Anda di halaman 1dari 9

ACARA III

PENGUJIAN PROTEIN DAN ASAM AMINO

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein merupakan makromolekul yang tersusun oleh asam amino. Asam amino
merupakan senyawa organik yang memiliki gugus karboksil dan amonia. Protein terdiri dari
beberapa asam amino yang digabungkan oleh suatu ikatan yang disebut ikatan peptida
(Sunarya dan Setiabudi, 2007). Peptida merupakan ikatan yang terbentuk ketika atom karbon
pada gugus karboksil suatu molekul berbagi elektron dengan atom nitrogen pada gugus amonia
molekul lainnya. Menurut Probosari (2019), jenis asam amino sangat berpengaruh terhadap
karakteristik protein. Protein memiliki berbagai macam struktur yang sangat kompleks.
Struktur secara hierarki meliputi struktur primer, struktur sekunder, struktur tersier, dan
struktur kuartener (Haryanto dan Ardi, 2015).
Protein disatukan oleh komposisinya berdasarkan kelompok 20 asam amino yang sama.
Akan tetapi, komposisinya berbeda, beberapa mengandung kelebihan satu asam amino,
sementara yang lain mungkin kehilangan satu atau dua dari seluruh kelompok (Whitford,
2013). Protein dan asam amino sangat dibutuhkan makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari,
seperti asam protein pada sel yang berfungsi untuk melindungi sel dari infeksi, mengikat ligan,
sebagai katalis reaksi metabolitik, dukungan, dan kekuatan mekanik (Keul et al., 2018). Oleh
karena itu, tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara menentukan kandungan
asam amino dengan pengujian umum Ninhidrin dan mengelompokkan dengan pengujian
Xanthoproteic, Milon, dan Lead Sulphide. Selain itu, untuk mengetahui kandungan protein
dengan uji Biuret yang berguna untuk kehidupan sehari-hari dan Denaturasi yang berguna
untuk menghancurkan protein.
1.2 Tujuan
Praktikum Biokimia Acara III yang berjudul “Pengujian Protein dan Asam Amino” ini
memiliki tujuan:
1. Mengetahui kandungan asam amino dengan pengujian umum Ninhidrin.
2. Mengetahui kelompok asam amino dengan pengujian Xanthoproteic.
3. Mengetahui kelompok asam amino dengan pengujian Milon.
4. Mengetahui kelompok asam amino dengan pengujian Lead Sulphide.
5. Mengetahui kandungan protein dengan pengujian Biuret dan Denaturasi.
II. METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

2.1.1 Pengujian Umum Asam Amino


Alat yang digunakan dalam pengujian Ninhidrin berupa tabung reaksi
dan pipet sedangkan bahan yang digunakan berupa asam amino (0,1% glisin,
tirosin, dan trriptofan) 0,2% ninhidrin (sediaan baru), dan akuades. Tabung
reaksi sebagai tempat penyimpanan larutan dan pipet
2.1.2 Pengujian Kelompok Asam Amino
A. Uji Xanthoproteic
Alat: tabung reaksi dan pipet
B. Uji Millon
Alat: tabung reaksi dan waterbath
C. Uji Lead Sulphide
Alat: tabung reaksi dan pipet
2.1.3 Pengujian Protein
A. Uji Biuret
Alat: tabung reaksi dan pipet
B. Denaturasi dengan Pemanasan dan pH Ekstrim
Alat: tabung reaksi, pipet, dan waterbath
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Protein merupakan makromolekul yang tersusun oleh asam amino. Asam amino
merupakan senyawa organik yang memiliki gugus karboksil dan amonia (Sunarya dan
Setiabudi, 2007). Protein terdiri dari beberapa asam amino yang digabungkan oleh suatu ikatan
yang disebut ikatan peptida. Peptida merupakan ikatan yang terbentuk ketika atom karbon pada
gugus karboksil suatu molekul berbagi elektron dengan atom nitrogen pada gugus amonia
molekul lainnya (Natsir dan Latifa, 2018). Protein terdiri dari dua jenis asam amino, yaitu asam
amino esensial dan asam amino non esensial. Pada dasarnya, asam amino esensial merupakan
asam amino yang hanya dapat diperoleh dari makanan sehari-hari karena tidak dapat disintesa
di dalam tubuh. Adapun asam amino non esensial, yaitu selain dari makanan juga dapat
disintesa melalui proses transaminasi (Suprayitno dan Sulistiyati, 2017).

