Anda di halaman 1dari 8

Resume Ethics and Social Responsibility in International

Business
(Chapter 5)

A. Sifat Etika dan Tanggung Jawab Sosial dalam Bisnis Internasional

Alasan mendasar adanya bisnis adalah untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya, yang
biasanya berupa keuntungan. Dalam kebanyakan kasus, pebisnis membuat keputusan, baik
pribadi maupun organisasi, yang dapat diterima oleh masyarakat. Tapi terkadang mereka
menyimpang dari apa yang diterima masyarakat.

Seiring berkembangnya dunia bisnis internasional, maka semakin tinggi pula


perhatian terhadap etis dan bertanggung jawab secara. Etika adalah sebuah keyakinan
individu pribadi mengenai apakah suatu keputusan, perilaku, atau tindakan itu benar atau
salah. Oleh karena itu, perilaku etis bervariasi dari satu orang ke lainnya. Konsep perilaku
etis biasanya mengacu pada perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima
secara umum. Jadi, perilaku tidak etis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma-
norma sosial yang diterima secara umum.

Suatu masyarakat umumnya mengadopsi hukum formal yang mencerminkan standar


etika yang berlaku. Misalnya, karena kebanyakan orang menganggap pencurian tidak etis,
hukum telah disahkan di sebagian besar negara untuk membuat perilaku seperti itu ilegal dan
dilarang. Harapan seringkali lebih kuat membentuk perilaku dari sekedar keberadaan hukum.
Definisi ini menyarankan generalisasi, yaitu :

• Individu memiliki sistem kepercayaan pribadi mereka sendiri tentang apa yang dimaksud
dengan etika dan perilaku tidak etis.

• Orang-orang dari konteks budaya yang sama cenderung memiliki kesamaan tentang apa
yang membentuk perilaku etis dan tidak etis

• Individu mungkin dapat merasionalisasi perilaku berdasarkan keadaan.

• Individu dapat menyimpang dari sistem kepercayaan mereka sendiri berdasarkan keadaan.

• Nilai-nilai etika sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat nasional.
B. Etika dalam Konteks Lintas Budaya dan Internasional

a) Bagaimana Organisasi Memperlakukan Karyawannya

Salah satu bagian penting etika lintas budaya dan internasional adalah perlakuan
terhadap karyawan oleh organisasi. Pada suatu keadaan, sebuah organisasi dapat berusaha
untuk mempekerjakan orang-orang terbaik, untuk menyediakan kesempatan yang luas untuk
pengembangan keterampilan dan karir, dan menawarkan kompensasi yang sesuai serta
tunjangan.

Dalam praktiknya, bagian yang paling rentan terhadap variasi etika yaitu praktik
perekrutan, pemecatan, upah dan kondisi kerja, serta privasi dan rasa hormat karyawan. Di
beberapa negara pedoman etika dan hukum menyarankan bahwa keputusan perekrutan dan
pemecatan harus didasarkan hanya pada kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan.
Tetapi di negara lain, ada perlakuan istimewa kepada individu berdasarkan jenis kelamin,
etnis, usia, atau hal lain yang tidak terkait dengan faktor pekerjaan.

b) Karyawan Memperlakukan Organisasi

Banyak masalah etika berhubungan dengan bagaimana karyawan memperlakukan organisasi.


Konflik kepentingan terjadi ketika keputusan berpotensi menguntungkan individu dan malah
merugikan organisasi. Norma budaya dengan baik mengatur tingkat dan kelayakan hadiah
yang akan dipertukarkan oleh pelaku bisnis, yang tergantung pada sifat hubungan bisnis,
panjangnya, dan jumlah bisnis yang ditransaksikan.

c) Bagaimana Karyawan dan Organisasi Memperlakukan Agen Ekonomi Lainnya

Perspektif utama ketiga untuk melihat etika melibatkan hubungan antara perusahaan dan
karyawannya dengan agen ekonomi lainnya. Agen utama, yaitu pelanggan, pesaing,
pemegang saham, pemasok, dealer, dan serikat pekerja. Perbedaan dalam praktik bisnis di
seluruh negara menciptakan kompleksitas etika untuk perusahaan dan karyawan mereka.

C. Mengelola Perilaku Etis Lintas Batas


Banyak bisnis tetap berusaha untuk mengelola etika manajer dan karyawan mereka dengan
jelas menetapkan fakta bahwa mereka mengharapkan untuk terlibat dalam perilaku etis.

a) Pedoman dan Kode Etik

Perusahaan multinasional yang cukup besar memiliki pedoman tertulis yang merinci
bagaimana karyawan harus memperlakukan pemasok, pelanggan, pesaing, dan pemangku
kepentingan lainnya. Perusahaan tersebut telah mengembangkan kode etik formal yaitu
pernyataan tertulis tentang nilai-nilai dan standar etika yang memandu tindakan perusahaan.

