YANG
TIDAK SESUAI SOP TERHADAP KEJADIAN
FLEBITIS DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana
Keperawatan”
Oleh : Nurma
Irawati
S.10033
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana
Keperawatan”
Oleh : Nurma
Irawati
S.10033
i
i
i
i
i
i
KATA
PENGANTAR
1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma
Husada
Surakarta
dapat menempuh
melakukan penelitian.
satu – persatu.
9. Kepada kedua orang tua Bapak (Parmin) dan Ibu (Sartinah) tercinta yang
10. Adik-adik tercinta (Fera Shonia Novita dan Dzaky Fatihul Ahsan) atas
hingga penulis dapat menjalani dengan tenang dan sabar dalam penyusunan
skripsi.
v
14. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan yang tak pernah
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan
kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari
Penulis
vi
DAFTAR ISI
xviii ABSTRAK
.................................................................................................... xx
ABSTRACT ....................................................................................................
Terapi Intravena 26
..............................................
2.1.3. Flebitis ................................................................
27
1. Pengertian .................................................... 27
..
2. Tanda dan Gejala 28
............................................
3. Penyebab ....................................................... 29
..
4. Skala 30
Flebitis...................................................
5. Faktor yang mempengaruhi Terjadinya 31
Flebitis
viii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Aturan ............................................................ 51
2. Standar ........................................................... 52
ix
2. Tidak hafal .....................................................
1. Pernah ............................................................
2. Bengkak .........................................................
3. Flebitis ...........................................................
1. Pernah ............................................................
2. Lupa ...............................................................
4. Kebersihan .....................................................
x
4.3.10. Gambaran pemasangan infus yang tidak sesuai SOP
69
xi
(melingkar -> keluar) .....................................
BAB V PENUTUP
SOP...................................................................... 90
91
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR
GAMBAR
xv
DAFTAR SKEMA
xvi
DAFTAR
IV : Intravena
RL : Ringer Laktat
S1 : Sarjana
xvii
DAFTAR
skripsi
proposal skripsi
Mangun Sumarso
xviii
Lampiran 21 : Lembar hasil observasi kejadian flebitis
Lampiran 22 : Kategori
Lampiran 23 : Dokumentasi
Lampiran 24 : Lembar
konsultasi Lampiran 25 :
Jadwal penelitian
xix
PROGRAM STUDI S-1
KEPERAWATAN STIKES KUSUMA
HUSADA SURAKARTA
2014
Nurma Irawati
Abstrak
Nurma Irawati
ABSTRACT
PENDAHULUAN
sering dilakukan bahkan menjadi terapi yang paling utama untuk pasien
(Smeltzer 2001) adalah faktor kimia seperti jenis cairan dan obat yang
yaitu terjadi ketika vena telah dibuat trauma oleh kontak fisik. Trauma
25 juta pertahun di Inggris dan mereka telah terpasang berbagai bentuk alat
intravena (IV) adalah salah satu teknologi yang paling sering digunakan
dengan teliti baik komplikasi lokal maupun sistemik (Brunner & Suddrths
2001).
Pada Penelitian di Singapura oleh Zavareh dan Ghorbani (2007 hal 733-
bawah yaitu
dimana angka standar yang menjadi acuan adalah >1,5. Dari hasil
penelitian (Wayunah
2
2011) diketahui bahwa kejadian flebitis pada pasien yang terpasang infus
oleh
2
flebitis dan
nosokomial cukup tinggi yaitu 5% per tahun, 9 juta orang dari 190
Oktober- Desember 2013 bahwa pasien yang terpasang infus sebanyak 362
pasien.
2
kejadian flebitis.
Kabupaten Wonogiri.
mayoritas
(97,1%).
KAJIAN
PUSTAKA
1. Pengertian SOP
2. Tujuan SOP
dalam organisasi.
8
9
dan inefisiensi
3. Fungsi SOP
secara konsisten.
b. Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu
c. SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan
elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah (intravascular) (Perry &
potter 2005)
adalah penyediaan akses yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau
terapi jangka pendek maupun untuk injeksi bolus atau infus singkat dalam
2. Tujuan
koreksi elektrolit.
intravena adalah :
1
a. Keuntungan
absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat
dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain
gastrointestinalis.
b. Kerugian
dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas
vascular, misalnya flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari
Menurut (Perry dan Potter 2005), tempat atau lokasi vena perifer
yang sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau
perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling
magna, ramusdorsalis)
perifer).
akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari
lengan).
sklerosis).
alami pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.
1
0,9%).
