

Dampak Desentralisasi

Dampak Positif

1. Desentralisasi sebagai alternatif dari sentralisasi melihat sisi positif dari kebijakan
desentralisasi.
2. Pengalaman gagalnya strategi perencanaan pembangunan tersentral yang dianut oleh
banyak negara sedang berkembang, melihat desentralisasi sebagai upaya yang rasional untuk
mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi.
3. Implikasi desentralisasi … .
4. … .
5. Strategi perencanaan yang memusat adalah strategi yang rumit.
6. Strategi terpusat tidak dapat menguntungkan semua pihak.
7. … .
8. Model pembuatan dan implementasi kebijakan sentral sering tidak selaras dengan
kebutuhan masyarakat lokal. Hal tersebut terjadi karena kondisi lingkungan, pasar lokal,
perusahaan-perusahaan swasta, dan struktur di daerah tidak selalu sama. Sementara itu,
perumusan dan pelaksanaan kebijakan sentralistik cenderung tunggal.
9. Tiebout mengatakan bahwa masyarakat cenderung di tempat Pemerintah daerahnya
mampu memenuhi preferensi. Untuk ini, masyarakat cenderung menggunakan
kekuatannya melalui ‘vote by feets’. Ketika masyarakat tidak puas dengan pelayanan publik,
mereka bisa saja pindah ke pelayanan swasta.
10. Di samping mampu menciptakan ‘allocative efficiency’, desentralisasi juga dipandang
mampu menciptakan suatu pemerintahan yang memiliki akuntabilitas, mendorong
demokrasi, dan mampu menghasilkan ‘cost recovery’. Elinor Ostrom et al., berpendapat
bahwa desentralisasi mampu mendorong adanya akuntabilitas pemerintahan serta
mereduksi korupsi di dalam Pemerintahan.

Teori Pilihan Publik: Desentralisasi adalah instrumen penting untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Man is an egoistic, rational utility maximizer merupakan asumsi dasar yang mana
pemerintahan yang terdesentralisasi mampu menyediakan barang-barang dan pelayanan yang lebih
baik daripada pemerintahan yang tersentralisasi.

Dalam bahasa Hirschman (1970), masyarakat bisa menggunakan mekanisme ‘voice’ dan exit;’.
Masyarakat bisa menggunakan voice untuk menyalurkan aspirasinya. Ketika suaranya tidak
didengar, mereka bisa exit. Misalnya, mengalihan kebutuhan barang-barang dan pelayanan
publiknya ke swasta atau pindah ke negara lain.

Cabang pemilu

1. Pilpres: Presiden dan wakil


2. Pileg: DPR (Pusat) dan DPRD (Provinsi, Kabupaten, Kota)
3. Pilkada: Kepala Daerah (Gubernur dan wakil).

Pemerintahan yang tersentralisasi sering dianggap cenderung menyamaratakan dan mengabaikan


keragaman dalam penyediaan barang-barang dan pelayanan publik. Kecenderungan ini oleh Oates
dipandang tidak efisien karena tidak memertimbangkan keragaman cita rasa dari masyarakat yang
berbeda. Efisiensi justru akan muncul manakala cita rasa yang beragam tersebut menjadi
pertimbangan .. .

Dampak Negatif

1. Fakta mengenai kesulitan atau bahkan kegagalan di dalam pelaksanaan kebijakan


desentralisasi itu seolah-olah membenarkan para pengkritik kebijakan desentralisasi.
2. … .
3. Redistribusi pendapatan seharusnya menjadi responsibility Pemerintah Pusat.
4. Upaya pemerintah daerah untuk mengurangi kesenjagnan sering tidak adil.
Konsekuensinya, ‘the poor in well-off regions will fare better than the poor in more deprived
regions’
5. Redistribusi yang terdesentralisasi dipandang sebagai ‘self-defeating’. Manakala sebuah
daerah mebuat kebijakan redistribusi pendapatan melalui pengenaan pajak yang tinggi
kepada orang-orang kaya dan memberi keuntungna kepada orang-orang miskin,
orang-orang kya itu akan cenderung pindah ke daerah yang memiliki tariff pajak rendah.
6. Prud’Homme juga berpendapat bahwa desentralisasi tidak ccok untuk membangun
stabilitas ekonomi makro. Pemerintah Pusat memiliki kemampuan untuk memanipulasi
kebijakan fiskal yang bisa dijadikan instrumen untuk menstabilkan ekonomi makro.
Sementara itu, Pemerintah daerah hanya memiliki sejumlah kewenangan.
7. Masalah ekonomi makro mungkin muncul di negara yang menerapkan desentralisasi.
8. … .

