Anda di halaman 1dari 24

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(STISOSPOL) “WASKITA DHARMA” MALANG


PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
SK. RISTEKDIKTI No. 496/KPT/I/2018
Kampus : Jl. Indragiri V / 53 Telp. / Fax. ( 0341 ) 4381111
UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) TA. 2022/2023

PRODI/KELAS Magister Administrasi Publik SKS :


Mata kuliah New Publik Manajemen
Sifat Ujian : Close
Hal 1 dari 1
Jenis MK New Publik Manajemen Book/Open Book /Take
Home
Dosen Dr. Indiati, M.Hum, M.A.P
Hari : Tgl. : 28 Januari 2023 Waktu : 1 Minggu Ruang : Daring

LANGKAH LANGKAH MENGERJAKAN SOAL SEBAGAI BERIKUT :


1. Mahasiswa Masuk Melalui Laman Website Yaitu ( umwd.waskitadharma.ac.id/login)
2. Masukan Username Dan Password Masing-Masing Mahasiswa
3. Pilih Beranda Pada Laman Website
4. Pilih Mata Kuliah Yang Diujikan.
5. Waktu Mengerjakan Maksimal 2 Jam Saat Link Mata Ujian Di On Kan.
6. Jika Sudah Selesai Mahasiswa Mengupload Kembali Dalam Bentuk File (Save PDF).

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) TAHUN AKADEMIK 2022/2023

Soal UAS

1. Buatlah Makalah pilih salah satu terkait dengan:


a) Pelayanan Publik
b) Administrasi Publik
c) Manajemen Publik
Studi di Instansi Pemeritah atau swasta dimana bapak/Ibu Mahasiswa bekerja atau
dilingkungan bapak/Ibu Minimal 20 Halaman.
Dibuat oleh : Diperiksa oleh :
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen
tanpa ijin tertulis dari Program Pascasarjana
STISOSPOL “Waskita Dharma” Malang
Dosen Pengampu Kaprodi
NAMA : Oskar Enghuarsait
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN NIM : 22211051-MAP
ILMU POLITIK (STISOSPOL) Tanggal : 28/01/2023
“WASKITA DHARMA” MALANG
PROGRAM STUDI
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

LEMBAR JAWABAN UAS


MATA KULIAH : New Publik Manajemen
DOSEN : Dr. Indiati, M.Hum, M.A.P
MAKALAH TEORI ADMINISTRASI PUBLIK
ETIKA PELAYANAN PUBLIK DI DINAS SOSIAL
KABUPATEN MAMBERAMO RAYA

Disusun oleh :
Oskar Enghuarasit
(22211051-MAP)

PROGRAM PASCASARJANA ADMINISTRASI PUBLIK


STISOSPOL WASKITA DHARMA MALANG
2023
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta
memberikan perlindungan dan kesehatan sehingga saya dapat menyusun makalah
dengan judul “Pelayanan Publik di Dinas Sosial Keabupaten Mamberamo Raya” .
dimana makalah ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah New Public Management.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini saya
banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan
saya sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki saya maka
saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan sebaik-
baiknya.
Dalam kesempatan ini tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Sebagai manusia saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak yang membaca makalah ini agar saya dapat membuat makalah
yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang .............................................................. 4
1.2.Rumusan Masalah ........................................................ 7
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................... 8

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kajian Terdahulu .......................................................... 9
2.2. Landasan Teori.............................................................. 9

2.2.1. Definisi Etika Dan Pelayanan Publik ........................ 9


2.2.2. Analisis Makalah ....................................................... 21

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan .................................................................. 22
3.2. Saran ............................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa tujuan