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga
tekanan
1
intravena, peralatan intravena harus steril, juga wadah dan selang parenteral.
menit, mulai dari tengah ke arah tepi. Tindakan ini diikuti dengan alcohol
70%. (Hanya alcohol yang digunakan jika pasien alergi pada iodine).
1) Peralatan :
diperlukan
1
c) Kain kasa steril dalam
tempatnya e) Plester
1
f) Gunting verband
g) Bengkok (neirbekken)
2) Persiapan :
c) Cuci tangan dan kenakan sarung tangan sekali pakai. Asepsis penting
pasien.
pemeliharaan vena.
f) Pilih kanula intravena. Panjang dan diameter kanula harus sesuai baik
penundaan;
2
3) Prosedur
b) Pasang tourniket baru untuk setiap pasien atau manset tekanan darah
darah arteri. Jika nadi tidak teraba di sebelah distal tourniket, maka
menit dalam
2
infeksi).
tangan pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan
e) Pegang jarum dengan bagian bevel keatas dan pada sudut 25- 45
dengan kulit, kemudian masuki vena baik langsung dari atas atau
g) Jika tampak aliran darah balik, luruskan sudut dan dorong jarum,
membungkus jarum.
2
(1). Dorong jarum 0,6 cm setelah pungsi vena yang
berhasil.
2
jarum.
vena).
sebagai tourniket).
melepaskan balutan).
n) Beri label balutan dengan jenis dan panjang kanula, tanggal, dan
yang aman).
o) Hitung kecepatan infus dan atur aliran infus. (Infus harus diatur
1. Pengertian
2. Tujuan
3. Kebijakan
4. Petugas
a. Perawat
5.Peralatan
(ukuran sesuai).
(secukupnya). f. Desinfektan
g. Tourniquet/manset
h. Perlak dan
pengalas i. Bengkok
j.
Plester/hepavix k.
Kassa steril
l. Petunjuk waktu
6.Langkah-langkah
2) Mencuci tangan
keluar)
0,5 cm
4) Membereskan alat-alat
5) Mencuci tangan
a. Flebitis
vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan
pembengkakan.
2
b. Infiltrasi
c. Iritasi vena
pada kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan
d. Hematoma
di sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena
e. Tromboflebitis
f. Trombosis
vena, dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel
g. Occlusion (Kemacetan)
ketika botol dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak
gangguan aliran IV, aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang
h. Spasme vena
cairan yang
3
dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena
i. Reaksi vasovagal
kecemasan.
dan kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis,
a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru.
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda
lain.
yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.
2.1.3. Flebitis
1. Pengertian
2008).
a. Rubor (Hyperemia)
b. Kalor (Hipertermi)
c. Tumor (Oedem)
d. Nyeri (Dolor)
3. Penyebab
a. Iritasi kimia
b. Iritasi fisik
dapat pula terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik,
c. Iritasi mekanik
kateter intravena kurang baik dan juga adanya bakteri. (Boker dan
4. Skala Flebitis
b. Skala Baxter
Skala 0 : Tidak ada nyeri, tidak ada eritema, tidak ada indurasi, tidak
penusukan
lebih dari 3 cm
infus. Selain itu pasien harus diajari untuk mengenali dan melaporkan
pada tempat penusukan darah dalam selang, balutan basah serta aliran
b. Ketrampilan perawat
d. Tempat penusukan
atau siku. Pada anak- anak pemasangan kanula dapat dilakukan pada
f. Jenis cairan
rendah memiliki resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi perlu juga
2002)
3
g. Host Agent
METODE
PENELITIAN
SOP
Pemasangan Pemasanga Flebitis
Infus n
Infus
Skema 3.1.
Fokus
Penelitian
3.2. Desain
Penelitian
Menurut (Ircham
untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali nilai, opini, perilaku dan
didalam
34
3
dan menyusun reduksi data, dan yang terakhir menyiapkan sajian data.
ini melihat dari perawat yang melakukan pemasangan infus yang tidak
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Semua perawat yang ada di RSUD dr
orang, benda atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti. Populasi dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu populasi target dan populasi survei.
adalah sub-unit dari populasi target, sub-unit dari populasi survei untuk
2004).
3.3.2. Sampel
yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel
tersebut pernah mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti.
adalah sub-unit populasi survei atau populasi survei itu sendiri, yang oleh
yang akan di pilih oleh peneliti. Kriteria sampel tersebut sebagai berikut:
Anggraeni 2010).
3.4.1. Tempat
3.4.2. Waktu
tanggal 16
alat tulis, lembar observasi (SOP pemasangan Infus) dan lembar catatan.
1. Wawancara
2. Dokumen
rekam medik yang bertujuan untuk mengetahui data nama pasien dan lama
menjalani perawatan.
