Anda di halaman 1dari 3

Kajian Pengembangan Model “Sekolah Sagu” sebagai Pendekatan

Sosial Humaniora dalam Pengembangan Industri Sagu Berbasis


Masyarakat Adat untuk Upaya Percepatan Pencapaian Kedaulatan
Pangan, Pengentasan Kemiskinan dan Pengurangan Emisi GRK

Tim Peneliti:
Dr. Ir. Laksmi Adriani Savitri, MSi.
Dr. Dumairy, M.A
Dr. Ing Suwartanti Nayono, MSc

Term of Reference

Lokakarya Perumusan Model Pendidikan Pemberdayaan Sosial Ekonomi dan


Budaya Bagi Pelaku Ekonomi Sagu Rakyat

1. Pendahuluan
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada saat ini sedang
melakukan penelitian dengan judul Pengembangan Model “Sekolah Sagu” sebagai
Pendekatan Sosial Humaniora dalam Pengembangan Industri Sagu Berbasis
Masyarakat Adat untuk Upaya Percepatan Pencapaian Kedaulatan Pangan,
Pengentasan Kemiskinan dan Pengurangan Emisi GRK. Penelitian yang
dilaksanakan di Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat ini bertujuan
untuk 1) Memetakan strategi pengembangan industri sagu berbasis masyarakat adat
mencakup aspek modal insani, pengetahuan lokal, modal sosial, maupun modal
material; 2) Menyusun model pengembangan (disain pengembangan kapasitas
individu/kolektif – kewirausahaan sosial) atas dasar praktek-praktek pemanfaatan
sumber daya komunal berdasarkan kendala, peluang dan tantangan pengembangan
usaha kolektif (BUMDes, Koperasi produksi/distribusi/pemasaran, Perkumpulan
Usaha Adat, dll.), potensi pasar, potensi dana dan kebutuhan pembiayaan secara
kolektif baik dari dalam maupun luar masyarakat; 3) Mengujicoba dan
mengevaluasi penerapan dan pengembangan model inkubator pengembangan
industri sagu berbasis masyarakat adat.
Sagu merupakan pangan pokok bagi masyarakat di lokasi penelitian. Sulitnya
akses pada beras menyebabkan sagu bertahan sebagai bahan pangan. Seluruh
bagian dari sagu pun memberi beragam manfaat lainnya, daunnya sebagai atap,
pelepah sebagai dinding, alat perangkap berburu babi, dan pokok sagu adalah inang
bagi ulat sagu yang menjadi sumber protein tertinggi. Denagn demikian, dapat
dikatakan bahwa sagu melekat pada kehidupan masyarakat dan membentuk
kebudayaan orang Papua, khususnya di wilayah Sorong Selatan. Daerah ini
memiliki hampir 90% dari sagu alam yang hidup di Papua, tersebar dari hulu
hingga hilir di beragam sungai di sana. Temuan kami menunjukkan bahwa
kebudayaan sagu ini juga sangat ditentukan oleh peran perempuan dalam memanen,
mengolah dan memilah jenis sagu. Hak dan akses perempuan terhadap produksi,
pengolahan dan pembentukan pola konsumsi sagu dalam keluarga sangat berperan
penting dalam kelestarian sagu.
Posisi sagu di perkampungan yang masih menjadi sumber bahan pokok,
dalam satu decade terakhir mengalami berbagai perubahan. Hasil sagu semakin
berkurang seiring dengan kondisi kualitas air yang semakin menurun akibat limbah
buangan kelapa sawit yang masuk ke sungai dan wilayah perairan di mana sagu
hidup. Pola konsumsi masyarakat juga bergeser menjadi makanan-makanan instan.
Selain tidak bergizi cukup, makanan instan ini juga membuat masyarakat semakin
konsumtif dan terus-menerus memerlukan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka. Keberadaan industri kelapa sawit dan sagu berskala besar yang
sedianya diharapkan membuka lapangan pekerjaan bagi warga lokal, tidak serta-
merta menyelesaikan masalah uang tunai karena beragam hal. Akibatnya, kualitas
kehidupan warga menjadi semakin buruk, ditandai oleh jumlah malnutrisi anak
yang mencapai 24 orang pada 2018, dan jumlah kematian bayi yang semakin
mengkhawatirkan.
Berdasar pada temuan-temuan tersebut, penelitian ini sampai pada asumsi
bahwa ada kebutuhan untuk memberi nilai lebih pada sagu dan olahan sagu di
tingkat rumahtangga warga lokal, agar gizi dari sagu tidak tergeser oleh selera
makanan instan dan keuntungan dari penjualan sagu bisa mengembalikan arti
penting dari sagu. Untuk sampai pada pengujian asumsi tersebut, dibutuhkan
metode yang tepat dalam memperkuat masyarakat menghadapi perubahan dalam
kebudayaan sagu. Tim peneliti bermaksud mengembangkan model pendidikan
pemberdayaan sosial ekonomi sagu dengan mengaitkan produksi dan pemasaran
sagu di tingkat rumahtangga perdesaan dengan produksi dan pemasaran sagu pada
tingkt usaha kecil atau industri rumahan di perkotaan. Lokakarya ini diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai model pendidikan dan pemberdayaan yang
mungkin diusulkan untuk dilaksanakan di Sorong Selatan. Beberapa pertanyaan
yang masih perlu dijawab dalam proses lokakarya adalah sbb:
1. Bagaimana menyambungkan pola produksi sagu rumahtangga di kampung
dengan pengolahan sagu di perkotaan untuk keperluan diversifikasi pangan
dan pemasaran industri rumahan?
2. Mengingat sudah banyaknya bantuan mekanisasi yang diberikan untuk
pengolhn sagu tapi tidak berjalan baik, bagaimanakah introduksi teknologi
pangan dapat dilakukan dengan tepat dan bisa diterima masyarakat,
terutama di tingkat rumahtangga perdesaan?
3. Bagaimana mendorong peran pemerintah daerah untuk berperan aktif dalam
model pemberdayaan ekonomi sagu rakyat ini?

2. Tujuan

Workshop ini bertujuan untuk:


a. Mencari format pendidikan pemberdayaan sosial ekonomi dan budaya yang
tepat;
b. Merumuskan format tersebut dalam perencanaan pendidikan pemberdayaan
ekonomi bagi masyarakat kampung dan pelaku ekonomi sagu rakyat lainnya.

3. Waktu dan Tempat

Workshop diselenggarakan pada 16 September 2019 Pukul 09.00 – 16.00 di


Yogyakarta dengan susunan acara sebagai berikut.
Waktu Kegiatan
09.30-09.45 Kopi pagi
09.45-10.00 Pembukaan
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
10.00 – 10.30 Pemaparan hasil riset:
Laksmi A Savitri (Ketua Tim Peneliti)
10.30 – 11.30 Pemaparan dari Narasumber:
Prof. Yudi Pranoto (Fakultas Teknologi Pertanian
UGM)
10.30 – 12.00 Diskusi
12.00 – 13.00 Istirahat, Makan, Ibadah
13.00 – 16.00 Diskusi Internal Tim Peneliti

4. Peserta:

 Tim peneliti model sekolah sagu


 Instruktur Akademi Komunitas Negri Sorong Selatan
 Mahasiswa KKN UGM di Kais 2017/2018
 Para peneliti dan pelaku ekonomi kerakyatan

Anda mungkin juga menyukai