Anda di halaman 1dari 10

HMI dalam pusaran Relasi kerja dan Relasi kuasa

(Study terhadap keterbiasan relasi ideologi)

Etika organisasi yang paling mendasar adalah menjalankan prinsip


kerjasama, masing masing person mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
sama dalam menjaga marwah komunitas serta menjunjung tinggi ultimate goals
yang telah menjadi consensus, sebagaimana tertuang pada pedoman pokok
organisasi. Cara kerja organisasi bukan hanya sekedar terletak pada instansi
ataupun satuan lembaga yang memiliki struktur kepengurusan dan pedoman
keorganisasian, sejatinya yang membuat eksistensi manusia sebagai spesies sentral
dalam tatanan peradaban dunia, adalah bentuk satuan kerja kolektif atau dalam arti
lain nya sebagai cara kerja organisasi, hingga memungkinkan manusia mengambil
peran strategis mengelola dan merekayasa peradaban. Sejak era berburu dan
meramu, kelompok manusia yang mempunyai ikatan primordial keluarga,
memaikan kerja jaringan, dimana pembagian tugas dari masing masing anggota
klan mulai terdisversifikasi, para anggota lelaki dewasa menjaga lahan perburuan
agar kemudian teritori jangkauan mereka tersebut dapat dimanfaatkan untuk
mencari objek perburuan, mulai dari hewan dan tumbuh tumbuhan, lalu dari pihak
perempuan dewasa akan mengolah hasil perburuan tersebut untuk kebutuhan
domestic.

Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi tersebut dikonsentrasikan supaya


menjaga asupan kebutuhan klan mereka dapat terpenuhi, lalu dimana peran para
anak anak dalam siklus pemenuhan kebutuhan tersebut? Porsi peran mereka
didalam pembagian tugas tersebut memang tidak mendapatkan amanat sebagai
produsen, dan cenderung hanya sebagai konsumen, yang distribusi kerja berburu
dan meramu dioreintasikan pada curahan perhatian besar kepada para anak anak.
Begitulah cara pengorganisasian komunitas primitive menjaga regenerasi anggota
kelompok mereka, jadi curahan perhatian, baik pemenuhan kebutuhan konsumsi,
kasih sayang (perlindungan dari rasa aman) menjadi target pencapaia. ketika proses
usia dan pertumbuhan fisik mulai beranjak, latihan dan pembiasaan budaya kerja
dalam pemenuhan kebutuhan mulai dikenalkan kepada para anak anak anggota
kelompok komunitas, atau istilah lainya upaya ini dikenal sebagai bentuk
kaderisasi tingkat keluarga, straregi alamiah seperti ini didorong oleh tuntutan
universal kehidupan yang siklikal, tidak selamanya para tetua klan dan para lelaki
dewasa di kelompok mereka diberikan tanggung jawab produksi, factor usia dan
kematian merupakan landasan elementernya, kemudian pertambahan angka
kelahiran yang berbanding lurus dengan tingkat kebutuhan domestic yang
meningkat, mengharuskan regenerasi tamggung jawab produksi harus bergulir.

Corak kerja dan pembagian tugas dalam komunitas primitive, yang ikatan
primordial nya diukur dari pertalian keluarga, secara general, berlaku secara umum
di tingkatan trend peradaban manusia periode berburu dan meramu. Jika dianalisa,
kerangka kerja organisasi periode ini, para tetua dan lelaki dewasa sebagai
produsen kebutuhan domestic, kemudian manajerial pangan akan dihandle para
perempuan dewasa untuk didistribusikan kepada para anak anak sebagai anggota
muda keluarga, untuk anggota keluarga di usia transisional, mereka akan dilatih
dan dikenalkan cara kerja berburu, guna memberikan bekal empiric, mengenalkan
strategi serta melatih skill, supaya nanti di era bhakti mereka, budaya kerja tersebut
dapat mereka emban, sebagai penyokong kebutuhan hidup anggota keluarga
mereka.

