Anda di halaman 1dari 103

Suluk“Petak Umpet”

Mencari Kebenaran Sejati


Datuk Tan Antjak
Daftar isi
Prolog ……………………………………………………………..
………….
Syair Asma“Ra”…………………………………………………………
Sepatah Kata Mengenai Hakikat …………………………………

Suluk 1

Bab. I. Hakikat Sang Pencari ……………………………………… 1

I. Memahami Allah dan Rasul …………………………………… 7

i. Pengetahuan Sejati ………………………………………….. 12


ii. Pembawa Risalah …………………………………………….. 19
II. Memahami Ujian …………………………………………………… 27
iii.Mutiara Ujian …………………………………………………… 32
III. Memahami Adab …………………………………………………… 40
iv.Adab Zahir ………………………………………………………. 47
v. Adab Batin …………………………………………………….. 59
IV. Memahami Diri………………………………………………………. 67
vi.Kemuliaan Adam AS ………………………………………… 69
vii. Hikmah kisah Adam AS ……………………………….…… 78
V. Memahami Babul Haq …………………………………………… 83
viii. Tauhid ……………………………………………………………… 99
ix. Akidah ……………………………………………………………… 120
VI. Penutup ………………………………………………………………….
133

SULUK“PETAK UMPET”
( Mencari Kebenaran Sejati )

‫هّٰللا‬
َّ ‫الر ْح ٰم ِن‬
‫الر ِح ْي ِم‬ َّ ِ ‫ِب ْس ِم‬
Prolog, Sungguh akan menjadi rumit dan sulit untuk mengenal Tuhan, Apabila
dengan mencari keluar dari diri sendiri dan bisa semakin tersesat di dalam
pencarian jikalau tidak menemukan seorang guru Mursyid sejati. Hakikatnya
Tuhan adalah ingin dikenal dan untuk mengenal-Nya penulis menganalogikan
seperti bermain“Petak Umpet”untuk menemukan diri-Nya. Tuhan itu bernama
Allah, dan Rasul-Nya bernama Muhammad, Lalu diri sendiri juga bernama dan
nama yang diberikan oleh orang tua dengan nama-nama baik yang disukainya
dan memiliki arti juga harapan, Ada yang bernama Ahmad, Ibrahim, bahkan
yang lainnya. Maka dari mula-mula inilah kita mulai mengenal;

Tuhan itu bernama ‫هللَا‬


Rasul-Nya bernama ‫م َُح َّم ٌد‬
Diri sendiri bernama ‫ َأحْ َمد‬, atau nama yang lainnya.
Ahmad, atau nama yang lainnya seorang manusia yang memiliki jasmani dan
rohani, untuk mengenal jasmani kebanyakan dan hampir semua sudah tahu
dengan sendirinya, tapi untuk mengenal rohani perlu pencarian yang cukup
panjang seperti bermain petak umpet dan yang dicari bersembunyi di dalam
diri yang bernama Ahmad itu sendiri.
Allah‘Azza Wa Jalla, tidak mempersulit bagi hamba-hamba-Nya yang mau
mengenal-Nya, buat orang-orang yang berfikir cerdas juga
bersungguh-sungguh, Allah‘Azza Wa Jalla memudahkan-Nya dengan
memberikan petunjuk (Hudan) melalui kitab-Nya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai jalan untuk mengenal-Nya lebih dekat lagi.
mengenang kembali ke masa permainan petak umpet yang sudah
diperkenalkan sejak dahulu oleh Sunan di Nusantara, permainan yang
dimainkan oleh anak-anak santri untuk mengisi waktu kosong nya dengan
teman-teman sebaya. Di dalam permainan ini biasanya dimainkan oleh banyak
orang dengan salah satunya sebagai pencari dan yang lainnya bersembunyi.

Sang Pencari, melakukan pencarian menemukan teman permainannya yang


bersembunyi, dan sang pencari dalam proses menemukan teman yang
bersembunyi atau tersembunyi terkadang lelah di dalam pencarian nya dengan
mencari-cari. Sedangkan yang bersembunyi di dalam satu ruang hanya diam
menunggu ditemukan persembunyian nya..

Sang Tersembunyi, hanya diam di satu tempat tersembunyi berharap sang


pencari dapat menemui nya dan segera menyudahi permainannya yang
melelahkan tapi juga menyenangkan dan kembali dapat berkumpul bersama
untuk melanjutkan per putaran roda semesta alam.

Jakarta, Februari 2020


Datuk Tan Antjak
ASMA“RA”

Kekasih yang tersembunyi di dalam“petak umpet”


Tempat perpaduan mahligai kasih Ilahi
Menyatu dalam kehangatan asmara
Aku nama kan kekasihku ASMA“RA”
Yang hanya bersamaku awal dan akhir
Yang membawa ku lenyap dari dusta
Dusta bukan sifat-Nya
Kesucian-Nya terjaga selalu suci
Kasih sayang-Nya melebihi segalanya
Dan sentuhan lembut-Nya membuat aku lenyap
Asma‘ra’ penuhi hatiku dengan cinta-Nya
Aku ingin membuat semua alam raya menyatu
Hembusan napas ku menyatu dengan napas-Nya
Menyatu dalam satu ruang bergelimang cahaya

Senja itu kita sepakat untuk buat janji


Janji untuk bertemu malam ini
Dalam gelap ku berjalan,diantara bising kehidupan
Ternyata kau pun telah menanti
Pertemuan malam ini begitu sangat berarti
Dua insan menjadi satu antara AKU dan kamu
Menyatu hingga tak 'sadar 'kan diri
Tiada kamu tiada aku
'Rasa' itu membekas dalam ingatan ku
Bukan untuk yang terakhir kali kita menyatu
Jiwa yang merindu senja itu
Kini tenang seperti sebuah kekosongan
Andai saja semua merasakan apa yang kurasakan.
SEPATAH KATA MENGENAI HAKIKAT

Tulisan ini mengupas dalam bidang tasawwuf, akan banyak perbedaan


pemikiran atau paham dalam tulisan ini tetapi penulis berpegang kepada
Al-Qur’an dan Sunnah dan tetap menjaga kemurnian ajaran Islam. Penulis
berharap para pembaca mengambil dari sisi kebenarannya karena orang tidak
akan dapat melihat kebenaran dalam sesuatu persoalan, jika ia sudah
mempunyai kecurigaan pada waktu hendak menyelidiki persoalan itu. Jika
persoalan ini mengenai keyakinan dan cara berpikir seseorang, maka
penyelidikan yang sudah mempunyai corak dan warna itu hanya akan
menimbulkan dan melahirkan kecaman juga kebencian belaka. Saya tidak
berharap dan menginginkan tulisan ini melahirkan kebencian semata-mata
terhadap tasawwuf tetapi saya ingin mempelajari bidang ilmu ini, karena saya
tidak ingin ada permusuhan, hanya hendak mengetahui apa dan betapa dari
pada kebenarannya dan menyelami dari dalam. Banyak cara yang sudah
digunakan orang dalam mengajarkan Islam, untuk mengembalikan umatnya
kepada kebesaran zaman Nabi Muhammad SAW dan Sahabat, tetapi sampai
sekarang tidak ada satu pun diantara cara itu berhasil. Umat Islam betul
bertambah banyak yang bermula dari empat puluh orang di bukit Safa hingga
saat ini mencapai miliar orang, tetapi mutunya bertambah kurang. Jika dahulu
menyerang, sekarang diserang. Jika dahulu merdeka, sekarang hampir semua
daerah Islam merupakan jajahan orang yang bukan Islam. Memang caranya
sekarang bertambah banyak dipikirkan orang untuk mengembalikan kebesaran
dan kejayaan umat Islam di Dunia, ada yang mengatakan dengan
memperdalam ilmu fiqh dan memperbanyak ibadah. Ada yang mencari-cari
kesalahannya dalam kekurangan ilmu pengetahuan umum, ada yang menuduh
dalam Islam sudah banyak kemasukan syirk, lalu mengecam bid’ah dan
menghujat mati-matian, ada juga yang melihat karena tertutup pintu ijtihad dan
ia hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist menurut pendapatnya
sendiri-sendiri, ada yang hendak menanam iman dan menebalkan menyuruh
menghafal nama-nama ALLAH‘Azza Wa Jalla, ada yang melihat dalam
kerusakan akhlak lalu menerangkan ayat-ayat dan hadist-hadist akhlak serta
menyuruh menghafal, sedang dari seluruh cara itu kita melihat hampir tidak
ada hasilnya. Bahkan seba liknya yang terjadi aliran yang satu mencari
kelemahan aliran yang lain sehingga timbul keretakan dalam kalangan umat
Islam dan hilanglah dasar ukhuwwah untuk kerja sama dalam memperbaiki
nasib umat Islam keseluruhannya. Orang-orang sufi menempuh suatu jalan
yang tertentu, baik dalam meresap iman, baik dalam memperbaiki ibadah dan
ketaatan, baik dalam memperbaiki akhlak, termasuk mengikis cinta diri
(egoisme) yang menjadi pokok kebinasaan, mau pun memupuk
kesederhanaan hidup atau dalam menciptakan ikatan ukhuwwah antara satu
sama lainnya, semuanya itu merupakan suatu cara pula yang di cipta
sebagaimana menciptakan dalam kebangkitan semangat jihad, ilmu
pengetahuan, ijtihad dan membuat kitab-kitab yang berpuluh-puluh jilid.
Dengan ciptaan cara itu mau tidak mau diakui, gerakan sufi telah mempunyai
ke duduk kan dan peradaban sendiri dalam dunia Islam yang luas, dan dengan
demikian pula kita tidak dapat lagi mengukur dasar pendirian kita dengan
mengecam, tetapi dengan memperdalam segala persoalan dalam segala
bidang tasawwuf itu. Kita baru dapat memahami tasawwuf dan sufi untuk
kepentingan kemajuan Islam, jika kita mempelajari dan mengenal dari dalam
dan bukan hanya melihat dari luar apalagi melihat dengan kecurigaan. Juga
dalam keduniaan terdapat tokoh-tokoh ulama besar dalam bidangnya yang
tidak dapat kita cela dan kita kafir kan begitu saja atau kita katakan tidak
bermanfaat buat masyarakat karena penilaian kita yang bersifat se pihak. Jika
tasawwuf dan segala bidang ilmunya tidak berarti apa-apa buat Islam, tidaklah
ia akan berkembang dan mendapat sambutan di mana-mana, dan tidaklah
akan terdapat sastra peradaban fiqih atau bidang lainnya di dalam Islam.
Cukup dikenal orang nama-nama seperti R..A. Nicholson, A.J. Wensinck,
Golziher, Massignon, Asin Palacios, dan D.B. MacDonald dalam bidang tarikh
tasawwuf, tetapi jarang orang menyebutkan nama“Rene Guenon” seorang
yang berasal dari Prancis yang mula-mula hanya tertarik belajar mempelajari
Islam untuk mengenalnya, kemudian menyelidiki tasawwuf sampai kepada
persoalan hakikat, rupanya di sini Rene memperoleh ilham dalam
membandingkan cara memahami Tuhan dengan pemeluk agamanya, lalu ia
masuk Islam dan berganti nama “Abdul Wahid Yahya”. Bagaimana ia sampai
memeluk Islam, Rene adalah seorang ahli filsafat Kristen berbangsa Prancis,
beberapa tahun dan di beberapa tempat menjadi guru besar. Untuk
mempelajari mistik dalam Islam ia pergi ke Mesir. Di sini ia mempelajari dengan
mendalam persoalan-persoalan yang mengenai sekitar hakikat dan mengikuti
kuliah-kuliah perbandingan hal mistik yang diberikan di sekolah tinggi Al-Azhar.
Dikarenakan bekas seorang guru besar maka lekas dan cepat ia menangkap
kebenaran, yang kemudian menjadi iman yang kuat baginya. Lalu ia memeluk
agama Islam dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu pengetahuan
Islam dalam segala bidang, terutama dalam bidang tasawwuf, sehingga Rene
menjadi seorang sufi yang saleh dan zahid. Ia menempuh suluk dan
memperoleh ijazah dalam ilmu tarikat Syaziliyah dari guru Mursyid atau“Syaikh
Muhammad Ulaisy”, seorang ulama ternama dalam masanya di Mesir (Dia Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad,‘Ulaisy Ath-Tharablisi
Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak
melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak
memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritas nya telah
dicetak, wafat tahun 1299 H di Mesir).

Maka semarak lah kehidupan Rene dalam kalangan Islam dengan ilmunya
yang mendalam tentang tasawwuf, mempelajari nya, mengamalkannya,
mengajarkannya kepada orang banyak di sekolah-sekolah dan di tempat
tabligh umum serta menulis karangan-karangan yang berfaedah tentang ilmu
ini, terutama tentang membahas hakikat sepanjang pengertian Islam. Ia
mengajar di beberapa sekolah tinggi di Prancis dan Swiss, yang banyak diikuti
oleh murid-murid bangsa Eropa, kemudian sebagian memeluk agama Islam
dan mengikuti jejak gurunya dalam bertaqwa. Setelah beberapa lama ia
mengajar di Eropa, Rene meninggalkan Prancis dan kembali ke Kairo dengan
hidup yang berubah sama sekali. Ia menjadi seorang Syaikh besar dan
mengajar bersama teman-temannya di Al-Azhar. Di samping itu ia juga
bersungguh-sungguh menghidupkan amal-amal di dalam tarikat dalam
zawiyah, suluk, dan banyak memiliki murid-murid, suatu yang dihargai sangat
tinggi oleh umat Islam di Mesir. Ia hidup sederhana dan sebagai orang sufi
yang murni ia makan dari hasil karya tangannya dan buah penanya. Banyak
karyanya mengenai tasawwuf yang dimuat dalam majalah-majalah dan surat
kabar berbahasa Prancis dan bahasa lain, karangan-karangan yang
merupakan hasil penyelidikannya. Banyak diantara karangan-karangan itu
kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab dan bahasa yang lain.
Terutama majalah Al-Ma’arif yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Aziz
Al-Istambulli, adalah satu lokasi tempat langganan Rene menulis
persoalan-persoalan hakikat tasawwuf dalam bahasa Arab. Rene merasakan
persaudaraan dalam Islam yang tidak membedakan bangsa dan warna kulit
dan yang menerima segala sesamanya dari keyakinan lain dengan tangan
terbuka, dan apabila terhadap mualaf atau yang masuk ke dalam Islam
perlakuan nya seperti keluarga seketurunan. Rene menikah dengan seorang
anak perempuan Ulama Mesir yang terkenal, hasil dari pernikahannya lahirlah
beberapa anak laki-laki dan perempuan yang salih-salih. Majalah Al-Muslim
suatu majalah gerakan tasawwuf di Mesir, bulan Rabiul Awwal (12 Agustus
1951) lalu mengumumkan telah wafat nya tokoh besar sufi ini dengan
peringatan yang sangat terharu dan penghargaan yang pada tempatnya. Rene
dimakamkan di Kairo, ditempat yang terbanyak ia meninggalkan risalah-risalah,
ditempat yang ia banyak meninggalkan amal perbuatan dan pencerahan, dan
juga tempat-tempat yang banyak meninggalkan khutbah-khutbah mengenai
iman dan akhlak Sufi.

Nama Rene Guenon atau lebih dikenal“Syaikh Abdul Wahid Yahya” tetap
masih hidup dalam hati umat Islam, masih tercantum dalam
karangan-karangan dan tulisannya. Beberapa waktu kemudian lupa lah
masyarakat Islam akan jasa ulama besar ini dan juga tokoh sufi, yang telah
turut menambah harum nya sejarah ilmu hakikat dalam tasawwuf Islam,
sebagaimana biasa dilupakan orang teman-teman seperjuangan sebelumnya
dari pada ulama-ulama sufi yang mengorbankan pikiran dan jiwanya dalam
usaha menyusun suatu ilmu guna meresap kan rasa ke Tuhan yang esa atau
tauhid, yang dinamakan tasawwuf. Ia berjalan sehabis tugasnya untuk
menghadap kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan mempersembahkan segala
amal dan ibadahnya dengan tidak ria dan takabur, sehingga sedikit manusia
yang melihat kepergian nya itu, lalu melupakannya. Salah satu risalah
mengenai riwayat hidupnya ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud
(Syaikhul Al-Azhar), yang kemudian ternyata berguna sekali untuk
menghidupkan nama pujangga sufi itu di dalam sejarah Islam sehingga dikenal
orang banyak, Sesudah itu barulah orang sadar dan memberikan
penghormatan untuk memperingati nya, sehingga pernah peringatan itu
terdapat juga dalam suatu rapat menteri di Mesir. Rene Guenon tidak
mempelajari Islam seperti yang banyak dilakukan oleh ahli budaya timur
(orientalis) dari Barat hanya menyelidiki ilmunya, bahkan untuk memukul titik
kelemahan Islam guna kepentingan penjajahan Barat atau siar Kristen, tetapi
Rene Guenon sebagai seorang ahli filsafat, mempelajari Islam dan
memperbandingkan nya dengan agama lain, bahkan dengan agama Masehi
yang pernah dipeluk nya, untuk dijadikan dan menjadi keyakinan hidupnya,
sampai ia melepaskan agama sendiri yang sudah dipeluk nya bertahun-tahun
sebelumnya. Pemelukan yang berdasarkan keyakinan inilah yang membuat
Rene jadi orang yang besar dalam dunia Islam dan dihormati sebagai
pemimpin umatnya. Rene tidak sama dengan ahli budaya timur dari bangsa
Barat lain, yang hanya menyelidiki Islam dari sudut ilmu dan keyakinan
umatnya bukan untuk mencari mencari kebenaran untuk diamalkan. Banyak
ahli-ahli barat yang sesudah mempelajari bahasa Arab dan mempelajari Islam
bertahun-tahun lalu mengambil kesimpulan nya yang tidak objektif, mereka
mengatakan: Bahwa Al-Qur’an orang Islam itu tidak lain dari pada duplikat dari
kitab suci Masehi dan Yahudi, bahwa Islam itu adalah agama yang hanya
melihat kepada kehidupan kebendaan, tidak berisi ajaran yang bersifat
kerohanian, membawa manusia kepada ajaran hidup keduniaan, tidak terdapat
di dalamnya pembersih jiwa dan penanaman cinta, bahwa dikatakan Islam itu
condong kepada permusuhan, menggerakkan umatnya dalam mencari
kelezatan dunia. Dan ada golongan yang lain dari ahli budaya timur juga
memberikan pendapat yang tidak objektif dan mengambil suatu kesimpulan
bahwa filsafat Arab itu tidak lain dari pada alam pikiran Yunani, yang disalin
dan ditulis dengan huruf Arab, bahwa bahasa Arab itu tidak cocok lagi dengan
kemajuan zaman sekarang, tidak seperti bahasa Latin yang mudah dipelajari
dan sudah diakui sebagai huruf dunia. Golongan yang lain pula setelah
mempelajari kebudayaan Islam, lalu mengambil suatu kesimpulan untuk
memajukan umatnya dengan nasihat-nasihat, agar menghidupkan kembali
kebudayaan Firaun di Mesir, kebudayaan Assurian di Irak, kebudayaan Barbar
di Afrika Utara, kebudayaan Phunisia di Palestina, dan mengutamakan bahasa
Persia sebagai bahasa Aria dari pada bahasa Semit Arab, bahkan ada yang
berpendapat sekian jauhnya dalam penyelidikannya, untuk menyuruh atau
dijadikan sebagai politik perjuangannya untuk menghapuskan
kebudayaan-kebudayaan murni Islam dan menggantikannya dengan
kebudayaan barat yang mereka anggap lebih maju dan modern. Banyak buah
pikiran ahli-ahli budaya timur dari barat yang menamakan dirinya
penyelidik-penyelidik yang objektif dan berniat baik untuk membantu kemajuan
Islam, yang sebenarnya merupakan racun-racun yang ditanam oleh atau
dengan bantuan penjajah barat kepada umat Islam. Prof. Dr. Muhammad
Al-Bahi, seorang ahli kebudayaan Islam yang terkenal di Mesir menulis
panjang lebar tentang perkembangan pikiran ahli budaya timur dari barat yang
berbahaya ini dalam kitabnya“Mubasysyirum wal Mustasyriqun fi tauqifihim
minal Islam (Zendelingan dan missionaris dalam pendiriannya terhadap
Islam)”. Dalam isi dari kitab ini dibicarakan kesalahan-kesalahan yang
diperbuat oleh ahli budaya timur dari Amerika dan Eropa dengan menyebutkan
nama-nama karyanya, yang berisi hal-hal yang tidak sesuai dengan hakikat
kebenaran Islam yang sebenarnya. Jika mereka mencari kebenaran,
mempelajari sejarah dan ilmu Islam serta memperbandingkan dengan
pendirian yang jujur dengan hal-hal itu akan menemui kebenaran yang se
sungguh-sungguh nya, yang pada akhirnya dapat dianut menjadi
keyakinannya. Semoga Rene Guenon menjadi contoh bagi para ahli budaya
timur dari Barat yang dalam penyelidikan Islam sudah waktunya melepaskan
cara-cara yang lama, umat Islam sekarang sudah tidak bisa ditipu lagi karena
banyak yang sudah menyelidiki siasat penjajah barat, memiliki ilmu
pengetahuan umum dan membandingkan dengan sejarah dan ilmu yang benar
dari agamanya sendiri, yaitu Islam. Dan umat Islam sekarang sudah
mengetahui cara-cara yang dilakukan pihak barat dan juga pihak lain yang
membenci Islam, untuk memecah persatuan Islam dan merusak kemurnian
ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
SULUK 1

BAB. I
HAKIKAT SANG PENCARI

Sang Pencari (Salik), adalah seseorang yang menjalani laku spiritual dalam
menempuh jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya,
seorang salik adalah seorang yang menempuh jalan suluk. Untuk menjadi
seorang salik, selama seumur hidupnya harus menjalani disiplin dalam
melaksanakan syariat lahiriah sekaligus juga disiplin dalam menjalani syariat
batiniah. Seseorang tidak disebut sebagai seorang salik jika hanya menjalani
salah satu disiplin tersebut. Seorang salik juga disebut sebagai seorang murid
ketika ia menjalani disiplin spiritual tersebut di bawah bimbingan seorang guru
Mursyid dalam tarikat tertentu. Perjalanan seorang salik memberi kebaikan dan
menerima kebaikan, adalah sunatullah yang mereka jalani dalam pencarian
Tuhan. Mendalami ilmu Tauhid, dengan cara membaca kitab alam yang
terbentang, merasakan derita makhluk hidup, itulah ujian yang bakal menempa
para salik agar bisa menjadi insan yang kamil.

Tiap langkah salik adalah zikir, dan tiap pandangan mata adalah pikir, salik
diajarkan untuk tidak mudah mengeluh apalagi menyerah dan berputus asa
dalam pencarian nya mencari Tuhan yang Esa. Abu Hamid Imam Al-Ghazali
memberikan pesan untuk para salik yang sedang meniti jalan menuju Ilahi.
Imam Al-Gazali berpesan empat hal agar mudah dan selamat dalam
perjalanan sampai di tujuan, yaitu ALLAH‘Azza Wa Jalla.
Empat hal yang dipesan Imam Al-Ghazali adalah :
1. Akidah yang benar.
2. Tobat.
3. Bebas sangkutan dari hak anak Adam.
4. Ilmu syariat sesuai kebutuhan kewajiban.

Pesan ini disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhal Walad.

‫ والثاني توبة‬،‫ األمر األول اعتقاد صحيح ال يكون بدعة‬:‫قد وجب على السالك أربعة أمور‬
،‫ والثالث استرضاء الخصوم حتى ال يبقى ألحد عليك حق‬،‫نصوح ال يرجع بعدها إلى الزلة‬
‫والرابع تحصيل علم الشريعة قدر ما تؤدى به أوامر هللا تعالى ثم من العلوم االخرى ما تكون به‬
‫النجاة‬
Artinya,“Seorang salik wajib memiliki empat hal. Pertama, akidah yang benar, tidak
mengandung akidah bid’ah. Kedua, tobat nasuha yang tidak kembali pada kekhilafan
sesudah itu. Ketiga, menyelesaikan pertikaian dengan pihak lain sehingga tidak ada
hak orang lain lagi terhadap dirimu. Keempat, memahami ilmu syariat sebatas
menunjang pelaksanaan perintah-perintah Allah, kemudian sejumlah ilmu lain yang
menunjang keselamatan,”(Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Ayyuhal Walad).
Imam Al-Ghazali juga memberikan kriteria perjalanan salik dalam menempuh
tarekat berputar dalam 3 (tiga) Pokok yaitu :
1.Khauf (takut kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla) sumber takut kepada ALLAH
berasal dari cabang ilmu, tanda-tanda khauf adalah salik berlari menuju
ALLAH‘Azza Wa Jalla.
2.Raja’(berharap hanya kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla), yang merupakan
cabang dari keyakinan dan tanda-tanda salik yang menempati maqâm
Raja’adalah mencari kepada yang diyakini (ALLAH‘Azza Wa Jalla).
3. Mahabbah, merupakan cabang dari makrifah, dan tanda-tanda salik
yang menempati maqâm mahabbah adalah mendahulukan terhadap yang
dicintai (ALLAH‘Azza Wa Jalla) dari pada dirinya, keluarga, harta, kedudukan
dan lain-lain, jika cahaya (nûr) makrifah sudah terpancar dari hati salik maka,
salik akan meninggalkan kegelapan maksiat anggota tubuh. Jika salik dapat
keluar dari jeratan kematian maka salik bersyukur kepada ALLAH‘Azza Wa
Jalla atas pertolongan dan perlindungan-Nya, salik akan selalu untuk
berusaha mengembalikan segala sesuatu kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla
karena tidak ada tempat yang patut untuk dijadikan tempat mengungsi dari
semua keadaan selain-Nya, salik selalu berdoa kepada-Nya minta
dizhahirnya dibersihkan dari semua dosa, batinnya dibersihkan dari cela,
dihilangkan kealpaan dari-Nya, dipadamkan syahwat nafsu yang
digambarkan sebagai api, istiqamah dalam menjalankan tarikat. Karena
cahaya siang sebagai tanda akhirat, dunia digambarkan sebagai malam yang
gelap, tidur sama dengan mati, (Minhaju al-Arifin, dalam kitab Majmû’ah
al-RAsâil al-Imam al-Ghazâli, halaman: 213).

Imam Al-Ghazali memberikan peringatan kepada salik tentang


perubahan-perubahan hati salik yang terbagi 4 (empat) macam yaitu :

1. Rafun : Hati salik terangkat dengan melakukan zikir kepada


ALLAH‘Azza Wa Jalla. Tanda-tanda terangkat nya hati salik dengan 3 hal: a).
perilaku salik sesuai dengan aturan syariat, tarikat dan hakikat yang telah
diatur oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla melalui Rasulullah SAW dan para syaikh
(mursyid), b). tidak melanggar aturan, c). selalu rindu kepada ALLAH‘Azza
Wa Jalla.
2. Fath : Terbukanya hati salik dengan ridha kepada ALLAH‘Azza Wa
Jalla, Tanda-tanda terbukanya hati salik ada 3: a). tawakal, b). jujur c). yakin.
3. Khafdh : Hancur nya hati seorang salik dengan sibuk terhadap salain
ALLAH‘Azza Wa Jalla, Tanda-tanda pecahnya hati salik ada 3: a). ‘ujub, b).
riya’, c). cinta dunia.
4. Waqaf : Hati salik berhenti (mati) dengan lupa kepada ALLAH‘Azza Wa
Jalla, Tanda-tanda hati salik yang mati ada 3: a). hilangnya kenikmatan taat,
b). tiadanya rasa takut ketika melakukan maksiat, c). mencampur barang
halal.
Imam Al-Gazhali menjelaskan tiga tingkatan iman atau maqam kepada
hamba-hamba ALLAH‘Azza Wa Jalla, dan juga menjelaskan empat macam
mengenai peringatan kepada hamba-hamba Nya. Iman seseorang tidak bisa
diperlihatkan walau dibalut dengan busana atau pakaian yang sepertinya
menggambarkan iman seseorang itu, Iman hanya ALLAH‘Azza Wa Jalla yang
mengetahui kadar dari hamba-hamba Nya dan aplikasi dari iman adalah
perbuatan dari seseorang itu, Ia akan tercermin pada perbuatannya karena
perkataan seseorang juga tidak bisa mewakili gambaran dari imannya,
perkataan bisa mudah dikatakan tetapi perbuatan adalah menggambarkan
iman.

Membahas kembali pendapat sufi terkenal yaitu Muhyiddin Abu Abdullah


Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abdullah Hatimi At-Ta’I atau
yang lebih dikenal Ibn‘Arabi yang mendapat gelar Muhyi Ad-Din (penghidup
agama), Ibn‘Arabi membedakan antara perkataan Maqam dan Manzal tetapi
tidak dijumpai suatu perbedaan yang sangat bersifat pokok, sudah menjadi
kebiasaan Ibn‘Arabi untuk mengeluarkan sesuatu yang berbeda dengan orang
lain, misalnya orang lain menggunakan perkataan fasal untuk batas antara satu
bahagian uraian dengan bahagian yang lain, Ibn‘Arabi menggunakan kata
wasal. Sebelum kita lebih jauh mengupas perbedaan antara Ibn‘Arabi dengan
ahli tasawwuf yang lain mengenai ahwal dan maqam dalam perinciannya, ada
suatu yang istimewa dalam pengupasan Ibn‘Arabi yaitu yang dinamakan
Maqam Mahmud, maqam terpuji yang sebenarnya suatu istilah yang diambil
dari firman ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam Al-Qur’an.

Apa itu maqam Mahmud? Ibn‘Arabi menerangkan bahwa maqam mahmud


adalah maqam atau puncak dari segala maqam yang lain, oleh karena itu
maqam ini dikhususkan hanya kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan
Rasul penutup dan penghulu segala Nabi, sesuai dengan pengakuan Nabi
Muhammad SAW sendiri dalam sebuah sabdanya : “Ana sayyidin nasi yaumal
qiyamah”(Aku adalah penghulu segala manusia pada hari kiamat).
ALLAH‘Azza Wa Jalla menjadikan Adam Alaihis Sallam sebagai manusia
pertama dan bapak dari manusia tetapi Malaikat tidak sujud kepadanya di
dunia, karena maqam itu disediakan bagi Muhammad SAW di akhirat sebagai
kesempurnaan yang dikaruniakan ALLAH‘Azza Wa Jalla kepada Adul Basyar
yang kejadian tubuhnya dari pada Nur Muhammad itu. Dialah Bapak yang
besar dalam sifat tubuh dan dalam sifat terdekat kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla,
dijadikan dari pada tanah yang bersari kemanusiaan, sehingga disebut maqam.
Ibn‘Arabi menceritakan, bahwa Ia pernah bertanya kepada seorang tokoh sufi
besar yaitu Abdul Abbas, Ibn‘Arabi bertanya tentang kesalahan Adam Alaihis
Sallam yang berupa dosa.

Abdul Abbas menjawab, bahwa Adam Alaihis Sallam tidak mempunyai


kesalahan kecuali dari anak cucu di belakangnya. Maka oleh karena itulah
ALLAH‘Azza Wa Jalla jadikan Muhammad SAW untuk menampung segala
akibat dosa dan kesalahan anak cucu Adam Alaihis Sallam di akhirat, maka
dianugerahi kepada Muhammad SAW Maqam Mahmud, suatu maqam yang
menjadi puncak segala maqam sehingga dengan kedudukan ini terbukalah
baginya pintu syafa’at. Syafa’at yang diperkenankan ALLAH‘Azza Wa Jalla
pada awal mulanya berasal dari pada Malaikat, Rasul, Nabi, Wali, Mukmin, dan
lain-lain.

Tetapi syafa’at Nabi Muhammad SAW adalah puncak dari segala syafa’at yang
memiliki keistimewaan dari ALLAH‘Azza Wa Jalla untuk semua ahli-ahli
syafa’at tersebut. Dengan demikian Nabi Muhammad SAW terangkat kepada
kedudukan yang terpuji (Maqam Mahmud) dalam segala kata dan bahasa.
Nabi Muhammad SAW adalah syafa’at yang pertama, syafa’at pada waktu
pertengahan, dan syafa’at pada akhir kesudahannya. ALLAH‘Azza Wa Jalla
berkata :“Malaikat meminta syafa’at, Nabi-Nabi meminta syafa’at, dan
orang-orang yang mukmin meminta syafa’at. Tinggal lagi pada akhirnya
keputusan yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihani (Arhamur
Rahimim)”.

ALLAH‘Azza Wa Jalla yang Maha Perkasa menghapuskan segala siksaan dan


melepaskan segala kaum yang berdosa dari api neraka, Lalu ALLAH‘Azza Wa
Jalla berfirman:“Pada hari itu berkumpul semua orang yang bertakwa
berbondong-bondong kepada yang bersifat pengasih”. Orang yang takwa
adalah orang yang mempunyai rasa ketakutan kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla
dalam hatinya, dan rasa ketakutan itu hilang dengan syafa’at. Dan tidaklah ada
terkumpul segala pujian pada hari itu melainkan kepada Nabi Muhammad
SAW, dan kedudukan inilah yang dinamakan Maqam Mahmud.

َ ‫س ِّي ِد َنا ُم َح َّم ٍد َو َع ٰلى ٰا ِل‬


‫س ِّي ِد َنا ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫صل ِّ َع ٰلى‬
َ ‫اَل َّل ُه َّم‬

Allahumma Sholli‘Ala Sayyidina Muhammad, Wa‘ala Aali Sayyidina


Muhammad.
I. MEMAHAMI ALLAH DAN RASUL

Perjalanan panjang dan berliku seorang salik untuk mengenal Tuhan nya dan
untuk esa kepada-Nya. Allah‘Azza Wa Jalla memberikan petunjuk (Hudan)
dalam firman-Nya :

ۤ ( ٣٥ َ‫س ِب ْيلِهٖ َل َع َّل ُك ْم ُت ْفلِ ُح ْون‬ ‫هّٰللا‬


)35 :5/‫المائدة‬ َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ا َّل ِذ ْينَ ٰا َم ُنوا ا َّتقُوا َ َوا ْب َت ُغ ْٓوا ِا َل ْي ِه ا ْل َوسِ ْي َل َة َو َجا ِهد ُْوا ف ِْي‬

”Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wabtagū ilaihil-wasīlata wa jāhidụ fī sabīlihī


la'allakum tufliḥụn ”(QS. Al-Maidah : 35)

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihad lah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Ini adalah perintah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar
mereka bertakwa dan berhati-hati terhadap murka dan amarah-Nya, yang
mana itu adalah merupakan konsekuensi dari iman, hal itu dengan
bersungguh-sungguh dan mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki
untuk menjauhi kemaksiatan hati, lisan dan anggota badan, baik lahir maupun
batin yang di murkai oleh Allah, dan memohon pertolongan kepada Allah agar
bisa meninggalkannya, supaya dengan itu dia selamat dari murka dan
azab-Nya.

Dan carilah jalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Artinya, mendekat
kepada-Nya, bagian pahala di sisi-Nya dan kecintaan kepada-Nya, dan hal itu
dengan melaksanakan kewajibannya yang terkait dengan hati, seperti
mencintai di jalan-Nya dan mencintai-Nya karena-Nya, rasa takut, berharap,
kembali kepada-Nya, dan tawakal, juga melaksanakan kewajiban
kewajiban-Nya yang terkait dengan badan, seperti zakat dan haji dan
kewajiban-kewajiban yang terkait dengan keduanya seperti shalat,
macam-macam dzikir, bacaan, macam-macam perbuatan baik kepada
makhluk dengan ilmu, harta kedudukan, badan dan nasihat kepada
hamba-hamba ALLAH‘Azza Wa Jalla. Semua amal-amal ini mendekatkan
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Dan seorang salik berusaha mendekatkan diri
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla sehingga dia mencintainya, dan jika dia telah
mencintainya, Maka dia akan menjadi pendengaran nya yang mana
dengannya Dia mendengar, penglihatannya yang dengannya Dia melihat,
tangannya yang dengannya Dia bekerja dan kakinya yang dengannya dia
berjalan dan ALLAH‘Azza Wa Jalla menjawab doa-nya.

Kemudian ALLAH‘Azza Wa Jalla mengkhususkan jihad di jalan-Nya dari


amal-amal yang mendekatkan kepada-Nya, dan jihad itu mengeluarkan segala
daya dalam memerangi kebutaan dan kebodohan salik dengan harta,
pandangan, lisan, dan usaha untuk menjunjung tinggi Agama ALLAH‘Azza Wa
Jalla dengan apa yang mampu untuk di lakukan oleh seorang salik. Karena
bentuk ini termasuk kemuliaan yang mulia dan ibadah yang paling utama, juga
karena barang siapa yang menunaikannya, maka dia pasti menunaikan yang
lainnya, bahkan lebih baik. “Supaya kamu mendapatkan keberuntungan,” yaitu
jika kamu bertakwa kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan meninggalkan
kemaksiatan dan mencari cara mendekatkan diri kepada-Nya dengan
melakukan ketaatan dan berjihad di jalan-Nya demi mencari ridha-Nya.
Keberuntungan itu adalah keberhasilan meraih dan mendapatkan apa yang
diinginkan dan selamat dari apa yang tidak diinginkan, hakikatnya adalah
kebahagiaan abdi dan nikmat yang langgeng.“Carilah jalan yang dapat
mendekatkan diri kepada-Nya,” setiap jalan ada yang membuat dan
menggunakan jalan itu, pastinya jalan menuju perjumpaan kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam“Petak Umpet”(ruang rahasia). Salik harus
mendapatkan guru Mursyid yang tahu dan hafal jalan itu untuk membimbing,
menuntun sampai menemukan ruang rahasia tersebut yang di dalam ruang
tersebut ada penghuni-Nya. Jika salik mendapatkan guru Mursyid yang buta
maka buta jugalah salik nya, dan sebaliknya jika salik mendapatkan guru
Mursyid yang terang benderang penglihatannya maka terang benderang
jugalah salik nya.

Syair Ibn‘Arabi

Baik Tuhan maupun Rasul-Nya,


Tak putus memberikan perbagai wasiat
Bak kesanan tumpahkan hatimu,
Jangan lengah barang sesaat.
Wasiat merupakan kebajikan,
Merupakan dasar amal-amalmu,
Setiap saat jangan lupakan,
Ia merupakan petunjuk bagimu.

Jiwa wasiat tidak terdapat,


Semua insan sama tingkatnya,
Karena wasiat insan meningkat,
Kepuncak mahkota kerajaannya.
Wasiat merupakan tarekat,
Jalan beramal jalan ibadat,
Wasiat merupakan berkat,
Hukum Tuhan pasti mengikat.

Uraianku ini wasiat Tuhan,


Bukan daripada aku sendiri,
Turun temurun berupa gubahan,
Sambung menyambung beri memberi.
Kutulis apa yang dikatakan,
Kususun apa yang dipesan,
Tarekat suluk agar diamalkan,
Petunjuk Nabi berkesan.
Petunjuk Nabi sari agama,
Agama Muhammad bercahaya bergema,
Amalkan dia bersama-sama,
Syair Ilahi pasti bergema.