Sebuah perusahaan multinasional harus menetapkan suatu kode menyeluruh untuk


semua unit globalnya. Jika sebuah perusahaan mengakuisisi perusahaan asing baru, ia juga
harus memutuskan apakah akan menerapkan kode perusahaannya pada anak perusahaan itu
atau mempertahankan yang sebelumnya.

b) Pelatihan Etika

Beberapa MNC menangani masalah etika secara aktif, yaitu dengan menawarkan
pelatihan kepada karyawan tentang cara mengatasi kebingungan mengenai etika. Sesi
pelatihan melibatkan diskusi mengenai kebingungan akan etika yang berbeda yang dihadapi
karyawan. Sebagian besar perusahaan multinasional memberikan pelatihan etika lokal kepada
ekspatriat untuk mempersiapkan mereka agar lebih baik untuk tugas di luar negeri.

c) Praktik Organisasi dan Budaya Perusahaan

Praktik organisasi dan budaya perusahaan juga berkontribusi pada pengelolaan


perilaku etis. Jika para pemimpin puncak di sebuah perusahaan berperilaku dengan cara yang
etis dan pelanggaran etika standar segera ditangani, maka setiap orang dalam organisasi akan
memahami bahwa perusahaan mengharapkan mereka untuk berperilaku dengan cara yang
etis. Tetapi, jika para pemimpin puncak terlihat tidak mengikuti standar etika dan memilih
untuk mengabaikannya, maka orang-orang dapat menganggap bahwa hal tersebut dapat
diterima sehingga semakin sering melakukan hal yang tidak etis.

D. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lintas Budaya dan Konteks Internasional


Etika dalam bisnis berhubungan dengan manajer dan karyawan lainnya dan keputusan
serta perilaku mereka. Organisasi sendiri tidak memiliki etika tetapi berhubungan lingkungan
mereka dengan cara yang sering melibatkan dilema etika dan keputusan oleh individu-juga di
dalam organisasi. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah suatu kewajiban yang
dilakukan perusahaan untuk melindungi dan meningkatkan masyarakat di mana ia berfungsi.

CSR didefinisikan sebagai triple bottom line, yaitu gagasan bahwa perusahaan harus
mempertimbangkan dan menyeimbangkan tiga tujuan dalam merumuskan dan menerapkan
strategi dan keputusan mereka:

• Memenuhi misi ekonomi mereka, memberikan keuntungan bagi pemegang saham


perusahaannya dan menciptakan nilai untuk pemangku kepentingan

• Melindungi lingkungan alam

• Meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum

Para ahli menyatakan triple bottom line sebagai pertimbangan “manusia, planet, dan
keuntungan”.

a) Misi Ekonomi

Pemangku kepentingan utama adalah individu dan organisasi yang secara langsung
dipengaruhi oleh praktik organisasi dan yang memiliki kepentingan ekonomi dalam
kinerjanya termasuk karyawan, pelanggan, dan investor. Pemangku kepentingan sekunder
adalah individu atau kelompok yang mungkin terpengaruh oleh keputusan perusahaan tetapi
tidak secara langsung terlibat dalam transaksi ekonomi dengan perusahaan, seperti media
berita, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau komunitas dimana perusahaan beroperasi.

b) Keberlanjutan dan Lingkungan Alam

Komponen kedua dari triple bottom line adalah melindungi lingkungan alam.
Kebanyakan negara memiliki hukum yang berusaha untuk melindungi dan meningkatkan
kualitas air, tanah, dan udara mereka. Namun, di beberapa negara, penegakan masih lemah,
banyak perusahaan memandang bahwa mengikuti hukum tidak kurang memenuhi kewajiban
mereka. Dalam beberapa kasus, perusahaan banyak yang menerapkan praktik bisnis
berkelanjutan karena menambah keuntungan perusahaan dengan menghapus biaya melalui
rekayasa ulang produk dan proses produksi. Internet berperan penting dalam konservasi
sumber daya karena banyak bisnis e-commerce dan transaksi yang dapat mengurangi biaya
energi dan polusi.

c) Kesejahteraan Sosial Umum

Beberapa orang percaya bahwa selain memperlakukan pemangku kepentingan dan


lingkungan mereka secara bertanggung jawab, perusahaan juga harus mempromosikan
kesejahteraan umum masyarakat. Contohnya dengan memberikan kontribusi amal dan
mengambil peran dalam meningkatkan kesehatan dan pendidikan masyarakat. Beberapa
orang juga percaya bahwa perusahaan harus bertindak lebih luas lagi untuk mengoreksi
ketidakadilan politik atau sosial yang ada di dunia.

E. Mengelola Tanggung Jawab Sosial Lintas Batas

Perusahaan melakukan beberapa upaya untuk mengatasi tanggung jawab sosial. Pendekatan
dasar yang diadopsi membentuk cara mengelola tanggung jawab sosial dan evaluasi tanggung
jawab sosial mereka.

a) Pendekatan Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan umumnya mengadopsi salah satu dari empat pendekatan dasar yang berbeda
untuk tanggung jawab sosial.