Lelaki dewasa Perempuan dewasa Keluarga remaja


(Produsen) (Manajerial ) (Kader transisioal)

Keluarga anak -
anak (Konsumen)

Relasi kerja yang terjalin, menumbuhkan pembagian kerja yang beragam,


sehingga aksentuasi kewajiban tidak hanya terkonsentrasi pada sebagian pihak
saja. Dengan pendivisian tugas, beban kerja semakin ringan dan durasi waktu kerja
akan semakin berkurang, atas dasar itulah manusia memposisikan dirinya sebagai
unit sosial, dari uraian analisa tentang pemenuhan kebutuhan, mustahil dikerjakan
secara individual, maka konsekuensi logisnya mesti diterapkan secara kelompok,
mengingat pula tantangan realita yang menuntut daya survive tinggi. Semakin
bergulirnya zaman, juga akan mempengaruhi peningkatan kualitas hidup ke arah
kompleksitas item kebutuhan, jika di era berburu dan meramu batas batas
kebutuhan hanya kerkutat seputar konsumsi domestic, era berikutnya yang dikenal
sebagai era logam dan perbesian, manusia mulai menciptakan peralatan
perlogaman dan perbesian untuk efisiensi berburu, mengolah makanan hingga
meningkatkan penghayatan terhadap seni.

Semenjak peradaban manusia mengenal pengolahan logam dan besi sebagai


item peralatan, hal ini juga berimbas pada corak kebudayaan-dan kepercayaan.
Pemanfaatan bahan baku dari besi dan logam, menjadi titik balik laju peradaban
manusia ke arah percepatan tingkat eksplorasi dan daya kreasi dalam mempelopori
penggunaan alat alat baru yang semakin mutakhir. Semenjak dimulainya babakan
baru ini, media pemujaan terhadap roh dan kultus terhadap leluhur mulai
menggunakan item perlogaman dan perbesian, penemuan tersebut mendorong
pergeseran paradigma seni, yang semula perhiasan dari bahan baku fosil berubah
menjadi logam dan obsisidian, perhatian terhadap seni ukir mendapatkan tempat
baru sebagai ungkapan ekspresi estetik, yang mana pada babakan terdahulu lukisan
lukisan dinding sangat mendominasi, dengan objek hewan sebagai motif.

Era logam-besi menjadi titik balik lompatan zaman, karena manusia sudah
mulai mampu mengeksplorasi dan mengidentifikasi kebutuhan baru, yang tidak
hanya berkutat pada aktivitas konsumsi, pengahayatan terhadap seni dan corak
kebudayaan yang semakin meningkat, mendorong daya fiksional dan kreatifitas
umat manusia semakin terbuka untuk mempelopori penemuan penemuan baru,
baik secara teknologis maupun penataan sosial yang lebih tersktruktur. Tata kelola
kehidupan sosial manusia yang semulanya dikendalikan oleh faktor kesukuan,
mulai terurai menjadi sistem sosial yang semakin tertata, pembentukan instansi
public dan wadah bertukar gagasan, mengahantarkan lembaran baru penerapan
konstelasi sosial yang heterogen. Semakin majemuknya komposisi masyarakat,
maka dibutuhkan pranata baru yang mengatur tentang distribusi keadilan, sehingga
dibutuhkan agen sosial dan politik sebagai implementator nya.