Pertanyaan

- Unsur demokrasi yang memuat partisipatif dan akuntabilitas


- Sentralisasi di masa orde baru telah menciptakan hegemoni dan pemangkasan kebudayaan
maupun berpikir kreatif karena menekankan nasionalisme dan sikap menerima alih-alih
berpikir kreatif.
- Setelah orde baru, tokoh elite lebih cenderung enggan membangun hubungan
partisipatoris yang bertumpu pada akuntabilitas politik karena berfokus pada memperoleh
kekuasaan. Akhirnya, ada jarak antara rakyat dan elite politik.
- Kelemahan desentralisasi kesenjangan
- Pertanyaan: apakah kesenjangan dalam desentralisasi di Indonesia masih merupakan isu
yang cukup rumit untuk sekurang-kurangnya direduksi dalam tingkat tertentu? Melihat
adanya kesenjangan antara tokoh elite dalam pemerintahan (misalnya dalam DPRD) dan
rakyat, terlebih rakyat pun saat ini juga tidak memiliki gairah yang lebih dalam
berpartisipasi dalam kegiatan politik, terutama pemilu.

Week 7

Pilkada dan Relasi antara Kepala Daerah dan DPRD

Di Jakarta, Gubernur dipilih langsung dan Bupati/Walikota dipilih oleh Gubernur. Meskipun
begitu, pemilihan langsung Gubernur di Jakarta (sebagai ibu kota) berbeda dengan daerah-daerah
lain. Suara yang dipilih hampir mirip dengan pemilihan Presiden (50%). Maka dari itu, sering ada
pemilihan sampai dua putaran (two-round system). Di daerah lain cukup dengan 30%. Gubernur
DKI berhak menetapkan administrasi (termasuk Bupati/Walikota) tanpa perlu mendapatkan
persetujuan dari DPRD. Ketika ibu kota berpindah nanti, Jakarta akan memiliki undang-undang
baru.
Di Yogyakarta, Bupati/Walikota dipilih langsung karena Gubernur dan Wakilnya merupakn raja
Yogyakarta. Kerajaan di Yogyakarta punya kekuasaan secara kultural dan politik, berbeda dengan
kerajaan-kerajaan lain di Indonesia yang hanya berkuasa secara kultural.

Pilkada dan Demokratisasi di Daerah

Sampai Mei 2005, Kepala Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil, dan


Walikota/Wakil), dipilih oleh DPRD. Pada masa Orde Baru, mengingat sistem politik ketika itu
terkontrol, DPRD hanaya memilih kepa daerah yang dikehendaki oleh pengendali kekuasaan.
Ketika itu, kalau pun terdapat calon lebih dari satu, terdapat ‘calon jadi’ dan ‘calon-calon
pelengkap’. Calon jadi yang telah direstui biasanya memperoleh suara besar dan calon-calon
pelengkap memperoleh suara kecil.

Demokratisasi di Daerah

Pasca Orde Baru, terdapat demokratisasi, termasuk di daerah. Terdapat tiga kecenderungan
penting:

1. Peta kekuatan politik di daerah berubah dan mencerminkan kekuatan dari partai-partai
politik. Ada beberapa daerah yang dikuasai oleh partai tertentu (dominan). Akan tetapi,
kekuatan politik menybar ke beberapa kekuatan tertentu dan ada pula yang ke banyak
kekuatan di berbagai daerah.
2. DPRD memiliki kekuatan yang lebih besar: hak legislasi, hak anggaran, dan hak
pengawasan.
3. Ketika DPRD masih memiliki hak untuk memilih kepala daerah, tidak lagi bercorak
monolitik prosesnya. Besaran kekuatan politik DPRD juga ditentukan oleh besaran
kekuatan-kekuatan yang ada di daerah itu.

Kritik terhadap DPRD

Menguatnya posisi DPRD dalam proses-proses politik di daerah tidak serta-merta membuat peta
politik di daerah dipandang jauh lebih baik dari sebelumnya. Keputusan-keputusan politik oleh
DPRD, termasuk di dalam memilih kepala daerah, sehingga jauh dari keinginan konsituen dan
masyarakat daerah (disconnect electoral). Tidak sedikit kepala daerah yang terpilih tidak
mencerminkan kehendak konstituen. Terdapat tuntutan agar masyarakat terlibat langsung dalam
pemilihan atas kepala daerah.

Pilkada Langsung

Sejak 1 Juni 2005, kepala daerah dipilih secara langsung (kecuali gubernur/wakil gubernur DIY dan
walikota/bupati di DKI). Yang berhak menjadi calon kepala daerah adalah perorangan dan calon
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai-partai politik -> Hal tersebut merujuk
pada Undang-Undang Dasar. Terdapat treshold dari partai pengusung: 20% dari kursi di DPRD
atau 35% suara pemilu di daerah itu.

