HMI Dalam Pusaran Relasi Kerja Dan Relasi Kuasa
HMI Dalam Pusaran Relasi Kerja Dan Relasi Kuasa
Corak kerja dan pembagian tugas dalam komunitas primitive, yang ikatan
primordial nya diukur dari pertalian keluarga, secara general, berlaku secara umum
di tingkatan trend peradaban manusia periode berburu dan meramu. Jika dianalisa,
kerangka kerja organisasi periode ini, para tetua dan lelaki dewasa sebagai
produsen kebutuhan domestic, kemudian manajerial pangan akan dihandle para
perempuan dewasa untuk didistribusikan kepada para anak anak sebagai anggota
muda keluarga, untuk anggota keluarga di usia transisional, mereka akan dilatih
dan dikenalkan cara kerja berburu, guna memberikan bekal empiric, mengenalkan
strategi serta melatih skill, supaya nanti di era bhakti mereka, budaya kerja tersebut
dapat mereka emban, sebagai penyokong kebutuhan hidup anggota keluarga
mereka.
Keluarga anak -
anak (Konsumen)
Era logam-besi menjadi titik balik lompatan zaman, karena manusia sudah
mulai mampu mengeksplorasi dan mengidentifikasi kebutuhan baru, yang tidak
hanya berkutat pada aktivitas konsumsi, pengahayatan terhadap seni dan corak
kebudayaan yang semakin meningkat, mendorong daya fiksional dan kreatifitas
umat manusia semakin terbuka untuk mempelopori penemuan penemuan baru,
baik secara teknologis maupun penataan sosial yang lebih tersktruktur. Tata kelola
kehidupan sosial manusia yang semulanya dikendalikan oleh faktor kesukuan,
mulai terurai menjadi sistem sosial yang semakin tertata, pembentukan instansi
public dan wadah bertukar gagasan, mengahantarkan lembaran baru penerapan
konstelasi sosial yang heterogen. Semakin majemuknya komposisi masyarakat,
maka dibutuhkan pranata baru yang mengatur tentang distribusi keadilan, sehingga
dibutuhkan agen sosial dan politik sebagai implementator nya.
Relasi kerja pada dasarnya mengikat pihak yang menukar jasa nya untuk
berpatronase kepada pihak yang memiliki platform. Pertalian antara penyedia jasa
dan penyerap jasa kemudian identik dengan pertukaran nilai atas apa yang dapat
dihasilkan bersama, ikatan individu maupun kelompok dalam relasi kerja
didasarkan pada keuntungan dan kepentingan, daya tahan kohesifitasnya diukur
sejauh mana dorongan transaksional dapat berlangsung. Relasi kerja dapat di
asumsikan sebagai ikatan semu, karena tingkat kedalaman chemistry dan
frekunsinya hanya berada dalam ranah kerja. Dari fenomena tersebut, banyak
kasus refreksi yang terjadi di dalam iklim keorganisasian ketika pengoperasian
program kerja organisasi menggunakan cara kerja relasi kerja. Pada konteks ini,
orintasi study nya mengacu pada fenomena organisasi berbasis intelektual, yang
notabene, aksentuasinya lebih mengarah pada praktik pemberdayaan,
pengembangan sumberdaya manusia, dan tentunya tidak berlandaskan money
oriented.
Jika dihubungkan dengan study tematik tentang HMI, fase genesis dan
pertumbuhan sudah pernah dialami dan tercatat dalam lintasan sejarah perjuangan
HMI dari masa ke masa, pada titik kontemporer ini, fenomena regresif HMI tidak
hanya dirasakan di lingkungan internal keorganisasian saja, bahkan sudah menjadi
sorotan public. Indikator penilaian nya secara internal dapat dilacak dari beberapa
tulisan alumni HMI, beberapa diantaranya seperti Agussalim Sitompul,
mengomentari hal tersebut dengan sebuah tulisan yang dijadikan buku, berjudul 44
indikator kemunduran HMI, poin poin pokonya terdiri dari; menurunya bargaining
HMI bagi mahasiswa, manajemen dan pengembangan training yang kurang upto
date, semakin maraknya kasus perpecahan karena tensi kekuasaan yang sporadis,
memudarnya tradisi intelektual dan penghayatan terhadap nilai keislaman,
penyusutan ruang pengabdian dan pemberdayaan masyarakat, marak absen atas
advokasi isu keumatan-kebangsaan. Dari beberapa contoh kemunduran militansi
keorganisasian tersebut, sangatlah jelas bahwa faktor terkuat nya disebabkan
karena para anggota HMI larut dalam nuansa ambisi kekuasaan, tapi abai terhadap
pemanfaatan wewenang tersebut untuk di implementasikan sebagai sarana
kemashlahatan, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Jika ditilik dari skup temporal komentar tulisan dua tokoh besar HMI
tersebut, berlangsung di era pasca reformasi, hal ini juga diperkuat dengan derap
laju teknologi yang semakin pesat, semakin memperburuk situasi pengelolaan
organisasi, dimana terdapat indikasi shock culture atau ketidak siapan HMI
menyambut peradaban distruptif, sehingga pemanfaatan sarana teknologi tidak
banyak diserap sebagai media penyokong program kerja keoganisasian. Semenjak
akses menuju ruang birokrasi dan parlemen semakin terbuka bagi kalangan alumni
HMI, geliat orientasi untuk berkarir di zona tersebut semakin kuat mewarnai
mindset anggota HMI yang kebirokratan. Titik balik gelombang eksodus alumni
HMI memasuki ruang pemerintahan terjadi pasca peristiwa besar transisi
pemerintahan, baik era orde lama ke orde baru melalui manuver eks tokoh
angkatan 66 hingga eks tokoh tokoh HMI di era reformasi mendapat panggung
popularitas heroism, sehingga mampu mendapatkan atensi public, yang kemudian
sosial capital tersebut menjadi tiket menuju ruang pemerimtahan.
Terdapat beberapa alasan yang kuat atas kian melemahnya power HMI
sebagai poros gerakan kritis, ditinjau dari masa masa sebelumnya. Pertama,
menyusutnya atmosfer intelektual di ranah internal HMI, budaya literasi, diskusi
serta produktifitas tulisan menjadi pemandangan yang mainstream, baik dari
lingkaran komisariat, sampai jenjang struktural lanjutan. Jika kita gunakan analisa
teori ruang public Jurgen Habermas, sejatinya HMI merupakan sarana yang
konkret dalam mengisi ruang public kampus sampai ke lingkungan luarnya sebagai
media pembentuk wacana kritis, karena dengan adanya ruang public, perkumpulan
tersebut mampu membentuk opini public yang kemudian berdifusi ke radius yang
lebih luas lagi dalam membangun konstruksi sosial yang dinamis, namun yang
agaknya di garis bawahi, tidak semua ruang public dapat menstimulan transformasi
berkemajuan, layaknya study Habermas terhadap ruang public masyarakat Eropa
yang di masa masa tersebut mampu