Anda di halaman 1dari 3

Lomba menulis esai

“Krisis Identitas Budaya Bagi Generasi Muda”

“BUDAYA TABE’ DAN GENERASI Z”


Rislen Leony Patintingan
Antropologi Universitas Halu Oleo
rislen.patintingan@gmail.com

Pendahuluan

Identitas ialah jati diri (KBBI V). Krisis ialah keadaan yang berbahaya (KBBI V). Krisis identitas
ialah keadaan kehilangan identitas diri (KBBI V). Kebudayaan ialah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalaman dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI V). Tabe’ ialah permisi
(bahasa Bugis)

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan, sehingga bisa dikatakan
Indonesia adalah surga kebudayaan. Dalam kebudayaan suatu daerah pasti akan
menunjukkan hal-hal yang tabu bagi masyarakat luas namun bbermakna bagi masyarakat
lakal. Seperti budaya tabe’. Bidaya tabe’ ialah budaya Sulawesi Selatan, yang menghormati
orang yang lebih tua. Kebudayaan atau kebiasaan ini sudah tersebar luas di pulau Sulawesi,
bukan hanya masyarakat Sulawesi Selatan yang menggunakan budaya tabe’ tetapi juga
banyak suku yang mengadopsi budaya tabe’ untuk menghormati orang yang lebih tua.

Generasi Z adalah generasi yang lahir tahun 1996-2010, generasi Z dikenal sebagai generasi
tik tok dan Instagram. Kata Sitti Utami R. Kamil dalam sebuah wawancara beberapa waktu
lalu bahwa generasi Z lebih banyak menghabiskan waktunya berselancat didunia maya,
teritama tik tok dan Instagram, mungkin karena generasi Z adalah generasi peralihan atau
perkembangan pesat dari internet dan sosial media. Di era digital seperti ini krisis ideititas
perlu dipertanyakan apa lagi pada generasi Z.
Isi

Budaya tabe’ atau permisi ialah sikap menundukkan badan saat lewat di depan orang yang
lebih tua, dan saat berbicara dengan orang lain menggunakan kata tabe’ saat ingin
menyanggah perkataan.

Budaya tabe’ dan generasi Z adalah hal yang sedikit sulit disatukan, bukan karena generasi Z
tidak mengel budayanya sendiri, tetapi kurangnya identitas budaya dalam diri generasi Z
tersebut. Sebagai generasi Z yang lahir dan tumbuh di era teknologi yang pesat membuat
adat sopan santunya sedikit berkurang dari generasi sebelumnya.

Di era digital banyak informasi dan totonan yang tidak relefan dengan budaya tabe’, Lee,
et.al. (2013) mengatakan bahwa unfortunately, the mass media, including the internet, have
often conveyed overwhelming information and massages that ar negative and harnful to the
personal development of young people, because the mass media have Long been dominated
primarily by commercial interests instead of educational intentions.

Budaya tabe’ sebagai kebudayaan lokal Sulawesi Selatan perlu dipertahankan dengan
melalui Pendidikan karakter. Namun secara budaya atau dalam Pendidikan di dalam rumah
bisa diajarkan kepada generasi penerus bagaimana budaya tabe’ diterapkan di dalam
keluarga, masyarakat dan budaya.

Sebagai generasi Z yang terbiasa menggunakan sosial media, seperti Instagram, tik tok,
WhatsApp, Facebook dan lainnya kebiasaan atau kebudayaan tebe’ mulai berkurang, hanya
sebagian kecil saja yang masih menerapkan kebiasaan ini, dan itu yang berasal dari keluarga
yang masih hidup dalam kebudayaan yang masih kental.

Krisis identitas ini banyak kita temukan dimana-mana terkhusus budaya tabe’ sendiri. Di
tempat umum atau ditempat kegiatan/acara, kebiasaan orang Sulawesi jika berkumbul
seperti itu mereka akan duduk melantai atau bersilah, namun ada beberapa khasus yang
saya temui atau amati anak muda tidak menundukkan badan atau sekedar mengatakan kata
tabe’ atau permisi saat lewat didepan orang yang lebih tua.

Selain sosial media dan Pendidikan identitasnya yang kurang, ada juga hal lain yang
mempengaruhi berkurangnya krisis identitas, ialah rasa ingin tahu tentang budaya lokal
yang sudah ada sejak dulu. Meski pun di sekolah diajarkan kebudayaan, namun hanya
sebatas tarian, alat musik, dan dongeng. Di sekolah tidak memperdalam tentang
kebudayaan sopan santu dan tata krama yang baik. Akibatnya banyak generasi muda yang
suka menganggap rendah orang yang lebih tua. Sikap dan sifat mereka tidak mencerminkan
kebudayaan lokal dimana mereka lahir, bertumbuh, dan besar di dalamnya.

Penutup

Warisan budaya dan nilai-nilai tradisional sebagai keartifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, seharusnya dilestarikan. Namun dalam keyataannya nilai budaya
lokal mulai berkurang dan kehilangan makna aslinya. Saat inilah peran orang tua diperlukan
dalam melestarikan budaya-budaya lokal yang ada dalam masyarakat. Keluarga dipandang
sebagai pendidik karakter yang utama pada anak, disamping sekolah yang juga dianggap
sebagai pusat perkembangan karakter pada anak.

Sebagai generasi penerus bangsa kita harus memiliki karakter yang baik dengan cara
melestarikan budaya leluhur yang ada dalam masyarakat. Bukan hanya menampilkan
kemolekan tubuh tetapi juga kemolekan sikap dan sifat. Bermedia sosial penting tetapi juga
harus melestarikan budaya rumah sendiri.

Tetap melestarikan budaya leluhur.

Anda mungkin juga menyukai