Pendelegasian wakil di ruang ruang regulasi dan pelaksana kewenangan,


secara bertahap menghendaki atas terciptanya ruang pemerintahan, sebagai wadah
perumusan dan pelaksanaan kebutuhan kelompok yang semakin kompleks.
Sebagaimana diketahui secara umum, kebudayaan tersebut bisa dilacak dari
catatan peninggalan kebudayaan Yunani, Romawi, Mesopotamia, India dan China
sebagai sample nya, dengan adanya transformasi sosial yang berlangsung, maka
dampak langsungnya akan mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan,
terutama dalam aspek relasi kerja dan relasi kuasa.
Meninjau dari perkembangan nya, relasi kerja periode imperium kuno-feodal
masih berwatak perbudakan dan eksploitatif terhadap tenaga kerja, terutama
terhadap kaum hamba sahaya, kemudian memasuki era industrialisasi, segmen
relasi kerja terbagi dalam dua gelombang, gelombang pertama muncul di awal
kehadiran produksi menggunakan mesin, maka secara otomatis daya serap tenaga
kerja untuk mengoperasikan dan mengoranisir produksi semakin tinggi, namun
dengan semakin massifnya penggunaan teknologi, mendorong kelipatan nilai lebih
bertambah geliat. Logika kapitalisme yang turut mempengaruhi corak produksi era
industrialisasi, membelah kelas sosial menjadi dua bagian, yang pertama sebagai
pemilik alat produksi disebut borjuis, dikarenakan privatisasi bisnis, kelipatan
untung semakin memperkaya asset kepemilikan, namun disisi lain, pihak kedua
yang disebut proletar tidak banyak mengalami perubahan nasib yang lebih baik,
pergantian era peradbaban, nyatanya hanya berganti aktor penindas, tidak sama
sekali membebaskan golongan tertindas dari jeratan kemelaratan, hal ini turut
diperparah oleh penerapan regulasi wajib kerja, atau resiko pembangkanya nya
akan diajtauhi hukuman setara kriminal.

Hadirnya paradigma kapitalisme dengan ditopang perangkat teknologi,


nyatanya mampu menjadi counter hegemoni terhadap pihak aristokrasi yang pada
masa itu memasuki penghujung kejayaan nya. Cara ampuh golongan kapitalis
untuk menekan sekaligus meredam otoritas aristokrasi adalah dengan mendesak
pembagian wewenang, secara perlahan pihak borjuis menginisiasi pembentukan
rumah parlemen sebagai wadah perumusan regulasi, sekaligus meraih legitimasi
peran mereka dalam memproteksi praktik bisnis. Dilain kasus, keterpurukan pihak
proletar tidak membuat mereka pasrah terhadap situasi, melalui perserikatan buruh
internasional, tuntutan terhadap keberpihakan hukum kepada buruh terus lantang
disuarakan, demi perbaikan nasib dan jaminan sosial profesi mereka. Gerakan
buruh internasional ini kemudian menjadi faktor pemicu lahirnya segmen kedua
relasi kerja dalam lembaran era industrialisasi. Pertentangan kelas antara borjuis
dengan proletar, kemudian menjadi arena pertarungan dalam diskursus ekonomi-
politik, polarisasi kelas maka akan membawa konsekuensi pada titik equilibrium.
Dominaasi borjuis atas proletar dalam relasi kerja, menstimulan perlawanan
proletar. Perlawanan perlawanan tersebut diantaranya juga melalui tuntutan
regulasi dan kebijakan, gerakan sosial melalui pemogokan kerja saja ternyata tidak
cukup mengisnyafi libido eksplotatif dan logika profit borjuis untuk
memperhatikan kesejahteraan proletar. Pemanfaatan keterbukaan hukum dan
kesetaraan, perlahan cukup mempengaruhi atensi publik atas keberpihakannya
mendukung rumusan hukum yang merevisi poin poin tentang ketimpangan hak
buruh. Akibatnya, produk hukum yang mengatur ketenagakerjaan baik itu berupa
standarisasi jam kerja, jaminan sosial, tunjangan serta jatah cuti dapat diterima oleh
kalangan buruh sebagai hak dasar mereka sebagai pekerja

