Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Kedudukan Bank Central (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK),


Undang-Undang Perbankan Syari’ah, Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES), Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
dalam Sistem Hukum Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Nasional
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi
Syariah

Dosen Pengampu:
Dr. H. Abbas Arfan, Lc., M.H.

Disusun oleh:
Mukhammad Faizin (18210111)
Candra Lukman (1821095)
M. Affifuddin Al Athok (18210127)

PRODI AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah mata kuliah hukum ekonomi syariah tepat waktu. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya
kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “Kedudukan Bank Central (BI),


Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Undang-Undang Perbankan Syari’ah,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Fatwa-Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) dalam sistem hokum Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) Nasional”. dapat diselesaikan karena bantuan banyak
pihak. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi beberapa
pihak. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut
pandang baru setelah membaca makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga


makalah hukum ekonomi Syariah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana Kedudukan Bank Central (BI), Otoritas Jasa Keuangan


(OJK), Undang-Undang Perbankan Syari’ah, Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES), Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dalam Sistem Hukum Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Nasional

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Kedudukan Bank Central (BI), Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Undang-Undang Perbankan Syari’ah, Kompilasi

1
Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) dalam Sistem Hukum Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) Nasional

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bank Central (BI)

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Dimana


merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undang-undang.

Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki satu tujuan tunggal, yaitu


mencapai dan memelihara kestabilan dari nilai rupiah. Kestabilan dari nilai rupiah
memiliki dua aspek kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa.
Kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Bank Indonesia (BI) memiliki kedudukan sebagai lembaga negara yang


independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undangundang ini (Pasal 4 ayat (2) UU BI). Penulis berpendapat, BI
merupakan bagian dari eksekutif (pemerintah) atau merupakan bagian dari
Lembaga Legara Presiden. Karena itu, BI tidak berkedudukan sebagai lembaga
negara, melainkan sebagai lembaga pemerintah (regering organen/executive
body). Terkait dengan Kedudukan Peraturan BI, ketentuan UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak secara tegas
mengatur. Bahkan, dalam undang-undang tersebut hanya dikenal Peraturan
Gubernur Bank Indonesia dan tidak disebut-sebut adanya Peraturan BI1. Didalam
UU BI BAB VIII tentang Hubungan dengan Pemerintah Pasal 52 ayat (1)
menentukan, “Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah”.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa BI merupakan bagian yang tidak terpisahkan

1
KEDUDUKAN BANK SENTRAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA DALAM
KETATANEGARAAN INDONESIA, AriWuisang, Volume 07, Nomor 01, Januari 2021, Hal 45-
58.

3
dari eksekutif (pemerintah) atau merupakan bagian dari Lembaga Negara
Presiden. Seperti telah penulis kemukakan, bagian dari lembaga negara tidak bisa
disebut sebagai lembaga negara juga. Terkait dengan bidang keuangan yang
menjadi tugas pokok BI, pakar hukum administrasi negara yang bernama Donner,
seperti dikutip oleh Johanes Usfunan2, mengatakan bahwa fungsi pemerintah
(eksekutif) salah satunya yaitu pengelolaan keuangan. Karena itu, jelaslah bahwa
BI yang banyak bergerak di bidang keuangan masuk ke dalam ranah eksekutif
(Lembaga Negara Presiden).

 Tujuan dan Tugas

1. Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.


Tujuan ini perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu kebijakan
moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang
cepat dan tepat, serta sistem perbankan yang dan keuangan yang
sehat.

2. Untuk mencapai tujuan tersebut, BI mempunyai tugas:

 menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

 mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan

 mengatur dan mengawasi bank.

B. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang


mempunyai fungsi, tugas serta wewenang menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan di sektor jasa keuangan.

OJK merupakan lembaga yang baru berdiri pada 16 Juli 2012 lalu. Sejarah
berdirinya OJK berangkat dari upaya untuk menghadirkan sistem pengaturan dan

2
Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, (Jakarta : Djambatan, 2002), hal.
16.

4
pengawasan pada kegiatan jasa keuangan di Indonesia. OJK terbentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Sesuai Pasal 4 dalam UU tersebut, OJK dibentuk dengan tujuan agar
semua sektor jasa keuangan terselenggara secara adil, teratur, transparan dan
akuntabel.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas


Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, kebijakan politik hukum nasional
mulai memperkenalkan paradigma baru dalam menerapkan model pengaturan dan
pengawasan terhadap industry. keuangan Indonesia. Berdasarkan UU No. 21
Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadi
kewenangan OJK. Termasuk pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang
semula berada pada Bank Indonesia sebagai bank sentral dialihkan ke OJK3.
Otoritas Jasa Keuangan atau selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 21 tahun 2011 tentang OJK4.