didirikannya Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut
mengandung makna Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga
Negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya
penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik,
dan pelayanan administratif. Sehingga itu efektivitas suatu sistem pemerintahan
sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Pada
masa Orde Baru, banyak pihak menilai bahwa pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh pemerintah tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Seperti
dikatakan oleh Rusli dalam Hafis Aldani Posangi 2013:4 bahwa pelayanan publik
di masa orde baru sangat bernuansa politis; masalah dan kepentingan masyarakat
yang seharusnya dijadikan titik tolak untuk merumuskan program pelayanan,
kurang mendapat perhatian. Sejumlah persoalan publik yang dinilai dapat
mendatangkan dukungan politis untuk memperkuat kedudukan pemerintahan akan
mendapat perhatian serius, walaupun tidak relevan dengan kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran banyak program pelayanan publik yang
tidak berhasil memberikan kontribusi pada usaha peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sejak reformasi dan diberlakukannya undang-undang no 22 tahun
1999 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah terjadi perubahan
dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah yang semula sentralistik dengan sistem
top down bergeser ke pelaksanaan pemerintahan yang bersifat desentralistik.
Secara formal pemerintah menyerahkan kewenangan kepada daerah otonom untuk
mengurus rumah tangganya sendiri dengan memenuhi kebutuhan sesuai dengan
aspirasi masyarakat. kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Apabila dicermati, pada dasarnya misi dan tujuan dari kebijakan otonomi daerah
yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut adalah : pertama, meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; kedua,
menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya lokal/daerah untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan ketiga, untuk
memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam proses pemerintahan dan pembangunan public.
Pemerintah daerah melalui kebijakan otonomi ini menghasilkan kemajuan
di bidang demokrasi lokal dengan menerapkan sistem keterbukaan informasi
pemberian pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan tujuan desentralisasi dan
otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayani
sehingga pemerintah dapat mengakomodir seluruh kebutuhan dan kepentingan
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Paradigma
desentralisasi telah menumbuhkan kepekaan masyarakat untuk menuntut kualitas
pelayanan publik (publik service) yang merupakan kewajiban dari pemerintah
daerah. Hasbullah Malau dalam Yusnani Hasjimzum 2014:446 mengatakan
meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas dan bermutu Pemerintah
sebaliknya merubah paradigma berfikir dan bertindak yang ada di birokrasi daerah
dari paradigma dilayani, memerintah dan menguasai menjadi paradigma
melayani,
pelayanan masyarakat memfasilitasi masyarakat dan mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pelayanan publik, memberi pelayanan prima responsive,
transparan, akuntabel komunikatif.
Berkaitan dengan hal itu, Karjuni Dt Maani dalam Yusnani Hasjimzum
2014:446 mengemukakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus
bertanggung jawab dalam menjalankan wewenang dengan baik, karna pelayanan
publik memiliki hak untuk mengontrol, mempertanyakan dan meminta
pertanggungjawaban aparat pemerintah (melalui wakilnya). Dengan akuntabilitas
dan responsibilitas publik setiap apparat pemerintah diminta untuk dapat
mempertanggungjawabkan, hak kewajiban, Tindakan, keahliannya bahkan waktu
yang dipergunakan di depan publik, dengan sistem administrasi negara yang
efisien dan efektif bukan berarti pengaduan publik diberbagai aspek
pengembangan sudah meningkat kearah yang lebih baik, tetapi ciptaan kreatifitas
dasar pengelolaan pemerintahan yang proaktif terhadap kebutuhan publik. Posisi
aparatur pemerintah seharusnya mampu mendorong aktivitas publik. Berkaitan
dengan hal tersebut, Mita Widyastuti dalam Yusnani Hasjimzum 2014:446
mengatakan selama ini ada anggapan dan kesan bahwa penyelenggaraan
pelayanan merupakan monopoli pemerintah, masyarakat dilibatkan hanya saat
pemerintah membutuhkan informasi dari pemerintah. Pendapat ini ditanggapi oleh
ruli isa yang mengatakan keluhan keluhan masyarakat merupakan indikator
pelayanan yang diberikan belum memenuhi harapan masyarakat. Kemampuan
sebuah organisasi mengenali kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat dalam pelayanan, direalisasikan dalam kebijakan dan kegiatan
prosedur pelayanan dinilai dengan adanya seluruh komunikasi atau cara untuk
menampung keluhan keluhan masyarakat.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik
strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia. Pertama
pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh
pemerintah berinteraksi dengan Lembaga-Lembaga non pemerintah. Keberhasilan
dalam mewujudkan good governance dalam ranah pelanan publik mampu
membangkitkan dukungan daan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa
membangun good governance bukanlah sebuah mitos tetapi dapat menjadi suatu
kenyataan kepercayaan diri sangat penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti
sekarang ini, mengingat kegagalan-kegagalan program reformasi pemerintahan
selama ini telah menggerogoti semangat warga sehingga merasa pesimis untuk
benar benar mewujutkan Indonesia baru yang berciri praktik good governance.
Meluasnya praktik bad governance di banyak daerah seiring berjalannya
desentralisasi dan otonomi daerah seringkali meruntuhkan semangat pembaharuan
yang dimiliki oleh warga negara dan sebaliknya menumbuhkan pesimis dan
apatisme dikalangan luas.