Perbedaan manusia yang dinamakan tinggi dan dinamakan terendah, yang


membuat seseorang menjadi tinggi atau rendah yaitu tergantung kepada
hikmah dan hasratnya. Diciptakannya gunung dan jurang dengan
pemandangan yang indah, agar manusia sujud kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla
baik ditempat yang tinggi mau pun ditempat yang terendah dan di kala itu
manusia barulah menyaksikan hak dan kebenaran. Nabi Muhammad SAW
bersabda:“Sebaik-baik ucapan ku dan Nabi-Nabi sebelum ku ialah La illaha
ilallah.”Dalam kalimat ini terkandung nafi dan isbat, menghilangkan sembahan
ketuhanan yang banyak, tetapi menyatukan ke sembahan kepada ALLAH‘Azza
Wa Jalla semata. Oleh karena itu kalimat itu juga dinamakan kalimat tauhid,
yang tidak ada bandingan dalam timbangannya. Dan kita dilarang untuk
memusuhi Wali-wali ALLAH‘Azza Wa Jalla seperti tertulis di dalam hadist dari
Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

‫إلي م َّما‬
َّ ‫أحب‬
َّ ‫بشيء‬
ٍ ‫إلي عبدي‬ َّ ‫تقرب‬ َّ ‫ وما‬، ‫ب‬ ِ ‫ من عادَ ى لي ول ًّيا فقد آذن ُته بالحر‬: ‫هللا قال‬ َ َّ‫إن‬
‫سمعه ا َّلذي‬
َ ُ : ‫ فإذا أحبب ُته‬، ‫وافل ح َّتى ُأح َّبه‬
‫كنت‬ ِ ‫إلي بال َّن‬
َّ ‫ب‬ ُ ‫يتقر‬
َّ ُ
‫ وما يزال ُ عبدي‬، ‫افترضت عليه‬
‫ وإن سألني‬، ‫ورج َله ا َّلتي يمشي بها‬ ِ ، ‫ش بها‬ ُ ِ‫ ويدَ ه ا َّلتي يبط‬، ‫وبصره ا َّلذي ُيبصِ ُر به‬
َ ، ‫يس َم ُع به‬
، ‫المؤمن‬
ِ ‫نفس‬
ِ َ ‫شيء أنا فاعلُه‬
‫تردُّدي عن‬ ٍ ‫دت عن‬ ُ َّ‫ وما ترد‬، ‫ ولئن استعاذني ُألعيذ َّنه‬، ‫ُألعطي َّنه‬
‫الموت وأنا أكرهُ ُمساء َته‬
َ ُ‫يكره‬
Artinya, Sesungguhnya Allah berfirman:“Barangsiapa yang memusuhi wali
(kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh)
yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya
(dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun
mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku
akan selalu membimbingnya dalam pendengaran nya, membimbingnya dalam
penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskan
nya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan
penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka
Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan
sesuatu yang mesti aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa
seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku
tidak ingin menyakitinya”(HR Al-Bukhari 5/2384, no. 6137).

Hadist ini menunjukkan sungguh besarnya keutamaan orang yang menjadi wali
ALLAH‘Azza Wa Jalla, yaitu orang yang selalu menetapi ketaatan dan
ketaqwaan kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. ALLAH‘Azza Wa Jalla
menjelaskan di dalam firman-Nya:

ٌ ‫ٓاء ٱهَّلل ِ اَل َخ ْو‬


َ‫ف َع َل ْي ِه ْم َواَل ُه ْم َي ْح َز ُنون‬ َ ‫َأٓاَل ِإنَّ َأ ْولِ َي‬

“Alā inna auliyā`allāhi lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn.”


(QS Yunus : 62)

Artinya, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran


terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Wali-wali ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya


karena mereka sudah berserah diri secara totalitas dan hidupnya hanya
mengabdi dan menjalankan pengabdian kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dalam
membawa risalah-Nya.

i
PENGETAHUAN SEJATI

Bagaimana pengetahuan sejati bisa kita peroleh? Apa yang biasanya kita
andalkan apabila ketika kita ingin mengetahui hal-hal, terutama realitas
keberadaan, dan apa peran persepsi indera dan pertimbangan rasional?
Dapatkah pencari spiritual atau para salik memperoleh wawasan dengan apa
yang umumnya disebut penalaran independen?. Syeikh Al-Akbar menunjukkan
bahwa apa pun pengetahuan yang diperoleh, akal selalu terikat untuk hanya
mengikuti otoritas, karena itu tidak dapat melakukan sebaliknya. Jadi, apa jalan
yang terbaik untuk diikuti atau wewenang atau kekuasaan mana yang bisa
dipercaya, jika ada. Dan mata tidak pernah salah dalam melihat baik itu mata
zahir (indra) mau pun mata batin (indera). Pemahaman rasional merasakan
dalam dua model : (1) Melalui yang melekat (dhâti ) persepsi di mana ia seperti
indra, tidak pernah salah oleh persepsi yang tidak melekat. (2) Apa yang ia
rasakan melalui instrumen nya (âla) yang merupakan refleksi dan persepsi
indera.

Imajinasi mengikuti wewenang dan kekuasaan (taqlid) dari apa yang diberikan
persepsi akal kepadanya, refleksi mempertimbangkan imajinasi dan
menemukan di dalamnya hal-hal individual (mufradat). Dan refleksi akan selalu
senang menggambarkan atau konfigurasi suatu bentuk untuk dilestarikan oleh
pemahaman ilmu yang rasional, karena itu ia menghubungkan beberapa hal
individu dengan yang lain. Dalam kondisi ini mungkin keliru mengenai situasi
aktual, atau mungkin benar. Dasar alasan penilaian berdasarkan pemahaman
ini, sehingga bisa dapat memungkinkan keraguan atau benar. Karenanya akal
adalah pengikut wewenang dari kekuasaan dan itu bisa membuat kesalahan
dalam penilaian dalam menentukan gambaran. Karena para sufi melihat
kesalahan dan kelemahan dari mereka yang menggunakan pertimbangan atau
ada keragu-raguan, mereka beralih ke jalan di mana tidak ada lagi
kebingungan dan keragu-raguan sehingga mereka dapat mengambil hal-hal
dari mata kepastian (Ayn Al-Yaqin) dan menjadi berkualitas oleh pengetahuan
tertentu. Nalar penuh campur tangan karena refleksi mengaturnya bersama
dengan semua kemampuan dalam diri manusia, Karena tidak ada yang lebih
besar dari pada nalar dalam mengikuti wewenang dalam kekuasaan. Nalar
membayangkan ia memiliki bukti yang diberikan Tuhan, tetapi ia hanya
memiliki bukti yang diberikan oleh refleksi. Bukti-bukti dari pada refleksi itu
membiarkannya mengambil alasan-alasan di mana pun ia inginkan, sementara
alasan seperti seorang yang buta. Tidak, itu bahkan menghalangi di jalan
Tuhan. Umat ALLAH‘Az za Wa Jalla tidak mengikuti wewenang dan juga
kekuasaan refleksi mereka, karena sesuatu yang diciptakan tidak harus
mengikuti wewenang dan kekuasaan dari makhluk lain yang diciptakan. Karena
itu mereka cenderung mengikuti otoritas ALLAH‘Azza Wa Jalla. Mereka
mengenal Tuhan melalui Tuhan, dan Dia seperti yang Dia katakan tentang
diri-Nya sendiri, bukan sebagai alasan seperti hakim yang menghakimi.
Bagaimana pantas orang yang cerdas dan mau berfikir untuk mengikuti otoritas
dari kekuasaan pemahaman yang refleksi, ketika ia membagi pertimbangan
pada refleksi menjadi benar dan keraguan, seharusnya ia membutuhkan dari
kriteria (fariq) untuk memisahkan mana yang benar dari hal yang meragukan,
tetapi ia tidak mungkin membedakan antara pertimbangan refleksi yang benar
dan meragukan dengan melalui pertimbangan refleksi itu sendiri. Seharusnya,
dia membutuhkan Tuhan dalam hal itu.

Bagi kita, ketika kita ingin melihat pertimbangan refleksi yang benar dari yang
meragukan sehingga kita dapat menghakiminya, pertama-tama kita meminta
bantuan kepada Tuhan, meminta Dia untuk memberi kita pengetahuan tentang
objek itu tanpa menggunakan refleksi. Kita tergantung pada ini dan bertindak
sesuai dengan-Nya. Ini adalah pengetahuan para Nabi, Sahabat-sahabat, dan
pemilik pengetahuan diantara hamba-hamba ALLAH‘Azza Wa Jalla. Mereka
tidak pernah melampaui tempat mereka dengan kekuatan refleksi mereka.
Tidak ada yang bisa memiliki pengetahuan kecuali dia tahu sesuatu melalui
esensi nya sendiri. Siapa pun yang mengetahui sesuatu melalui sesuatu yang
ditambahkan pada esensi nya sendiri mengikuti otoritas dari hal yang
ditambahkan itu dalam apa yang diberikan kepadanya. Tidak ada yang
mengetahui hal-hal melalui esensi nya sendiri, selain dari ALLAH‘Azza Wa
Jalla. Pengetahuan tentang hal-hal dan bukan hal-hal yang dimiliki oleh segala
sesuatu selain dari-Nya adalah pengikut otoritas. Karena telah ditetapkan
bahwa selain ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak dapat memiliki pengetahuan tentang
sesuatu tanpa mengikuti otoritas, mari kita mengikuti otoritas ALLAH‘Azza Wa
Jalla, terutama dalam hal mengenai pengetahuan tentang Dia sendiri.

Mengapa kita mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diketahui oleh selain
ALLAH‘Azza Wa Jalla selain melalui mengikuti otoritas, karena manusia tidak
tahu apa-apa kecuali melalui salah satu pemahaman yang diberikan
kepadanya oleh Tuhan yaitu Indera dan Akal. Oleh karena itu manusia harus
mengikuti otoritas persepsi indera nya dalam apa yang diberikannya, dan
persepsi indera mungkin keliru atau mungkin sesuai dengan situasi
sebagaimana adanya. Atau, manusia harus mengikuti otoritas pemahaman
rasional nya dalam hal-hal apa yang diberikan kepadanya, baik yang tak
terbantahkan (darra) atau pertimbangan. Tetapi akal mengikuti otoritas refleksi,
beberapa diantaranya benar dan juga beberapa diantaranya meragukan,
sehingga pengetahuannya tentang urusan kebetulan (bil-ittifaq). Karenanya
tidak ada yang lain lagi selain mengikuti otoritas-Nya. Karena ini adalah
situasinya, orang cerdas yang ingin mengenal ALLAH‘Azza Wa Jalla harus
mengikuti wewenang-Nya dalam laporan yang telah Dia berikan tentang
diri-Nya dalam tulisan suci-Nya dan di atas lidah para utusan-Nya. Ketika
seseorang ingin mengetahui hal-hal itu, tetapi dia tidak dapat mengetahuinya
melalui apa yang diberikan oleh pemahaman nya, maka dia harus berjuang
dalam tindakan kepatuhan (taat) sampai nyata adalah sebagai pendengaran
nya, penglihatannya, dan semua kemampuannya. Lalu dia akan tahu semua
urusan melalui Tuhan dan dia akan tahu Tuhan melalui Tuhan. Dalam hal apa
pun tidak akan ada jalan keluar dari mengikuti otoritas, tetapi begitu kita
mengenal Tuhan melalui Tuhan dan semua hal melalui Tuhan, maka kita tidak
akan mengalami karena ketidaktahuan, kekecewaan, keraguan, atau tidak
pasti.

Para pemikir rasional dari antara orang-orang yang penuh pertimbangan


membayangkan bahwa mereka tahu akan apa pertimbangan, persepsi akal,
dan juga akal yang telah diberikan kepada mereka, tetapi mereka mengikuti
otoritas hal-hal ini. Setiap pemahaman masih rentan terhadap kesalahan
tertentu. Meski pun mereka mungkin tahu fakta ini, mereka tetap menempatkan
diri mereka ke dalam kesalahan, karena mereka membedakan antara di mana
persepsi akal, alasan, dan refleksi mungkin salah dan bahwa di mana itu tidak
salah. Tapi bagaimana mereka bisa tahu? Mungkin apa yang mereka nyatakan
sebagai kesalahan bisa jadi itu benar. Tidak ada yang bisa menghilangkan
penyakit yang tak ter sembuhkan ini, kecuali semua pengetahuan seseorang
diketahui melalui Tuhan dan bukan melalui selain Dia. Tuhan tahu melalui
zat-Nya sendiri, bukan melalui apa pun yang ditambahkan pada-Nya.
Karenanya kita juga akan mengetahui melalui apa yang melaluinya Dia tahu,
karena kita mengikuti otoritas Dia yang tahu, siapa yang tidak bodoh, dan yang
mengikuti otoritas siapa pun. Siapa pun yang mengikuti otoritas selain
ALLAH‘Azza Wa Jalla berarti mengikuti otoritas yang didapatkan oleh
kesalahan dan hanya benar secara kebetulan. Seseorang mungkin keberatan
dan mengatakan : “Bagaimana engkau tahu ini? Mungkin engkau keliru dalam
klasifikasi ini tanpa menyadarinya. Karena dalam hal ini engkau mengikuti
otoritas dari apa yang didapat salah yaitu akal dan refleksi”. Untuk pertanyaan
ini kami akan menjawab; Engkau benar. Namun, karena kita tidak melihat
apa-apa selain mengikuti hukum yang ada, kita lebih memilih mengikuti otoritas
dari seseorang yang bernama Rasul dan apa yang dinamai Firman
ALLAH‘Azza Wa Jalla”. Dengan mengikuti otoritas mereka dalam hal ilmu
pengetahuan sampai“Yang Nyata”adalah pendengaran dan penglihatan jelas,
jadi kita mendapati mengetahui hal-hal melalui ALLAH‘Azza Wa Jalla dan
memperoleh pengetahuan tentang klasifikasi ini melalui ALLAH‘Azza Wa Jalla.
Kenyataan bahwa kebenaran untuk mengikuti kedudukan ini adalah kebetulan,
karena seperti apa yang telah dikatakan di atas apa pun alasan atau
pemahaman apa pun menyetujui sesuatu sebagaimana adanya, itu adalah
kebetulan. Tidak berpendapat bahwa itu salah dalam setiap situasi, hanya
perlu mengatakan tidak tahu bagaimana membedakan yang salah dari yang
benar. Tetapi ketika“Yang Nyata”adalah semua kemampuan seseorang dan dia
mengetahui segala sesuatu melalui ALLAH‘Azza Wa Jalla, kemudian dia tahu
perbedaan antara yang benar dan yang salah. Inilah yang harus dipertahankan
dan tidak ada yang bisa menyangkalnya, karena dia menemukannya dalam
dirinya sendiri.

Karena memang demikian, penuhi dirimu dengan mengikuti apa yang telah
diperintahkan ALLAH‘Azza Wa Jalla kepadamu; Menjalankan ketaatan
kepada-Nya, Memeriksa (muraqabah) pikiran-pikiran yang muncul dalam
hatimu, Rasa malu (haya) di hadapan ALLAH‘Azza Wa Jalla, Berhenti di depan
batas-Nya, Sendirian (infirad) dengan-Nya, Dan lebih memilih sisi-Nya atas diri
sendiri, sampai nyata seluruh pemahaman kita sendiri, Seperti di dalam
firman-Nya :

ْ ‫س ْب ٰ َحنَ ٱهَّلل ِ َو َمٓا َأ َن ۠ا مِنَ ٱ ْل ُم‬


َ‫ش ِركِين‬ َ ‫قُلْ ٰ َه ِذهِۦ‬
َ ِ‫س ِبيل ِٓى َأدْ ُع ٓو ۟ا ِإ َلى ٱهَّلل ِ ۚ َع َل ٰى َبص‬
ُ ‫ير ٍة َأ َن ۠ا َو َم ِن ٱ َّت َب َعنِى ۖ َو‬
“Qul hāżihī sabīlī ad'ū ilallāh, 'alā baṣīratin ana wa manittaba'anī, wa
sub-ḥānallāhi wa mā ana minal-musyrikīn”. (QS. Yusuf : 108)

Artinya, Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang


mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Demikianlah mengenai penjelasan ini, Telah dijelaskan dengan Nyata tentang


diri-Nya bahwa Dia memiliki hal-hal yang ditolak oleh bukti-bukti yang rasional
dan kekuatan refleksi yang sehat, meski pun mereka menawarkan bukti-bukti
bahwa penelitian berbicara kebenaran dan orang-orang harus memiliki
keyakinan pada apa yang dikatakan. Maka ikutilah otoritas Tuhanmu, karena
tidak ada jalan keluar dari mengikuti otoritas Tuhanmu dan jangan mengikuti
pemahaman rasional dalam inter prestasinya. Dengan mengikuti otoritas
ALLAH‘Azza Wa Jalla, Salik dalam perjalanannya dengan demikian melampaui
hanya otoritas berikut, karena dengan demikian pengetahuan yang diterima
melalui hukum yang diwahyukan dapat di verifikasi di dalam dirinya sendiri.
Dengan demikian“Verifikasi dan Realisasi”(tahqiq) dari apa yang telah dipelajari
melengkapi dan menyempurnakan berikut (taqlid).

Dengan mulai memoles hati dengan melalui doa, membaca Al-Qur’an,


membebaskan lokus (membuka rahasia ALLAH‘Azza Wa Jalla) dari
mempertimbangkan hal-hal yang mungkin menjadi pertimbangan, kehadiran
(hudur), dan pemeriksaan diri (muraqaba). Juga menjaga manifestasi luar dan
tetap murni dengan berhenti di dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum,
misalnya menghindari mata dari hal-hal yang haram untuk dilihat, menjaga
pendengaran, lidah, tangan, kaki, perut, kemaluan, dan hati. Secara lahiriah
(zahir) ada tujuh yang perlu dijaga, dan hati (batin) adalah yang kedelapan.
Dengan seperti ini menghilangkan refleksi dari diri sendiri sepenuhnya, karena
itu dapat menghilangkan kepedulian nya yang tunggal. Mengasingkan diri
sendiri di gerbang Tuhannya, menyibukkan diri sendiri dengan memeriksa
hatinya, dengan harapan bahwa Tuhan akan membuka pintu untuknya dan
akan mengetahui apa yang tidak diketahui, hal-hal yang diketahui oleh para
utusan dan wali-wali ALLAH‘Azza Wa Jalla. Dan pemahaman rasional mana
yang tidak mungkin dapat merasakannya sendiri. Ketika ALLAH‘Azza Wa Jalla
membuka pintu gerbang bagi pemilik hati ini, maka dapat mengaktualisasikan
pengungkapan-pengungkapan diri Ilahi yang memberikan kepadanya apa yang
sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri. Kemudian mengaitkan dengan Tuhan
hal-hal yang tidak berani untuk di atribut kan kepada Tuhan sebelumnya.
Kesadaran yang murni sesuai dengan dan menegaskan untuk kita apa yang
telah disebutkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengetahuan sejati, tidak bisa lain dan berbeda dari yang diungkapkan oleh
ALLAH‘Azza Wa Jalla kepada makhluk-Nya, dan ini adalah pengetahuan tanpa
perantara merenungkan atau kemampuan lainnya. Itu diberikan seperti
menurut perkataan, “Pengetahuan adalah cahaya yang ALLAH‘Azza Wa Jalla
berikan ke dalam hati siapa pun yang Dia kehendaki kepada
hamba-hamba-Nya”. Pengetahuan yang kuat tidak diberikan melalui refleksi,
atau oleh apa yang dipikirkan oleh para pemikir rasional melalui kekuatan
refleksi mereka. Pengetahuan yang sehat dan benar hanyalah pengetahuan
yang ALLAH‘Azza Wa Jala lemparkan ke dalam hati orang yang mengetahui.
Itu adalah cahaya Ilahi yang untuknya ALLAH‘Azza Wa Jalla memilih
hamba-Nya yang mana pun yang Dia kehendaki. Hamba-Nya yang tidak
memiliki pembukaan tidak memiliki pengetahuan (man lâ kashf lahu lâ `ilm
lahu).

Jika engkau ingin mempunyai pengetahuan yang sebenarnya tentang air, maka
tenggelam dirimu ke dalamnya, maka engkau akan memperoleh pengetahuan
sejati tentangnya. (Jalaluddin Rumi)

ii
PEMBAWA RISALAH

Secara bahasa rasul berarti utusan. Siapa saja yang diutus pihak lain, secara
bahasa disebut rasul. Dalam istilah syariat rasul adalah lelaki pilihan yang
diutus ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan membawa risalah kepada umat manusia.
Hanya hamba-hamba pilihan saja yang ALLAH‘Azza Wa Jalla angkat sebagai
utusan-Nya, baik berupa malaikat maupun manusia sebagaimana difirmankan
di dalam surah Al-Hajj : 75.
َ َ ‫اس ۚ ِإنَّ هَّللا‬
‫سمِي ٌع َبصِ ي ٌر‬ ْ ‫هَّللا ُ َي‬
ُ ‫ص َطفِي مِنَ ا ْل َماَل ِئ َك ِة ُر‬
ِ ‫ساًل َومِنَ ال َّن‬
”Allāhu yaṣṭafī minal-malā`ikati rusulaw wa minan-nās, innallāha samī'um
baṣīr.”(QS. Al-Hajj : 75)
Artinya,“ALLAH memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia;
sesungguhnya ALLAH Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Setelah ALLAH‘Azza Wa Jalla menerangkan kesempurnaan-Nya dan


kelemahan berhala-berhala dan bahwa Dia yang berhak disembah saja, Dia
menerangkan keadaan para rasul dan kelebihan mereka di atas manusia pada
umumnya. Ayat ini menunjukkan bahwa para rasul merupakan makhluk pilihan
ALLAH‘Azza Wa Jalla. Mereka diplih oleh Tuhan Yang Maha Mendengar
segala suara dan Maha Melihat segala sesuatu, pilihan-Nya terhadap mereka
(para rasul) didasari ilmu-Nya, bahwa mereka cocok menerima risalah-Nya.
Bagaimana pun istimewanya seorang guru Mursyid tersebut tidak pernah
mengakui dirinya sebagai Tuhan, dan tidak mau di per-tuhan kan. Karena tidak
ada tuhan selain ALLAH dan guru Mursyid adalah manusia biasa yang tidak
lepas dari dari sifat-sifat kemanusiaan, sangat penting dan utama bagi seorang
salik mendapatkan seorang guru Mursyid yang menjadi utusan-utusan
ALLAH‘Azza Wa Jalla yang menerima dan membawa risalah-Nya untuk
membimbing salik dan menghantarkan nya sampai kepada tujuannya yang
hakiki, yaitu: Liqa’Allah, artinya pertemuan dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla,
istilah Liqa’Allah bersumber dari ALLAH‘Azza Wa Jalla sendiri melalui
firman-Nya yang dikirimkan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla kepada seluruh umat
manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. ALLAH‘Azza Wa
Jalla menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia bisa bertemu
ALLAH‘Azza Wa Jalla di dunia ini, tetapi pertemuan dengan ALLAH‘Azza Wa
Jalla tidak terjadi secara zahir tetapi terjadi dengan mata hati (Qolbu), Ada tiga
tingkatan dalam Liqa’Allah yaitu :

1. MUSYAHADAH, menyaksikan ALLAH melalui sifat-sifat-Nya.


2. MUKASYAFAH, terbukanya hijab.
3. MAKRIFAH, melihat ALLAH dengan mata hati (Qolbu).

Perjumpaan dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla terjadi ketika manusia memperoleh


kembali hubungannya dengan kekuatan ALLAH‘Azza Wa Jalla yang terputus
atau lepas akibat ketidaktahuan nya, kealpaan nya, dan kelalaian nya.
Liqa’Allah bisa dirasakan dan dialami tidak hanya oleh para Rasul, Nabi, dan
Wali Allah, karena apabila ALLAH‘Azza Wa Jalla berkendak dan jika kita
mendapatkan anugerah-Nya.

Firman ALLAH‘Azza Wa Jalla :

‫يف ا ْل َخ ِبي ُر‬


ُ ِ‫ار َوه َُو ال َّلط‬
َ ‫ص‬َ ‫صا ُر َوه َُو ُيدْ ِر ُك ْاَأل ْب‬
َ ‫الَ ُتدْ ِر ُك ُه ْاَأل ْب‬
“La tudrikuhu alabsaru wahuwa yudriku alabsara wahuwa allateefu alkhabeeru”.
(QS. Al-Anaam : 103)

Artinya, Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.

Al-Alusi dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan:


“Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini adalah jamak dari “Bashar” yang berarti
penglihatan, dapat dipakai untuk penglihatan mata atau penglihatan hati.
Sedangkan kata“Al-Idrak”artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata
“Al-Idrak”mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang
dinafikan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla. Ayat ini juga digunakan dalam konteks
pujian yang menunjukkan bahwa menyaksikan ALLAH‘Azza Wa Jalla boleh
dan mungkin, sebab kalau sesuatu itu tidak mungkin, untuk apa dipuji. Di sini
mengisyaratkan ALLAH‘Azza Wa Jalla dapat disaksikan, tetapi harus mampu
untuk membuka hijab pandangan untuk dapat mencapai nya merupakan
sebuah kekuasaan yang patut dipuji. Sebab sesuatu yang dari asalnya tidak
bisa dilihat, maka ketika tidak dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang
istimewa yang perlu di puji.

Ibnu Qayyim menambahkan:“Memakai ayat ini sebagai dalil bahwa


ALLAH‘Azza Wa Jalla bisa dilihat lebih tepat dan benar, bahkan ayat ini
menjadi bantahan bagi mereka yang mengatakan ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak
bisa dilihat. Karena ayat ini dalam konteks pujian, dan itu diberikan kepada
sesuatu yang ada (Maujud), karena sesuatu yang tidak ada sama sekali
(Madum mahdah) tidak layak untuk diberikan pujian, karena itu mencerminkan
bukan termasuk dari kesempurnaan“Al-Kamal”bagi ALLAH‘Azza Wa Jalla”.
Dan Al-Idrak (pencapaian) maksudnya adalah Al- Ihathah (mengetahui
semuanya dari segala aspek), dengan demikian Al-Idrak adalah sesuatu yang
mempunyai arti lebih dari ru’yah”.

Begitu pula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang juga mengungkapkan perihal
Tajalli seperti yang dikemukakan oleh Ibnu‘Arabi yaitu mengenai Liqa’Allah
dengan ber-Tajalli. Berdasarkan pada hadist Qudsi yang berbunyi :

‫ فأحببت أن أعرف فخلقت خلقا ً فعرفتهم بي فعرفوني‬،‫كنت كنزاً ال أعرف‬

Artinya, Aku pada permulaan nya adalah suatu perbendaharaan yang


tersembunyi, Aku suka dikenali, maka Aku ciptakan makhluk supaya mereka
mengenal-Ku.

Dengan dasar ini Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan bahwa dengan
Tajalli, manusia dapat mengenal kedua aspek makrifat yang disebut Makrifat
Sifat ALLAH‘Azza Wa Jalla dan Makrifat Dzat-Nya. Tujuan kedua makrifat ini
tidak akan tercapai kecuali dengan Ilmu Zahir dan Ilmu Batin yang dengan
keduanya akan tercapai tujuan pokok manusia yaitu kembali kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Jarir bin Abdullah berkata :

َ ‫ُكنَّا ِع ْن َد النَّبِ ِّي ِإ ْذ نَظَ َر ِإلَى ا ْلقَ َم ِر لَ ْيلَةَ ا ْلبَ ْد ِر فَقَا َل َأ َما ِإنَّ ُك ْم‬
‫قَا َل َج ِري ُر بْنُ َع ْب ِدال ِه‬i ‫ستَ َر ْونَ َربَّ ُك ْم َك َما‬
ِ ُ‫صالَ ٍة قَ ْب َل طُل‬
‫وع‬ َ ‫ستَطَ ْعتُ ْم َأنْ الَ تُ ْغلَبُوا َعلَى‬ ْ ‫ضاهُونَ فِي ُرْؤ يَتِ ِه فَِإ ِن ا‬ َ ُ‫ضا ُّمونَ َأ ْو الَ ت‬ َ ُ‫تَ َر ْونَ َه َذا الَ ت‬
) ‫س َوقَ ْب َل ُغ ُروبِ َها‬ ِ ‫ش ْم‬ ِ ُ‫سبِّ ْح بِ َح ْم ِد َربِّ َك قَ ْب َل طُل‬
َّ ‫وع ال‬ َ ( َ‫س َوقَ ْب َل ُغ ُروبِ َها فَا ْف َعلُوا ثُ َّم قَا َل ف‬ ِ ‫ش ْم‬ َّ ‫ال‬
‫ الصفحة‬1: ‫ الجزء‬547: ‫باب فضل صالة الفجر رقم الحديث‬: ‫كتاب مواقيت الصالة باب‬: ‫(كتاب‬
‫صحيح البخاري‬, 209

Artinya, ”Kami duduk bersama-sama Rasulullah, kemudian beliau


memandang bulan yang sedang purnama, lalu beliau bersabda:
”Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat
bulan, tidak ada yang menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau kamu mampu
tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya
maka lakukannlah. [HR.Bukhari Muslim]

Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

ُ‫ِإ َذا د ََخ َل َأ ْه ُل ا ْل َجنَّ ِة ا ْل َجنَّةَ قَا َل يَقُو ُل اله‬e ‫ض‬ْ ِّ‫ش ْيًئا َأ ِزي ُد ُك ْم فَيَقُولُونَ َألَ ْم تُبَي‬
َ َ‫تَبَا َر َك َوتَ َعالَى تُ ِريدُون‬
َ‫ب ِإلَ ْي ِه ْم ِمن‬ َ ‫اب فَ َما ُأ ْعطُوا‬
َّ ‫ش ْيًئا َأ َح‬ َ ‫شفُ ا ْل ِح َج‬ِ ‫ُو ُجو َهنَا َألَ ْم تُد ِْخ ْلنَا ا ْل َجنَّةَ َوتُنَ ِّجنَا ِمنَ النَّا ِر قَا َل فَيَ ْك‬
‫باب إثبات رؤية المؤمنين في اآلخرة ربهم سبحانه‬: ‫النَّظَ ِر ِإلَى َربِّ ِه ْم َع َّز َو َج َّل (صحيح مسلم باب‬
163 : ‫ الصفحة‬:1 ‫ الجزء‬: ‫كتاب اإليمان )) رقم الحديث‬: ‫(كتاب‬

Artinya, Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, ALLAH Taala


berfirman:“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan Aku tambahkan?.
Mereka berkata:“Bukankah Engkau telah memutihkan muka kami dan
memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari
neraka?”Kemudian ALLAH membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang telah
diberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya
Yang Maha Tinggi. [HR.Muslim, dari Shuhaib]

Jumhur ulama mengatakan bahwa ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak bisa dilihat


dengan mata kepala di dunia. Dan berbeda dengan kelompok Musyabbihah
(orang yang menyerupakan ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan makhluk-Nya), juga
sebagian As’ariyah dan orang–orang tertentu, yang mengatakan bahwa
ALLAH‘Azza Wa Jalla bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa
dapat mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan
ALLAH‘Azza Wa Jalla, sebagaimana yang didapati tertulis pada isi kitab Sirajut
Thalibin hal.133. Mereka mengatakan:“Orang-orang yang ikhlas akan bisa
melihat, bahkan memeluk ALLAH‘Azza Wa Jalla di dunia dan akhirat, kalau
mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
katakan.

Orang-orang tertentu menganggap bahwa makrifatullah (pengenalan terhadap


ALLAH) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala.
Padahal terkadang syaitan membayang-bayangi nya, dan mengatakan bahwa
dirinya adalah Tuhan. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam
kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata;“Terkadang seorang hamba
melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik
dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap
gambar itu adalah ALLAH‘Azza Wa Jalla, padahal itu adalah syaitan.

Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, beliau bercerita;“Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya
melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang
memanggil,“Wahai Abdul Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah
menghalalkan kepadamu semua yang Aku haramkan sebelumnya.“Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani balik bertanya, apakah Engkau ALLAH yang tiada Tuhan
selain Engkau? Pergilah wahai musuh ALLAH!. Kemudian cahaya tadi
terpencar dan berubah menjadi kegelapan kemudian keluar suara yang
mengatakan;
“Wahai Abdul Qadir engkau telah selamat dari tipu daya ku dengan
pengetahuan tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan tujuh puluh
orang dengan tipu daya ini”. Ketika beliau ditanya bagaimana anda mengetahui
bahwa itu adalah syaitan, beliau menjawab karena dia mengatakan
bahwasanya ALLAH‘Azza Wa Jalla sudah menghalalkan kepadaku semua
yang diharamkan sebelumnya kepada yang lain, dan saya berpendapat bahwa
syariat Nabi Muhammad tidak mungkin dirubah dan diganti.

Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan
bahwa dirinya pernah melihat ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan mata kepala di
dunia, beliau menjawab;“Barangsiapa di antara manusia yang mengatakan
bahwa para wali-wali atau selainnya bisa melihat ALLAH‘Azza Wa Jalla
dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’yang
menyesatkan, yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’salaful
ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Nabi Musa, maka
dia harus disuruh tobat kalau mau, wallahu A’lam. [Majmu’fatawa VI/512]. Maka
tidak boleh seseorang cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau
ahli sufi.

Imam As-Syaukani dalam kitabnya Al-Wali mengingatkan;“Tidak boleh seorang


wali beranggapan bahwa semua yang terjadi padanya, berupa kejadian atau
mukassyafat (pembukaan tabir) adalah semuanya karomah dari ALLAH‘Azza
Wa Jalla, karena bisa saja semua itu datang dari syaitan, maka wajib menilai
dan mengukur semua perkataan dan perbuatannya dengan Al-Qur’an dan
Sunnah, kalau sesuai maka itu adalah kebenaran dan karomah dari
ALLAH‘Azza Wa Jalla, kalau itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
maka hendaklah menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan”.

Seorang salik harus benar-benar bisa dapat melihat, memperhatikan, dan


mencerna berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah untuk memahami apakah sudah
tepat memilih seorang guru Mursyid yang akan membimbingnya secara rohani
untuk pencarian nya kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, karena syaitan tidak akan
pernah berhenti menjerumuskan umat manusia kepada kesesatan, sekali pun
ia seorang guru Mursyid atau wali ALLAH. Wajibnya seorang salik memiliki
guru Mursyid walaupun pada akhir zaman ini semakin sulit dijumpai guru
Mursyid kamil sejati, sampai di ibaratkan bagaikan mencari burung gagak
berwarna putih, namun tidak usah risau karena ALLAH‘Azza Wa Jalla tetap
akan menyiapkan sampai hari kiamat, pasti ada di tiap daerah kita atau tiap
kota, tergantung kita saja mau tidak mencarinya, kalau kita benar-benar
merasa membutuhkan dokter untuk mengobati hati kita maka ALLAH‘Azza Wa
Jalla akan menunjuk jalan kepadanya, namun terkadang rasa egoisme kitalah
yang sering menutupi jalan kita sendiri di karena merasa sudah alim syariat
nya, pintar, padahal hati kita masih gelap gulita, namun biasanya kita tak
merasa. Ujian yang membahayakan untuk seorang salik adalah seperti yang
dikatakan oleh Imam Al-Ghazali yaitu“Khafdh”, pecahnya hati salik karena ujub,
riya, dan cinta dunia. Khafdh merupakan ujian ter berat yang diterima oleh salik
dan dapat jauh tersesat dalam perjalanannya menuju kepada Ilahi bahkan
perjalanan salik bisa terhenti dan bisa juga perjalanannya menjadi mundur ke
belakang dan jauh tertinggal dan ter hempas.

Pembawa Risalah, adalah seorang hamba yang sangat dekat dengan


ALLAH‘Azza Wa Jalla, bahkan sudah tidak ada lagi tirai atau hijab antara Ia
dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla bahkan menjadi kekasih-Nya. Dan perlu kita
ketahui bahwa ALLAH‘Azza Wa Jalla mengutus seorang rasul kepada umat
manusia dengan bahasa yang dipergunakan oleh kaumnya, seperti yang ada
di dalam firman-Nya sebagai berikut :

‫شٓا ُء ۚ َوه َُو‬ َ ‫ان َق ْو ِمهِۦ لِ ُي َب ِّينَ َل ُه ْم ۖ َف ُيضِ ل ُّ ٱهَّلل ُ َمن َي‬
َ ‫شٓا ُء َو َي ْهدِى َمن َي‬ ِ ‫ول ِإاَّل ِبل َِس‬
ٍ ‫س‬ َ ‫َو َمٓا َأ ْر‬
ُ ‫س ْل َنا مِن َّر‬
‫ٱ ْل َع ِزي ُز ٱ ْل َحكِي ُم‬

“Wa mā arsalnā mir rasụlin illā bilisāni qaumihī liyubayyina lahum, fa


yuḍillullāhu may yasyā`u wa yahdī may yasyā`, wa huwal-'azīzul-ḥakīm”. (QS.
Ibrahim : 4)

Artinya, Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.
II. MEMAHAMI UJIAN

Setiap diri adalah salik, yang menempuh perjalanan sepanjang hayat dari
semenjak lahir sampai akhir hayat. Dalam perjalanan mengarungi samudera
kehidupan ini yang hakikatnya adalah sebagai ladang atau fasilitas yang
diberikan ALLAH‘Azza Wa Jalla untuk kita kembali kepada-Nya dengan
membawa amal yang kita perbuat selama perjalanan untuk menuju
kepada-Nya, ujian dan cobaan akan selalu kita dapati dalam perjalanan yang
panjang dan masing-masing ujian juga cobaan ini sesuai dengan tingkatan dari
imannya seorang salik. Seperti yang dikatakan oleh orang bijak bahwa
“Manusia seperti Permata, Permata tidak bisa di bentuk tanpa gesekan,
manusia tidak bisa sempurna tanpa ujian”. ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman
kepada hamba-Nya di dalam QS. Ali-Imran : 186

ْ ‫اب مِن َق ْبلِ ُك ْم َومِنَ ا َّلذِينَ َأ‬


‫ش َر ُكو ْا َأ ًذى‬ َ ‫َل ُت ْب َل ُونَّ فِي َأ ْم َوالِ ُك ْم َوَأنفُسِ ُك ْم َو َل َت ْس َم ُعنَّ مِنَ ا َّلذِينَ ُأو ُتو ْا ا ْل ِك َت‬
ِ ‫ص ِب ُرو ْا َو َت َّتقُو ْا َفِإنَّ َذلِ َك مِنْ َع ْز ِم اُأل ُم‬
‫ور‬ ْ ‫ِيرا َوِإن َت‬ ً ‫َكث‬
 
“ Latublawunna fī amwālikum wa anfusikum, wa latasma'unna minallażīna
ụtul-kitāba ming qablikum wa minallażīna asyrakū ażang kaṡīrā, wa in taṣbirụ
wa tattaqụ fa inna żālika min 'azmil-umụr“. (QS. Ali-Imran : 186)

Artinya, Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan ALLAH,
gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan
bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut
diutamakan.