Koalisi

Mengingat tidak semua partai politik memiliki perolehan kursi sebesar 20% atau 25% suara di
dalam pemilu, partai tersebut harus bergabung dalam mengajukan pasangan calon. Akan tetapi,
koalisi juga terjadi bukan semata-mata karena tidak memenuhi syarat, melainkan juga bagian dari
strategi untuk memperoleh kemenangan.

Dua pendekatan untuk memahami motivasi partai-partai politik untuk membangun koalisi
(Debus, 2008):

1. Office-Oriented Approach: Melalui koalisi, partai-partai dapat memperoleh jabatan di dalam


Pemerintah.
2. Policy-Oriented Approach: Koalisi diharapkan untuk dapat memperoleh keuntungna atas
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kepala Daerah (kebijakan-kebijakn tersebut sesuai
dengan visi-misi partai). Pendekatan ini berbeda dengan Office-Oriented Approach karena
lebih mempertimbangkan aspek posisi program, bukan posisi jabatan.

Koalisi di Pilkada

Koalisi terjadi bukan semata-mata karena tidak memenuhi syarat, melainkan juga bagian dari
strategi untuk memperoleh kemenangan.

Pendekatan koalisi

1. Office-oriented approach

Menekankan pada partai-partai menaruh parhatian besar pada jabatan.

2. Policy oriented apprach

Berasumsi bahwa partai-partai menaruh perhatian pada posisi perogram dan kebijakan.

Personalisasi Politik

Personalisasi Politik adalah penguatan figur-figur tertentu yang membuat orang tertarik untuk
memilih suatu partai. Politik tidak ditekankan pada institusi, melainkan pada individu. Personal
branding lebih kuat daripada party branding. Orang-orang yang dicalonkan adalah orang-orang
yang memiliki peluang untuk menang, ‘dijual’, bukan semata-mata karena orang-orang itu
mewakili partai.
Relasi Pemerintah Daerah dan DPRD

Dua Perspektif

1. DPRD merupakan bagian dari pemerintahan di daerah. Dalam perspektif demikian,


DPRD bersama-sama dengan kepala daerah merupakan satu-kesatuan bagi
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
2. DPRD merupakan lembaga perwakilan daerah. Perspektif memandang DPRD … .

Implikasi

1. Perspektif Pertama
a. Kepala Daerah merupakan pemimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b. Kepala Daerah memiliki pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat;
c. Checks and balance antara DPRD dan Kepala Daerah dimungkinkan. Tetapi,
posisi Kepala Daerah, satu langkah ‘lebih tinggi’ karena dia merupakan pemimpin
penyelenggaraan pemerintahan di daerah;
d. Keputusan-keputusan pemda (yang dibuat Kepala Daerah dan DPRD) atau Perda
bisa dibatalkan oleh pemerintah pusat.
2. Perspektif Kedua
a. Kedudukan antara Kepala Daerah dan DPRD seimbang.
b. Checks and Balance antara DPRD dan Kepala Daerah dimungkinkan.
c. Kepala Daerah memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat, ketika dipilih
langsung oleh rakyat.
d. Kedudukan antara Kepala Daerah dan DPRD seimbang;
e. Checks and balance antara DPRD dan Kepala Daerah dimungkinkan;
f. Kepala Daerah memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat, ketika dipilih
secara langsung oleh rakyat;
g. Relasi antara Pusat dan Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip desentralisasi;
h. Perda bisa dibatalkan setelah melalui proses review di Mahkamah Agung;
i. Pengusul, bisa kekuatan-kekuatan dari masyarakat di daerah, dan bisa juga
pemerintah yang lebih atas (bisa propinsi dan pusat).

Pijakan Argumentasi

Kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah sejak 1999 dan diimplementasikan sejak 2001
merupakan bagian dari proses demokratisasi;

Desentralisasi tidak hanya mencakup administrasi dan fiskal, melainkan juga desentralisasi politik;

Demokrasi berarti adanya kompetisi, partisipasi dan hak-hak (sipil, politik, dan belakangan ekosok);
Secara kelembagaan demokrasi bermanka adanya checks and balances (akuntabilitas horisintal) dan
adanya pertanggungjawaban serta kontrol antara wakil dan terwakil (akuntabilitas vertikal).

DPRD merupakan representasi rakyat di daerah yang memiliki fungsi untuk mengontrol
pemerintah daerah (checks and balances dengan eksekutif) serta menjalankan fungsi-fungsi
perwakilan.

Dinamika Posisi DPRD

Pada masa lalu, DPRD merupakan bagian dari Pemerinta Daerah. Di dalam pasal 13 UU No 5
tahun 1974 dikatakan, ‘Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah’; DPRD dalam kendali Kepala Daerah;

Pasca reformasi: DPRD dan Pemerintah Daerah di pisah. Tetapi, DPRD dipandang sebagai bagian
dari Pemerintahan Daerah (baik di dalam UU No 22 tahun 1999 maupun di dalam UU No 32
tahun 2004); DPRD bisa menjalankan peran checks and balances.

