Anda di halaman 1dari 3

Lampion Ramadhan

Cahaya matahari mulai mengusir langit subuh ketika sebuah bus dengan angka lima
belas melaju meninggalkan Pasar Gamping menuju pusat Kota Yogyakarta. Di beberapa titik
lokasi, bapak kernet mencari penumpang dengan bersandar setengah badan di pintu bus.
Tugas pak kernet lainnya yaitu menagih ongkos kepada para penumpang.
Mbah Kakung ikut menyerahkan uang seribu lima ratus kepada pak kernet, ongkos
untuk dirinya, Bude dan Sari. Tidak banyak percakapan antara tiga penumpang bersaudara
itu, berbeda dengan penumpang lain yang terdengar riuh ramai membicarakan apa saja.
“PKO! PKO!” teriak pak kernet.
Mbah Kakung, Bude dan Sari segera merapat ke pintu bus. Mereka segera turun saat
pak sopir menghentikan laju bus. Mbah Kakung membantu Sari bergegas turun karena
khawatir pak sopir cepat mengangkat pijakan remnya.
Cukup dengan berjalan kaki sepuluh menit mereka bertiga sudah tiba di rumah petak
Mbah Kakung. Sari segera meletakkan tas ransel dan kantong berisi kotak alat lukisnya.
Tidak banyak barang yang tersisa dari musibah kebakaran rumahnya.
“Sari, lihat sini,” ajak Mbah Kakung ramah.
Sari menuju depan rumah. Terlihat beberapa rangkaian kabel dan lampu-lampu kecil di
sekitar Mbah Kakung.
“Kita akan membuat lampion, yuk! Supaya meriah menyambut bulan puasa,” ucap
Mbah Kakung.
Sari tersenyum kecil sambil mengangguk. Belum banyak kata yang terucap dari
mulutnya. Kehilangan kedua orang tua sekaligus masih sangat menyiksa perasaannya.
“Lho! Kok lampunya tidak menyala?” Mbah Kakung bertanya pada dirinya sendiri,
heran dengan apa yang terjadi.
Bude segera bergabung di depan rumah.
“Waktu itu kan sudah dicoba ya, Pak?” tanya Bude.
“Lha iya, sudah.”
Melihat Sari yang masih terdiam, Bude segera menghampirinya.
“Sari, kita ke pasar saja yuk, beli jajan. Biar Mbah Kakung urus sendiri itu,” ajak Bude.
Sari mengangguk kecil, “Ya, Bude.”
Matahari belum cukup tinggi, tanda aktivitas pasar masih ramai dan padat. Jarak pasar
dari rumah hanya tiga ratus meter saja. Sambil jalan kaki, Bude mulai mengenalkan beberapa
tempat yang dilaluinya. Mulai dari warung bakso paling enak, sampai salon langganan Bude.
Bude berhenti di beberapa kios untuk membeli barang kebutuhan rumah termasuk
bahan pangan. Sari membantu dengan membawakan beberapa barang belanjaan. Kios
terakhir yang dituju yaitu toko plastik untuk keperluan jualannya Bude.
Sambil menunggu Bude belanja, Sari melihat sekeliling toko. Toko plastik ini juga
menjual aneka perlengkapan dekorasi. Ia mengamati gulungan kertas kilap warna-warni.
Pikirannya melayang kepada ayah yang selalu mengajak untuk menghias rumah sebelum
bulan puasa tiba.
Sama seperti Mbah Kakung, Sari juga ingin ikut membantu menghias rumah. Tapi apa
daya, ia sama sekali tidak memegang uang. Hidupnya kini bergantung pada Mbah Kakung
dan Bude. Ia pun tak ingin menambah beban kehidupan mereka berdua.
Sari segera menjauhkan pandangan dari kertas mengkilap itu. Ia sadar tak mungkin
dapat membelinya.
“Sari, ada yang mau dibeli?” tanya Bude.
“Eh, tidak ada, Bude.” Sari segera menjawab dengan gelengan kepala.
“Beli bakso dulu yuk. Nanti buat Mbah Kakung dibungkusin saja baksonya,” ajak
Bude.
Di warung bakso langganan Bude, Sari masih memikirkan tentang ide menghias rumah
tadi. Selain ingin mengenang kebiasaan ayah, ia juga ingin membantu Mbah Kakung yang
sangat baik kepadanya.
Pikirannya terhenti saat pandangannya tertuju pada tumpukan botol plastik di sudut
warung. Terlihat seperti keranjang sampah, tapi isinya hanya ada botol plastik bekas air
minum pengunjung.
“Pak, apa botol-botol itu masih dipakai?” Sari bertanya pada bapak penjual bakso.
“Itu sampah. Biasanya suka ada pemulung yang mau ambil,” jawab bapak penjual
bakso dengan tangan sibuk mengaduk panci besar.
“Kalau aku ambil boleh, Pak?” tanya Sari.
“Boleh, ambil aja. Tapi itu masih kotor. Ini kreseknya.” Bapak penjual bakso
menyerahkan kresek besar.
“Terima kasih banyak, Pak!” Sari tersenyum lebar.
Bude yang masih duduk menyantap bakso heran melihat tingkah Sari. Sejak musibah
kebakaran itu Bude belum pernah melihat Sari tersenyum lebar seperti kepada penjual bakso
tadi.
Sampai rumah, Bude belum banyak bertanya kepada Sari. Ia penasaran apa yang akan
dilakukan Sari dengan botol-botol bekas tadi.
“Mbah Kakung, Sari ikut menghias rumah ya,” kata Sari.
“Wah, Sari mau bikin apa? Mbah Kakung malah belum ketemu penyebab lampunya
tidak bisa nyala,” jawab Mbah Kakung yang sedang duduk santai di kursi teras.
“Setelah botol-botol ini dibersihkan, nanti akan Sari lukis, lalu dirangkai, dan bisa
digantungkan di depan rumah.” Sari menjelaskan sambil tersenyum.
Mbah Kakung bertatapan dengan Bude yang membawa semangkuk bakso. Pikiran
keduanya sama, yaitu heran dengan tingkah Sari yang tiba-tiba berbeda dari sebelumnya.
Mbah Kakung dan Bude pun sama-sama tersenyum.
“Bagus banget, Sari! Nanti Mbah Kakung bantu pasangnya ya!” ucap Mbah Kakung.
Bagi Sari, terus bersedih hasilnya tetap sedih dan tidak mengubah keadaan. Ia ingin
mengenang orang terkasihnya dengan cara bahagia, yaitu dengan mengerjakan hobinya,
melukis.

Anda mungkin juga menyukai