ii
Pelayanan publik adalah perihal kemudahan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat sehubungan barang dan jasa. Dalam perakteknya di
pemerintahan negara berkewajiban melayani dalam pengertian memberikan
pelayanan publik kepada setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak
dan kebutuhan dasarnaya menjadi prioritas mengingat masyarakat selama ini
menjadi korban dari praktik pelayanan publik yang buruk. Hampir setiap praktik
kehidupan sejak dilahirkan sampai dengan meninggal dunia warga harus
menghadapi pelayanan publik. Permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia
sekarang ini semakin komplek dan semakin sarat dengan permasalahan. Oknum
Organisasi Pemerintah yang seyogyanya menjadi panutan rakyat malah banyak
yang tersandung masalah Hukum. Eksistensi pemerintahan yang baik atau sering
disebut Good Governance yang selama ini dielu-elukan, faktanya saat ini masih
menjadi mimpi atau khayalan dan sebatas jargon belaka.
Revolusi di setiap bidang harus dilakukan karena
setiap produk yang dihasilkannya hanya mewadahi kepentingan Partai Politik,
Fraksi dan Kelompok orang. Padahal seharusnya penyelenggaraan Negara yang
baik harus menjadi perhatian serius. Fenomena Pelayanan Publik yang seringkali
dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah sarat dengan permasalahan, misalnya
prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang
menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat.
Hal ini menyebabkan terjadi ketidak percayaan kepada pemberi pelayanan dalam
hal ini Birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan
pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan.
Disamping permasalahan di atas, juga tentang cara pelayanan yang diterima
oleh
masyarakat yang sering dilecehkan martabatnya sebagai warga Negara.
Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
Birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan Birokrasi dan kemauan dari para
pejabatnya. Dalam era otonomi daerah aparatur Pemerintah dituntut untuk lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan mampu meningkatkan Efisiensi
Pelayanan Publik di daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk kepuasaan
masyarakat. Untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas/memuaskan
tentu saja membutuhkan Aparatur Pemerintah yang mengedepankan
Profesionalisme dalam memberikan pelayanan dan kompetensi yang dilihat dari
semua aspek penilaian baik dari segi Pendidikan/Keahlian, Pengalaman,
Moralitas, Dedikasi maupun aspek lainnya.
Salah satu fungsi utama penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi
kewajiban Aparatur Pemerintah ialah penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Setelah Era Orde Baru terjadi berbagai perubahan terutama Demokratisasi
di ranah Ekonomi Dan Politik sehingga menciptakan kemajuan yang dapat
dikritisi bersama. Namun ada yang masih sama, atau setidaknya berubah tapi
tidak signifikan yaitu kondisi Pelayanan Publik kita yang masih tertinggal
daripada negara lain.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan terkait dengan itu maka peneliti ingin
menggambarkan dan mendeskrpsikan tentang problematika
pelayanan publik DUKCAPIL kabupaten Mamberamo Raya.