Protein memiliki peranan penting di dalam tubuh, di antaranya untuk proses


pembentukan sel – sel baru sehingga dapat memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kadar
asam amino yang tinggi baik untuk kesehatan karena merupakan salah satu bahan pembuat
protein (Ridawati dan Alsuhendra, 2015). Molekul protein terdiri dari rantai tunggal asam
amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Rantai ini terlipat dalam beberapa cara untuk
membentuk ikatan antara asam amino yang berdekatan melalui ikatan hidrogen antara atom
oksigen dan nitrogen atau interaksi antar rantai samping. Asam amino penyusun rantai protein
memiliki berbagai struktur kimia, antara lain hidrofilik, hidrofobik, aromatik, alifatik, dan
heterosiklik. Urutan asam amino menentukan identitas dan fungsi protein (Probosari, 2019).

Protein memiliki struktur yang berbeda-beda, yaitu struktur primer, struktur sekunder,
struktur tersier, dan struktur kuartener. Struktur primer merupakan asam amino yang dihasilkan
dari peptida sedangkan struktur sekunder merupakan gabungan asam amino yang membentuk
struktur melingkar, membelit, serta melipat. Bentuk struktur sekunder dikelompokkan menjadi
struktur α-heliks (H), β-sheet (B), dan coil (C). Struktur tersier merupakan gabungan dari
berbagai struktur sekunder yang terjadi setelah proses folding. Adapun struktur kuartener, yang
merupakan hasil interaksi dari beberapa molekul protein tersier dan keseluruhan rantai
polipeptida (Wahyudiati, 2017). Struktur asam amino secara umum sebagai berikut:
SUPRAYITNO BUKU

(Reed, 1975 Cit. Suprayitno dan Sulistiyati, 2017).


Uji Ninhidrin merupakan uji yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
asam amino pada suatu zat yang diuji (Lestari et al., 2019). Pengujian ini dapat dilakukan
dengan mereaksikan Ninhidrin dan asam amino pada pH 4-8. Prinsip analisis protein dengan
metode ninhidrin yaitu asam amino akan bereaksi dengan ninhidrin membentuk aldehid dengan
satu atom C lebih rendah serta melepaskan molekul NH3 dan CO2. Ninhidrin yang telah
bereaksi akan membentuk hidrindantin. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya kompleks
berwama ungu. Hal ini disebabkan karena molekul ninhidrin dan hidrindantin bereaksi dengan
NH3 setelah gugus asam amino teroksidasi (Harini et al., 2019).

Tabel 3.1 Hasil Uji Ninhidrin

Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui bahwa sampel glisin, tirosin, dan triptofan memiliki
nilai positif. Nilai positif menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut membentuk warna ungu
yang menandakan adanya kandungan asam amino. Sedangkan pada sampel akuades memiliki
nilai negatif dan tidak berwarna atau bening yang menandakan tidak adanya asam amino karena
akuades berperan sebagai kontrol. Hal ini sesuai dengan literatur, pada pengujian glisin, tirosin,
dan triptofan yang mengandung asam amino karena menghasilkan warna ungu (Yuwono,
2010).

Uji Xanthoproteic merupakan uji yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan jenis
protein dan asam amino yang memiliki cincin aromatik (Subroto et al., 2020). Uji
Xanthoproteic digunakan untuk mendeteksi adanya cincin benzena aktif pada suatu protein.
Pada pengujian ini digunakan larutan asam nitrat pekat dan basa berupa amonia atau natrium
hidroksida (NaOH). Apabila protein yang mengandung cincin benzena (tirosin, triptofan, dan
fenilalanin) ditambahkan asam nitrat maka akan terbentuk endapan putih yang membuat
sampel berwarna kuning sewaktu dipanaskan (Wiyono dan Mustofani, 2019).