3. Observasi
mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari partisipan maupun
pasien, seperti keadaan daerah yang terpasang infus, nyeri yang di rasakan
3. Alat tulis.
1. Tahap Orientasi
dari RSUD dr. Soemarso Mangun Sodiran Kabupaten Wonogiri setelah itu
yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis di ruang rawat inap
kenanga RSUD Wonogiri”. Pada waktu itu pula peneliti juga melakukan
2. Tahap Pelaksanaan
yang terpasang infus apakah terjadi flebitis atau tidak dalam rentang waktu
3.6. Analisa
Data
fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006), adapun
untuk memvalidasi.
Data yang telah berhasil digali di lapangan studi, dikumpulkan dan dicatat
dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan bukan hanya untuk kedalam dan
kemantapanya tetapi juga bagi kemantapan dan kebenaranya. Oleh karena itu
setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat
validitas data penelitian. Cara-cara tersebut antara lain bisa berupa beberapa
beda yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih
mantap kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.
Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih
dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang
berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya.
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data dari penelitian (Ince Maria
yang berbeda.
3.7.2. Triangulasi
Metode
penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas
untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji
kemantapan informasinya.
alasan karena peneliti akan berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-
Hingga mendapatkan hasil yang lebih natural dan fleksibel. Penelitian ini
3.7.3. Triangulasi
Peneliti
pada saat wawancara kedua jawabanya sama dengan pada saat wawancara
pertama, hal tersebut dikatakan validitas ahkir sesuai dengan bagian dari
analisa data yang menggunakan metode Colaizzi (Polit & Back 2006).
3.7.4. Triangulasi
Teori
fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada teori yang lain
dengan tema yang telah didapatkan oleh peneliti seperti teori tentang skala
4
pengukuran flebitis menggunakan skala menurut (Intgravenous Nurses Society
mendapat persoalan masalah etik penelitian maka beberapa yang antara lain :
yang diberikan.
Hungler, 2005) :
1. Self determination
peneliti.
2. Informed consent
3. Privacy
kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin dari partisipan.
4. Anonymity
diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari
ini membawa peningkatan menjadi tipe C pada tanggal 11 Juni 1983 dan
menjadi tipe B non pendidikan, menjadi dasar peningkatan kelas rumah sakit.
Tahun 1993
46
4
dunia (WHO) sebagai rumah sakit sayang bayi. RSUD dr.Soediran Mangun
4.2.1. Partisipan 1
(P01)
Sumarso Wonogiri setelah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hingga saat
ini partisipan masih berdinas di RSUD tetapi sempat di rotasi dari bangsal ke
bangsal lain.
Kabupaten
Wonogiri.
4.2.2. Partisipan 2
(P02)
D3
CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) setelah itu beliau diterima menjadi
satu kebangsal lain nya hingga saat ini ditempatkan dibangsal kenanga
sudah 3 tahun.
antara 1 meter. Sikap pasien tenang dan sedikit bercanda saat menjawab
peneliti. Wawancara kedua dilakukan pada hari Senin, 24 Maret 2014 pukul
Kabupaten Wonogiri.
4
4.2.3. Partisipan 3
(P03)
5
kerja beliau ini sudah pernah bekerja dibangsal anak di RSUD tersebut
belum menjadi Pegawai negeri sipil (PNS). Namun dalam waktu dekat
ramah dan sopan pada peneliti. Wawancara kedua dilakukan pada hari
Wonogiri
.
4.2.4. Partisipan 4
(P04)
RSUD juga hingga saat ini sudah 10 tahun di RSUD. Partisipan juga
5
mengatakan saat ini sedang melanjutkan pendidikan Sarjana Keperawatan
pertanyaan dari peneliti pada saat itu. Wawancara kedua dilakukan pada hari
Wonogiri
.
4.2.5. Partisipan 5
(P05)
14.30 WIB dilakukan dibangsal Kenanga RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
yang telah didapatkan adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab
1. Aturan
salah satu kenyataan yang dapat dilihat oleh peneliti saat melakukan
penelitian dibangsal tersebut. Tema ini akan diuraikan dibawah sesuai dengan
pernyataan partisipan.
dek...”(P02)
“...SOP, Standar Operasional Prosedur,standar berarti aturan
ya dek...”(P03)
“...Ya setahu mas sebuah aturan yang dibuat untuk
melaksanakan suatu tindakan...”(P04)
tujuan yang sama agar membuat kepercayaan pasien dan keluarga pasien. Dan
membuat nama baik sebuah profesi tetap dapat dipercaya oleh masyarakat.