iii
1.2 Rumusan Masalah

Selama ini, lanjut kesan dan negatif dan krisis kepercayaan terhadap
pemerintah (birokrasi) terkhusus Dinas Sosial Keabupaten Mamberamo Raya
diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa merespon keinginan warga
masyarakat. Kultur birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Mamberamo Raya
yang di desain untuk bekerja lambat, berhati-hati dan menyelewengkan
kewenangan dan jabatannya untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun
kelompoknya sudah tidak dapat diterima oleh konsumen atau pun masyarakat
yang memerlukan pelayanan cepat, efisien, tepat waktu dan akuntabel. Hal ini
menambah daftar panjang mengenai rendahnya persoalan etika birokrasi di
Indonesia terkhusus di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Mamberamo
Raya, mengingat kepada pemerintahan yang bersih (clean good governance) yaitu
pemerintahan yang tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari
etika administrasi publik (maladministration).
Di bidang administrasi negara di Indonesia khususnya masalah etika dalam
birokrasi dalam pelayanan publik menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena
perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya darinya, tetapi masyarakat banyak.
Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat
bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat
mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat yang di biayainya harus
mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan
kedudukannya.
Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :
1) Bagaimana Pelayanan Public di Dinas Sosial Keabupaten Mamberamo
Raya?
2) Pentingnya Etika Pelayanan Publik di Dinas Sosial Keabupaten
Mamberamo Raya?
3) Bagaimana etika pelayanan Publik untuk diterapkan di Dinas Sosial
Keabupaten Mamberamo Raya?
4) Prinsip Pelayanan Publik di Dinas Sosial Keabupaten Mamberamo Raya?

iv
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan pelayanan


public di Dinas Sosial Keabupaten Mamberamo Raya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Terdahulu
Hasil penelitian dengan judul “kualitas pelayanan publik, kosep, dimensi,
indikator dan inplementasinya” oleh : Puspitosari pada tahun 2011. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas pelayanan publik, konsep,
dimensi dan indikator dalam pelayanan di PTSP. Hasil dan pembahasan aspek
yang berkaitan dengan kualitas pelayanan publik menunjukan tumpang tindih
dalam penerapan kebijakan. Kolerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan kualitas pelayanan publik. Pengembangan model dalam upaya
implementasi kebijakan pelayanan.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Definisi Etika dan Pelayanan Publik
James J. Spillane SJ mengemukakakan bahwa etika mempertimbangkan
atau memepertimbangkan tingkah laku manusia dalam suatu keputusan moral.
Lebih lanjut tentang penggunaan akal manusia dengan tujuan untuk benar atau
salahnya serta orang lain untuk orang lain.
Prof. Dr.Frans Magnis Suseno mengemukakan bahwa etika merupakan

v
ilmu yang memberikan arahan, tujuan dan landasan bagi tindakan manusia.
Moenir, A.S (2008: 27) mendefinisikan pelayanan adalah serangkaian
kegiatan yang berlangsung secara rutin secara rutin dan berkesinambungan
meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian
tersebut pelayanan dapat diartikan bahwa pelayanan merupakan kegiatan yang
bersifat rutin dan berkesinambungan dalam masyarakat.
Lijan Poltak Sinambela (2008: 5) mengemukakan bahwa pelayanan adalah
setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik.
Menurut undang-undangg No.25 tahun 2009 tentang pelayana publik :
Segala bentuk kegiatan dalam rangka pengaturan, pembinaan, bimbingan,
penyediaan fasilitas, jasa dan lainnya yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah
sebagai upaya pemebuhan kebutuhan kepada masyarakat sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

A. Sejarah & Pelayanan Publik Dinas Sosial MAMBERAMO RAYA

Kabupaten Mamberamo Raya adalah salah satu kabupaten yang berada di


provinsi Papua, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di desa Burmeso.
Kabupaten Mamberamo Raya merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan
Kabupaten Waropen, berdasarkan UU No. 19 Tahun 2007 yang disahkan pada
tanggal 15 Maret 2007. Menurut data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021,
jumlah penduduk kabupaten Mamberamo Raya berjumlah 38.441 jiwa dengan
kepadatan 2,00 jiwa/km².