Memahami ujian supaya kita siap apabila ujian itu datang dan jadikan ujian itu
adalah ilmu yang diberikan langsung oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla, karena
segala sesuatu yang diberikan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla baik itu kesenangan
maupun kesedihan tidak lepas dari ujian yang sedang kita jalani. Bersyukur
dan berserah diri dan berprasangka baik kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, karena
ALLAH‘Azza Wa Jalla menyukai hamba-hamba-Nya yang bersyukur dan
berserah diri. Dunia saat ini terjadi wabah virus yang mematikan, virus ini
dinamakan Covid 19 (Corona Virus Disease 2019) yang berawal dari kota
Wuhan, China. Penyebaran virus sangat cepat dan menyebar ke seluruh Dunia
termasuk ke Negeri kita tercinta, Indonesia. WHO (World Health Organization)
menetapkan sebagai pandemi tragedi global dikarenakan sudah menelan
sampai puluhan ribu korban jiwa di Dunia termasuk di Indonesia. Pencegahan
virus yang menyebar melalui interaksi antar manusia dilakukan dengan social
distancing (melakukan jarak sosial) bahkan banyak negara yang melakukan
lock down (menutup) negaranya dengan tidak dapat masuk mau pun keluar
dari suatu negaranya. Apakah ini ujian atau ALLAH‘Azza Wa Jalla murka
seperti di dalam firman-Nya :

‫ف َيْأتِى ٱهَّلل ُ ِب َق ْو ٍم ُي ِح ُّب ُه ْم َو ُي ِح ُّبو َن ُهۥٓ َأ ِذ َّل ٍة َع َلى‬


َ ‫س ْو‬ َ ‫وا َمن َي ْر َتدَّ مِن ُك ْم َعن دِي ِنهِۦ َف‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
ٰ
‫ضل ُ ٱهَّلل ِ ُيْؤ تِي ِه‬ْ ‫ِئم ۚ َذلِ َك َف‬ َ
ٍ ‫يل ٱ ِ َواَل َي َخافُونَ َل ْو َمة ٓاَل‬ َ ‫ٱ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َأعِ َّز ٍة َع َلى ٱ ْل ٰ َكف ِِرينَ ُي ٰ َج ِهدُونَ فِى‬
‫س ِب ِ هَّلل‬
‫شٓا ُء ۚ َوٱهَّلل ُ ٰ َوسِ ٌع َعلِي ٌم‬ َ ‫َمن َي‬

“Yā ayyuhallażīna āmanụ may yartadda mingkum 'an dīnihī fa saufa ya`tillāhu
biqaumiy yuḥibbuhum wa yuḥibbụnahū ażillatin 'alal-mu`minīna a'izzatin
'alal-kāfirīna yujāhidụna fī sabīlillāhi wa lā yakhāfụna laumata lā`im, żālika
faḍlullāhi yu`tīhi may yasyā`, wallāhu wāsi'un 'alīm.” (QS Al-Maidah : 54)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang


murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui.

Selain memahami ujian sebagai ilmu yang diberikan langsung oleh-Nya, Ujian
juga salah satu cara ALLAH‘Azza Wa Jalla menjadikan hamba-Nya kembali
mendekat dan mengingat kepada-Nya. Langkah pertama kedekatan dengan
ALLAH‘Azza Wa Jalla adalah (qurb), yaitu kedekatan dengan ketaatan kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla dan istiqamah untuk terus menerus dengan beribadah
kepada-Nya (ubudiyyah), Kedekatan manusia atau hamba terhadap
ALLAH‘Azza Wa Jalla pertama-tama kedekatan melalui iman dan kemudian
kedekatan melalui perbuatan baik dan melakukan tindakan yang baik. Dan
apabila kita berdoa kepada-Nya dengan kondisi ruhani sudah dekat
kepada-Nya, ALLAH‘Azza Wa Jalla akan mengabulkan doa hamba-Nya yang
sesuai di dalam firman sebagai berikut :

۟ ‫وا لِى َو ْل ُيْؤ ِم ُن‬ ۟ ‫ان ۖ َف ْل َي ْس َت ِجي ُب‬


ِ ‫اع ِإ َذا دَ َع‬ ُ ‫يب ۖ ُأ ِج‬
ٌ ‫سَأ َل َك عِ َبادِى َع ِّنى َفِإ ِّنى َق ِر‬
َ ‫َوِإ َذا‬
‫وا‬ ِ َّ‫يب دَ ْع َو َة ٱلد‬
َ‫شدُون‬ ُ ‫ِبى َل َع َّل ُه ْم َي ْر‬
“Wa iżā sa`alaka 'ibādī 'annī fa innī qarīb, ujību da'watad-dā'i iżā da'āni
falyastajībụ lī walyu`minụ bī la'allahum yarsyudụn.”(QS Al-Baqarah : 186)

Artinya, Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,


maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Langkah-langkah mendekatkan diri kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla yang dapat


kita terapkan dalam menuju kepada-Nya :

1. Jadikan ALLAH‘Azza Wa Jalla yang pertama di dalam hidup kita, dan


lakukan tugas keagamaan yang sebenar-benarnya.
2. Selalu berdzikir (dzikrullah), dan memuliakan nama-Nya.
3. Sering melakukan perbuatan baik meski pun kecil, lebih baik secara teratur
dan terus menerus (konsisten), memberi makan orang miskin, dan
menyayangi juga memberi santun anak yatim.
4. Bersabar dan jangan menjadi pemarah, ingatlah ALLAH‘Azza Wa Jalla
dan ingat juga kalau hidup di dunia hanya sementara, juga mengingat
betapa tidak berharganya kehidupan ini bila di sia-sia kan menjadi
pemarah.
5. Temukan cara yang terbaik dan benar untuk mengekspresikan diri, jika
tidak menjaga keheningan.
6. Berpuasa sunnah seperti yang di contoh kan Nabi Muhammad SAW.
7. Mengikuti sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
8. Maafkan orang lain, lupakan kesalahannya, dan tersenyum apabila
berjumpa dengan orang yang menyakiti kita.
9. Tunaikan zakat dan bersedekah sebanyak yang anda bisa untuk yang
membutuhkan dan memerlukannya.
10. Lindungi lidah engkau dengan menggunjing (ghamima), berbohong
(nanima), & Jiwa kita dari (su’u-zann) pikiran buruk tentang orang lain.
11. Memiliki sopan santun, karakter, dan rendah hati.
12. Bantu semua orang yang membutuhkan, bahkan mereka yang malu untuk
meminta bantuan kesulitannya.
13. Mendoakan orang tua.
14. Shalat di malam hari, Qiyamul’lail.
15. Berdoa agar diberikan rahmat kepada mereka yang tersesat, dan berdoa
agar supaya ALLAH‘Azza Wa Jalla membimbing mereka ke jalan yang
benar.
16. Shalat di Masjid dengan berjama’ah di belakang imam.
17. Shalat di awal waktu, Ashsholatu‘ala waktiha.
18. Shalat nawafil, duha, witir.
19. Membaca Al-Qur’an dengan jadwal setiap hari, memahami dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
20. Pelajari 5 ayat baru setiap hari, bangun hubungan dekat dengan
Al-Qur’an.
21. Memberi tubuh untuk beristirahat, olah raga, berikan waktu untuk keluarga,
teman-teman, selalu mengingat ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam setiap
kegiatan.
22. Mulailah setiap hari dengan“adhkar al-istiyqadh”(mengucapkan
permohonan), berterima kasih kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla karena
bangun dalam kondisi yang baik.
23. Jaga teman-teman berkualitas kita, yang membantu kita memenuhi tujuan
ciptaan kita (yaitu hidup untuk ALLAH‘Azza Wa Jalla).

Beberapa petunjuk dari ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hal kedekatan kepada


ALLAH‘Azza Wa Jalla :

1. Bahwasanya Aku adalah dekat. (2 : 186)


2. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan ALLAH itu amat dekat. (2 : 214)
3. Sesungguhnya rahmat ALLAH amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik. (7 : 56)
4. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat, lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya). (11 : 61)
5. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?. (42 : 17)
6. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (50 : 16)
7. Pertolongan dari ALLAH dan kemenangan yang dekat (waktunya). (61 :
13)

iii
MUTIARA UJIAN

Ujian dengan berbagai macam cobaan, seperti sedikit kekurangan harta,


wabah penyakit, dan lain-lain. Karena itu AL LAH‘Azza Wa Jalla menguji siapa
pun di antara mereka, dan yang tetap sabar dan istikamah dalam menjalankan
ujian-Nya, dan mereka yang menerima dengan hati lapang dan sabar akan
mendapatkan nikmat-Nya yang berlimpah.

“Dalam proses ujian pasti kita akan mendengar banyak hal yang sangat
menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang musyrik berupa ejekan, pendusta, penghalangan dalam
beragama, perlawanan, dan pengkhianatan”. Jika kamu bersabar dan bertakwa
dalam menghadapi tindakan-tindakan mereka dan tetap teguh melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut untuk diutamakan. Hal itu karena
orang-orang yang sabar, bertakwa, dan berbesar hati menerima setiap takdir
yang berlaku akan meraih kemenangan yang gemilang.

ALLAH‘Azza Wa Jalla menjelaskan kelengahan dan pengabaian mereka


terhadap ajaran taurat. Dan ingatlah ketika ALLAH‘Azza Wa Jalla mengambil
janji yang kuat berupa aturan-aturan dari orang-orang yahudi dan nasrani yang
telah diberi kitab, berupa perintah-perintah, dan hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya, yakni isi kitab itu, kepada manusia tentang amar makruf nahi
mungkar, juga halal dan haram sebagaimana termaktub dalam kitab suci yang
diturunkan dari-Nya. Dan diperintahkan pula janganlah kamu
menyembunyikannya, yakni isi kandungan kitab suci tersebut, seperti berita
kedatangan Nabi Muhammad SAW, dan hukum-hukum syariat tentang halal
dan haram. Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka
dengan tidak mengindahkan dan ingkar segala perintah-perintah-Nya serta
mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan dan bahkan mereka
menjualnya dengan harga murah. Mereka mengubah ketentuan hukum yang
telah ditetapkan-Nya untuk kepentingan sekelompok orang berpengaruh demi
hanya mendapatkan imbalan duniawi. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang
mereka lakukan karena mereka rela menukar kemuliaan ilmu, agama, pujian di
sisi-Nya serta makhluk-Nya, dan kekekalan di surga yang penuh nikmat,
dengan kesenangan duniawi yang fana.

Tingkat atau maqam keimanan seorang salik akan diuji berdasarkan dari
masing-masing kadar keimanan nya, namun demikian ALLAH‘Azza Wa Jalla
meyakinkan bahwa ujian yang diterima atau diturunkan kepada hamba-Nya
adalah sesuai dengan kadar kemampuan tiap-tiap hamba,
ALLAH‘Azza Wa Jalla mengajarkan untuk menghadapinya dengan menjadikan
diri sabar dan shalat sebagai penolong dalam menerima segala ujian dan tetap
mantap kan iman kepada-Nya, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Dalam hadist riwayat Ibnu Majah menceritakan sebagai berikut mengenai ujian
dari tingkatan-tingkatan maqam iman kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan
janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang lulus dalam ujian itu.

َ ‫ش ُّد َباَل ًء َقال‬َ ‫اس َأ‬ ِ ‫ي ال َّن‬ُّ ‫س ْول َ هَّللا ِ َأ‬


ُ ‫ت َيا َر‬ ُ ‫قُ ْل‬ َ ‫اص َقال‬ ٍ ‫س ْع ِد ْب ِن َأ ِبي َو َّق‬ َ ‫س ْع ٍد َعنْ َأ ِب ْي ِه‬
َ ‫ب ْب ِن‬ ِ ‫ص َع‬ ْ ‫َعنْ ُم‬
‫اَل‬
ْ‫ش َتدَّ َب ُؤ هُ َوِإن‬
ْ ‫صل ًبا ا‬ْ َ
ُ ‫ب ِد ْي ِن ِه فِإنْ َكانَ فِي ِد ْي ِن ِه‬ ِ ‫س‬ َ ‫اََأْل ْن ِب َيا ُء ث َّم ا ْمثل ُ فا ْمثل ُ ُي ْب َتلى ال َع ْب ُد َعلى َح‬
َ ْ َ َ ‫َأْل‬ َ َ ‫َأْل‬ ُ
‫ض‬ ِ ‫ح ا ْل َباَل ُء ِبا ْل َع ْب ِد َح َّتى َي ْت ُر َك ُه َي ْمشِ ي َع َلى اَأْل ْر‬
ُ ‫ب ِد ْي ِن ِه َف َما َي ْب َر‬
ِ ‫س‬َ ‫َكانَ فِي ِد ْي ِن ِه ِر َّق ٌة ا ْب ُتل َِي َع َلى َح‬
‫َو َما َع َل ْي ِه مِنْ َخطِ ْيَئ ٍة‬

Artinya, Dari Mush'ab bin Sa'ad dari Ayahnya Sa'ad bin Abu Waqash dia
berkata, Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras
cobaan nya?" Beliau menjawab: "Para Nabi, kemudian kalangan selanjutnya
(yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar
agamanya (keimanan nya). Jika keimanan nya kuat maka cobaan nya pun
akan semakin berat. Jika keimanan nya lemah maka ia akan diuji sesuai
dengan kadar imannya. Tidaklah cobaan ini akan diangkat dari seorang hamba
hingga ALLAH membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan tanpa
dosa." (HR. Ibnu Majah)

‫ت َيدِي َع َل ْي ِه‬ َ ‫وع ُك َف َو‬


ُ ‫ض ْع‬ َ ‫س َّل َم َوه َُو ُي‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬ ُ ‫دَ َخ ْل‬ َ ‫ي َقال‬
َ ‫ت َع َلى ال َّن ِب ِّي‬ َ ‫َعنْ َأ ِبي‬
ِّ ‫س ِع ْي ٍد ا ْل ُخدْ ِر‬
‫ف َل َنا‬ ُ ‫ض َّع‬ َ ‫س ْول َ هَّللا ِ َما َأ‬
َ ‫شدَّ هَا َع َل ْي َك َقال َ ِإ َّنا َك َذلِ َك ُي‬ ُ ‫ت َيا َر‬ ُ ‫ي َف ْو َق ال ِّل َحافِ َفقُ ْل‬ ُ ْ‫َف َو َجد‬
َّ َ‫ت َح َّرهُ َب ْينَ َيد‬
‫س ْول َ هَّللا ِ ُث َّم‬ُ ‫ت َيا َر‬ ُ ‫ش ُّد َباَل ًء َقال َ اََأْل ْن ِب َيا ُء قُ ْل‬َ ‫اس َأ‬ ُّ ‫س ْول َ هَّللا ِ َأ‬
ِ ‫ي ال َّن‬ ُ ‫ف َل َنا اَأْل ْج ُر قُ ْل‬
ُ ‫ت َيا َر‬ َ ‫ا ْل َباَل ُء َو ُي‬
ُ ‫ض َّع‬
ْ‫اء َة ُي َح ِّو ْي َها َوِإن‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫الصالِ ُح ْونَ ِإنْ َكانَ َح ُد ُه ْم َل ُي ْب َت َلى ِبا ْل َف ْق ِر َح َّتى َما َي ِج ُد َح ُد ُه ْم ِإاَّل ا ْل َع َب‬ َّ ‫َمنْ َقال َ ُث َّم‬
‫اء‬ ِ ‫الر َخ‬َّ ‫ح َح ُد ُك ْم ِب‬‫َأ‬ ُ ‫ح ِبا ْل َباَل ِء َك َما َي ْف َر‬ ‫َأ‬
ُ ‫َكانَ َح ُد ُه ْم َل َي ْف َر‬

Artinya, Dari Abu Sa'id Al-Khudri dia berkata, Aku pernah menjenguk Nabi
saw. ketika beliau sedang sakit panas, aku meletakkan tanganku dan aku
mendapati panasnya terasa hingga di atas selimut. Aku lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, alangkah panasnya sakit yang menimpa dirimu." Beliau bersabda:
"Sesungguhnya begitulah kita, ketika dilipat gandakan cobaan bagi kita maka
akan dilipat gandakan pula pahalanya." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling berat cobaan nya?" Beliau menjawab: "Para
Nabi." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?" Beliau
menjawab: "Kemudian orang-orang yang shalih, salah seorang di antara
mereka ada yang dicoba dengan kefakiran sehingga tidak menemukan kecuali
mantel untuk dia pakai, dan ada salah seorang dari mereka yang senang
dengan cobaan sebagaimana salah seorang dari kalian senang dengan
kemewahan." (HR. Ibnu Majah)

‫سخ َِط َف َل ُه‬َ ْ‫ضا َو َمن‬ ِّ ‫اء َم َع عِ َظ ِم ا ْل َباَل ِء َوِإنَّ هَّللا َ ِإ َذا َأ َح َّب َق ْو ًما ا ْب َتاَل ُه ْم َف َمنْ َرضِ َي َف َل ُه‬
َ ‫الر‬ ِ ‫عِ َظ ُم ا ْل َج َز‬
‫س ْخ ُط‬ ُّ ‫ال‬

Artinya,“Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan


sesungguhnya apabila ALLAH mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji
mereka. Oleh karena itu, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan tersebut)
maka baginya keridhaan (ALLAH), dan barangsiapa murka maka baginya
kemurkaan (ALLAH).” (HR. Ibnu Majah)

‫الصدْ َم ِة‬ َّ َ‫س ْب َت عِ ْند‬ َ ‫اح َت‬


ْ ‫ص َب ْر َت َو‬ ُ ُ ‫س َّل َم َقال َ َيقُ ْول ُ هَّللا‬
َ ْ‫س ْب َحا َن ُه ا ْبنَ آدَ َم ِإن‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬
َ ‫َع ِن ال َّن ِب ِّي‬
‫ض َل َك َث َوا ًبا د ُْونَ ا ْل َج َّن ِة‬َ ‫اُأْلو َلى َل ْم َأ ْر‬

Artinya, Dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: ALLAH Subhaanahu wa Ta'ala


berfirman: "Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa
musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga."
(HR. Ibnu Majah)

Semakin tinggi tingkat keimanan atau maqam salik dalam menempuh


perjalanan pencarian untuk mengenal lebih dekat dengan-Nya, maka semakin
ALLAH‘Azza Wa Jalla menguji kesungguhan dari salik atau hamba-Nya, tetapi
ALLAH‘Azza Wa Jalla tahu kesanggupan beban ujian yang diberikan untuk
hamba-hamba-Nya sesuai dengan takaran atau kadar kesanggupan
hamba-Nya. Hakikat ujian karena ALLAH‘Azza Wa Jalla mencintai
hamba-hamba-Nya dan mengharapkan hamba-Nya ridha menerima ujian-Nya,
karena keridhaan ini yang membuktikan cinta dari hamba-Nya kepada-Nya,
Seperti menjalin cinta dengan seseorang ingin membuktikan apakah orang
yang dicintai juga mencintai dengan tulus dan ridha atau cintanya palsu, semua
ini bisa diketahui apabila ada ujian untuk mengetahui kebenarannya, juga
membina dan menjalin satu hubungan seperti berumah tangga, persahabatan,
bermasyarakat, dan keluarga, Semua ada ujian dalam perjalanan membina
hubungan tersebut, terlebih membina dan menjalin hubungan dengan
ALLAH‘Azza Wa Jalla karena ALLAH‘Azza Wa Jalla maha pencemburu
dengan hamba-hamba-Nya yang lebih memilih mencintai dunia dan isinya,
Adakah yang lebih baik dari-Nya ..?, ALLAH‘Azza Wa Jalla, meliputi segala
sesuatu sampai partikel terkecil pun meliputi dan semua adalah milik-Nya,
dunia dan isinya adalah milik-Nya, Surga (Jannah) yang penuh dengan
kenikmatan abadi pun adalah milik-Nya, bahkan tubuh yang diberikan ini pun
adalah milik-Nya, Adakah alasan untuk tidak mencintai-Nya dan lebih memilih
cinta dunia dan isinya.

Ujian adalah satu proses yang dilalui oleh salik dalam menempuh perjalanan
menuju kepada Ilahi, untuk menempa rohani salik menjadi lebih baik lagi dan
mempertebal keimanan. ALLAH Maha Suci, kesucian-Nya tidak akan
tercampur dengan hal-hal yang tidak suci atau dosa-dosa dari hamba-Nya dan
ALLAH Maha Pengampun, memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya
yang ingin bertobat dengan sungguh-sungguh, Ampunan dari ALLAH‘Azza Wa
Jalla merupakan bentuk ujian yang diberikan kepada hamba-Nya untuk
menghapus dosa-dosa yang sudah diperbuat oleh yang sedang diuji supaya
rohani hamba-Nya menjadi bersih dan suci atau kembali menjadi fitrah. Sabar
dan ikhlas adalah kunci dalam menerima dan menjalani ujian karena dengan
sabar dan ikhlas maka hati menjadi tenang, dan selalu mengingat bahwa
ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak akan membebani ujian yang di luar kesanggupan
hamba-Nya.

Firman ALLAH‘Azza Wa Jalla didalam QS. Al-Baqarah : 286

‫س َب ْت ۗ َر َّب َنا اَل ُتَؤ اخ ِْذ َنا ِإنْ َنسِ ي َنا َأ ْو‬ َ ‫س َب ْت َو َع َل ْي َها َما ْاك َت‬َ ‫سا ِإاَّل ُو ْس َع َها ۚ َل َها َما َك‬ ً ‫ف هَّللا ُ َن ْف‬ ُ ‫اَل ُي َك ِّل‬
َ
‫ص ًرا َك َما َح َم ْل َت ُه َع َلى ا َّلذِينَ مِنْ َق ْبلِ َنا ۚ َر َّب َنا َواَل ُت َح ِّم ْل َنا َما اَل َطا َقة َل َنا‬ْ ‫َأ ْخ َطْأ َنا ۚ َر َّب َنا َواَل َت ْح ِملْ َع َل ْي َنا ِإ‬
َ‫ع َلى ا ْل َق ْو ِم ا ْل َكاف ِِري‍‍ن‬ ُ ‫ار َح ْم َنا ۚ َأ ْن َت َم ْواَل َنا َفا ْن‬
َ ‫ص ْر َنا‬ ْ ‫اغف ِْر َل َنا َو‬ْ ‫ف َع َّنا َو‬ ْ ‫ِب ِه ۖ َو‬
ُ ‫اع‬
“yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā, lahā mā kasabat wa 'alaihā maktasabat,
rabbanā lā tu`ākhiżnā in nasīnā au akhṭa`nā, rabbanā wa lā taḥmil 'alainā
iṣrang kamā hamaltahụ 'alallażīna ming qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā
lā ṭāqata lanā bih, wa'fu 'annā, wagfir lanā, war-ḥamnā, anta maulānā fanṣurnā
'alal-qaumil-kāfirīn.” (QS. Al-Baqarah : 286)

Artinya, ALLAH tidak membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. Hamba-Nya akan mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakan nya dan juga mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikul
kan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

Ajaran agama-Nya itu mudah, tidak ada unsur kesulitan di dalamnya.


ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak menuntut dari hamba-hambanya sesuatu yang
tidak mereka sanggup. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, maka akan
memperoleh ganjaran baik, dan barangsiapa yang berbuat keburukan, maka
akan memperoleh balasan yang buruk. Wahai Tuhan kami, jangan Engkau
menyiksa kami jika kami lupa terhadap sesuatu yang Engkau wajibkan atas
kami atau kami berbuat salah dengan melakukan sesuatu yang Engkau larang
untuk dikerjakan. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebani kami dengan
amalan-amalan yang berat yang telah Engkau bebankan kepada umat-umat
yang berbuat maksiat sebelum kami sebagai hukuman bagi mereka. Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau membebankan kepada kami perkara yang kami
tidak mampu memikulnya, baik dalam bentuk bentuk perintah-perintah syariat
dan musibah musibah. Dan hapuskanlah dosa-dosa kami dan tutuplah
kekurangan-kekurangan kami dan sudilah berbuat baik kepada kami. Engkau
adalah penguasa urusan kami dan pengatur-Nya. maka tolonglah kami
menghadapi orang orang yang mengingkari Agama Engkau dan mengingkari
keesaan Engkau mendustakan Nabi Muhammad SAW, dan jadikanlah
kesudahan yang baik bagi kami di hadapan mereka di dunia dan juga di
akhirat. Berpikir bersih dan jernih dalam menghadapi ujian, kelapangan dada
seluas lautan, diikuti ujian itu seperti air mengalir, tidak berprasangka atau
berpikir buruk terhadap ujian dan bergantung kepada-Nya dalam segala urusan
dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist, karena diri sendiri adalah
gambaran yang di pikir, maka berhati-hati di dalam berpikir ;“You are is what
you think”, itulah diri kita sendiri.

ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam firman-Nya mengajak hamba-Nya berpikir


positif dan optimis dalam menghadapi dan menjalani ujian, seperti yang
terdapat di dalam QS. Al-Insyirah ayat 5 - 6.

‫َفِإنَّ َم َع ا ْل ُع ْس ِر ُي ْس ًرا‬
“fa inna ma'al-'usri yusrā”. (QS. Al-Insyirah : 5)

Artinya, Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

‫ِإنَّ َم َع ا ْل ُع ْس ِر ُي ْس ًرا‬
”Inna ma'al-'usri yusrā”. (QS. Al-Insyirah : 6)

Artinya, Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

Di dalam surat ini ALLAH‘Azza Wa Jalla menyebutkan dua kali,“Setelah


kesulitan itu akan datang kemudahan”. Ketahuilah sesungguhnya bersamaan
dengan kesempitan ada kebahagiaan; Yang akan datang kebahagiaan setelah
kesempitan, dan kemudahan setelah kesulitan, maka jangan bersedih dan
jangan memaki dalam menghadapi dan menjalani kesulitan. Karena kesulitan
yang telah mendahului dan musibah-musibah yang engkau terima, setelahnya
akan menjadi kemudahan.

Ibn‘Masud berkata dalam wasiatnya :“Kesulitan tidaklah mendominasi


kemudahan-kemudahan, kemudian beliau membaca ayat ini”.
Para salik yang kuat imannya, bersungguh-sungguh kemauannya, dan teguh
pendiriannya untuk mendapatkan ridha ALLAH‘Azza Wa Jalla dalam menuju
kepada pencarian-Nya, maka ALLAH‘Azza Wa Jalla akan membimbing-Nya
dengan melalui petunjuk (hudan) dan hikmah untuk sampai kepada-Nya,
seperti permainan “petaka umpet”yang pada akhirnya sang pencari dapat
menemukan sang tersembunyi, itulah pahala yang besar dan anugerah yang
sangat berharga yang diberikan-Nya kepada salik atau hamba-Nya, sampai
kepada tujuannya mengenal diri dan mengenal Tuhannya, “Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dusta kan”. Ada yang istimewa di dalam
surat Ar-Rahman yaitu adanya perkataan ALLAH yang diulang sebanyak tiga
puluh satu kali, yang diperuntukkan kepada manusia dan jin.

ِّ ‫َف ِبَأ‬
ِ ‫ى َءآاَل ِء َر ِّب ُك َما ُت َك ِّذ َب‬
‫ان‬

“fa bi`ayyi ālā`i rabbikumā tukażżibān”.

Artinya, Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Ada satu hal yang sangat menarik pada saat Nabi Muhammad SAW
membacakan ayat ini kepada bangsa Jin, lalu mereka berkata :“Tidak, tidak
ada satu pun dari nikmat-nikmat Engkau, wahai Tuhan kami, yang kami dusta
kan. Segala puji bagi Engkau”. Demikian sepatutnya seorang hamba, bila
nikmat-nikmat dan juga karunia ALLAH‘Azza Wa Jalla dibacakan kepadanya,
Maka hendaknya wajib dia untuk mengakuinya, bersyukur, dan memuji-Nya.
III. MEMAHAMI ADAB

Adab merupakan elemen terpenting dalam tasawwuf. Para Imam dan Salafus
Saleh sangat menekankan adab,hingga ada yang menyimpulkan tasawuf
adalah keseluruhannya adab. Dapat dikatakan beramal tanpa adab bisa
menghalangi perjalanan salik, malahan ditakuti mengundang pelbagai perkara
buruk seperti istidraj. Menurut Al-‘Allamah asy-Syarif Al-Jurjaniyy adab adalah
istilah tentang ilmu yang merujuk kepada keadaan mawas diri dari segala salah
dan khilaf. Adab juga membawa pengertian akhlak, etika, kelakuan yang baik
dan kesopanan. Jadi bila disebut adab salik boleh diartikan sebagai etika atau
akhlak seorang salik atau kelakuan yang baik bagi seorang salik atau
kesopanan seorang baik. Adab terbagi dua yaitu adab zahir dan adab batin.
Kedua-duanya perlu diberi perhatian dan diamalkan. Adab zahir seperti salam,
duduk dengan sopan dan sebagainya. Manakala adab batin seperti bersangka
baik, Mahabbah dan sebagainya. Klasifikasi adab dalam tasawuf ada pelbagai,
semuanya harus dipatuhi. Ada adab kepada ALLAH dan Rasul-Nya, adab para
Mursyid, adab salik terhadap Mursyid, adab sesama salik, dan adab terhadap
diri salik sendiri. Namun dalam pembahasan ini lebih menekankan adab salik
terhadap Mursyid. Sebagaimana disiplin ilmu lain, jika ingin belajar, mahir,
berjaya dan mendapatkan dan pembelajaran tasawuf yang sebenarnya sama
antara teori dan amalan mestilah di tangan seorang yang pakar dalam bidang
tersebut. Untuk belajar secara tersusun dan dibimbing dalam tafsir, mestilah
belajar dari mufassirin, jika ingin mendalami hadis mestilah di tangan seorang
muhaddis. Begitulah halnya dalam tarikat, jika ingin beramal, memahami,
merangkai yang rumit, membersihkan diri dari kotoran dan menghias nya pula
dengan nur kebaikan mestilah dengan bimbingan seorang guru Mursyid.
Carilah guru Mursyid yang layak seperti mengetahui dan paham pelbagai
ragam ahwal dan sebagainya. Adalah penting kita mencari Mursyid yang layak
supaya kita dapat dibimbing secara benar, sebagaimana pentingnya kita
mencari dokter yang pakar atau ahli dalam masalah kesehatan kita, supaya
dapat bimbingan kesehatan yang betul dan merawat penyakit kita.
Kepentingan dan ciri guru Mursyid yang layak diikuti terdapat banyak dalam
kitab-kitab tasawuf seperti kata Syaikhul Hadith Zakariyya Al-Kandahlawi;“Guru
Mursyid mestilah bertaqwa lagi saleh, mengikuti sunnah, mengetahui ilmu
agama pada kadar yang perlu diketahui dan lain-lain”. Kita sebagai murid atau
salik yang sedang mencari guru Mursyid mestilah memperhatikan dahulu
keadaan guru tersebut. Hanya selepas itu barulah kita boleh berserah diri kita
dengan mengikut adab-adab nya, ibarat mencari dokter yang pakar atau ahli
dengan penyakit kita, barulah boleh kita mengambil khidmat
nasihat-nasihatnya.

Pentingnya adab, Imam Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menyebut dalam kitabnya,


dikatakan pada ayat ini mengenai Nabi Muhammad SAW melaksanakan adab
kepada hadirat Ilahi:

‫ارةُ َع َل ْي َها َم ٰ َٓلِئ َك ٌة غِ اَل ٌظ شِ دَ ا ٌد اَّل‬ ً ‫س ُك ْم َوَأهْ لِي ُك ْم َن‬


ُ ‫ارا َوقُو ُدهَا ٱل َّن‬
َ ‫اس َوٱ ْلح َِج‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
َ ُ‫وا قُ ٓو ۟ا َأنف‬
َ‫صونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َر ُه ْم َو َي ْف َعلُونَ َما ُيْؤ َم ُرون‬ ُ ‫َي ْع‬

“Yā ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw wa qụduhan-nāsu


wal-ḥijāratu 'alaihā malā`ikatun gilāẓun syidādul lā ya'ṣụnallāha mā amarahum
wa yaf'alụna mā yu`marụn”. (QS. At-Tahrim : 6)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakar nya adalah manusia dan batu; penjaga nya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.

Tentang isi adab dalam ayat ini, Sayyidina Ibnu Abbas RA mengatakan
maksudnya:“Didiklah dan ajarkan mereka adab”.
Hakikat adab adalah gabungan semua akhlak yang baik. Jadi orang yang
beradab adalah orang yang tergabung dalam dirinya semua akhlak yang baik.
Imam Sahl bin Abdullah Al-Tustari berkata orang yang menundukkan jiwanya
dengan adab bermakna telah menyembah ALLAH dengan tulus. Imam Abdul
Wahhab Asy-Syarani di dalam Al-Anwar Al-Qudsiyyahnya, pada bab
Adab-adab Zikir, menyebut sesungguhnya setiap ibadah yang kosong dari
adab maka ia (dikira) kurang kualitas nya.
Imam Ibnu Khaldun ketika membahasakan institusi Syaikh; Menulis adab
sebagai sebagian dari komponen tasawwuf dengan katanya; Ilmu tasawuf itu
dengan mujahadahnya, hukum-hukumnya, adab-adab nya dan musthalah
khusus ahli nya. Berikut adalah contoh adab yang sangat tinggi Rasululullah
SAW, Para Nabi , Sahabat dan Tokoh-tokoh sufi terdahulu:

■ Nabi Muhammad SAW menjalankan adab yang tertinggi sehingga dipuji


oleh ALLAH, ini bermakna setiap perilaku maupun gaya hidup Nabi
Muhammad SAW menjadi tolak ukur akhlak dan adab yang mulia lagi
terpuji.

ٍ ِ‫َوِإ َّن َك َل َع َل ٰى ُخلُ ٍق َعظ‬


‫يم‬

“Wa innaka la'alā khuluqin 'aẓīm”. (QS. Al-Qalam : 4)

Artinya, Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi


pekerti yang agung.
Sesungguhnya kamu wahai Rasulallah benar-benar memiliki akhlak mulia
karena engkau dididik oleh Tuhanmu dalam Al-Quran. ‘Aisyah RA ditanya
mengenai akhlak beliau (sebagaimana ditetapkan dalam hadits shahih),
lalu dia menjawab:“Kaana khuluquhul Qur’an,” Artinya, Sesungguhnya
Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Dijelaskan juga didalam QS. Al-Ahzab :
21, Mengenai adab Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan yang baik
yang harus dijadikan contoh oleh umatnya.

ً ‫وا ٱهَّلل َ َوٱ ْل َي ْو َم ٱلْ َءاخ َِر َو َذ َك َر ٱهَّلل َ َكث‬


‫ِيرا‬ َ ‫ول ٱهَّلل ِ ُأ ْس َوةٌ َح‬
۟ ‫س َن ٌة ِّل َمن َكانَ َي ْر ُج‬ ِ ‫س‬ُ ‫َّل َقدْ َكانَ َل ُك ْم فِى َر‬

“Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha


wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā.”(QS. Al-Azhab : 21)

Artinya, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Sungguh telah ada contoh bagi kalian (wahai orang-orang yang beriman)
pada perkataan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, perbuatannya dan
keadaannya menjadi suri teladan yang baik bagi salik yang baik untuk
meneladani. Maka peganglah Sunnahnya, karena Sunnahnya dipegang
dan dijalani oleh orang-orang yang berharap kepada ALLAH dan
kehidupan akhirat, memperbanyak mengingat ALLAH dan beristigfar
kepada-Nya, serta bersyukur kepada-Nya dalam setiap keadaan. Akhlak
Rasulullah adalah simbol dari Al-Qur’an berjalan untuk sebagai contoh
kepada umatnya, terlebih kepada salik yang sedang meniti perjalanan
menuju Ilahi. Salik pun juga dapat melihat dan mengukur seorang guru
Mursyid dari akhlaknya, apakah akhlak guru Mursyid tersebut sudah
sesuai dengan sunnah dari Nabi Muhammad SAW atau menyimpang dari
sunnahnya yang telah diajarkan sebagai pedoman-pedoman dalam
menjalani kehidupan ini, baik dari perkataannya, perbuatannya, dan
keadaannya guru Mursyid, supaya kita terhindar tidak tersesat dalam
perjalanan menuju Ilahi dan tidak menjadi sia-sia laku perjalanan di dunia
untuk menuju bekal di akhirat nanti.

■ Adab Nabi Ayub AS yang tidak meminta pertolongan kepada ALLAH


secara berterus terang, sebaliknya berkata dengan perkataan yang
menjaga adab Nabi Ayub kepada ALLAH, seperti terfirman didalam QS.
Al-Anbiya : 83.

َّ ٰ ‫نت َأ ْر َح ُم‬
َ‫ٱلر ِحمِين‬ َ ‫ض ُّر َوَأ‬ َّ ‫وب ِإ ْذ َنادَ ٰى َر َّب ُهۥٓ َأ ِّنى َم‬
ُّ ‫سن َِى ٱل‬ َ ‫َوَأ ُّي‬
“Wa ayyụba iż nādā rabbahū annī massaniyaḍ-ḍurru wa anta
ar-ḥamur-rāḥimīn”. (QS. Al-Anbiya : 83)
Artinya, Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya
Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".

ALLAH‘Azza Wa Jalla menguji Nabi Ayub dan memberikan kekuasaan


kepada syaitan terhadap jasadnya sebagai cobaan baginya, syaitan
kemudian meniup ke dalam jasad, maka keluarlah bisul yang buruk dan
menjijikkan, dan Beliau menderita penyakit itu dalam waktu yang sangat
lama, (ada yang mengatakan, selama 18 tahun Beliau menderita penyakit
itu). Lebih dari itu anak-anaknya wafat, hartanya binasa dan manusia
menjauhinya selain istrinya, maka ALLAH mendapatkannya dalam
keadaan sabar dan ridha terhadap musibah itu, dan setelah sekian lama,
ia pun berdoa seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. Beliau
bertawassul kepada ALLAH dengan keadaannya yang begitu parah dan
dengan rahmat ALLAH yang luas lagi merata, maka ALLAH mengabulkan
doanya dan berfirman kepadanya,“Hantamkanlah kakimu; inilah air yang
sejuk untuk mandi dan untuk minum”. (Terj. Shaad: 42) Maka Beliau
menghantam kan kakinya ke bumi, kemudian keluarlah mata air yang
sejuk, lalu Nabi Ayub mandi dan minum dari padanya, Setelah itu
kemudian ALLAH menghilangkan derita yang menimpanya. Maha Suci
ALLAH, yang telah menjadikan Nabi Ayub hamba yang sabar dan ridha
dengan ujian yang diberikan-Nya dan menjadikan contoh adab Nabi Ayub
yang terpuji untuk diingat dan menjadi pelajaran untuk kita semua sebagai
hamba yang tidak luput dari ujian.

■ Adab para Sahabat Radhiyallahu‘anhu sangat beradab di hadapan Nabi


Muhammad SAW atau pun semasa ketiadaan Nabi Muhammad SAW.
Mereka tidak meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi Muhammad
SAW, umumnya mereka tidak berkata ketika Nabi Muhammad SAW
sedang berkata melainkan setelah Nabi SAW bertanya kepada mereka
atau terdapat kemusykilan.

■ Syaikh Abu‘Ali ad-Daqqaq tidak pernah bersandar sebagai simbolik,


beliau tidak pernah menyandarkan diri kepada sesuatu selain Allah.