2. Standar
mewakili pengertian dari SOP. Standar jika diartikan hampir sama dengan
untuk tolak ukur dari suatu tindakan yang sama antara rumah sakit satu
dilapangan melakukan
5
tindakan pada pasien dalam pemasangan infus. Ada banyak tahapan SOP
yang belum dilakukan disaat melakukan tindakan. Tahapan SOP tersebut akan
adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti.
1. Jarang
dipraktikan
partisipan tersebut merupakan salah satu kenyataan yang dapat dilihat oleh
meskipun
5
kita tidak akan pernah tahu dampak dari hasil tindakan yang telah dilakukan
tidak sesuai dengan SOP. Dalam jangka waktu dekat ataupun jauh suatu
baku pastilah akan timbul suatu dampak yang akan mempengaruhi dari
partisipan dan juga pasien itu sendiri. Mungkin partisipan memiliki alasan
2. Tidak
hafal
hafal dengan SOP yang telah dibuat pihak dari RSUD. Pernyataan tersebut
pernyataan partisipan: “...sesuai atau tidak, nggak hafal juga sama SOP
nya, ya intine
standar ajalah...”(P02)
bakunya (SOP) sesuai atau tidak yang paling penting inti dari tindakan
tersebut terlaksana. Meskipun juga tidak hafal SOP yang ada. Yang jika dapat
dianalisis dari kalimat tersebut bahwa yang terpenting tujuan dari tindakan
tercapai tetapi jalan untuk menuju tujuan yang berbeda. Padahal dari pihak
rumah sakit sudah memberikan suatu jalan yang bisa dikatakan SOP dan
tema tersebut dengan penuh sadar dan tanpa paksaan. Pada saat peneliti
keperawatan jika sesuai SOP, ketakutan itu berwujud jika sesuai dengan SOP
SOP yang memang sudah dibuat oleh pihak dari RSUD sendiri. SOP belum
sepenuhnya menjadi pedoman bagi para partisipan yang ada dibangsal dalam
tema tersebut sebagai berikut:1. Memakan waktu lama. Tema ini didapatkan
dari partisipan 1, 2 dan 5. Tema yang telah didapatkan pada kategori ini akan
dijelaskan dibawah.
“...Ya standar saja dek, kalau nuruti semua isi dari SOP ya
lama, kerjaan banyak soalnya...”(P01)
“...Ya nek aku pribadi piye ya dek, nek kudu ngepaske kui ribet
tur suwe dek, ngerti dewe tho kui mau piye pas aku masang?
nuruti isi dari SOP ya suwe, gawean okeh dek...”(P02)
harus sesuai dengan SOP selain kelamaan juga beralasan bahwa tuntutan
pekerjaan yang banyak untuk profesi perawat. Hal tersebut diungkapkan oleh
Hasil penelitian ini di dapat dari hasil pernyataan dari partisipan 1,2,3, dan
“...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih, biasa dek
dilahan seperti ini tetap jauh dari teori yang ada...”(P05)
bahwa bisa saja infus diganti lebih dari 4-5 hari dari tanggal pemasangan
ini ditentukan oleh kondisi lokasi pemasangan infus. Tetapi partisipan juga
lokasi infus.
yang terlibat dalam penelitian ini. Dari jawaban partisipan ini didapatkan
tema yang telah didapatkan itu adalah pernyataan dari partisipan pada saat
1. Pernah
bahwa pernah melakukan penggantian infus kurang dari 3 hari setelah hari
diganti kurang dari 3 hari dari hari pemasangan infus. Dari pernyataan
SOP.
2. Bengkak
lokasi pemasangan infus kurang dari 3 hari. Jika dilihat dari percakapan
Bengkak memiliki banyak faktor, mungkin bengkak bisa dari cairan infus,
yang dipakai adalah hanschoon yang sama dari pasien satu dengan yang lain
karena itu kemungkinan besar bakteri yang telah melekat pada hanschoon
3. Flebitis
infus diganti kurang dari 3 hari karena plebitis. Hal ini diungkap oleh
partisipan 3 dan
4, berikut pernyataan
partisipan:
mengatakan infus pada pasien yang diganti kurang dari 3 hari karena flebitis.