Keberadaan wilayah administratif Kabupaten Mamberamo Raya dikukuhkan


berdasarkan UU No. 19 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Mamberamo
Raya di Provinsi Papua pada tanggal 15 Maret 2007.

vi
Nama "Mamberamo" konon berasal dari bahasa Dani, mambe yang berarti
"besar" dan ramo yang berarti "air". Suku Dani dan beberapa suku terasing
lainnya bermukim di lembah sungai ini yang kaya akan keanekaragaman hayati
ini. Jika dilihat dari udara, Sungai Mamberamo mudah dikenal karena ukurannya
yang besar, berwarna coklat, banyak mempunyai kelokan (meander) serta danau
tapal kuda (oxbow lake) sebagai hasil perpindahan alur sungai. Kedalaman sungai
bisa mencapai lebih dari 10 m dan debit airnya mampu mencapai 5.500 m³/detik.

Anak-anak Sungai Tariku berasal dari ketinggian di atas 4.000 m pada


Pegunungan Nassau atau Pegunungan Tengah Papua. Beberapa aliran anak sungai
tampak mempunyai arah timur barat yang tampaknya mengikuti struktur lipatan
(lembah subsekuen) pada pegunungan tersebut, sehingga pola sub-trellis dan
dendritik banyak berkembang di wilayah ini yang juga merupakan zona patahan
Derewo. Di bawah Gunung Gulumbulu (4.041 m) terdapat pertemuan beberapa
anak sungai (Delo dan Hitalipa) yang membelok ke utara dan setelah 50 km baru
masuk ke Sungai Tariku yang mengalir ke timur pada dataran lakustrin. Gunung
tersebut konon merupakan land mark atau tapal batas antara wilayah Suku Moni
di bagian barat dan Suku Dani di bagian timur. Sungai Van Daalen merupakan
salah satu anak sungai besar yang berada di bagian timur dan titik pertemuannya
dengan Sungai Tariku tidak jauh dari batas wilayah Kabupaten Mamberamo Raya.

Dibandingkan dengan Sungai Tariku, Sungai Taritatu banyak di-supply oleh


anak-anak sungai yang berasal baik dari Pegunungan Nassau maupun Pegunungan
Foya. Pada wilayah ini pola dendritik banyak berkembang di sisi utara dan
sebagian Sub-trellis dan dendritik dari sisi selatan. Diperkirakan potensi debit air
tanah yang keluar dari pegunungan Foja-Rouffaer adalah 19.801 x 106 m3/tahun
untuk akuifer tidak tertekan (unconfined) sedangkan untuk akuifer tertekan
(confined) sebesar 889 x 106 m3/tahun (ESDM, 2004; Murdiyarso dan Kurnianto,
2008).

Kabupaten Mamberamo Raya secara geografis terletak antara 137° 46 - 140°


19 Bujur Timur (BT) dan 01° 28 - 3° 50 Lintang Selatan (LS). Kabupaten ini
mempunyai luas wilayah sebesar 31.136,85 Km2. Keberadaan wilayah
administratif Kabupaten Mamberamo Raya dikukuhkan berdasarkan UU No. 19
tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Mamberamo Raya di Provinsi Papua
pada tanggal 15 Maret 2007.

Kabupaten Mamberamo Raya terdiri atas 8 distrik dan 60 kampung dengan


luas wilayah 23.813,91 km² dan jumlah penduduk 38.441 jiwa (2021). Kode
Wilayah Kabupaten Mamberamo Raya adalah 91.20. Distrik di Kabupaten
Mamberamo Raya adalah:

vii
 Benuki
 Mamberamo Hilir
 Mamberamo Tengah
 Mamberamo Tengah Timur
 Mamberamo Hulu
 Rufaer
 Sawai
 Waropen Atas
 Iwaso

Kabupaten Mamberamo Raya yang berdiri dari 2008 terdiri dari 25 OPD.
Salah satunya adalah Dinas Kependudukan dan pencatatan sipil. Dinas
kependudukan dan pencatatan sipil terletak di distrik Mamberamo tengah
Burmeso.

B. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan adminstrasi dari
politik (dikotomi) menunjukan bahwa admisitrator sungguh-sungguh netral, bebas
dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi politik pada tahun 1930-an, sehingga
perhatian mulai di tunjukan kepada keterlibatan para administrator dalam
keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik
mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukam
pleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrtor atau
aparat pemerintah tidak semata-mata di dasarkan pada pencapaian kriteria
efesiensi, rkonomi, dan prinsip-prinsif administrasi lainnya,tetapi juga kriteria
moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau
kepentingan umum (Henry, 1995:400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya
public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah
karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam

viii
memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak , dimana, kapan dan lain sebagainya. Padahal,
kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntutan atau pegangan
kode etik atau normal secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah
yang teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendigte perilaku
seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi
dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam
birokrasi yang meberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian
kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran human relation dan
human resources telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis yaitu
memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannya
bahwa perhatian terhadap manusia (koceren for people) dan pengembangannya
sangat relevan dengan upaya peningkatan produktifitas, kepuasan dan
pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu diepertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada
etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin,
tidak berdaya dan lain sebagainya. Untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi
tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh
sorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice-as-fairness sesuai pendapat
John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas dan kesempatan sosial akan

ix
terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang
dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang
populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik
sangat besar. Pelayanan publik tidak sederhana sebagaimana dibayangkan, atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian
pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak”. Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak
tidak sesuai dengan kode etik atau tuntutan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kentataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat biasa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi), yang semuanya itu nampak dari sifat-
sifat tidak transfaran, tidak responsif, tidak akuntabel dan tidak adil. Dan tidak
dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai
salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang
menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan
hukum dan perundang undangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial
budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam
berpolitik. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih
sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral
itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” dimasa
mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses pembusukan

x
terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
C. Etika Pelayanan Publik

Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan
yaitu :
1) Pelayanan dengan lisan
2) Pelayanan melalui tulisan
3) Pelayanan dengan perbuatan

Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat


selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan
tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintahan. Faktor utama dalam
keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber daya
manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan
masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi
semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggung jawaban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu
(pengusulan program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan),
desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat biasa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan
teknis, pengelola keuangan, sumber daya manusia dan informasi) yang semua itu
nampaknya dari sifat-sifat tidak transparan, tidak resfonsif, tidak akuntabel dan
tidak adil sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul
kepada masyarakat.
Sudah sepantasnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak
adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini
sudah mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah:

xi
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada
pengguna jasa, terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur
berkesempatan untuk mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang
menguntungkan, misalkan dapat menyelesaikan pembuatan KTP dengan
cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukan sikap ramah, sopan dan santun pada pengguna
jasa. Sikap semena-mena yang ditunjukan sebagian aparatur terkesan
seperti merajai atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua.
Dikap tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasa sebagai
derajat yang paling tinggi, meskipun sebenarnya dia tahu bahwa dia
merupakan pelayan bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya
kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya “Bolos”
kerja yang dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak
jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan jasa merupakan
masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat
pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu
tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya
tidak boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan
dalam pekerjaan terhadap masyarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu
tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani
masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan
pimpinan dari pada pelayan masyarakat.
5. Aparat belim tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.

Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional,
pelayanan publik yang profesional adalah pelayana publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur
pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271)
Ciri-cirinya yaitu :

xii
1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran.
2. Sederhana mengantuk arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan da kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai :
a. Prosedur tata cara pelayanan.
b. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan
administratif .
c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan.
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
5. Efisiensi mengandung arti :
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan
langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan.
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketetapan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang
dilayani.

xiii
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa
mengalami tumbuh kembang.

Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanaan
tugas dan kewenangannya, yaitu :
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros).
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan
supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan
milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan
hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif di wadahi
oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan dari pada
unsur rasio dalam nebjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi.
4. Merytal system,nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi
pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan
(sill), kemampuan (capable) dan pengalaman (experience), sehingga
dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan
profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dan bukan
“spoil system.

xiv
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggung jawaban birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu
istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable
merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya
akuntabilitas ini disebut tanggung jawab yang bersifat objektif, sebab
birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh
orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggung
jawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada
pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka
mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi
publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah dan aspirasi
masyarakat.
D. Prinsip Etika Pelayanan

Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik
dimiliki ASPA (American Society For Public Administration) yang telah direvisi
berulangkali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para
anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara
lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, keaktivitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.

xv
Adapun bentuk dari etika administrasi negara menurut American Society for
Public Administrasi (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut :
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan.
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan
publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya.
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum
atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara
terbaik untuk memberi pelayanan publik.
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator
publik.
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung,
diimplementasikan dan dipromosikan.
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat
dibenarkan.
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus
dipromosikan.
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih memilih
alternatif keputusan.
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan,
tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.