■ Syaikh‘Abdullah al-Jurairi mengatakan selama dua puluh tahun dalam


uzlah aku tidak pernah melunjurkan kakiku walau pun sekali.

■ Ketika Syaikh Abu Hafs sampai ke Baghdad Imam Junaid al-Baghdadi


mengatakan kepadanya engkau telah mengajar sahabat-sahabatmu
berperilaku seperti raja-raja.

Begitulah adab yang tinggi ditunjukkan oleh para Nabi-Nabi dan Imam-Imam
kita terdahulu. Walau pun kita tidak mampu mencapai tahap atau tingkatan
kerohanian dan ibadah mereka yang amat tinggi, sekurang-kurangnya kita
mencoba meniru adab dan akhlak mereka insya Allah apabila ada kemauan
akan ada jalan untuk mencapai nya.

Di zaman Milenial saat ini adab-adab bergeser pada tatanan masyarakat dan
juga di dalam tatanan keluarga, ketidak acuhan pada adab-adab yang juga
diajarkan oleh kerarifan budaya hanya menjadi sejarah yang terpampang pada
pigura yang usang. Modernisasi menghanyutkan pokok pengajaran nilai-nilai
yang luhur bahkan menghancurkan sampai sendi-sendi per-Adab-an, dan tata
krama sudah menjadi produk yang langka untuk ditemui. Agama dan Budaya
mengajarkan adab-adab yang menggambarkan dari kemajuan per-adab-an
yang luhur, masih adakah sisa-sisa per-adab-an yang luhur itu pada diri kita,
keluarga, masyarakat, dan bangsa di zaman milenial yang moderenisasi
menjadi icon dan dipuja-puja saat ini, Maju atau Mundur kah sebenarnya
per-adab-an kita saat ini?. Adab salik (murid) terhadap guru Mursyid terbagi
dua, adab zahir dan adab batin, kedua adab ini memerlukan perhatian yang
mendalam bagi seorang salik atau murid. Salik wajib kembali kepada ALLAH
dan berjalan ke jalan ALLAH untuk mengenal diri dengan melakukan
latihan-latihan jiwa. Diri atau nafsu mempunyai dua tabiat : Tenggelam dalam
syahwat dan jauh dari perbuatan taat. Cara menjinakkan nafsu mestilah
dengan mujahadah, yaitu menghentikan tabiat nafsu yang sudah mendarah
daging, memaksa nafsu melakukan ketaatan yang tidak disukai, menahan
nafsu dari keinginan syahwat, menyeret nafsu untuk menanggung kepayahan,
meneguk kepahitan, banyak mengingat ALLAH, berpuasa, perbanyak shalat
sunnah, dan menyesali kesalahan perbuatan masa lalu serta meninggalkan
kebiasaan lama yang buruk. Sesudah melakukan tobat seorang salik harus
bersikap warak dalam semua hal serta meyakini bahwa ALLAH‘Azza Wa Jalla
melakukan hisab segala dosa dengan teliti. Apabila sudah mantap dengan
tobat nya maka salik bersiap untuk masuk ke maqam zuhud di mana sudah
sampai masa untuknya memakai muraqqa‘ah¹. Apabila sanggup memakai
pakaian ini adab-adabnya haruslah dijaga supaya yang memakai tidak menjadi
riya, makna pakaian sufi ini bersifat zahir juga batin dan menyimbol kan
kezuhudan bagi pakaian dan sipemakainya.

¹ -muraqqa‘ah : pakaian khas kaum sufi.

iv
ADAB ZAHIR

1. Mengikuti arahan dan mentaati guru Mursyid berupa suruhan ataupun


larangan, yaitu seperti seorang pasien pesakit yang menuruti arahan dokter,
Jika penyakit zahir berhajat kepada dokter, begitu pun penyakit bathin harus
berhajat kepada ahlinya. Salik dan guru Mursyid seperti pasien pesakit dan
dokter, pesakit hendaklah mengikuti nasihat dokternya. Perlu diingatkan
ketaatan dalam tasawuf adalah jauh daripada fanatik, itulah sebabnya awal
pertama yang salik perlu perhatikan adalah keadaan gurunya sebelum
menyerahkan diri, ibarat pesakit harus bisa memilih dokter yang tepat dengan
penyakit yang dideritanya, barulah menyerahkan diri untuk mendapatkan
perawatan dari dokter tersebut. ALLAH‘Azza Wa Jalla memberikan petunjuk
kepada hamba-Nya yang termaktub didalam QS. An-Nahl : 43.

ِّ َ ‫س ْل َنا مِن َق ْبلِ َك ِإاَّل ِر َجااًل ُّنوح ِٓى ِإ َل ْي ِه ْم ۚ َف ْسـَٔلُ ٓو ۟ا َأهْ ل‬


َ‫ٱلذ ْك ِر ِإن ُكن ُت ْم اَل َت ْع َل ُمون‬ َ ‫َو َمٓا َأ ْر‬
“ Wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim fas`alū ahlaż-żikri ing
kuntum lā ta'lamụn “. (QS. An-Nahl : 43)

Artinya, Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

2. Apabila bertemu guru Mursyid, ucapkan salam kepadanya.


Murid atau salik seharusnya memberikan salam terlebih dahulu apabila
bertemu dengan guru Mursyid sebagai penghormatan terhadap guru. Salam
adalah sunnah para Nabi, Rasul, dan Malaikat, tidak boleh diremehkan
apalagi selaku murid terhadap gurunya. Firman ALLAH mengenai salam
pada QS. Az-Zariyat : 24-25.

َ‫ض ْيفِ ِإ ْب ٰ َرهِي َم ٱ ْل ُم ْك َرمِين‬ ُ ‫َهلْ َأ َت ٰى َك َحد‬


َ ‫ِيث‬
“Hal atāka ḥadīṡu ḍaifi ibrāhīmal-mukramīn”. (QS. Az-Zariyat : 24)

Artinya, Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu


Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?

َ‫س ٰ َل ٌم َق ْو ٌم ُّمن َك ُرون‬


َ َ ‫س ٰ َل ًما ۖ َقال‬ ۟ ُ‫وا َع َل ْي ِه َف َقال‬
َ ‫وا‬ ۟ ُ‫ِإ ْذ دَ َخل‬

“Iż dakhalụ 'alaihi fa qālụ salāmā, qāla salām, qaumum mungkarụn”. (QS.
Az-Zariyat : 25)

Artinya, (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan:


"Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang
yang tidak dikenal".

Apakah telah sampai kepadamu wahai Nabi Muhammad, kabar tentang Nabi
Ibrahim dan para tamunya dari golongan malaikat yang mulia; Di mana Allah
memerintahkan mereka untuk mengunjungi Nabi Ibrahim dan mengabarkan
dengan kabar seorang anak, kemudian mereka semua (Nabi Ibrahim dan
para malaikat) pergi menuju kaumnya Luth. Maka ketika telah sampai
kepadanya mereka memberi salam kepada Nabi Ibrahim, maka Nabi Ibrahim
menjawab salam mereka dengan berkata : Salamun Alaikum, kalian adalah
kaum yang asing, kami tidak mengenal kalian, siapa kalian? Dan mereka
para malaikat Allah perintahkan untuk mengadzab kaum Luth dan di jungkir
balikkan negeri mereka.
3. Jangan banyak bercakap atau berbicara di hadapan guru Mursyid, jangan
mendahului pendapat guru Mursyid, tidak berkata melainkan dengan izinnya.

4. Jangan berkata yang membawa isyarat murid lebih pandai dari guru.

5. Jangan menyangkal kalam guru Mursyid.

6. Hendaklah senantiasa tenang dan khidmat dalam majelis nya.

7. Bersedia berkhidmat kepada guru Mursyid sesuai kemampuan.

8. Senantiasa menghadiri majlisnya atau berkunjung kepada guru.

9. Sabar dengan tatacara guru Mursyid memberikan tarbiyah.


Murid atau salik hendaklah meniru adab para sahabat dan imam-imam
terdahulu. Para sahabat umumnya tidak pernah mendahului Rasullulah SAW
melainkan jika diarahkan oleh Rasullulah SAW. Mereka juga bersabar
menerima tarbiyah dari Rasullulah SAW, senantiasa berusaha berkhidmat
dan juga tidak melepaskan peluang bersuhbah dengan mengambil manfaat
dengan kehadiran Rasullulah SAW. Namun begitu bukanlah murid atau salik
terus menerus berdiam diri, malahan para sahabat juga tidak malu untuk
bertanya jika tidak paham mengenai hal-hal yang mereka kurang mengerti
kepada Rasullulah SAW dengan pertanyaan-pertanyaan yang bermanfaat
untuk semua yang berada di dalam majelis. Semasa berlangsung majelis
ilmu atau semasa berada dengan guru Mursyid, janganlah bergelak tertawa,
bersenda gurau maupun tidur, karena ini merupakan adab yang buruk bagi
seorang murid atau salik terhadap guru Mursyidnya. Imam Ibnu Hajar
Al-Haithami juga menyebutkan dan mengingatkan kepada para murid atau
salik, dikatakan :”Barang siapa yang berkata kepada guru Mursyid nya,
Kenapa ? maka dia tidak akan selamat selama-lamanya.“

10. Jangan mengungkapkan atau memberitahu kalam guru Mursyid kepada


orang lain, melainkan dengan cara cara mengikuti pemahaman dari akal.

Jangan sesekali bercerita atau menyampaikan kalam guru Mursyid kepada


orang lain terutama kalam yang berbentuk khusus bagi murid-muridnya karena
ditakutkan akan menimbulkan salah paham bagi orang awam yang bukan ahli
nya. Ia mungkin akan menjerumuskan kepada fitnah terhadap guru Mursyid
dan dipandang sesat oleh masyarakat, Paling ditakutkan menjerumuskan
mereka ke arah kebinasaan agama mereka sendiri karena bercakap tentang
perkara yang mereka tidak pahami dan tidak diketahui.

ALLAH berfirman mengenai sikap mendahului ALLAH dan Rasul-Nya.

َ َ ‫وا ٱهَّلل َ ۚ ِإنَّ ٱهَّلل‬


‫سمِي ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫ى ٱهَّلل ِ َو َر‬
۟ ُ‫سولِهِۦ ۖ َوٱ َّتق‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
۟ ‫وا اَل ُت َقدِّ ُم‬
ِ َ‫وا َب ْينَ َيد‬
“Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tuqaddimụ baina yadayillāhi wa rasụlihī
wattaqullāh, innallāha samī'un 'alīm”. (QS. Al-Hujuraat : 1)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi
Mulaikah, bahwa Abdullah bin Az Zubair memberitahukan mereka, bahwa ada
rombongan orang dari Bani Tamim datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam,
Lalu Abu Bakar berkata, “Angkatlah Qa’qa’ bin Ma’bad bin Zurarah.” Lalu Umar
berkata, “Bahkan, angkatlah Aqra’ bin Habis.”
Abu Bakar berkata, “Engkau tidak menginginkan selain menyelisihiku.” Umar
menjawab, “Aku tidak bermaksud menyelisihimu.”
Maka keduanya berbantah-bantahan sampai suaranya keras, kemudian
turunlah tentang hal itu ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu mendahului ALLAH dan Rasul-Nya…dst.”
Syaikh As Sa’diy menerangkan, “Ayat ini mengandung adab terhadap ALLAH
Ta’ala dan adab terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
membesarkan Beliau, menghormatinya dan memuliakannya. Maka ALLAH
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin sesuatu yang menjadi
konsekwensi beriman kepada ALLAH dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti perintah
ALLAH dan menjauhi larangan-Nya, dan agar mereka berjalan di belakang
perintah ALLAH sambil mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam semua urusan mereka. Demikian pula agar mereka tidak
mendahului ALLAH dan Rasul-Nya, tidak berkata sampai Beliau berkata, dan
tidak memerintahkan sampai Beliau memerintahkan. Inilah hakikat adab yang
wajib terhadap ALLAH dan Rasul-Nya, dan ini merupakan tanda kebahagiaan
seorang hamba dan keberuntungannya, dan jika hilang, maka hilanglah
kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Dalam ayat ini terdapat
larangan yang keras mendahulukan ucapan selain Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam di atas ucapan Beliau. Oleh karena itu, kapan saja jelas sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka wajib diikuti dan di dahulukan di
atas yang lainnya siapa pun dia. Selanjutnya ALLAH memerintahkan untuk
bertakwa kepada-Nya secara umum, yaitu sebagaimana yang dikatakan Thalq
bin Habib (tentang takwa), “Kamu mengerjakan ketaatan kepada ALLAH di atas
cahaya dari ALLAH dan kamu mengharapkan pahala ALLAH. Demikian pula
kamu menjauhi durhaka kepada ALLAH di atas cahaya dari ALLAH sambil
takut kepada siksaan ALLAH. Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh
menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari ALLAH dan
Rasul-Nya. Yakni semua suara dengan berbagai bahasa. Baik yang tampak
maupun yang tersembunyi, yang berlalu maupun yang baru, yang mesti,
mustahil maupun yang mungkin. Disebutkan kedua nama ini
“Samii’un‘Aliim”setelah larangan mendahului ALLAH dan Rasul-Nya serta
perintah untuk bertakwa kepada-Nya adalah untuk mendorong mengerjakan
perkara-perkara yang baik, adab-adab yang indah, serta menakut-nakuti agar
tidak mendurhakai.

Adab Zahir adalah penerapan akhlak-akhlak yang mulia dalam menuntut ilmu
karena dengan adab kita akan memahami ilmu, dengan adanya adab didalam
menuntut ilmu maka ilmu itu akan menjadi berkah dan ilmu itu terus bertambah
juga mendatangkan manfaat. Adab dalam menuntut ilmu menjadi bagian dari
ilmu yang bersumber dari dalil-dalil, adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu
yang mesti diamalkan karena adab merupakan ilmu dan amal. Belajar mutiara
hikmah dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang tertulis didalam firman
ALLAH disurat Al-Kahfi, riwayat yang sarat dengan hikmah dan menjadi
petunjuk dalam menjalankan adab terhadap guru Mursyid. Bermula dari sebuah
kesombongan, meski pun seorang Nabi pilihan yang berucap namun ucapan itu
merupakan kalimat yang tidak menyertakan ALLAH di dalam ucapannya, kisah
ini muncul ketika Nabi Musa berdialog dengan Bani Israil. Dialog Nabi Musa
ketika itu mengajak Bani Israil untuk menyembah kepada ALLAH dan
menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran, setelah Nabi Musa
menyampaikan pembicaraan nya ada salah seorang dari Bani Israil bertanya, “
Hai Musa, apakah ada di atas bumi ini seseorang yang lebih alim darimu wahai
Nabi ALLAH ?“
Lalu Nabi Musa menjawab“ Tidak ada.“
Jawaban dari Nabi Musa tersebut begitu menggaungnya hingga sampai
terdengar di atas langit, ALLAH pun mendengar Musa terlalu berke-aku-an
sehingga perlulah untuk diajarkan tentang sesuatu adab terhadap ALLAH atas
ke-aku-annya yang mendahului ALLAH‘Azza Wa Jalla, Lantas ALLAH pun
mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya, “ Wahai Nabi ALLAH, tidakkah
engkau mengetahui di mana ALLAH meletakkan ilmu-Nya ?
Nabi Musa ter sadar dengan pertanyaan Jibril dan memahami segala apa yang
baru saja terjadi pada dirinya., Ia terburu-buru untuk mengambil suatu
keputusan atas ke-aku-annya..
Jibril kembali berkata kepada Nabi Musa,“ Wahai Nabi ALLAH sesungguhnya
ALLAH mempunyai seorang hamba yang berada di Majma‘al Bahrain yang Ia
lebih alim daripada kamu.“
Mendengar Jibril memberitakan seseorang yang melebihi alim dari dirinya Nabi
Musa pun mulai merasakan perasaan gelisah di batinnya, Ia pun merasakan
dirinya kecil dan tak berarti. Nabi Musa pun rindu untuk menambah ilmu, lalu
timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui seorang hamba
alim yang diberitakan oleh Jibril.
Lalu Nabi Musa bertanya kepada Jibril,“ Wahai Jibril di manakah aku dapat
menemukan seorang hamba alim yang engkau beritakan itu“.
Jibril pun memberikan petunjuk kepada Nabi Musa atas perintah ALLAH, “
Wahai Musa pergilah dengan membawa ikan di keranjang, ketika ikan itu hidup
dan melompat ke lautan maka di tempat itulah engkau akan menemukan
hamba ALLAH yang alim itu“.
Hikayat tentang seorang hamba, yang ALLAH memberikan rahmat dari sisi-Nya
dan mengajarkan ilmu ALLAH, Kisah Nabi Musa yang terdapat dalam surat
Al-Kahfi.
‫ح َح َّت ٰ ٓى َأ ْبلُ َغ َم ْج َم َع ٱ ْل َب ْح َر ْي ِن َأ ْو َأ ْمضِ َى ُحقُ ًبا‬
ُ ‫وس ٰى لِ َف َت ٰى ُه ٓاَل َأ ْب َر‬
َ ‫َوِإ ْذ َقال َ ُم‬
“ Wa iż qāla mụsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluga majma'al-baḥraini au amḍiya
Ḥuqubā“. (QS. Al-Kahfi : 60)

Artinya, Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: " Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku
akan berjalan sampai bertahun-tahun“.

Nabi Musa pun memutuskan untuk pergi mencari seorang hamba alim itu
dengan ditemani muridnya yang masih muda. Tempat yang mereka cari itu
adalah sangat samar dikarenakan berkaitan dengan ikan yang dibawanya,
namun Nabi Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim itu
walaupun ia harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang
bertahun-tahun lamanya.
Nabi Musa berkata kepada muridnya,“ Aku tidak memberimu tugas apa pun
kecuali engkau memberi tahu ku di mana ikan itu akan berpisah denganmu“.
Tibalah Nabi Musa dan muridnya sampai di sebuah batu besar di sisi laut
tempat mereka beristirahat sejenak melepas lelah, Nabi Musa tidak kuat lagi
menahan rasa kantuk sedangkan muridnya masih terjaga dan tanpa disadari
ikan yang dibawa bergerak melompat ke laut, Melompat nya ikan tersebut
menjadi tanda yang diberikan ALLAH kepada Nabi Musa tentang tempat
pertemuannya dengan seorang hamba yang alim di mana Nabi Musa datang
untuk menimba ilmu kepadanya. Nabi Musa terbangun dari tidurnya dan tidak
mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan
muridnya lupa untuk menceritakan juga memberitahu peristiwa itu kepada Nabi
Musa. Syaitan telah melalaikan murid Nabi Musa untuk memberi tahu peristiwa
yang terjadi dengan membuat lupa si murid sampai perjalanan mereka sudah
jauh dari tempat peristiwa itu.

َ ‫َف َل َّما َب َل َغا َم ْج َم َع َب ْي ِن ِه َما َنسِ َيا ُحو َت ُه َما َفٱ َّت َخ َذ‬
َ ‫س ِبي َل ُهۥ فِى ٱ ْل َب ْح ِر‬
‫س َر ًبا‬

“ Fa lammā balagā majma'a bainihimā nasiyā ḥụtahumā fattakhaża sabīlahụ


fil-baḥri sarabā“. (QS. Al-Kahfi : 61)

Artinya, Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka
lalai akan ikan nya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

Karena kelalaian murid Nabi Musa meminta maaf, Keajaiban yang terjadi ikan
mati yang dibawanya hidup kembali berjalan dan bergerak ke lautan dengan
suatu cara yang menakjubkan, Nabi Musa merasa gembira mendengar ikan itu
hidup kembali di lautan sambil berkata kepada muridnya: “ Demikianlah yang
kita inginkan ”.
Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya ALLAH akan
menyebutkan-Nya, namun Al-Qur’an sengaja menyembunyikan tempat itu,
sebagaimana Al-Qur‘an tidak menyebutkan kapan kejadian itu terjadi. Kisah
tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki dan penuh
dengan hikmah, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan
sebab-sebab tertentu dan masuk akal secara umum. Sekarang kita berhadapan
dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar, Ilmu yang diselimuti oleh
untaian tabir yang sangat tebal dalam peristiwa yang diceritakan ini. Nabi Musa
adalah seorang nabi yang diajak berbicara langsung oleh ALLAH tanpa
perantara dan ia salah seorang Ulul Azmi dari para rasul, nabi yang menerima
kitab Taurat yang diturunkannya kitab itu tanpa melalui perantara. Namun
dalam kisah yang diceritakan ini Nabi Musa menjadi seorang pencari (salik)
ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan
penderitaan di dalam perjalanan belajar menimba ilmu kepada gurunya,
Siapakah gurunya beliau ? Gurunya adalah seorang hamba ALLAH yang tidak
disebutkan namanya dalam Al-Qur’an, Namun di dalam hadist nama itu
disebutkan bahwa ia adalah Khidir AS. Dalam hadist dari Abu Hurairah
Radhiyallahu‘anhu, Rasullullah Shallallahu‘alaihi Wa Sallam bersabda :

‫اء‬ ْ ‫ َفِإ َذا ه َِي َت ْه َت ُّز مِنْ َخ ْلفِ ِه َخ‬،‫اء‬


َ ‫ض َر‬ َ ‫ض‬ َ ‫الخضِ َر َأ َّن ُه َج َل‬
َ ‫س َع َلى َف ْر َو ٍة َب ْي‬ َ ‫س ِّم َي‬
ُ ‫ِإ َّن َما‬

Artinya, Beliau dinamai Khidr karena beliau duduk di atas tanah putih, tiba-tiba
berguncang di belakang beliau berwarna hijau.” (HR. Bukhari 3402, Turmudzi
3151, dan Ibnu Hibban 6222).

Setelah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir, Mula-mula Nabi Khidir
menolak ditemani Nabi Musa untuk melanjutkan perjalanannya karena khawatir
Nabi Musa tidak akan mampu bersabar bersamanya. Namun akhirnya, Nabi
Khidir mau ditemani Nabi Musa dengan syarat Nabi Musa tidak bertanya
tentang apa yang dilakukan Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir menceritakan
kepadanya. Kisah pertemuan dan sampai Nabi Khidir memberikan syarat
kepada Nabi Musa, ini tercantum di dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 65-70.

‫َف َو َجدَ ا َع ْبدًا ِّمنْ عِ َبا ِد َنٓا َءا َت ْي ٰ َن ُه َر ْح َم ًة ِّمنْ عِ ن ِد َنا َو َع َّل ْم ٰ َن ُه مِن َّل ُد َّنا عِ ْل ًما‬

“Fa wajadā 'abdam min 'ibādinā ātaināhu raḥmatam min 'indinā wa 'allamnāhu
mil ladunnā 'ilmā”. (QS. Al-Kahfi : 65)

Artinya, Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba


Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

ْ ‫وس ٰى َهلْ َأ َّت ِب ُع َك َع َل ٰ ٓى َأن ُت َع ِّل َم ِن ِم َّما ُع ِّل ْم َت ُر‬


‫شدًا‬ َ ‫َقال َ َل ُهۥ ُم‬
“Qāla lahụ mụsā hal attabi'uka 'alā an tu'allimani mimmā 'ullimta rusydā”.
(QS. Al- Kahfi : 66)
Artinya, Musa berkata : "Bolehkah aku mengikuti mu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?".

َ ‫ِى‬
‫ص ْب ًرا‬ َ ِ‫َقال َ ِإ َّن َك َلن َت ْس َتط‬
َ ‫يع َمع‬
“Qāla innaka lan tastaṭī'a ma'iya ṣabrā”.(QS. Al-Kahfi : 67)

Artinya, Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup


sabar bersama aku.”

‫ص ِب ُر َع َل ٰى َما َل ْم ُتح ِْط ِبهِۦ ُخ ْب ًرا‬


ْ ‫ف َت‬
َ ‫َو َك ْي‬
“Wa kaifa taṣbiru 'alā mā lam tuḥiṭ bihī khubrā”. (QS. Al-Kahfi : 68)

Artinya, “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?".

‫اب ًرا َوٓاَل َأ ْعصِ ى َل َك َأ ْم ًرا‬


ِ ‫ص‬َ ُ ‫ٓاء ٱهَّلل‬
َ ‫ش‬ َ َ ‫َقال‬
َ ‫س َت ِج ُدن ِٓى ِإن‬

“Qāla satajidunī in syā`allāhu ṣābiraw wa lā a'ṣī laka amrā”. (QS. Al-Kahfi : 69)

Artinya, Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang
yang sabar, dan aku tidak akan menentang mu dalam sesuatu urusan pun".

َ ‫ش ْى ٍء َح َّت ٰ ٓى ُأ ْحد‬
‫ِث َل َك ِم ْن ُه ذ ِْك ًرا‬ َ ‫َقال َ َفِإ ِن ٱ َّت َب ْع َتنِى َفاَل َت ْسـَٔ ْلنِى َعن‬

“Qāla fa inittaba'tanī fa lā tas`alnī 'an syai`in ḥattā uḥdiṡa laka min-hu żikrā”.
(QS. Al-Kahfi : 70)

Artinya, Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu


menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu".

Pada dialog antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang tertulis di dalam surat
Al-Kahfi ayat 65-70, Merupakan syarat adab yang diberikan seorang guru
terhadap muridnya atau seorang salik terhadap guru Mursyid nya. Seperti di
dalam kisah Nabi Musa menyanggupkan syarat yang diajukan oleh Nabi Khidir
untuk menuntut ilmu kepadanya seperti tercantum di surat Al-Kahfi ayat 69
bahwasanya Nabi Musa berjanji akan sabar dan tidak akan menentang dalam
sesuatu urusan pun. Walaupun Nabi Musa adalah seorang rasul yang
membawa risalah ALLAH, Tetapi pada saat Nabi Musa menuntut ilmu kepada
Nabi Khidir dan mau mengikuti perjalanan yang akan ditempuh nya, Beliau juga
menyanggupkan adab-adab yang diberikan Nabi Khidir kepadanya walau
beliau adalah seorang rasul yang dapat berbicara langsung dengan ALLAH
tanpa perantara. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir menjadi pembelajaran yang
berharga untuk para salik secara khusus dan kepada umat islam secara umum,
mutiara-mutiara hikmah yang terkandung di dalam kisah ini pun syarat penuh
dengan makna, makna yang sangat dalam dan penuh khidmat untuk diuraikan
dalam merenungkan pemikiran yang sangat luas dan penuh dengan kontradiksi
yang saling bertentangan di dalam pemikiran apabila tidak dilandasi Iman yang
berpegang kepada Al-Qur‘an dan Sunnah yang sudah sampai kepada kita saat
ini. Seorang salik harus tuntas dalam menimba ilmu kepada guru Mursyid,
makruh bagi seorang salik meninggalkan guru Mursyid nya sebelum mata
hatinya terbuka, jadi haruslah ia bersabar dan berkhidmat kepada guru Mursyid
serta menerima segala suruhan dan larangan nya.

Ulama Sufi berkata :


● “Jika tidak beradab menerima perintah dan didikan guru Mursyid maka
seseorang itu takkan bisa dapat beradab dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
● “Tanda murid (salik) sejati adalah ia mendengar dan taat kepada petunjuk
jalan dari guru Mursyid nya”.
● “Jika engkau melihat seorang murid masih lekat dengan syahwat dan
mementingkan dirinya sendiri, maka inilah pembohong, dan jika engkau
melihat pembicara makrifat tetapi akhlak dan yang dibicarakan dalam
kajiannya juga berbeda, maka ini juga pembohong”.

v
ADAB BATIN

Memahami kembali perihal adab, kata adab berasal dari bahasa arab yaitu
aduba, ya‘dabu, adaban. Yang mempunyai arti bersopan santun, kata adab ini
tidak sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang sering digunakan
adalah kata akhlak. Salik yang mendalami ilmu tasawuf harus memiliki akhlak
diantara berikut : lemah lembut, tawadhu, memberi nasihat, berbelas kasihan
terhadap orang lain, merasakan susahnya orang lain, mengutamakan orang
lain, khidmat, menampakkan wajah ceria, murah hati, kesatria, berani
berkorban untuk kebenaran, menjaga martabat, kasih sayang, memberi tanpa
mengharap balasan, memberi ma’af (pema’af), tidak pendendam, bersahaja,
tenang, memuji pada tempatnya, berbaik sangka, tidak menyombongkan diri,
memuliakan saudara dan mengagungkan para Guru, mendoakan kebaikan
tanpa melihat kecil dan besar, melupakan kebaikan yang dilakukan untuk orang
lain dan mengingat kebaikan orang lain yang diberikan kepadanya, tulus dalam
perbuatan. Sahl Bin Abdullah² telah ditanya mengenai akhlak, beliau menjawab
:“Akhlak yang paling rendah ialah sanggup menanggung kesusahan orang lain,
meninggalkan balasan dari kebaikan yang dilakukan, mengasihani orang yang
berbuat zalim serta mendoakannya”. Inilah akhlak sufi sejati, bukan seperti
golongan yang mengaku-aku dirinya sufi tapi tidak memiliki akhlak sufi yang
sebenar-benarnya dan tidak mengejawantahkan akhlak sufi yang sejati, hanya
kamuflase untuk mencari pembenaran dalam perbuatan dan jauh dari
kebenaran yang hakiki. Satu hari Abu Yazid Al-Busthami³ mengajak temannya
:“Wahai teman. Mari kita pergi kepada si fulan yang mempromosikan
kezuhudan dirinya”. Ketika sudah hampir mereka mendapati orang yang dicari
sedang keluar dari rumah mau menuju ke masjid. Dari jauh Abu Yazid
memerhatikan orang tersebut meludah ke arah kiblat. Beliau terus berkata
kepada temannya :“Orang ini satu dari sekian banyak adab syariat pun tidak
dijaga, lalu apakah dakwa dirinya mencapai maqam kewalian itu terjamin
kebenarannya?”Abu Yazid berbalik pulang dan tidak menyapa lelaki yang
dicarinya itu.

Dapat kita simpul kan kisah di atas yang di ceritakan oleh Abu Yazid
Al-Busthami bahwasanya adab seseorang bisa terlihat dari akhlaknya dan
akhlak syariat dapat menggambarkan juga adab batinnya, Adab batin tidak
terlihat tetapi dapat terlihat pada adab-adab syariat atau zahir nya. Adab batin
ialah menjaga hal-hal yang terpuji lagi mulia, menepis segala lintasan batin
yang buruk dan keji, merenung karunia ALLAH dan segala nikmat dari-Nya
serta segala keajaiban ciptaan-Nya. ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman :

‫ض َر َّب َنا َما‬ ِ ‫ت َوٱَأْل ْر‬ ِ ‫ٱلس ٰ َم ٰ َو‬ ِ ‫ٱ َّلذِينَ َي ْذ ُك ُرونَ ٱهَّلل َ قِ ٰ َي ًما َوقُ ُعودًا َو َع َل ٰى ُج ُن‬
َّ ‫وب ِه ْم َو َي َت َف َّك ُرونَ فِى َخ ْل ِق‬
ٰ
ُ ‫َخ َل ْق َت َه َذا ٰ َبطِ اًل‬
َ ‫س ْب ٰ َح َن َك َفقِ َنا َع َذ‬
ِ ‫اب ٱل َّن‬
‫ار‬

“Allażīna yażkurụnallāha qiyāmaw wa qu'ụdaw wa 'alā junụbihim wa


yatafakkarụna fī khalqis-samāwāti wal-arḍ, rabbanā mā khalaqta hāżā bāṭilā,
sub-ḥānaka fa qinā 'ażāban-nār”.(QS. Ali-Imran : 191)

Artinya, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.

Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam kondisi


apa pun. Baik dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring. Dan mereka
juga senantiasa menggunakan akal pikiran mereka untuk memikirkan
penciptaan langit dan bumi. Mereka pun berkata, “Wahai Rabb, Engkau tidak
menciptakan makhluk yang sangat besar ini untuk bersenda gurau. Mahasuci
Engkau dari senda gurau. Maka jauhkanlah kami dari azab Neraka.
Adab batin kepada guru Mursyid :

1. Berserah diri kepada guru Mursyid serta taat atas semua suruhan dan
nasihatnya. Makna berserah diri bukan membuta dan tuli tapi sebelum
berserah diri untuk ditarbiyah, terlebih dahulu murid (salik) memperhatikan
hal ihwal guru Mursyid yang ingin diikuti, kembali mengingat murid (salik)
seperti pesakit mencari guru yang di ibaratkan seorang dokter ahli untuk
tujuan penyembuhan dari sakit.
ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman :

ِّ َ ‫س ْل َنا مِن َق ْبلِ َك ِإاَّل ِر َجااًل ُّنوح ِٓى ِإ َل ْي ِه ْم ۚ َف ْسـَٔلُ ٓو ۟ا َأهْ ل‬


َ‫ٱلذ ْك ِر ِإن ُكن ُت ْم اَل َت ْع َل ُمون‬ َ ‫َو َمٓا َأ ْر‬
“Wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim fas`alū ahlaż-żikri ing
kuntum lā ta'lamụn”. (QS. An-Nahl : 43)

Artinya, Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Apabila sudah bertemu, berilah kepercayaan penuh kepada guru Mursyid


seperti kita percayakan kepada seorang dokter ahli yang akan mengobati diri
kita dengan membuat diagnosa, merawat, dan memberi obat-obatan yang
sesuai dengan penyakit kita. Seorang dokter ahli akan bertanggung jawab
penuh akan kesembuhan dari pasien yang ditanganinya, begitu pun seorang
guru Mursyid akan bertanggung jawab penuh terhadap murid-muridnya.

2. Menghormati guru Mursyid secara zahir dan batin.

² - Sahl Bin Abdullah At-Tustari adalah Ulama besar Sufi, wafat tahun 283 H.
³ - Abu Yazid Thayfur bin Isa Al-Busthami. Tokoh sufi terkenal berasal dari daerah Bustham,
Satu kawasan yang terletak antara Khurasan dan Iraq, wafat tahun 238 H.

3. Tidak membantah guru Mursyid berkenaan kaidah-kaidah tarbiyah yang


diberikan, karena guru Mursyid berijtihad berdasarkan ilmu, kepakaran, dan
pengalaman.

4. Janganlah sampai niat itikad kepada guru Mursyid adalah maksum⁴.

5. Harus yakin bahwa guru Mursyid nya adalah kamil dan mempunyai keahlian
sempurna mentarbiyah dan memberi irsyad⁵.
6.
Penjelasan mengenai adab 2 hingga 5:
Setelah diyakini kepakaran guru Mursyid, hendaklah murid (salik)
bersedia menghormati dan mengikuti arahan nya. Ini dilakukan atas dasar
kita percaya kepakarannya dalam hal ihwal tarbiyah, bukan taklid buta atau pun
bukan atas dasar fanatik sehingga menganggap guru Mursyid nya maksum
seperti para Nabi dan Rasul Alaihis Salam.
Imam Ibnu Hajar Al-Haithami juga mengatakan:
“Berapa banyak jiwa yang tidak mendapat taufiq dan hidayah karena apabila
melihat gurunya tegas dalam mentarbiyah, dia lari dari padanya. Selepas itu
dia melontarkan pelbagai keburukan dan kekurangan guru tersebut
sedangkan guru tersebut itu tidak seperti apa yang ia katakan, Jangan
terperdaya dan taat kepada nafsu karena tidak taat kepada guru”.

7. Jujur dan Ikhlas, dalam bersuhbah dengan guru Mursyid.

8. Menghormati serta menjaga kehormatan guru Mursyid baik di saat beliau ada
mau pun pada saat beliau tidak ada.
9. Hendaklah mengasihi guru Mursyid dengan mahabbah yang benar dan sejati
tanpa mengurangkan kedudukan guru Mursyid yang lain.
⁴ -Maksum adalah terpelihara dari dosa-dosa.
⁵ -Irsyad adalah petunjuk.

10. Jangan berprasangka buruk terhadap guru Mursyid.

Berprasangka buruk perlu dijauhi sesama muslim apalagi terhadap guru kita
yang membimbing secara rohani. ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman :

‫ض ُكم‬ُ ‫وا َواَل َي ْغ َتب َّب ْع‬ ۟ ‫س‬ ُ ‫س‬ َّ ‫ٱلظنِّ ِإ ْث ٌم ۖ َواَل َت َج‬
َّ ‫ض‬ َ ‫ٱلظنِّ ِإنَّ َب ْع‬ َّ َ‫ِيرا ِّمن‬ ً ‫وا َكث‬ ۟ ‫ٱج َت ِن ُب‬
ْ ‫وا‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
‫اب َّرحِي ٌم‬ ٌ ‫وا ٱهَّلل َ ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ َت َّو‬۟ ُ‫ِب َأ َح ُد ُك ْم َأن َيْأ ُكل َ َل ْح َم َأخِي ِه َم ْي ًتا َف َك ِرهْ ُت ُموهُ ۚ َوٱ َّتق‬ ُّ ‫ضا ۚ َأ ُيح‬
ً ‫َب ْع‬
“Yā ayyuhallażīna āmanujtanibụ kaṡīram minaẓ-ẓanni inna ba'ḍaẓ-ẓanni
iṡmuw wa lā tajassasụ wa lā yagtab ba'ḍukum ba'ḍā, a yuḥibbu aḥadukum
ay ya`kula laḥma akhīhi maitan fa karihtumụh, wattaqullāh, innallāha
tawwābur raḥīm”. (QS. Al-Hujurat : 12)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka


(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing kan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha penerima
tobat lagi Maha Penyayang.

ALLAH melarang banyak berprasangka tidak baik terhadap orang-orang


Mukmin, karena “sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”,
seperti pra duga yang jauh dari kenyataan dan tidak ada indikasi nya, seperti
juga prasangka buruk yang diikuti dengan perkataan dan perbuatan yang
diharamkan. Prasangka buruk yang tetap berada di hati seseorang tidak
hanya cukup sampai di situ saja bagi yang bersangkutan, bahkan akan
mendorongnya untuk mengatakan yang tidak seharusnya dan mengerjakan
yang tidak sepatutnya yang di dalam hal itu juga tercakup berburuk sangka,
membenci dan memusuhi saudara sesama Mukmin yang seharusnya tidak
demikian”. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”yakni,
janganlah kalian mengorek kesalahan kaum Muslimin dan jangan
mencari-cari nya, biarkan orang Muslim tetap berada pada kondisi nya
sendiri dan gunakan lah cara melalaikan keliruannya yang jika di kuak akan
Nampak sesuatu yang tidak sepatutnya.“Dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain,”Ghibah itu sebagaimana sabda Nabi
adalah "engkau menyebutkan saudaramu tentang sesuatu yang dia tidak
sukai walaupun hal tersebut benar-benar terjadi" HR. Muslim No. 2589
Selanjutnya ALLAH menyebutkan perumpamaan agar kita menjauhi ghibah
seraya berfirman, “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Ghibah itu laksana memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang
sangat tidak disukai oleh jiwa karena ghibah yang dilakukan. Karena kalian
tidak ingin memakan daging saudara sendiri khususnya yang sudah tidak
ada nyawanya, maka hendaklah kalian jangan melakukan ghibah dan
memakan dagingnya hidup-hidup.“Dan bertakwalah kepada ALLAH.
Sesungguhnya ALLAH Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. “Maha
Penerima Tobat, yakni yang memberi izin hamba-Nya untuk bertobat dan
diberi pertolongan untuk bertobat kemudian tobat nya diterima, Maha
Penyayang terhadap hamba-hamba Nya karena diserukan kepada sesuatu
yang membawa manfaat bagi mereka serta menerima tobat mereka. Di
dalam ayat ini terdapat peringatan keras dari melakukan ghibah, karena
ghibah tergolong dosa besar di mana ALLAH menyamakannya dengan
memakan daging bangkai, yang mana memakan bangkai adalah termasuk
dosa besar.