Relasi kerja pada dasarnya mengikat pihak yang menukar jasa nya untuk
berpatronase kepada pihak yang memiliki platform. Pertalian antara penyedia jasa
dan penyerap jasa kemudian identik dengan pertukaran nilai atas apa yang dapat
dihasilkan bersama, ikatan individu maupun kelompok dalam relasi kerja
didasarkan pada keuntungan dan kepentingan, daya tahan kohesifitasnya diukur
sejauh mana dorongan transaksional dapat berlangsung. Relasi kerja dapat di
asumsikan sebagai ikatan semu, karena tingkat kedalaman chemistry dan
frekunsinya hanya berada dalam ranah kerja. Dari fenomena tersebut, banyak
kasus refreksi yang terjadi di dalam iklim keorganisasian ketika pengoperasian
program kerja organisasi menggunakan cara kerja relasi kerja. Pada konteks ini,
orintasi study nya mengacu pada fenomena organisasi berbasis intelektual, yang
notabene, aksentuasinya lebih mengarah pada praktik pemberdayaan,
pengembangan sumberdaya manusia, dan tentunya tidak berlandaskan money
oriented.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), merupakan salah satu organisasi


kemahasiswaan yang bergerak di ranah intelektualitas, sejak awal berdirinya sudah
mendeklarasikan jati dirinya sebagai organisasi kader bersifat independen yang
berperan sebagai organisasi perjuangan serta menjadikan Islam sebagai motivasi
dasarnya. Komitmen yang tertuang dalam profil umum keorganisasian HMI, bukan
saja ornament retorik, hal tersebut juga koheren dengan sumbangsihnya terhadap
pembinaan mahasiswa dalam mengembangkan potensi dan menyediakan
laboratorium sosial, sebagai ruang praktium study tronsformasi sosial, agar dapat
memproduksi agen agen pembaharuan yang siap disebar dan mengejawantahkan
kemashlahatan. Meminjam konsepsi siklus perubahan dari Arnold J.Toynbee,
tahapan perubahan berlangsung mulai dari fase genesis, pertumbuhan/ kemajuan,
kemunduran dan kehancuran, ke-empat tahap tersebut mirip seperti lingkaran
kehidupan, yang kemudian dihubungkan dengan kesenyawaan tatanan yang
dibangun oleh manusia, dan rotasi tersebut akan terus mengalami pengulangan
yang berkelanjutan, namun akan mengalami pemutakhiran secara kualitatif.

Jika dihubungkan dengan study tematik tentang HMI, fase genesis dan
pertumbuhan sudah pernah dialami dan tercatat dalam lintasan sejarah perjuangan
HMI dari masa ke masa, pada titik kontemporer ini, fenomena regresif HMI tidak
hanya dirasakan di lingkungan internal keorganisasian saja, bahkan sudah menjadi
sorotan public. Indikator penilaian nya secara internal dapat dilacak dari beberapa
tulisan alumni HMI, beberapa diantaranya seperti Agussalim Sitompul,
mengomentari hal tersebut dengan sebuah tulisan yang dijadikan buku, berjudul 44
indikator kemunduran HMI, poin poin pokonya terdiri dari; menurunya bargaining
HMI bagi mahasiswa, manajemen dan pengembangan training yang kurang upto
date, semakin maraknya kasus perpecahan karena tensi kekuasaan yang sporadis,
memudarnya tradisi intelektual dan penghayatan terhadap nilai keislaman,
penyusutan ruang pengabdian dan pemberdayaan masyarakat, marak absen atas
advokasi isu keumatan-kebangsaan. Dari beberapa contoh kemunduran militansi
keorganisasian tersebut, sangatlah jelas bahwa faktor terkuat nya disebabkan
karena para anggota HMI larut dalam nuansa ambisi kekuasaan, tapi abai terhadap
pemanfaatan wewenang tersebut untuk di implementasikan sebagai sarana
kemashlahatan, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Nurcholis madjid, selaku mantan ketua umum PB HMI periode 1966-1969


dan 1969-1971, dalam statement nya pada acara silaturahmi internal HMI yang
dilangsungkan di Bogor tanggal 20 April 2002, sempat mengatakan bahwa
“sebaiknya HMI dibubarkan saja daripada terus menerus jadi bulan bulanan dan
bisa berakibat dilaknat Allah SWT”, ucapan tersebut bukan tanpa alasan atau
bentuk sinisme subjektif Cak Nur, dari uraian ucapan Cak Nur yang di kutip oleh
Agussalim Stipompul , beberapa diantaranya disebabkan oleh kemerosotan akhlak,
banyak mengadopsi perilaku negative yang marak terjadi dalam fenomena
kebangsaan saat itu (KKN), praktik money politic di arena pemilihan ketua umum
lintas jenjang structural, krisis kepemimpinan yang ber integritas, maka sangat
mendesak untuk memilih pemimpin yang independen, kapable, intelek serta
tawadhu (Agussalim Sitompul, 2002).