OJK didirikan dengan tujuan sebagai lembaga yang dapat


menjamin agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor
jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, seta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat.5

C. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Secara terminologi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah merupakan bentuk


posistifisasi dari produk hukum fikih muamalat Indonesia yang dijamin oleh
system konstitusi Negara kita. UU yang mengatur Hukum Keluarga belum
lengkap sehingga KHI dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk menemukan
hukum untuk memutuskan perkara di Pengadilan.

3
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), h. 232.
4
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK Pasal 1, dalam www.ojk.go.id diunduh pada
11 September 2021.
5
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2014), h.
217.

5
tujuan dibentuknya KHES ini sendiri  adalah untuk membantu seorang hakim
dalam menemukan hukum jika ada kekosongan hukum. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa dalam hukum bisnis syariah belum ada Undang-undang
yang mengaturnya secara formil. Sebagaimana KHI yang dapat difungsikan sama
dengan KHES dalam permasalah Hukum keluarga seperti pernikahan, perceraian,
dll

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ini bukan merupakan sumber


hukum formil (seperti UUD 45, UU, PERPU, PERDA, dan sebagainya), hanya
saja KHES dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara hukum alias berperan sebagai sumber hukum materiil apabila hakim
menggunakannya. Berbeda dengan KHI jika KHES lebih pada pembahasan
hukum ekonomi syariah, atau hukum bisnis syariah (muamalah maaliyyah),
sedangkan KHI membahas hukum keluarga (akhwal syakhsiyyah),.

Dalam penyusunan KHES sendiri , telah merujuk ke banyak sumber, di samping


sumber-sumber pokok juga sumber-sumber pendukung. Perujukan kepada Al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dapat dilihat secara general dari ketentuan-
ketentuan tentang harta, akad, jual beli, jual beli salam, dll. sudah cukup
menunjukkan kepadanya. Adapun perujukan terhadap sumber-sumber yang
diperselisihkan, dapat dilihat dari kasus per kasus. Dalam penggunaan dalil
istihsan26 dapat dilihat dari kebolehan jual beli pesanan (bai’ as-salam) dan
istisna’, meskipun hal itu pernah dipraktekkan pada masa sahabat. Dalil maslahat
atau istislah, ’urf juga sudah banyak mewarnai dalam pasal-pasal KHES.

Jadi pada dasarnya, KHES mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam yang
sudah populer, dari sumber-sumber primer sampai sumber-sumber skunder.
Artinya dalam perspektif fiqh mazhabi, KHES telah mengakomodir dari semua
mazhab yang mempunyai mtode istidlal yang berbeda-beda.

Secara histori , awalmula terciptanya KHES ini Sejalan dengan bermunculannya


lembaga-lembaga keuangan syariah dan dengan adanya undang-undang baru
tentang peradilan agama, yaitu Undang- undang N0.3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang N0.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

6
kedudukan hukum perjanjian syari‟ah atau akad sebagai bagian dari materi
hukum ekonomi Syariah secara yuridis formal semakin kuat, yang sebelumnya
hanya normatif sosiologis. Lahirnya Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama sebagai amandamen terhadap Undang-undang Peradilan Agama
yang lama membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia.
Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang
ekonomi syari‟ah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene-nya belum
bisa dianggap sebagai hukum syari‟ah.

Lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.


9 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap
kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kewenangan
yang telah diberikan dalam bidang Hukum Keluarga Islam, peadilan Agama juga
diberi wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah yang
meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Maka
wewenang Peradilan Negeri dalam menangani perkara-perkara diatas secara
otomatis terhapus.

Dengan lahirnya KHES, berarti mempositifkan dan mengunifikasikan hukum


ekonomi syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun maka hakim
pengadilan agama memutus perkara ekonomi syariah dengan merujuk kepada
kitab-kitab fiqh yang tersebar dalam berbagai mazhab, karena tidak ada rujukan
hukum positif yang bersifat unifikatif, sehingga terjadilah disparitas dalam
putusan antar suatu pengadilan dengan pengadilan yang lain, antar hakim yang
satu dengan hakim yang lain. Benar-benar berlaku ungkapan different judge
different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya. KHES diterbitkan
dalam bentuk peraturan mahkamah agung (perma) No. 2 tahun 2008 tentang
kompilasi hukum ekonomi syariah. KHES ini sudah mengalami penyesuaian

7
penyesuaian ketentuan syariah yang sudah ada, semisal fatwa DSN (Dewan
Syariah Nasional)6.