Tabel 3.2 Hasil Uji Xanthoproteic

Berdasarkan Tabel 3.2 diketahui bahwa tirosin dan triptofan memiliki nilai positif
sedangkan glisin, fenilalanin, dan akuades memiliki nilai negatif. Nilai positif berarti sampel
tersebut berwarna orange atau kuning sedangkan nilai negatif berarti tidak berwarna atau
bening. Hal ini menunjukkan bahwa pada tirosin dan triptofan terdapat asam amino yang
mengandung gugus aromatik, hal itu dikarenakan penambahan asam nitrat yang memecah
rantai benzena dengan protein sehingga terjadi penggumpalan warna putih yang dilanjutkan
penambahan NaOH 40% dan dipanaskan yang membuat reaksi jadi basah. Pada glisin,
fenilalanin, dan akuades tidak ditemukan perubahan warna atau bening yang berarti tidak
terdapat asam amino. Pada fenilalanin bersifat negatif karena fenilalanin memiliki lingkaran
aromatik yang lemah. Hal ini yang menyebabkan fenilalanin terkadang menghasilkan positif,
kadang juga menghasilkan negatif (Yuliana, 2018).

Uji Millon digunakan untuk mengidentifikasi protein yang mengandung tirosin dalam
suatu sampel yang ditandai dengan terbentuknya kompleks berwarna merah pada sampel
protein. Tirosin merupakan asam amino yang mengandung gugus fenol pada rantai sampingnya
(gugus R-nya). Pereaksi millon mengandung merkuri dan ion merkuro dalam asam nitrit dan
asam nitrat. Gugus fenol pada tirosin ini akan ternitrasi membentuk garam merkuri dengan
pereaksi millon yang akan membentuk kompleks berwarna merah bata (Poedjiadi dan
Supriyanti, 2009).

Tabel 3.3 Hasil Uji Millon

Berdasarkan Tabel 3.3 diketahui bahwa nilai positif didapatkan oleh sampel tirosin saja
sedangkan pada sampel fenilalanin, glisin, dan akuades memiliki nilai negatif. Nilai positif
berarti sampel tersebut berwarna merah bata sedangkan nilai negatif berarti tidak berwarna atau
putih. Hal ini menunjukkan bahwa pada tirosin terdapat gugus fenolik, hal itu dikarenakan
penambahan NaNO3 yang mengoksidasi HG yang kemudian membentuk garam dengan gugus
karboksil dan tirosin yang berwarna merah bata. Pada fenilalanin, glisin, dan akuades tidak
terjadi perubahan warna yang berarti menandakan bahwa ketiga sampel tersebut tidak
mengandung gugus fenolik. Hal ini sesuai dengan literatur yang menuliskan bahwa reagen
millon dapat beraksi dengan gugus fenolik dan menghasilkan warna merah bata (Kamineni et
al., 2016).

Tabel 3.4 Hasil Uji Lead Sulphide


Uji Lead Sulphide digunakan untuk mengetahui asam amino sistein atau asam amino
tersebut mengandung sulfur. Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui bahwa nilai positif didapatkan
oleh sampel sistein saja sedangkan pada sampel metionin, alanin, dan akuades memiliki nilai
negatif. Nilai positif berarti sampel tersebut berwarna coklat sedangkan nilai negatif berarti
tidak berwarna atau bening. Hal tersebut menandakan adanya gugus sulfur pada sistein dan
tidak adanya gugus sulfur pada ketiga sampel lainnya. Pengujian ini sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa gugus sulfur akan merespon uji ini dengan reaksi yang membentuk
endapan berwarna coklat (Kamineni et al., 2016).
Uji Biuret merupakan uji yang digunakan untuk membuktikan adanya ikatan peptida
dari protein. Prinsip metode Biuret didasarkan pada reaksi antara ion Cu2+ dan ikatan peptida
dalam suasana basa. Ion Cu2+ dari pereaksi Biuret dalam suasana basa akan bereaksi dengan
ikatan peptida yang menyusun protein dan membentuk senyawa kompleks berwarna ungu atau
violet. Intensitas warna ungu menunjukkan jumlah ikatan peptida yang ada pada protein
(Yuliana, 2018).
Tabel 3.5 Hasil Uji Biuret
Berdasarkan Tabel 3.5 diketahui bahwa Albumin menghasilkan tanda (+) sebanyak dua
sedangkan sampel menghasilkan tanda (+) sebanyak satu. Tanda (+) dua berarti sampel
tersebut berwarna violet pekat sedangkan tanda (+) satu berarti berwarna violet. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut memiliki ikatan peptida, dengan sampel albumin
memiliki ikatan yang lebih panjang karena menghasilkan (+) lebih banyak. Pengujian ini sesuai
dengan literatur, yaitu biuret mengandung ion Cu2+ dari CuSO4 dalam suasana basa NaOH
akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida yang berwarna ungu (Jubaidah et al., 2016).

Denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya hidrogen, interaksi hidrofobik,


ikatan garam dan terbukanya lipatan protein (Ratmawati, 2016). Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui cara denaturasi protein yang meliputi perubahan kimia dalam protein. Terjadinya
denaturasi protein yaitu ketika suhu pemanasan sekitar 50derajatC. Panas dapat digunakan
untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar menyebabkan molekul
penyusun protein bergerak sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan tersebut (Farida et al.,
2018).
Tabel 3.6 Hasil Uji Denaturasi
Berdasarkan Tabel 3.6 diketahui bahwa albumin dan kasein yang diuji dengan HCl,
HNO3, dan NaOH memiliki nilai positif yang sama yang berarti dapat terdenaturasi. Akan
tetapi, terdapat kesalahan ketika albumin dan kasein diuji menggunakan akuades yaitu albumin
menghasilkan (+) sedangkan kasein (-). Secara teori, albumin dan kasein akan menghasilkan
nilai yang sama. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ratmawati (2016) bahwa perubahan pH
juga dapat mengacaukan jembatan garam sehingga mencapai keadaan pH dimana protein
memiliki muatan positif dan negatif yang sama. Selain itu, pemanasan di atas suhu 60derjtC
dan membuat larutan pH terlalu asam maupun basa dapat menyebabkan denaturasi (Malle et
al., 2015).
IV. KESIMPULAN