Dari ungkapan itu pula bahwa kejadian flebitis memang sering terjadi
oleh perawat bahwa pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh P01
tersebut dinyatakan dalam tahap flebitis skala 1 yaitu yaitu dengan tanda
nyeri dan kemerahan disekitar penusukan jarum infus. Skala ini terjadi
Dari observasi pada pasien yang dipsang infus oleh P02 terjadi
flebitis dengan skala 1 seperti halnya yang terjadi pada pasien P01 yaitu
dengan tanda nyeri dan kemerahan disekitar penusukan jarum infus. Skala ini
oleh perawat bahwa pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh P03
tersebut
6
dinyatakan dalam tahap flebitis skala 2 yang artinya bahwa terdapat tanda
nyeri, kemerahan dan hangat pada pasien. Skala ini terjadi pada hari ketiga
pemasangan infus.
wajah pasien, kemerahan pada sekitar pemasangan infus, teraba hangat pada
sekitar pemasangan infus dan juga odema yang dengan ditemukan tanda-
rentang waktu enam hari di skala 3. Skala ini terjadi pada hari keenam
pemasangan infus.
dari pernahkan ada pasien yang mengalami kejadian flebitis dan juga dalam
1 bulan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis. Dari hal
Lupa. Tema-tema ini didapatkand ari pernyataan dari partisipan dan juga hasil
obeservasi.
1. Pernah
menyatakan bahwa pernah ada pasien yang terjadi flebitis dibangsal tersebut.
apakah pernah ada pasien yang terjadi flebitis. Hampir semua partisipan
2. Lupa
kembali mengajukan pertanyaan jika dalam 1 bulan ada berpa pasien yang
terjadi flebitis.
kenanga. Terdiri dari lima partisipan dan empat dari lima partisipan itu
menyatakan lupa akan berapa yang terjadi flebitis. Namun satu dari lima
partisipan menyatakan kira-kira itu ada lebih dari dua puluh pasien terjadi
flebitis.
ke enam setelah pemasangan infus yang tidak lain berarti flebitis terjadi
dihari lebih dari hari standar yang memang ditentukan dalam teori.
Kemudian pada pemasangan infus yang telah dilakukan oleh P03 dengan
pemasangan infus yang dilakukan oleh P01, P02 dan P05 terjadi
flebitis di skala 1 namun yang membedakan adalah terjadi pada hari yang
berbeda. Pada pasien yang dipasang oleh P01 terjadi flebitis pada hari
dilakukan oleh P02 terjadi flebitis pada hari ketiga setelah pemasangan infus
dan pemasangan infus yang dilakukan oleh P05 terjadi flebitis pada hari
perbedaan dalam kejadian flebitis. Namun yang paling banyak terjadi flebitis
di skala 1.
1. Ganti
lokasi
“...Ya paling diganti lokasi penusukan infus gitu dek, nanti juga
bengkaknya hilang sendiri...” (P01)
7
setelah terjadi flebitis kemudian diganti dengan lokasi pemasangan infus yang
2. Melepas infus
bahwa jika terjadi flebitis pada pasien tindakan yang dilakuka oleh
partisipan adalah melepas infus dengan segera. Berikut adalah ungkapan dari
partisipan:
yang terjadi flebitis, partisipan melepas infus yang terpasang pada lokasi
terjadinya flebitis. Dan dari hasil obervasi pula peneliti dapat melihat bahwa
jika ada yang terjadi flebitis memang partisipan melepas infus pada daerah
yang terjadi flebitis. Tindakan ini juga merupakan tindakan alternatif jika
ada pasien yang terjadi flebitis. Tindakan ini dinyatakan lebih dari setengah
langsung dengan penelitian ini. Maka dari itu dari ketiga partisipan ini
terjadi flebitis salah satunya adalah melepas infus dari lokasi yang terjadi
flebitis.
4.3.9. Penyebab
flebitis
1. Aktifitas
fisik
penelitian yang
7
tersebut ada yang semua aktifitasnya berada di tempat tidur. Salah satu
aktifitas tersebut mulai dari BAB, BAK dan lain sebagianya. Seperti yang
terjadi pada pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh P02 dan P05 adalah
Obervasi yang terlihat bahwa pada saat pemasangan infus pasien dari
partisipan P02 dan P05 ada tahapan infus yang tidka dilakukan oleh
partisipan. Yang tergolong dalam pasien yang banyak bergerak adalah pada
pasien yang dipasang infud oleh P04. Sedangkan pada pasien yang dipasang
infus oleh P01 dan P03 dilihat dari hasil observasi dalam aktifitasnya
pasien ini tidak terlalu banyak aktifitas fisik tetapi juga kadang-kadang
pasien yang terpasang infus yang banyak melakukan aktifitas hanyalah ada
2. Transfusi
darah
yang paling sering terjadinnya flebitis adalah transfusi darah. Melihat dari
hasil dari observasi bahwa dari semua pasien yang dipasang infus oleh
dipasang infus oleh P03 dan P04. Selain pasien yang dilakukan
pemasangan infus oleh P03 dan P04 tidak melakukan transfusi darah.