Posisi Penghambat

Organisasi yang mengambil posisi itu disebut penghambat sikap terhadap tanggung jawab
sosial yang biasanya dilakukan sesedikit mungkin untuk mengatasi masalah sosial atau
masalah lingkungan.

Posisi Defensif

Satu langkah yang dihilangkan dari sikap menghalangi adalah sikap bertahan, dimana
organisasi akan melakukan segala sesuatu yang diperlukan secara legal tetapi tidak
lebih.Pendekatan ini sering diadopsi oleh perusahaan yang tidak simpatik dengan konsep
tanggung jawab sosial. Manajer yang mengambil sikap defensif bersikeras bahwa tugas
mereka adalah untuk menghasilkan keuntungan.

Sikap Akomodasi
Sebuah perusahaan yang mengadopsi sikap akomodatif bertemu hukum dan persyaratan
etika tetapi juga akan melampaui persyaratan ini dalam kasus tertentu. Contohnya perusahaan
secara sukarela setuju untuk berpartisipasi dalam program sosial, tetapi pengacara harus
meyakinkan perusahaan bahwa program tersebut layak untuk mereka dukung.

Sikap Proaktif

Tingkat tanggung jawab sosial tertinggi adalah sikap proaktif. Perusahaan yang mengadopsi
pendekatan ini mengambil hati argumen yang mendukung tanggung jawab sosial. Mereka
memandang diri mereka sebagai warga negara dalam masyarakat dan secara proaktif mencari
peluang untuk berkontribusi.

b) Mengelola Kepatuhan Tuntutan

Organisasi perlu membuat pendekatan untuk tanggung jawab sosial dengan cara yang sama
seperti mereka mengembangkan strategi bisnis lainnya. Artinya, mereka harus memandang
tanggung jawab sosial sebagai tantangan utama yang memerlukan perencanaan, pembuatan,
pertimbangan, dan evaluasi. Mereka dapat mengelola tanggung jawab sosial melalui dimensi
formal dan informal.

Kepatuhan hukum

Kepatuhan hukum adalah sejauh mana organisasi mematuhi hukum regional, nasional, dan
internasional.

Kepatuhan Etika

Kepatuhan etika adalah sejauh mana para anggota perusahaan mengikuti standar etika (dan
hukum) dan standar perilaku.

Pemberian Filantropi

Pemberian filantropi adalah pemberian dana atau hadiah untuk amal atau program sosial
lainnya.

c) Dimensi Informal Tanggung Jawab Sosial

Organisasi Kepemimpinan dan Budaya


Praktik kepemimpinan dan budaya organisasi memerlukan waktu yang lama untuk
menentukan sikap tanggung jawab sosial yang akan dilakukan oleh perusahaan.

Whistle Blowing

Whistle blowing adalah pengungkapan yang dilakukan oleh seorang karyawan atas hal-hal
yang tidak sah atau tidak etis dari pihak lain dalam organisasi.

d) Mengevaluasi Tanggung Jawab Sosial

Setiap perusahaan yang memperhatikan tanggung jawab sosial harus memastikan bahwa
usahanya menghasilkan manfaat yang diinginkan. Hal ini membutuhkan penerapan kontrol
untuk tanggung jawab sosial. Beberapa organisasi memilih untuk melakukan evaluasi formal
atas keefektifan upaya tanggung jawab sosial.

F. Kesulitan Mengelola CSR Lintas Batas

Peran perusahaan dalam masyarakat bervariasi antar negara. Sebuah model yang
dikembangkan oleh dua ahli CSR Belanda, Rob van Tulder dan Alex van der Zwart,
menunjukkan ada tiga aktor utama dalam proses formulasi kebijakan :

1. Negara yang mengesahkan dan menegakkan hukum

2. Pasar, yang melalui proses persaingan dan mekanisme penetapan harga memperoleh input
dan mengalokasikan output kepada anggota masyarakat

3. Masyarakat sipil, yang meliputi gereja, organisasi amal, pramuka, serikat buruh, LSM, dan
sebagainya.

a) Pendekatan Anglo-Saxon

Dalam analisis van Tulder dan van der Zwart, negara-negara Anglo-Saxon memandang
negara, pasar,dan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang terpisah, kompetitif, dan antagonis.
Jadi, ketika pemerintah harus kontrak dengan sektor swasta untuk membeli barang atau jasa,
kontrak tersebut harus dilakukan melalui proses tender yang terbuka dan kompetitif.

b) Pendekatan Asia
Banyak pemimpin Asia memandang kerja sama sebagai kunci keberhasilan pembangunan
mereka, strategi ini disebut ”jalan Asia”.

c) Kontinental Di Uni Eropa

Negara-negara kontinental Eropa seperti Austria, Jerman, Prancis, dan Belanda. Kebijakan
kontinental Jerman memberi pekerja peran yang jelas dalam tata kelola bisnis besar Jerman.
Kerjasama, bukan kompetisi, adalah ciri dari pendekatan ini. Mengingat pendekatan ini
terhadap peran bisnis dalam masyarakat, tidak mengherankan bahwa Benua Eropa adalah
tempat

Anda mungkin juga menyukai