Jika ditilik dari skup temporal komentar tulisan dua tokoh besar HMI
tersebut, berlangsung di era pasca reformasi, hal ini juga diperkuat dengan derap
laju teknologi yang semakin pesat, semakin memperburuk situasi pengelolaan
organisasi, dimana terdapat indikasi shock culture atau ketidak siapan HMI
menyambut peradaban distruptif, sehingga pemanfaatan sarana teknologi tidak
banyak diserap sebagai media penyokong program kerja keoganisasian. Semenjak
akses menuju ruang birokrasi dan parlemen semakin terbuka bagi kalangan alumni
HMI, geliat orientasi untuk berkarir di zona tersebut semakin kuat mewarnai
mindset anggota HMI yang kebirokratan. Titik balik gelombang eksodus alumni
HMI memasuki ruang pemerintahan terjadi pasca peristiwa besar transisi
pemerintahan, baik era orde lama ke orde baru melalui manuver eks tokoh
angkatan 66 hingga eks tokoh tokoh HMI di era reformasi mendapat panggung
popularitas heroism, sehingga mampu mendapatkan atensi public, yang kemudian
sosial capital tersebut menjadi tiket menuju ruang pemerimtahan.

Watak birokrat yang menyerang mentalitas anggota HMI, perlahan


membudaya di lingkunga internal organisasi. Berkaca dari konsep Habitus nya
Pierre-Bourdieu yaitu tentang internalisasi nilai di suatu lingkungan yang
kemudian mengkristal menjadi kebiasan yang dihayati. Jadi suatu Habitus
merupakan konstruksi, bukan sekedar spontanitas yang terjadi di dalam
lingkungan. Fenomena struktur sosial ini terjadi secara dua arah, bukan menjadi
faktor determinan dari sisi agen sosial belaka, namun juga karena ada
keterterimaan lingkungan sosial yang pada kelanjutanya menguat sebagai
kebiasaan. Berdasarkan konsep habitus diatas, watak birokrat HMI yang merembes
ke dalam lingkungan organisasi, dipengaruhi oleh faktor intensitas interaksi
dengan para birokrat, disamping itu juga, kalangan internal HMI yang berstatus
alumni cukup mengafirmasi budaya impor ini. Daya dukung berupa kemudahan
akses untuk mendapatkan fasilitas penyokong agenda program kerja menurunkan
legacy kepada penerus estafet kepemimpinan, hingga dalam durasi waktu yang
panjang, jeratan status quo semakin membekas dalam, tak jarang balutan agenda
yang diselenggarakan terkesan elitis dan ceremonial, bahkan kurang mendasar jika
dikatikan dengan jati diri organisasi yang menyatakan diri berpihak kepada
golongan Mustadhafiin dan memikul tanggung jawab atas terwujudnya masyarakat
adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Watak elitis-birokratis tidak hanya tercermin dari corak kegiatan yang