11. Tidak berpaling dari guru Mursyid nya kepada guru Mursyid yang lain. Murid
(salik) seharusnya tidak mempunyai lebih dari satu guru Mursyid dalam satu
masa yang sama. Jika ingin bertukar guru Mursyid atau mendapat tarbiyah
dari guru Mursyid yang lain maka hendaklah terlebih dahulu memohon izin
kepada guru Mursyid nya.
Kita jangan salah paham apabila membaca sejarah para wali terdahulu yang
bersuhbah dengan puluhan mungkin ratusan guru Mursyid, sehingga timbul
keinginan untuk meniru mereka tanpa ilmu. Perlu kita ingat apabila
menerima tarbiyah rohani ini ibarat masuk ke sesuatu institusi pendidikan,
apabila mencapai tahap tertentu, di iktiraf guru barulah boleh mencari guru
Mursyid yang lain dengan seizinnya atau pun dengan arahan guru Mursyid
nya. Begitulah yang berlaku semenjak dahulu mau pun sekarang dari satu
aspek yang lain. Para tokoh-tokoh sufi ini telah mendapat pendidikan
sempurna dan mencapai tahap yang di iktiraf barulah guru Mursyid mereka
mengizinkan untuk bersuhbah dengan guru yang lain. Kesimpulan dan
hal-hal yang perlu kita ingat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Elemen terpenting dalam mempelajari ilmu tasawuf adalah Adab. Para


Anbiya, Imam-imam, dan Salafus saleh sangat menekankan perihal adab.
2. Adab membawa pengertian akhlak, etika, kelakuan yang baik, dan
kesopanan. Jadi bila disebut adab murid bisa diartikan sebagai etika /akhlak
seorang murid atau kelakuan yang baik seorang murid atau kesopanan
seorang murid.
3. Adab juga terbagi dua yaitu adab zahir dan adab batin, kedua adab ini perlu
diperhatikan juga diamalkan oleh setiap murid.
4. Adab dalam tasawuf ada pelbagai, semuanya harus dipatuhi. Ada adab
kepada ALLAH dan Rasul-Nya, Adab para guru Mursyid, Adab murid (salik)
kepada guru Mursyid, Adab sesama murid (salik), Adab terhadap diri murid
(salik) sendiri.
5. Mendalami dan memahami tasawwuf membantu kita menegakkan satu lagi
tiang agama yaitu Ikhsan.
6. Tidak meninggalkan ilmu setelah mendapatkan ilmu dari guru Mursyid.
7. Perlu berguru atau pembimbing dalam menuntut ilmu kerohanian.
8. Memerhatikan kriteria guru Mursyid sebelum berserah diri menjadi murid
untuk menerima bimbingan dan pelajaran rohani.

IV. MEMAHAMI DIRI

Asal diri, Segala sesuatu memiliki asal usul begitu pun diri sendiri juga memiliki
asal usulnya. Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri suatu pertanyaan di
manakah kita berada sebelum kita berada di rahim Ibu kita, di alam manakah
kita berada, apakah kita berada di surga ?, Begitu banyak pertanyaan perihal
sebelum kita lahir ke dunia ini mau pun sebelum kita berada di rahim ibu,
namun belum ada satu pun yang bisa dijawab oleh diri kita sendiri. Kisah Nabi
Adam AS yang diciptakan langsung oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla, Beliau
diciptakan tanpa seorang ayah dan ibu. Bermula diciptakan dari tanah,
diproses dari tanah liat, kemudian diproses lagi hingga diciptakan menjadi
manusia sempurna. Proses penciptaan manusia pertama ini memakan waktu
120 tahun. Menurut keterangan ulama lainnya, tubuh Nabi Adam diselubungi
dalam waktu 120 tahun yaitu 40 tahun di tanah yang kering, 40 tahun di tanah
yang basah, dan 40 tahun di tanah yang hitam dan berbau. Dari situ,
ALLAH‘Azza Wa Jalla mengubah tubuh Nabi Adam dengan rupa kemuliaan
dan tertutuplah dari rupa hakikatnya. Sebelum menciptakan Nabi Adam,
ALLAH‘Azza Wa Jalla terlebih dahulu mengabarkan kepada para Malaikat-Nya
bahwasanya akan menciptakan manusia di muka bumi. Mendengar ini para
para Malaikat bertanya kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla tentang hikmah
penciptaan manusia di muka bumi, padahal para Malaikat terus menerus
beribadah dengan memuji dan bertasbih kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla tanpa
henti dan tidak pernah berbuat durhaka kepada-Nya, sementara manusia ada
kemungkinan akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi.
Lalu ALLAH‘Azza Wa Jalla menjawab kepada para Malaikat bahwa DIA lebih
mengetahui tentang apa-apa yang tidak diketahui oleh para Malaikat tentang
penciptaan Adam. Perkataan para Malaikat tentang kerusakan dan
pertumpahan darah yang akan dilakukan manusia di muka bumi berdasarkan
apa yang pernah dilakukan jin di muka bumi sebelum Adam Alaihis Salam
diciptakan. Para jin juga membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka
bumi juga banyak yang durhaka kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, lalu ALLAH
berfirman :
ٓ
َ ‫ض َخلِي َف ًة ۖ َقالُ ٓو ۟ا َأ َت ْج َعل ُ فِي َها َمن ُي ْفسِ ُد فِي َها َو َي ْسفِ ُك ٱلدِّ َم‬
‫ٓاء‬ ِ ‫َوِإ ْذ َقال َ َر ُّب َك لِ ْل َم ٰ َلِئ َك ِة ِإ ِّنى َجاعِ ل ٌ فِى ٱَأْل ْر‬
َ‫س َل َك ۖ َقال َ ِإ ِّن ٓى َأ ْع َل ُم َما اَل َت ْع َل ُمون‬
ُ ِّ‫س ِّب ُح ِب َح ْم ِد َك َو ُن َقد‬
َ ‫َو َن ْحنُ ُن‬
“Wa iż qāla rabbuka lil-malā`ikati innī jā'ilun fil-arḍi khalīfah, qālū a taj'alu fīhā
may yufsidu fīhā wa yasfikud-dimā`, wa naḥnu nusabbiḥu biḥamdika wa
nuqaddisu lak, qāla innī a'lamu mā lā ta'lamụn”. (QS. Al-Baqarah : 30)
Artinya, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".
ALLAH‘Azza Wa Jalla menciptakan Adam Alaihis Sallam dari satu genggam
tanah yang diambil dari seluruh permukaan tanah, maka lahirlah anak Adam
yang sesuai dengan asal tanahnya. Diantara mereka ada yang berkulit putih,
merah, hitam, dan perpaduan antara warna tersebut seperti kulit berwarna
coklat atau sawo matang seperti di Negara kita ini yaitu Indonesia. Diantara
mereka ada yang bersifat lembut dan kasar serta perpaduan antara keduanya
serta di antara mereka ada yang baik dan jahat. Nabi Adam Alaihis Sallam
adalah Bapak dan nenek moyang dari seluruh manusia di muka bumi ini, dan
ALLAH‘Azza Wa Jalla menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi ini walau
hal ini sudah diketahui oleh para Malaikat bahwa manusia akan membuat
kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi seperti yang terjadi
sepanjang zaman dari dahulu sampai sekarang peperangan antar manusia
selalu terjadi dengan berbagai macam alasan untuk berperang dan saling
menghancurkan satu dan lainnya. Seharusnya manusia menjauhkan diri dari
menganiaya sesamanya yaitu sesama hamba ALLAH‘Azza Wa Jalla,
Kezaliman itu akan membawa suasana yang gelap gulita kelak di hari
kemudian. Oleh karena itu kita tidak boleh memperkosa hak orang lain, segala
milik orang lain itu harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Janji harus
ditepati, undangan harus didatangi, bantuan yang di pinta harus diberi, segala
hak manusia harus dipenuhi sebagaimana memenuhi hajat saudara sendiri
atau hajat diri sendiri. Ambillah yang bermanfaat dan jauhilah apa yang dapat
membawa fitnah dan mudarat, memang ALLAH‘Azza Wa Jalla menjadikan
fitnah untuk menguji kita, barang siapa yang lulus diantaranya dengan ujian
anak dan istri, ujian amanah untuk jabatan dan kedudukan, ujian harta dan
benda. Berlakulah bijaksana dalam menjauhi fitnah-fitnah itu dan jika engkau
mendapatkan nikmat bersyukurlah kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, lihatlah
bahwa Nabi Muhammad SAW bersyukur sehingga kakinya bengkak-bengkak
dalam melakukan sujud kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Tatkala Nabi
Muhammad SAW ditanya mengapa Ia berbuat demikian, sedang Ia adalah
Nabi yang sudah diampuni dosanya sebelum dan sesudahnya. Lalu Nabi
Muhammad SAW menjawab:“Apakah tidak baik aku ini menjadi seorang
hamba yang bersyukur”. Hindarkan lah kecintaan kepada dunia atau
kemelekatan kepada dunia karena hal itu akan membuat kita lupa dan jauh
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Nabi Muhammad SAW berkata: “Barang siapa
yang mengenal akan dirinya, ia pasti akan mengenal Tuhannya”. Dan juga
kembali mengingat wasiat Ibn‘Arabi: “Hendaklah engkau pergunakan ilmu
pengetahuan dalam segala gerak dan diam mu, Orang yang baik dan
sempurna ialah orang yang mempergunakan ilmunya”. Nabi Muhammad SAW
memberikan pujian terhadap orang yang mempergunakan ilmu dalam segala
amalannya, Diantara ilmu yang baik ialah ilmu mengenai Tuhan dan ilmu yang
dianggap bermanfaat oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla pada hari kemudian. Maka
oleh karena itu engkau harus berusaha menjadi ulama yang beramal dan
ulama yang memberi petunjuk dengan ilmu.

vi
KEMULIAAN ADAM AS

Setelah Adam Alaihis Sallam diciptakan, ALLAH‘Azza Wa Jalla memberi


perintah kepada para Malaikat dan Jin untuk sujud kepada Adam Alaihis
Sallam seperti tertulis di dalam firman:

ٓ
َ‫ٱس َت ْك َب َر َو َكانَ مِنَ ٱ ْل ٰ َكف ِِرين‬ َ ‫س َجد ُٓو ۟ا ِإٓاَّل ِإ ْبل‬
ْ ‫ِيس َأ َب ٰى َو‬ ْ ‫َوِإ ْذ قُ ْل َنا لِ ْل َم ٰ َلِئ َك ِة‬
۟ ‫ٱس ُجد‬
َ ‫ُوا ِل َءادَ َم َف‬
“Wa iż qulnā lil-malā`ikatisjudụ li`ādama fa sajadū illā iblīs, abā wastakbara wa
kāna minal-kāfirīn”. (QS. Al-Baqarah : 34)

Artinya, Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Ini merupakan kemuliaan yang sangat agung yang ALLAH anugerahkan


kepada Adam Alaihis Sallam. Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah menyebut,
“ALLAH‘Azza Wa Jalla memerintahkan kepada para Malaikat yang saat itu
sedang bersama dengan Iblis, bukan kepada semua Malaikat yang ada di
langit,“Sujudlah kepada Adam!”Semua Malaikat sujud kepada Adam kecuali
Iblis, Dia tidak mau sujud dan menyombongkan diri. Iblis mengatakan,“Saya
tidak akan sujud kepadanya, Saya lebih baik daripada dia, Saya lebih tua dan
kuat. Engkau telah menciptakan aku dari api sementara Adam, Engkau
ciptakan dari tanah”. Iblis berpikir dan memandang bahwa api lebih kuat
daripada tanah, inilah awal dari permusuhan Iblis terhadap Bani Adam dan
merupakan permusuhan yang tidak akan pernah selesai sampai zaman
berakhir bahkan Iblis pun menjerumuskan keturunan Bani Adam untuk masuk
ke dalam neraka bersamanya dengan cara menggoda dengan bisikan-bisikan
nya yang menyesatkan kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang di
larang oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla untuk menjadi pembangkang seperti dirinya,
keluar dari ajaran-ajaran atau agama ALLAH dan menjadi durhaka kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla.

ALLAH‘Azza Wa Jalla mengingatkan kepada keturunan Adam Alaihis Sallam


seperti di dalam firman-Nya:

ۗ ‫س ْو ٰ َء ِت ِه َمٓا‬ ٰ َّ ‫ٰيبنِى ءادَ م اَل ي ْف ِت َن َّن ُكم ٱل‬


َ ‫اس ُه َما لِ ُي ِر َي ُه َما‬ ِ ‫ش ْي َطنُ َك َمٓا َأ ْخ َر َج َأ َب َو ْي ُكم ِّمنَ ٱ ْل َج َّن ِة َي‬
َ ‫نز ُع َع ْن ُه َما لِ َب‬ ُ َ َ َ ٓ ََ
ُ ِ ‫ْؤ‬
َ‫ٓاء للذِينَ ُي منون‬‫اَل‬ َّ ِ ِ ‫َأ‬ ِ‫ط‬ ٰ َّ ْ َّ َ َ ‫اَل‬ ُ ُ ُ
َ ‫ِإ َّنهۥ َي َرىك ْم ه َُو َوق ِبيلهۥ مِنْ َح ْيث ت َر ْون ُه ْم ۗ ِإنا َج َعلنا ٱلش َي ينَ ْول َي‬
َ َ ُ ٰ ُ

“Yā banī ādama lā yaftinannakumusy-syaiṭānu kamā akhraja abawaikum


minal-jannati yanzi'u 'an-humā libāsahumā liyuriyahumā sau`ātihimā, innahụ
yarākum huwa wa qabīluhụ min ḥaiṡu lā taraunahum, innā ja'alnasy-syayāṭīna
auliyā`a lillażīna lā yu`minụn.” (QS. Al-Araf : 27)

Artinya, Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu
dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan syaitan-syaitan itu menjadi pemimpin-pemimpin bagi
orang-orang yang tidak beriman.

Bentuk lain kemuliaan yang ALLAH‘Azza Wa Jalla anugerahkan kepada Adam


Alaihis Sallam adalah Dia diajarkan seluruh nama-nama benda, kemuliaan ini
yang ALLAH tampakkan di hadapan para Malaikat dan ALLAH mengajarkan
kepada Adam Alaihis Sallam nama-nama benda seluruhnya, kemudian ALLAH
mengemukakannya kepada para Malaikat dan berfirman : “Sebutkan lah
kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar!”.
Lalu para Malaikat menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami,
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”.
Para Malaikat tidak bisa mengetahui dan menyebutkan nama-nama benda
yang ditanyakan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla, lalu ALLAH memerintahkan
kepada Adam Alaihis Sallam untuk menyebutkan nama-nama benda itu
kepada para Malaikat seperti tertulis di dalam firman-Nya:

َّ ‫َقال َ ٰ َٓيـَٔادَ ُم َأ ۢن ِبْئ ُهم ِبَأ ْس َمٓاِئ ِه ْم ۖ َف َل َّمٓا َأ ۢن َبَأهُم ِبَأ ْس َمٓاِئ ِه ْم َقال َ َأ َل ْم َأقُل َّل ُك ْم ِإ ِّن ٓى َأ ْع َل ُم َغ ْي َب‬
ِ ‫ٱلس ٰ َم ٰ َو‬
‫ت‬
َ‫ض َوَأ ْع َل ُم َما ُت ْبدُونَ َو َما ُكن ُت ْم َت ْك ُت ُمون‬ ِ ‫َوٱَأْل ْر‬

“Qāla yā ādamu ambi`hum bi`asmā`ihim, fa lammā amba`ahum bi`asmā`ihim


qāla a lam aqul lakum innī a'lamu gaibas-samāwāti wal-arḍi wa a'lamu mā
tubdụna wa mā kuntum taktumụn.” (Al-Baqarah : 33)

Artinya, Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka


nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Ibnu Katsir rahimahullah memandang bahwa perintah sujud lebih dahulu


diberikan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla dibandingkan pengajaran kepada Adam
Alaihis Sallam akan nama-nama seluruh benda-benda, Namun penyebutan
nya di dahulukan sebelum ayat yang memerintahkan sujud kepada Adam
Alaihis Sallam, dikarenakan lebih sesuai dengan para Malaikat menanyakan
tentang hikmah penciptaan manusia di muka bumi.

Setelah para Malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Adam Alaihis Sallam,
ALLAH memberikan izin untuk tinggal di dalam surga. Untuk melengkapi
kebahagiaan Adam Alaihis Sallam, ALLAH‘Azza Wa Jalla menciptakan Hawa
sebagai istri Adam Alaihis Sallam yang diciptakan dari tulang rusuk Adam
Alaihis Sallam yang menemaninya di dalam surga, keduanya diperbolehkan
untuk menikmati semua kenikmatan yang ada di dalam surga, kecuali
memakan satu jenis buah. Jenis buah yang ter larang bagi Adam Alaihis
Sallam dan Hawa untuk mengkonsumsi nya tidak diketahui jenisnya, walaupun
sebagian Ulama menyebutkan beberapa jenis buah, tapi selama ALLAH‘Azza
Wa Jalla tidak menjelaskan nya maka memahami ayat tanpa menentukan
jenisnya lebih baik dan ALLAH‘Azza Wa Jalla lebih Maha mengetahui baik
yang zahir mau pun yang batin dan juga Maha bijaksana.

Perihal sujud kepada kepada Adam Alaihis Sallam yang diperintahkan


ALLAH‘Azza Wa Jalla kepada para Malaikat adalah merupakan bentuk dari
penghormatan, bukan sujud seperti di dalam shalat. Karena sujud yang seperti
di dalam shalat merupakan hak ALLAH‘Azza Wa Jalla yang tidak boleh
diberikan selain dari-Nya.

ALLAH‘Azza Wa Jalla juga memuliakan Adam Alaihis Sallam dengan


memperkenankannya untuk tinggal di surga bersama Hawa sebagai istrinya
yang juga diciptakan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla yang tertulis di dalam
firman_Nya.

َّ ‫ث شِ ْئ ُت َما َواَل َت ْق َر َبا ٰ َه ِذ ِه ٱل‬


‫ش َج َر َة َف َت ُكو َنا‬
َّٰ
ُ ‫نت َو َز ْو ُج َك ٱ ْل َج َّن َة َو ُكاَل ِم ْن َها َر َغدًا َح ْي‬ ْ ‫َوقُ ْل َنا ٰ َٓيـَٔادَ ُم‬
َ ‫ٱس ُكنْ َأ‬
َ‫مِنَ ٱلظلِمِين‬

“Wa qulnā yā ādamuskun anta wa zaujukal-jannata wa kulā min-hā ragadan


ḥaiṡu syi`tumā wa lā taqrabā hāżihisy-syajarata fa takụnā minaẓ-ẓālimīn.”(QS
Al-Baqarah : 35)

Artinya, Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diami lah oleh kamu dan istrimu
surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.

Adam Alaihis Sallam diciptakan langsung oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan


Tangan-Nya langsung. Berbentuk seperti bentuk kita yaitu manusia sekarang
ini : Berkepala, Berbadan, Bertangan, dan Berkaki. Lalu ALLAH‘Azza Wa Jalla
memberikan roh sehingga Adam Alaihis Sallam hidup, Adam Alaihis Sallam
menggerakkan kedua tangan dan kakinya, lalu Dia bersin (batuk) sehingga
bergerak sekujur badannya, terbuka matanya, bergerak jantung dan paru-paru
nya. Ketika Adam Alaihis Sallam ketika membuka kedua matanya Dia melihat
seluruh alam di sekitarnya, timbullah pengertian dan kesadaran dengan
mengucap: “Alhamdulillahi Rabbil Aalamin”(Segala puji bagi ALLAH yang
mengatur seluruh alam). Adam Alaihis Sallam dan turunannya diciptakan
menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana ALLAH‘Azza Wa Jalla
menciptakan dan menjadikan Malaikat sebagai khalifah di langit.

Apakah manusia purba lebih dahulu daripada Adam Alaihis Sallam? Teori
Darwin mengenai evolusi manusia, bukti-bukti ilmiah yang dahulu sering
diajukan oleh kalangan evolusionis, satu persatu terbantahkan dan semakin
hari semakin ter kuak fakta bahwa teori manusia purba adalah sebuah
kebohongan besar. Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosil pun
yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan kebohongan.
Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan
memasang kan tulang rahang orang utan (Pongo) pada tengkorak manusia.
Fosil ini telah membohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun. Kisahnya
pada tahun 1912 seorang palaentologi amatir bernama Charles Dawson
mengklaim bahwa dia telah menemukan sebuah tulang rahang dan fragmen
tengkorak di sebuah lubang dekat Piltdown, Inggris. Tulang itu mirip tulang
rahang hewan namun gigi dan tengkorak nya seperti milik manusia, spesimen
ini dinamakan manusia Piltdown dan diduga berumur 500.000 tahun. Namun
pada tahun 1953 hasil pengujian secara menyeluruh terhadap fosil tersebut
terbukti menunjukkan kepalsuan nya, tengkorak tersebut berasal dari manusia
yang hidup beberapa ribu tahun yang lalu, sedangkan tulang rahang nya
berasal dari bangkai orang utan (Pongo) yang baru terkubur beberapa tahun.
Gigi-giginya ditambahkan agar terlihat mirip manusia lalu persendiannya di
sumpal setelah itu seluruh fosil diwarnai dengan potasium dokromat agar
tampak kuno. Manusia purba tidak pernah ada, sebab teori evolusi juga tidak
pernah bisa dibuktikan dan ada keganjilan yang memaksa teori evolusi
termasuk manusia purba masuk ke dalam kurikulum pendidikan sekolah, kalau
kita menyodorkan ayat ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam Al-Qur’an dan hadist
Rasullulah SAW tentang manusia pertama besar kemungkinan para kalangan
teori evolusionis akan menentangnya dan mencari alibi atau dalih untuk
membuat penafsiran lain alias menentang dari kebenaran Al-Quran dan Hadist
Rasullulah SAW. Kecerdasan manusia merupakan lompatan besar dalam
sejarah bumi, bumi yang sebelumnya hanya dihuni oleh makhluk-makhluk
kelas bawah yaitu berupa hewan dan tumbuhan dan tidak pernah ada makhluk
asli bumi yang mengalami proses evolusi dari hewan lalu menjadi manusia
seperti yang diyakini oleh para kalangan teori evolusionis.
Nabi Adam Alaihis Sallam juga seorang manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan menjadi salah satu sempurna nya manusia adalah sifat
kealpaan, kalau seandainya Adam Alaihis Sallam tidak pernah turun ke bumi
maka kehidupan manusia di muka bumi ini mungkin tidak akan pernah ada,
Adam Alaihis Sallam tergoda oleh Iblis dengan mendekati pohon yang dilarang
ALLAH‘Azza Wa Jalla untuk didekati dan Adam Alaihis Sallam tidak kuat
menahan godaan Iblis dan akhirnya Ia bersama Hawa dikeluarkan dari surga.

‫ض َعد ٌُّو ۖ َو َل ُك ْم فِى‬ ٍ ‫ض ُك ْم لِ َب ْع‬ ۟ ‫ش ْي ٰ َطنُ َع ْن َها َفَأ ْخ َر َج ُه َما ِم َّما َكا َنا فِي ِه ۖ َوقُ ْل َنا ٱهْ ِب ُط‬
ُ ‫وا َب ْع‬ َّ ‫َفَأ َز َّل ُه َما ٱل‬
ٰ ِ ‫ٱَأْل ْر‬
ٍ ‫ض ُم ْس َت َق ٌّر َو َم َت ٌع ِإ َل ٰى ح‬
‫ِين‬

“Fa azallahumasy-syaiṭānu 'an-hā fa akhrajahumā mimmā kānā fīhi wa


qulnahbiṭụ ba'ḍukum liba'ḍin 'aduww, wa lakum fil-arḍi mustaqarruw wa
matā'un ilā ḥīn.” (Al-Baqarah : 36)

Artinya, Lalu keduanya di gelincir kan oleh syaitan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu!
sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat
kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".

Nabi Adam Alaihis Sallam dan Hawa pun tinggal di bumi, tak seperti
sebelumnya mereka berdua kini tinggal di bumi yang tidak sempurna, hanya
mengandung kesenangan sementara, dan sarat dengan hawa permusuhan
antar sesama. Keresahan para Malaikat bahwa manusia akan membuat
kerusakan di muka bumi dan juga saling menumpahkan darah, menjadi
bermakna. Terbukti sepanjang zaman sejarah manusia di muka bumi ini selalu
terjadi pertumpahan darah, permusuhan, saling menindas yang kuat menindas
yang lemah, penjajahan satu dan lain, perbudakan, bahkan menjual manusia.
Tetapi ALLAH‘Azza Wa Jalla selalu mengutus Rasul-Nya membawa risalah
untuk memerangi manusia-manusia yang dipengaruhi oleh Iblis di muka bumi
ini, juga yang membuat kerusakan-kerusakan serta durhaka kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Setelah peristiwa terjerumus oleh Iblis, Nabi Adam Alaihis Sallam menerima
petunjuk (kalimat) dari ALLAH‘Azza Wa Jalla, Lalu Adam Alaihis Sallam
bertobat dan memohon ampun.

ُ ‫اب َع َل ْي ِه ۚ ِإ َّن ُهۥ ه َُو ٱل َّت َّو‬


َّ ‫اب‬
‫ٱلرحِي ُم‬ ٍ ‫َف َت َل َّق ٰ ٓى َءادَ ُم مِن َّر ِّبهِۦ َكلِ ٰ َم‬
َ ‫ت َف َت‬
“Fa talaqqā ādamu mir rabbihī kalimātin fa tāba 'alaīh, innahụ
huwat-tawwābur-raḥīm”. (QS Al-Baqarah : 37)
Artinya, Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka
Allah menerima tobat nya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang.

Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durul Mantsur Fit Tafsiril Matsur


berdasarkan riwayat dari Ath-Thabrani dalam Al-Ausath memaparkan, ketika
Adam Alaihis Sallam diusir ke bumi lalu berdoa :

‫سَؤ ل ِْي َو َت ْع َل ُم َما ف ِْي َن ْفسِ ْي‬ ُ ‫اجت ِْي َفَأ ْعطِ ن ِْي‬
َ ‫ال ّل ُه ّم ِإ ّن َك َت ْع َل ُم سِ ِّر ْي َو َعاَل ِن َيت ِْي َفا ْق َبلْ َم ْعذ َِرت ِْي َو َت ْع َل ُم َح‬
‫صا ِد ًقا َح َّتى َأ ْع َل ُم َأ َّن ُه اَل ُيصِ ْي ُبن ِْي ِإاَّل َما‬
َ ‫ ال َّل ُه َّم ِإ ِّني َأ ْسَألُ َك ِإ ْي َما ًنا ُي َباشِ ُر َق ْل ِب ْي َو َيقِ ْي ًنا‬.‫اغف ِْرل ِْي َذ ْن ِب ْي‬
ْ ‫َف‬
‫س ْم َت لِي‬ َّ ‫َك َت ْب َت لِي َوَأ ْرضِ ن ِْي ِب َما َق‬
Artinya, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu apa yang tersembunyi dan tampak
dariku, karena itu terimalah penyesalan ku. Engkau tahu kebutuhanku, maka
kabulkanlah permintaanku. Engkau tahu apa yang ada dalam diriku, maka
ampunilah dosaku. Ya Allah sungguh aku memohon kepadaMu iman yang
menyentuh kalbu ku dan keyakinan yang benar sehingga aku tahu bahwa tidak
akan menimpa ku kecuali telah Engkau tetapkan atasku. Ya Allah berikanlah
rasa rela terhadap apa yang Engkau bagi untuk diriku.”

ALLAH‘Azza Wa Jalla menjawab doa Nabi Adam Alaihis Sallam,“Hai Adam,


Aku telah terima tobat mu dan telah Aku ampuni dosamu. Tidak ada seorang
pun di antara keturunanmu yang berdoa dengan doa seperti mu kecuali Aku
ampuni dosa-dosanya, Aku angkat kesedihan dan kesulitannya, Aku cabut
kefakiran dari dirinya, Aku niaga kan dia melebihi perniagaan semua saudagar,
Aku tunduk kan dunia di hadapannya meski pun dia tidak menghendakinya”.

Apa yang bisa kita petik dari peristiwa terakhir ini? Di luar ilmu pengetahuan,
manusia membutuhkan petunjuk Allah, ilham atau agama. Benar bahwa ilmu
itu penting dan menjadi pembeda antara makhluk yang bernama manusia dan
makhluk yang bernama hewan. Tapi, agama jauh lebih penting karena ia
menjadi jalan bagi setiap orang untuk berada di fitrah ketuhanan. Dengan ilmu
saja manusia masih bisa tersesat, bukankah peperangan yang terjadi yang
dapat menimbulkan dan mengorbankan banyak jutaan nyawa manusia,
kesewenang-wenangan kekuasaan, korupsi uang rakyat, perusakan alam, atau
sejenisnya justru berlangsung dan dikendalikan dengan ilmu? Bukankah
banyak pula kecanggihan teknologi sebagai produk kemajuan ilmu
pengetahuan melahirkan senjata pembunuh, mesin perusak, atau perangkat
memuaskan keserakahan manusia? Itulah sisi gelap ilmu pengetahuan, dan
hanya agama yang memuat nilai-nilai luhur akan meneranginya. Agama
memberikan garis yang jelas tak hanya tentang bagaimana menjadi hamba
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Tapi juga manusia memuliakan manusia lainnya
dan memuliakan alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan tentu bisa sangat
bermanfaat, tapi godaan nafsu, ego, keakuan, yang dimiliki manusia bisa
menjerumuskan ke arah hal-hal yang nista dan kedurhakaan kepada Sang
Pencipta alam semesta dan segala isinya.
vii
HIKMAH KISAH ADAM AS

Ke jamak kan Adam Alaihis Sallam sebagai insan kamil dengan tasybih total,
Adam Alaihis Sallam menghimpun kan ahadiah ke jamak kan rububiah dan
ketunggalan yaitu penzahiran kalimat insan Ilahi pada ke jamak kan ahadiah.
Ilah yaitu penzahiran ahadiah dan ke jamak kan Ilahi tidak benar tanpa sesuatu
yang mengenali Ilah. Tasybih diciptakan dari Aqal Kull, maka segala sesuatu
hanya tempat satu asma sehingga sampai kepada manusia. Adam Alaihis
Sallam adalah bapak manusia dan khatam surah segala tasybih, yaitu ke
jamak kan surah asma dalam Aqal Kull yang batin, zahir pada manusia dengan
Adam Alaihis Sallam. Karena Ilah terbenar pada zahir melaluinya, Adam
Alaihis Sallam di khas kan dengan hikmah Ilahi. Seperti kita ketahui mengenai
Basirah ada tiga jenis, Pertama Basirah Zat yaitu pada peringkat ta’ayun awal
dalam ahadiah asma di mana segala tasybih dan nisbah asma fana, hanya ada
ALLAH‘Azza Wa Jalla dan tidak dapat di per sekutu kan dengan segala
sesuatu. Basirah yang kedua yaitu Basirah Asma pada alam penzahiran asma.
Basirah yang ketiga adalah Basirah dalam jamak Tasybih yaitu yang
menghimpun kan kedua basirah di atas. Karena ke jamak kan ahadiah asma,
ALLAH‘Azza Wa Jalla berkata : “Aku pada permulaan nya adalah
perbendaharaan yang tersembunyi, Aku suka dikenali, maka Aku ciptakan
makhluk supaya mereka mengenal-Ku.”

ALLAH‘Azza Wa Jalla berkehendak supaya dilihat ungkapan asma-Nya melalui


pihak asma-Nya yang baik-baik yang tidak terbilang. Penzahiran bergantung
kepada tapak penzahiran dan alam, yang adalah tempat penzahiran tinggi dan
rendah; tanpa Adam Alaihis Sallam, (alam) seperti badan yang mati dan tidak
bersifat wujud total. Tasybih total secara menyeluruh yang dikarenakan ke
jamak kan dan kemutlakkan-Nya adalah sesuai sebagai mazhar asma dan zat.

Hanya dengan mengingat secara menyeluruh dan benar yang di sifat kan pada
wujud yaitu insan kamil yang menyeluruh dan hadir dalam urusan penzahiran.
Pengungkapan asma di dalam ghaib al ghuyub yaitu pengungkapan asma
adalah sebagai gambaran atau cermin yang kamal untuk asma dan tempat
ukiran nisbah zat, cermin tasybih total melengkapi segala cermin ayan.
ALLAH‘Azza Wa Jalla juga tidak memerlukan mazhar untuk melihat zat-Nya
sendiri, Dia menzahirkan diri dengan satu sifat dalam setiap ain asma dalam
cermin tasybih total. Jika tempat zahir mempunyai sifat ke jamak kan dan
ahadiah seperti tasybih total dan tidak mempunyai kecenderungan tertentu,
ALLAH ‘Azza Wa Jalla telah mewujudkan segala alam sebagai wujud lembaga
yang harmonis tanpa ada roh di dalamnya, seperti cermin yang tidak gelap dan
terlihat dengan jelas.
Segala urusan adalah berasal daripada-Nya, permulaan nya dan penghabisan
nya dan kepada-Nya kembali segala urusan seperti mana Ia bermula
daripada-Nya, permulaan nya adalah tajalli zat dalam ayan tsabit kemudian
taayun bersama ayan tsabit dan persediaan tempat penzahiran ALLAH‘Azza
Wa Jalla secara total dan menjadikan alam dengan pembukaan asma, Asma
rububiah menentukan tempat penzahiran tasybih. Keadaan menghendaki
pantulan dari cermin alam maka terjadilah Adam Alaihis Sallam sebagai ain
pantulan dari cermin, Adam Alaihis Sallam adalah penghimpunan dalam dirinya
urusan kewajiban dan wujud yang taayun kepada hadrat ALLAH‘Azza Wa Jalla
dari hadrat ke jamak kan sebagai insan kamil. Lengkap lah alam dengan
wujudnya seperti permata bagi cincin yaitu tempat ukiran dan alamat yang
dengannya raja mengkhatamkan khazanahnya. Adam Alaihis Sallam
diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, ALLAH‘Azza Wa Jalla menamakan
khalifah karena Dia memelihara makhluk-Nya seperti khatam memelihara
khazanah, selagi kekal khatam raja atas khazanah maka tidak seorang pun
akan berani membukakannya melainkan dengan izinnya. ALLAH‘Azza Wa
Jalla menjadikannya sebagai khalifah untuk memelihara alam, maka alam tidak
berhenti daripada pemeliharaan selagi insan kamil ini daim dalamnya, insan
kamil pada batin adalah roh dan asal khazanah alam dan pada zahir adalah
khatam khazanah. Karena ALLAH‘Azza Wa Jalla menjadikan Adam Alaihis
Sallam sebagai khalifah yang mengikuti suwar-Nya, suwar ke jamak kan asma
hadir dalam Adam Alaihis Sallam, Ia juga penentuan maqam Muhammad SAW
yang pada hadrat itu dan karena demikian kehadirannya pada Adam Alaihis
Sallam menjadi turunnya hikmah akan penciptaan Adam Alaihis Sallam
menjadi khalifah di muka bumi.

Sesungguhnya tidak seorang mengetahui dari pada ALLAH‘Azza Wa jalla


melainkan apa yang diberinya zat (diri) Nya, tidak bagi Malaikat mau pun Adam
Alaihis Sallam , mereka tidak menyadari tentang asma yang dikhususkan
kepadanya yang dengannya dia memuji-Nya dan menyucikan-Nya. Mereka
mengetahui bahwa ALLAH‘Azza Wa Jalla mempunyai asma yang ilmu-Nya
tidak sampai kepada mereka, maka mereka para Malaikat tidak dapat
mengetahuinya dan mereka berkata tentang kehadiran Adam Alaihis Sallam
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla :“Apakah Engkau akan menjadikan pada bumi
sesuatu yang akan merusakkannya”. Apa yang dikatakan para Malaikat karena
mereka tidak menyadarinya dan tidak mengetahuinya akan haq Adam Alaihis
Sallam yang ALLAH‘Azza Wa Jalla juga ada keberadaan-Nya bersama Adam
Alaihis Sallam, Jika mereka mengenali diri niscaya mereka akan mengetahui
dan jika mereka mengetahui niscaya mereka akan terpelihara dari
kekhawatiran akan Adam Alaihis Sallam karena pada dirinya terdapat asma
Ilahi yang tidak terdapat pada para Malaikat. Kemudian kita kembali kepada
hikmah seperti kita ketahui bahwa perkara yang Kulli jika sekali pun tidak wujud
sebagai objek luaran dengan sendirinya, namun ia boleh di ta’aqul kan dan
diketahui tanpa syak dalam zihin, Ia adalah perkara batin dan tidak terhenti
sebagai objek wujud yang gaib bagi yang belum mengetahuinya.
Baginya hukum dan kesan atas segala apa pun yang mempunyai wujud yang
objektif bahkan Ia adalah sumbernya, sumber segala yang mempunyai wujud
objektif, Ia zahir sebagai objek luaran seperti mana Ia batin sebagai objek
mental. Sebagai sandaran segala objek luaran kepada perkara Kulli ini, yang
tidak mungkin ditolak daripada akal dan tidak mungkin wujudnya sebagai objek
luaran maka sandaran wujud yang dengannya sebagai objek mental yang ada
pada batin, tetapi sama saja dengan objek luaran atau zahir nisbah nya adalah
satu yaitu zahir dan batin menjadi ke jamak kan seperti nisbah ilmu kepada
alim dan hayat kepada orang yang hidup menjadi satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara satu dan lainnya menjadi satu yang saling terkait dan tidak
terpisahkan.

ALLAH‘Azza Wa Jalla tidak akan menciptakan Adam Alaihis Sallam langsung


dengan tangan-Nya tanpa perantara dan ini menjadi kemuliaan, Oleh karena
ini ALLAH‘Azza Wa Jalla berkata kepada Iblis : “Apakah yang mencegah kamu
untuk bersujud kepada apa yang telah AKU ciptakan dengan kedua tangan
AKU”. Adam Alaihis Sallam adalah ain penghimpunan-Nya akan dua suwar
yaitu suwar alam dan suwar Al-Haq dan Iblis hanya satu suwar yaitu suwar
daripada alam, Karena inilah Adam Alaihis Sallam menjadi khalifah di muka
bumi dan anak keturunannya. Tidak sah menjadi khalifah melainkan insan
kamil karena Adam Alaihis Sallam adalah Nafs yang satu, ALLAH‘Azza Wa
Jalla berfirman :

ً ‫س ٰ َوحِدَ ٍة َو َخ َل َق ِم ْن َها َز ْو َج َها َو َب َّث ِم ْن ُه َما ِر َجااًل َكث‬


‫ِيرا‬ ُ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱل َّن‬
۟ ُ‫اس ٱ َّتق‬
ٍ ‫وا َر َّب ُك ُم ٱ َّلذِى َخ َل َق ُكم ِّمن َّن ْف‬
‫ٓاءلُونَ ِبهِۦ َوٱَأْل ْر َحا َم ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ َكانَ َع َل ْي ُك ْم َرقِي ًبا‬
َ ‫س‬ َ ‫وا ٱهَّلل َ ٱ َّلذِى َت‬
۟ ُ‫ِسٓا ًء ۚ َوٱ َّتق‬
َ ‫َون‬

“Yā ayyuhan-nāsuttaqụ rabbakumullażī khalaqakum min nafsiw wāḥidatiw wa


khalaqa min-hā zaujahā wa baṡṡa min-humā rijālang kaṡīraw wa nisā`ā,
wattaqullāhallażī tasā`alụna bihī wal-ar-ḥām, innallāha kāna 'alaikum raqībā”.
(QS An-Nisa : 1)

Artinya, Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.