2.2.2 Analisis Makalah


seperangkat nilai yang dijadikan sebagai pedoman, acuan, referensi,
penentuan sebagai arahan untuk menjelaskan apa yang harusa dilakukan dalam
menjalankan sebuah tugas, selain dari pada itu etika juga memiliki fungsi sebagai
standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam
menjalankan tugas di nilai baik atau buruk. Oleh karena itu, dalam etika terdapat
sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi di katakan
baik atau buruk. Sedangkan pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan

xvi
oleh aparatur pemerintahan (tenaga Birokrasi) yang menyangkut hajat hidup orang
banyak ( Publik atau masyarakat). Namun dalam pelaksaaan pelayanan kepada
masyarakat tersebut jelas membutuhkan etika yang baik dan benar agar yang
dilayani dapat merasakan pelayanan yang nyaman dan terpercaya, baik dalam
mendapatkan akses informasi maupun dalam membuat persyaratan untuk
kepentingan masyarakat. Dewasa kini dalam hal pelayanan atau public service
dalam pelaksanaan kerja para birokrat tidak serta merta lancar tanfa faktor
penghambat. Diantara faktor penghambat tersebut adalah:
1. Para pegawai yang melayani masyarakat kurang disiplin dan tidak
memenuhi syararat sebagai tenaga kerja yang baik.
2. Selalu datang terlambat dan pulang lebih awal dari waktu yang sudah
ditentukan.
3. Tidak memberikan akses informasi kepada masyarakat.
4. Selalu membeda-bedakan golongan sosial masyarakat dalam hal pelayanan
dalam arti jika masyarakat dari golonan sosial kebawah dalam hal
pelayanan lebih dikebelakangkan dan terkadang golongan tersebut
terintimidasi.
5. Para birokrat terkadang melakukan tindakan sewenang-senang dalam arti
menyalahgunanakan kewenangan yang dimiliki.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas
secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang
berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen
yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi pelayanan publik itu sendiri.

xvii
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam kompleks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi
yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut apakah
para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain.
Karena petingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah
kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan
dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi,
yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang
harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan
seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut
menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang bisa merugikan negara
dan masyarakat seperti misalnya, korupsi, kolusi dan nepotisme.
3.2 Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak
yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan
masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian
mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk
melayani masyarakat sehingga dia melakukan kesalahan dalam melakukan
pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam
pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimana etika yang seharusnya
diterapkan kepada masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika
aparatur pemerintah melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah

xviii
sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan
dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan
masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat
sehingga tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Akhirnya, yang
teramat penting adalah keteladanan, tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat
kebijakan ideal, karena itu dalam etika kebijakan, yang penting adalah proses
untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Puspitisari, D.S.2011 Hubungan Antenatar care dengan berat badan
lahir bayi di Indonesia (analisis lanjut data riskendes 2010). Pusat
terknologi terapan kesehatan dan epideomologi klinik.
2. Sepriliane, James J. 1992 Etika bisnis dan Etika Berbisnis, Kanisius,
Yogyakarta.
3. Suseno, Magnis frans. 1987. Etika dasar, Masalah-masalah filsafat
moral. Kanisius. Yogyakarta.
4. Moenir, A.H.S 2008. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia,
Bumi Aksara, Jakarta.
5. Sinambela, Litjan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori,
Kebijakan, dan Implementasinya. Jakarata: PT. Bumi Aksara.
6. Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan
Investasi, Jakarta.

xix
7. Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
8. Kartasasmita, Ginanjar, 2004, 2004, Administrasi Pembangunan,
Jakarta: LP3ES.
9. Denhardt, Kathryn G. 1988. The Ethics Of Public Service. Wesport,
Connecticut: Greenwood Press.

xx

Anda mungkin juga menyukai