diselenggarakan secara keorganisasian, suatu konsekuensi etis organisasi yang
digerakan oleh personalianya, secara inherensi membentuk kepribadiaan anggota
bertipikal birokratis. Konstruksi karakter tersebut mempengaruhi cara pandang dan
pola tindak keanggotaan yang berkelanjutan, bukan saja sekedar di periode
keanggotaan organisasi, tetapi lebih jauh mempengaruhi juga motif kerja di ranah
keprofesian. Landasan relasi kerja , yang belakangan ini marak mempengaruhi cara
pandang anggota HMI, berpijak pada kerangka by profit atau malah money
oriented , penyelenggaraan agenda yang dijalankan cenderung ceremonial dan
terkesan hanya sekedar menggugurkan kewajiban semata. Relasi kerja berdasarkan
kerangka by profit, mengutamakan keuntungan berwatak oportunistis bagi pihak
konseptor kegiatan, jika terdapat sebuah adagium yang mengatakan “tidak ada
makan siang gratis”, fenomena tersebut sangatlah sesuai, sekaligus
menggambarkan etika kontemporer bagi sebagian banyak anggota HMI yang
menyelenggarakan kegiatan, dengan mengatasnamakan organisasi.

Sebuah perbedaan mendasar dari para aktor aktor pendahulunya, yang


mengedepankan tentang apa yang dapat diberi kepada organisasi, alih alih
berkontribusi maksimal untuk menaikan responsibilitas keumatan-kebangsaan,
watak kekinian para anggota HMI condong untuk mengedepankan tentang apa
yang bisa mereka dapat dari organisasi. Hal ini bukan berarti dedikasi yang kaku
dan fanatisme yang ekstrim merupakan keharusan untuk di serap sebagai kultur
organisasi, seyogyanya memang relasi cinta terhadap organisasi memang harus
ditumbuhkan, sebagai pengikat loyalitas dan penanaman sifat altruistic kepada
anggota nya, agar kelak kemudian hari, kebiasaan tersebut dapat mengokohkan
karakter insan yang sensitive atas fenomena sosial, tempat berlangsung eksistensi
lingkungan hidup nya.

Terdapat beberapa alasan yang kuat atas kian melemahnya power HMI
sebagai poros gerakan kritis, ditinjau dari masa masa sebelumnya. Pertama,
menyusutnya atmosfer intelektual di ranah internal HMI, budaya literasi, diskusi
serta produktifitas tulisan menjadi pemandangan yang mainstream, baik dari
lingkaran komisariat, sampai jenjang struktural lanjutan. Jika kita gunakan analisa
teori ruang public Jurgen Habermas, sejatinya HMI merupakan sarana yang
konkret dalam mengisi ruang public kampus sampai ke lingkungan luarnya sebagai
media pembentuk wacana kritis, karena dengan adanya ruang public, perkumpulan
tersebut mampu membentuk opini public yang kemudian berdifusi ke radius yang
lebih luas lagi dalam membangun konstruksi sosial yang dinamis, namun yang
agaknya di garis bawahi, tidak semua ruang public dapat menstimulan transformasi
berkemajuan, layaknya study Habermas terhadap ruang public masyarakat Eropa
yang di masa masa tersebut mampu

Eskapisme dari idealita tersebut bermuara pada pragmatism, tentang sesuatu


yang dapat langsung dinikmati dan sesuatu yang langsung dapat menghasilkan,
indikator terkuat yang menyebabkan kasus tersebut dikarenakan melemahnya
kualitas kekaryaan dan ketergantungan terhadap organisasi, sehingga bargaining
prestasi para anggota-anggota HMI meredup. Kemudahan akses dari jalur
organisasi, ternyata mendukung mentalitas jalan pintas, ada banyak peluang untuk
dikelola menjadi keuntungan personal, hal yang lumrah diketahui bahwa istilah
mafia proposal sangat identik dijadikan program siluman, dengan mengemas
agenda seminar maupun workshop sebagai dalih untuk menyiasati surpluss
anggaran. Untuk menggarap kegiatan berskala besar yang mengundang atensi
public dan tentunya mendatangkan pemasukan finasial yang besar memerlukan
jaringan luas ke instansi-instansi strategis padat modal, maka tidak bisa dipungkiri
peran sentral pihak yang berperan dalam mengupayakan open akses maupun pihak
yang bersangkutan langsung didalam ranah strategis tersebut menyisakan jejak
timbal balik antara
Patron klien, mafia proposal, agenda fiktif, ruang public

Anda mungkin juga menyukai