Pola Relasi Kepala Daerah dan DPRD

1. Relasi Excecutive Heavy: Terdapat partai dominan di daerah dan kepala daerah berasal dari
partai dominan itu.
2. Relasi Keseimbangan: Terjadi mana kala terdxapat sebaran kekuatan politik dan kepa laerah
berasal dari partai-partai yang meyebar secara seimbang.
3. Relasi Legislative Heavy: Terjadi mana kala kepala daerah berasal dari independen dan tidak
memiliki pijakan kekuatan politik di DPRD.

Kebijakan Pork Barrel

’Pork barrel’ merupakan metafora untuk menggambarkan adanya pengeluaran uang tertentu,
misalnya dalam bentuk proyek atau bantuan, untuk masyarakat dengan tujuan pada saat pemilu,
para pemilih di dalam masyarakat tersebut akan memilih para politisi (kepala daerah maupun
anggota DPRD) pada saat pemilu.

Kebijakan ‘pork barrel’, dalam relasi antara kepala daerah dan DPRD, dalam konteks elektoral,
saling mengguntungkan.

Kebijakan itu bukan hanya memiliki fungsi alokasi dan distribusi atau realokasi dan redistribusi
sumber-sumber APRD, melainkan juga berfungsi sebagai instrumen untuk membangun relasi
antara eksekutif dan legislative yang saling menguntungkan; bukan sekadar terbangun atas ada
tidaknya koalisi pada saat pilkada
Week 10

Hubungan Birokrasi dengan Politik

Asal muasal birokrasi: Birokrasi adalah istilah modern (terutama di Perancis) untuk melihat realitas
layanan publik di masyarakat. Keluhan-keluhan thd layanan publik di pemerintahan
memunculkan penyakit bureaumania, yaitu sebuah kekecewaan atas inginnya pejabat yang lebih
banyak menguntungkan dirinya daripada keuntungan publik. Jauh sebelum itu, gagasan mengenai
birokrasi ada di Cina.

Birokrasi merupakan gabungan dari kata ‘biro’ dan ‘krasi’. Biro berarti kantor dan krasi atau
kratein berarti aturan. Kamus bahasa Jerman pada 1813 mengartikan birokrasi sebagai wewenang
atau kekuasaan yang berbagai departemen dan cabang-cabangnya memperebutkan … . Kamus
bahasa Italia pada 1828 menyebut birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan.

Beberapa batasan birokrasi

1. Birokrasi adalah lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi dan tanggung jawab negara.
Birokrasi merupakan ruang mesin negara.
2. Birokrasi adalah suatu sistem kewenangan, kepegawaian, jabatan, dan metode yang
dipergunakan pemerintah untuk melaksanakan program-programnya.

Konsep Max Weber

Birokrasi dikatikan dengan sistem legal-rasional yang memiliki karakteristik

1. Tugas-tugas pejabat diorganisasi atas dasar aturan yang berkesinambungan


2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda, sesuai dengan fungsinya yang
masing-masing dilengkapi denan syarat tertentu
3. Jabatan tersusun secara hirarkis yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan
pengaduan
4. Aturan disesuaikan dengan pekerjaan, diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Di
sini diperlukan manusia yang terlatih
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda engan anggoat sebagai indiviud pribadi
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya
7. Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis yang menjadi kan kantor sebagai organisasi
modern
8. Sistem otoritas legal memiliki berbagai betuk, sistem tersebut pada aslinya tetap berada
dalam suatu staf administrasi
Di Indonesia, birokrasi bukanlah bagian dari politik. Birokrasi konsepnya merupakan lembaga
independen, tetapi penunjukkannya (seleksinya)

Birokrasi dan Politik: Perdebatan

Terdapat tiga pandangan di dalam menjawab pertanyaan mengenai apakah birokrasi itu terpisah
sama sekali dalam politik (entitas yang terpisah) atau tidak bisa dilepaskan sama sekali di dalam
politik (entitas yang berhubungan)

1. Politik dan birokrasi merupakan entitas yang terpisah, tetapi politik realitasnya yang
menentukan birorkasi. -> masternya adalah politikus yang menghasilkan kebijakan dan
birokrasi melaksanakan kebijakan.
2. Birokrasi tidak dapat dilepaskan sama sekali dari politik karena birokrasi juga memiliki
kepentingan politik. ->
3. Birokrasi sebagai entitas yang netral, tidak memihak pada kekuatan politik tertentu.

Anda mungkin juga menyukai