Semoga kita dapat memahami dari mana asal diri kita, tujuan kita berada di
muka bumi ini, dan akan ke mana kita kembali setelah waktu yang diberikan
atau tugas yang diemban sebagai khalifah di muka bumi ini telah selesai, Dan
semoga juga tulisan yang sederhana ini dan penuh dengan kekurangan dapat
dimaklumi adanya karena harapan dari penulis kiranya tulisan ini dapat
bermanfaat.
V. MEMAHAMI BABUL HAQ

Babul haq ini karya Datu Sanggul, menyatakan kesudahan ilmu yang tahqiq
tiada diperoleh lebih dari pada itu walau Anbiya sekali pun. Pikirkan olehmu
dan cari olehmu guru yang dapat menguraikannya. Tahqiq salah satu cabang
ilmu, cabang penulisan yang tidak kalah pentingnya di dalam pengkajian
agama secara khasnya. Tahqiq boleh diterjemahkan sebagai koreksi, Seorang
Muhaqiq (pentahqiq) bukan membuat koreksi dalam arti kata tetapi dia
membuat pembetulan atas apa yang ditulis oleh pengarang. Pentahqiq tidak
mengatakan ini salah atau ini betul, atau membawakan pendapat yang lain.
Tetapi tahqiq adalah dia memastikan setiap lafaz atau perkataan yang ditulis
oleh pengarang adalah memang betul-betul datang daripada pengarang, jauh
daripada sembarang unsur tokok tambah, Tokok tambah tidak berlaku di dalam
hadist saja, adakalanya ia berlaku dalam penulisan kitab-kitab ulama. Ini
karena dalam sejarah Islam, pada zaman penulisan yang berkembang pesat
beratus-ratus tahun setelah wafat nya Nabi Muhammad SAW, pada
masa-masa itu tidak ada sistem fotostat atau cetakan seperti pada hari ini.
Seperti mana yang kita tahu, kerja manusia tidak luput dari kesilapan, ada kata
atau kalimat yang ter kurang atau ter tambah satu perkataan dan huruf akan
dapat berubah makna dan juga arti. Jadi tugas yang dilakukan pentahqiq
adalah membandingkan manuskrip-manuskrip (makhthuthat) atau satu bidang
pengkajian manuskrip.

Kembali pada pengkajian babul haq, perkataan sedikit ini terlebih besar
faedahnya dari pada dunia dan serta isinya, terlebih keras dari batu, dan
terlebih tajam dari pada pedang. Inilah ilmu Syuhud, ilmu orang ahli sufi
Radiyallahu Anhu. Ilmu rahasia, bahwasanya engkau itu sampai kepada Aku,
hai hamba-Ku yang Aku ridhai. Bahwasanya Maha Suci Aku beserta engkau,
adalah ini jika engkau berada di dalam Nur-Ku, maka engkau itu lenyaplah di
dalam kosong itu, bahwasanya Ahmad itulah gaib. Itulah yang disebut gaib
dengan gaib, atau diri itulah yang disebut gaib. Maka Ahmad itulah yang
disebut diri yang gaib dan Muhammad itulah yang disebut diri yang zahir. Oleh
sebab itulah Nabi Muhammad SAW berkata kepada Umar bin Khaththab,
ketika itu pada saat Umar bin Khaththab Radhiyallahu‘Anhu memegang dan
membaca lembaran Taurat, Nabi Muhammad SAW bersabda :

‫ الَ َت ْسَألُ ْو ُه ْم‬، ‫اء َنقِ َّي ًًة‬


َ ‫ض‬َ ‫ َل َقدْ ِجْئ ُت ُك ْم ِب َها َب ْي‬، ‫ِي َن ْفسِ ْي ِب َي ِد ِه‬
ْ ‫ب ؟ َو ا َّلذ‬ ِ ‫َأ ُم َت َه ِّو ُك ْونَ فِ ْي َها َيا ا ْبنَ ا ْل َخ َّطا‬
َّ‫ َل ْو َأن‬، ‫ِي َن ْفسِ ْي ِب َي ِد ِه‬ ْ ‫ َو ا َّلذ‬، ‫صدِّ قُ ْوا ِب ِه‬ َ ‫ َأ ْو ِب َباطِ ٍل َف ُت‬، ‫ش ْي ٍء َف ُي ْخ ِب ُر ْو ُك ْم ِب َح ٍّق َف ُت َك ِّذ ُب ْوا ِب ِه‬
َ ْ‫َعن‬
‫َأ‬
‫سى َكانَ َح ّيا ً َما َوسِ َع ُه ِإالَّ نْ َي َّت ِب َعن ِْي‬ َ ‫ُم ْو‬
Artinya,“Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang
diri Muhammad ada di tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada
kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada
mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar, namun
kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang bathil, kalian
membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya,
seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus
mengikuti aku”. [HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini
milik Ahmad. Derajat hadits ini hasan, karena memiliki banyak jalur yang saling
menguatkan. Lihat Hidayatur Ruwah, I/136 no. 175]

Hadist ini memuat kandungan, wajib bagi para nabi untuk ittiba kepada Nabi
Muhammad SAW, seandainya mereka hidup pada saat zaman beliau dan jika
nabi saja wajib mengikuti (berittiba) kepada Nabi Muhammad SAW, maka
terlebih lagi bagi kaum muslimin. Wajib bagi kita untuk mengikuti Nabi
Muhammad SAW sebab bila tiada mengikuti, kita bisa akan tersesat. Sebab
itulah kami ajarkan kalimat Tauhid dan kalimat Syahadat. Jikalau berpegang
kepada keduanya, maka selamat lah engkau dunia dan akhirat, menjadi
seorang mukmin yang sebenar-benarnya atau yang dikatakan dengan
sebutan“Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah”. Bahwasanya kalimat Tauhid itu adalah
maqam Ruh yang tiada lupa ia kepada yang menciptakannya setiap saat dan
kalimat Syahadat adalah yang menyempurnakan kesempurnaan apa-apa yang
diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka engkau itu rindu selalu
kepada-Ku yang menjadikan semesta alam, Itulah yang disebut bertubuh
Nurullah, Kun Hatitah, maka itulah yang disebut lenyap dengan Aku. Asal
engkau yang Aku jadikan ialah mula-mula kepada engkau itu satu Rahasia Nur,
dan Nur itu yang disebut Nur-Zat, maka Nur-Zat itu menjadi diri. Sudah itu diri
engkau gaib di dalam Nurullah, maka oleh itu gaib lagi apa yang disebut
kosong, maka berkata di dalam Kun, maka Kun itulah yang disebut Alif, maka
Alif itulah yang disebut diri. Maka ghaib Alif itu menjadi LAISA maka berkatalah
ia Haq, maka yang haq itulah yang disebut tiada berwujud dan tiada, bernama
Zat, maka engkau itu yang dinamakan AKU, sebab itu bukan di luar dan di
dalam, sehingga meliputi Aku semesta sekalian alam, maka LAISA lah Aku di
dalam diri engkau itu. Jikalau engkau mengenakan Aku, maka engkau itu
adalah di dalam kalimat-Ku. Sesudah engkau di dalam kalimat-Ku itu maka
engkau itu bertubuh Syahadat, sesuai Syahadat maka engkau itu bernama
Muhammad. Jikalau engkau sudah bernama Muhammad zahirnya maka
batinnya bernama Ahmad, sesudah bernama Ahmad maka engkau itu gaib
dengan kalimat HU maka Akulah itu. Engkau dengarkan bunyi di dalam tubuh
engkau itu berbunyi WUJUD ZAT. Wujud itu berbunyi HU, Zat itu berbunyi
ALLAH. Maka oleh hilang bunyi hanya kosong, maka kosong itu maknanya
fana, hanya dirinya lah yang ada, yang tahu serta melihat dan yang mendengar
semuanya lenyaplah di dalam yang kosong itu. Ada pun badan Ruhani itu ialah
ALLAH Ta’ala, dan jangan dicari lagi karena ALLAH Ta’ala sudah menjadi
segala Nyawa, jangan dicari lagi karena ALLAH Ta’ala itu Laisa Kamislihi Syai’.
Penjelasan: Engkau itu adalah rahasia-Ku, maka rahasia itulah yang menuju
kepada Aku, sehingga engkau itu adalah pendengaran-Ku dan penglihatan-Ku
dan kesemuanya itu terhimpun di dalam rahasia-Ku mau pun di dalam atau di
luar. Sehingga engkau fana’ul-fana dan tiada mempunyai daya upaya,
sehingga batin engkau itu yang dikatakan Ta’ala. Jikalau engkau hilangkan
tubuh menjadi Nur sehingga tubuh engkau menjadi Roh, maka hilangkan tubuh
engkau itu menjadi titik, maka titik itulah yang disebut Kaca Putih, yaitu lah
asal-asalnya kejadian Alif, maka Alif itulah bergerak di dalam laut rahasia,
itulah yang disebut Hayat maka hiduplah dan bergeraklah tubuhnya, itulah
yang dinamakan sifat-Nya yang ada pada diri engkau itu, itulah namanya itulah
dirinya. Maka akulah yang Laisa dan jangan dicari lagi, itulah yang disebut
sudah menjadi Nyawa. Kalau engkau kosongkan napas maka yang berbunyi
Aku itu Wujud ku, kalau engkau keluarkan napas maka berbunyi Rahasia.
Maka kalau engkau naik kan napas maka berbunyi Wujud Idafi. Napas itu
adalah Rahasia antara turun naik atau keluar masuk, itulah yang berkata Aku
adalah Engkau dan Engkau adalah Aku, inilah yang dikatakan menyatu antara
hamba dan Tuhannya. Di situlah engkau di dalam diri-Nya, naik berbunyi
Wujud ku dan turun berbunyi Zat ku, jika engkau sudah mengetahui Rahasia di
dalam Rahasia maka hilanglah Rahasia itu, yang ada hanyalah Wujud ku. Di
situlah engkau Mi’raj, pertemuan di dalam hadirat-Ku dan apabila engkau turun
maka wajiblah bagi engkau mengerjakan segala perintah-Ku yang ter firman di
dalam kitab-Ku Al-Qur’an, sehingga engkau cinta kepada-Ku dan engkau
jauhilah segala yang diharamkan. Engkau lihatlah Syahadat, di situlah engkau
menyempurnakan segala-galanya, berpeganglah kepadanya, karena jikalau
tidak maka engkau itu adalah sesat, maka selalu lah engkau mengerjakan
perintah ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Jikalau engkau tiada berpegang pada yang diajarkan Nabi Muhammad SAW
maka engkau akan tersesat dan lagi kafir, oleh sebab itu wajiblah engkau
mengerjakan Sunnah nya dan ber-ittiba kepadanya. Dan hendak juga engkau
Khauf dan Mahabbah kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan jangan engkau lupa
setiap saat. Jikalau engkau lupa maka ALLAH‘Azza Wa Jalla lebih jauh, jika
engkau dekat maka ALLAH‘Azza Wa Jalla lebih dekat bahkan melebihi dekat
dari pada urat lehermu sendiri. Dengan memperbanyak amaliah sehingga
terbukalah bagi engkau satu dinding rahasia atau ruang rahasia atau hijab
atau“petak umpet”yang dikatakan Nurun‘Ala Nur. Seperti yang ter firman di
dalam Al-Qur‘an sebagai berikut:

‫اج ُة‬َ ‫ٱلز َج‬ َ ‫ح فِى ُز َج‬


ُّ ۖ ‫اج ٍة‬ ْ ‫ح ۖ ٱ ْلم‬
ُ ‫ِص َبا‬ ْ ‫ش َك ٰو ٍة فِي َها م‬
ٌ ‫ِص َبا‬ ْ ‫ورهِۦ َك ِم‬ ِ ‫ض ۚ َم َثل ُ ُن‬ ِ ‫َوٱَأْل ْر‬ ‫ت‬ َّ ‫ٱهَّلل ُ ُنو ُر‬
ِ ‫ٱلس ٰ َم ٰ َو‬
‫ش ْرقِ َّي ٍة َواَل َغ ْر ِب َّي ٍة َي َكا ُد َز ْي ُت َها ُيضِ ٓى ُء َو َل ْو َل ْم‬َ ‫ش َج َر ٍة ُّم ٰ َب َر َك ٍة َز ْي ُتو َن ٍة اَّل‬
َ ‫ُيو َق ُد مِن‬ ‫ى‬ ٌّ ‫ب د ُِّر‬ ٌ ‫َكَأ َّن َها َك ْو َك‬
‫هَّلل‬ ٰ ‫َأْل‬ ‫هَّلل‬ ‫هَّلل‬
ِّ ‫اس ۗ َوٱ ُ ِب ُكل‬ ِ ‫ب ٱ ُ ٱ ْم َثل َ لِل َّن‬ ُ ‫ض ِر‬
ْ ‫شٓا ُء ۚ َو َي‬ َ ‫ورهِۦ َمن َي‬ ِ ‫ور ۗ َي ْهدِى ٱ ُ لِ ُن‬ ٍ ‫َع َل ٰى ُن‬ ‫س ْس ُه َنا ٌر ۚ ُّنو ٌر‬ َ ‫َت ْم‬
‫ش ْى ٍء َعلِي ٌم‬ َ

“Allāhu nụrus-samāwāti wal-arḍ, maṡalu nụrihī kamisykātin fīhā miṣbāḥ,


al-miṣbāḥu fī zujājah, az-zujājatu ka`annahā kaukabun durriyyuy yụqadu min
syajaratim mubārakatin zaitụnatil lā syarqiyyatiw wa lā garbiyyatiy yakādu
zaituhā yuḍī`u walau lam tamsas-hu nār, nụrun 'alā nụr, yahdillāhu linụrihī may
yasyā`, wa yaḍribullāhul-amṡāla lin-nās, wallāhu bikulli syai`in 'alīm.”(QS
An-Nur : 35)
Artinya, Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari
pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Nurun‘Ala Nur maka Nur itu ber-tajalli kepada dirinya, sehingga engkau gaib
maka engkau adalah di dalam Wujud-Haq. Kita sebutkan kalimat zikir La illaha
ilallah satu nafas itulah yang disebut Kalamullah, jikalau engkau naik kan
napas itu Aku atau Hu, maka itulah yang dinamakan Wujud ku yang Laisa,
ialah yang tiada huruf atau tiada suara. Jikalau engkau zahirkan suara engkau
itu maka zahirlah sifat ku, jikalau tiada engkau zahirkan maka engkau gaib di
dalam Wujud Idafi. Wujud itu Laisa Idafi, itu suci murni dan bersih. Itulah yang
disebut Nur dan itulah yang dinamakan Ahmad dan juga dinamakan Nur-Zat.
Maka zat itulah yang disebut engkau, barulah itu dikatakan Fana’ul-Fana atau
yang disebut karam dan engkau itu sampailah sudah kepada Baqa’ul-Baqa. Di
situlah engkau melalui segala-galanya yang disebut Nurun‘Ala Nur atau gaib
dengan gaib sampai haq kepada haq.

Kembali kepada asalnya Al Fatihah, Aku Laisa, di dalam Aku engkau maka di
situlah engkau naik kan napas engkau kepada-Nya. Kalau engkau turunkan ke
bumi atau ke dalam jasad, jasad itulah yang berbunyi ALLAH huruf nya. Jikalau
engkau hilangkan huruf ALLAH itu menjadi HU itulah yang disebut kosong,
tiada tahu lagi akan dirinya, hanya yang ada Wujud saja lagi. Maka engkau
tiadalah berwujud lagi dan sifat bersifat lagi, tiada nama bernama, dan tiada
buat berbuat. Maka di situlah engkau karam di dalam Kalimat ini, engkau hilang
semuanya yang ada hanya Wujud saja lagi semata-mata, di situlah engkau
bernama Nuktah. Maka Nuktah ini ialah satu-satunya yang menjadi awal
sekalian yang ada ini, oleh karena itu selalu lah engkau taat akan segala
perintah-Nya, ingatlah selalu untuk mengesakan-Nya supaya engkau menjadi
Insan Kamil. Sebenar-benarnya diri itu Roh, sebenar-benarnya Roh itu adalah
Sir, sebenar-benarnya Sir itu adalah Rahasia. Dan sebenar-benarnya Nur
Muhammad itu adalah Sifat, sebenar-benarnya Sifat itu adalah Zat,
sebenar-benarnya Zat itu adalah Sir. Maka Sir itulah yang disebut Aku Laisa
Kamislihi Syai’un. Untuk menjadi insan kamil engkau harus mengesakan
ALLAH‘Azza Wa Jalla seperti di dalam firmannya :

‫قُلْ ه َُو ٱهَّلل ُ َأ َح ٌد‬

“Qul huwallāhu aḥad.” (QS Al-Ikhlas : 1)


Artinya, Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa.

Maka oleh itu supaya engkau mendapat satu rahasia, karena di dalam kalimat
Qul huwallāhu aḥad itu terkandung lima rahasia :
1. Rahasia di dalam Rahima Kumullah.
2. Rahasia di dalam Rahim Ibu.
3. Rahasia di dalam Liang Lahat.
4. Rahasia di Yaumil Masyar.
5. Rahasia di Hadratullah.

Wajib kita membersihkan tubuh kita yang kotor ini sebab tubuh lah yang
mengandung maka jadikanlah tubuh engkau itu seperti kaca yang bening dan
terang benderang supaya cahaya itu terlihat dengan jelas, itulah yang disebut
Nur-Ku. Jadikanlah tubuh engkau atau diri engkau semuanya karam di dalam
Kalimat-Ku. Maka engkau tiada lupa memuji Aku, sebab Aku tiada lupa
berbunyi HU ALLAH, tiadalah lupa Aku memuji diri-Ku sendirinya. Bahwasanya
Roh itu tiada lupa akan kepada-Nya, sehingga keluarlah cahaya Nur-Nya yang
sangat terang, maka cahaya itulah yang dikatakan atau yang disebut Insan.
Ada pun yang terhimpun di dalam tubuh kita ini ada dua Ruh yang hendak
diketahui, yaitu pertama Roh yang dikatakan Rohul-Kuddus, dan yang kedua
dinamakan Rohani. Ada pun sebutannya Rohul-Kudus itu ialah HU, dan
sebutannya Rohani itu ialah ALLAH. Inilah yang kita cari yang dinamakan
rahasia ALLAH dengan Muhammad. Jikalau engkau hendak ingin mengetahui
ilmu rahasia ini bersungguh-sungguhlah menuju jalan ini, supaya engkau
selamat dunia dan akhirat. Inilah jalan rahasia Tuhan yang tersembunyi “petak
umpet”di dalam diri kita ini, Dan carilah guru Mursyid Sejati yang dapat
membimbing engkau menempuh jalan rahasia menuju kepada Ilahi. Jangan
susah-susah mencari ALLAH‘Azza Wa Jalla, karena Dia sudah lenyap menjadi
nyawa sekalian batang tubuh, KUN HATTITAH namanya diri engkau itu.
Jangan susah mencari Bilah, Bilah ada di dalam Buluh, Jangan susah mencari
ALLAH‘Azza Wa Jalla, Karena Dia ada di dalam tubuh. Di mana ada Nur nya
tentu ter putus dari yang punya Nur. Bersatu tapi tiada bersekutu, itulah antara
kita dan ALLAH‘Azza Wa Jalla. Ini adalah perihal mengenai air Ma’ul Hayat (Air
Kehidupan), diambil secara mudah yaitu asal diri kita yakni sebelum ada
apa-apa. Ibu dan Bapak kita belum berkumpul menjadi satu, maka
ALLAH‘Azza Wa Jalla memerintahkan mengambil air ma’ul hayat di arak di
dalam surga atau di langit dengan beberapa banyak Malaikat, lalu Jibril
diperintahkan memasukkan ke Bapak kita. Setelah menerima tujuh hari dan
berkumpul menjadi satu dengan Ibu, bagai besi bercampur di dalam batu, yang
dikandung selama tujuh hari oleh Bapak kita yang bernama air AL MAHMUD,
dan dijatuhkan air ma’ul hayat itu di dalam rahim Ibu yang dinamakan
NUKTAH. Masa waktu empat puluh hari belum ter surat, tatkala delapan puluh
hari di rahim Ibu, waktu itu darah haid lalu dinamakan ALAQAH, kemudian lalu
menjadi segumpal daging dan dinamakan MUDGAH, kemudian segumpal
daging itu menjadi ALIF, Ahmad puji nya. Enam bulan dan seterusnya lengkap
lah kaki, tangan, mata, hidung, mulut, dan telinga, Muhammad puji nya. Tatkala
cukup sembilan bulan sembilan hari lalu ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman:

ۛ ‫وا َب َل ٰى‬۟ ُ‫ت ِب َر ِّب ُك ْم ۖ َقال‬


ُ ‫ش َهدَ ُه ْم َع َل ٰ ٓى َأنفُسِ ِه ْم َأ َل ْس‬
ْ ‫ور ِه ْم ُذ ِّر َّي َت ُه ْم َوَأ‬
ِ ‫َوِإ ْذ َأ َخ َذ َر ُّب َك م ِۢن َبن ِٓى َءادَ َم مِن ُظ ُه‬
ٰ
َ‫وا َي ْو َم ٱ ْلقِ ٰ َي َم ِة ِإ َّنا ُك َّنا َعنْ ٰ َه َذا َغفِلِين‬
۟ ُ‫ش ِهدْ َنٓا ۛ َأن َتقُول‬ َ

“Wa iż akhaża rabbuka mim banī ādama min ẓuhụrihim żurriyyatahum wa


asy-hadahum 'alā anfusihim, a lastu birabbikum, qālụ balā syahidnā, an taqụlụ
yaumal-qiyāmati innā kunnā 'an hāżā gāfilīn.” (QS Al-Araf : 172)

Artinya, Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak


Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Sumpah serupa juga diambil ALLAH‘Azza Wa Jalla dari para Nabi dan
Rasul-Nya.

‫يسى ٱ ْب ِن َم ْر َي َم ۖ َوَأ َخ ْذ َنا ِم ْن ُهم‬ َ ‫وح َوِإ ْب ٰ َرهِي َم َو ُم‬


َ ِ‫وس ٰى َوع‬ ٍ ‫َوِإ ْذ َأ َخ ْذ َنا مِنَ ٱل َّن ِب ِّيۦنَ مِي ٰ َث َق ُه ْم َومِن َك َومِن ُّن‬
‫ِّمي ٰ َث ًقا َغلِي ًظا‬

“Wa iż akhażnā minan-nabiyyīna mīṡāqahum wa mingka wa min nụḥiw wa


ibrāhīma wa mụsā wa 'īsabni maryama wa akhażnā min-hum mīṡāqan galīẓā”.
(QS Al-Ahzab : 7)

Artinya, Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan
dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami
telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Semua Nabi dan Rasul, termasuk diri kita bersaksi dan bertawassul kepada
Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Adam Alaihis Sallam juga bersaksi dan
bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW. Umar Radhiyallahu‘Anhu berkata
bahwa Baginda Rasullulah SAW berkata :

“Tatkala Nabi Adam Alaihis Sallam telah berbuat kesalahan (yang dengan
sebab itu Nabi Adam Alaihis Sallam telah dihantar dari surga ke dunia ini maka
Baginda Alaihis Sallam senantiasa berdoa dan beristighfar sambil
menangis-nangis. Sekali beliau mengangkat kepalanya ke langit dan memohon
:
“Ya ALLAH aku memohon (keampunan) kepada Engkau dengan berkat
Muhammad SAW”. Maka ALLAH‘Azza Wa Jalla mewahyukan kepadanya
:“Siapakah Muhammad SAW ini, yang engkau memohon keampunan dengan
berkatnya?
Nabi Adam Alaihis Sallam menjawab : Ketika Engkau jadikan aku, maka sekali
daku melihat ke‘arsymu dan terpandang tulisan“Laa ilaha illallahu
Muhammadurrasuulullahi”(Tidak ada tuhan yang berhaq disembah melainkan
ALLAH – Nabi Muhammad SAW adalah Utusan ALLAH). Maka aku yakin
bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya di sisi Mu yang namanya
Engkau letakkan bersama nama Mu”.
Lantas ALLAH‘Azza Wa Jalla mewahyukan kepada Nabi Adam Alaihis Sallam
:“ Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi Akhir zaman dari keturunanmu.
Sekiranya dia tidak ada maka pasti aku tidak akan menciptakan mu”
(Dikeluarkan dari Thabrani dalam Jami’ushaghir dan juga Hakim dan Abu
Nu’aim dan Baihaqi keduanya dalam dalam kitab ad-dalail).

ALLAH ‘Azza Wa Jalla juga berfirman supaya engkau mencari jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, supaya engkau menjadi orang-orang yang
beruntung:

َ‫س ِبيلِهِۦ َل َع َّل ُك ْم ُت ْفلِ ُحون‬ ۟ ‫وا ٱهَّلل َ َوٱ ْب َت ُغ ٓو ۟ا ِإ َل ْي ِه ٱ ْل َوسِ ي َل َة َو ٰ َج ِهد‬
َ ‫ُوا فِى‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
۟ ُ‫وا ٱ َّتق‬

“Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wabtagū ilaihil-wasīlata wa jāhidụ fī sabīlihī


la'allakum tufliḥụn”. (QS Al-Maidah : 35)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihad lah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan.

Di dalam firman-Nya yang lain ALLAH‘Azza Wa Jalla juga menawarkan


Amanah kepada semua makhluk ciptaan-Nya dan hanya manusia yang mau
menerima amanah tersebut. Langit, Bumi, dan Gunung-gunung takut untuk
menerima amanah tersebut dan menolak karena takut tidak bisa menunaikan
amanah yang akan dipikulnya.

ْ ‫ال َفَأ َب ْينَ َأن َي ْح ِم ْل َن َها َوَأ‬


‫ش َف ْقنَ ِم ْن َها َو َح َم َل َها‬ ِ ‫ت َوٱَأْل ْر‬
ِ ‫ض َوٱ ْل ِج َب‬ َّ ‫ض َنا ٱَأْل َما َن َة َع َلى‬
ِ ‫ٱلس ٰ َم ٰ َو‬ ْ ‫ِإ َّنا َع َر‬
َٰ ‫ٱِإْل‬
‫نسنُ ۖ ِإ َّن ُهۥ َكانَ َظلُو ًما َج ُهواًل‬

“Innā 'araḍnal-amānata 'alas-samāwāti wal-arḍi wal-jibāli fa abaina ay


yaḥmilnahā wa asyfaqna min-hā wa ḥamalahal-insān, innahụ kāna ẓalụman
jahụlā”. (QS Al-Ahzab : 72)

Artinya, Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianati nya, dan dipikul lah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Di dalam pengertian tentang apa yang dikatakan Amanah itu telah dijelaskan
oleh Imam Al-Ghazali, Amanah itu ialah Makrifat Hakiki dan Tauhid Hakiki. Dan
ALLAH‘Azza Wa Jalla mengingatkan di dalam firman-Nya mengenai janji akan
Amanah itu kepada manusia:
َ‫سول َ َو َت ُخو ُن ٓو ۟ا َأ ٰ َم ٰ َن ِت ُك ْم َوَأن ُت ْم َت ْع َل ُمون‬ َّ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬
ُ ‫ٱلر‬ ۟ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
۟ ‫وا اَل َت ُخو ُن‬

“Yā ayyuhallażīna āmanụ lā takhụnullāha war-rasụla wa takhụnū amānātikum


wa antum ta'lamụn”. (QS Al-Anfal : 27)

Artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah


dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh apabila engkau
melanggar Amanah yang sudah engkau berjanji kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla,
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka dan merugi yaitu
orang-orang yang melanggar perjanjian dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla sesudah
perjanjian itu disepakati, seperti yang ter surat di dalam firman-Nya :
ٰ
‫وصل َ َو ُي ْفسِ دُونَ فِى‬ َ ‫ضونَ َع ْهدَ ٱهَّلل ِ م ِۢن َب ْع ِد مِي َثقِهِۦ َو َي ْق َط ُعونَ َمٓا َأ َم َر ٱهَّلل ُ ِب ِهۦٓ َأن ُي‬
ُ ُ‫َوٱ َّلذِينَ َينق‬
ٓ ٰ ِ ‫ٱَأْل ْر‬
ُ ‫ض ۙ ُأ ۟و َلِئ َك َل ُه ُم ٱل َّل ْع َن ُة َو َل ُه ْم‬
‫س ٓو ُء ٱلدَّ ِار‬

“Wallażīna yangquḍụna 'ahdallāhi mim ba'di mīṡāqihī wa yaqṭa'ụna mā


amarallāhu bihī ay yụṣala wa yufsidụna fil-arḍi ulā`ika lahumul-la'natu wa
lahum sū`ud-dār”. (QS Ar-Rad : 25)

Artinya, Orang-orang yang merusak janji Allah setelah di ikrarkan dengan


teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh
kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

Kembali kita mengenal akan diri sendiri, ketahuilah bahwa sesungguhnya


mengenal akan diri itu tiada akan sempurna apabila dengan alam akal, tetapi
akan sempurna dengan Nur yang telah ditanamkan ALLAH‘Azza Wa Jalla di
dalam hati hamba-Nya. Menjadi kewajiban untuk mengenal diri karena bisa jadi
siapa yang mengenal akan dirinya, niscaya ia telah mengenal akan
Tuhan-Nya. Perlu hal pengertian bahwa pemahaman mengenai Ma’iyatullah
(kebersamaan ALLAH dengan makhluk), ada dua pengertian yaitu pengertian
umum dan khusus.

Pengertian kebersamaan yang“UMUM”yaitu: ALLAH‘Azza Wa Jalla bersama


makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, perhatian-Nya, kekuasaan-Nya,
pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan lainnya dari makna-makna
kekuasaan-Nya. Seperti firman ALLAH‘Azza Wa Jalla :

‫ض‬ ِ ‫ش ۚ َي ْع َل ُم َما َيلِ ُج فِى ٱَأْل ْر‬


ِ ‫ٱس َت َو ٰى َع َلى ٱ ْل َع ْر‬ ْ ‫ض فِى سِ َّت ِة َأ َّي ٍام ُث َّم‬ َ ‫ت َوٱَأْل ْر‬ِ ‫ٱلس ٰ َم ٰ َو‬
َّ ‫ه َُو ٱ َّلذِى َخ َل َق‬
‫هَّلل‬
َ‫ج فِي َها ۖ َوه َُو َم َع ُك ْم َأ ْينَ َما ُكن ُت ْم ۚ َوٱ ُ ِب َما َت ْع َملُون‬ُ ‫ٓاء َو َما َي ْع ُر‬ َّ َ‫نزل ُ مِن‬
ِ ‫ٱلس َم‬ ِ ‫ج ِم ْن َها َو َما َي‬ ُ ‫َو َما َي ْخ ُر‬
‫َبصِ ي ٌر‬
“Huwallażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin ṡummastawā
'alal-'arsy, ya'lamu mā yaliju fil-arḍi wa mā yakhruju min-hā wa mā yanzilu
minas-samā`i wa mā ya'ruju fīhā, wa huwa ma'akum aina mā kuntum, wallāhu
bimā ta'malụna baṣīr”. (QS Al-Hadid : 4)

Artinya, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini dimulai dengan berita, bahwasanya ALLAH‘Azza Wa Jalla yang


menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu memberitakan tentang
keberadaan ALLAH‘Azza Wa Jalla di atas‘Arsy; ini menunjukkan ALLAH‘Azza
Wa Jalla berada di atas seluruh makhluk-Nya. Lalu ALLAH‘Azza Wa Jalla
memberitakan, bahwa Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar dari padanya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepada-Nya; ini menunjukkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan ini
adalah kebersamaan ALLAH‘Azza Wa Jalla yang umum dengan seluruh
makhluk-Nya. Kemudian ALLAH‘Azza Wa Jalla berfirman“Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada”; ini juga memberitakan kebersamaan-Nya yang
umum dengan seluruh makhluk-Nya dengan ilmu-Nya. Lalu firman
ALLAH‘Azza Wa Jalla“Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”, ini
juga memberitakan kebersamaan-Nya yang umum dengan seluruh
makhluk-Nya dengan penglihatan-Nya.

Pengertian kebersamaan yang“Khusus”yaitu : ALLAH‘Azza Wa Jalla bersama


sebagian hamba-Nya dan tidak kepada seluruh makhluk-Nya seperti
kebersamaan yang bersifat umum, ALLAH‘Azza Wa Jalla mengkhususkan
kebersamaan-Nya kepada orang-orang yang bertaqwa yang tidak berlaku
maksiat kepada-Nya, orang-orang yang melakukan perbuatan yang baik.
Seperti di dalam firman-Nya :

۟ ‫ِإنَّ ٱهَّلل َ َم َع ٱ َّلذِينَ ٱ َّت َق‬


َ‫وا َّوٱ َّلذِينَ هُم ُّم ْحسِ ُنون‬

“Innallāha ma'allażīnattaqaw wallażīna hum muḥsinụn.” (QS An-Nahl : 128)

Artinya, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan


orang-orang yang berbuat kebaikan.

Ayat-ayat di atas mengenai kebersamaan dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla, baik


secara umum mau pun secara khusus adalah untuk mengenal lebih dekat akan
Tuhan, Sedangkan dalam rangka untuk mengenal diri sendiri itu ada dua hal
dalam proses penciptaan manusia, Pertama penciptaan manusia dengan
Tanah dan Kedua penciptaan manusia dengan Roh Ilahi.
Dalil Pertama yang tertulis di dalam firman-Nya, ada sebuah dalil yang
berbunyi sebagai berikut:

َ ‫ِإ ْذ َقال َ َر ُّب َك لِ ْل َم ٰ َٓلِئ َك ِة ِإ ِّنى ٰ َخل ۢ ٌِق َب‬


ٍ ِ‫ش ًرا ِّمن ط‬
‫ين‬

“Iż qāla rabbuka lil-malā`ikati innī khāliqum basyaram min ṭīn.”(QS Shad : 71)

Artinya, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:


“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
Jadi apabila kita mengambil dari dalil ini, nyatalah bahwa anasar kita dari
empat hal yaitu :

1. Api.
2. Air.
3. Angin.
4. Tanah.

Karena pada tubuh kita yang zahir ini ada unsur-unsur yang disebutkan berikut
tadi, apabila hal tersebut kita perinci, berarti bahwa: Rahasianya adalah Api,
Rohnya adalah Angin, Hatinya adalah Air, dan Tubuhnya adalah Tanah.

Dalil Kedua adalah dari sabda Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan
bahwa Beliau adalah penghulu anak Adam:

َ ‫شاف ٍِع َوَأ َّول ُ ُم‬


‫ش َّف ٍع‬ َ ُ ‫ش ُّق َع ْن ُه ا ْل َق ْب ُر َوَأ َّول‬
َ ‫س ِّي ُد َو َل ِد آدَ َم َي ْو َم ا ْلقِ َيا َم ِة َوَأ َّول ُ َمنْ َي ْن‬
َ ‫َأ َنا‬

Artimya, Aku adalah sayyid (penghulu) anak Adam pada hari kiamat. Orang
pertama yang bangkit dari kubur, orang pertama yang memberikan syafa'at
dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa'at. (HR
Muslim)

Hadist berikutnya,

‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أنا سيد ولد آدم وال فخر‬

Artinya, Rasulullah SAW bersabda: "Aku penghulu anak Adam, dan tidak
sombong," (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Jika kita teliti secara ilmiah dengan dasar dalil yang kedua itu wajib kita jadikan
dasar sebab benar-benar berasal dari pada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan asal
dari pada ke empat anasar tersebut pada dalil pertama di atas. Adapun dalil
kedua ini jelas benar bagi kita, bahwa benar kita berasal dari ALLAH‘Azza Wa
Jalla dengan kenyataan sebagai berikut, bahwa dalam tubuh kita terdapat tiga
unsur pokok yaitu:

1. Adam : Bertubuh, Hati, Roh, dan Rahasia.


2. Muhammad : Bersyariat, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat.
3. Allah Ta’ala : Berzat, Sifat, Nama, dan Rahasia.

Dengan ketiga unsur pokok diatas sudah sangat jelas bagi kita bahwa kita
bukan berasal dari keempat anasar tersebut tetapi sebaliknya ke empat anasar
tersebut berasal dari diri kita. Arti dari pada makrifat hakiki itu ialah mengenal
diri betul-betul berasal dari pada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan akan kembali
kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫هَّٰلِل‬
َ‫ِإ َّنا ِ َوِإ َّنا ِإ َل ْي ِه َرا ِج ُعون‬‎

innā li-llāhi wa-ʾinna ʾilayhi rājiʿūn

Artinya, Kami berasal dari pada ALLAH dan kepadanya pula kami akan
kembali.

viii
TAUHID

Tauhid secara bahasa di dalam bahasa Arab merupakan mashdar (kata benda)
yang berasal usul dari kata kerja wahhada-yuwahhidu-tauhidan, artinya
membuat sesuatu menjadi satu. Sedangkan menurut syariat berarti
mengesakan ALLAH dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya
berupa Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Shifat. ALLAH‘Azza Wa Jalla telah
menciptakan manusia memiliki fitrah beriman kepada-Nya dan melaksanakan
tauhid kepada-Nya. Penjelasan mengenai tiga tatanan tauhid tersebut:

1. Tauhid Rububiyah, Maknanya adalah mengesakan ALLAH‘Azza Wa Jalla


dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Salah satu dalil yang
menunjukkan hal ini di dalam firman-Nya.

َ‫ب ا ْل َعا َلمِين‬ َ ‫َأالَ َل ُه ا ْل َخ ْل ُق َو ْاَأل ْم ُر َت َب‬


ُّ ‫ار َك هللاُ َر‬
“alā lahul-khalqu wal-amr, tabārakallāhu rabbul-'ālamīn”.
(QS Al-A’raf : 54)

Artinya,“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.


Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.

2. Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah, Disebut tauhid uluhiyah karena


melakukan nisbah hanya kepada ALLAH‘ Azza Wa Jalla. Dan disebut
tauhid ibadah karena melakukan nisbah kepada makhluk (hamba). Adapun
maksudnya ialah mengesakan ALLAH‘Azza Wa Jalla dalam ibadah yakni
bahwasanya ALLAH‘Azza Wa Jalla satu-satunya yang berhak diibadahi.
Salah satu yang menjadi dalil yang menjelaskan mengenai tauhid uluhiyah
atau tauhid ibadah ini.