Hukum ekonomi Syariah bertaut dengan hukum perbankan Syariah sebagaimana


diatur dalam Undang-Undang N0. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dengan adanya undang-undang ini praktek perbankan Syariah semakin kuat,
dimana sebelumnya operasionalisasi perbankan Syariah berdasarkan Undang-
Undang N0.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang N0. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Hukum ekonomi Syariah juga bertaut dengan hukum surat
berharga Syariah sebagimana diatur dalam Undang-Udang N0. 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah, hukum zakat dan wakaf sebagaimana diatur
dalam Undang- Undang N0. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Adanya
undang- undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah menunjukkan bahwa
sistem ekonomi Indonesia mulai memberi tempat dan ruang pada ekonomi
syariah. Dengan undang-unbdang tersebut, maka kekosongan hukum dalam
bidang ekonomin syariah dapat teratasi, sekalipun belum secara maksimal. Ke
depan diharapkan ada revisi terhadap perundang- undangan yang sudah ada
menyangkut bidang ekonomi secara umum, sehingga melahirkan duel economic
system sebagai payung hukum dalam rangka merealisasikan prinsip-prinsip
ekonomi syariah dalam ekonomi Indonesia. Pemimpin unit usaha syari‟ah, dan
pemimpin kantor cabang Syari‟ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syari‟ah.

D. DSN-MUI

Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya di bidang perbankan,


asuransi dan pasar modal, menjadi perhatian khusus bagi para Ulama yang
tergabung dalam organisasi MUI. Perhatian para Ulama disertai dorongan para
praktisi keuangan syariah kemudian dilakukan dengan pembentukan DSN pada
tahun 1999. Salah satu tugas dari DSN adalah penetapkan fatwa-fatwa di bidang
Ekonomi Syariah. Ketentuan yang dibuat dalam bentuk fatwa ini karena DSN
sebagai bagian dari MUI tidak termasuk lembaga pemerintah yang dapat
menetapkan suatu ketentuan yang bersifat mengikat.

6
Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariahdi di indonesia”,Dr Mardani, jurnal Islamic
Economics & Finance (IEF) Universitas Trisakti, Selasa, 04 Mei 2010.

8
Telah terbit peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah yang memberlakukan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah untuk digunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara yang bekaitan dengan ekonomi syariah.7

 Kedudukan, Status dan Anggota :

a. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama


Indonesia

b. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti


Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun
peraturan/ketentuan untuk lembaga keungan syariah.

c.Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi dan para
pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah.

d. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI


untuk masa bakti 4 (empat) tahun

 Adapun tugas dari DSN yakni:.

a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai- nilai syariah dalam


kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya;

b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;

c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syari’ah;

d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

Keberadaan DPS telah hadir terlebih dahulu dari DSN, tidak ditinggalkan dalam
mekanisme pelaksanaan tugas- tugas DSN. Dewan Syariah Nasional tetap
memerlukan DPS dalam melakukan pengawasan pelaksanaan syari’ah pada
masing- masing LKS. Untuk itu, DSN memiliki kewenangan berikut ini dalam
rangka menjalankan tugas yang telah diberikan kepadanya sebagaimana diatur
dalam Keputusan DSN-MUI No.01 Tahun 2000, yaitu:

a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di


masing- masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum
pihak terkait

b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi


ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
7
Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk Perbankan Syariah di
Indonesia, (Yogyakarta: BPFE),

9
c. Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi nama-
nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah.

d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang


diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.

e. Memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk


menhentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasiona

f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil


tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

 Mekanisme kinerja dsn :

a. Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang


diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN.

b. Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu


kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.

c. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam


laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga keungan syariah yang
bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional

 Alur penetapan fatwa:

a. Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menerima usulan atau


pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan
atau pertanyaan hukum ini bisa dilakukan oleh praktisi lembaga perekonomian
melalui Dewan Pengawas Syariah atau langsung ditujukan kepada sektretariat
Badan Pelaksana Harian DSN-MUI

b. Dipimpin oleh sekretaris paling lambat satu hari kerja setelah


menerima usulan/ pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada ketua.

c. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI bersama anggota BPH


DSN- MUI dan staff ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat
memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu
pertanyaan atau usulan hukum tersebut.