adalah pada hari ke dua setelah pemasangan infus yang kemudian terjadi
flebitis pada hari ketiga namun ada tahapan SOP yang mendukung
terjadinya flebitis seperti pemakain hanschoon yang tidak bersih atau bahkan
steril. Kemudian dilakukan transfusi darah pada hari keempat pada pasien
yang dilakukan pemasangan infus oleh P04 dan terjadi flebitis diskala 3 pada
hari keemnam. Jadi dari lima pasien yang terpasang infus oleh partisipan
yang terlibat langsung dalam penelitian ini yang melakukan transfusi darah
ada dua pasien dan terjadi flebitis pada hari ke tiga dan ke enam namun
3. Cairan infus
dibawah ini:
hal yang sama bahwa cairan infus merupakan salh satu penyebab
kejadian flebitis. Hal ini juga memperkuat akan kejadian flebitis yang
terjadi ini dipengaruhi oleh cairan infus. Selain kebersihan pada saat
4. Kebersihan
(melingkar dalam -
partisipan ini melakukan pemasangan infus. Tema ini didapat dari tahapan
SOP dari RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Yang tidak lain
SOP pemasangan infus yang ada pada RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri. Tema ini merupakan tahapan kerja yang tidak dilakukan oleh
pada posisi stabil ini dilakukan oleh bebarapa partisipan diantaranya adalah
2. Memakai
hanschoon
hanschoon yang kotor karena dipakai dari pasien satu ke pasien yang
menggunakan hanschoon kotor adalah P01, P02, P03, dan P04. Tindakan itu
dalam
dalam SOP yang tidak dilakukan oleh partisipan. Dari kelima partisipan
Tahapan kerja pada SOP pemasangan infus yang dibuat oleh RSUD
dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri ini adalah lembar observasi yang
digunakan oleh peneliti karena peneliti menganggap bahwa SOP ini adalah
pedoman dari RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri itu sendiri
pemasangan infus. Namun jika dilihat dari observasi tindakan ini tidak
Tema ini didapatkan dari tahapan kerja SOP RSUD dr. Soediran
melakukan tahapan SOP ini ada empat yaitu P01, P03, P04, dan P05.
aturan yang telah dibuat oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri. Ataupun pedoman SOP dari manapun jika memang SOP itu
dibuat untuk pedoman dalam bekerja untuk mencapai tujuan yang sama
4.3.
Pembahasan
4.3.1. Pengertian
SOP
Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP
yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses
mengetahui SOP itu adalah sebuah aturan padahal dalam teori yang telah
disebutkan (Perry dan Potter 2005) diatas menyatakan bahwa SOP itu tidak
partisipan yang mengatakan bahwa SOP adalah aturan baku. Aturan baku
yang merupakan aturan yang harus sudah dibuat dan harus dilaksanakan
tetapi pada kenyataan yang ada aturan baku itu hanyalah sebuah tulisan yang
dibuat dan dibiarkan begitu saja tanpa harus melaksanakannya. Ada salah
Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP
sesuai dengan teori semua tindakan tidak akan selesai dan kebutuhan pasien
tidak terpenuhi seutuhnya. Jika dilihat dari kalimat tersebut peneliti dapat
pasien karena disisi lain partisipan masih ketakutan akan semua tugas
Partisipan lakukan setiap pemasangan infus hanyalah apa saja poin-poin yang
kondisi seperti apa yang dapat dipercaya untuk bisa sepenuhnya memenuhi
selesai begitu saja tetapi pasien akan tetap menuntut kebutuhan yang
SOP yang telah dibuat oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP
yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses
sesuai dengan SOP mungkin semua bisa terselesaikan tanpa ada keluhan
mengetahui dampak dari tindakan yang belum sesuai SOP tersebut namun
Teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah
yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses
partisipan tak lagi memperdulikan dampak dari tindakan yang tidak sesuai
dengan SOP. Jika dilihat dari ekspresi wajah saat wawancara partisipan ini
begitu banyak menyimpan lelah yang entah karena pekerjaan atau kah
Dalam sebuah teori yang diuangkap oleh (Hidayat 2008) yaitu ganti
lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru. Pernyataan
partisipan ini berbanding terbalik dengan teori yang diungkap oleh (Hidayat
2008). Kondisi seperti ini memang menjadi sebuah kebiasaan yang sudah
tanpa harus membedakan status sosial pasien. Karena seorang profesi perawat
prosedur yang berlaku. Dari pihak RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
tindakan yang keperawatan yaitu SOP. SOP yang sesuai dengan judul
48-72 jam sekali dengan infus set yang baru. Jika dilihat dari kenyataan yang
ada dengan teori yang dinyatakan (Hidayat 2008), kondisi saat infus diganti
oleh yang menyebabkan infus tersebut memang harus diganti agar tidak
menimbulkan hal- hal yang lebih buruk dari kejadian yang sudah ada saat
itu. Pergantian infus kurang dari 3 hari memang baik adanya jika dilakukan
karena berdasarkan oleh teori yang ada. Tetapi jika infus diganti kurang dari
merupakan hal yang kurang baik pula dalam segi hal keselamatan pasien.
bukan lagi hal yang dapat diabaikan begitu saja karena melihat dari dampak
yang ada saat ini memang membuat kerugian bagi pasien. Untuk mencegah
dirawat dirumah sakit. Maka dari itu setidaknya sebagai seorang perawat
pertanyaan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis lima dari satu
partisipan menjawab kurang lebih ada dua puluh pasien yang terjadi flebitis.
penelitian yang belum genap satu bulan yaitu baru sekitar satu minggu
lebih sudah ada angka kejadian flebitis di skala satu yang terjadi pada hari
skala dua yang terjadi pada hari ke tiga. Menurut teori dari (Hidayat 2008)
8
infus seharusnya diganti 48-72 jam sekali dengan infus set yang baru.
dengan teori yang ada jika memang diganti pada hari ke tiga setelah
di skala satu dan dua. Kondisi lain yang berbeda terjadi pada pasien yang
pada hari ke enam setelah pemasangan infus. Kenyataan yang ada ini
menunjukkan bahwa tidak sesuainya penggantian infus dengan teori yang ada.
Meskipun pada hari ketiga kondisi infus masih bagus belum ditemukan
lokasi setelah terlihat adanya flebitis dalam skala ringan maupun berat. Pada
flebitis. Jika dilihat dari observasi peneliti bahwa memang jika terjadi
tidak terjadi hal-hal yang lebih dari yang tidak diinginkan. Tindakan ini
memang sudah banyak dipraktikan dalm dunia kerja jika sudah terjadi flebitis.
4.3.9. Penyebab
flebitis
Menurut (The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun
and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus
adalah stapylococus dan bakteri gram negatif. Ada pula penyebab lain
dipakai sudah dipakai pada perawatan pasien lain secara bergantian. Memang
abocath yang akan dimasukan kedalam vena tidak tersentuh oleh hanschoon
dipakai sudah jelas tentu dipakai untuk memegang kapas alkohol untuk
yang ada dihanschoon tersebut menempel pada kapas alkohol dan dipakai
masuk kedalam vena sehingga menjadi penyebab terjadinya flebitis. Itu salah
satu alasan mengapa keseterilan yang harus dijaga saat pemasangan infus.
Hanschoon yang bersih juga bisa mempengaruhi kejadian flebitis. Jika dilihat
bahwa kejadian flebitis pada pasien yang dipasang infus oleh partisipan
fisik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya flebitis jika pasien
Mustofa 2007) penyebab flebitis dari fisik: Terjadi karena faktor bahan kanul
pembuluh darah flebitis dapat pula terjadi jika pemasangan tidak pada
dapat menghambat darah masuk kedalam tubuh karena darah jika lama-lama
terjadinya cloting akibat bekuan darah pada slang dan jarum infuse.
dalam Hening Pujasari 2002) bahwa pH cairan yang lebih rendah memiliki
resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi perlu juga diingat tentang
sesuai dengan ungkapan partisipan. Karena ada cairan infus yang memiliki
penyebab flebitis dari kimia: biasanya iritasi ini bersumber dari cairan
& Bare, 2002) bahwa dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses
vena, pegang tangan pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk
dilakukan itu sama artinya dengan membantu vena untuk menstabil agar
yang stabil merupakan hal yang penting dalam pemasangan infus. Jika tidak
dilakukan kemungkinan abocath tidak akan terpasang pada tempat yang benar
terjadinya flebitis. Tahapan kerja pada SOP ini tidak dilakukan oleh
lain yang belum melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan SOP. Sebuah
kedisiplinan adalah hal yang memang sulit bagi seorang perawat dengan
tuntutan pekerjaan yang banyak. Namun mengenai hal tersebut bisa saja
pemasangan infus. Disiplin ini yang berarti patuh akan pedoman atau aturan
baku yang telah disediakan oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
2. Memakai
hanschoon
penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan
adalah hanschoon dari pasien satu ke pasien lain. Jika diuraikan hanschoon
yang telah dipakai dari pasien lain contohnya memagang kulit pasien dan
yang dipakai
9
beberapa pasien.
pasti menempel pula pada kapas alkohol yang dipakai untuk disinfektan
kulit pasien yang akan dipasang infus. Kapas alkohol yang dipakai untuk
bagaimana kulit tersebut bisa dikatakan bersih bahkan steril dan siap
dalam keadaan bersih bahkan steril pada saat melakukan tindakan yang
kontak atau diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh,
sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda terkontaminsi.
Mengingat kejadian infeksi yang terjadi adalah hal yang tidak baik. Kejadian
memiliki tugas untuk menjaga kesehatan pasien dan menjaga agar tidak
terjadi infeksi pada pasien. Kewaspadaan universal yang harus dilakukan oleh
partisipan bukan hanya demi keamanan pasien tetapi juga partisipan itu
sarung tangan sekali pakai tidak steril selama prosedur pungsi vena karena
partisipan
untuk membersihkan kulit menggukan kapas alkohol dilakukan naik turun dan
berulang
9
kali. Sudah pasti bakteri dan virus yang ada dihanschoon pindah dikulit dan
Triastuti, dan Sisilia Heni tahun 2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada
pemasangan infus dengan disinfektan cara spray dengan cara oles. Namun
demikian cara disinfektan yang yang dilakukan dengan cara oles pun harus
bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik
tahapan dari SOP pemasangan infus ini tidak dilakukan oleh partisipan saat
tidak terjadi infeksi. Karena tema ini didapatkan dari tahapan kerja SOP yang
memperkuat terjadinya flebitis pada pasien yang terpasang infus tidak sesuai
9
botol cairan yang akan dipasang pada infus pasien. Tujuannya agar kuman-
kuman yang ada pada tutup botol cairan infus yang terkontaminasi dari
luar tidak masuk kedalam tutup botol yang ada didalam. Pencegahan ini
penusukan merupakan hal yang penting juga karena hal ini dapat
Tourniquet adalah salah satu alat yang digunakan untuk mendukung tema
pada posisi stabil agar dalam pemasangan infus atau pengambilan darah
infus sebagai pengganti tourniquet. Fungsi dari selang infus yang dipotong
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal
melindungi daerah yang akan terpasang infus dalam keadaan bersih dari
kuman yang ada di tempat tidur pasien. Menjaga agar tidak ada darah atau
cairan tubuh yang terjatuh ditempat tidur yang akan membuat kuman berpindah
dari tempat satu ke tempat lain yang menyebarkan bakteri dan virus yang bisa
dilakukannya observasi apakah jika pemasangan infus sesuai SOP juga bisa
banyak.
observasi kejadian flebitis dan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP.
9
PENUTU
kategori yang ada dan tema-tema yang telah ditemukan dalam penelitian,
dampak dari pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP, Prosentase
tidak sesuai SOP. Sedangkan saran yang dibuat bagi rumah sakit, institusi
5.1. Simpulan
1. Pengertian SOP
yang telah didapatkan adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab
tema tersebut sebagai berikut:1. Memakan waktu lama. Tema ini didapatkan
pekerjaan yang banyak. Tema ini didaapat dari partisipan saat menjawab
5. Waktu penggantian
infus
Hasil penelitian ini di dapat dari hasil pernyataan dari partisipan 1,2,3, dan
yang terlibat dalam penelitian ini. Dari jawaban partisipan ini didapatkan
tema yang telah didapatkan itu adalah pernyataan dari partisipan pada saat
dari pernahkan ada pasien yang mengalami kejadian flebitis dan juga dalam
1 bulan ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis. Dari hal
Lupa. Tema-tema ini didapatkand ari pernyataan dari partisipan dan juga hasil
obeservasi.
9. Penyebab flebitis
(melingkar dalam -
melakukan pemasangan infus. Tema ini didapat dari tahapan SOP dari
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Yang tidak lain sebagai
belum sampai
1 bulan sekitar 1 minggu lebih sudah ada angka kejadian flebitis diskala satu,
SOP.
SOP.
terungkap dari perawat namun yang paling banyak dan sering dikeluhkan
5.2. Saran
1. Penelitian ini dapat menjadi acuan oleh peneliti lain untuk meneliti
2. Adanya hal-hal yang kurang dalam penelitian ini bisa menjadi bahan
56. Dougherty, L., dkk. (2010). Standards for infusion therapy: The RCN IV
therapy
forum.
Potter dan Perry (2005). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta: EGC
Prastika Daya, Sri Susilaningsih dan Afif Amir A. (2012).” Kejadian Flebitis di
RSUD Majalaya” Universitas Padjadjaran Bandung.
Smeltzer dkk. (2001). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 1 Edisi 8
Jakarta: EGC
Subagyo, Joko P. (2004). Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, PT Asdi
Mahasatya, Jakarta.