‫ٰ َذلِ َك ِبَأنَّ ٱهَّلل َ ه َُو ٱ ْل َح ُّق َوَأنَّ َما َيدْ ُعونَ مِن دُو ِن ِه ٱ ْل ٰ َبطِ ل ُ َوَأنَّ ٱهَّلل َ ه َُو ٱ ْل َعل ُِّى ٱ ْل َك ِبي ُر‬

“żālika bi`annallāha huwal-ḥaqqu wa anna mā yad'ụna min dụnihil-bāṭilu


wa annallāha huwal-'aliyyul-kabīr”. (QS Luqman : 30)

Artinya,“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan


sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang
batil; dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

3. Tauhid Asma’Wa Shifat, Maksudnya adalah mengesakan ALLAH‘Azza wa


Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini
mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus
menetapkan seluruh nama dan sifat bagi ALLAH‘Azza Wa Jalla
sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau
sunnah Nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan
ALLAH dalam nama dan sifat-Nya. Di dalam menetapkan mengenai
perihal sifat-sifat bagi-Nya tidak boleh melakukan tathil, tahrif, tamtsil,
maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

‫ٱلسمِي ُع ٱ ْل َبصِ ي ُر‬ َ ‫س َك ِم ْثلِهِۦ‬


َّ ‫ش ْى ٌء ۖ َوه َُو‬ َ ‫َل ْي‬

“laisa kamiṡlihī syaī`, wa huwas-samī'ul-baṣīr”. (QS Asy-Syura : 11)

Artinya, Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar dan Melihat.

Sebagian Ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam Ma’rifat
Wal Itsbat (pengenalan dan penetapan) dan tauhid Fii Thalab Wal Qasd (tauhid
dalam tujuan ibadah). Apabila mengacu kepada dua jenis tauhid ini, maka
tauhid rububiyah dan tauhid asma’wa shifat termasuk tauhid golongan tauhid
Ma’rifat Wal Itsbat, sedangkan untuk tauhid uluhiyah adalah golongan tauhid Fii
Thalab Wal Qasd. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa isi
Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya adalah karena
menjelaskan hal-hal berikut:

1. Berita tentang mengenai ALLAH‘Azza Wa Jalla, nama-nama-Nya,


sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan juga perkataan-Nya. Ini adalah
termasuk tauhidul ilmi al khabari (termasuk bagian di dalamnya
tauhid rububiyah dan asma wa shifat).
2. Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla
semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at
thalabi (tauhid uluhiyah).
3. Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan menjauhi
larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa
mukammilatuhu (hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
4. Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang balasan
kemuliaan di dunia dan juga balasan kemuliaan di akhirat. Ini
termasuk jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
5. Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa siksa di dunia
dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang menyelisihi
hukum tauhid.

Dengan demikian, Kandungan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk yang seluruhnya


berisi tentang tauhid, hak-hak-Nya dan balasan-Nya. Dan selain itu juga berisi
tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan
balasan bagi mereka. Tauhid adalah dasar pokok dan menjadi sangat penting
bagi manusia dalam beriman kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan kita harus
mendapatkan tauhid yang hakiki. Yang dimaksudkan Tauhid Hakiki ialah tauhid
diri kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, secara qadim dan zahir. Adapun dalam
rangka pelaksanaan tauhid itu, zahir yang membawa qadim guna pelaksanaan
tauhid dapat tegak berdiri dengan sendirinya, seperti dalam rangka
pelaksanaan Takbiratulihram“ALLAHU AKBAR”harus benar-benar dan tertib
dalam pelaksanaannya, baik zahir mau pun hakikatnya secara khusyu. Untuk
inilah sebenarnya manusia diciptakan ALLAH‘Azza Wa Jalla, dan
sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid dalam
pengertian di atas, mulai dari Rasul pertama sampai kepada Rasul terakhir
yaitu Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan tauhid seperti di dalam firman
ALLAH‘Azza Wa Jalla :

ٓ
َ‫س ٓو ۟ا ِإي ٰ َم َن ُهم ِب ُظ ْل ٍم ُأ ۟و ٰ َلِئ َك َل ُه ُم ٱَأْل ْمنُ َوهُم ُّم ْه َتدُون‬ ۟ ‫ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
ُ ‫وا َو َل ْم َي ْل ِب‬

“Allażīna āmanụ wa lam yalbisū īmānahum biẓulmin ulā`ika lahumul-amnu wa


hum muhtadụn.”(QS Al-An’am : 82)

Artinya, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman


mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dari Ubadah bin Ash-Shamit,

‫هللا‬
ِ ‫سى َع ْب ُد‬ َ ‫ َوَأنَّ عِ ْي‬، ‫س ْولُ ُه‬
ُ ‫ـح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َر‬ َ ‫ش ِهدَ َأنْ اَل ِإ ٰلـ َه ِإاَّل هللاُ َو ْحدَ هُ اَل‬
َ ‫ َوَأنَّ ُم‬، ‫ش ِر ْي َك َل ُه‬ َ ْ‫َمن‬
َ‫ـج َّنـة‬ ‫َأ‬
َ ‫ دْ َخ َل ُه هللاُ ا ْل‬، ‫ـق‬
ٌّ ‫ار َح‬ َ ‫ َوال َّن‬، ‫ـق‬ َ َ ‫ َوا ْل‬، ‫ح ِم ْن ُه‬
ٌّ ‫ـجـ َّنـة َح‬ ‫َأ‬
ٌ ‫س ْولُ ُه َو َكلِ َم ُت ُه ْل َقاهَا ِإ َلى َم ْر َي َم َو ُر ْو‬
ُ ‫َو َر‬
‫ َع َلى َما َكانَ مِنَ ا ْل َع َم ِل‬.

Artinya, Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar selain ALLAH saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan bahwa‘Isa adalah
hamba ALLAH dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada
Maryam serta roh dari-Nya; dan bahwa surga adalah benar adanya dan neraka
adalah benar adanya, maka ALLAH pasti akan memasukkan nya ke dalam
surga bagaimana pun amal-amal yang telah diperbuatnya. (HR. Bukhari &
Muslim)

Tubuh dan Roh, Qadim dan Zahir. Dalam pengertian tubuh qadim dan roh
qadim itu ialah bersumber asal dari pada Marifatunnafsi, artinya mengenal diri
dari pada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan tiada pernah terpisah dengan-Nya sejak
awal yang tiada berawal, hingga kepada akhir yang tiada berakhir nanti.
Demikian pula yang dikatakan tubuh dan roh zahir, sebenarnya hal ini sejak
awal memang tiada pernah terpisah. Karena pada masa qadimnya, yang zahir
dibungkus oleh yang qadim, sedangkan setelah zahir maka yang qadim
dibungkus pula oleh yang zahir. Hanya berganti tempat saja secara rahasia.
Demikian pula apabila ALLAH‘Azza Wa Jalla sampai kembali ke Rahmatullah
(asal), tentu demikian pula dan tetap diselubungi oleh cahaya dari pada Nur
Muhammad sepanjang masa. Seperti penjelasan di bawah ini.

Pertama

Yang dinamakan ALLAH‘Azza Wa Jalla, adalah Maha Tunggal (Esa)


diumpamakan laut yang tiada bergelombang, ialah adanya Tuhan yang Maha
Suci dan Maha Tinggi, tiada martabat di atasnya malah semua martabat
adalah di bawahnya saja. Dengan dikatakannya La ta’yun Belum Tentu atau
Belum Nyata (Ahadiyat, Adanya Zat), sebenarnya oleh karena pada masa itu
kita manusia memang sudah ada dan tiada terpisah dengan Tuhan, Berarti kita
sudah berada dalam rahasia ALLAH‘Azza Wa Jalla. Tetapi oleh karena
ALLAH‘Azza Wa Jalla belum mau nampak (nyata), maka kita belum
ditampakkan pula. Jadi sejak di tahap Ahadiyat manusia itu sudah tetap dalam
rahasia ALLAH‘Azza Wa Jalla, tetapi belum ada pengakuan apa-apa karena
belum tampak dan ditampakkan. Seperti inilah tahap La ta’yun walau belum
nyata tapi kita sudah berada di dalam rahasia-Nya.
Kedua

Titik yang mengelilingi semua yang ada, serta mengitari nya palakia (nujum)
serta pendengaran dan penglihatan. Bukankah ALLAH‘Azza Wa Jalla
mengelilingi semua yang ada, sama dengan mengitari nya putih kertas dalam
kertas itu sendiri. Yang dikatakan Ta’yun Awal (Wahdah, Adanya Sifat) ialah
ibarat kita mengenal ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan Zat, Sifat, Dan semua yang
ada atas yang berjumlah dan tiada berlainan antara satu sama lain martabat ini
dinamakan Wahdah dan asal mula semua yang ada. Ketika Tuhan telah
mempunyai keinginan mengadakan (menampakkan), maka ditampakkan nya
manusia itu dahulu (titik) itu di dalam dirinya sendiri, seraya melihat dan
berkata“Tahukah engkau bahwasanya akulah Tuhanmu?”,Maka kita segera
menjawabnya“Benar! Engkaulah Tuhan kami”. Setelah terjadi pengakuan
bersama itu, lalu Tuhan berkata:“Hai, pada saat ini Aku akan mengambil empat
macam Halus dari tubuhmu kujadikan Alam, agar engkau tempati kelak”. Maka
kita menjawab ucapan Tuhan itu:“Lā haula wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil
azhīmi”. Setelah ucapan itu diucapkan maka ALLAH‘Azza Wa Jalla mengambil
ke-empat halus itu, yakni:

1. Mengambil dari Rahasia kita untuk dijadikan Api.


2. Mengambil dari Roh untuk dijadikan Angin.
3. Mengambil dari Hati untuk dijadikan Air.
4. Mengambil dari Tubuh untuk dijadikan Tanah.

Kemudian dengan empat halus itu dijadikan Alam bersama isinya oleh
ALLAH‘Azza Wa Jalla untuk ditempati oleh manusia. Adapun setelah
pengambilan ke-empat anasar Alam tersebut, maka titik yang tadinya itu
mengembang di tempat itu sendiri hingga menjadi banyak dan besar,
dinamakan Alif.

Ketiga
Alif pada zat menyelubungi semua rahasia yang ada, artinya sekali pun syarat
diselubungi nya. Bukankah mengelilingi segala sesuatu yang ada, seperti
perak mengelilingi pada cincin itu sendiri atau seperti air yang menyelubungi
lautan. Yang dikatakan Wahidiyah adanya Asma, ialah seumpama laut dengan
gelombang. Sesungguhnya ALLAH‘Azza Wa Jalla, Tuhan yang Maha Suci lagi
Maha Tinggi diumpamakan laut, sedangkan semua yang ada diumpamakan
gelombang. Adapun gelombang itu tidak akan ada di atas laut apabila laut itu
tiada. Demikianlah tauhid orang-orang yang ma’arif kepada ALLAH‘Azza Wa
Jalla. Tetapi perkataan ini juga lemah, karena sesungguhnya jalan yang
ditempuh orang-orang ma’arif kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla itu berada di
belakang akal. Ta’yun Tsani ialah umpama kita mengenal ALLAH‘Azza Wa
Jalla dengan zat, sifat, dan semua yang ada atas yang berlainan, maka
berlainan antara satu dengan yang lain. Martabat ini dinamakan Wahidiyah
serta asal mula semua manusia. Ketiga martabat ini, Ahadiyat, Wahdah, dan
Wahidiyah semuanya adalah qadim. Serta terdahulu atau terbelakang nya itu
hanya oleh karena perkataan saja dan bukan karena waktu. Ketika kita
mengatakan Maha Tunggal, Tunggal, dan ketika mengatakan Belum Tentu
(Nyata), Ketentuan Pertama, Ketentuan Kedua. Ketika mengatakan ketiga
martabat itu semuanya adalah qadim, sedangkan terdahulu atau terbelakang
nya itu hanya dari perkataan saja, bukan karena waktu. Karena pada hal
sesungguhnya laut yang tiada bergelombang itu, di situ juga terdapat satu
gelombang dan dinamakan titik. Dengan titik itu juga yang berkembang
menjadi banyak, maka dinamakan Alif. Jadi hakikatnya satu saja, tetapi tiada
dalam sebutan. Setelah dimengerti betul-betul serta menjadi patokan dalam
hati sanubari, bahwa kita tiada pernah terpisah dengan ALLAH‘Azza Wa Jalla
dari awal yang tiada berawal hingga kepada akhir yang tiada berakhir nanti,
serta Tauhid telah sempurna.

Setelah memahami penjelasan di atas, maka nyatalah bahwa manusia yang


berpatokan pada dalil hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
“Ana Minallah Wal Alama Minni”. Artinya,“Aku berasal dari ALLAH dan Alam
semesta berasal dari aku adanya”. Betul-betul dapat dimengerti bahwa tubuh
zahir inipun berasal dari ALLAH‘Azza Wa Jalla, bukan dari tanah. Sebab telah
dimengerti bahwa Ahmad itu adalah tubuh zahir kita dan dapat dimengerti pula
bahwa Ahmad itu adalah badan manusia, serta nama dari pada Nabi pun,
nyatanya Tuhan ALLAH‘Azza Wa Jalla. Pada kita dengan demikian maka ia
pula dikatakan Fatiha “Alhamdu”itu serta ia pula dikatakan imam. Shalat lima
waktu terbit dari pada huruf Alhamdu, ada pun waktu Dzuhur keluarnya dari
pada huruf Alif di Alhamdu, Ashar keluarnya dari pada huruf Lam di Alhamdu,
Maghrib keluarnya dari pada huruf Ha di Alhamdu, Isya keluarnya dari pada
huruf Mim di Alhamdu, Dan Subuh keluarnya dari pada huruf Dal di Alhamdu.
Itulah keadaan waktu yang diketahui supaya sampai dan sempurna lah
shalatnya untuk mendirikan shalat. Dan adalah misal dari pada menyatakan
hakikat akan pendirian shalat, sebenar-benarnya pendirian shalat itu kepada
zat kah atau kepada sifat kah atau kepada af’al kah.

“Alhamdu”

Demikian pula yang dinamakan Akbar itu sebenarnya adalah diri sendiri atau
penggerak dari Alhamdu (Ruh), jadi dalam kalimahtu“Allahu Akbar”sebenarnya
ALLAH itu Tuhan dan AKBAR adalah kita. Jadi dalam pelaksanaan ini harus
betul-betul Tauhidul Hakikiyah karena apabila tidak demikian maka terdapatlah
di dalamnya apa yang dikatakan atau di istilahkan Syirik khafi atau
penserikatan ter lindung kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla, maka bisa hancur lah
tauhid nya apabila betul-betul tidak memahami dan mengerti. Di dalam hal ini
ALLAH‘Azza Wa Jalla menjelaskan perihal tersebut di dalam firman-Nya:
‫اًۢل‬ َ ‫ش َر َك ِبهِۦ َو َي ْغفِ ُر َما دُونَ ٰ َذلِ َك لِ َمن َي‬
‫ض ٰ َل َبعِيدًا‬ َ ْ‫ش ِر ْك ِبٱهَّلل ِ َف َقد‬
َ َّ ‫ضل‬ ْ ‫شٓا ُء ۚ َو َمن ُي‬ ْ ‫ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل َي ْغفِ ُر َأن ُي‬

“Innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dụna żālika limay yasyā`,


wa may yusyrik billāhi fa qad ḍalla ḍalālam ba'īdā”. (QS An-Nisa : 116)

Artinya, Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan


(sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.

Dalam hal apa yang dikatakan mempersekutukan itu, ada dua macam:
1. Mempersekutukan secara zahir (kasar).
2. Mempersekutukan ter lindung (halus) tidak disadari.

Didalam satu hadist qudsi, ALLAH ‘Azza Wa Jalla mengingatkan:

َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬


‫س َّل َم‬ َ ِ ‫سول ُ هَّللا‬ُ ‫ َقال َ َر‬:َ‫ َقال‬،‫عنْ َأ ِبي ه َُر ْي َر َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه‬:
َ
َ ْ ‫َأ‬ ‫اًل‬
‫اء َعنْ الش ْركِ ؛ َمنْ َع ِمل َ َع َم ش َرك فِي ِه َمعِي‬ ِّ َ ُّ َ ْ ‫َأ‬ َ ‫َأ‬
ِ ‫ نا غنى الش َرك‬:‫ارك َوت َعالى‬ َ َ َ َ ‫هَّللا‬
َ ‫” قال َ ُ ت َب‬ َ
.”‫ َت َر ْكته َوشِ ْركه‬،)١(‫َغ ْي ِري‬
ُ َ ُ ُ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A, beliau berkata, Telah bersabda
Rasulullah SAW,“Telah berfirman Allah tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci
dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak
membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku
dalam amalan itu, maka Aku meninggalkannya dan sekutunya”. (Diriwayatkan
oleh Muslim dan juga oleh Ibnu Majah).

Sehubungan dengan dalil tersebut di atas, maka perlu segala gerak dan tindak
tanduk kita serta pelaksanaan segala sesuatunya perlu kita teliti secara
mendetail karena siapa tahu kita terkena apa yang dikatakan syirkun hafiyin itu.
Sebab mempersekutukan yang zahir itu mudah untuk di tobat kan, sedangkan
persekutuan ter lindung atau halus ini banyak tidak disadari. Jadi bagaimana
cara untuk meminta ampun (tobat) mengenai syirkun hafiyin itu kepada
ALLAH‘Azza Wa Jalla. Tentang apa yang dikatakan tadi dengan syirkun hafiyin
itu sangat halus, jadi sukar untuk bertobat justru tidak disadari nya merusak
Tauhid kita, Demikian pula dengan kalimat Syahadat:

ُ ‫ش َه ُد َأنَّ ُم َح َّمدًا َر‬


ِ ُ ‫س ْول‬
‫هللا‬ ْ ‫ش َه ُد َأنْ اَل ِإ َل َه ِإاَّل هللاُ َوَأ‬
ْ ‫َأ‬
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah"
Dalam mengucapkan dua kalimat syahadat ini sangat berat hukumnya, namun
untuk menyebutkan nya sangat di gampang kan orang. Tetapi kalau
direnungkan sedalam-dalamnya serta mengingat akan rukun dan syaratnya,
maka sangatlah berat akan pelaksanaannya. Sebab menurut hukum bahwa
syahadat itu adalah pokok dari pada rukun Islam, Oleh sebab itu maka
mempunyai dua rukun dan dua syarat sebagai berikut:

1. Rukun syahadat ada dua :


- Di ikrarkan dengan lidah.
- Di ikrarkan dengan hati.

2. Syarat sahnya syahadat ada dua pula :


- Syahadat pertama hamba bersaksi.
- Syahadat kedua hamba menyembah.

Untuk memperkuat pelaksanaan kedua kalimat syahadat tersebut, ALLAH


‘Azza Wa Jalla berfirman :

َ‫ش َه ُد ِإنَّ ٱ ْل ُم ٰ َنفِقِينَ َل ٰ َك ِذ ُبون‬ ُ ‫سول ُ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ َي ْع َل ُم ِإ َّن َك َل َر‬


ْ ‫سولُ ُهۥ َوٱهَّلل ُ َي‬ ُ ‫ش َه ُد ِإ َّن َك َل َر‬ ۟ ُ‫ٓاء َك ٱ ْل ُم ٰ َنفِقُونَ َقال‬
ْ ‫وا َن‬ َ ‫ِإ َذا َج‬

“Iżā jā`akal munāfiqụna qālụ nasy-hadu innaka larasụlullāh, wallāhu ya'lamu


innaka larasụluh, wallāhu yasy-hadu innal-munāfiqīna lakāżibụn”. (QS
Al-Munafiqun : 1)

Artinya, Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:


"Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar
orang pendusta.

Dengan firman ALLAH‘Azza Wa Jalla ini sangat nyata dan jelas bagi kita,
bahwa apabila pelaksanaan kedua kalimat syahadat itu tidak memenuhi rukun
dan syarat sebagaimana tersebut tadi nyatalah bahwa itu adalah munafik dan
ALLAH‘Azza Wa Jalla akan menempatkan orang-orang munafik di neraka
terbawah dengan kekal. Sehubungan dengan Tauhidul Hakikiyah itu perlu
betul-betul kita mengenal asal diri dari pada ALLAH‘Azza Wa Jalla, agar jangan
hanya tahu mengaku begitu saja tanpa dapat membuktikan kebenarannya.
Dan setelah kita menemukan diri kita yang hakiki sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah maka kita perlu menjaga diri kita dari segala noda,
dosa, dan maksiat baik berbentuk apa pun juga. Abu Hanifah R.A. berkata :
“Teguhkanlah pendirian mu, engkau telah mendahului jauh lebih maju.
Sekiranya engkau menyimpang ke kanan atau ke kiri, maka engkau akan
sesat”.
Nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali :

1. Manakala yang dicari itu bermutu tinggi dan mulia, akan sulit mencarinya,
panjang jalannya, dan banyak akibatnya.
2. Bila hati mu telah mengenal ALLAH‘Azza Wa Jalla sekali pun lidah mu
tidak bergerak menyebut “ALLAH”maka tunggulah saatnya saja
ALLAH‘Azza Wa Jalla menampakkan kesungguhannya.
3. Bila hati telah bersih dari pada pengaruh-pengaruh iblis dan syaitan serta
dari segala noda, dosa, dan maksiat. Maka cemerlang lah wajahnya serta
Nur yang telah ditanamkan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam lubuk
hatinya dan terpancar lah menerangi ke segala penjuru, serta Ilmu Laduni
telah dimilikinya dan terbukalah segala rahasia-rahasia yang indah-indah
seluruhnya.
4. Bila hati telah terang dengan Nur Ilahi, maka terbukalah segala
rahasia-rahasia yang tersembunyi secara terperinci.

Setelah memahami hikmah Abu Hanifah R.A. dan nasihat-nasihat Imam


Al-Ghazali, maka kalimat :

ِ ‫اَل َح ْول َ َواَل قُ َّو َة ِإاَّل ِبا‬


‫هلل‬
“Lā haula wa lā quwwata illā billāhi”.

Itu adalah kalimat berserah diri kepada Tuhan dengan maksud bahwa kita
menyerahkan diri kita kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan mengucapkan
bahwa tiada kemauan dan kekuatanku selain ALLAH‘Azza Wa Jalla. Dengan
mengucapkan kalimat berserah diri tersebut seharusnya diucapkan dengan
hati tulus dan iklas. Karena dengan penyerahan diri itu berlaku, berarti bahwa
kita ini memahami kalau diri kita ini sudah tidak ada lagi, yang ada hanya
ALLAH‘Azza Wa Jalla semata-mata. Jadi dengan penyerahan diri tersebut
berlaku, maka apabila meleset sedikit, bisa akan membawa kita kepada
kekufuran dan sesat (mati dalam keadaan kharani). Dengan demikian maka
hendaklah sedapat mungkin kita usahakan menyucikan diri dari segala
pengaruh iblis dan syaitan, serta dari segala dosa, noda, dan maksiat. Karena
ALLAH‘Azza Wa Jalla menyukai hamba-Nya yang bersih, sebagai mana
memperingatkan dengan firman-Nya :

ٌ ‫هللا َت َعا َلى َط ِّي‬


ً ‫ب الَ َي ْق َبل ُ ِإالَّ َط ِّي َبا‬ َ َّ‫ِإن‬
Artinya,“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala  itu amat bersih dan tidak
menerima, kecuali sesuatu yang bersih juga”.

Apabila kita telah bersih dan membersihkan diri dari segala-galanya serta
sabar dan tabah juga ulet dalam menghadapi segala sesuatu, maka
ALLAH‘Azza Wa Jalla tetap beserta kita. Sebagaimana ALLAH‘Azza Wa Jalla
berfirman :

َّ ٰ ‫ٱص ِب ُر ٓو ۟ا ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ َم َع‬


َ‫ٱلص ِب ِرين‬ ۟ ُ‫شل‬
َ ‫وا َو َت ْذه‬
ْ ‫َب ِري ُح ُك ْم ۖ َو‬ ۟ ‫سو َل ُهۥ َواَل َت ٰ َن َز ُع‬
َ ‫وا َف َت ْف‬ ُ ‫وا ٱهَّلل َ َو َر‬
۟ ‫َوَأطِ ي ُع‬

“Wa aṭī'ullāha wa rasụlahụ wa lā tanāza'ụ fa tafsyalụ wa taż-haba rīḥukum


waṣbirụ, innallāha ma'aṣ-ṣābirīn”. (QS Al-Anfal : 46)

Artinya, Dan taat lah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.

Arti dalam kata sabar itu bukan berarti berdiam diri, tetapi sebenarnya yang
dimaksud sabar ialah orang-orang yang tabah dan ulet menerima segala ujian
juga cobaan dari ALLAH‘Azza Wa Jalla, dan berhati wajah menentang segala
pengaruh-pengaruh yang dirasa dapat melemahkan keimanan dan ketakwaan.
Sebagaimana ALLAH‘Azza Wa Jalla dengan firman-Nya menjelaskan
mengenai hal ini :

َّ ٰ ‫ش ِر‬
َ‫ٱلص ِب ِرين‬ ِّ ‫ت ۗ َو َب‬ ِ ُ‫ص ِّمنَ ٱَأْل ْم ٰ َو ِل َوٱَأْلنف‬
ِ ‫س َوٱل َّث َم ٰ َر‬ ٍ ‫وع َو َن ْق‬
ِ ‫ش ْى ٍء ِّمنَ ٱ ْل َخ ْوفِ َوٱ ْل ُج‬
َ ‫َو َل َن ْبلُ َو َّن ُكم ِب‬

“Wa lanabluwannakum bisyai`im minal-khaufi wal-jụ'i wa naqṣim minal-amwāli


wal-anfusi waṡ-ṡamarāt, wa basysyiriṣ-ṣābirīn”. (QS Al-Baqarah : 155)

Artinya, Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Jadi setelah kita teliti kedua ayat tersebut di atas, maka jelaslah ALLAH‘Azza
Wa Jalla memberitahukan melalui firman-Nya bahwa kebahagiaan akhirat itu
adalah bersumber dari pada kesabaran dan ketabahan serta keuletan
menerima ujian ALLAH‘Azza Wa Jalla. Dan hendaknya segala apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW ditaati sepenuhnya sesuai
pengakuan kita sejak mengerti diri dari ALLAH‘Azza Wa Jalla, sebagaimana
firman-Nya :

‫س ْل ٰ َن َك َع َل ْي ِه ْم َحفِي ًظا‬
َ ‫اع ٱهَّلل َ ۖ َو َمن َت َو َّل ٰى َف َمٓا َأ ْر‬
َ ‫سول َ َف َقدْ َأ َط‬ َّ ‫َّمن ُيطِ ِع‬
ُ ‫ٱلر‬
“May yuṭi'ir-rasụla fa qad aṭā'allāh, wa man tawallā fa mā arsalnāka 'alaihim
ḥafīẓā”. (QS An-Nisa : 80)

Artinya, Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah. Dan barangsiapa yang berpaling belakang, maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Tafsir Ibnu Katsir:

Barang siapa yang menaati rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan
barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutus
kamu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka mengatakan,
"(Kewajiban kami hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisi
kamu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil
keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang
mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan
tawakal lah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung. Allah subhanahu
wa ta’ala memberitahukan perihal hamba dan Rasul-Nya (yaitu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa barang siapa yang
menaatinya, berarti ia taat kepada Allah. Barang siapa yang durhaka
kepadanya, berarti ia durhaka kepada Allah. Hal tersebut tidak lain karena apa
yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) bukan menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya. Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu
Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda: Barang siapa yang taat kepadaku, berarti ia
taat kepada Allah; dan barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia
durhaka kepada Allah. Barang siapa yang menaati amir(ku), berarti ia taat
kepadaku; dan barang siapa yang durhaka kepada amir(ku), berarti ia durhaka
kepadaku. Hadis ini disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat
Al-A'masy dengan lafal yang sama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan
barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutus
kamu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (An-Nisa: 80) Tugas kamu bukan
untuk itu, melainkan hanyalah menyampaikan. Untuk itu barang siapa yang
mengikuti kamu, maka berbahagia dan selamat lah ia, sedangkan bagimu ada
pahala yang semisal dengan pahala yang diperolehnya. Barang siapa yang
berpaling darimu, maka rugi dan kecewa lah dia, sedangkan kamu tidak
dikenai beban sedikit pun dari urusannya. Makna ayat ini sama dengan apa
yang disebut oleh sebuah hadis yang mengatakan: Barang siapa yang menaati
Allah dan Rasul-Nya, berarti ia telah mendapat petunjuk; dan barang siapa
yang durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia tidak
membahayakan selain hanya terhadap dirinya sendiri.

Sehubungan dengan ayat tersebut maka jelaslah bahwa yang diutus oleh
ALLAH‘Azza Wa Jalla sebagai Rasul guna menyampaikan petunjuk itu ialah
Muhammad. Perlu kita ketahui bahwa Muhammad itu siapa dan di mana?
Karena sesungguhnya yang dimaksud itu semuanya tidak terpisah dengan diri
kita sendiri menurut Tauhidul Hakikiyah. Adapun yang dimaksud dengan Rasul
ialah Muhammad, sedangkan pada masa zahiriah Muhammad itu diselubungi
oleh Akbar. Jadi maksudnya kita harus taati petunjuk yang keluar masuk itu,
sebab itu adalah Rasul sebagaimana dalam QS An-Nisa ayat 80 itu. Kembali
kepada pembahasan mengenai tahqiq yang sudah dijelaskan di awal, orang
yang memiliki Syariat dan Hakikat dinamai Tahqiq, artinya yang benar dan
amanat itu bisa dicabut dalam manusia apabila Tuhan menilik dengan
kemurkaan nya. Maka peliharalah dan jaga dengan baik amanat yang dititipkan
Tuhan kepada kita. Inilah tugas berat yang dipikul kan Tuhan kepada diri
manusia yaitu pemeliharaan Rohani. Dan mengenai perihal nyawa yang oleh
ahli tauhid nyawa itu dinamakan Rasul yang bernama Muhammad, dan kepada
Muhammad itulah pengetahuan kita sampai kepada martabat untuk mengenal
kepada Tuhan, hanya Muhammad itulah sebagai wasilah untuk menyampaikan
pengenalan kita kepada Tuhan.

“Araftu rabbii bi rabbi, lawlaa rabbii maa‘araftu rabbii”. Artinya, Aku


mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku,
niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku.

Dalam hal ini bukanlah berarti kita mengenal Muhammad, tetapi karena hanya
Muhammad lah yang senantiasa berkasih-kasihan dengan Tuhan dengan tiada
putusnya, karena Muhammad itu Rahasia sifat Tuhan. Dalam peribadatan
orang di maqam hakikat seperti shalat, tafakur, dan lainnya harus melalui
musyahadah, dan musyahadah harus melalui maqam fana, artinya
meniadakan diri pada diri yang batin dalam arti maknawi, artinya dalam
pengakuan kita tiada Adam yang kasar ini, yang ada hanya Muhammad
dengan Tuhan-nya. Inilah yang dimaksud dengan istilah mati hakikat, maka
beradalah diri itu dalam keadaan setengah sadar, di sinilah batas pengetahuan
kita, itulah sebesar-besar jalan makrifat. Setelah kita berhasil pada pengenalan
dirinya yang batin bernama Muhammad, barulah kita mengetahui wujud
Muhammad itu pada rahasia ketuhanan-nya. Karena selama belum
mengetahui wujud batin Muhammad dan wujud Muhammad, maka kita selalu
berada di dalam ketidaktahuan. Barang siapa tiada mengetahui batin
Muhammad dalam rahasia Tuhannya itu, maka belumlah ia mendapat
kesempurnaan pada makrifat nya. Adapun makrifat itu ialah hal keadaannya
untuk mengetahui orang yang tiada lepas dari pada berkehendak kepada
rahasia. Akhir dari makrifat itu ialah amal untuk menjalani sampai timbulnya
kehendak itu, tiada yang lain tempatnya menempatkan kehendak itu melainkan
kepada manusia. Asal makrifat itu ialah akal untuk menimbulkan keyakinan
bahwa ia tiada lepas dan pada berkehendak kepada rahasia. Dan Mula
makrifat itu ialah iman untuk menimbulkan tasdiq, karena tasdiq itu berdiri
kepada ke-esa-annya dan kebesarannya. Itulah yang dianugerahkan dari
ALLAH‘Azza Wa Jalla petunjuk iman dan yang dijadikan iman itu nur zat
ALLAH‘Azza Wa Jalla, dan itu yang ada pada hati latifah. Latifah itu hakikat
yang tinggi karena tatkala ia mengetahui maka dinamai hati, tatkala ada
berkehendak ke sana-sini maka dinamai nafsu, tatkala ia bisa membedakan
antara baik dan jahat dinamai akal, tatkala hidup dinamai rohani, dan tatkala ia
akan ALLAH‘Azza Wa Jalla dan Nabi Muhammad SAW dinamai hati latifah.
Adapun tempat hati latifah itu di dalam hati sanubari yang ada di dalam dada
manusia, hati latifah itulah yang sebenarnya hati karena ia bayang-bayang nur
Muhammad, dan nur Muhammad itu bayang-bayang zat ALLAH‘Azza Wa Jalla
yang sebenarnya ALLAH. Hati latifah yang menerima tajalli Zat ALLAH,
menerima tajalli Sifat ALLAH, dan menerima tajalli Af’al ALLAH. Hati latifah
memakai pakaian sifat ALLAH‘Azza Wa Jalla yang 7 (tujuh) : Kudrat, Iradat,
Ilmu, Hayat, Sama’, Basar, dan Kalam.

ALLAH‘Azza Wa Jalla tiada dapat dilihat dengan mata buta, tiada dapat
didengar dengan mata tuli, tiada dapat dikenal dengan hati, tiada dapat dirasa
dengan rasa. Kita melihat itu dengan penglihatan ALLAH‘Azza Wa Jalla,
artinya bukan kita yang melihat, seperti mengenal, mendengar, pengrasa, dan
sebagainya. Maka sempurnalah kita penglihatannya, pengenal nya,
pendengarnya, pengrasa nya, dan sebagainya. Di sanalah ALLAH‘Azza Wa
Jalla tempat menjatuhkan rahasia kepadanya. Di sanalah merasakan nikmat
dari pada surga, ia lenyap manakala ada suatu terang tiada ter hingga
terangnya dengan kebesaran lagi hening sempurna suci. Terangnya manakala
ia ada berdiri seperti Alif di dalam yang terang itulah Istighna namanya, maka
itulah yang bersifat kaya berdiri dengan sendirinya, itulah yang bernama
Syahadat.

ALLAH‘Azza Wa Jalla, berfirman :

‫ش ِهي ۢ ٌد َب ْينِى َو َب ْي َن ُك ْم ۚ َوُأوح َِى ِإ َل َّى ٰ َه َذا ٱ ْلقُ ْر َءانُ ُأِلنذ َِر ُكم ِبهِۦ َو َم ۢن‬َ ۖ ُ ‫ش ٰ َهدَ ًة ۖ قُ ِل ٱهَّلل‬
َ ‫ش ْى ٍء َأ ْك َب ُر‬ َ ‫ى‬ ُّ ‫قُلْ َأ‬
ٰ ْ ‫ش َهدُونَ َأنَّ َم َع ٱهَّلل ِ َءالِ َه ًة ُأ ْخ َر ٰى ۚ قُل ٓاَّل َأ‬
‫ى ٌء ِّم َّما‬ٓ ‫ش َه ُد ۚ قُلْ ِإ َّن َما ه َُو ِإ َل ٌه ٰ َو ِح ٌد َوِإ َّننِى َب ِر‬ ْ ‫َب َل َغ ۚ َأِئ َّن ُك ْم َل َت‬
َ‫ش ِر ُكون‬ ْ ‫ُت‬

“Qul ayyu syai`in akbaru syahādah, qulillāh, syahīdum bainī wa bainakum, wa


ụḥiya ilayya hāżal-qur`ānu li`unżirakum bihī wa mam balag, a innakum
latasy-hadụna anna ma'allāhi ālihatan ukhrā, qul lā asy-had, qul innamā huwa
ilāhuw wāḥiduw wa innanī barī`um mimmā tusyrikụn”. (QS Al-An’am : 19)

Artinya, Katakanlah:“Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?”


Katakanlah:“Allah”. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur’an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu
dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah
sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?”
Katakanlah:“Aku tidak mengakui”. Katakanlah:“Sesungguhnya Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan (dengan Allah)”.

ٓ ‫ٱلص َل ٰو َة لِذ ِْك ِر‬


‫ى‬ ْ ‫ِإ َّنن ِٓى َأ َنا ٱهَّلل ُ ٓاَل ِإ ٰ َل َه ِإٓاَّل َأ َن ۠ا َف‬
َّ ‫ٱع ُبدْ نِى َوَأق ِِم‬

“Innanī anallāhu lā ilāha illā ana fa'budnī wa aqimiṣ-ṣalāta liżikrī”. (QS Thaha :
14)

Artinya, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
‫هللا‬ ُ ‫ش َه ُد َأنَّ ُم َح َّمدًا َر‬
ِ ُ ‫س ْول‬ ْ ‫ش َه ُد َأنْ اَل ِإ َل َه ِإاَّل هللاُ َوَأ‬
ْ ‫َأ‬

“Asyhadu an-laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna-muhammadar rasuulullah”.

Artinya, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah.

Syair tokoh tasawwuf dan seorang ulama sufi juga sastrawan yang hidup pada
abad ke-16, Hamzah Al- Fansuri mengenai Tauhid makrifat.

La illaha ilallah

Wujud-Nya itu umpama da’irah yang buntar


Nentiasa tetap, tiada berkisar
Kelakuannya jua yang bertukar-tukar
Mengenal Dia terlalu sukar

La illaha ilallah itu firman


Tuhan itulah pergantungan alam sekalian
Iman tersurat pada hati insan
Siang dan malam jangan dilalaikan

La illaha ilallah itu tempat mengintai


Tauhid makrifat semata-mata
Memandang yang ghaib semuanya rata
Lenyapkan sekalian kita

La illaha ilallah jangan kau permudah


Sekalian makhluk kesana berpindah
Da‘im dan Ka‘im jangan berubah
Khalak di sana dengan La illaha ilallah

La illaha ilallah itu jangan kau lalaikan


Siang dan malam jangan kau sunyikan
Selama hidup juga engkau pakaikan
Allah dan Rasul juga yang menyampaikan

ix
AKIDAH

Kata akidah atau i’tiqod secara bahasa berasal dari kata al‘aqdu yang artinya
berputar sekitar makna kokoh, kuat, dan erat. Adapun secara istilah umum,
kata akidah bermakna keyakinan yang kokoh akan sesuatu, tanpa ada
keraguan. Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka
akidah tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka akidah tersebut bathil.
Dalam definisi syariah, akidah dalam agama islam bermakna masalah masalah
ilmiah yang berasal dari ALLAH‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya, yang wajib bagi
setiap muslim untuk meyakini nya sebagai pembenaran terhadap ALLAH‘Azza
Wa Jalla dan Rasul-Nya. Meski pun kata akidah dalam hal ini adalah istilah
baru yang tidak dikenal dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, namun para ulama
menggunakan istilah ini. Diantara para ulama yang menggunakan istilah akidah
adalah Imam Al-Laalakaai (418 H) di dalam kitabnya Syarhul ushul Itiqod ahlu
sunnah wal jama’ah. Kemudian Imam As-Shobuni (499 H) di dalam kitabnya
Aqidas Salaf Ashaabul Hadist. Dan ada beberapa istilah yang memiliki makna
yang sama dengan akidah yang juga digunakan oleh para ulama, diantaranya:

Al Fiqhul Akbar
Pada awal munculnya kata fiqih dimaksudkan kepada ilmu tentang agama
islam secara umum, dan khusus ilmu berkenaan dengan akhirat,
masalah-masalah hati, rusaknya amal dan sebagainya. Namun kemudian
makna ini berubah menjadi ilmu tentang hukum-hukum zahir praktis syariah
yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu fiqih. Sehingga karena itu ilmu fiqih di
masa dahulu mencakup seluruh ilmu agama baik ilmu akidah yang bersifat
batin maupun ilmu hukum-hukum yang bersifat zahir. Dari sinilah kemudian
muncul istilah fiqhul akbar yang dimaksud ilmu akidah. Karena ilmu akidah
lebih agung dibandingkan ilmu cabang hukum-hukum zahir yang merupakan
fiqhul ashghor. Ulama yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu
Hanifah (150 H) dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar.

Al Iman
Iman secara bahasa memiliki makna At Tashdiq (pembenaran) dan Al Iqroor
(penetapan). Adapun secara istilah syariah iman adalah adalah pembenaran
dan penetapan serta ketundukan terhadap kebenaran yang berasal dari
wahyu. Dan para ulama sepakat bahwa iman mencakup perkataan dan
perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan. Istilah
iman merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah. Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Ibnu
Mandah (395 H) dalam kitabnya yaitu Kitabul Iman. Dan Syaikhul Ibnu
Taimiyah (728 H) di dalam dua kitabnya yaitu Al Iman Ausath dan Al Imanul
Kabir. Kemudian juga Imam Bukhori membuka shohih Bukhori nya dengan
Kitabul Iman dan menutupnya dengan Kitabul Tauhid, ini menunjukkan fiqih
beliau dalam setiap bab yang beliau tulis. Iman Bukhori ingin menunjukkan
bahwa tauhid atau iman merupakan kewajiban yang pertama dan yang
terakhir. Namun ada perbedaan antara tauhid dan iman, Kitabul Iman berisi
penjelasan tentang iman, hakikat, cabang-cabangnya, dan kelompok yang
menyimpang dalam masalah ini, sedangkan Kitabul Tauhid menjelaskan
berkenaan dengan tauhid terutama asma dan sifat serta bantahan terhadap
kelompok yang menyimpang dalam hal mengenai tauhid.

As Sunnah
Kata sunnah memiliki makna yang bermacam-macam tergantung disiplin ilmu
masing-masing. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal-hal yang jika dikerjakan
mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Dalam ilmu ushul
fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al-Qur’an. Dalam ilmu
hadist assunnah merupakan persamaan dalam kata akidah, dan seterusnya.
Terkadang sunnah juga digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun
kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditujukan kepada
makna akidah karena kebutuhan penting ilmu akidah yang merupakan pokok
agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah
Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam Kitabus Sunnah dan
Imam Al Barbahaari (329 H) dalam Kitab Syarhus Sunnah.

At Tauhid
Kata tauhid terdapat di dalam hadist Mu’adz bin Jabal ketika beliau dalam
perjalanan bersama Nabi Muhammad SAW.

ٍ‫س ْبنُ َمالِك‬ ُ ‫ش ٍام َقال َ َحدَّ َثنِي َأ ِبي َعنْ َق َتادَ َة َقال َ َحدَّ َث َنا َأ َن‬ َ ‫ور َأ ْخ َب َر َنا ُم َعا ُذ ْبنُ ِه‬ ٍ ‫ص‬ ُ ‫َحدَّ َث َنا ِإ ْس َح ُق ْبنُ َم ْن‬
َ ‫سول‬ ُ ‫الر ْح ِل َقال َ َيا ُم َعا ُذ َقال َ َل َّب ْي َك َر‬ َّ ‫س َّل َم َو ُم َعا ُذ ْبنُ َج َب ٍل َردِيفُ ُه َع َلى‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬
َ ِ ‫َأنَّ َن ِب َّي هَّللا‬
‫س ْعدَ ْي َك‬ َ ‫سول َ هَّللا ِ َو‬ َ ‫سول َ هَّللا ِ َو‬
ُ ‫س ْعدَ ْي َك َقال َ َيا ُم َعا ُذ َقال َ َل َّب ْي َك َر‬ ُ ‫س ْعدَ ْي َك َقال َ َيا ُم َعا ُذ َقال َ َل َّب ْي َك َر‬ َ ‫هَّللا ِ َو‬
‫ار َقال َ َيا‬ ‫هَّللا‬ ُ ‫ش َه ُد َأنْ اَل ِإ َل َه ِإاَّل هَّللا ُ َوَأنَّ ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َر‬ْ ‫َقال َ َما مِنْ َع ْب ٍد َي‬
ِ ‫سولُ ُه ِإاَّل َح َّر َم ُه ُ َع َلى ال َّن‬
َ ‫سول َ هَّللا ِ َأ َفاَل ُأ ْخ ِب ُر ِب َها ال َّن‬
‫اس َف َي ْس َت ْبشِ ُروا َقال َ ِإ ًذا َي َّت ِكلُوا َفَأ ْخ َب َر ِب َها ُم َعا ٌذ عِ ْندَ َم ْو ِت ِه َتَأ ُّث ًما‬ ُ ‫َر‬

Artinya, Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah


mengabarkan kepada kami Mu'adz bin Hisyam dia berkata, telah menceritakan
kepada kami bapak ku dari Qatadah dia berkata, telah menceritakan kepada
kami Anas bin Malik bahwa Nabi Allah (dalam satu perjalanan), sedangkan
Mu'adz bin Jabal di bonceng di atas kendaraan beliau, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam lalu memanggil: "Wahai Mu'adz!" Mu'adz menyahut, "Aku
penuhi panggilanmu wahai Rasulullah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memanggil lagi: "Wahai Mu'adz!" Aku menyahut lagi, "Aku penuhi panggilanmu
wahai Rasulullah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggil: "Wahai
Mu'adz!" Aku menyahut lagi, "Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Barangsiapa yang
mengucap dua Kalimat Syahadat yaitu: tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya niscaya
dia selamat dari api Neraka”. Kemudian Mu'adz berkata, "Bolehkah aku
memberitahu perkara ini kepada manusia agar mereka sebarkan berita
gembira ini?". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalau
(berbuat) begitu, maka mereka akan bersandar dengannya." Lalu Mu'adz
menyebarkan kabar tersebut menjelang kematiannya khawatir menanggung
salah (karena menyembunyikan hadis)". (Shahih Muslim No. 47 - Kitab Iman).

Dan diantara para ulama yang menggunakan kata tauhid adalah Ibnu
Khuzaimah (311 H) di dalam Kitabut Tauhid Wa Itsbaatu Shifaatir Rabb‘Azza
Wa Jalla, juga Imam Al Maqriizi (845 H) di dalam kitabnya Tajridut Tauhid Al
Mufid, serta Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam
Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah‘Allal ‘Abid. Kitab-kitab yang ditulis
dengan istilah tauhid hanya membahas hal-hal yang berkaitan mengenai tauhid
yang merupakan bagian dari ilmu akidah. Selain membahas masalah tauhid,
kitab-kitab akidah juga membahas hal-hal lain seperti iman dan rukun-rukun
nya, islam dan rukun-rukun nya, hal-hal yang bersifat gaib, kaidah-kaidah
dalam akidah yang disepakati para ulama, wala dan baro, bantahan terhadap
aliran sesat, dan lain-lainnya.

As Syari’ah
Secara umum akidah seperti sunnah, terkadang dimaksudkan seluruh yang
disyariatkan oleh ALLAH‘Azza Wa Jalla kepada hambanya berupa
hukum-hukum yang disampaikan oleh para nabi. Terkadang hanya masalah
akidah dan terkadang dimaksudkan masalah amaliah fiqih saja. Dalam
Al-Qur’an pun makna syariah berbeda-beda, terkadang syariah bermakna
seluruh ajaran yang dibawa para nabi, terkadang dikhususkan ajaran setiap
nabi yang berbeda antara satu nabi dengan yang lainnya, dan terkadang
dikhususkan kepada kesamaan dakwah seluruh nabi yaitu tauhid. Adapun
secara khusus makna syariah adalah akidah yang diyakini oleh ahlu sunnah
wal jama’ah. Dan ini lah yang dimaksud oleh para ulama ketika menulis
kitab-kitab akidah dengan nama As Syari’ah. Diantara ulama yang
menggunakan istilah akidah adalah Imam Al Ajurri (360 H) dalam kitabnya As
Syarii’ah dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitab beliau yaitu Al Ibaanah‘Alaa
Syarii’ati Firqotun Naajiyah.

Ushulud Din
Ashlu atau pokok adalah apa yang dibangun di atasnya sesuatu. Maka ushulud
din adalah sesuatu agama yang dibangun di atasnya. Dan agama islam
dibangun di atas akidah yang benar, sehingga para ulama menggunakan istilah
ini dengan makna ilmu akidah. Dan ini yang kita kenal dalam
perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah khususnya fakultas yang
konsentrasi membahas akidah adalah fakultas ushuluddin. Diantara ulama
yang menggunakan istilah ini adalah Abu Hasan Al Asy’ari (324 H) dalam
kitabnya Al Ibanah‘An Ushulid Diyanah, dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam
kitabnya Asy Syarhu wal Ibanag‘An Ushulis sunnah wad Dinayah.

Firman ALLAH‘Azza Wa Jalla mengenai akidah;

ٓ
َ‫س ٓو ۟ا ِإي ٰ َم َن ُهم ِب ُظ ْل ٍم ُأ ۟و ٰ َلِئ َك َل ُه ُم ٱَأْل ْمنُ َوهُم ُّم ْه َتدُون‬ ۟ ‫ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن‬
ُ ‫وا َو َل ْم َي ْل ِب‬

“Allażīna āmanụ wa lam yalbisū īmānahum biẓulmin ulā`ika lahumul-amnu wa


hum muhtadụn”. (QS Al-An’am : 82)

Artinya, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman


mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Orang-orang yang beriman kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya, dan
melaksanakan syariat-Nya dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka
dengan kesyirikan, mereka itulah yang akan mendapatkan ketenangan dan
keselamatan, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh taufik menuju
jalan yang haq. Dalam hal ini akidah menjadi penting dan tidak boleh
tercampur dengan syirik, walaupun syirik itu adalah syirik yang sangat halus
sekali yang tersembunyi di dalam hati tiap-tiap pada diri manusia.

Akidah menurut ahlul makrifat di dalam Kitab Babbul Haq, Pendirian seorang
ahlul makrifat ialah tidak akan ragu kepada akidah nya, dan tidak akan pernah
berubah walaupun di anggap kafir oleh golongan-golongan lain. Bahkan
mereka rela mati daripada berubah keyakinannya, mati adalah jalan yang
terbaik dari semua jalan yang baik-baik untuk mempertahankan akidah.
Seorang ahlul makrifat tidak pernah luntur walaupun disirami dengan hujan
fitnah. Kata-kata sesat dan kafir yang dilontarkan kepadanya dianggapnya
sebuah nyanyian seorang sufi yang sedang rindu dengan kekasihnya, mereka
tidak peduli akan kata-kata huruf dan suara. Hanya yang penting baginya
adalah perasaannya kepada Tuhannya. Apabila cintanya telah bersemi dan
berupa penerimaan dari Khaliknya, di sinilah nilai hidup itu. Baginya tidak
berguna hidup tanpa nikmat makrifat, karena makrifat itu adalah jiwanya iman
dan jiwanya iman adalah ikhsan. Jadi jiwanya islam adalah iman dan jiwanya
iman adalah ikhsan, apabila jiwa-jiwa itu kosong makrifat maka tidak beda
hidupnya seperti binatang buas yang rakus dan tidak tahu diri. Karena akhir
dari tujuan hidup adalah cinta dan ridha kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Apabila
cinta dan ridha telah bebas dari belenggu makhluk semata, karena dalam jiwa
yang suci akan melahirkan perbuatan yang suci pula dan dalam jiwa yang kotor
akan melahirkan perbuatan yang kotor pula. Tidak ada perbuatan yang datang
dari Tuhan itu yang jahat, bila datangnya dari Tuhan semua baik. Ahlul makrifat
menjadikan napas yang keluar masuk adalah sebagai zikir dan gerak
perbuatannya adalah puji untuk mengingat-Nya.

Pohon dari ingat ini adalah Esa, apabila sudah benar-benar menyatu dengan
seluruh alam dan Tuhan maka itulah yang dikatakan kesatuan wujud namanya.
Makna dari sahdatul wujud artinya bahwa semua itu ALLAH‘Azza Wa Jalla dan
tidak ada yang lainnya, kalau sudah seperti ini disebut Tuhan yang Maha Esa.
Pokok pangkalnya semua kejadian, segala kehidupan dan perbuatan telah kita
ketahui seluruhnya dan maka dari itu janganlah kita ada perasaan ragu-ragu
lagi. Agama islam adalah agama yang murni. Kemurnian agama islam
dibarengi oleh empat rukun, yaitu :
1. Syariat.
2. Tarikat.
3. Hakikat.
4. Makrifat.

Tanpa empat rukun di atas bukan dinamakan agama, pokok dari yang empat
rukun tersebut adalah makrifat, dan makrifat adalah kumpulan dari syariat,
tarikat, dan hakikat. Jadi kumpulan ilmu pengetahuan tentang syariat dan
tersedianya jalan tarikat, akhirnya akan bertemu dengan hakikat, Itulah yang
disebut dengan makrifat. Maka nyatalah kepada kita bahwa makrifat itu adalah
gabungan dari ilmu fiqih, ushuluddin, dan ilmu tasawwuf. Kumpulan dari mantik
keindahan dan cinta, dengan demikian hanya empat pasal ini yang
menyempurnakan agama ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam dunia ini. Jadi tanpa
yang empat rukun ini dapat dikatakan semua amal ibadah baik lahir maupun
batin akan membawa pada kesesatan, sebab dalam amal ibadah pasti ada
syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat nya.

Seperti di dalam Rukun Islam ada lima perkara :


1. Dua kalimat syahadat.
2. Mengerjakan shalat.
3. Puasa pada bulan ramadhan.
4. Mengeluarkan zakat fitrah.
5. Naik haji jika mampu.

Jika lima rukun islam ini mengikuti empat rukun agama seperti yang dijelaskan
di atas, maka dapat disusun sebagai berikut :
Rukun islam yang pertama, Syahadat.
; Syariat syahadat, Tarikat syahadat, Hakikat syahadat, Makrifat syahadat.
Rukun islam yang kedua, Shalat.
; Syariat shalat, Tarikat shalat, Hakikat shalat, Makrifat shalat.
Rukun islam yang ketiga, Puasa.
; Syariat puasa, Tarikat puasa, Hakikat puasa, Makrifat puasa.
Rukun islam yang keempat, Zakat.
; Syariat zakat, Tarikat zakat, Hakikat zakat, Makrifat zakat.
Rukun islam yang kelima, Haji.
; Syariat haji, Tarikat haji, Hakikat haji, Makrifat haji.

Penjelasan rukun islam pertama, Syahadat.


1. Syariat syahadat adalah Mengucap dengan lidah.
2. Tarikat syahadat adalah Pada shalat sejatinya sedang melakukan tajali
kepada Tuhan.
3. Hakikat syahadat adalah Hidup atau hayat yang sesungguhnya.
4. Makrifat syahadat adalah Agar supaya merasa dan melingkupi yang
mencorong itu dengan zat dan sifat ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Penjelasan rukun islam kedua, Shalat.


1. Syariat shalat adalah Saat-saat berdiri, ruku, sujud, dan lain-lain.
2. Tarikat shalat adalah Tetap saja dalam kita shalat tetapi sejatinya adalah
tajali mutlak.
3. Hakikat shalat adalah Telah jelas adanya Alif, Lam Awal, Lam Akhir, Ha.
Katakanlah ALLAH dan tidak ada lagi selain-Nya.
4. Makrifat shalat adalah Harus sampai bertemu dalam pelaksanaannya
dengan Nur Muhammad, inilah sejatinya shalat.
Penjelasan rukun islam ketiga, Puasa.
1. Syariat puasa adalah Kita sudah maklum adanya seperti yang kita lakukan
dalam berpuasa.
2. Tarikat puasa adalah Menyatu dengan tajali.
3. Hakikat puasa adalah Puasa menghilangkan nafsu angkara murka, dan
supaya kita berdiri dengan nafsu zat hak ta’ala.
4. Makrifat puasa adalah Dalam pelaksanaannya harus bertemu dengan
bulan purnama sidi, yaitu terang benderang Tuhan telah bertajali
kepadanya.

Penjelasan rukun islam keempat, Zakat.


1. Syariat zakat adalah Kita sudah maklum adanya seperti yang kita lakukan
dalam zakat.
2. Tarikat zakat adalah Harus berdirinya atau fana nya makhluk dari
ingatannya, dan harus tajali mutlak.
3. Hakikat zakat adalah Jangan sampai kita lupa atau salah dalam akidah.
4. Makrifat zakat adalah Harus bisa atau harus sanggup merasakan
hilangnya wujud seluruhnya lahir batin dan manunggal dengan Tuhan
(dalam rahasia).

Penjelasan rukun islam kelima, Haji.


1. Syariat haji adalah Kita sudah maklum adanya seperti yang kita lakukan
dalan haji.
2. Tarikat haji adalah Sedang kita shalat atau waktu kita ada di baitullah
(rumah Allah).
3. Hakikat haji adalah Meleburkan dosa dengan jalan makrifat, mengenal
ALLAH‘Azza Wa Jalla.
4. Makrifat haji adalah Rohani dan jasmani telah menyatu dalam kesatuan
yang utuh dan mutlak.

Demikianlah yang diuraikan mengenai rukun islam di dalam kitab Babbul Haq,
Jadi rukun islam itu dalam tiap-tiap rukun memiliki atau mempunyai empat
pasal. Maka jika demikian lima rukun itu menjadi lima kali empat adalah dua
puluh pasal. Inilah yang menjadi sifat dua puluh, sebab dua puluh pasal ini
menghimpun segala sifat-sifat ALLAH‘Azza Wa Jalla di dalam alam ini. Dan
manakah sifat istimewa bagi Tuhan? Segala-galanya harus bagi Tuhan, tidak
ada yang terbentur bagi Tuhan atau tidak ada dinding-dindingnya lagi. Jadi
siapa yang sudah paham itulah mereka yang sudah mendapatkan petunjuk
dari ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Rukun Iman ada enam perkara :


1. Amantubillahi : Percaya kepada ALLAH.
2. Wal Malaikatihi : Percaya kepada Malaikat-Nya.
3. Wa Kutubihi : Percaya kepada Kitab-Nya.
4. Wa Rasulihi : Percaya kepada Rasul-Nya.
5. Wal Yaumil Akhiri : Percaya kepada hari Akhir.
6. Wabil Qadri Khoirihi Wa Syarrihi : Percaya Qada dan Qadar Nya.

Penjelasan rukun iman pertama, Amantubillahi.


Beriman kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla berarti meyakini bahwa hanya ada satu
Tuhan yang layak untuk disembah, Tuhan yang tidak memiliki anak, bapak,
istri, keluarga, dan Tuhan yang tidak serupa dengan makhluknya. Konsep ini
dikenal dengan Tauhid, seperti dijelaskan dengan tegas dalam firman-Nya di
surat Al-Ikhlas :

‫قُلْ ه َُو ٱهَّلل ُ َأ َح ٌد‬

“qul huwallāhu aḥad”. (QS Al-Ikhlas : 1)

Artinya, Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa.

َّ ُ ‫ٱهَّلل‬
‫ٱلص َم ُد‬

“allāhuṣ-ṣamad”. (QS Al-Ikhlas : 2)

Artinya, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

ْ‫َل ْم َيلِدْ َو َل ْم ُيو َلد‬

“lam yalid wa lam yụlad”. (QS Al-Ikhlas : 3)

Artinya, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.

‫َو َل ْم َي ُكن َّل ُهۥ ُكفُ ًوا َأ َح ۢ ٌد‬

“wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad”. (QS Al-Ikhlas : 4)

Artinya, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

Beriman kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla merupakan pokok dan akar dari


segalanya, dan belum dikatakan benar kalau tidak dipahami dalam arti kalau
belum kembali kepada roh lagi dan dirasakan ALLAH‘Azza Wa Jalla ada di
mana saja di mana kita berada. Lamaujuda Bi Haqqin Ilallah artinya tidak ada
yang maujud di dalam alam ini, kecuali ALLAH Ta’ala.

Penjelasan rukun iman kedua, Wal Malaikatihi.


Rukun iman yang kedua adalah iman kepada Malaikat, para Malaikat adalah
tentara-tentara ALLAH‘Azza Wa Jalla yang diciptakan dari cahaya dan selalu
patuh juga tunduk terhadap perintah ALLAH‘Azza Wa Jalla dan tidak pernah
bermaksiat. Malaikat diciptakan lebih dahulu daripada manusia dan Malaikat
memiliki tugas yang berbeda-beda juga tidak makan, tidak tidur, atau menderita
sakit. Lalu di manakah keberadaan Malaikat? Pertama kita yakin bahwa
Malaikat itu ada, Sejenak kita renungi dan pahami dengan mencoba melihat
kepada diri kita sendiri nanti tatkala sedang menghadapi sakaratul maut nanti
dalil apakah yang bisa menolong untuk menyempurnakan nyawa? Bukankah
kita sudah tahu bahwa Malaikat itu utusan ALLAH‘Azza Wa Jalla. Malaikat itu
bukan jirim atau jisim dan dapat kita rasakan apa yang terjadi pada tubuh kita
ini seperti rambut atau bulu yang tetap tumbuh memanjang walau kita sedang
dalam keadaan tidur dan kita tidak bisa memerintahkannya untuk berhenti
tumbuh. Seperti itulah kenyataannya Malaikat pada diri kita ini tidak akan
hilang dengan tubuh kita ini, siang dan malam terus bekerja tiada hentinya.
Dan Malaikat juga menjaga dan selalu menyertai manusia dari mulai di rahim
sampai ajal menjemput.

Dalam hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu‘anhu, Nabi Muhammad SAW
bersabda:

ْ‫ َفِإ َذا َأ َرادَ هَّللا ُ َأن‬. ‫ض َغ ٌة‬ ْ ‫ َأ ْى َر ِّب ُم‬، ‫ َأ ْى َر ِّب َع َل َق ٌة‬، ‫َف َيقُول ُ َأ ْى َر ِّب ُن ْط َف ٌة‬ َّ ‫َو َّكل َ هَّللا ُ ِب‬
‫الرح ِِم َم َل ًكا‬
‫ب َك َذلِ َك فِى َب ْط ِن‬ ُ ‫الر ْز ُق َف َما اَأل َجل ُ َف ُي ْك َت‬
ِّ ‫سعِي ٌد َف َما‬ َ ‫َر ِّب َذ َك ٌر َأ ْم ُأ ْن َثى َأ‬
َ ‫شق ٌِّى َأ ْم‬ ‫َي ْقضِ َى َخ ْل َق َها َقال َ َأ ْى‬
‫ُأ ِّم ِه‬

Artinya, Allah mengutus seorang Malaikat untuk rahim, lalu beliau


mengatakan, ‘Ya Allah, ini nutfah.’‘Ya Allah, ini segumpal darah.’ ‘Ya Allah, ini
segumpal daging.’ Ketika Allah hendak menyelesaikan penciptaannya, beliau
bertanya, ‘Ya Allah, lelaki atau perempuan? Apakah dia orang yang celaka
atau bahagia? Bagaimana rizkinya? Bagaimana ajalnya?’ akhirnya ditetapkan
untuknya semua ketetapan itu di perut ibunya. (HR. Bukhari 6595 dan Muslim
2646)

ALLAH ‘Azza Wa Jalla juga berfirman perihal Malaikat penjaga seperti dalam
firman-Nya:

‫وا‬۟ ‫ت ِّم ۢن َب ْي ِن َيدَ ْي ِه َومِنْ َخ ْلفِهِۦ َي ْح َف ُظو َن ُهۥ مِنْ َأ ْم ِر ٱهَّلل ِ ۗ ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل ُي َغ ِّي ُر َما ِب َق ْوم َح َّت ٰى ُي َغ ِّي ُر‬
ٌ ‫َل ُهۥ ُم َع ِّق ٰ َب‬
ٍ
ٍ ‫س ٓو ًءا َفاَل َم َردَّ َل ُهۥ ۚ َو َما َل ُهم ِّمن دُو ِنهِۦ مِن َو‬
‫ال‬ ُ ‫َما ِبَأنفُسِ ِه ْم ۗ َوِإ َذٓا َأ َرادَ ٱهَّلل ُ ِب َق ْو ٍم‬

“Lahụ mu'aqqibātum mim baini yadaihi wa min khalfihī yaḥfaẓụnahụ min


amrillāh, innallāha lā yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyirụ mā bi`anfusihim,
wa iżā arādallāhu biqaumin sū`an fa lā maradda lah, wa mā lahum min dụnihī
miw wāl”. (QS Ar-Ra’d : 11)

Artinya, Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya


bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Dan disebutkan juga di dalam firman yang lain,

ُ ‫ٓاء َأ َحدَ ُك ُم ٱ ْل َم ْو‬


ُ ‫ت َت َو َّف ْت ُه ُر‬
‫سلُ َنا َو ُه ْم اَل‬ َ ‫َوه َُو ٱ ْل َقا ِه ُر َف ْو َق عِ َبا ِدهِۦ ۖ َو ُي ْرسِ ل ُ َع َل ْي ُك ْم َح َف َظ ًة َح َّت ٰ ٓى ِإ َذا َج‬
َ‫ُي َف ِّر ُطون‬

“Wa huwal-qāhiru fauqa 'ibādihī wa yursilu 'alaikum ḥafaẓah, ḥattā iżā jā`a
aḥadakumul-mautu tawaffat-hu rusulunā wa hum lā yufarriṭụn”. (QS Al-An’am :
61)

Artinya, Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua


hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga
apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan
oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan
kewajibannya.

Di dalam firman-Nya yang lain juga disebutkan,

‫ال َقعِي ٌد‬ ِ ‫ِإ ْذ َي َت َل َّقى ٱ ْل ُم َت َل ِّق َي‬


ِ ‫ان َع ِن ٱ ْل َيم‬
ِّ ‫ِين َو َع ِن ٱل‬
ِ ‫ش َم‬
“Iż yatalaqqal-mutalaqqiyāni 'anil-yamīni wa 'anisy-syimāli qa'īd”. (QS Qaf : 17)

Artinya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya,


seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.

Jelaslah bahwa manusia tidak sendiri tetapi didampingi, dijaga, dan juga
diperhatikan oleh para Malaikat seperti yang disebutkan pada dalil-dalil di atas.
Oleh karena itu hendaklah manusia selalu mawas diri dalam segala hal
perbuatan baik itu dari perkataan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman.
Karena semua itu dijaga dan diawasi oleh para Malaikat atas perintah
ALLAH‘Azza Wa Jalla.

Penjelasan rukun iman ketiga, Wa Kutubihi.


Beriman kepada Kitab-kitab ALLAH‘Azza Wa Jalla, Jadi kita harus yang
benar-benar percaya kepada kitab-Nya itu seperti Al-Qur’an. Kata kitab berasal
dari bahasa Arab yaitu“kataba yaktubu kitabatan kitaban”yang artinya tulisan.
Arti kitab ALLAH secara istilah adalah tulisan wahyu pada lembaran-lembaran
yang terkumpul dalam satu bentuk buku. Dalam sejarah firman ALLAH‘Azza
Wa Jalla ditulis dengan dua bentuk berupa Suhuf dan Mushaf. Suhuf (bentuk
tunggalnya : Sahifa) berarti sepenggal kalimat yang ditulis dalam material
seperti kulit, kertas, papirus, dan media lain. Mushaf (bentuk jamaknya :
Masahif) berarti kumpulan dari suhuf yang dijadikan menjadi satu. Beriman
kepada kitab ALLAH‘Azza Wa Jalla berarti mempercayai dan membenarkan
bahwa ALLAH‘Azza Wa Jalla menurunkan kitab-kitab kepada para Rasul-Nya
yang berisi larangan, perintah, janji, dan ancaman-Nya.
VI. PENUTUP

Menjadi tantangan tersendiri untuk para salik yang mempelajari ilmu tasawwuf
dikarenakan pertentangan paham antara ahli fiqh dan ahli tasawwuf,
pertentangan berbeda paham ini tidak mengherankan karena memang
berbeda tempat bertolak aliran ini sejak mula terjadi ilmu ini dibahas dan di
buku kan sekitar abad ke- III Hijriah. Yang pertama bertolak dari sudut hukum
syariat dan yang kedua bertolak dari hakikat tujuan daripada keyakinan dan
amal. Yang pertama dengan tidak sadar memperbaiki lahir manusia, dan
sedang yang kedua memperbaiki batinnya, sehingga sebagaimana yang
pernah kita singgung di sana-sini terjadilah ilmu lahir dan batin. Ulama lahir ini
sudah menganggap sesuatu amal yang sudah memenuhi syarat dan rukun nya
sepanjang aturan agama sah, sedang ulama batin lebih menitik beratkan
kepada tujuan dan rahasia yang terselip di belakang amal itu. Ulama-ulama
hakikat pun mengakui bahwa syariat atau ilmu lahir itu tidak dapat dipisahkan
daripada ilmu hakikat atau tujuan yang tersembunyi, sebagaimana yang
diucapkan oleh Syaikh Al-Junaid:“Syariat itu berpilin dengan hakikat dan
hakikat itu berpilin dengan syariat”. Meski pun demikian masih ada
pertentangan dari ulama-ulama fiqh sebagian masih menentang ilmu tasawwuf
dan ilmu hakikat dan juga ada yang mengkafirkan beberapa ulama tasawwuf
yang mereka sangka menyeleweng daripada ajaran syariat, diantara mereka
yang hebat sekali diserang kita sebutkan di sini Ibn‘Arabi dan Ibn‘Faridh, untuk
di Nusantara sendiri yang hebat sekali diserang Syaikh Siti Jenar pada saat
zaman Wali Songo. Saya tidak percaya bahwa: serangan-serangan terhadap
ulama-ulama tasawwuf lebih diperbesar oleh rasa hasad, karena
ajaran-ajarannya yang berjiwa dan lekas menemui sasarannya, lebih cepat dan
lebih banyak mendapat sambutan umat, yang terjadi di dalam abad-abad
kerusakan akhlak dari pengajaran-pengajaran fiqih yang kering. Meski pun di
dalam kondisi demikian mengenai ilmu tasawwuf yang mendapatkan fitnah,
Tatkala Abu Yazid Al-Busthami ditanya oleh muridnya, mengapa
murid-muridnya itu dapat mendengar uraian gurunya itu berjam-jam lamanya
dengan tidak bosan, dan apabila mendengar pengajaran ilmu fiqih tidak dapat
menahan lama mendengar pengajian yang diberikan oleh seorang ulama fiqh,
Abu Yazid Al-Busthami menjawab :“Karena pengajaran dari gurunya itu
sasarannya otak, sedang pengajaranku sasarannya adalah jiwamu”.

Al-Is Ibn‘Abdussalam menyerang Ibn‘Arabi dan mengatakan kalau Ibn‘Arabi itu


zindiq. Seorang sahabatnya berkata kepadanya: “…Baiklah, tetapi aku ingin
engkau menunjukkan kepadaku seorang wali quthub?”.
Ibn‘Abdussalam mengatakan: “…Yaitu Ibn‘Arabi”.
Lalu orang itu berkata kembali:“…Tetapi engkau menyerang Ibn‘Arabi”.
Ibn‘Abdussalam menjawab:“…Aku ingin memelihara syariat lahir”.
Seorang ulama sufi berkata kepada muridnya:“Jika engkau menghendaki surga
pergilah belajar fiqih kepada Ibn‘Madian, tetapi jika engkau mengingini Tuhan
yang mempunyai surga, datanglah belajar kepadaku. Untuk mencapai surga
jalannya syariat dan jalan kepada Tuhan adalah tasawwuf”. Syariat yang konon
dengan maksud untuk mengembalikan umat islam kepada tauhid Tuhan yang
bersih, menurut orang tasawwuf banyak tidak membawa perubahan pada diri
seseorang, Maka oleh karena itu ulama-ulama tasawwuf menunjukkan
hakikat-hakikat atau hikmah dari pada syariat itu, untuk membawa manusia
yang mengerjakan ibadat dapat menebalkan imannya terhadap Tuhan. Tetapi
kedua paham ini kadang-kadang tidak kenal mengenal satu sama lain,
sehingga terjadi serang menyerang dan kafir mengkafirkan satu sama lain.

Demikianlah dari uraian dalam keseluruhan mengenai tasawwuf tarikat dan


hakikat dapat kita ambil kesimpulan, bahwa persoalan tarikat dan hakikat
dalam tasawwuf ini juga di samping banyak memberi keuntungan atau faedah
untuk memperdalam dan melancarkan ajaran Islam tetapi banyak juga yang
mengadakan penyelewengan-penyelewengan dan memasukkan bid’ah yang
dapat merusak ajaran suci dari Islam. Ketidak seragam ini hanya tidak terdapat
dalam kehidupan kalangan tarikat dan hakikat saja tetapi dapat meluas kepada
masyarakat umum dan membuat sukar jalannya pemerintahan dalam menjaga
kesejahteraan serta keamanan umat. Sebagaimana kita lihat kejatuhan nama
tasawwuf ini dengan segala gerakan-gerakannya ialah karena banyak di
masukan tambahan-tambahan dari luar ajaran Islam, yang dapat mengurangi
nilai Islam dan tidak ada dalam agama itu sebagaimana terjadi dengan
ilmu-ilmu lain dalam Islam. Jika tidak mengenai agama, tambahan (bid’ah) ini
tidaklah menjadi pembicaraan. Banyak sekali terdapat orang-orang yang tidak
ahli dalam memimpin tarikat-tarikat tasawwuf serta memberikan penjelasan
yang tidak benar mengenai hakikat dan makrifat, sehingga merugikan dan
cenderung menyesatkan kepada umum. Sampai sekarang belum ada sesuatu
peraturan yang tegas yang dapat menentukan gerakan-gerakan tasawwuf itu
berjalan sebagaimana mestinya, begitu juga belum terdapat adanya aturan
secara terperinci pengertian-pengertian mengenai materi yang diakui sah
sepanjang jalan Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah, maka gerakan-gerakan tarikat
yang tidak mendapat pengawasan dalam pengertian belum dapat memberikan
buah hasil sebaik-baiknya bagi kemajuan dan kemurnian Islam, ini menjadi
tantangan tersendiri untuk para salik dalam menuntut ilmu tasawwuf dan lebih
dapat mempilah-pilah memasuki tarikat-tarikat tasawwuf supaya tidak salah
dalam mempelajari ilmu tasawwuf yang memang langsung kepada ahli nya
atau guru Musryid yang benar yang berpegang kepada ajaran Islam yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Ditempat di mana orang-orang sudah mengenal betul ajaran tasawwuf ini


dengan segala gerak-gerakannya dan di mana orang sudah dapat paham dan
mengenali mana yang merupakan ajaran asli dan sah dari tasawwuf dan mana
yang merupakan penyelewengan, misalnya di Mesir. Demikian Sayyid Sabiq
pernah membicarakan persoalan ini dalam kitabnya “Ana sirul Quwwah fil
Islam”(Kairo, 1963) secara panjang lebar dan terperinci karena Ia menganggap
tasawwuf dan gerakan-gerakan di dalamnya adalah jiwa dan tujuan Islam, dan
oleh karena itu hendaklah dipimpin ke arah yang sebaik-baiknya dan
dibersihkan dari semua hal khurafat dan kejahilan, terutama yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Di Indonesia sebenarnya tindakan ini sudah ada dan dianggap perlu sejak
zaman penjajahan Belanda, sehingga pemerintah kolonial pada saat itu
menganggap sangat perlu mengadakan peraturan untuk tarikat dan
guru-gurunya ini yang dinamakan“Guru Ordennantie”, suatu peraturan yang
mewajibkan guru-guru tarikat itu mendaftarkan dirinya, juga dengan
memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan oleh pemerintah kolonial
pada saat itu, misalnya mengenai pendidikan nya, tarikat yang diajarkannya,
ajaran-ajaran di dalam tarikat itu, jumlah murid-muridnya yang harus
didaftarkannya, keterangan mengenai silsilah, khirkah dan ijazah nya, dan
penjelasan-penjelasan lain yang diperlukan untuk menetapkan apakah seorang
syaikh dianggap berhak untuk memimpin perkumpulan atau majelis tarikat nya
dan tidak mengajarkan penyelewengan-penyelewengan yang dapat merugikan
masyarakat. Tetapi disayangkan peraturan pemerintah kolonial pada saat itu
lebih banyak ditekankan kepada keselamatan politik kolonial nya,
ketenteraman dan kesejahteraan umum saja, tidak meninjau persoalan dari
sudut kepentingan agama Islam.

Saat ini di Indonesia kita lihat dalam kalangan tarikat ini sudah ada usaha
untuk menggabungkan tarikat-tarikat itu dalam suatu organisasi, seperti
perkumpulan tarikat Al-Mutabarah yang dipimpin oleh Nahdatul Ulama (NU),
perkumpulan tarikat Naqsabandiah dahulu dinamakan PPTI (Partai Politik
Tarikat Islam), dan perkumpulan tarikat Qadiriyah Naqsabandiah di Suryalaya,
Tasik malaya. Perkembangan ilmu tasawwuf di Indonesia sangat pesat dan
berkembang, Dan Indonesia pun terpilih dalam kegiatan World Sufi Forum
yang dihadiri Ulama-ulama sufi dari 80 Negara, Dan Habib Luthfi bin Yahya
terpilih sebagai pemimpin forum sufi berskala internasional tersebut, Beliau
terpilih secara aklamasi pada sidang yang dipimpin oleh Mufti Suriah Syaikh
Adnan Al-Afyouni.

Menanggapi hal tersebut, Pakar tasawwuf Indonesia KH. M. Luqman Hakim


mengatakan bahwa dengan terpilih nya Habib Luthfi bin Yahya sebagai ketua
sufi dalam forum Internasional merupakan sinyal bagi dunia untuk bangkit
menuju kepada ALLAH‘Azza Wa Jalla. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Lembaran kosong, ini untuk di isi catatan para pembaca yang budiman

….………………………………………………………………………………………
…………………..………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
…………………

“Sujud-ku di dalam gelap,


Di dalam gelap-ku ada terang,
Pada terang itu tubuh-ku lenyap, bertaburan cahaya”.

‫العا َل ِم ْين‬
َ ‫ب‬ ِّ ‫اي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َر‬ ُ ‫صالَتِي َو ُن‬
َ ‫سك ِْي َو َم ْح َي‬ َ َّ‫ِإن‬

“Inna solati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamiin”


Artinya, Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah karena Allah, Tuhan seluruh Alam.

Anda mungkin juga menyukai