10
d. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI selanjutnya membawa
hasil pembahasan ke dalam rapat pleno Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia untuk mendapat pengesahan.

e. Memorandum yang sudah dapat pengesahan dari rapat pleno DSN-


MUI ditetapkan menjadi fatwa DSN-MUI fatwa tersebut ditandatangani oleh
ketua DSN-MUI (ex officio Ketua Umum MUI) dan sekretaris DSN-MUI (ex
officio Sekretaris Umum MUI).

E. Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Dewan pengawas syariah adalah suatu badan yang bertugas


mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah.
DPS diangkat dan diberhentikan di lembaga keuangan syariah melalui
RUPS setelah mendapat rekomendasi dari DSN.8

Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai penasehat dan


pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari`ah dan pimpinan
kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syari`ah dan sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan
Dewan Syariah Nasional dalam mengkomunikasikan usul dan saran
pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang
memerlukan kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Posisi Dewan
Pengawas Syariah adalah wakil Dewan Syariah Nasional dalam
mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional di lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan.

Didunia perbankan atau lembaga-lembaga keuangan lainnya yang


membedakan antara lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan
konvensional adalah adanya kepastian pelaksanaan prinsip-prinsip syariah
dalam operasionalnya. Untuk menjamin operasi lembaga keuangan syariah
tidak menyimpang dari tuntunan syariat, maka pada setiap lembaga Islam
hanya diangkat manager dan pimpinan lembaga yang sedikit banyak
menguasai prinsip muamalah Islam. Selain dari pada itu di lembaga ini
8
Muhammad Firdaus Dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah. (Jakarta: Renaisan,
2007), hal. 16.

11
dibentuk Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional
bank atau lembaga keuangan dari sudut syariahnya4 .9

Salah satu pilar yang cukup penting dari keberadaan industri keuangan
Islam, dalam kaitannya dengan syariah compliance adalah keberadaan
Dewan Pengawas Syariah (DPS). Berdasarkan Surat Keputusan DSN MUI
No.Kep-98/MUI/III/2001, DPS memiliki fungsi antara lain adalah
melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah.
Namun demikian, berkaitan dengan pengawasan yang dilakukannya
terhadap lembaga keuangan syariah, maka anggota DPS harus memiliki
kualifikasi keilmuan yang komprehensif dan integral dalam fikih
muamalah maupun ekonomi keuangan Islam modern. Dengan pengawasan
yang berjalan efektif dan didukung dengan kualifikasi akademis dari
anggota DPS yang mumpuni, diharapkan kinerja lembaga keuangan
syariah semakin meningkat secara ekonomis seiring dengan tingkat
compliance-nya dengan prinsip-prinsip syariah.

Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah atau


lembaga keuangan syariah, setiap bank Islam atau lembaga keuangan
Islam di indonesia, Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha
Syariah (UUS), wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah, yang secara
umum bertugas untuk memberikan nasihat serta saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar tidak melenceng dari prinsip syariah10

9
Karnaen A.Perwataatmadja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1992 ), hal.2
10
Imam Wahyudi Dkk, Manajemen Risiko Bank Islam. (Jakarta Selatan: Salemba Empat, 2013)
hal. 156.

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Dimana


merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang. Bank
Indonesia sebagai bank sentral memiliki satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan dari nilai rupiah. Kestabilan dari nilai
rupiah memiliki dua aspek kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan
jasa. Kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen yang


mempunyai fungsi, tugas serta wewenang menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan.

13
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah merupakan bentuk posistifisasi dari
produk hukum fikih muamalat Indonesia yang dijamin oleh system
konstitusi Negara kita. UU yang mengatur Hukum Keluarga belum
lengkap sehingga KHI dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk
menemukan hukum untuk memutuskan perkara di Pengadilan.

DSN MUI adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia
yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang
produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.

Dewan pengawas syariah adalah suatu badan yang bertugas mengawasi


pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. DPS diangkat
dan diberhentikan di lembaga keuangan syariah melalui RUPS setelah
mendapat rekomendasi dari DSN.

DAFTAR PUSTAKA

KEDUDUKAN BANK SENTRAL DAN PERATURAN BANK INDONESIA


DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA, AriWuisang, Volume 07, Nomor
01, Januari 2021.

Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, (Jakarta :


Djambatan, 2002).

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014).

14
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK Pasal 1, dalam www.ojk.go.id
diunduh pada 11 September 2021.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta:


Kencana, 2014).

Imam Wahyudi Dkk, Manajemen Risiko Bank Islam. (Jakarta Selatan: Salemba
Empat, 2013).
Khotibul Umam, Legislasi Fikih Ekonomi dan Penerapannya dalam Produk
Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: BPFE)

15

Anda mungkin juga menyukai