1. Pada pengujian umum Ninhidrin yang telah dilakukan, hasil uji


menunjukkan bahwa sampel glisin, tirosin, dan triptofan terbentuk warna
ungu yang menandakan adanya asam amino sedangkan sampel akuades
tidak berwarna atau bening yang menandakan tidak adanya asam amino.
2. Pada pengujian kelompok asam amino Xanthoproteic yang telah dilakukan,
hasil uji menunjukkan bahwa sampel tirosin dan triptofan terbentuk warna
orange/kuning yang menandakan terdapat asam amino yang mengandung
gugus aromatik sedangkan sampel fenilalanin, glisin, dan akuades tidak
berwarna atau bening yang menandakan tidak adanya gugus aromatik.
3. Pada pengujian kelompok asam amino Millon yang telah dilakukan, hasil
uji menunjukkan bahwa hanya sampel tirosin yang berwarna merah bata
yang menandakan terdapat gugus fenolik sedangkan sampel fenilalanin,
glisin, dan akuades tidak berwarna atau putih dikarenakan tidak terdapat
gugus fenolik.
4. Pada pengujian kelompok asam amino Lead Sulphide yang telah dilakukan,
hasil uji menunjukkan bahwa hanya sampel sistein yang berwarna coklat
yang menandakan terdapat gugus sulfur sedangkan sampel metionin, alanin,
dan akuades tidak terdapat gugus sulfur karena tidak terjadi perubahan
warna atau bening.
5. Berdasarkan hasil pengujian protein Biuret, nilai (++) pada hasil albumin
berarti memiliki warna violet yang lebih pekat dibandingkan dengan kasein
yang hanya mendapatkan hasil (+). Warna violet yang terbentuk pada kedua
sampel menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut memiliki ikatan peptida
tetapi ikatan peptida pada albumin lebih panjang. Pada Uji Denaturasi ini
mendapatkan hasil albumin dan kasein dapat terdenaturasi.
DAFTAR PUSTAKA
Farida, Y., D. Rahmat, dan A. W. Amanda. 2018. Uji aktivitas antiinflamasi nanopartikel
ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dengan
metode penghambatan denaturasi protein. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
16(2): 225-230.
Harini, N., R. Marianty, dan V. A. Wahyudi. 2019. Analisa Pangan. Zifatama Jawara,
Sidoarjo.
Haryanto, T., dan B. S. Ardi. 2015. Penggunaan fitur kimiafisik dan posisi atom untuk
prediksi struktur sekunder protein. Jurnal Edukasi dan Penelitian Informatika
1(2): 133-138.
Jubaidah, S., H. Nurhasnawati, dan H. Wijaya. 2016. Penetapan kadar protein tempe jagung
(Zea mays L.) dengan kombinasi kedelai (Glycine max (L.) Merill) secara
spektrofotometri sinar tampak. Jurnal Ilmiah Manuntung 2(1): 111-119.
Kamineni, S., M. Manepally, dan E. P. Kamineni. 2016. Musculoskeletal protein analysis
techniques. Journal of Rheumatology and Arthritic Diseases 1(1): 1-9.
Keul, N. D., K. Oruganty, E. T. S. Bergman, N. R. Beattie, W. E. McDonald, R. Kadirvelraj,
M. L. Gross, R. S. Phillips, S. C. Harvey, dan Z. A. Wood. 2018. The entropic
force generated by intrinsically disordered segments tunes protein function.
Nature 563: 584-588.
Lestari, N. K. L., I. D. M. Sukrama, dan I. W. Suardana. 2019. Karakteristik fisikokimia
dan uji aktivitas antimikroba bakteriosin dari isolat bakteri asam laktat 15B hasil
isolasi kolon sapi Bali. Buletin Veteriner Udayana 11(1): 65-70.
Malle, D., I. Telussa, dan A. A. Lasamahu. 2015. Isolasi dan karakterisasi papain dari buah
pepaya (Carica papaya L) jenis daun kipas. Indonesian Journal of Chemical
Research 2(2): 182-189.
Natsir, N. A., dan S. Latifa. 2018. Analisis kandungan protein total ikan kakap merah dan
ikan kerapu bebek. Jurnal Penelitian Science dan Pendidikan 7(1): 49-55.
Poedjiadi, A., dan F. M. T. Supriyanti. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press, Jakarta.
Probosari, E. 2019. Pengaruh protein diet terhadap indeks glikemik. Journal of Nutrition
and Health 7(1): 33-39.
Ratmawati, L. A. 2016. Pengaruh lama penyimpanan asi pada suhu ruangan terhadap kadar
protein asi. Medsains 2(01): 1-4.
Ridawati, R., dan A. Alsuhendra. 2015. Pelatihan pembuatan es krim sehat untuk balita
bagi kader posyandu di Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur. Jurnal Sarwahita
12(2): 121-130.
Subroto, E., E. Lembong, F. Filianty, R. Indiarto, G. Primalia, M. S. K. Z. Putri, H. C.
Theodora, dan S. Junar. 2020. The analysis techniques of amino acid and protein
in food and agricultural products. International Journal of Scientific &
Technology Research 9(10): 29-36.
Sunarya,Y., dan A. Setiabudi. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. PT Setia Purna Inves,
Bandung.
Suprayitno, E., dan T. D. Sulistiyati. 2017. Metabolisme Protein. UB Press, Malang.
Wahyudiati, D. 2017. Biokimia. Leppim Mataram, Mataram.
Whitford, D. 2013. Proteins: Structure and Function. John Wiley & Sons, Hoboken.
Wiyono, A. S., dan D. Mustofani. 2019. Efektivitas gel ekstrak kasar bromelin kulit nanas
(Ananus comosus L. Merr) hasil optimasi formula pada tikus yang dibuat luka
memar. As-Syifaa Jurnal Farmasi 11(02): 112-123.
Yuliana, A. 2018. Buku Ajar Biokimia Farmasi. Jakad Publishing, Surabaya.
Yuwono, T. 2010. Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai