Anda di halaman 1dari 139

IMPLIKASI PENDIDIKAN DARI HADITS RIWAYAT MUSLIM NO.

4803
TERHADAP PERAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Bandung

Disusun oleh:
Balqis Amany Hasan
NPM: 10030117038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021/1442 H
ABSTRAK
Balqis Amany Hasan. (10030117038). Implikasi Pendidikan Dari Hadits Riwayat Muslim No.
4803 Terhadap Peran Orangtua Dalam Mendidik Aqidah Anak. Skripsi Program Studi PAI,
Fakultas Dan Keguruan, Universitas Islam Bandung, 2021.
Orangtua merupakan pendidik pertama dan utama dalam mendidik anak-anaknya,
memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam mendidik merupakan bentuk amanah yang
diberikan oleh Allah SWT. Terkadang orangtua terlalu sibuk dengan kegiatannya yang
menyebabkan anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan fitrahnya. Hal ini terjadi karena
kurangnya pendidikan keluarga yang diberikan orangtua dalam menumbuhkan aqidah kepada
anak. Oleh sebab itu, penulis mengangkat penelitian tentang Implikasi Pendidikan Dari Hadits
Riwayat Muslim No. 4803 Terhadap Peran Orangtua Dalam Mendidik Aqidah Anak. Penelitian
ini bertujuan untuk (1) mengetahui pendapat pensyarah hadits Muslim tentang setiap anak terlahir
dalam keadaan fitrah (2) mengungkap esensi yang terkandung dalam Hadits Riwayat Muslim No.
4803 (3) mengemukakan pendapat para ahli mengenai peran orangtua dalam mendidik aqidah
anak (4) menemukan implikasi pedagogis dalam Hadits Riwayat Muslim mengenai peran
orangtua dalam mendidik aqidah anak Perspektif Pendidikan Islam. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode pada penelitian ini yaitu deskriptif analitik. Adapun
pendekatan metode hadits menggunakan metode tausiq, metode tashih, metode tathbiq, metode
takhrij dan metode tahlili, yaitu dengan cara mengumpulkan pendapat para Muhadittsin, lalu
menganalisis dengan kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data yang ada keterkaitan
dengan pembahasan peneliti. Hasil penelitian mengemukakan bahwa esensi dari Hadits Riwayat
Muslim No. 4803 adalah (1) Setiap anak berada dalam fitrah yang lurus yakni mengenal Allah
SWT sebagai Tuhan-Nya. (2) Fitrah sebagai pondasi dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang
tidak dapat berkembang tanpa adanya pendidikan. (3) Agama seorang anak tidak lepas dari cara
orangtua dalam mendidik dan membina. (4) Agama anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar
tempat anak tinggal dan bersosialisasi. Adapun implikasi pendidikan Islam berdasarkan Hadits
Riwayat Muslim No 4803 terhadap peran orangtua dalam mendidik aqidah anak adalah sebagai
berikut (1) Menetukan calon pasangan hidup. (2) Mendidik anak secara Islami.

ii
Kata Kunci: Hadits Riwayat Muslim no.4803, Peran orangtua, Pendidikan aqidah

iii
PENGESAHAN
IMPLIKASI PENDIDIKAN ISLAM DARI HADITS RIWAYAT MUSLIM
NO. 4803 TERHADAP PERAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH
ANAK
OLEH:
Balqis Amany Hasan
(10030117038)

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Khambali, S.PD.I., M.PD.I. Dr. Helmi Aziz, S.Pd.I., M.Pd.I.


NIDN. 0401038901 NIDN. 0431018702

Mengetahui

Dekan, Ketua Prodi PAI,

Enoh, Drs., M.Ag. DR. Aep saepudin, DRS., M.AG.


NIDN. 0417016503 NIDN. 0411066501
PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dalam sidang/munaqasyah oleh Tim Penguji Skripsi pada
tanggal ………………………... dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Bandung.

Bandung,
……………………

Panitia Ujian/Sidang/Munaqasyah Skripsi,

Ketua, Sekretaris,

Tim Penguji,

Ketua Sekretaris

Anggota Anggota
MOTTO
Jangan berhenti berharap karena keajaiban terjadi setiap saat dan Allah selalu
memberikannya disaat tak terduga.

v
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Balqis Amany Hasan

TTL : Bandung, 03 November 1999

NPM : 100301117038

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Fakultas : Tarbiyah dan Keguruan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul
“Implikasi Pendidikan Islam Dari Hadits Riwayat Muslim No. 4803 Terhadap
Peran Orangtua Dalam Mendidik Aqidah Anak.” sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana dari program studi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UNISBA seluruhnya merupakan karya saya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan atau sebagian skripsi ini bukan hasil
karya saya sendiri atau adanya unsur plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bandung, 20 April 2021


Yang membuat pernyataan ini

Balqis Amany Hasan

10030117038

vi
KATA PENGANTAR

Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Peneliti secara khusus mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu. Peneliti banyak menerima bimbingan, petunjuk
dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak baik yang bersifat moral maupun
materil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. Allah SWT dengan segala rahmat serta karunia-Nya yang memberikan


kekuatan bagi peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. Kepada kedua orangtua tercinta, Ayah yang memotivasi peneliti untuk
melanjutkan kuliah di fakultas tarbiyah dan keguruan UNISBA dan Ibu yang
selama ini telah membantu peneliti dalam bentuk perhatian, kasih sayang,
semangat, serta doa yang tidak henti-hentinya mengalir demi kelancaran
kesuksesan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Kemudian terimakasih
banyak untuk teteh tercinta Shafira Dinny Hasan dan adik tercinta Sulthan
Faruq Hasan yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat kepada
peneliti selama menjalani masa kuliah hingga menyelesaikan penelitian ini.
3. Kepada bapak Khambali, S.Pd.I., M.Pd.I. dan Dr. Helmi Aziz, S.Pd.I.,
M.Pd.I. selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan serta
dukungan sehingga peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini.
4. Kepada bapak Enoh, Drs., M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
keguruan Universitas Islam Bandung.
5. Kepada bapak Dr. Aep Saepudin, Drs., M.Ag. selaku ketua Program Studi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Bandung.
6. Kepada bapak Dr. H. Dedih Surana, Drs., M.Ag. selaku dosen wali yang
selalu memberi arahan dan solusi terkait perkuliahan.

vii
7. Segenap dosen dan seluruh staf akademik yang selalu membantu, memberikan
fasilitas terbaik, ilmu, serta pendidikan pada peneliti sehingga dapat
menyelesaikan penelitian ini.
8. Kepada Efril Septia Lapaz yang telah memberikan dukungan, doa, semangat,
serta motivasi selama perkuliahan sampai saat ini.
9. Kepada teman-teman seperjuangan PAI A dan Sweet Of Seventeen, terima
kasih karena telah memberi dukungan, doa, semangat, serta motivasi sehingga
peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini.
10. Serta masih banyak pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang
tentunya sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan yang telah diberikan. Semoga
penelitian dapat bermanfaat bagi peneliti umumnya kepada para pembaca.

Bandung, 20 April 2021

Peneliti

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK..............................................................................................................................ii
PENGESAHAN......................................................................................................................ii
PENGESAHAN......................................................................................................................ii
MOTTO..................................................................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................2
PENDAHULUAN...................................................................................................................2
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................2
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................................2
D. Kegunaan Penelitiaan................................................................................................2
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan..........................................................................2
F. Kerangka Pemikiran..................................................................................................2
G. Metode Penelitian...................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................2
KAJIAN HADITS RIWAYAT MUSLIM NO. 4803...........................................................2
A. Lafaz dan Terjemahan Hadits Riwayat Muslim No. 4803......................................2
B. Takhrij Hadits............................................................................................................2
C. Perbandingan Matan Hadits.....................................................................................2
D. Penjelasan Lafadz Hadits..........................................................................................2
E. Pengertian Kalimat Menurut Pensyarah Hadits.....................................................2
F. Pendapat Para Pensyarah Hadits.............................................................................2
G. Rangkuman Pendapat para Pensyarah Hadits....................................................2
H. Esensi Hadits..........................................................................................................2
BAB III...................................................................................................................................2

ix
LANDASAN TEORI IMPLIKASI PENDIDIKAN ISLAM DARI HADITS MUSLIM
TENTANG PERAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK....................2
A. Pendidikan Islam........................................................................................................2
1. Pengertian Pendidikan Islam................................................................................2
2. Tujuan Pendidikan Islam......................................................................................2
B. Peran Orangtua..........................................................................................................2
1. Pengertian Orangtua..............................................................................................2
2. Tugas dan Tanggung Jawab Orangtua................................................................2
3. Peran Orangtua dalam Keluarga..........................................................................2
4. Metode Mendidik Anak.........................................................................................2
C. Aqidah Islam..............................................................................................................2
1. Pengertian Aqidah Islam.......................................................................................2
2. Fungsi dan Peran Aqidah Islam............................................................................2
3. Ruang Lingkup Aqidah Islam...............................................................................2
BAB IV....................................................................................................................................2
ANALISIS HADITS RIWAYAT MUSLIM NO. 4803 TERHADAP PERAN
ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK.......................................................2
A. Analisis Peran Orang Tua Berdasarkan Hadits Riwayat Muslim NO. 4803.........2
1. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yang lurus yakni tauhid.............2
2. Fitrah yang dibawa manusia sejak lahir yang tidak dapat berkembang tanpa
adanya pengaruh pendidikan........................................................................................2
3. Agama seorang anak tidak lepas dari cara orangtua dalam mendidik dan
membina.........................................................................................................................2
4. Agama anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat anak tinggal
dan bersosialisasi............................................................................................................2
B. IMPLIKASI PENDIDIKAN ISLAM DARI HADITS RIWAYAT MUSLIM NO.
4803 TERHADAP PERAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK....2
1. Menentukan calon pasangan hidup......................................................................2
2. Mendidik Anak secara Islami................................................................................2
BAB V.....................................................................................................................................2
PENUTUP...............................................................................................................................2
A. Kesimpulan.................................................................................................................2

x
B. Saran...........................................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................2
BIOGRAFI PENELITI............................................................................................................2

xi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang Allah SWT ciptakan dalam keadaan
memiliki fitrah. Fitrah ini diberikan kepada seluruh manusia tanpa
memandang ia lahir dari siapa dan dimana
Orangtua sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak dimana anak
pertama kali mendapatkan pendidikan. Maka orangtua berperan sebagai
pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga merupakan
lingkungan sosial pertama bagi anak, sebelum ia mengenal lingkungan
sekitarnya. Ayah dan ibu merupakan pemberi pendidikan mulai dari akhlak,
aqidah, adat kebiasaan dan pembentuk karakter atau kepribadian anak.
Sebagaiamana dalam Hadits Riwayat Muslim No. 4803,
ِ ٍ ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬
ُ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َما م ْن َم ْولُود ِإاَّل يُولَ ُد َعلَى الْفطْ َر ِة فَ ََأب َواه‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ق‬
‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه‬ ِّ َ‫يُ َه ِّو َدانِِه َويُن‬
Artinya, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam
kesucian (fitrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan membuatnya
menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi”
Berdasarkan hadits diatas, fitrah yang dimaksud adalah tauhid. Pada
dasarnya anak membawa fitrah beragama dan tergantung kepada pendidikan
yang diberikannya. Apabila fitrah beragama tersebut dipupuk dan dibina
dengan baik maka anak akan menjadi orang yang taat beragama, begitu pun
sebaliknya apabila fitrah beragama tidak dibina dengan baik, maka anak akan
jauh ataupun tidak beragama. Zuharirini, (seperti dikutip Mardiyah,
2015:111). Jadi semua tergantung bagaimana pola asuh yang diberikan dalam
keluarga.

1
Menurut Darajat (1995:7), keluarga merupakan tempat pertama dan utama
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika lingkungan dalam keluarga
baik, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Begitupun sebaliknya, jika
lingkungan dalam keluarga buruk, maka anak akan ikut tumbuh dengan tidak
baik pula. Oleh karena itu peran orangtua dalam keluarga sangat amat penting
dalam tumbuh kembang dan pendidikan anak.
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Sebab
melalui pendidikan, manusia mendapatkan kemaslahatan baik bagi dirinya
sendiri, maupun secara luas bagi lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa, proses pendidikan membutuhkan perhatian yang serius
dari semua pihak dan kalangan, karena output dari proses pendidikan akan
ikut mempengaruhi lingkungan, baik dalam skala mikro sosial (keluarga),
maupun dalam skala makro sosial (lingkungan/masyarakat). (Labaso,
2018:53). Oleh karena itu dalam memperoleh pendidikan perlu kontribusi
tidak hanya dari keluarga melainkan dari lingkungan atau masyarakat, karena
akhir dari proses pendidikan akan mempengaruhi lingkungan dan keluarga itu
sendiri.
Keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Di mana ada keluarga pasti disitu ada pendidikan. Dimana ada orangtua pasti
ada anak yang mendapatkan pendidikan dari orangtuanya. Oleh karena itu ada
istilah pendidikan dalam keluarga.
Bila diperhatikan dunia pendidikan saat ini, dimana zaman mulai
berkembang yang menjadi tantangan besar bagi orangtua dalam mendidik
anak-anaknya. Serta teknologi semakin canggih yang dapat mengakases
berbagai informasi dengan mudah sehingga sedikit banyaknya dapat
mempengaruhi perkembangan anak. Dalam hal ini Ari Wahyudi dalam artikel
muslim.or.id yang diakses 19 April 2021, menyatakan:
“Seseorang yang tidak mempunyai aqidah yang benar maka, sangat
rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan keracunan

2
pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka
mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat
mengenasakan yaitu dengan buruh diri. Sebagaimana pernah kita
dengan ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara
diputuskan pacarnya. Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak
dibangun di atas fondasi aqidah yang benar akan sangat rawan terbius
berbagai kotoran pemikiran metrialisme (segala-galanya diukur
dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri
pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas
karena menurut mereka hal itu idak bisa menghasilkan keuntungan
materi.”
Berdasarkan kasus diatas bisa terjadi karena kurangnya pendidikan aqidah
yang seharusnya ditanamkan oleh orangtua sejak usia dini dan kurangnya
pendidikan keluarga. Ini menunjukkan jika dalam kepribadian anak tidak
memiliki nilai-nilai agama, maka akan mudah bagi dirinya melakukan segala
sesuatu hanya berdasarkan keinginan dan kebutuhannya tanpa mengenal
batasan-batasan dan hukum-hukum agama. Tetapi jika anak memiliki nilai-
nilai agama, maka segala keinginan dan kebutuhannya berdasarkan nilai-nilai
agama dengan tidak melanggar batasan-batasan dan hukum agama. Oleh
karena itu orangtua memiliki tanggung jawab dalam memberikan pendidikan
aqidah.
Menurut Mas’ari (seperti dikutip Burhanusin, 2017:39), Menjelaskan
bahwa kewajiban orangtualah menjaga dan memelihara anak demi
keselarasan dan kesehatan pertumbuhan rohani dan jasmani anak. Setiap
orangtua berkewajiban membimbing dan mendidik anaknya sebagai manusia
yang taat kepada Allah `Azza wa Jall dan rasul-Nya.
Oleh karena itu, agar fitrah manusia selalu dalam ajaran Islam yang sesuai
dengan petunjuk Allah SWT, maka harus menumbuhkan nilai-nilai aqidah
dan menjadikan Alquran dan Hadits sebagai pedoman hidup. Demi

3
tercapainya hal tersebut maka diperlukannya upaya-upaya dalam proses
pendidikan Islam yang menumbuhkan nilai-nilai aqidah Islam sejak dini.
Selain itu pendidikan aqidah sangat diperlukan bagi anak sebagai landasan
dalam membentuk akhlak, mengetahui tujuan hidupnya di dunia, dan menjadi
pedoman dalam menilai mana yang baik dan buruk. Pendidikan pada anak
disini dapat dimulai saat dalam kandungan bahkan sebelum itu yaitu saat
menentukan pasangan hidup.
Disinilah pentingnya peran orangtua dalam mendidik anak agar
menciptakan manusia yang memiliki pribadi beriman kepada Allah, memiliki
akhlak mulia, menyebarkan ajaran Islam, dan menjadi manusia yang
bermanfaat bagi negara dan agamanya. Serta dalam Islam orangtua memiliki
kewajiban dalam menumbuh kembangkan anak mereka agar tetap teguh pada
tauhid. Mereka juga harus berupaya menjadikan anak-anaknya yang taat pada
agama Allah. Selain itu peran orangtua dan pendidikan keluarga merupakan
pembahasan yang tidak terlewatkan dalam Alquran dan Hadits. Berdasarkan
uraian diatas, maka judul kajian ini tentang Implikasi Pendidikan Islam Dari
Hadits Riwayat Muslim No. 4803 Terhadap Peran Orangtua Dalam Mendidik
Aqidah Anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan berkut:
1. Bagaimana pendapat pensyarah hadits Muslim No. 4803 tentang setiap
anak terlahir dalam keadaan fitrah?
2. Apa esensi yang terkandung dalam Hadits Riwayat Muslim No. 4803
tentang setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah?
3. Bagaimana pendapat para ahli Pendidikan Islam mengenai peran
orangtua dalam mendidik aqidah anak?

4
4. Bagaimana Implikasi pedagogis dalam Hadits Riwayat Muslim No.
4803 Mengenai peran orangtua dalam mendidik aqidah anak ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan dalam rumusan masalah
diatas, maka penyusun dapat mengambil tujuan penelitian tersebut sebagai
berikut:
a. Mengetahui pendapat pensyarah hadits Muslim tentang setiap anak
terlahir dalam keadaan fitrah.
b. Mengungkap esensi yang terkandung dalam Hadits Riwayat Muslim
No. 4803.
c. Mengemukakan pendapat para ahli mengenai peran orangtua dalam
mendidik aqidah anak.
d. Menemukan implikasi pedagogis dalam Hadits Riwayat Muslim
mengenai peran orangtua dalam mendidik aqidah anak Perspektif
Pendidikan Islam.
D. Kegunaan Penelitiaan
a. Secara Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan bagi
penulis, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu pendidikan Islam, khususnya pendidikan keluarga dalam perspektif
pendidikan Islam.
b. Secara Praktis
Sebagai masukan kepada orangtua, anak, dan pembaca sehingga dapat
mengimplementasikan pendidikan aqidah kepada anak yang baik dan benar
menurut ajaran Islam.

5
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian tentang masalah ini telah banyak dilakukan peneliti lain.
Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat beberapa penelitian yang relevan
dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Aisa Roskhina Alimh yang berjudul
“Peran Orangtua Dalam Penanaman Nilai Aqidah Dan Ibadah Pada Anak Di
Masyarakat Kelurahan Korpri Raya Sukarame Bandar Lampung”
Substansi dari skripsi ini adalah peran orangtua dalam memberikan
pendidikan dengan menanamkan nilai-nilai aqidah dan ibadah pada anak,
memiliki tiga ketegori yaitu:
1. Orangtua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang baik
akan cenderung memberikan pendidikan aqidah dan ibadah kepada anak-
anaknya dengan lebih baik.
2. Ibu memiliki peranan penting dalam memberikan pendidikan dan
mengarahkan anak dalam mendidik aqidah dan ibadah, sehingga dapat
membentuk pribadi yang taat dalam beribadah.
3. Orangtua yang tidak memiliki pemahaman agama dengan baik, maka akan
cenderung acuh pada anak untuk mempelajari agamanya dengan baik.
Selain itu, peran orangtua dalam memberikan contoh, teladan, nasehat,
dan pembiasaan akan lebih mudah dalam menanamkan nilai-nilai aqidah dan
ibadah pada anak dan lembaga pendidikan seperti TPA ikut berperan dalam
membantu memberikan pendidikan aqidah dan ibadah pada anak. serta
Majelis Ta’lim dapat menjadi sarana untuk mengarahkan orangtua dalam
memberikan mendidik dan membina keluarga yang bahagia dunia dan akhirat.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dalam
membasan peranan orangtua dalam menanamkan atau menumbuhkan nilai-
nilai aqidah dalam dirinya sehingga mencapai kebahagiann dunia dan akhirat.
Dengan mengajarkan kalimat tauhid, menanamkan rasa cinta kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya, melafadzkan kalimat syahadat, menunjukan kekuasaan

6
Allah dan nikmat Allah, megajarkan membaca Alquran, dan Istiqamah dalam
aqidah Allah.
Perbedaan, penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini
tidak hanya memfokuskan pada aqidah saja tetapi juga ibadah dan selain itu
jenis penelitian ini berbeda dengan penulis, penelitian ini menggunakan studi
kasus pada keluarga yang menjadi anggota Majlis Ta’lim.
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Andi Safar Danial yang berjudul “Peran
Dan Tanggung Jawab Orangtua Tentang Pendidikan Anak Dalam Perspektif
Hadits”
Substansi dari skripsi ini adalah hubungan manusia dengan pendidikan
bersifat simbiosis, manusia mengembangkan pendidikan dan pendidikan
mengembangkan manusia dan kehidupanya. Maka dari itu manusia sangat
membutuhkan pendidikan untuk menjalani kelangsungan hidup.
Dalam Islam, pendidikan memiliki tujuan untuk membentuk pribadi
muslim yang seutuhnya, mengembangkan potensi manusia baik jasmani dan
rohani, menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi mansuia
dengan Allah, manusia dan alam.
Lembaga pendidikan pertama bagi anak adalah orangtua. Orangtua
memiliki peranan penting sebagai pendidik kodrat anak, karena dengan
orangtualah anak melakukan interaksi pertama dan mendapatkan pendidikan
pertama, oleh karena itu diperlukan peran penting orangtua sebagai
perwujudan tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.
Peran orangtua dalam pendidikan anak beradasrkan penelitian ini,
meliputi: membiasakan anak dengan akhlak mulia, memberikan keteladanan,
memotivasi, memberikan nasehat, mengawasi anak dari pergaulan yang
buruk, memberikan sanksi/hukuman.
Tanggung jawab orangtua dalam pendidikan anak berdasarkan penelitian
ini, meliputi: tanggung jawab pendidikan iman, pendidikan akhlak (moral),

7
ibadah, pendidikan intelektual, pendidikan psikis, pendidikan sosial, dan
pendidikan seksual.
Pada metode penelitian ini karena penelitian tentang perspektif
haditstentang peran dan tanggung jawab orangtua dalam pendidikan akan,
maka yang menjadi sumber adalah kitab-kitab Hadits, seperti shahih bukhor,
muslim, tirmidzi, abu daud, imam al-baihaqi dan imam malik.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dalam
membahas peran dan tanggung jawab orangtua dalam pendidikan anak
berdasarkan Hadits. Dalam metode penelitian yang digunakan terdapat
kesamaan yaitu menggunakan metode takhrij.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini
tidak meneliti kualitas matan dan sanad Hadits, hanya menggunakan satu
metode penelitian yaitu takhrij Hadits. Sedangakan penulis menggunakan
enam metode penelitian dan haditsyang digunakan hanya berfokus pada satu
hadits yaitu hadits muslim.
Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Tri Widyati yang berjudul “Peran
Orangtua Dalam Mendidik Anak Perampuan Perspektif Pendidikan Islam”
Substansi dari skripsi ini adalah dalam mendidik anak, orangtua harus
memahami setiap perkembangan anaknya berdasarkan tahap perkembangan
usianya, sehingga tidak ada kekeliruan dalam memberikan pendidikan kepada
anak-anaknya. Dengan demikian, proses mendidik pun dapat berjalan dengan
lancar dan orangtua dapat menghargai proses belajar anak. proses belajar
merupakan suatu proses yang dapat dilakukan secara terus menerus dari
pengalama yang akan membuat anak berubah, terutama pada anak perempuan.
Anak perempuan adalah calon ibu yang akan menjadi pendidik bagi anak-
anaknya. Untuk mendapatkan anak yang baik, sholeh dan sholehah, cerdas
dan kuat, maka diperlukan juga seorang ibu yang memiliki sifat dan karakter
yang serupa pula. Anak perempuan bukan hanya dianggap sebagai calon pilar
penting dalam pembinaan rumah tangga dan pendidikan anak, tetapi juga

8
calon pengembang tugas mulia, karena Islam membrikan perhatian yang besar
terhadap pendidikan anak perempuan. islam tidak ingin anak perempuan
kembali disepelekan sebagaimana di masa jahiliyah. Salah satu bentuk
perhatian tersebut dapat terlihat dari motivasi kepada orangtua agar
bersungguh-sungguh dalam mendidik anak perempuan mereka. Para orangtua
yang berhasil dalam mendidik anak perempuannya akan mendapatkan
penghargaan dari Allah SWT berupa tameng dari api neraka.
Adapun beberapa peran orangtua dalam mendidik anak perempuannya
paling dasar dan wajib dilakukan pertama kali kepada anak perempuan
adalah:
1. Mengajarkan pengetahuan tetang haid. Dalam Islam, haid merupakan
peristiwa penting bagi seorang perempuan karena itu menunjukkan
haid adalah tanda bahwa seorang perempuan sudah memasukin usia
baligh.
2. Mengajarkan kewajiban menggunakan hijab/jilbab. Karena dalam
Alquran Allah SWT menegaskan dan memerintah setiap wanita yang
beriman untuk berhijab apabila keluar rumah.
3. Mengajarkan adab dalam pergaulan, Islam mengisyaratkan adanya
batasan dalam bergaul bagi laki-laki dan perempuan yang bukan
makhromnya.
Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah membahas peran dan
tanggung jawab orangtua dalam pendidikan anak berdasarkan pandangan
Islam. Dalam metode penelitian memiliki kesamaan yaitu penelitian
kepustakaan (Library Research)
Perbedaan penelitian ini dengan penulis adalah penelitian ini hanya
memfokuskan pada peran dan tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan
anak perempuan. Dalam metode penelitian terdapat perbedaan, penelitian ini
tidak memfokuskan pada kajian haditssaja.

9
Keempat, Jurnal yang ditulis oleh Junias Zulfahmi dan Sufyan yang
berjudul “Peran Orangtua Terhadap Pendidikan Anak Perspektif Pendidikan
Islam”
Substansi dari jurnal ini adalah Orangtua memliki peran yang sangat
penting dalam memberikan pendidikan dalam keluarga kepada anak-anaknya,
terutama pendidikan agama. Orangtua yang memiliki jiwa beragama yang
baik pasti mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga agar
mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah sehingga dirinya
akan mendidik, membimbing dan memerikan contoh bagi keluarganya dalam
segala hal.
Adapun upaya yang harus dilakukan oleh orangtua dalam memberikan
pendidikan kepada anaka dengan memberikan pendidikan pertama yaitu
agama dan membimbing untuk melaksanakan perintah agama, mengawasi
prilaku anak, dan memberikan peringatahan kepada anak apabila melakukan
sesuatu yang tidak baik. Selain itu, peran dan kewajiban orangtua dalam hal
materi yaitu, memasukan anak kesekolah yang baik serta memenuhi
kebutuhan anak dengan hasil yang halal. Orangtua juga bertanggung jawab
dalam menumbuhkan keimanan, menjadi teladan yang baiak, dan membentuk
pribadi yang memiliki rasa tanggung jawab.
Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah merupakan anugrah dan
amah yang Allah berikan kepada orangtua sehingga memliki tanggung jawab
penuh dalam memberikan pendidikan Islam dengan tujuan agar dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagian dunia dan
akhirat. Serta prilaku baik buruknya seorang anak tergantung bagaimana cara
orangtua dalam mendidik anak-anaknya dari sejak dini hingga dewasa.
Perbedaan penelitian ini dengan penulis adalah tidak memfokuskan pada
kajian hadits dan tidak menekankan pentingnya pendidikan aqidah kepada
anak.

10
Kelima, Jurnal yang ditulis oleh Andi Syahraeni yang berjudul “Tanggung
Jawab Keluarga Dalam Pendidikan Anak”
Substansi dari jurnal ini adalah kelaurga dalam Islam memliki peran yang
sangat penting dalam membina dan mendidik anak. Karena keluarga
merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Tugas dan tanggung
keluarga dalam memberikan pendidikan kepada anak meliputi banyak hal baik
yang berkaitan di dalam rumah maupun luar rumah. Serta tanggung jawab
keluarga memebrikan pendidik jasmani, rohani, moral, dan memperkuat
spiritual anak. maka dari itu, Islam mengisyaratkkan baik atau buruknya suatu
bangsa tergantung bagaimana cara keluarga (orangtua) dalam mendidik
anaknya.
Dalam pendidikan keluarga terdapat metode yang dapat dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam pada anak, sebagaimana yang
diajukan oleh An-Nahlawi:
1) Metode percakapan, metode ini terjadinya percakapan secara bergantian
antar dua pihak atau lebih dengan tanya jawab mengenai satu topik
2) Metode kisah, metode ini memiliki peran yang sangat penting karena
dalam kisah-kisah terdapat keteladan dan edukasi di dalamnya.
3) Metode perumpamaan, metode ini untuk menanamkan karakter atau nilai-
nilai Islam dalam diri anak. metode ini juga memliki kesamaan dengan
metode kisah yaitu dengan ceramah atau membaca teks.
4) Metode keteladanan, metode ini yang harus diterapkan orangtua kepada
anak karena metode ini yang paling efektif dan efesien. Kerena pendidikan
dengan metode keteladan bukan hanya memebrikan pemahaman secara
teori atau konsep saja tetapi juga memberikan contoh secara langsung
kepada anak. Selain itu juga, menurut psikologis anak cenderung senang
meniru hal yang baik maupun tidak baik.

11
Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah sama-sama membahas
tentang peran dan tanggung jawab keluarga atau orangtua dalam memberikan
pendidikan kepada anak.
Perbedaan penelitian ini dengan penulis adalah tidak memfokuskan
kepada pendidikan aqidah dan tidak memfokuskan pada kajian hadits.
F. Kerangka Pemikiran
Peran orangtua merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus
dilakukan dalam rangka melaksanaka kewajiban yang diberikannya.
Kewajiban orangtua disini adalah untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak
yang sholeh dan sholehah, keberagamaan anak sangat ditentukan oleh
orangtuanya. Begitu pun menurut Ahyadi (seperti dikutip Mardiyah,
2015:110), pada saat lahir, anak belum beragama tetapi ia sudah memiliki
potensi atau fitrah untuk menjadi manusia yang beragama dan kehidupan ber-
Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat
dipengaruhi oleh keimanan orangtua. Dalam hal ini sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW:

ٍ ُ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ما ِمن مول‬


‫ود ِإاَّل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ول ق‬ ُ ‫َع ْن َأيِب ُهَر ْيَرةَ َأنَّهُ َكا َن َي ُق‬
َْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ
ِّ َ‫يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْر ِة فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِِه َويُن‬
‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه‬
Artinya: “Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah berkata: ‘seorang bayi tidak dilahirkan (kedunia ini)
melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua
orangtuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun
Majusi” (Hadits Riwayat Muslim No. 4803)
Berdasarkan hadits tersebut bahwa orangtua sangat berperan penting
dalam menentukan agama bagi anak-anaknya, sebagaimana orangtua muslim
akan menjadikan anak-anak keturunannya menjadi muslim yang taat,
begitupula orang Yahudi dan Majusi. Pada dasarnya anak yang lahir berada
pada fitrah Islam dan Iman sampai datanglah pengaruh-pengaruh luar

12
termasuk benar atau tidaknya orangtua dalam mendidik anaknya. Hal ini
didukung oleh teori netral-pasif dan tokoh dari teori ini Ibnu Abd Al-Barr
(seperti dikutip Ismail, 2013:251), menurutnya manusia berpotensi menjadi
baik terganggung pada faktor lingkungannya terutama orangtua. Sebaliknya
manusia berpotensi menjadi buruk apabila lingkungannya tidak
menumbuhkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keadilan kepada anak.
Pada dasarnya manakah yang lebih dominan diterapkan dan ditunjukan pada
anak, maka itu yang akan menentukan kepribadiannya.
Meskipun pada dasarnya anak lahir dalam keadaan fitrah, akan tetapi
orangtua tidak membiarkan anaknya begitu saja tanpa adanya bimbingan yang
baik, karena sesuatu yang baik jika tidak dijaga maka akan menjadi tidak baik
akibat faktor-faktor eksternal. Maka untuk menjaga hal itu diperlunya peran
orangtua dalam memberikan pendidikan keluarga.
Pendidikan dan dakwah harus dimulai dari lingkungan keluarga sendiri
sebagai pendidik pertama dan utama untuk anak, terutama dalam
menumbuhkan nilai-nilai agama dimulai sejak usia dini. Begitu pun menurut
Comenius (seperti dikutip Jailani, 2014: 93), menyatakan bahwa tingkatan
awal pendidikan bagi anak dilakukan dan diajarkan dimulai dari keluarga.
Anak merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga, sehingga perlunya dididik
agar anak dapat mengakui kebesaranNya, dan menghormati Nya dengan
beribadah dan mengikuti setiap perintahnya. Oleh karena itu, peran orangtua
dalam pendidikan anak menjadi poros utama dalam menentukan
perkembangan anak baik dari fisik, psikologis, dan agamanya.
Untuk menjaga anak agar tetap dalam agama Allah SWT, maka orangtua
hendaknya menumbuhkan nilai-nilai aqidah yang kuat bagi anak-anaknya.
Dalam mendidik anak orangtua mengajarkan dan menumbuhkan aqidah Islam
sebagai pondasi utama. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak
dalam mendapatkan pengaruh, maka pentingnya orangtua memberikan
pendidikan pada anak dimulai sejak dini agar anak dapat berkembang dan

13
mempunyai jiwa yang bertauhid, beriman kepada Allah SWT sesuai dengan
fitrahnya. Sehingga dapat menetukan dan mengarahkan kehidupan anak
selanjutnya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka kerangka pemikiran untuk
mempermudah proses masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

IMPLIKASI PENDIDIKAN BERDASARKAN HADITS


MUSLIM NO. 4803 TERHADAP PERAN ORANGTUA
DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK

KAJIAN HADISRIWAYAT MUSLIM NO. 4803

HR Muslim Takhrij Perbandingan Penjelasan Pendapat Rangkuman Esensi


No. 4803 Hadis Matan Lafadz Persyarah Hadis Pendapat para Hadis
Hadis Syarah Hadis

Pendidikan Peran Orangtua Aqidah Islam

Analisis Peran Orang Tua Berdasarkan Hadits Implikasi Pendidikan Islam Dari Hadits Riwayat
Riwayat Muslim No. 4803 Muslim No. 4803 Terhadap Peran Orangtua Dalam
Mendidik Aqidah Anak

Kesimpulan

14
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Metode penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif bertujuan
untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada,
yaitu keadaan berdasarkan apa adanya pada saat penelitian dilakukan
(Arikunto, 2005). Sedangkan menurut Sugiyono deskriptif analitik
merupakan metode yang mendeskripsikan atau memberi gambara terhadap
suatu objek yang diteliti melalui data ata sampel yang telah dikumpulkan
sebagaimana adanya melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang
berlaku umum. (Sugiyono, 2009:29)
Metode ini dipilih bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara
sistematis dan tepat tentang peran orangtua berdasarkan Hadits Riwayat
Muslim no. 4803 dan implikasi terhadap pendidikan keluarga dalam
mendidik aqidah anak dengan cara menumpulkan data dan menafsirkan
data yang ada.
Metode ini dimaksudkan untuk menjelaskan hadits, sehingga hadits
tersebut dapat dimengerti isi kandunganya serta diharapkan dapat
diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Teknik Penelitian
Adapun teknik kertitik hadits sebagaimana diungkapkan Saifuddin
ASM dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hadits dan Cara Berteladan
Pada Rasul SAW sebagai berikut: (Saifuddin ASM, 2017: 254-270)
a. Metode Tausiq untuk menyelidiki otentisitas Al-Hadits
Metode ini digunakan untuk meneliti suatu al-Haditsapakah
otentik atau tidak. Hadits dianggap otentik bila ternyata ditemukan
dalam al-Mashadir al-Ashiyah. Al-Mashadir al-Ashliyah yaitu
kitab Al-Hadits yang penulisnya menggunakan sanad dari gurunya

15
hingga sampai kepada Rasul SAW. Kitab Al-Hadits yang
demikian dikategorikan kepada al-Mashadir al-Ashliyah, karena
termasuk kitab hadits primer dan asli, bukan kutipan dari kitab
Haditslain.
b. Tashih utuk meneliti validitas Al-Hadits
Setelah diketahui otentisitasnya al-Hadits perlu diselidiki
validitasnya, apakah dapat dipercaya ataukah tidak. Penelitian
semacam ini dilakukan baik pada sanad atau pun matan. Bila al-
Hadits tersebut diakui keabsahannya, baik dari sudut kualitas dan
kuantitas sanad, maupun dari kuualitas isinya, maka dianggap
valid.
c. Takhrij untuk meneliti sanad dan matan Al-Hadits
Metode ini menunjukan sumber asli al-Hadits yang
dikeluarkan dengan sanadnya disertai penjelasan derajat Hadits itu
tatkala diperlukan.
d. Tahlili untuk menganalisis Al-Hadits Syarah
Metode ini menjelaskan Hadits-hadits Nabi dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya, serta
menerangkan ma’na – ma’na yang tercakup sesuai dengan
kecenderungan dan keahlian peneliti.
e. Takwil
Setelah mendapat uraian menurut para pensyarah hadits
kemudian mencari takwil atau penjelasan yang dapat diambil dari
hadits yang bersangkutan.
3. Bahan Kajian
Sesuai dengan metode penelitian yang akan digunakan, maka penulis
akan menyusun data primer dan sekunder yang berdasarkan Haditsyang
berkaitan dengan tema yang akan dikaji serta beberapa pendapat para ahli
pendidikan Islam, buku-buku, jurnal, artikel, serta.

16
Maka sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua jenis:
a. Bahan Kajian Primer, kitab Al-Minhaj fii Syarhi Shahih Muslim
bin Al-Hajjaj, Imam An-Nawawi, 2011. Al-Kaukabul Wahhaj,
Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah Al Harori Asy Syafi’I,
2009. Fathul Mun’im, Dr. Musa Syahin Lasyin, 2002
b. Bahan Kajian Sekunder, penelitian ini yang menjadi data
sekundernya adalah para ahli pendidikan, buku-buku, jurnal,
makalah, karya ilmiah lain yang relevan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan data
Mengenai pengumpulan data, penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data-data
dari berbagai sumber seperti buku-buku, Hadits, Jurnal, Internet dan
sebagainya yang relevan dengan penelitian ini. Adapun langkah-
langkahnya, yaitu:
a. Mengumpulkan buku, jurnal, hadits yng relevan dengan penelitian
ini.
b. Mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan penelitian
ini.
c. Menarik kesimpulan sebagai hasil penelitian tentang pokok
masalah yang ditemukan. (Komarudi, 1988:145).

17
BAB II

KAJIAN HADITS RIWAYAT MUSLIM NO. 4803


A. Lafaz dan Terjemahan Hadits Riwayat Muslim No. 4803

‫َأخَب ريِن‬ ِّ ‫الز ْه ِر‬ ِّ ‫الز َبْي ِد‬


ُّ ‫يد َح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن َح ْر ٍب َع ْن‬ ِ ِ‫اجب بن الْول‬ ِ
َ ْ ‫ي‬ ُّ ‫ي َع ْن‬ َ ُ ْ ُ ‫َح َّد َثنَا َح‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ول ق‬ ُ ‫ب َع ْن َأيِب ُهَر ْي َر َة َأنَّهُ َك ا َن َي ُق‬ ِ َّ‫يد بْن الْمس ي‬
َ ُ ُ ُ ‫َس ع‬
ِ

ِّ َ‫ود ِإاَّل يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطْ َر ِة فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِ ِه َويُن‬
‫ص َرانِِه َومُيَ ِّج َس انِِه َك َم ا‬ ٍ ُ‫وسلَّم م ا ِمن مول‬
َْ ْ َ َ َ َ
‫يمةً مَج ْ َع اءَ َه ْل حُتِ ُّس و َن فِ َيه ا ِم ْن َج ْد َعاءَ مُثَّ َي ُق واُل َأبُو ُهَر ْي َرةَ َوا ْق َرءُوا‬ ِ ‫ُتْنتَج الْب ِه‬
َ ‫يمةُ هَب‬َ َ ُ
‫يل خِلَْل ِق اللَّ ِه } اآْل يَةَ َح َّد َثنَا َأبُو‬ ِ
َ ‫َّاس َعلَْي َه ا اَل َتْب د‬
َّ ِ َّ ِ
َ ‫ْن ش ْئتُ ْم { فطْ َر َة الله اليِت فَطَ َر الن‬
ِ ‫ِإ‬
ِ ‫الرز‬ ٍ
‫َّاق‬ ْ ‫اَأْلعلَى ح و َح َّد َثنَا َعْب ُد بْ ُن مُحَْي د‬
َّ ‫َأخَبَرنَا َعْب ُد‬ ْ ‫بَ ْك ِر بْ ُن َأيِب َش ْيبَةَ َح َّد َثنَا َعْب ُد‬
ِ ‫ال َكما ُتْنتَج الْب ِه‬ ِ ‫الزه ِر ِّ هِب‬ ِ
‫يم ةً َومَلْ يَ ْذ ُك ْر‬ َ َ ُ َ َ َ‫ي َ َذا اِإْل ْسنَاد َوق‬
َ ‫يم ةُ هَب‬ ْ ُّ ‫كاَل مُهَا َع ْن َم ْع َم ٍر َع ْن‬
َ‫مَج ْ َعاء‬
Artinya, “Telah menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az
Zuhri telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab dari Abu
Hurairah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada
dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan
membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan
yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian
merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau,
maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas
fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa
Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan
kepada kami 'Abd bin Humaid, telah mengabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq
keduanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan sanad ini dan dia berkata;
'Sebagaimana hewan ternak melahirkan anaknya. -tanpa menyebutkan
cacat.”

18
B. Takhrij Hadits
Sumber yang digunakan oleh penulis dalam mentakhrijkan Hadits ini
diambil dari kitab Al-Alamiyah No Hadits 4803 yang termuat dalam
Ensiklopedi Hadits, Skemanya adalah sebagai berikut :
Jalur Sanad 1

Rasulullah shallallahu 'alaihi 2wasallam


1. Jalur Sanad

Abdur Rahman bin Shakhr

Sa’id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin


Amru

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab

Muhammad bin Al Walid bin Amrir

Muhammad bin Hard

Hajib bin Al Walid bin Maymun

19
Jalur Sanad 2

Rasulullah shallallahu 'alaihi 2wasallam


2. Jalur Sanad

Abdur Rahman bin Shakhr

Sa’id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin


Amru

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab

Ma’mar bin Raosyid

Abdul A’laa bin Abdul A’laa

Abdul bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin Utsman

20
Jalur Sanad 3

Rasulullah shallallahu 'alaihi 2wasallam


3. Jalur Sanad

Abdur Rahman bin Shakhr

Sa’id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin


Amru

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab

Ma’mar bin Raosyid

Abdul Razzaq bin Hammam bin Nafi

Abdul Hamid bin Humaid bin Nashr

21
1. Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Shakhr
Kalangan : Shahabat
Kuniyah : Abu Hurairah
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 57 H
2. Nama Lengkap : Sa'id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin
'Amru
Kalangan : Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Muhammad
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 93 H
3. Nama Lengkap : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah
bin Syihab
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Bakar
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 124 H
4. Nama Lengkap : Muhammad bin Al Walid bin 'Amir
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Al Hudzail
Negeri semasa hidup : Syam
Wafat : 147 H
5. Nama Lengkap : Muhammad bin Harb
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Syam
Wafat : 194 H
6. Nama Lengkap : Hajib bin Al Walid bin Maymun
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua

22
Kuniyah : Abu Ahmad
Negeri semasa hidup : Syam
Wafat : 228 H
7. Nama Lengkap : Ma'mar bin Raosyid
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu 'Urwah
Negeri semasa hidup : Yaman
Wafat : 154 H
8. Nama Lengkap : Ma'mar bin Raosyid
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu 'Urwah
Negeri semasa hidup : Yaman
Wafat : 154 H
9. Nama Lengkap : Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim
bin 'Utsman
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah : Abu Bakar
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 235 H
10. Nama Lengkap : Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi'
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Bakar
Negeri semasa hidup : Yaman
Wafat : 211 H
11. Nama Lengkap : Abdul Hamid bin Humaid bin Nashr
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Muhammad
Negeri semasa hidup : Himsh
Wafat : 249 H.

23
12. Nama Lengkap : Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-
Qusyairi an-Naisaburi.
Kuniyah : Abdul Husain
Negeri semasa hidup : Naisabur
Wafat : 261 H

2.1 Tabel
Tabel penelitian sanad Hadits Riwayat Muslim No 4803
N Nama Julukan Wafa Guru Murid Pendapat
o t Para
Ulama

1. Abdur Abu 57 H  Usamah bin  Abu Ibnu Hajar


Rahman Hurairah Yazid. Rab’ al- al
bin  Jabir bin Madani 'Asqalani:
Shakhr Abdullah.  Tsabit Shahabat.
 Abu Ayub al- bin
Anshari. Harits
 Abu Bakar ash-  Musa
Shiddiq. bin
Sa’ad
 Hamma
m bin
Munahi
b
2. Sa'id bin Abu 93 H  Ubai bin Ka’ab.  Idris Ibnu Hajar
Al Muham  Anas bin Malik. binShob al
Musayy mad  Barra bin Azib. ih Al- 'Asqalani:
ab bin  Bashrah bin Akts Auda. Tsiqah,
Hazan am Al-Anshori.  Usamah
Abu Zur'ah
bin Abi bin Zaid
Arrazy:
Wahab Al-
tsiqah
bin Laisi.
Imam, Adz
'Amru  Ismail
Dzahabi:
bin

24
Umayah Imam,
. Ahadul
 Basir A'lam,
binMuh tsiqah
arrar hujjah,
Ahli Fiqih.

3. Muham Abu 124 H  Abu Bakar bin  Ubaidill Ibnu Hajar


mad bin Bakar Sulaiman ah bin al
Muslim  Sa’id bin Ubaid Umar 'Asqalani:
bin  Aisyah binti Abu  Muham faqih
'Ubaidill Bakar mad bin hafidz
ah bin  Ubaidillah bin Walid mutqin,
'Abdulla ‘Abdullah  Manshur Adz
h bin bin Dzahabi:
Syihab Dinar seorang
 Ma’mar tokoh
bin Abu
Urwah
4. Muham Abu Al 147 H  al-Zuhri.  Abu Ibnu
mad bin Hudzail  Sa’id al-Maqburi. Mushir. Madini:
Al  Abd al-Rahman  Khalid Tsiqah,
Walid bin Jubair bin bin Abu
bin Nufair Khali. Zur'ah:
'Amir  Haiyah Tsiqah,
bin Tsiqah:
Syuraih Tsiqah,
Ibnu
Hibban:
disebutkan
dalam 'ats
tsiqaat

5. Muham Abu 194 H  al-Auza’i  Abu Mushir Abu


mad bin Abdulla  Ibn Juraij  Khalid bin Hatim:

25
Harb h  Muhammad bin Khali shalihul
Ziyâd alAlhâni  Haiyah bin Hadits,
 Umar bin Ruy’ah Syuraih Ibnu
al-Tighlabi  Isa bin al- Hibban:
Mundzir disebutkan
al- dalam 'ats
Himshi tsiqaat,
Ibnu Hajar
al
'Asqalani:
Tsiqah.

6. Hajib Abu 228 H  Muhammad bin  Muslim Abu


bin Al Ahmad Harb al-Abrasy. bin al- Bakar
Walid  Muhammad bin Hajjaj. Khatib:
bin Salamah.  Abu Tsiqah,
Maymun  Abu Jaiwah Dawud. Ibnu
Syuraih bin Yazid  Yahya Hibban:
al-Himshi. bin disebutkan
Aktsam. dalam 'ats
tsiqaat,
Ibnu Hajar
al
'Asqalani:
Shaduuq,
Adz
Dzahabi:
Tsiqah.

7. Ma'mar Abu 154 H  Abu Bakar bin  Ishaq bin Yahya bin
bin 'Urwah Amru. Ibrahim. Ma'in:
Raosyid  Anas bin Malik.  Abdullah Tsiqah, Al
 Abdullah binn bin Ajli:
Abu Bakar. Mubarak Tsiqah,
 Hammam bin . Ya'kub
Munahib.  Abdullah bin
bin Sa‟id Syu'bah:
al-Kindi. Tsiqah,

26
 Abdurraz Abu
aq bin Hatim:
Hamma shalihul
m. Hadits.

8. Abdul Abu 189 H  Ma’mar bin  Ishaq Yahya bin


A'laa bin Muham Rasyid. bin Ma'in:
'Abdul mad  Yunus bin Rahuwai Tsiqah,
A'laa ‘Ubaid. h. Abu
 Muhammad bin  Ibrahim Zur'ah:
Ishaq. bin Tsiqah,
Musa al- Abu
Razi. Hatim:
 Abu shalihul
Ma’mar Hadits,
Shalih Ibnu
bin Hibban:
Harb. disebutkan
dalam 'ats
tsiqaat.

9. Abdulla Abu 235 H  Abi AI-Ahwas.  Bukhari. Ahmad


h bin Bakar  Abdullah bin  MusIim. bin
Muham Idris.  Ibnu Hambal:
mad bin  Ibnu al-Mubarok. Majah. Shaduuq,
Abi  Syarik.  Muham Abu
Syaibah mad. Hatim:
Ibrahim  Ibnu tsiqah.
bin Muham
'Utsman mad bin
Salarnah
Bagnadi
.
1 Abdur Abu 211 H  Ibrahim Ibn Umar  Ahmad Abu
0. Razzaq Bakar Ibn Kaisan al- Ibn al- Daud:
bin Shan’ani. Azhar tsiqah, An
Hamma  Ibrahim Ibn Ibn Nasa'i:
m bin Muhammad Ibn Muni tsabat,

27
Nafi' Abu Yahya al-  Ishaq Ya'kub
Aslami. Ibn bin
 Ibrahim Ibn Ibrahim Syaibah:
Maimun al- Ibn tsiqah
Shanani. Abbad tsabat,
 Ibrahim Ibn  al-Hasan Ibnu
Yazid al-Khuzi. Ibn Abd Hibban:
al-A’la Tsiqah
 Salamah
Ibn
Syabib.
1 Abdul Abu 249 H  Ahmad bin Ishaq Imam Ibnu
1. Hamid Muham bin Yazid. Muslim Hibban:
bin mad  Ja’far bin ‘Aun Tsiqah,
Humaid bin Ja’far bin Adz
bin Umar. Dzahabi:
Nashr  Abdurrazzaq bin Hafizh.
Himam bin Nafi
1 Muslim Imam 261 H  Abdullah bin  Muham Maslamah
2. bin al Muslim. Maslamah Al mad bin bin Qasim
Hajjaj Qa’nabi, guru Abdul al
bin beliau yang wahhab Andalusi:
Muslim paling tua. al Farra` “tsiqah,
bin  Al Imam  Abu mempuny
Kausyaz Muhammad bin Hatim ai
al- Isma’il Al Muham keduduka
Qusyairi Bukhari. mad bin n yang
an-  Al Imam Ahmad Idris ar agung,
Naisabur bin Hambal. Razi termasuk
i.  Al Imam Ishaq  Abu dari
bin Rahuyah al Bakar kalangan
Faqih al Mujtahid Muham para
Al Hafizh. mad bin imam.”
 Yahya bin Ma’in, An Ibnu
imam jarhu wa Nadlr Katsir:
ta’dil. bin “termasuk
Salamah salah

28
al Jarudi seorang
 Ali bin dari para
Al imam
Husain penghafal
bin al Hadits.”
Junaid
ar Razi
 Shalih
bin
Muham
mad
Jazrah

C. Perbandingan Matan Hadits


Setelah diketahui kualitas sanad Hadits shahih, maka langkah selanjutnya
meneliti matan Hadits. Sebelum penelitian terhadapat matan Hadits yang
dilakukan terlebih dahulu yaitu memaparkan redaksi Hadits tentang setiap
anak terlahir dalam keadaan fitrah dari Hadits Riwayat Muslim serta redaksi
Hadits pendungnya. Hal ini dilakukan agar mempermudah dalam mengetahui
perbedaan lafadz yang terdapat antara satu Hadits dengan Hadits lainnya.
Berikut adalah perbandingan matan Hadits terkait, Hadits Riwayat Muslim,
Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Hadits Riwayat Ahmad.

Tabel 2.2
Sumber: Muslim
Kitab: Takdir
Bab: Makna "Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah…."
No Hadits versi Al-Alamiyah: 4803

‫ود ِإاَّل يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْر ِة‬


ٍ ُ‫ما ِمن مول‬
َْ ْ َ
Seorang bayi tidak dilahirkan (ke
dunia ini) melainkan ia berada

29
‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه‬
ِّ َ‫فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِِه َويُن‬ dalam kesucian (fitrah). Kemudian
kedua orangtuanyalah yang akan
ِ ‫َكما ُتْنتَج الْب ِه‬ membuatnya menjadi Yahudi,
َ‫يمةً مَج ْ َعاء‬
َ ‫يمةُ هَب‬َ َ ُ َ Nasrani, ataupun Majusi -
sebagaimana hewan yang dilahirkan
dalam keadaan selamat tanpa cacat
Sumber: Bukhari

Kitab: Jenazah

Bab: Pembicaraan Tentang Keberadaan Mayit dari Anak-anak


Kaum Musyrikin

No. Hadits, versi Al-Alamiyah: 1296

ِ ٍ
ُ‫ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْفطَْر ِة فَ ََأب َواه‬
Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Kemudian kedua
‫صَرانِِه َْأو مُيَ ِّج َسانِِه َك َمثَ ِل‬ِّ َ‫يُ َه ِّو َدانِِه َْأو يُن‬
orangtuanyalah yang
menjadikan anak itu menjadi
akan

‫يمةَ َه ْل َتَرى فِ َيها‬ ِ ِ ‫الْب ِه‬


َ ‫يمة ُتْنتَ ُج الْبَه‬ َ َ
Yahudi, Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang
melahirkan binatang ternak dengan
َ‫َج ْد َعاء‬ sempurna. Apakah kalian melihat
ada cacat padanya?
Sumber: Ahmad

Kitab: Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits


Bab: Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu

No. Hadits, versi Al-Alamiyah: 7387

ِ ٍ
ُ‫ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْفطَْر ِة فَ ََأب َواه‬
Setiap bayi terlahir dalam keadaan
suci, maka orangtuanyalah yang
‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه َك َما ُتْنتَ ُج‬ِّ َ‫يُ َه ِّو َدانِِه َويُن‬
menjadikannya Yahudi, atau
Nasrani, atau Majusi sebagaimana
ِ ِ ِ ِ binatang ternak yang melahirkan
َ‫يمةُ َه ْل حُت ُّسو َن ف َيها م ْن َج ْد َعاء‬ َ ‫الْبَه‬ apakah kalian mendapati bahwa
anaknya cacat.

30
Perbedaan-perbedaan redaksi Hadits:

1. Redaksi Hadits Bukhori dan Ahman memiliki kesamaan seperti

ٍ ُ‫ ُك ُّل مول‬, sedangkan Hadits Muslim menggunakan ‫ود‬


‫ود‬ ٍ ُ‫ما ِمن مول‬
َْ َْ ْ َ
2. Pada redaksi Hadits Muslim terdapat kata ‫ِإاَّل‬

3. Hadits Mulim dan Ahmad memiliki kesamaan redaksi seperti

‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه‬


ِّ َ‫ويُن‬, ِِ ِِ ِّ َ‫َأو ين‬
َ sedangkan Bukhori ‫صَرانه َْأو مُيَ ِّج َسانه‬ ُ ْ
D. Penjelasan Lafadz Hadits
Tabel 2.3
No Kata Makna

1. Dengan
‫َما‬

2.
‫ِم ْن‬ Maka apakah,

3. ٍ ُ‫مول‬
‫ود‬ Anak yang dilahirkan
َْ
4. ‫ِإاَّل‬ Kecuali, tetapi, selain,

5. Diperanakan
‫يُولَ ُد‬

6. Di, dengan, dari pada


‫َعلَى‬

31
7.
‫ال ِْفط َْر ِة‬ Fitrah, sifat, karakter

8. Kemudian
ُ‫فَ ََأب َواه‬
9.
‫ُي َه ِّو َدانِِه‬ Yahudi

10.
‫ص َرانِِه‬
ِّ َ‫َو ُين‬ Nasrani

11.
‫سانِِه‬
َ ‫َويُ َم ِّج‬
Majusi

12. sebagaimana
‫َك َما‬

13. Seperti, berawal, terjadi dari


‫ُت ْنتَ ُج‬

َ ‫الْبَ ِه‬
14. binatang
ُ‫يمة‬

َ ‫بَ ِه‬
15. binatang
ً‫يمة‬

16. Sempurna dan selamat


‫اء‬
َ ‫َج ْم َع‬

E. Pengertian Kalimat Menurut Pensyarah Hadits


Tabel 2.4

Pengertian : ‫ْفطْر ِة‬


ِ ‫ال‬ ٍ ُ‫ما ِمن مول‬
‫ود ِإاَّل يُولَ ُد َعلَى‬
َ َْ ْ َ

32
No Syarah Pengarang Jld/ Makna
Hlmn/
Thn
1. Al-Minhaj fii Imam An- 11/887- Maksudnya, setiap anak terlahir atas dasar
Syarhi Shahih Nawawi 888/2011 ma’rifatullah (mengenal Allah Ta’ala) dan
Muslim bin mengenal-Nya sebagai Tuhan, tidak ada
Al-Hajjaj seorang anak yang terlahir kecuali mengenal
adanya Dzat pencipta, meskipun dalam
perjalanannya ia menyebut-Nya bukan
dengan nama-Nya atau menyembah yang
lain-Nya.
2. Al-Kaukabul Syaikh 2009 Maksudnya ialah semua anak Adam
Wahhaj Muhammad Juz 14 hal dilahirkan atas millah Islam dan fitrah yang
Amin bin 556 lurus yakni tauhid.
Abdullah Al
Harori Asy
Syafi’i

3. Fathul Dr. Musa 2002 Maksudnya yaitu Islam menurut pendapat


Mun’im Syahin 10/187 mayoritas Ulama. Menurut pendapat lain
Lasyin yakni perjanjian yang telah diadakan antara
Allah Ta’ala dengan anak keturunan Adam
ketika mereka berada di alam ruh,
“Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?
Mereka menjawab: “Ya, tentu” (Al-A’raf:
172) maksudnya adalah rububiyyah Allah.
Menurut pendapat lain ialah ketetapan Allah
tentang celaka atau selamatnya seseorang.
Ada pula yang berpendapat maksudnya

33
pengetahuan tentang Allah ta’ala. Menurut
pendapat lain ialah penciptaan yang siap
menerima pembentukan (watak). Ada juga
yang mengatakan. Huruf Lam berarti
Lil’Ahdi, maksudnya setiap anak akan
mengikuti fitrah dan agama kedua orang
tuanya.

Kesimpulan : dari beberapa pendapat pensyarah hadits, dapat disimpulkan bahwa


tidak ada seorang pun dari anak keturunan Adam atau manusia yang terlahir ke
dunia melainkan berada dalam fitrah yang lurus yakni tauhid (mengesakan Allah
SWT). Hal tersebut disebabkan mereka telah berjanjian dengan Allah, ketika berada
di alam ruh sebagaimana tercantum dalam surat Al-a’raf ayat 172.

Tabel 2.5

34
‫جسانِِه ‪Pengertian :‬‬
‫َويُ َم ِّ‬ ‫ص َرانِِه‬
‫فَ ََأب َواهُ ُي َه ِّو َدانِِه َو ُينَ ِّ‬
‫َ‬

‫‪35‬‬
No Syarah Pengarang Jld/ Makna
Hlmn/
Thn
1. Al-Minhaj fii Imam An- 11/888/20 Maksudnya, setiap anak yang dilahirkan
Syarhi Shahih Nawawi 11 memiliki potensi seorang muslim, ketika
Muslim bin orangtuanya atau salah satunya muslim
Al-Hajjaj maka ia dihukumi berdasarkan Islam di
dunia maupun akhirat. Dan ketika
orangtuanya kafir maka ia dihukumi kafir
namun hanya sebatas di dunia. Jika ia
meninggal sebelum balig, menurut para
ulama ia akan menjadi penghuni surga.
2. Al-Kaukabul Syaikh 2009 Maksud dari kalimat diatas bahwa jika
Wahhaj Muhammad Juz 14 hal kedua orang tuanya yahudi, maka mereka
Amin bin 556 akan menjadikannya sebagai yahudi. Begitu
Abdullah Al pula jika kedua orang tuanya nasrani, maka
Harori Asy mereka akan menjadikannya sebagai
Syafi’i nashrani. Begitu pun jika kedua orang
tuanya majusi.
3. Fathul Dr. Musa 2002 Maksud dari kalimat diatas adalah jika
Mun’im Syahin 10/187 seseorang telah ditetapkan terlahir dalam
Lasyin keadaan Islam, maka adanya perubahan
keyakinan tersebut disebabkan oleh kedua
orang tuanya, baik dengan pengajaran,
motivasi atau dorongan kedua orang tua
pada dirinya. Adapun dikhususkan
penyebutan kedua orang tua-meskipun
36 terjadinya perubahan keyakinan pada
seseorang adakalanya disebabkan faktor
lain-karena itulah menurut kebiasaannya.
Kesimpulam : Dari berbagai penjelasan diatas, dapat simpulkan bahwa para ulama
pensyarah hadits diatas sepakat bahwa yang di maksud dengan kalimat fa abawahu
yuhawwidanihi wa yunashshiranihi wa yumajjisanihi adalah kedua orangtua dari
seorang bayi yang merubah menjadi yahudi, nashrani ataupun majusi, baik dengan
pengajaran yang mereka berikan, maupun dorongan motivasi dan yang lainnya.

Tabel 2.6

Pengertian : ‫اء‬
َ ‫َج ْم َع‬ َ ‫يمةُ بَ ِه‬
ً‫يمة‬ َ ‫َك َما ُت ْنتَ ُج الْبَ ِه‬

No Syarah Pengarang Jld/ Makna


Hlmn/

37
Thn
1. Al-Minhaj fii Imam An- 11/889/20 Maksudnya, seperti inilah manusia juga,
Syarhi Shahih Nawawi 11 ketika dia dilahirkan maka keadaannya
Muslim bin sempurna tanpa cacat.
Al-Hajjaj
3. Al-Kaukabul Syaikh 2009 Maknanya sebagaimana hewan yang
Wahhaj Muhammad Juz 14 hal dilahirkan induknya dalam keadaan
Amin bin 556 sempurna anggota tubuhnya tanpa ada
Abdullah Al kekurangan seperti terputus telinganya atau
Harori Asy yang lainnya, sedangkan adanya kecacatan
Syafi’i terjadi setelah kelahirannya.
3. Fathul Dr. Musa 2002 Maknanya sebagaimana seekor unta yang
Mun’im Syahin 10/187 dilahirkan dalam keadaan utuh bagian
Lasyin tubuhnya dan tidak hilang sedikitpun,
sehingga kalian yang membuatnya menjadi
cacat yakni dengan dipotong bagian
telinganya.

Kesimpulam : Dari berbagai pendapat pensyarah hadits, dapat disimpulkan bahwa


kemurnian tauhid seorang bayi yang lahir tidak ubahnya seperti seekor hewan yang
terlahir dari induknya dalam keadaan sempurna tanpa cacat sedikitpun, sehingga
faktor luar lah yang menjadikan hewan tersebur menjadi cacat.

F. Pendapat Para Pensyarah Hadits


1. Menurut Imam An-Nawawi (Syarah Shohih Muslim).

38
Dalam kitab Syarah Shohih Muslim, setiap anak yang dilahirkan
memiliki potensi seorang muslim, setiap anak yang memiliki kedua
orangtuanya atau salah satunya seorang muslim maka ia akan dihukumi
berdasarkan Islam di dunia dan akhirat, dan jika kedua orangtuanya kafir
maka di dunia ia dihukumi menurut agama kedua orangtuanya. Jika ia
balig maka ia terus dihukumi kafir, jika ia ditakdirkan berbahagia maka ia
masuk Islam, jika tidak maka ia meninggal dalam kekufuran. Jika ia
meninggal sebelum balig maka ia akan menjadi penghuni surga.
“...sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa
cacat...” artinya seperti seekor binatang yang dilahirkan tanpa cacat,
seperti inilah manusia juga, bahwa ketika ia dilahirkan maka keadaanya
sempurna tanpa cacat.
2. Menurut Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah Al Harori Asy
Syafi’i (Syarah Al-Kaukabul Wahhaj).
Semua anak Adam dilahirkan atas millah Islam dan fitrah yang lurus
yakni tauhid. Jika kedua orang tuanya yahudi, maka mereka akan
menjadikannya sebagai yahudi. Begitu pula jika kedua orang tuanya
nasrani, maka mereka akan menjadikannya sebagai nashrani. Begitu pun
jika kedua orang tuanya majusi. sebagaimana hewan yang dilahirkan
induknya dalam keadaan sempurna anggota tubuhnya tanpa ada
kekurangan seperti terputus telinganya atau yang lainnya, sedangkan
adanya kecacatan terjadi setelah kelahirannya..
3. Dr. Musa Syahin Lasyin (Fathul Mun’im)
Islam menurut pendapat mayoritas Ulama. Menurut pendapat lain
yakni perjanjian yang telah diadakan antara Allah Ta’ala dengan anak
keturunan Adam ketika mereka berada di alam ruh, “Bukankah Aku
adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab: “Ya, tentu” (Al-A’raf: 172)
maksudnya adalah rububiyyah Allah. Menurut pendapat lain ialah
ketetapan Allah tentang celaka atau selamatnya seseorang. Ada pula yang

39
berpendapat maksudnya pengetahuan tentang Allah ta’ala. Menurut
pendapat lain ialah penciptaan yang siap menerima pembentukan (watak).
Ada juga yang mengatakan. Huruf Lam berarti Lil’Ahdi, maksudnya
setiap anak akan mengikuti fitrah dan agama kedua orang tuanya.
Jika seseorang telah ditetapkan terlahir dalam keadaan Islam, maka
adanya perubahan keyakinan tersebut disebabkan oleh kedua orang
tuanya, baik dengan pengajaran, motivasi atau dorongan kedua orang tua
pada dirinya. Adapun dikhususkan penyebutan kedua orang tua-meskipun
terjadinya perubahan keyakinan pada seseorang adakalanya disebabkan
faktor lain-kerana itulah menurut kebiasaannya. Sebagaimana seekor unta
yang dilahirkan dalam keadaan utuh bagian tubuhnya dan tidak hilang
sedikitpun, sehingga kalian yang membuatnya menjadi cacat yakni dengan
dipotong bagian telinganya.

G. Rangkuman Pendapat para Pensyarah Hadits


Setelah mengemukakan beberapa pendapat para pensyarah Hadits atau para
muhaddisin tersebut di atas, peneliti dapat menyimpulkan:
Pada hakikatnya setiap anak yang dilahirkan telah membawa fitrah
bertauhid, seperti berkecenderungan untuk meng-Esakan Tuhannya. Bayi
yang baru lahir memang belum beragama, tetapi ia memiliki fitrah untuk
menjadi manusia yang beragama dan bertauhid. Fitrah tersebut dibawa sejak
dalam kandungan sang ibu, dibawa sampai ia dilahirkan, dan kemudian fitrah
tersebut diubah oleh orangtuanya.
Semisal orangtuanya non muslim maka otomatis ia akan mengikuti agama
mereka, jika ia sudah balig maka ia terus dihukumi kafir sesuai agamanya,
jika ia meninggal sebelum balig maka ia seorang mukalaf dan belum memiliki
kewajiban untuk menjalankan ajaran-ajaran Rasulullah, dan hukumnya di
dunia mengikuti kedua orangtuanya, yaitu tidak dimandikan, tidak
disholatkan, dan tidak dikuburkan dipemakaman kaum muslim. Sedangkan

40
hukum di akhirat berbeda dengan hukum di dunia, Rasulullah Shallallahu wa
Salam bersabda “Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan”, maka
berdasarkan pendapat para ulama, bahwa mereka menjadi penghuni surga.
Sedangkan jika ia meninggal setelah balig maka ia akan dihukumi di dunia
dan akhirat sebagai orang yang sengsara atau kafir.
Begitupun dengan hewan, ketika hewan melahirkan anaknya dengan
sempurna tanpa kekurangan, sama halnya dengan manusia yang dilahirkan
tanpa cacat, namun kemudian kecacatan atau kekurangan terjadi setelah
dilahirkan.
H. Esensi Hadits
1. Setiap anak berada dalam fitrah yang lurus yakni mengenal Allah SWT
sebagai Tuhan-Nya.
2. Fitrah sebagai pondasi dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang tidak
dapat berkembang tanpa adanya pendidikan.
3. Agama seorang anak tidak lepas dari cara orangtua dalam mendidik dan
membina.
4. Agama anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat anak tinggal
dan bersosialisasi.

41
BAB III

LANDASAN TEORI IMPLIKASI PENDIDIKAN ISLAM DARI


HADITS MUSLIM TENTANG PERAN ORANGTUA DALAM
MENDIDIK AQIDAH ANAK
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogie”, yang
akar katanya “pais” berarti anak, dan “again” yang artinya membimbing.
Jadi, “paedagogie” berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam
bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan menjadi “education”.
“Education” berasal dari bahasa Yunani “educare” yang berarti
membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar
tumbuh dan berkembang (Syafril & Zen, 2017:26).
Menurut Langveld, Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh
orang dewasa kepada anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan
agar anak dapat menjalankan hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang
lain (Syafril & Zen, 2017:27).
Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.
20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan berproses pembelajaran agarka peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepsribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Noelaka,
2017 :2).
Sedangkan menurut Anwar, Pendidikan merupakan suatu bagian
terpenting yang dapat membedakan anatar manusia dengan makhluk lain.
Bintang juga belajar dengan menggunakan insting, sedangkan manusia

42
belajar untuk mencapai pendewasaan agar menjalankan kehidupan lebih
berarti. (Anwar, 2014 : 62).
Jika pendidikan digabukan dengan istilah Islam, maka pengertian
dalam pendidikannya pun berubah. Karena pengertian pendidikan tidak
lagi meluas sebab adanya kata Islam. Islam merupakan suatu keyakinan,
ajaran bagi umat manusia beragama Islam. (Mulyawan, 2015:14)
Menurut Darajad, Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
merujuk kepada pembentukan sikap (akhlak) yang dapat terlaksana dalam
amal perbuatannya, baik bagi dirinya sendiri maupun oranglain. (Darajat,
2008:19).
Sedangkan menurut Anshari, Pendidikan Islam adalah merupakan
usaha dalam bentuk bimbingan kepada anak agar ketika selesai pendidikan
yang diberikan dapat dipahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama
Islam, sehingga menjadikan ajaran agama sebagain pedoman hidup.
(Anshari, 1976: 85)
Sedangakan menurut Ahmid, Pendidikan Islam adalah usaha dalam
membentuk dan mengembangkan fitrah, serta potensi manusia dengan
memberikan, pendidika, arahan, dan bimbingan yang berlandasarkan nilai-
nilai Islam, sehingga dapat membentuk kepribadian muslim dan mampu
bertanggung jawab dalam melajankan kehidupan berdasarkan nilai-nilai
ajaran Islam. (Ahmid, 2010:19).
Sedangkan menurut Tafsir, Pendidikan Islam adalah bimbingan,
arahan, dan petunjuk yang diberikan pendidik agar peserta didik dapat
berkembang sesuai dengan ajaran Islam. (Tafsir, 2006: 32)
Dari pendapat apara ahli bahwa pendidikan merupaka suatu usaha
yang dilakukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sejak lahir.
Setelah itu dalam proses pendidikannya berlandaskan nilai-nilai Islam,
sehingga dapat membentuk kepribadian (akhlak) yang baik dan dapat
mengaplikasi ilmu pendidikan yang di dapat agar mampu mengontrol

43
segala perbuatannya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari serta dapat
merasakan kebahagian dunia dan akhirat.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya berlandaskan kepada Alquran
dan Hadits, yaitu tentang keyakinan kepada Allah dan patuh kepada segala
perintah-Nya, sebagaiman yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
(Alavi, 2003:98)
Menurut Aminuddin, Tujuan pendidikan Islam adalah proses
membantuk anak didik agar berakhlak mulia dengan memberikan
pemahaman ajaran-ajaran Islam dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. (Aminuddin, 2006:2)
Sedangkan menurut Frimayanti, Tujuan pendididkan Islam adalah
segala hal yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yaitu menjadikan
manusia untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi
sebagaimana tujuan diciptakannya manusia. (Frimayanti, 2017:240)
Sedangkan menurut Al-Syaibany, Tujuan pendidikan Islam yaitu
1) Memperkenalkan kepada anak didik dasar-dasar aqidah Islam, Ibadah,
dan tata cara pelaksanaanya dengan benar.
2) Menumbuhkan kesadaran beragama dan menghindarkan dari bid’ah
dan khufarat.
3) Menumbuhkan keimanan dalam diri anak didik.
4) Menumbuhkan minat anak didik untuk menambah pengetahuan
dengan penuh kesadaran dan keleraan tanpa adanya paksaan.
5) Menanamkan rasa cinta kepada Alquran, mulai dari membaca,
memahami, dan mengamalkan isi kandungan Alquran.
6) Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan budaya Islam.
7) Menumbuhkan sifat ikhlas, optimis, percaya diri, tanggung jawab,
menghargai, rasa tolong menolong, sabar, dan berpegang teguh pada
prinsip.

44
8) Mendidik naluri dan keinginan anak yang dibentengi dengan aqidah
dan membiasakan untuk menaham hawa nafsu, amarah, sombong,
emosi dalam bergaul.
9) Menyuburkan hati anak didik denga mahabbah, dzikir, dan takwa.
10) Memberisihkan hati anak didik dari sifat dengki, tercela, benci,
khianat, dan sebagainya. (Kurniawan, 2012: 122-123)
Sedangkan menurut Al-Ghazali yang dikutip oleh Sulaiman, bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah
1) Mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2) Mendapatkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Menurut Al-Ghazali mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat
yairu kebahagian yang sebenar-benarnya, memiliki nilai yang abadi dan
hakiki. (Sulaiman, 1985:24)
“Tujuan pendidikan Nasional dalama UU Sisdiknas No. 20, Tahun
2003, Pasal 3, menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemapuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mecerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuahn
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”
(pmpk.kemdikbud.go.id yang diakses 17 Juni 2021)
Selain itu, pendidikan ditujukan untuk mengetahui tujuan penciptaan
manusia yaitu sebagai hamba Allah SWT dan khalifah di dunia. Maka
hendaknya tujuan pendidikan Islam, sebagai berikut:
1) Menjadikan manusia sebagai khalifah di dunia dengan baik dan dapat
menjalakan tugas-tugasnya sesuai kehendak Allah SWT.
2) Mengarahkan manusia agar melaksakan segala tugasnya di dunia
berlandaskan untuk beribadah kepada Allah SWT.

45
3) Membentuk manusia agar memiliki akhlak mulia.
4) Mengarahkan dan membimbing potensi yan dimilikinya sehingga
dapat di kembangkan, agar mampu menjalakan tugasnya sebagai
khalifah di di dunia.
5) Mengarahkan manusia agar mendapatkan kebahagian dunia dan
akhirat. (Nata, 2003:53-54)
Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendidik, membimbing,
dan mengarahkan anak didik agar menjadi hamba Allah yang mampu
mengerjakan segala perintah dan larangan-Nya, mendapatkan keselamatan
dunia dan akhirat, serta mampu mengembangkan potensi yang
dimilikinya, sehinga menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia dan
bertakwa kepada Allah SWT. Serta berdasarkan tujuan penciptaan
manusia dan tujuan pendidikan Islam, agar pendidikan dapat
mengembangkan fitrah manusia. Maka menurut Mujib dan Jusuf,
pendidikan Islam perlu mengetahui perkembangan manusia, yaitu:
Pertama, Pada usia 0-2 tahun disebut dengan fase neonatus. Pada
tahapan ini, anak belum memiliki kesadaran dan intelektual, sehingga
anak hanya mampu menerima rangsangan berupa biologis dan psikologis
melalui ASI. Maka pendidikan yang dapat dilakukan adalah
1. Mengumandangkan azan di telinga kana dan iqamah di telinga
kiri pada saat baru lahir.
2. Mengadakan aqiqah, yaitu dua kambing bagi anak laki-laki dan
satu kambing bagi anak perempuan.
3. Memberikan nama yang baik.
4. Memebrikan ASI, hingga usia dua tahun.
5. Memberikan makan dan minum yang halal.

46
Kedua, Pada usia 2-12 tahun merupakan fase kanan-kanan atau biasa
disebut dengan masa neonatus sampai masa polusi atau mimpi basah. Pada
tahapan usia ini, anak sudah memiliki poetnsi berupa biologis, pendidikan,
dn psikologis. Oleh karena itu, anak sudah mulai memerlukan bimbingan,
pembiasaan, dan pendididkan yang sesuai dengan minta, bakat, dan
kemampuannya.
Pendidikan pada usia kanak-kanak terbagi menjadi dua, yaitu:
4. Anak sebelum usia 10 tahun, untuk mendidiknya tidak diperbolehkan
memberi hukuman dengan pukulan. Karena dalam hadits pada usia ini
hanya diperintahkan shalat tanpa adanya hukuman pukulan. Serta
mendidik dengan memberikan motivasi pada anak.
5. Anak setelah usia 10 tahun sampai dewasa atau baligh. Dalam
mendidiknya, anak usia ini diperbolehkan diberi hukuman berupa
pukulan dengan catatan tidak di dasari amarah dan hawa nafsu. (Yasin,
2012: 37-38)
Ketiga, Pada usia 12-20 tahun, disebut dengan fase tamyiz atau baligh
(mukallaf) yaitu anak dapat mampu membedakan mana yang baik dan
buruk, benar dan salah. Pada usia ini anak sudah memiliki kewajiban
untuk menjalankan segala perintah Allah SWT.
Sebagaiaman dalam hadits Ahmad: 896

َّ ‫ول ُرفِ َع الْ َقلَ ُم َع ْن ثَاَل ثَ ٍة َع ْن‬


‫الص غِ ِري َحىَّت‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬ ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ُ‫ف َعْنه‬ َ ‫ْش‬ ِ ‫يْبلُ َغ و َعن النَّاِئ ِم حىَّت يسَتْي ِق َظ و َعن الْمص‬
َ ‫اب َحىَّت يُك‬ َ ُ ْ َ َْ َ ْ َ َ
Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat
pena dari tiga hal; anak kecil sampai dia mencapai akil baligh, orang
yang tertidur sampai dia terjaga dan orang yang sakit (gila) sampai dia
sembuh."
Kempat, Pada usia 20-30 tahun, anak sudah beranjak dewasa baik segi
biologis, sosial, psikologis, dan religius. Pada tahapan usia ini jua, anak
sudah mempunyai kemantangan dalam bertindak dan mengambl

47
keputusan untuk masa depannya. Maka dari itu, pendidikan dapat
dilakukan dengan memberikan arahan dalam menentukan pasangan
hidupanya yang harus berlandasarkan pada ciri-ciri mukafa’ah dalam segi
agama, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Dalam memlih
pasangan hidup harus selektif karena ia akan menjadi pendidik dalam
rumah tangga yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-
anaknya kelak.
Kelima, Pada usia 30-meninggal disebut dengan fase lanjut usia. Pada
tahapan usia ini, ia telah menenukan jati dirinya dan perbuatannya penuh
dengan kebijksanaan. Edukasi pada usia ini dilakukan dengan memberikan
motivasi untuk beramal dengan baik. (Mudzair, 2006:107-113)
B. Peran Orangtua
1. Pengertian Orangtua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Orangtua adalah
ayah Ibu”. Sedangkan menurut Miami yang dikutip Astrida, “orangtua
adalah pria dan wanita yang terikat dalam pernikahan dan siap menerima
tanggung jawab sebagai ayah dan ibu bagi anak-anaknya”. (Astrida: 1).
Orangtua yaitu ibu dan ayah merupakaan pendidik pertama dan utama
dalam memberikan penanaman keimanan pada anaknya. Mengapa disebut
pendidik utama? Karena mereka yang pertama mendidik anak-anaknya.
Sekolah, pesantren, dan guru agama hanya lembaga pendidikan dan orang
yang membantu orangtua. (Tafsir, 2017:6)
Orangtua memiliki peran penting dalam membimbing, mengarahkan,
dan mendampingi anak-anaknya dalam pendidikan. Islam memandang
bahwa anak adalah amanah yang Allah SWT, berikan yang harus
dipelihara serta dijaga dengan baik dari segala sesuatu yang
membahayakan baik yang berhubungan dengan fisik maupun rohaniah.
(Basyariah, 2009: 1)

48
Orangtua dalam pendidikan Islam mempunyai nilai-nilai dan ajaran
yang telah diatur tentang peran pendidik. Orangtua sebagai pendidik
pertama dalam memberikan pendidikan kepada anak, maka sudah
seharusnya memiliki nilai-nilai keIslaman dalam dirinya. An-Nahlawi,
mengutip oleh Ramayulis dikutip oleh Frimayanti, menjelaskan bahwa
seorang pendidik dalam Islam mempunyai tugas pokok yaitu: (Fithriani,
2017:242-243)
1) Tugas Pensucian, yaitu mengembangkan dan membersihkan jiwa
anak-anaknya agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
menjauhkan diri dari keburukan, kemungkaran, dan menjaga
dirinya agar tetap pada fitrahnya (kesucian)
2) Tugas pendidik, yaitu memberikan ilmu pengetahuan dan
pengalaman kepada anak-anaknya untuk menjadi pemahaman
sehingga dapat diterapkan dalam tingkah lakunya dan
kehidupannya.
Sedangkan menurut Djamarah (seperti dikutip Tambak, 2017: 123).
Peran orangtua terhadap anak, yaitu:
1) Memelihara dan membesarkan anak.
2) Melindungi dan menjamin keselamatan baik jasmani maupun
rohani
3) Memberikan pengajaran yang luas sehingga anak dapat
memperoleh pengetahuan
4) Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan
pandangan dan tujuan hidup seorang Muslim.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orangtua
memiliki peran penting yaitu pendidik utama dalam keluarga dan pertama
bagi anak, agar menjadi manusia yang beriman dan berakhlakul karimah.
Maka orangtua sangat berpengaruh dalam membentuk anak-anaknya baik
dalam jasmani maupun rohani. Anak merupakan amanah yang Allah SWT

49
berikan kepada orangtua, sehingga baiknya diperhatikan, dijaga,
dibimbing, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Karena itu merupakan
tugas dan tanggung jawab orangtua. Maka dari itu, orangtua harus
memiliki keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang baik, menjadi teladan
yang baik untuk anak-anaknya. Karena tugas orangtua bukan hanya
memberikan kebutuhan jasmani akan tetapi juga perlu memberikan
pendidikan agama kepada anak-anaknya dan orangtua yang memiliki
keimanan, ketakwaan dan akhlak yang akan mampu menjalankan
tugasnya dengan baik, sehingga dapat menjadi suri tauladan bagi anaknya.
2. Tugas dan Tanggung Jawab Orangtua
Dalam menciptakan generasi yang berkualitas, membutuhkan upaya
yang dilakukan secara terus menerus dari orangtua dalam melaksanaka
tugas dan kewajibannya untuk mendidik, mengarahkan, dan menjaga anak
baik jasmani dan rohani dari usia dini hingga dewasa, yang mana tugas
dan tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban orangtua.
John Locke mengungkapkan melalui teori tabularasa menjelaskan
dalam mendidik anak terletak pada keluarganya. Anak di ibaratkan seperti
kertas putih bersih yang di atasnya dapat dilukis apa saja tergangtung
keinginan orangtuanya atau seperti lilin yang lembut yang dapat dibentuk
menjadi apa saja tergantung keinginan pemiliknya. (Tafsir, 2017:12)
Tanggung jawab orangtua pada anak dalam mendidik, memelihara,
dan mengarahkan yang perlu disadari oleh orangtua sebagai berikut:
Menurut Abdullah Ulwan di kutip oleh Qahthani (2015:175-176),
menjelaskan beberapa pendidikan keluarga yang harus diberikan orarngtua
kepada anak yaitu:
1) Tanggung jawab pendidikan aqidah
Maksudnya mengikat anak dengan nilai-nilai iman Islam, sejak
anak mampu berbicara dan mengerti sesuatu. Dalam menanamkan

50
aqidah kepada anak telah dicontohkan oleh para Nabi SAW sepeti
Ibrahim.
Menurut Al-Ghazali, langkah pertama dalam menanamkan
keimanan pada diri anak adalah dengan memberikannya hafalan.
Karena proses dalam memahami sesuatu harus berawal dengan
hafalan terlebih dahulu. Pada saat menghafal sesuatu kemudia ia
memahaminya, maka akan tumbuh pada dirinya keyakinan dan
akhirnya anak akan membenarkan apa yang ia yakini sebelumnya.
Maka dari itu, ini merupkan proses pembenaran dalam keimanan
yang dialami anak secara umum.
Berdasarkan pendapat Al-Ghazali, Nur al- Hafidz merumuskan
pola dasar dalam mendidik keiman pada anak yaitu
1. Membaca kalimat tauhid pada anak.
2. Menanamkan rasa cinta pada Allah dan Rasul-Nya.
3. Mengajarkan Alquran
4. Menanamkan nilai-nilai pengorbanan dan perjuangannya.
(Syahreni,2015:30)
Selain itu menanambah bahwa Allah SWT Maha Mengetahui
dan Maha Melihat segala perbuatannya. Selanjutnya
menumbuhkan dalam hatinya sikap khusyuk kepada Allah,
ketakwaan, dan sikap merasa diawasi oleh Allah di saat sepi
ataupun ramai.
2) Tanggung jawab pendidikan akhlak
Maksudnya, pendidikan ini harus dimiliki anak sejak hingga
dewasa. Akhlak merupakan implementasi keimanan dalam setiap
perbuatannya. Pendidikan akhlak pada anak dapat dilakukan
dengan diberi contoh dan teladan dari orangtuanya. Contohnya,
perilaku masing-masing ayah dan ibu dalam bersikap, perilaku

51
orangtua kepada anaknya, perilaku orangtua pada lingkungan
keluarga dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan contoh diatas menunjukan besarnya pengaruh
orangtua dalam memberikan contoh pada anak, terutama pada usia
3-5 tahun, mulai dari bahasa, sikap, cara bicara, dan perilaku serta
cara menunjukan rasa marah, senang, sedih, kecewa, dan lainya.
Oleh karena itu, kepribadian dan tingkah laku anak tergantung
pada bagaimana orangtua bersikap pada dirinya.
Menurut Benjamin Spock mengungkapkan, setiap manusia
akan mencari figur yang dapat menjadi teladan bagi dirinya. Pada
umumnya orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya. ayah akan
menjadi teladan bagi anak laki-lakinya. Ibu akan menjadi teladan
bagi anak perempuannya. (Mahmud, 2013:139)
3) Tanggung jawab pendidikan fisik.
Maksudnya Memberikan nafkah kepada anak dari sumber
halal. Menjaga kesehatan anak, menjauhkan mereka dari faktor-
faktor penyebab penyakit dan mengobati anak yang sakit.
Menerapkan kaidah, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan
menimpakan bahaya.” Mengajari mereka menjauhkan diri dari
setip kerusakan yang membahayakan mereka.
4) Tanggung jawab pendidikan akal.
Maksudnya mengajarkan hal-hal yang bermanfaat kepada anak
sejak kecil dan menjauhkan mereka dari berbagai kerusakan yang
sangat berpengaruh terhadap akal dan pikiran, seperti contoh
mirah, narkoba, alkohol, dan lainnnya.
5) Tanggung jawab pendidikan kejiwaan.
Maksudnya menjauhkan anak dari sifat lemah, penakut,
pendengki, pemarah, dan kurang percaya diri. Kemudian mendidik

52
sikap iman kepada qadha dan qadar dalam diri mereka dan lain-
lainya.
6) Tanggung jawab sosial, mendidik anak untuk memenuhi hak orang
lain dalam segala bentuknya, kasih sayang, memaafkan, bertakwa,
mengutamakan orang lain, berani dan lainnya.
7) Tanggung jawab pendidikan seks
Maksudnya mengingatkan anak-anak dari penyimpangan
seksual dan menikahkan anak yang sudah siap. (Ulwan di kutip
Qahthani, 2015:175-176)
Senada dengan Ihsan (1997:94), tanggung jawab orangtua pada anak
yaitu:
1) Memelihara dan membesarkannya. Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan
makan, minum, dan perawatan agar ia dapat hidup secara
berkelanjutan.
2) Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik jasmani maupun
rohani dari berbagai ganggungan penyakit atau bahaya lingkungan
yang dapat membahayakan dirinya.
3) Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang berguna bagi hidupnya, sehingga apabila ia dewasa ia mampu
berdiri sendiri dan membentu orang lain serta melaksanakan fungsi
kekhalifahannya.
4) Membahagiakan anak dunia dan akhirat dngan memberikannya
pendidikan agama sesuai dengan tuntunan Allah yang bersumber
dari Alquran dan As-Sunnah sebagai tujuan akhir hidup seorang
muslim. Tanggung jawab ini dikategorikan juga sebagai tanggung
jawab kepada Allah SWT.
Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tanggung
jawab orangtua pada anak mencakup banyak hal, seperti membentuk

53
kepribadian anak bukan hanya secara fisik, tetapi juga rohani dan moral
dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
3. Peran Orangtua dalam Keluarga
Menurut Salim (2013:154-155), Dalam filsafat pendidikan, pendidik
dibagi menjadi dua kategori, yaitu: pendidik profesi dan pendidik kodrati.
Pendidik kodrati, yaitu orang yang memang secara fitrahnya mempunyai
kewajiban untuk mendidik. Orangtua disebut sebagai pendidik pertama
bagi anak dalam menerima pendidikan. Oleh karena itu, bentuk pertama
dari pendidikan berada dalam keluarga. Menurut Tafsir (2005:1) dalam
Islam, orangtua adalah yang paling bertanggung jawab terhadap
pendidikan anaknya. Hal ini karena dua hal yaitu, setiap orang telah
berkeluarga secara kodrat memiliki kewajiban untuk mendidik anak-
anaknya. Karena kehendak kedua orangtuanya juga agar anaknya maju
dan berkembang dengan positif.
Dalam keluarga yang berperan sebagai pendidik tidak selalu ayah dan
ibu, tetapi semua orang dewasa yang berada dalam rumah, yang
menyadari dirinya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak sehingga perlunya upaya untuk selektif dalam melibatkan orang lain
untuk tinggal bersama dirumah.
b. Peran Ibu dalam Pendidikan Keluarga
Menurut Busyairi (seperti dikutip Salim, 2013:156-158),
Menjelaskan bahwa pada dasarnya ibu lebih utama untuk mendidik
anak-anaknya dirumah. Karena seorang ibu memiliki watak dan
kemampuan dasar untuk mendidik anak-anaknya dirumah dengan
kasih sayang dan kelembutan. Dalam Hadits Rasulullah
menjelaskan mengenai pemimpin, “...Seorang istri adalah
pemimpin bagi anak-anaknya dirumah”

54
Kunci keberhasilan seorang ibu dalam membesarkan,
memelihara, dan mengantarkan kesuksesan anak-anaknya adalah
ketekunan, kesabaran, keuletan dengan segala kelembutan dan
kasih sayangnya. Karena dalam banyak hal, anak lebih dekat
dengan seorang ibu dari pada ayahnya. Dalam posisi ini seorang
ibu harus memainkan perannya dengan maksimal dalam mendidik
anak-anaknya dirumah dan menjadikan tugasnya sebagai tugas
utama. Seorang ibu harus menjadi tempat cerita anak-anaknya,
sambil memberikan bimbingan, mengajarkan keterampilan dan
keteladanan dengan segala pengorbanan yang telah dilakukannya.
Maka keberadaan ibu yang baik dalam suatu rumah tangga sangat
menentukan kehidupan yang Islami dalam keluarga. Demikian
juga dalam menumbuhkan nilai-nilai pendidikan Islam bagi anak-
anaknya. Oleh karena itu seorang ibu mempunyai andil yang kuat
dalam sebuah keluarga.
Menurut Jamali mengungkapkan bahwa ibu dapat meberikan
telandan yang baik kepada anaknya sejak saat dalam kandungan,
yaitu dengan berfikir postif, berprilaku baik, cerdas, dan
memberikan makan-makanan yang halal. Pendidikan saat dalam
kandungan yang dapat dilakukan oleh ibu adala menjadi teladan
pertama seorang ibu kepada anak dalam kandungannya. Dalam
mendidik anak dengan memberi teladan akan lebih efektif dari
pada yang bersifat memrintah. Setalah anak lahir, maka peran ibu
sangat penting yaitu memberikan ASI. Rasulullah SAW,
memberikan petunjuk bahwa hendaknya seorang ibu dapat
menyusui anaknya minimal sampai 2 tahun. Maka, ini menunjukan
peran peting seorang ibu adalah mengandung, melahirkan,
menyusui, yang tidak dapat digantikan oleh suami. (Sahrodi,
2005:93)

55
Ibu memiliki hubungan yang dekat dengan anak-anaknya baik
secara fisik dan psikis. Secara fisik hubungan ibu dan anaknya
dimulai dari anak berada dalam kandungan sampai
membesarkannya. Selama itu pula terjadi kontak psikologis. Maka
tidak heran, seorang ibu jauh lebih dekat dengan anaknya
dibandingkan dengan seorang ayah.
Menurut Arfaz mengungkapkan usia dua tahun pertama pada
anak memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadiannya.
Seperti bayi dapat mengenal ibunya melalui bau dan suaranya.
Serta bahasa seorang ibu merupkan bahasan pertama yang dapat
diikuti anak. kemudian ada bulan keenam mulai terbentuk
hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya. Maka dapat
disimpulkan, pentingnya peran ibu bagi pendidikan anak dan jiwa
keibuan akan mendorong dirinya untuk menyayangi dan menjaga
anaknya. (Ahmad, 2012:84)
Agar terjadinya keseimbangan dalam pendidikan keluarga,
kekurangan ibu harus diimbangi oleh ayah yang juga melakukan
hal yang sama seperti diatas. Kekurangan istri, sebagai ibu harus
ditutupi oleh kelebihan seorang ayah. Oleh karena itu, peran ayah
menjadi penting dalam membina/pendidikan keluarga.
c. Peran ayah dalam Pendidikan Keluarga
Menurut Aziz (2015:31-32), Peran ayah dalam pendidikan
keluarga memiliki kewajiban dan tanggung jawab ayah sebagai kepala
keluarga dalam pendidikan mencakup pada pendidikan tauhid dan
akhlak. Pendidikan tauhid adalah tanggung jawab seorang ayah untuk
meluruskan dan menumbuhkan aqidah kepada setiap anggota
keluarganya. Selain itu, pendidikan akhlak pun terbagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1) Penanaman dan pengembangan akhlak terhadap Tuhan.

56
2) Akhlak terhadap diri sendiri.
3) Akhlak terhadap orang lain atau masyarakat.
4) Akhlak terhadap lingkungan.
Penanaman dan pengembangan akhlak kepada Tuhan dapat
diimplementasikan dengan bentuk mensyukuri nikmat Tuhan melalui
beribadah sesuai dengan petunjuk-Nya. Bentuk ibadah ini dilakukan
sebagai bentuk harapan seseorang untuk memperoleh ridho-Nya.
Menurut Baharits (seperti dikutip Aziz 2015:32-36), pendidikan
akhlaq pada diri sendiri dapat dikembangkan oleh orangtua melalui
beberapa hal diantaranya:
a) Melatih tanggung jawab
Melatih anak untuk bertanggung jawab merupakan hal
penting, agar mendorong anak untuk berusaha percaya kepada
dirinya sendiri dan kemampuannya. Adapun melatih tanggung
jawab kepada anak dapat dilaksanakan secara bertahap seperti
memakai dan melepas baju, membuang air besar, sopan santun,
sampai memiliki rasa tanggung jawab yang besar kepada Allah
SWT.
b) Menghindarkan anak dari kebathilan
Hal ini dapat dilakukan oleh orangtua dengan membiasakan
anak untuk tidak menyimpan harta miliknya tanpa digunakan
untuk sesuatu yang bermanfaat. Selain itu, orangtua dapat
membiasakan anaknya dengan memberikan sejumlah uang dan
menyuruhnya untuk membagikan kepada orang yang
memerlukannya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan
mengikuti kegiatan pembiasaan berinfak setiap hari jumat atau
kegiatan sedekah lainnya.
c) Kecintaan untuk memiliki

57
Maksudnya ialah batasan kepemilikan perlu diajarkan
kepada anak atas barang yang dimiliki secara pribadi dan
membedakan barang miliknya dengan orang lain. Selain itu
juga, orangtua perlu mengarahkan anak bahwa harta yang
dimilikinya hanya bersifat sementara, sehingga perlu
digunakan secara bermanfaat bagi diri dan orang lain.
d) Menerapkan rasa malu pada anak
Penanaman rasa malu kepada anak mendorong dirinya
untuk melakukan kebenaran dan meninggalkan kesesatan.
Karena rasa malu merupakan kekuatan yang mendorong
seseorang untuk meninggalkan keburukan. Adapun batasan
rasa malu dalam arti malu terhadap perbuatan tercela seperti
malu untuk tidak mau bertemu dengan orang lain, mengurung
diri, takut bertemu orang tanpa sebab dan sebagainya.
Upaya yang dapat dilakukan orangtua untuk mengikis rasa
malu yang tercela adalah dengan mengajak anak berinteraksi
dengan orang lain tanpa adanya paksaan. Dalam hal ini,
orangtua tidak boleh merendahkan anaknya di hadapan orang
lain, tetapi orangtua harus menumbuhkan rasa santun dan malu
dalam setiap keadaan, dan ketika anak berbuat salah.
e) Mendidik anak untuk menahan amarah
Hal ini dapat dilakukan hendaknya sejak kecil, sehingga
ketikan anak tumbuh dewasa ia sudah terlatih untuk
mengendalikan rasa amarahnya. Adapun sikap yang harus
dilakukan orangtua adalah tidak mengungkapkan rasa sayang
yang berlebihan kepada anak dengan menurut semua
keinginannya. Apabila hal tersebut dilakukan, anak akan
mudah marah agar terwujudnya keinginannya.
f) Menjauhkan anak dari dusta

58
Kewajiban orangtua khususnya ayah untuk menjauhkan
sikap anaknya dari sifat dusta. Beberapa sebab yang
mendorong anak berbuat dusta yaitu: tidak terpenuhinya naluri
kepemilikan akan barang-barang yang diinginkannya, karena
kondisi keluarga yang tidak memungkinkan. Contoh:
mengakui barang yang bukan miliknya, berbohong agar
terhindar dari hukuman dan sebagainya. Oleh karena itu,
orangtua hendaknya mendidik, mengarahkan, dan menjelaskan
kepada anak bahwa berbohong dan mengaku-ngaku merupakan
perbuatan tercela. Orangtua pun perlu memberikan hukuman
kepada anak jika terus menerus melakukan pelanggaran.
g) Menghindarkan anak dari kebiasaan mencuri
Cara menghindarkan anak dari kebiasaan mencuri ialah
dengan melatih anak untuk menghormati hak milik orang lain
dengan melarang anak memakai barang yang berada diluar
kepemilikan pribadinya tanpa izin pemiliknya. Selain itu
memberikan kasih sayang kepada anak juga perlu dilakukan
orangtua. Karena perbuatan mencuri yang dilakukan anak
diantaranya disebabkan kurangnya kasih sayang yang
diberikan orangtuanya. Sehingga untuk menggantikan rasa
kasih sayang, anak akan mengumpulkan barang milik orang
lain dengan mengakui barang tersebut miliknya.
h) Menjauhkan anak dari sikap sombong
Menjauhkan sikap sombong dapat dilakukan orangtua
dengan pendekatan kesadaran bahwa hakikatnya segala sesuatu
yang dimiliki manusia adalah sekedar pemberian Allah SWT,
dan segalanya akan kembali kepada-Nya. Manusia pada
konsep ini hanya berperan sebagai orang yang dititipkan
semata-mata bukan pemilik tunggal.

59
Selain itu yang bisa dilakukan dengan metode kisah dengan
menceritakan kisah-kisah orang-orang yang bersikap sombong
dan ingkar terhadap nikmat Allah SWT, seperti kisah: Qarun
yang tertimbun dengan harta yang dimilikinya, kisah Bal’am
dan sebagainya.
Menurut norma Tarazi (seperti dikutip Aziz (2015:35-36),
Menambahkan bahwa seorang ayah sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak seharusnya mampu
menciptakan suasana yang kondusif dalam keluarga dan memahami
pengelolaan pelaksanaan pendidikan tersebut seperti: berbincang-
bincang dengan anak melalui cara yang membangun, mengajarkan
anak pada hal-hal yang positif melalui contoh, mengurangi tindakan
yang tidak pantas dengan cara memberikan pemahaman, mengubah
suasana atau lingkungan, mengurangi hukuman fisik, dan menjalin
hubungan yang erat terhadap sesama anggota keluarga.
Seorang ayah tidak hanya mencukupi anggota keluarganya secara
batin saja, tetapi seorang ayah berkewajiban mencukupi kebutuhan
seperti sandang, pangan, dan papan serta pendidikan. Menurut
Herawati (2014:72-79), mengungkapkan bahwa kewajiban besar
seorang ayah seperti memelihara keluarga dari api neraka, mencari dan
memberi nafkah secara halal, bertanggung jawab memberikan
ketenangan, mencari istri yang shalihah, memberikan kebebasan
berpikir dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, mendoakan anak-
anaknya, memelihara lingkungan yang baik dan berbuat adil.
Tugas inti dari kepala keluarga adalah memelihara keluarga dari
api neraka. Hal ini sebagaimana dalam Q.S at-Tahrim: 6,

ُ‫َّاس َواحْلِ َج َارة‬ ِ ِ َّ ٓ


ُ ‫ٰياَيُّ َها الذيْ َن اٰ َمُن ْوا ُق ْٓوا اَْن ُف َس ُك ْم َواَ ْهلْي ُك ْم نَ ًارا َّو ُق ْو ُد َها الن‬
‫ص ْو َن ال ٰلّهَ َمٓا اََمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُ ْو َن َما يُْؤ َم ُر ْو َن‬ ِ ِ ۤ
ُ ‫َعلَْي َها َم ٰل ِٕى َكةٌ غاَل ٌظ ش َد ٌاد اَّل َي ْع‬

60
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka...”
Tanggung jawab berat tersebut diikuti oleh seorang ayah dalam
mendidik anggota keluarganya untuk berbuat baik, beribadah dan
bertakwa dalam menjalani kehidupan didunia.
Adapun peran ayah dalam bentuk pendidikan keluarga Islami
meliputi: pendidikan aqidah, mengajarkan dan memerintahkan ibadah
kepada anak-anaknya melalui nilai-nilai yang terkandung dalam
Alquran dan As-Sunnah, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah,
menyekolahkan anak pada lembaga pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta mengajarkan anak
untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, yakni seorang ayah secara
langsung mencontohkan bakti dirinya kepada kedua orangtuanya.
Jadi dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pentingnya
keteladanan orangtua dalam pendidikan keluarga, karena keteladanan
orangtua merupakan hal penting dalam keluarga. Anak akan mengikuti
orangtuanya baik ibu maupun ayahnya, mulai dari ucapan ataupun
tingkah laku keseharian orangtuanya yang akan diperhatikan dan ditiru
oleh anak.
Sebagai orangtua harus memiliki kesadaran, bahwa kebaikan yang
di contohkan kepada anak, tidak semua akan mudah diteladani. Tetapi
jika yang sudah dididik saja belum tentu mendapatkan mendapatkan
hasil yang baik, apalagi yang tidak dididik dengan cukup baik. Sebagai
umat Islam berikhtiar dengan memberikan pendidikan yang baik dan
memberikan keteladanan kepada anak, merupakan wujud tanggung
jawab sebagai orangtua yang telah diberikan amanah oleh Allah SWT.
4. Metode Mendidik Anak
Menurut Ulwan (2019:516-634), terdapat lima metode pendidikan
yang berpengaruh bagi anak yang perlu dilakukan orangtua dalam

61
mendidik anak agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Metode
tersebut yaitu:
1) Metode dengan keteladanan.
Metode ini yang paling efektif dalam mempersiapkan dan
membentuk akhlak, moral, spiritual dan sosial. Karena orangtua
atau orang dewasa bagi anak adalah panutan dalam kehidupan
mereka. Maka metode keteladanan menjadi yang paling
meyakinkan keberhasilannya dalam proses pendidikan. Metode ini
akan lebih mudah diikuti jika orangtuanya mempraktikan apa yang
diajarkannya. Maka disinilah peran besar orangtua dalam mendidik
anaknya dari usia dini sampai dewasa.
Contohnya, Jika orangtuanya seorang yang jujur maka anak
pun akan tumbuh dalam kejujuran dan bersikap amanah. Tetapi
jika orangtuanya, seorang yang pendusta dan khianat maka anak
akan tumbuh dalam kebiasaan dusta dan tidak bisa dipercaya. Oleh
karena itu, anak akan mengikuti tingkah laku orangtuanya baik
disadari maupun tidak.
2) Metode dengan kebiasaan
Metode kebiasaan dalam mendidik merupakan faktor
pendukung yang paling baik dan efektif. Jika metode ini
diterapkan pada anak usia dini, maka harus dilakukan dengan
berulang-ulang agar menjadi kebiasaan, karena untuk melatih
kedisiplinan pada anak. Contohnya meskipun anak masih usia dini,
sudah harus melaksanakan salat pada usia tujuh tahun, padahal
anak usia tersebut belum memiliki kewajiban melaksanakan salat.
Ini menunjukan agar anak terbiasa melaksanakan ajaran Islam.
Pembiasaan-pembiasaan yang baik harus ditanamkan kepada anak
sejak usia dini.
3) Metode dengan nasehat

62
Metode nasehat merupakan salah satu yang efektif dalam
membentuk keimanan, akhlak, mental, dan sosialnya. Nasehat
yang baik dengan bahasa yang lembut dapat menyadarkan anak
tentang sesuatu dan mendorongnya untuk berakhlak mulia dan
teguh pada prinsip-prinsip Islam. Contohnya, menunjukan
kesalahan dengan mengarahkanya. Umar bin Abu Salaah r.a
berkata, “ketika masih kecil, aku berada di bawah pengasuhan
Rasulullah. Tanganku pernah bergerak (kesana kemari) di dalam
piring besar, maka Rasulullah berkata: Wahai anak, bacalah
basmallah, makanlah dengan tangan kanan dan makanlah apa yang
dekat denganmu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Inilah bagaimana Rasulullah menunjukan kesalahan dengan
mesihat yang baik dan memrikannya arahan yang efektif.
2) Metode dengan perhatian/pengawasan.
Metode pendidikan dengan Perhatian/Pengawasan merupakan
pendidikan yang paling utama, karena dengan cara ini anak selalu
berada pada pantauan orangtua, melihat dari gerak gerik,
perkataan, dan perbuatan.
Contohnya, memilih teman dengan baik. Ketika anak berteman
dengan orang yang baik, sholeh, dan ahli ibadah, bisa jadi ia akan
ikut menjadi sholeh dan ahli ibadah. Begitu pun sebaliknya, ketika
anak berteman dengan ahli maksiat dan tidak kuat keimanannya
maka bisa jadi ia akan ikut terjerumus ke dalam hal-hal yang
buruk. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan perhatian dan
pengawasan kepada anak-anaknya dalam bergaul, dengan siapa
saja anaknya berteman karena jika anak salah memilih teman maka
akan cenderung mempengaruhi sikap dan akhlaknya.
3) Metode mendidik dengan hukuman.

63
Metode ini diberikan kepada anak jika tidak taat, melanggar
aturan, atau melakukan kesalahan. Hukuman yang diberikan
kepada anak bertujuan agar ia mengerti bahwa perbuatannya salah
dan tidak mengulangnya. Contohnya, menunjukan kesalahan
dengan memukul. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-
Ash r.a, Rasulullah SAW bersabda:

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ُم ُر ْوا َْأواَل َد ُك ْم بِالصَّاَل ِة َو ُه ْم‬ ِ ُ ‫قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫ َو َفِّر ُق ْوا‬، َ ‫اض ِربُ ْو ُه ْم َعلَْي َه ا َو ُه ْم َْأبنَ اءُ َع ْش ِر ِس نِنْي‬ ْ ‫ َو‬، َ ‫َْأبنَ اءُ َس ْب ِع ِس نِنْي‬
ِ ‫بينهم يِف الْمض‬
‫اج ِع‬ َ َ ْ ُ َ َْ
Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian salat saat mereka
berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (ketika
meninggalkannya) pada saat berusia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Dari Hadits diatas dapat di pahami bahwa mendidik anak harus ada
disiplin dan ketegasan sehingga anak menjadi tahu dan sadar apa yang
harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan. Sementara itu, kata
pukul pada Hadits diatas bisa saja dimaknai dengan sanksi atau
hukuman dan orangtualah yang paling tahu sanksi yang tepat untuk
diberlakukan kepada anak-anaknya.
Selain itu, menurut Muchtar (2005:21), dalam agama Islam
memberi arahan dalam memberi hukuman kepada anak, hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jangan memberi hukuman ketika marah, karena pemberian
hukuman ketika marah akan bersifat emosional yang
dipengaruhi nafsu syaitan.
b. Jangan sampai menyakiti perasaan dan harga diri anak atau
orang yang dihukum.

64
d. Jangan sampai merendahkan derajat dan martabat anak,
misalnya dengan menghina atau mencaci maki di depan orang
lain.
e. Memiliki tujuan mengubah prilakunya yang kurang atau tidak
baik. orangtua menghukum karena anak berprilaku tidak baik.
Dalam memberikan hukuman haruslah mengandung makna
edukasi atau solusi. Apabila anak setelah diberikan hukuman
membaik, maka orangtua harus mengubah sikapnya menjadi baik,
lemah lembut. Orangtua harus menunjukan bahwa hukuman
tersebut diberikan dengan tujuan demi kebaikan dirinya sendiri
baik di dunia dan akhirat.
Senada dengan (Basyir, 2015: 58-60), Metode pendidikan yang
diterapkan oleh Lukman al-Hakim ketika mendidik anaknya dalam Q.S
Lukman ayat 13-19, diantaranya:
1) Metode Nasehat.
Nasehat Lukman al-Hakim secara redaksional dapat dibagi
menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan dan bentuk perintah.
Diantara keduanya terdapat pesan untuk senantiasa untuk menjaga
diri, karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh
setiap umat-Nya tanpa terkecuali meskipun sebesar biji sawi dan
dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun.
Tiga nasehat yang berbentuk larangan adalah larangan
mempersekutukan Allah, larangan mentaati perintah kedua
orangtua dalam konteks kemaksiatan, dan larangan bersikap
sombong. Sedangkan nasihat dalam bentuk perintah diawali
dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua
dalam keadaan apapun yang diiringin dengan mensyukuri atas
segala anugrah dan limpahan rahmat-Nya, perintah untuk
mendirikan salat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang

65
munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan
berbicara.
2) Metode Dialog.
Meskipun tidak dinyatakan secara jelas dialog antara Luqman
al- Hakim dengan anaknya. Tetapi, jika dicermati pada ayat 13 dari
Q.S Luqman, penyampaian materi pendidikan diawali dengan
penggunaan kata “ya bunayya” (wahai anakku) merupakan bentuk
kasih dan rasa cinta, bukan bentuk penghinaan atau pengecilan.
Artinya pendidikan harus berlandaskan aqidah dan komunikasi
efektif antar orangtua dan anak yang didorong dengan rasa kasih
sayang serta direalisasikan dalam bimbingan dan arahan agar
anaknya terhindar dari perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu,
salah satu tugas orangtua adalah menyayangi anaknya. Dan selalu
menasehati dan mencegah anaknya agar terhindar dari akhlak
tercela.
3) Metode Keteladanan.
Dalam pendidikan metode ini merupakan yang sangat efektif
untuk membentuk kepribadian anak, terutama pada aspek moral,
spiritual, dan sosial. Luqman al-Hakim sebagai orangtua sekaligus
pendidik pertama bagi anaknya yang memiliki kelebihan dalam
kualitas kepribadian karena telah dianugrahi hikmah oleh Allah
SWT, bukan kerena kelebihan dalam bentuk kepemilikan berupa
materi maupun keturunan.
Luqman al-Hakim merupakan figur pendidik yang memiliki
sifat, kepribadian, dan prilaku agung yang menggambarkan
hikmah. Maksudnya prilaku Luqman al-Hakim merupakan
interpretasi hikmah secara nyata. Oleh karena itu, sebagai orang
yang dikaruniai hikmah tentu ketika Luqman al-Hakim
menyampaikan materi pembelajaran kepada anaknya, baik perintah

66
ataupun larangan, maka bisa dipastikan bahwa jauh sebelum
dirinya menyampaikan dan melakukan materi tersebut kepada
anak, dirinya sendiri telah memahami dan melakukan hal tersebut.
Jika dicermati adanya keterkaitan antara nasihat dan
keteladanan. Nasihat seseorang akan sangat bermakna dan
berpengaruh terhadap seseorang yang dinasihatinya apabila dirinya
memiliki keteladanan yang baik. Bahkan tanpa dengan kata-
katapun, tetapi dengan prilakunya yang indah dan baik maka dapat
menjadi teladan bagi orang lain.
4) Metode Pembiasaan.
Metode ini diterapkan dengan memberikan penanaman nilai
secara berulang-ulang menyangkut semua materi pendidikan yang
disebutkan sebelumnya. Metode nasehat dan keteladanan apabila
diberikan secara terus menerus kepada anaknya, maka proses ini
menunjukan adanya pembiasaan.
5) Metode Perumpamaan.
Metode ini maksudnya untuk memudahkan pemahaman anak
tentang konsep yang masih abstrak sehingga menjadi jelas.
Luqman al-Hakim menggunakan metode ini dengan mengambil
sesuatu yang telah diketahui oleh anaknya sebagai bandingan,
sehingga sesuatu yang baru dapat dipahami.
Berdasarkan uraian di atas pada intinya, orangtua harus menjadikan
metode dan pedekatan yang bersumber dari Alquran dan As-Sunnah
sebagai metode dan pendekatan yang digunakan dalam mendidik. Karena
Alquran merupakan kitab suci yang berasal dari Allah SWT, tidak ada
keraguan didalamnya dan tidak mengandung kebatilan. Begitu pula
dengan As-Sunnah, semua yang berasal dari Rasulullah SAW, pasti
terbebas dari kesalahan. Karena beliau adalah utusan Allah yang sudah

67
dijamin terjaga dari kesalahan yang tidak berkata-kata dari hawa nafsu dan
manusia yang sempurna.
C. Aqidah Islam
1. Pengertian Aqidah Islam
Kata aqidah yang dikemukakan oleh Jumhuri (2015:10), berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata al-aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiqu yang
berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkamu yang berarti
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquwwah yang berarti
mengikat dengan kuat. Sedangkan secara terminologi, aqidah adalah iman
yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang
meyakininya. Jadi, aqidah adalah sesuatu yang diyakini secara kuat di
dalam hati seseorang dan bersifat mengikat.
Terdapat beberapa definisi aqidah menurut para ahli, yang
dikemukakan oleh Andayani (2016:1-8), yaitu:
a. Menurut Hasan Al-Banna
Aqaid (bentuk plural dari aqidah) adalah perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatanagkan ketentraman
jiwa, sehingga menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan.
b. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy
Aqidah adalah kebenaran yang dapat diterima oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipastikan oleh
hati dan diyakini keshahihannya dan keberadannya dengan pasti
dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran
itu.
Dari kedua pendapat para ahli diatas maka dapat diambil poin-poinnya
yaitu:

68
a) Setiap manusai memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran. Indera
untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran, dan
wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang
benar dan mana yang salah.
b) Keyakinan tidak boleh dicampur dengan keraguan sedikit pun.
Sebelum seseorang mencapai pada tingkat yakin maka ia akan
mengalami empat hal terlebih dahulu, yaitu:
1) Syak (ragu), yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau
menolaknya.
2) Zhan, yaitu salah satu lebih kuat sedikit dari yang lain karena
ada dalil yang mengutkannya.
3) Ghalabatuzh Zhan, yaitu cenderung lebih menguatkan salah
satu karena sudah meyakini dalil kebenarannya.
4) Yakin, yaitu keyakinan yang tidak ada sedikitpun keraguan.
Keyakinan yang sudah pada tingkat yang disebut aqidah.
c) Aqidah harus mendatangkan ketenangan jiwa, maksudnya sesuatu
keyakinan yang belum dapat menentramkan jiwa berarti belum
disebut aqidah.
d) Menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran,
maksudnya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal
yang bertentangan.
e) Tingkat aqidah seseorang tergantung kepada tingkat
pemahamannya terhadap dalil.
Ada istilah lain yang hampir semakna dengan aqidah yaitu iman dan
tauhid.
a. Iman
Ada yang mengatakan iman dan aqidah memiliki kesamaan
dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan beralasan
bahwa aqidah hanya bagian dari iman, karena iman menyangkut

69
pada aspek dalam dan luar. Permasalahnya tergantung dari definisi
iman. Apabila mengikuti definisi iman menurut Asy’ariah yang
mengatakan iman hanya “membenarkan dalam hati”, maka iman
dan aqidah adalah dua istilah yang sama. Begitupun sebaliknya
apabila mengikuti definisi iman menurut ulama salaf seperti Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa
iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan, maka iman dan
aqidah tidak sama maknanya.
b. Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Allah. Ajaran tauhid adalah tema
sentral dalam aqidah Islam. Oleh karena itu, aqidah dan iman
diidentikkan dengan istilah tauhid.
Dalam Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting.
apabila di ibaratkan dalam sebuah bangunan, maka aqidah
merupakan pondasinya, sedangkan ajaran yang lain seperti ibadah
dan akhlak adalah sesuatu yang dibangun diatasnya. Rumah yang
dibangun tanpa pondasi maka akan mudah goyah dan rapuh. Tidak
ada gempa ataupun badai, hanya sekedar menahan beban atap saja
bangunan tersebut akan runtuh dan hancur. Oleh karena itu, aqidah
yang benar merupakan landasan kuat bagi agama dan diterimanya
suatu amal. Dalam Q.S Al-Kahfi: 110, Allah SWT berfirman:

‫اح ۚ ٌد فَ َم ْن َكا َن‬ ِ ‫قُل اِمَّنَٓا اَنَ ۠ا ب َشر ِّم ْثلُ ُكم يو ٰ ٓحى اِيَلَّ اَمَّنَٓا اِهٰل ُكم اِٰله َّو‬
ٌ ْ ُ ُْ ْ ٌ َ ْ
‫صاحِلًا َّواَل يُ ْش ِر ْك بِعِبَ َاد ِة َربِّهٖٓ اَ َح ًدا‬ ِ
َ ‫َي ْر ُج ْوا ل َقاۤءَ َربِّهٖ َف ْلَي ْع َم ْل َع َماًل‬
Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka
barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka
hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia

70
mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.”
Dari penjelasan diatas menginat pentingnya kedudukan aqidah,
maka para Nabi dan Rasul menyebarkan dakwah dan ajaran Islam
dari aspek aqidah terlebih dulu sebelum aspek lainya. Rasulullah
SAW berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di Mekkah
dengan menumbuhkan nilai-nilai aqidah atau keimanan kepada
Allah SWT, dalam waktu yang panjang yaitu selama kurang lebih
tiga belas tahun. dalam waktu tersebutlah, kaum muslim yang
berada di Mekkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat.
Ujian tersebut terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat,
sehingga menjadi landasan kokoh bagi perjalanan perjuangan
Islam selanjutnya, sedangkan ajaran dan penegakan hukum-hukum
syariat dilakukan di Madinah dalam rentan waktu lebih singkat
yaitu kurang lebih sepuluh tahun. Maka, hal ini dapat menjadi
pelajaran bagi umat Muslim betapa pentingnya aqidah atau
keimanan dalam ajaran Islam.
2. Fungsi dan Peran Aqidah Islam
Adapun fungsi dan peran aqidah Islam menurut www.Lenterakita.com
(seperti dikutip Ansori, 2016: 22-23) yaitu:
1) Menuntun dan mengembangkan dasar keTuhanan yang dimiliki
oleh manusia sejak lahir.
Manusia sejak lahir telah memiliki potensi beragama, sehingga
selama manusia hidup membutuhkan agama dalam mencari
keyakinan terhadap Allah SWT. oleh karena itu, aqidah Islam
berperan dalam memenuhi kebutuhan fitrah manusia, menuntun
dan mengarahkan kepada keyakinan yang benar.
2) Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa.

71
Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan
rohaninya dapat terpenuhi. Contohnya, seseorang yang
berkeyakinan bahwa rezeki dan ketentuannya sudah ditetapkan
oleh Allah SWT, akan merasa tenang dan tidak khawatir terhadap
rezekinya setiap hari. Setiap orang berkewajiban untuk menjemput
rezekinya yang telah ditetapkan merupakan sebuah kewajiban,
akan tetapi persoalan hasil, mutlak kekuasaan Allah SWT. oleh
karena itu, manusia yang mempunyai aqidah yang mantap tidak
akan merasakan kekhawatiran dan hidupnya akan tenang.
3) Memberikan pedoman hidup yang pasti.
Keyakinan kepada Allah SWT yang diberikan kepada manusia
berfungsi memberikan arahan dan pedoman yang pasti, karena
aqidah menunjukan kebenaran keyakinan yang sesungguhnya.
Aqidah memberikan jawaban yang pasti tentang berasal dari apa
dan dari mana manusia diciptakan. Dengan mengetahui itu maka
akan memberikan manfaat bahwa tidak ada yang dapat manusia
sombongkan, kecuali Allah SWT.
Aqidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk prilaku
bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu al-ala Al-
Maudui menyebutkan pengaruh tauhid yaitu:
a. Menjauhkan manusia dari pandangan yang sempit dan
picik
b. Menumbuhkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu
harga diri
c. Menumbuhkan sifat rendah hati dan khidmat
d. Membentuk manusia menjadi jujur dan adil
e. Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam
menghadapi setiap persoalan dan situasi

72
f. Membentuk pendirian yang teguh, sabar, tabah, dan
optimisme
g. Menumbuhkan sifat kesantria, semangat dan berani, dan
tidak takut maut
h. Menciptakan sikap hidup damai
i. Membentuk manusia menjadikan patuh, taat, dan disiplin
menjalankan peraturan ilahi.
Senada dengan Andayani (2016:20), dengan mempelajari aqidah maka
akan membuat jiwa seseorang menjadi tentram. Fungsi aqidah sebagai
berikut:
1) Menuntun dan mengembangkan dasar keTuhanan yang dimiliki
manusia sejak lahir.
2) Meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
3) Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa.
4) Memberikan pedoman hidup yang pasti.
5) Membentuk pribadi yang seimbang, yaitu selalu berserah diri
kepada Allah SWT, baik dalam keadaan suka maupun duka.
6) Sebagai asas persaudaraan.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aqidah
merupakan dasar agama, maka keberadaan aqidah sangat menetukan
sikap, perbuatan, corak dan warna kehidupan seseorang dalam
hubungannya dengan sesama makhluk dan hubungannya dengan Tuhan.
Dalam hubungannya dengan manusia, aqidah akan menjadikan dorongan
untuk berbuat baik bagi manusia dan makhluk lainya.
3. Ruang Lingkup Aqidah Islam
Menurut Hasan Al-Banna (seperti dikutip Jumhuri 2015:18-19),
mengatakan bahwa ruang lingkup pembahasan aqidah Islam yaitu
uluhiyah, nubuwwah, ruhamiyah dan sam’iyah.

73
a. Uluhiyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Allah SWT, seperti wujud Allah, nama-nama
Allah, sifat Allah dan perbuatan-perbuatan Allah.
b. Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, seperti mengenai kitab-kitab
Allah, mukjizat.
c. Ruhamiyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan ghaib seperti, malaikat, jin, setan, dan roh.
d. Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya
bisa diketahui melalui sama’i. Maksudanya, memalui dalil naqli
seperti Alquran dan As-Sunnah, alam barzah, akhirat, azab kubur,
tanda-tanda kiamat, surga dan neraka.
Sedangkan menurut Andayani (2016: 9-12), Ruang lingkup aqidah
menyangkut pada iman umat Islam, kerana itu ajaran dasar tersebut para
ulama dalam pembahasannya merangkum dalam rukun iman yang enam
yaitu:
a. Iman kepada Allah
Maksudnya membenarkan dengan yakin akan adanya Allah
SWT, membenarkan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam, makhluk seluruhnya maupun dalam menerima
ibadah segenap makhluknya, membenarkan dengan yakin bahwa
Allah bersifat dengan segala sifat sempurna. Dengan demikian
setelah kita meyakini Allah, maka kita akan membenarkan segala
perbuatan dengan beribadah kepada-Nya, melaksanakan segala
perintah da larangan-Nya, mengakui bahwa Allah bersifat
segalanya dengan ciptaan-Nya di muka bumi sebagai bukti
keberadaan, kekuasaan dan kesempurnaan-Nya.
b. Iman kepada Malaikat

74
Beriman kepada mailakat adalah mempercayai bahwa Allah
memiliki makhluk yang dinamai malaikat yang tidak pernah
durhaka dan senantiasa melaksanakan tugasnya dengan baik dan
cermat.
Dalam alquran banyak ayat yang menyeru kepada umat
Muslim mengenai makhluk yang gaib yang tidak dapat dilihat oleh
mata, tidak dapat dirasakan oleh panca indra, itu ialah malaikat.
Malaikat selalu patuh pada Allah dengan segala perintah-Nya dan
tidak pernah berbuat maksiat dan durhaka kepada-Nya.
c. Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Keyakinan pada kitab-kitab suci merupakan rukun iman yang
ke tiga. beriman kepada kitab-kitab Allah dengan meyakini bahwa
Allah menurunkan beberapa kitab kepada Rasul, baik yang
berbungan dengan itikad, muamalat, dan siyasah, yaitu untuk
dijadikan pedoman hidup manusia. Baik dunia maupun akhirat.
Kitab-kitab yang diturunkan Allah berjumlah banyak, akan
tetapi yang masih ada sampai saati ini adalah Alquran, Taurat
diturunkan kepada Nabi Musa a.s, Zabur diturunkan kepada Nabi
Daud a.s, dan Injul diturunkan oleh Nabi Isa a.s.
d. Iman kepada Nabi dan Rasul
Perbedaan antara Nabi dan Rasul terletak pada tugasnya. Para
Nabi meneri wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. sedangkan Rasul
merupakan utusan Allah yang memiliki kewajiban untuk
menyampaikan wahyu yang diterima kepada umat manusia.
Dalam Alquran disebutkan terdapat 25 Nabi, beberapa
diantaranya juga sebagai Rasul yaitu Daud, Musa, Isa, dan
Muhammad yang berkewajiban untuk menyampaikan wahyu yang

75
diterimanya kepada umat manusia dan menunjukan cara
pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Iman kepada Hari Akhir
Rukun iman yang kelima ini sangat penting dalam rangkaian
rukun iman, karena tanpa percaya hari akhir maka sama halnya
dengan tidak mempercayai agama Islam, hari akhir merupakan hari
yang tidak dapat diragukan.
Hari akhir merupakan hari pembalasan yang pada hari tersebut
Allah menghitung hisab amal perbuatan manusia dan memberikan
putusan ganjaran sesuai dengan hasil perbuatannya selama di
dunia.
f. Iman kepada Qadha dan Qadar
Rukun iman yang terakhir ini biasa disebut juga takdir. Qadar
yang berasal dari kata qadara yang artinya ketentuan atau ukuran,
dan Qadar artinya kehendak atau ketetapan hukum. Makna qadha
dan qadar adalah berlakunya hukum sebab akibat, yang ditetapkan
oleh Allah. Jadi, segala ketentuan, undang-undang, hukuman dan
peraturan yang telah ditetapkan secara pasti oleh Allah, untuk
segala yang ada.
D. Pengembangan Fitrah
1. Pengertian Fitrah
Secara estimologi fitrah berasal dari bahasa Arab yaitu kata fitrotun
jamak dari fitarun yang artinya kejadian, penciptaan, dan tabiat. Secara
bahasa fitrah memilik arti sifat bawaan sejak lahir. Secara istilah fitrah
adalah potensi manusia yang dibawa untuk menjalankan hidup di dunia.
(Aziz, 2006:29).
Kata fitrah mempunyai beberapa makna di dalamnya yaitu
kecenderungan secara alamiah yang dibawa sejak lahir, sedangkan secara

76
keagamaan adalah agama atau tauid, serta fitrah manusia adalah suatu
bawaan sejak lahir yaitu berpotensi pada agama yang lurus. (Baharuddin,
2004:147).
Menurut Al-Ghazali fitrah adalah dasar manusia yang ada sejak lahir
dan membawa keistimewaan di dalamnya yaitu:
1. Beriman kepada Allah SWT.
2. Mampu dan menerima pendidikan dan pengajarn.
3. Rasa ingin tau untuk mencari kebenaran.
4. Hawa nafsu berupa syahwat dan insting (Zainudi, 1991:67)
Fitrah manusia berupa kecenderungan untuk mencari dan menerima
kebenaran, meskipun hanya berada dalam hati. Ada saatnya manusia telah
menerima kebenaran, tetapi karena adanya faktor luar yang dapat
mempengaruhi sehingga menyebabkan dirinya berpaling dari kebenaran
yang didapatnya. Dalam pengertian ini juga, fitrah yang Allah SWT
ciptakan pada manusia berupa untuk mengenal Allah. Ini merupakan
bentuk alamiah manusia yang tercipta saat dalam rahim ibunya, sehingga ia
dapat menerima agama yang lurus. (Pransiska, 2016:2)
Menurut al-Maududi mengungkapkan manusia dilahirkan oleh
ibunya dalam keadan sebagai seorang muslim yang dapat berbeda-beda
dalam ketaatanya kepada Allah SWT, tatapi manusia juga bebas untuk
menjadi muslim atau non muslim (Raharjo, 1999:35). Selain fitrah
memiliki potensi untuk beragama tauhid, manusia juga secara fitrah
memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidaknya dalam ketaatan pada
Allah SWT, tergantung seberapa besar pengaruh lingkungan baik atau
buruk yang dapat mempengaruhi dirinya sendiri.
2. Macam-Macam Fitrah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna
diantara makhluk-makhluk lainnya. Menurut Jalaluddin dalam Mualimin

77
Manusia mempunyai kemampuan dasar yang dapat berkembang. Sifat
dasar tersebut seperti:
1. Potensi Naluri (Hidayah al-Ghazariyat), potensi berfungsi untuk
menjalankan kelanjutan hidup seperti.
Pertama, mempertahankan diri seperti marah, bertahan atau
mnghindar dari ancaman atau ganggungan sesama makhluk baik
itu sesama manusia atau yang lainnya. Kedua, memelihara
keutuhan, seperti inting untuk menjaga diri seperti makan, minum,
menyesuaikan diri dengan lingkuan sekitar. Ketiga,
menegmbangkan jenis dengan adanya naluri seksual. Secara fitrah
potensi ini telah melekat pada diri manusia dan dapat berkembang
melalui pendidikan.
2. Potensi Indrawi (Hidayat al-Hassiyat), potensi ini berfungsi untuk
mengenal sesuatu diluar dirinya melalui panca indera yang telah
dimilikinya seperti penglihatan, pendengaran, perasaan,
penciuman, dan peraba.
3. Potensi Akal (Hidayah al-Aqliyyat), potensi ini bertujuan agar
manusia mampu menganalisis, membandingkan, memahami
simbol, membuat kesimpulan serta mampu membedakan dan
memilih antara yang benar dan salah.
4. Potensi Keagamaan (Hidayah al-Dinayyat), potensi ini merupakan
suatu dorongan untuk mengabdi pada sesuatu yang ia anggap
memiliki kekuasaan yang Maha Tinggi. Hal ini dapat terjadi karena
adanya perasaan ingin dilindungi, perasaan kagum, takut, dan
bersalah. (Mualimin, 2019: 260-261)
Menurut Fuad Nashori, manusia memiliki empat potensi dalam
dirinya, diantaranya:
1. Potensi Berfikir, Manusia memiliki potensi untuk berfikir. Allah
memerintahkan kepada manusia untuk berfikir karena ia

78
memiliki potensi untuk berfikir, sehingga manusia mampu untuk
belajar informasi-informasi baru, menghubungkan berbagai
informasi, dan menghasilkan pemikiran baru.
2. Potensi Emosi, Potensi ini menjadikan manusia memiliki rasa
yang manusia dapat memahami orang lain, mengetahui suara
alam, rasa ingin dicintai dan mencintai, rasa mempertahankan
dan ingin dipertahankan, rasa menghargai dan ingin dihargai.
3. Potensi Fisik, Potensi ini membuat manusia memiliki kekuatan
secara fisik yang tanggunh, seperti Nabi Muhammad memerintah
kepada setiap manusia untuk berlatih memanah, berkuda, dan
berenang.
4. Potensi Sosial, Potensi ini yang menjadikan manusia mampu
menyesuaikan diri dan mempengarhui orang lain. Kemampuan
ini berdasarkan adanya kemampuan belajar baik pengetahuan
maupun keterampiran. (Nashori, 2005:85-87)
Sedangkan menurut Muhaimin dalam Solichin, potensi manusia
mempunyai banyak macamnya yang meliputi aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik, yaitu:
1. Potensi Beragama, potensi ini merupakan bawaan yang menjadikan
manusia untuk patuh dan tunduk pada Tuhan sebagai pencipta,
penguasan dan pemiliki alam semesta ini.
2. Potensi berakal budi, potensi ini yang mendorong manusia untuk
terus mengingat Allah dengan memahmi tanda-tanda kekuasaan-
Nya.
3. Potensi kebersihan, potensi ini mendorong manusia untuk menjaga
dan mencitai keberisah diri dan lingkungannya. Karena kebersihan
merupakan sebagian dari iman.

79
4. Potensi Bermoral atau berakhlak, potensi ini mendorong manusia
untuk melaksanakan nilai-nilai moral dan akhlaq dalam
menjalankan kehidupan.
5. Potensi Mencari Kebenrana, potensi ini mendorong manusia untuk
mencari kebenaran.
6. Potensi Kemerdekaan, potensi ini mendorong manusia untuk
merdeka agar tidak terbelenggu dari perbudakan kecuali atas dasar
kemauan sendiri.
7. Potensi Keadilan, potensi ini mendorong manusia untuk mencari
dan menegagkan keadilan di bumi ini.
8. Potensi Persamaan, potensi ini mendorong manusia untuk
membangun persamaan hak dan perlakukan tanpa adanya
deskriminasi ras, suku, agama, bahasa, etnik dll.
9. Potensi individu, potensi ini mendorong manusia untuk hidup
mandiri, bertanggung jawab atas segala perbuatannya, menjaga diri
dan kehormatannya, serta menjaga keselamatan diri dan hartanya.
Tujuannya agar manusia mampu memcahkan masalah yang akan
dialaminya.
10. Fitrah Sosial, potensi ini mendorong manusia untuk melakukan
kerjasama, hidup berdampingan, bergotong royong, saling
membantu, dll.
11. Potensi Seksual, potensi ini mendorong manusia untuk mempunya
hubungan dengan lawan jenis, membangun rumah tangga, dan
memiliki keturunan.
12. Potensi Ekonomi, potensi ini mendorong manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan melakukan aktivitas yang
menghasilkan ekonomi.

80
13. Potensi politik, potensi ini mendorong manusia untuk membangun,
menguasai dan melindungi kehidupan dan menciptakan
kesejakteraan bersama.
14. Potensi Seni, potensi ini mendorong manusia untuk menyukai seni
dengan tujuan agar dapat mengembangkannya. (Solichin, 2007:9)
Berdasarkan pendapat diatas, bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dengan tujuan agar
dalam menjalankan kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan kedua
pendapat diatas dapat di atas pada intinya fitrah atau potensi-potensi tersebut
sudah ada dalam dirinya sejak lahir, baik potensi jasmani atau rohani.
3. Pengembangan Fitrah
Dalam pengembangan fitrah pada manusia terdapat tiga faktor yaitu:

1. Faktor Pendidikan
Pembahasan mengenai pendidikan, kehidupan manusia tidak dapat
lepas dari proses pendidikan, mulai saat dalam kandungan hingga
dewasa. Selain itu, manusia juga merupakan subjek dan objek utama
dalam pendidikan. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan
dengan sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya. Menurut
Suharto, mengatakan banyak para ahli yang mengartikan manusia
sebagai al-Attas, maksudnya manusia adalah makhluk yang memiliki
potensi untuk memahami berbagai makna-makna yang tidak dapat
dipahami oleh makhluk lainnya, serta manusia juga mampu
merumuskan sesuatu menjadi sebuah ilmu yang mana perumusan
tersebut dilakukan dengan melakukan penelitian dan pengamatan.
Potensi itulah yang membentuk daya pikir yang sehat bagi manusia
(Suharto, 2016:66)
Ketika manusia dilahirkan ke bumi telah memiliki potensi yang
dapat membantu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini.

81
Potensi-potensi itu tidak akan muncul jika tidak di dorongan melalui
pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam mengembangkan potensi
manusia. Dalam mengembangkan potensi ini terdapat berbagai faktor
salah satunya pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan dengan sadar
antara pendidik dan peserta didik. Tujuan pendidikan dilakukan yaitu
membentuk akhlak manusia, menambah ilmu pengetahun dan
menumbuh kembangkan potensi bawaanya. Menurut Taher dalam
Lestari, mengungkapkan dalam mendidik anak pun harus
menggunakan metode yang tepat agar ilmu yang diberikan dapat
tersampaikan dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya. Dengan
pendidikan yang tepat dapat mengembangkan potensi dalam dirinya.
Potensi yang dimaksud merupakan suatu kemampuan yang telah
tertanam dalam diri semua manusia tanpa terkecuali. (Lestari, 17)
Sehubungan dengan itu dalam Islam, pendidikan berkewajiban
untuk mengembangkan fitrah-fitrah diatas agar dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan ajaran agama. Maksudnya pendidikan
harus bisa mengembangkan seluruh potensi dasar yang telah di
anugerahkan oleh Allah SWT kepada dirinya, terutama potensi rohani
dengan tidak melupakan potensi jasmaninya. Sebagaimana Imam
Ghazali berpendapat bahwa pendidikan Islam harus mengoptimalkan
potensi rohani dan jasmaninya. (Abduh, 1992:3).
Pengembangan potensi manusia yang dibawa menurut Conny
dalam Asy’ari mengungkapkan bahwa pendidikan Islam dengan tujuan
mengembangkan fitrah harus berdasarkan dengan nilai-nilai ilahiyah.
Pendidikan seperti ini tidak hanya sekedar membagikan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga pendidik harus melihat aspek sosial
dimana anak tersebut tinggal. Oleh karena itu pendidikan Islam harus
memperhatikan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, moral dan

82
keimanan yang mana fitrah manusia yang lurus, sebagai upaya untuk
meningkatkan dan mengoptimalkan potensi-potensi bawaanya.
(Asy’ari, 1988: 98)
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan pada
hakikatnya pendidikan merupakan suatu proses secara alami yang
tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Karena tanpa disadari manusia
setiap harinya melakukan pendidikan. Sedangkan dalam Islam,
pendidikan Islam diberikan bertujuan agar menciptakan
manusiamanusia yang berakhlak muslim baik rohani maupun jasmani,
mampu menjadikan segala perbuatakan sebagai amal untuk
mendapatkan keridhoan Allah, serta menjadi manusia-manusia yang
beriman dan berilmu pengetahuan sehingga padat menjalankan
tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT.
2. Faktor Lingkungan Dalam.
Sebagai pendidika pertama, keluarga juga merupakan pendidik
utama dalam kehidupan anak. Maka pendidikan yang paling banyak
diterima anak ada pada keluarga. Oleh karena itu, Gilbert Highest
dalam Jalaluddin, mengatakan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk
pada anak itu sebagian besar dari pendidikan yang diberikan dalam
keluarga. Dari mulai tidur hingga tidur kembali anak akan
mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarganya. Jalaluddin
(2019:253). Anak merupakan amanah bagi orangtua yang harus dijaga
laksana permata, baik atau buruknya pribadi anak tergantung
bagaimana cara orangtua dalam mendidiknya.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam
mengembangkan fitrah anak. Karena unit pendidikan pertama bagi
anak ada pada orangtuanya. Thalib dalam Hartini, mengatakan
orangtua berkewajiban mendidik anak-anak dengan melakukan hal-hal
berikut:

83
a. Membiasakan anak mendengarkan ucapan-ucapan yang baik.
b. Mengajarkan anak berbicara yang baik dan Islami.
c. Membiasakan anak melakukan adab yanng sesuai dengan
ajaran Islam sehari-hari.
d. Membiasakan anak membaca doa-doa.
e. Mengajarkan anak membaca Alquran.
f. Menjauhkan dan mengawasi anak dari sifat dan sikap tercela.
g. Mendidik anak menghormati orangtua. Hartini (2011:41)
Pengaruh pendidikan orangtua bagi anak, yang mana pendidikan
tersebut dapat menentukan ia dimasa yang akan datang. Lingkungan
keluarga juga dapat memberikan pengaruh positif dan negatif dalam
menumbuh kembangkan akhlak dan fitrah anak. (Ramayulis,
1994:146). Keluarga sangat berperan penting dalam mengembangkan
fitrah anak. Didikan orangtua yang diberikan dengan penuh rasa
sayang dan cinta baik dalam hal agama maupun sosial merupakan
peluang yang dapat mempersiapkan anak menjadi manusia yang
berakhlaq dan beriman. Bagi anak, keluarga merupakan lingkungan
berpengaruh pertama setelah, sekolah dan lingkungan sekitarnya.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama untuk amak,
maka dari itu. Peran keluarga dalam mengembangkan fitrah anak
sangatlah penting.
3. Faktor Lingkungan Luar.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan di dasari berbagai potensi
yang di milikinya untuk dikembangkan. Manusia sebagai makhluk
sosial membutuhkan pengaruh lingkungan untuk pertumbuhan dan
perkembangan dirinya. Dalam proses perkembangannya manusia akan
mengalami interaksi atau saling mempengaruhi antara potensi dan
lingkungan sekitarnya, semasa hidupnya. Sebagaimana menurut Arifin
lingkungan dapat terbagi menjadi dua yaitu lingkungan disengaja dan

84
tidak disengaja. Lingkungan disengaja seperti pendidikan, kebudayaan,
dan masyarakat. Sedangkan lingkungan tidak disengaja seperti
lingkungan alam dan lingkungan hidup. Akan tetapi semua lingkungan
tersebut mempunyai pengaruh yang bersifat mendidik, baik itu
lembaga pendidikan formal maupun non formal. (Arifin, 1977:145)
Hal ini menunjukan bahwa dalam proses perkembangan manusia
tidak selalu dilakukan melalui lembaga pendidikan saja, melainkan
juga dapat dilakukan di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
teman sebaya atau lingkungan masyarakat. Karena manusia sebagai
makhluk yang mempunyai berbagai potensi memerlukan pendidikan,
bimbingan, dan arahan agar potensinya itu dapat tumbuh dan
berkembang sesuai ajaran agama. Maka dalam mewujudkan
pengembangan fitrah yang sesuai dengan ajaran agama perlunnya
selektif dalam memilih lingkungan untuk bersosialisasi, sebagaimana
dalam hadits.

‫الر ُج ُل َعلَى ِدي ِن َخلِيلِ ِه َف ْلَيْنظُ ْر‬


َّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫َأح ُد ُك ْم َم ْن خُيَالِ ُل‬
َ
Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
"Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, karenanya hendaklah
salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman."
(H.R at-Tirmidzi no 2300).
Dalam hadits tersebut menjelaskan teman merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi baik buruknya agama seseorang.
Berteman dengan yang memiliki ketaatan yang baik dalam agama,
maka akan ikut terpengaruh, mendapatkan manfaat, dan amal yang
shalih. Begitu pun berteman dengan seseorang yang buruk dalam
agamanya akan ikut terpengaruh. Pengaruh-pengaruh teman sebaya
baik secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi

85
perkembangan fitrah beragama anak. Maka Islam mengajarkan untuk
berhati-hati dalam memilih teman.
Selain itu lingkungan sekolah dan masyarakat juga ikut berperan
dalam mengembangkan fitrah. Dalam lingkungan sekolah Gillesphy
dan Young dalam Jalaluddin dalam buku psikologi agama (2019:257),
membuktikan bahwa pendidikan agama yang diberikan disekolahpun
ikut berpengaruh dalam membentuk dan menentukan keimanan
seorang anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya tokoh-tokoh agama
yang berasal dari sekolah-sekolah agama seperti pondok pesantren.
Sedangkan lingkungan masyarakat anak akan lebih banyak
menghabiskan waktunya, ini menunjukan masyarakat ikut berperan
dalam mengembangkan potensi dalam diri anak. Sebagaimana
Menurut Buchor dalam Jalaluddin dalam buku psikologi agama
(2019:259), Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai
usia dewasa, tetapi pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur
hidup. Hal ini menunjukan bahwa pada masa pendidikan disekolah
hanya berjalan selama waktu tertentu. Sebaliknya, didikan
dimasyarakat akan berjalan seumur hidup. Ini menunjukan besarnya
pengaruh masyarakat dalam membentuk jiwa keberagamaan anak.
Maka dapat disimpulkan setiap manusia membawa potensinya
masing-masing, namun potensi tersebut masih lemah dan
membutuhkan pengaruh dari luar dirinya untuk mengembangkannya.
Oleh karena itu, pengaruh teman sebaya, sekolah, dan lingkungan
masyarakat ikut berperan dalam mengembangkan fitrah atau potensi
yang dibawa.

86
BAB IV

ANALISIS HADITS RIWAYAT MUSLIM NO. 4803 TERHADAP


PERAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK AQIDAH ANAK
A. Analisis Peran Orang Tua Berdasarkan Hadits Riwayat Muslim NO.
4803
1. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yang lurus yakni
tauhid.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT, sebagai makhluk yang
sempurna di antara makhluk lainnya. Karena manusia diberikan akal
untuk berfikir agar dapat mengembangkan kemampuan dasar yang
dibawanya yaitu fitrah.
Menurut Abdullah, fitrah disebut dengan istilah agama yang lurus.
Maksudnya semua manusia yang dilahirkan sudah membawa potensi
memiliki agama yang lurus yaitu agama tauhid (Islam). (Santosa,
2018:142). Sedangkan menurut Jalaluddin, fitrah tauhid ditunjukan
dengan adanya keinginan manusia untuk patuh pada Tuhan-Nya. Pada
hakikatnya setiap manusia memiliki sifat tersebut. (Jalaluddin, 2003:18).
Berdasarkan pendapat diatas fitrah merupakan sifat dasar yang
dimiliki setiap manusia, yang mana sifat tersebut terdapat potensi-potensi
didalamnya. Setiap manusia sebelum dirinya dilahirkan, telah berada
dalam keadaan fitrah yang lurus, karena mereka telah melakukan
perjanjian dengan Allah SWT, saat berada dalam ruh atau sulbi ibu
mereka untuk selalu beriman kepada Allah SWT, menjalankan segala
perintah dan larangan-Nya. sebagaimana dalam Q.S Al-Araf: 172:

87
‫ك ِم ۢ ْن بَيِن ْٓي اٰ َد َم ِم ْن ظُ ُه ْو ِر ِه ْم ذُِّريََّت ُه ْم َواَ ْش َه َد ُه ْم َع ٰلٓى اَْن ُف ِس ِه ۚ ْم‬ ِ
َ ُّ‫َوا ْذ اَ َخ َذ َرب‬
‫ت بَِربِّ ُك ۗ ْم قَالُْوا َب ٰل ۛى َش ِه ْدنَا ۛاَ ْن َت ُق ْولُ ْوا َي ْو َم الْ ِقٰي َم ِة اِنَّا ُكنَّا َع ْن ٰه َذا ٰغ ِفلِنْي ۙ َن‬
ُ ‫اَلَ ْس‬
١٧٢ –
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Berdasarkan tafsir ibnu katsir, menerangkan Allah SWT,
menyampaikan bahwa Dia mengeluarkan anak keturunan Adam dari
tulang sulbi mereka dalam keadaan bersaksi terhadap dirinya sendiri
bahwa Allah adalah Tuhan mereka dan tidak ada ilah yang berhak untuk
disembah selain Dia.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia
memiliki kecenderungan untuk mengenal Allah SWT dan mengesakan-
Nya. Jadi, sebelum manusia dilahirkan kedunia telah bersaksi di alam ruh,
bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Setelah ia bersaksi dan mengakui
Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa, barulah ia dilahirkan kedunia.
Maka setelah dilahirkan, setiap manusia baik yang lahir dari orangtua
muslim atau non muslim ia memiliki kecenderuangan tersebut. Selain itu
juga, Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan yang hanif atau
kecenderungan untuk mencari kebenaran. Begitu pun agama Islam berada
pada agama yang hanif yang sesuai dengan fitrah manusia. Maka tidak
ada alasan bagi setiap manusia untuk tidak beriman kepada Allah SWT
dan tidak menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Akan tetapi karena manusia
melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, maka manusia akan
mengalami perubahan baik itu dalam hal yang benar atau salah. Oleh

88
karena itu, pendidik berkewajiban untuk meluruskan manusia agar tetap
pada agama yang lurus, agama tauhid yaitu Islam. Jika fitrah yang lurus
ini keluar dari asalnya itu karena adanya pengaruh dari luar.
Menurut al-Maraghi dalam Santosa, mengatakan fitrah
berkecenderungan untuk dapat menerima kebenaran. Karena fitrah
manusia cenderung untuk mencari dan menerima kebenaran, meskipun
hanya ada dalam hati kecilnya. Ada masanya manusia menemukan
kebenaran tetapi karena faktor luar yang mempengaruhi menjadikan
manusia berpalng dari kebenaran yang didapatnya. (Santosa, 2018:143).
Faktor luar yaitu orangtua, pendidikan, dan lingkungan. Apabila orangtua,
pendidikan dan lingkungannya memberikan pengaruh tidak baik maka
kelak anak pun menjadi tidak baik. Begitu pun sebaliknya, apabila anak
mendapatkan pengaruh dan didikan yang baik dari orangtua dan
lingkungannya maka anak akan tumbuh menjadi manusia yang baik pula.
Adapun Ibnu Katsir mengartikan fitrah yaitu dengan mengakui Allah
SWT atau bertauhid. Bahwa setiap anak sejak dilahirkan membawa fitrah
tauhid atau berkecenderungan untuk taat pada Allah SWT sebagai
Tuhannya serta berusaha untuk terus mencari dan mencapai ketauhidan
(Saryono, 2016:166)
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa tauhid telah dimiliki setiap
manusia sebagai potensi. Potensi tersebut haruslah dijaga dan
dikembangkan dengan benar sesuai ajaran Islam agar mendapatkan
kebahagian dunia dan akhirat. Maka dari itu, potensi tauhid yang telah
ditanamkan dalam diri manusia, tidak adanya alasana bagi manusia untuk
tidak beriman kepada Allah atau mengingkari-Nya, sebagaimana dalam
surat Al-Araf ayat 172.

89
2. Fitrah yang dibawa anak sejak lahir tidak dapat berkembang tanpa
adanya pengaruh pendidikan.
Sebelum membahas pada perkembangan fitrah yang dibawa anak,
maka penulis akan membahas tentang pendidikan terlebih dahulu.
Pendidikan menurut istilah Yunani berarti paedagogie yang berarti
memberikan bimbingan kepada anak. (Syafil & Zen, 2017:26).
Sedangkan menurut Anwar, pendidikan merupakan suatu hal yang dapat
membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan dapat belajar dengan
menggunakan insting yang ada. Sedangkan manusia belajar dengan
tujuan agar dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik (Anwar,
2014:62).
Jika dalam sudut pandang Islam, pendidikan Islam merupakan upaya
yang diberikan kepada anak agar kelak pendidikan yang diberikan dapat
dipahami dan diamalkan serta menjadikan ajaran-ajaran agama sebagai
pedoman hidup (Anshari, 1976:85).
Menurut Ahmid, pendidikan Islam adalah upaya untuk membentuk
dan mengembangkan fitrah dan potensi manusia dengan diberikannya
pendidikan dan arahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam, sehingga dapat
menjadi pribadi muslim yang mampu bertanggung jawab dalam
menjalankan kehidupan berdasarkan nilai-nilai Islam (Ahmid, 2010:19)
Berdasarkan penjelasan diatas maka jelas bahwa pendidikan Islam
merupakan bimbingan yang diberikan kepada anak dengan tujuan agar
dapat mengembangkan fitrah dan potensi manusia yang berlandaskan
ajaran-ajaran Islam sehingga menjadikan agama sebagai pedoman dasar
dalam menjalankan kehidupan dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat serta membentuk pribadi yang beriman kepada Allah SWT. Oleh
karena itu sangat jelas bahwa pendidikan Islam dengan menanamakan
pendidikan tauhid yaitu pendidikan pertama dan utama yang harus

90
seharusnya diberikan pada anak baik dalam keluarga, sekolah, ataupun
masyarakat.
Setelah menjelaskan tentang pendidikan Islam, maka penulis akan
menjelaskan perkembangan fitrah yang dibawa anak sejak lahir melalui
pendidikan Islam. Menurut Ibnu Qayyim Lafaz dalam Al-Asqalani
(2014:440), keadaan fitrah bukan berarti pada saat anak lahir dari perut
ibunya lansung sudah mengenal Tuhannya dan apa agamanya. Melainkan
perlu adanya bimbingan, arahan, dan pendidikan yang diberikan orangtua
kepada anak untuk mengembangkan fitrah yang dimilikinya. Karena anak
sejak lahir hingga meninggal akan mengalami perubahan pertumbuhan
dan perkembangan baik jasmani dan rohani. Perubahan tersebut bertujuan
agar anak dapat berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar. Melalui pengaruh luar seperti pendidikan dapat mengembangkan
fitrah dan potensi dasar yang dimilikinya. Sebagaimana dalam Q.S al-
Alaq: 3-4:

٣- ‫ك ااْل َ ْكَر ۙ ُم‬ ِ


َ ُّ‫ا ْقَرْأ َو َرب‬
٤- ‫الَّ ِذ ْي َعلَّ َم بِالْ َقلَ ۙ ِم‬
Artinya: “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang
mengajar (manusia) dengan pena.”
Berdasarkan Tafsi Ibnu Katsir dalam atsar disebutkan “Ikatlah ilmu
itu dengan tulisan”. Selain itu dalam tasar juga disebutkan “Barang siapa
mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan
kepadanya apa yang tidak diketahui sebelumnya.”
Berdasarkan ayat diatas bahwa manusia tanpa adanya proses
pendidikan atau pembelajaran, maka ia tidak akan mengetahui apapun
baik yang berhubungan dengan dunia maupun akhirat. Serta pendidikan
sangatlah penting dalam upaya mengembangkan fitrah tauhid yang
dimiliki setiap manusia. Fitrah dapat berkembang dengan baik tidak lepas

91
dari faktor lingkungan dan pendidikan. Menurut Achmad (1984:40)
Perkembangan manusia berdasarkan faktor bawaan dan faktor
lingkungan. Faktor bawaan yang dimaksud yaitu potensi yang dibawa
sejak lahir yang dapat berkembang melalui pendidikan. (Muslim, 1995:
29). Oleh karena itu, melalui pendidikanlah pengetahuan manusia dapat
berkembang, bahkan fitrah yang dibawanya itu tidak dapat berkembang
tanpa adanya pengaruh dari luar atau lingkungan. Bahkan dalam Islam
pendidikan merupakan suatu kebutuhan. Allah SWT mewajibkan kepada
setiap hamba-Nya untuk menuntut ilmu dengan berbagai pengetahuan
agar mengetahuan tujuan penciptaan dirinya sebagai khalifah di bumi dan
hamba-Nya.
Terdapat beberapa sudut pandang mengapa manusia perlu pendidikan
yaitu:
1. Aspek Psikologi, Manusia merupakan makhluk yang akan
mengalami perubahan karena adanya bimbingan yang diberikan
dari lingkungan sekitar. Serta manusia memiliki potensi untuk
tumbuh dan berkembang apabila didukung dengan pendidikan.
2. Aspek Sosiologi, Manusia merupakan makhluk sosial yang saling
bergantungan satu sama lainnya yang sifat dasar ini sudah dimiliki
manusia sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu karakter dasar manusia
sebagai makhluk sosial akan berkembang sehingga membangun
kebudayaan dengan baik apabila melalui pendidikan.
3. Aspek Kultur, Budaya dapat menjadi landasan pendidikan,
maksudnya pendidikan dapat dipengaruhi oleh perkembangan
budaya. Sebaliknya melalui pendidikan akan mengahasilkan
kebudayaan-kebudayaan yang baru dan mengembangkan
kebudayaan yang lama. Oleh karena itu, adanya humbungan timbal
balik antara budaya dan pendidikan yaitu budaya dapat menjadi

92
dasar pendidikan dan pendidikan dapat mengembangkan
kebudayaan yang ada maupun baru. (Yusuf, 2018: 63-67)
Berdasarkan berbagai aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada hakikatnya manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan
karena pendidikan dapat mengembangkan potensi yang dibawa
manusia. Baik dalam mengembangkan bakat, moral, fitrah beragma,
jasmani maupun rohani.
3. Agama seorang anak tidak lepas dari cara orangtua dalam mendidik
dan membina.
Berbicara mengenai anak terdapat satu teori yang dibawa oleh John
Lock, menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan tidak membawa
suatu apapun seperti kertas putih, karena anak tidak membawa suatu
apapun maka orangtua dan lingkungannya yang memberikan gambar,
warrna dan menentukan isinya.
Pada dasarnya orangtua memiliki rasa cinta dan sayang yang Allah
SWT tanamkan pada hati mereka untuk anak-anaknya. Rasa inilah yang
mendorong orangtua untuk mendidik dan mengarahkan anak-anaknya
agar menjadi manusia yang shalih dan shalihah, yang berbakti kepada
orangtua dan bermanfaat bagi agama dan negaranya. Tanpa adanya rasa
sayang dan cinta, tidak mungking orangtua dapat bersabar dan berusaha
untuk mendidik dan merawat anak-anaknya.
Secara fitrah, anak memiliki sifat siap untuk menerima kebaikan
maupun keburukan. Maka orangtuanyalah yang dapat menentukan
kecenderungan mana yang akan diterima oleh anak. Sebagaimana dalam
hadits

93
‫ود ِإاَّل يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْر ِة‬
ٍ ُ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ما ِمن مول‬
َْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬
‫صَرانِِه َومُيَ ِّج َسانِِه‬
ِّ َ‫فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِِه َويُن‬
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam
kesucian (fitrah). Kemudian kedua orangtuanyalah yang akan
membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi”
Menurut As-Suyuthi dalam Syarah Suyuthi ‘alal Muslim.
Tidak ada seorang anak yang dilahirkan melainkan ia dalam keadaan
fitrah. Fitrah adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri mereka dari
dalam rahim/suri ibunya sampai ia dilahirkan, kemudian sesuatu itu mulai
berubah karena pengaruh orangtuanya.
Berdasarkan hadits diatas tidak terdapat menjelaskan bahwa kedua
orangtuanya menjadikan anaknya seorang muslim, karena setiap manusia
yang dilahirkan kedunia telah membawa potensi kecenderungan terhadap
Islam atau bertauhid kepada Allah SWT. Sehubungan dengan
memberikan keyakinan agama pada anak, memang anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, kemudian orangtua melalui pendidikan yang diberikannya
kepada anak yang menjadikan anak tersebut Islam, Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. Karena pada hakikatnya setiap manusia diciptakan dalam keadaan
selamat terbebas dalam keadaan kekufuran.
Kekufuran dapat terjadi tidak lepas dari peran orangtua, lingkungan
dan setan. Sebagaimana dalam Q.S Al-Araf: 16-17, yaitu:

١٦ – ‫ك الْ ُم ْستَ ِقْي ۙ َم‬ َ َ‫ال فَبِ َمٓا اَ ْغ َو ْيتَيِن ْ اَل َ ْقعُ َد َّن هَلُ ْم ِصَراط‬َ َ‫ق‬
‫َّه ْم ِّم ۢ ْن َبنْي ِ اَيْ ِديْ ِه ْم َو ِم ْن َخ ْل ِف ِه ْم َو َع ْن اَمْيَاهِنِ ْم َو َع ْن مَشَاۤ ِٕىلِ ِه ۗ ْم َواَل جَتِ ُد‬ ِ
ُ ‫مُثَّ اَل ٰتَين‬
١٧ – ‫اَ ْكَثَر ُه ْم ٰش ِك ِريْ َن‬
Artinya: (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku,
pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,
kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang,

94
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur.”
Berdasarkan Tafsir Ibnu Katsir, Sebagaimana Engkau telah
menjadikanku tersesat, maka aku akan menghadang hamba-hamba-Mu
yang Engaku ciptakan dari keturunan Adam, sebab dia Engaku
menjauhkanku dari jalan kebenaran dan keselamatan. Dan aku juga akan
menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dan keselamatan, suapaya
mereka tidak menyembah dan mengesakan-Mu, karena Engkau telah
menyesatkanku.
Aku akan jadikan mereka ragu akan kehidupan akhirat mereka. Aku
akan jadikan mereka cinta kepada dunia. Aku akan jadikan urusan agama
samar-samar bagi mereka. Dan akan kujadikan mereka suka maksiat. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka mengesakan-Nya.
Berdasarkan penjelasan ayat diatas bahwa Iblis telah berjanji akan
menyesatkan manusia dari jalan kebenaran dan keselamatan, agar
umatnya tidak menyembah-Nya. Supaya hal tersebut dapat dihindari
maka orangtua memiliki tanggung jawab yang besar untuk menumbuhkan
tauhid, menjaga fitrah anak karena pada dasarnya anak telah membawa
fitrah yang lurus yaitu taat kepada Allah SWT, maka tugas orangtua
adalah menjaga, memelihara, menyuburkan, dan memupuk dengan ilmu
atau pendidikan agama dengan benar yang sesuai dengan alquran dan as-
sunnah. Ahmad Tafsir dalam Salim (2013-154), orang tua adalah yang
paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Menurut
Syamsuar (2009: 1) menyebutkan Orang tua memiliki peran penting
dalam membimbing, mengarahkan, dan mendampingi anak-anaknya
dalam pendidikan. Karena anak adalah amanah yang Allah berikan
kepada orangtuanya yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya.
Jika amanah itu dijaga dengan baik yaitu dengan memberikan pendidikan
yang benar, maka orangtuanya akan memperoleh pahala, tetapi jika

95
orangtuanya tidak menjaga amanah itu dan menyebabkan anak-anaknya
menyimpang dari agama, maka orangtuanya berdosa karena telah
mengabaikan amanah itu. Ini menunjukan tanggung jawab orangtua
terhadap anak tidaklah mudah. Anak diciptakan oleh Allah dengan
diberikan kecenderungan kearah yang baik dan buruk. Maka tugas
orangtua adalah menggunakan kecenderungan tersebut untuk
mengarahkan kepada jalan yang baik dengan mendidik dan membiasakan
anak-anaknya sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan fitrahnya.
Agar fitrah anak tidak menyimpang dari ajaran agama, orangtua atau
keluarga adalah sebagai pendidik pertama dan utama terhadap fitrah anak.
Maka jika terjadi penyimpangan-penyimpangan pada anak itu disebabkan
karena kurangnya kewaspadaan orangtua terhadap pendidikan dan
perkembangan anak.
Dengan demikian, Thalib dalam Hartini (2011:41) mengatakan
orangtua berkewajiban mendidik anak-anak dengan melakukan hal-hal
berikut:
h. Mendengarkan ucapan-ucapan yang baik.
i. Mengajarkan anak berbicara yang baik dan Islami.
j. Membiasakan anak melakukan adab yanng sesuai dengan ajaran
Islam sehari-hari.
k. Membiasakan anak membaca doa-doa.
l. Mengajarkan anak membaca Alquran.
m. Menjauhkan dan mengawasi anak dari sifat dan sikap tercela.
n. Mendidik anak menghormati orangtua.
Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik anak-
anaknya karena lingkungan keluarga yang pertama memberikan
pendidikan kepada anak. Gilbert Highest dalam Jalaluddin (2019:253),
menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh anak

96
sebagain besar terbentuk dari pendidikan keluarga. Mulai bangun tidur
hingga tidur kembali, anak mendapatkan pengaruh dan pendidikan dari
keluarga atau orangtua. Serta besarnya pengaruh pendidikan yang berikan
orangtua kepada anaknya, karena mereka dapat menentukan keadaan
anaknya dimasa yang akan datang. Seperti memiliki andil yang sangat
besar dalam menentukan arah keimanan anak. seorang anak yang beraga
Islam karena orangtuanya beragama Islam.
Begitupun sebaliknya, seorang anak yang beragama Yahudi, Nasrani,
dan Majusi karena orangtuanya menganut agama tersebut. Sebagaimana
menurut pendapat para persyarah hadits, orangtua dapat mentukan arah
keyakinan anaknya, karena setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi
untuk mengenal dan menyembah Allah SWT. Potensi tersebut diberikan
oleh Allah jauh sebelum ia dilahirkan ke dunia, tetapi keyakinan seperti
apa yang dimilikinya tergantung bagaimana orangtua mendidik, membina
dan mengarahkannya.
4. Agama anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat anak
tinggal dan bersosialisasi.
Lingkungan sosial terbagi menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa keberagamaan seorang anak.
lingkungan sosial yang akan dibahas pada bagian ini adalah lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat.
Fungsi dan peran sekolah adalah pelanjut dari pendidikan keluarga.
Sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak untuk bersosialisasi
dengan teman sebayanya, membentuk kepribadian, dan keimanan anak.
Gillesphy dan Young dalam Jalaluddin dalam buku psikologi agama
(2019:257), membuktikan bahwa pendidikan agama yang diberikan oleh
keluarga lebih berpengaruh dalam menentukan arah keimanan dan
perilaku pada anak, tetapi pendidikan agama yang diberikan disekolahpun

97
ikut berpengaruh dalam membentuk dan menentukan keimanan seorang
anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya tokoh-tokoh agama yang berasal
dari sekolah-sekolah agama seperti pondok pesantren.
Sedangkan menurut Dimyati menyatakan bahwa lingkungan sekolah
merupakan tempat yang dapat membentuk suatu pergaulan siswa yang
berada disekolah dengan adanya interaksi antar guru dan siswa, siswa dan
siswa. Dimyati (2009:252)
Hubungan teman sebaya (siswa dan siswa) diharapkan dapat menjadi
salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh yang positif, hal ini
dapat terjadi apabila memiliki cara berfikir dan berprilaku yang sama,
sehingga akan memiliki kebiasaan yang baik. Seorang anak akan
mengikuti teman sebayanya jika hubungan yang dimilikinya dapat
berjalan dengan baik. Contohnya, pada saat teman sebayanya pergi untuk
mengaji, karena ia dan temannya sudah memiliki hubungan yang baik,
maka ia akan mengikuti temannya mengaji dengan sendirinya tanpa
paksaan. Maka dari itu, salah satu yang harus diperhatikan oleh orangtua
dengan baik adalah dalam memilih lingkungan tempat anak bermain dan
sekolah. Dalam memilih teman merupakan hal yang sangat penting
karena dalam membiasakan dan menumbuhkan nilai-nilai agama pada
diri anak tidak hanya dipengaruhi oleh orangtua saja, tetapi juga teman
sebaya ikut berperan dalam memberikan pengaruh. Maka dari itu,
memilih teman bukan suatu hal yang dapat diremehkan. Seperti dalam
hadits,
ِِ ِ ِ َّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫قَ َال رس‬
َ ‫الر ُج ُل َعلَى دي ِن َخليل ه َف ْلَيْنظُ ْر‬
‫َأح ُد ُك ْم‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫َم ْن خُيَالِ ُل‬
Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
"Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, karenanya hendaklah
salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman."
(H.R at-Tirmidzi no 2300).

98
Berdasarkan hadits tersebut menjalaskan bahwa teman merupakan
salah satu yang dapat mempengaruhi keimanan agama seseorang baik
secara langsung atau tidak. Ketika anak berteman dengan seseorang yang
baik agamanya, maka anak akan ikut terpengaruhi. Begitupun sebaliknya,
anak berteman dengan seseorang yang tidak baik agamanya, maka anak
pun akan terpengaruhi. Oleh karena itu, dalam Islam memerintahkan agar
lebih selektif dalam memilih teman dekat. Baik buruknya sikap seseorang
tergantung perilaku keagamaan yang dilakukannya.
Melihat banyaknya anak remaja melalukan pergaulan yang
menyimpang dari agama, karena mereka belum menyadari dampak yang
akan terjadi pada dirinya. Perilaku keagamaan anak remaja yang
menyimpang dapat dipengaruhi oleh faktor orangtua, teman sebayanya
dan tempat tinggal. Oleh karena itu, agar anak dapat terhidar dari
penyimpangan agama maka harus didukung dengan lingkungan pergaulan
yang baik dan lingkungan tempat anak tinggal.
Selanjutnya lingkungan masyarakat, hubungan anak dengan
masyarakat juga ikut berperan penting dalam dalam menumbuhkan nilai-
nilai agama pada diri anak. Contoh, apabila pada suatu masyarakat
terdapat kebiasaan yang baik, seperti setiap hari minggu terdapat kegiatan
gotong royong dengan memiliki tujuan agar terjalin silaturahmi, setiap
hari sabtu terdapat kegiatan rutin mengaji, dan sebagainya. Hal ini dapat
menjadi bagian yang berpengaruh terhadap pemahaman anak. Maka anak
akan mengikuti pembiasaan tersebut. Sehingga perlunya menciptakan
pembiasaan yang baik agar memberikan pemahaman yang baik pula
kepada anak.
Menurut Buchor dalam Jalaluddin dalam buku psikologi agama
(2019:259), Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia
dewasa, tetapi pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal
ini menunjukan bahwa pada masa pendidikan disekolah hanya berjalan

99
selama waktu tertentu. Sebaliknya, didikan dimasyarakat akan berjalan
seumur hidup. Ini menunjukan besarnya pengaruh masyarakat dalam
membentuk jiwa keberagamaan anak.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga,
sekolah dan lingkungan masyarakat sama-sama memiliki pengaruh bagi
jiwa keberagamaan anak. Apabila anak berada dilingkungan yang baik
maka akan memberikan pengaruh yang baik pula dan begitupun
sebaliknya lingkungan yang tidak baik akan memberikan pengaruh yang
tidak baik pula bagi perkembangan perilaku dan keimanan anak.
Dengan demikian perlunya kerja sama antara keluarga, sekolah dan
masyarakan sehingga anak akan menjadi sempurna kepribadiannya baik,
rohani, jasmani, akal dan mental.
B. Implikasi Pendidikan Islam Dari Hadits Riwayat Muslim No. 4803
Terhadap Peran Orangtua Dalam Mendidik Aqidah Anak

Peran orangtua dalam hadits ini ada pada redaksi hadits ُ‫ فَ ََأب َواه‬yang
artinya orangtua, lafaz tersebut menunjukan bahwa orangtua merupakan
pendidik pertama dan utama bagi anak terutama pendidikan agama, sangat
fatal apabila pendidikan ini diserahkan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga
pendidikan. Karena pendidikan agama bagi anak dalam keluarga memiliki
kedudukan yang sangat penting. Sudah seharusnya pendidikan agama
diajarkan pada anak sebagai pemahaman pertama yang didapat dalam
keluarga.
Bagi seorang muslim orangtua memiliki tanggung jawab besar dalam
mendidik anak-anaknya sehingga dapat terhindar dari hal-hal yang
menyimpang. Maka dari itu pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat
diabaikan begitu saja karena tujuan pendidikan agama dalam keluarga ialah
menumbuhkan aqidah yang kuat sehingga dapat membentuk akhlakul karimah
dalam diri anak.

100
Dalam membentuk kepribadian anak sejak dini mudah dilakukan, karena
anak pada usia dini berada dalam pengaruh lingkungan keluarga. Jika nila-
nilai agama dapat ditanamkan pada diri anak, maka perilakunya akan
didasarkan pada nilai-nilai agama. Hal ini menunjukan pentingnya pendidikan
agama bagi anak dalam keluarga, terutama dalam usia-usia pertumbuhan dan
perkembangan anak. Oleh karena itu sangat penting kedudukan orangtua
dalam pendidikan agama, sehingga tanggung jawab ini diberikan sebagai
salah satu bagian dari kewajiban orangtua kepada anaknya. Berkaitan dengan
kewajiban tersebut, maka hendaknya orangtua mengetahui apa dan bagaimana
pendidikan dalam keluarga.
Sehubungan dengan itu tujuan membentuk keluarga adalah mendapatkan
sakinah, mawaddah, warohmah dan melahirkan keturunan-keturunan yang
berakhlakul karimah, berilmu, dan beriman serta bertakwa kepada Allah.
Tujuan tersebut akan terwujud jika pendidikan agama terutama aqidah yang
pertama kali diberikan terutama pada anak sejak usia dini terutama pada usia
0-12 tahun, bahkan jauh sebelum itu yaitu sejak memilih jodoh. Karena sifat
orangtuanya dapat menurun kepada anak-anaknya. Jika ayah atau ibunya
memiliki sifat buruk, maka kemungkinan besar sifat tersebut akan menurun
pada anak-anaknya sehingga akan sulit dididik menjadi manusia yang
beriman. Maka langkah awal pendidikan agama dirumah yaitu menentukan
calon pasangan hidup dan mendidik anak sesuai ajaran Islam dimulai dari
dalam kandungan.
1. Menentukan calon pasangan hidup.
Fase ini biasa disebut juga pra natal, karena fase ini berada
sebelum anak lahir dan fase ini erat kaitannya dengan tujuan
pernikahan. Dalam Islam tujuan pernikahan adalah menciptakan
generasi-generasi yang shaleh dan shalehah. Maka dari itu, mulai dari
menentukan calon pasangan hidup sebagai bentuk mempersiapkan
pendidikan anak.

101
Salah satu syarat memilih pasangan hidup dalam Islam yaitu lebih
memprioritaskan agama sebagai kriteria pertama yang harus dipilih.
Mengapa agama yang diutamakan? Kerena dalam mencari pasangan
hidup yang baik merupakan hal yang sangat amat penting dalam
membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
Sebagaimana dalam dalam Hadits Riwayat Muslim,
ِ ‫ُتْن َكح الْمرَأةُ َأِلرب ٍع لِماهِل ا وحِل سبِها ومَج اهِل ا ولِ ِدينِها فَاظْ َفر بِ َذ‬
‫ات الدِّيْ ِن‬ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َْ ُ
ْ َ‫تَ ِرب‬
‫ت يَ َد َاك‬
Artinya: "Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara,
karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya.
Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung."
Menurut syarah shahih muslim dalam Imam An-Nawani jilid 7,
halamn 229.
Makna hadits, Nabi Muhammad SAW, menggambarkan kebiasaan
yang dilakukan orang-orang, dimana mereka menghendaki empat
kriteria tersebut, dan kriteria terakhir menurut mereka adalah wanita
yang beragama. Maka kamu wahai orang-orang yang mendapat
petunjuk, hendaklah memilih wanita yang beragama. Di dalam hadits
ini terdapat anjuran untuk berteman dengan orang yang mempunyai
kehidupan beragama yang baik dalam segala hal, sebab menemani
mereka bisa memetik manfaat dari akhlak, keberkahan, dan perilaku
baik mereka, seseorang tidak khawatir akan mendapatkan kerusakan
yang akan mereka timbulkan.
Berdasarkan penjelasan hadits diatas bahwa disebutkan memilih
agama ditempatkan pada urutan terakhir, tetapi bukan berarti agama
merupakan hal yang bisa diabaikan begitu saja, melainkan
menunjukan bahwa pentingnya memilih pasangan melihat dari
agamanya. Karena jika dari keluarga yang baiklah lahirnya generasi-
generasi yang baik pula. Serta, pasangan berpotensi menurunkan sifat-

102
sifat yang dimiliki kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, dalam
menentukan kualitas pendidikan bagi anak sangat ditentukan awal
mula pembentukan rumah tangga. Untuk membentuk keluarga yang
taat pada agama Allah maka harus dimulai dengan memilih pasangan
hidup yang shalih/shalihah. Dan untuk mendapatkan pasangan hidup
yang shalih/shalihah maka harus dimulai dari diri sendiri.
Selain itu yang terpenting dalam memilih calon pasangan adalah
memiliki agama yang sama. Karena anak yang lahir dari keluarga yang
memiliki dua agama yang berbeda memiliki dampak negatif, seperti
berebut pengaruh agama pada anak agar mengikuti agama yang
diyakininya, sehingga anak akan memiliki pemahaman bahwa semua
agama adalah benar. Anak yang tidak dididik dengan nilai-nilai agama
sejak dini sehingga pada saat dewasa anak memiliki pemahaman
bahwa agama tidak merasa penting. Contoh, jika anak tidak diberikan
pendidikan agama sejak dini dan bergaul dengan lingkungan yang
tidak beragama, maka anak akan terpengaruh dan menjadi tidak
beragama. Oleh karena itu dalam memilih pasangan hidup harus
dengan cara yang sesuai syariat Islam. Dalam membangun rumah
tangga akan tercipta harmonis dan bahagia, jika memiliki pasangan
yang sama atau sekufu antara calon laki-laki dan perempuan sehingga
tidak merasa terbebani dalam melaksanakan pernikahan dan
membangun rumah tangga. Adapun kriteria kafa’ah yang harus
diperhtikan dalam memilih pasangan, yaitu:
1. Nasab/keturunan.
Nasab merupakan adanya kesamaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal keturunan. Seperti asal usul dari bapak
atau ibunya. Hal ini biasanya sangat diperhatikan bagi bangsa
Arab dan menjadi kebanggan bagi mereka, jika memiliki
pasangan yang mempunyai nasab yang baik. sebagaimana

103
mazhab Hanafi, seorang laki-laki yang asing tidak sepadan
dengan perempuan Arab, walapun laki-laki tersebut adalah
seorang pengusaha atau ilmuan hebat.
2. Agama.
Agama merupakan faktor yang paling penting dalam
membangun rumah tangga agar mewujudkan keluarga yang
tenang, tentram, dan bahagia. Contoh, laki-laki fasik tidak
sepadan dengan perempuan sholehah, karena kedudukan
perempuan dalam keimanan lebih tinggi dibanding laki-
lakinya. Maka dalam memlih pasangan hidup hendaknya harus
mengetahui agamanya, apakah sama atau tidak.
3. Harta.
Dalam hal ini para ulama memeliki perbedaan pendapat.
Menurt Imam Syafi’I, ada yang menjadikan harta sebagi tolak
ukur kafa’ah. Jika orang fakir atau miskin tidak sepadan
dengan perempuan kaya, begitupun sebaliknya. Tetapi ada
yang berpendapat lain, bahwa kekayaan seseorang tidak
menjadi tolak ukur kafa’ah, karena kekayaan sifatnya tidak
menentu dan perempuan yang memiliki keimanan yang baik
tidak terlalu mementingkan kekayaan.
Ukuran harta disini adalah kemampuan seorang laki-laki
dalam membayar mahar pada saat akad nikah dan nafkah yang
diberikan kepada istri. Dalam Islam banyak para ulama
berpendadpat bahwa harta bukan menjadi tolak ukur pertama
dalam menentukan pasangan hidup karena harta bersifat tidak
menetap.
4. Pekerjaan.
Pekerjaan termasuk kedalam tolak ukur kafa’ah dalam
menentukan pasangan hidup. Contoh: perempuan yang

104
memiliki penghasilan lebih besar tidak sepadan dengan laki-
laki yang berpenghasilan lebih kecil. Selain itu juga anak yang
berasal dari keluarga pengusaha atau seorang ilmuan tidak
sepadan dengan anak tukang baso, tukang sampah dan
sebagainya. Pandangan seperti ini, tergantung pada adat
kebiasaan suatu daerah tertentu.
Menurut Imam Malik, tidak ada perbedaan antara harta dan
pekerjaan, semua ini didapatkan dari Allah SWT. pekerjaan
bagi golongan Imam malik merupakan suatu hal yang biasa
dan tidak perlu menjadi tolak ukur dalam menentukan
pasangan.
Adapun dasar hukum kafa’ah sebagaimana dalam Q.S An-Nur: 26,

‫ت لِلطَّيِّبِنْي َ َوالطَّيُِّب ْو َن‬ ُ ‫ت َوالطَّيِّٰب‬ ِ ۚ ‫ٰت لِْل َخبِْيثِنْي َ َواخْلَبِْي ُث ْو َن لِْل َخبِْي ٰث‬
ُ ‫اَخْلَبِْيث‬
ِ ۗ ‫مِم‬ ۤ ِ ۚ ‫لِلطَّيِّٰب‬
ٌ‫ك ُمَبَّرءُ ْو َن َّا َي ُق ْولُْو َن هَلُ ْم َّم ْغفَرةٌ َّو ِر ْز ٌق َك ِرمْي‬ َ ‫ت اُوٰل ِٕى‬
Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji
(pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki
yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang
baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang.
Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
Dalam tafsir ibnu katsir Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
mengatakan: “Wanita yang jahat hanya pantas bagi laki-laki yang
jahat. Wanita yang baik hanyalah pantas lagi laki-laki yang baik, serta
laki-laki yang baik hanya patut bagi wanita yang baik. perkataan ini
termasuk konsekuensi, yaitu tidaklah Allah menjadikan Aisyah sebagi
istri Rasulullah, melainkan dia adalah seorang wanita yang baik,
karena Rasulullah adalah manusia yang paling baik. Apabila Aisyah
tidak baik, tentu secara syar’I dia tidak pantas untuk beliau.
Berdasarkan penjelasan ayat diatas menunjukan Allah SWT, telah
menciptakan manusia berpasangan-pasangan, setiap hambanya sesuai

105
dengan kepribadian dirinya sendiri. Karena pasangan adalah dari
cerminan dirinya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan kafa’ah
atau sekufu antara laki-laki dan perempuan dalam membangun rumah
tangga harus didasari dengan adanya kesamaan visi misi, pola pikir
dan saling memahami, maka kehidupan rumah tangga akan
mendapatkan ketetangan, bahagia, tentran dan mendapatkan pahala
berlimpah dari Allah SWT. Begitupun sebalik, jika membangun rumah
tangga tidak didasari dengan kesamaan pemahaman maka terciptalah
permasalahan-permasalahan didalamnya. Dengan kafa’ah seseorang
berhak memilih pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan dalam
hal agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan sebagainya. Selain itu
dengan tujuan kafa’ah ialah memiliki kesamaan dan pemahaman
dalam menyikapi permasalahan yang ada sehingga dapat terhindar dari
krisis rumah tangga (perceraian).
2. Mendidik Anak secara Islami
Aqidah dalam pendidikan agama Islam berperan penting dalam
menumbuhkan keyakinan pada anak, sehingga menjadikan manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Menurut Omar Muhammad
Al-Toumy pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku
individu dalam kehidupan pribadi serta masyarakat melalui proses
pendidikan. Sementara Marimba (1989:9) berpendapat bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum Islam, sehingga terbentuknya kepribadian menurut
ajaran Islam.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan orangtua
memiliki peranan penting terutama dalam pendidikan Islam yang
memiliki tujuan untuk membentuk anak baik jasmani maupun rohani
yang berkepribadian muslim, yaitu meningkatkan keimanan,

106
pemahaman anak tentang agama, sehingga menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia
sehingga dapat menjaga dirinya agar terhindar dari siksa api neraka.
Maka dari itu dalam masalah pendidikan, Islam menempatkan
pendidikan aqidah di atas segalanya. Apabila pendidikan pertama yang
diterima anak dalam keluarga bukan aqidah, maka kelak anak akan
jauh dari Tuhan dan agama-Nya. Karena aqidah merupakan dasar
keimanan seseorang yang harus diyakini dalam hati, diucapkan dalam
lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan yang harus ditumbuhkan
kepada anak oleh orangtua. Sebagaimana nasehat Luqman kepada
anaknya dalam Q.S Luqman: 13

‫ٱلش ۡر َك لَ ۡظلُ ٌم‬ َ َ‫َوِإ ۡذ ق‬


‫ال لُ ۡق َٰم ُن لِٱ ۡبنِ ِهۦ َو ُه َو يَعِظُهۥُ يَٰبُيَنَّ اَل ۡت‬
ِّ ‫ِر ۡك بِٱللَّ ۖ ِه ِإ َّن‬qُ‫ش‬
‫يم‬ ِ
ٌ ‫عظ‬  َ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dalam tafsir ibnu katsir Allah SWT berfirman mengabarkan
tentang wasiat Lukman kepada putranya, agar beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa dengan tidak menyekutukan-Nya. Ini menunjukan
pentingnya kewajiban orangtua terhadap anak adalah menumbuhkan
nilai-nilai aqidah ke dalam dirinya, sehingga tidak ada yang berhak
disembah selain Allah. Karena syirik merupakan kezaliman yang
sangat besar.
Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
aqidah yang harus pertama kali diberikan kepada anak, karena ibarat
bangunan aqidah merupakan pondasi yang dapat mempengaruhi
seluruh bangunan. Terdapat banyak faktor yang dapat merusak akidah,
salah satunya pendidikan. Pendidikan yang lemah maka aqidah anak

107
akan mudah terpengaruh atau goyah. Maka dari itu pendidikan aqidah
harus diajarkan sedini mungkin. Bahkan dalam Islam dimulai saat
memilih pasangan, lalu pendidikan aqidah mulai ditanamkan pada saat
dalam kandungan, saat dilahirkan dan sesudah dilahirkan, sampai
masa pertumbuhannya.
Berikut pendidikan-pendidikan yang dapat dilakukan orangtua
dalam menumbuhkan nilai-nilai aqidah dalam diri anak.
1. Pendidikan sejak dalam kandungan.
Pada saat anak berada dalam kandungan ibu, ini merupakan
awal mula anak mendapatkan pendidikan, karena setiap
perilaku ibu sangat berpengaruh terhadap pembentukan
kepribadian dan pertumbuhan anak nantinya. Pendidikan yang
dilakukan ibu kepada anak dalam kandungan disebut dengan
prenatal yaitu pendidikan secara tidak langsung.
Sehubungan dengan itu, dalam Islam ibu merupakan
sekolah pertama bagi anak-anaknya yang mencetak generasi-
generasi yang beragama, berakhlak, dan sebagainya. Maka dari
itu, pendidikan yang dapat dilakukan ibu saat anak masih
dalam kandungan dengan cara memperbanyak melaksanakan
amal sholeh, dengan tujuan agar kelak anak memiliki
kesehatan baik jasmani dan rohani serta mendapatkan
ketetangan baik ibu dan anak.
Kegiatan-kegiatan agama yang dapat dilakukan ibu saat
hamil agar mendapatkan ketenangan dari kehamilan sampai
melahirkan yaitu dengan selalu mengingat Allah SWT, seperti:
a. Melaksanakan shalat, hal ini lakukan agar
mengingatkan kepada Allah, berserah diri kepada-Nya,
dan manfaat yang didapatkan dalam melaksanakannya
yaitu mendapatkan ketenangan karena kondisi psikis

108
ibu sangat mempengaruhi anak, selain kewajibannya
sebagai umat Islam.
b. Membaca Alquran, dengan memperbanyak alquran
selain mendapatkan pahala dan ibadah, juga pada saat
usia kandungan lima bulan waktu yang tepat untuk
membiasakan bayi mendengarkan ayat-ayat alquran
karena pada usia kandungan tersebut bayi sudah dapat
mendengar, walaupun masih dalam kandungan.
c. Bersedekah, sedekah merupakan keutamaan dalam
Islam serta bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas
diberikannya kenikmatan dan anugrah yang telah
diberikan kepada kita. Dengan bersedekah dapat
menyadari bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh
Allah hanyalah titipan dan dengan bersedekah dapat
menanakan nilai-nilai sosial dalam diri.
d. Berdzikir dan berdoa, dengan sering berdzikir dan doa
akan berpengaruh kepada ketenangan bayi dalam
kandungan, sehingga ia akan tumbuh dengan baik. Ini
juga sebagai bentuk komunikasi antara ibu dan bayi
dalam kandungan. Sebagaimana penelitian Dr. Masaru
Emoto yang menunjukan “kekuatan air, dimana kata-
kata dapat mempengaruhi kualitas air. Jika kata-kata
positif yang diberikan, terbentuklah kristal air
heksagonal yang indah seperti bunga yang sedang
mekar. Sebaliknya, jika kata-kata negatif yang
diberikan, akan menghasilkan pecahan kristal dengan
ukuran yang tidak seimbang. Bentuk kristalnya jelek
dan tidak beraturan.” Penelitian ini menjukan baik
buruknya kualitas air tergantung kepada kata-kata atau

109
informasi yang diberikan. Begitupun dengan anak,
ketika anak didik dengan kata-kata dan perbuatan yang
baik maka akan tumbuh dengan memiliki akhlak yang
baik. Begitupun sebaliknya anak yang dididik dengan
kata-kata yang buruk dan perbuatan yang tidak baik,
maka anak akan memiliki akhlak yang buruk juga.
Maka dapat disimpulkan baiak buruknya kepribadian
anak terganggung kepada pendidikan yang
diterimannya sejak dalam kandungan hingga anak
dilahirkan.
Dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah-ibadah,
baik yang wajib maupun sunnah dan berakhlakul kariman dapat
memberikan pengaruh yang baik atau positif kepada anak dalam
kandungan.
2. Pendidikan bayi
Fase ini dimulai sejak anak lahir sampai berumur 2 tahun. Pada
fase ini anak masih membutuhkan ASI sampai usia dua tahun dan
masih sangat membutuh orang-orang sekitar untuk membantunya
dalam melakukan sesuatu terutama ibunya. Bagi anak yang baru
lahir, terdapat pendidikan agama yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Membuka kehidupan anak dengan mengadzankan di
telinga kanan dan qomat di telinga kiri, hal ini dilakukan
agar yang pertama kali didengar oleh anak adalah kalimat-
kalimat yang mengandung kebesaran Allah SWT, dan
kalmat syahadat menjadi syarat masuknya anak kedalam
Islam.
b. Memberi nama yang baik pada anak karena nama
merupakan doa dan harapan orangtua kepada anak. Dengan
memberi nama yang baik terdapat nilai-nilai pendidikan

110
didalamnya yang memiliki pengaruh pada anaknya hingga
dewasa. Serta nama-nama yang hendaknya dihindari seperti
Abdul Uzza, Abdul Ka’bah, Abdul Nabi, karena berikan
nama-nama ini diharamkan berdasarkan pendapat para
ulama.
c. Aqidah, memiliki hikmah sosial seperti menjalin
silaturahmi dengan keluarga, tetangga, teman dan yang
lainnya dengan menghadiri acara aqiqah tersebut. Serta
menumbuhkan jiwa sosial, ketika orang yang tidak mampu
mendapatkan bagian-bagian dari aqiqah tersebut.
d. Khitan, nilai pendidikan yang terkandung adalah mengikuti
ajaran rasul dan membedakan antara seorang muslim dan
agama lainnya. Selain itu membawa kebersihan dan
kesahatan bagi dirinya
e. Menyusui, nilai pendidikan yang terkandung adalah
menumbuhkan kasih sayang yang dapat berpengaruh paka
perkembangan jiwa anak. Pertumbuhan pada masa ini akan
mempengaruhi pada pertumbuhan otak anak.
f. Memberikan makanan dan minuman yang halal, karena ini
akan memberikan dampak pada pertumbuhan dan
perkembangan anak baik jasmani dan rohani.
g. Pada saat anak sudah mulai bisa berbicara ajarkan dan
biasakan untuk mengucapkan Allah, Bismillah ketika
hendak memulai sesuatu, Alhamdulillah ketika hendak
selesai melakukan sesuatu, Astagfirullah. Menegur anak
ketika bersikap atau mengeluarkan kata-kata yang tidak
baik.
3. Pendidikan Kanak-kanak.

111
Fase ini berlangsung sejak anak usia 2 sampai 6 tahun, anak
pada usai ini indera-indera yang dimiliki sudah mulai berkembang
dengan sempurna, tetapi ini fase juga berbahaya karena anak mulai
mencontoh dan meniru apa yang ada disekitarya. Serta pada usia
inilah lingkungan keluarga menumbuhkan pendidikan pada anak
melalui kehidupannya sehari-hari. Maka orang-orang yang berada
dilingkungannya hendaknya memberikan teladan yang baik
dengan cara terus menerus (konsisten). Pada saat inilah orangtua
hendaknya memberikan pendidikan aqidah melalui
pengalamannya, mulai dari yang dilihatnya, didengar, dan
perbuatan yang dirasakannya. Maka dari itu pengaruh orangtua
pada usia ini sangat besar dalam membetuk kepribadian anak.
Selain itu, usia ini juga anak dipersiapkan untuk belajar
beibadah tetapi sebelum anak mengerjankan ibadah, orangtua
hendaknya mengajarkan mereka untuk mencintai Allah SWT,
dengan cara mengenalkan anak kepada Allah yaitu melalui
pengajaran tauhid rububiyah saat anak sudah mengerti ucapan,
seperti memberikan pemahaman kepada anak bahwa dirinya, ibu,
ayah, kakek, nenek, kakak, adek, dan semua yang ada di dunia ini
adalah ciptaan Allah dan mata, hidung, telingga semua dapat
berfungsi juga karena Allah SWT. Maka anak sejak usia ini sudah
mulai ditumbuhkan untuk mengenal dan mencitai Allah.
Kemudian tauhid uluhiyah, seperti mengajarkan anak untuk selalu
berdoa kepada Allah baik saat senang maupun sedih. Hal ini
dilakukan agar anak terbiasa selalu menyenderkan dirinya kepada
Allah SWT. Semua ini adalah salah satu cara-cara untuk
mengajarkan aqidah sejak dini kepada anak. Oleh karena itu,
pendidikan agama yang tepat bagi anak usia ini adalah

112
a. Mengajarkan anak untuk menghafal doa-doa sehari-hari,
seperti: doa sebelum makan, sebelum tidur, sesudah
bangun tidur, doa kedua orangtua, naik kendaraan dan
sebagainya.
b. Mengajarkan anak untuk menghafalkan surat-surat pendek.
c. Mengenalkan anak pada gerakan-gerakan shalat dan
berwudhu.
d. Mengenalkan nama-nama malaikat
e. Mengenalkan huruf-huruf hijaiyah
f. Memberikan pemahaman aqidah kepada anak seperti
mengajak anak kekebun binatang, taman dan sebagainya,
sambil diberi penjelasa. Contohnya, semua yang ada di
muka bumi ini seperti hewan-hewan, lautan, gunung
bunga-bunga yang menciptakannya adalah Allah SWT.
Metode yang tepat pada anak usia kanak-kanak adalah metode
pembiasaan, agar metode tersebut dapat tercapai maka orangtua
hendaknya memberikan pendidikan secara konsisten hingga
menjadi kebiasaan bagi anak, dengan kebiasaan inilah sangat
menentukan keberhasilan pendidikan agama pada anak saat itu.
4. Pendidikan anak-anak
Fase ini berlangsung pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Pada
fase ini anak mulai diajarkan adab, sopan santun, dan akhlak yang
baik, serta melatih anak untuk melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang muslim seperti shalat dan puasa. Sebagaimana
Rasulullah SAW, bersabda dalam Hadits Riwayat Tirmidzi no.
372,

113
َّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َعلِّ ُموا‬
‫الصيِب َّ الصَّاَل َة ابْ َن َسْب ِع‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ق‬
‫اض ِربُوهُ َعلَْي َها ابْ َن َع ْش ٍر‬
ْ ‫ني َو‬ِِ
َ ‫سن‬
Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ajarkanlah shalat kepada anak-anak diumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka ketika meninggalkan shalat di umur sepuluh
tahun."
Berdasarkan penjelasan hadits diatas pada usia 7 tahun anak
sudah mulai bisa memilih antara yang baik dan tidak, berbahaya
dan tidak berbahaya, maka Nabi SAW, memerintahkan anak usia 7
tahun untuk shalat, karena usia ini anak dapat mulai diajarkan
shalat dan wudhu yang benar, mengapa bisa terjadi? Karena
kognitif anak pada usia ini sudah mulai sempurna. Pada saat usia
10 tahun jika anak tidak melaksanakan shalat maka sebaiknya
diberikan hukuman karena pada usia ini anak sudah masuk kepada
mukallaf, yaitu memiliki kewajiban untuk melaksana segala ajaran
yang dicontohkan oleh Nabil dan diperintahkan oleh Allah SWT.
Selain itu, anak usia ini sudah memasuki sekolah dasar dan
dalam dirinya anak sudah membawa pemahaman agama yang
didapatnya dirumah. Walaupun disekolah anak mendapatkan
pendidikan agama, bukan berarti orangtua dapat melepasnya
begitu saja. Oleh karena itu, pada usia ini orangtua dituntut untuk:
a. Mengembangkan keimanan yang ada pada diri anak.
b. Membiasakan anak melaksanakan amalan-amalan agama
yang diridhoi Allah SWT.
c. Mengajarkan anak shalat dan wudhu dengan benar.
d. Membiasakan anak shalat berjamaah dimasjid, sehingga
lama kelamaan anak akan terbiasa melakukannya tanpa
adanya paksaan.

114
e. Membiasakan anak puasa, walaupun anak pada usia ini
belum mampun melaksanakan dengan sempurna tetapi
seiring bertambahnya usia anak akan terbiasa dan
melaksanakan dengan sempurna.
f. Mengajarkan anak untuk zakat/ berinfak.
g. Mengajarkan anak membaca alquran.
Metode pendidikan yang tepat pada fase ini adalah
keteladanan, pembiasaan, dan nasehat yaitu dengan diberikan
penjelasan secara jelas sehingga dapat dipahami oleh anak.
5. Pendidikan Remaja
Masa ini berlangsung sekitar pada usia 12-21 tahun. Pada masa
ini anak sudah mulai perlu mendapatkan perhatian dan bimbingan
secara penuh dari orangtua. Karena usia remaja anak mulai
mengalami perubahan baik jasmani dan rohani. Pada usia ini
sangat membutuhkn keteladanan dari orangtuanya, karena
orangtua bagi anak merupakan tokoh idola yang dijadikan teladan
bagi dirinya.
Masa ini juga biasanya anak remaja mulai labil dan sudah
mulai mencari-cari jati dirinya, memiliki sifat yang ego dan
emosional serta ingin mencoba-coba hal baru dan memiliki
keingintahuan yang sangat tinggi. Anak remaja juga sangat
mementingkan lingkungan sosialnya. Dimana anak mencari
perhatikan dari teman sebayanya, yang menjadikan anak meniru
apa-apa yang digunakan, dilakukan, bahasa, dan lain-lain oleh
teman-teman sebayanya.
Dalam menjalankan kegiatan-kegiatan agamapun, anak remaja
biasanya dipengaruhi oleh teman-temannya. Contohnya, ketika
teman-teman sebayanya tidak melaksanakan shalat, bagi anak yang
tidak ditertanam nilai-nilai aqidah dalam dirinya, ia pun ikut

115
terpengaruh sehingga tidak melaksanakannya. Oleh karena itu
anak usia remaja diperlukannya arahan dan bimbingan secara
ekstra dari orangtua. Pada usia remaja ini anak dididik untuk
memiliki perilaku tanggung jawab dan memahami ajaran-ajaran
agama. Karena perkembangan jiwa agama pada usia ini sangat
penting. Maka dari itu apabila pemahaman dan pengalaman anak
sudah dibiasakan sejak dini, maka dalam membentuk akhlak anak
akan lebih mudah dilakukan, karena anak sudah terbiasa
menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-
larangan-Nya.
Maka dari itu, pada usia ini metode yang tepat adalah Metode
pendidikan dengan Perhatian/Pengawasan, karena dengan cara ini
anak selalu berada pada pantauan pendidik, melihat dari gerak
gerik, perkataan, dan perbuatan. Sebagaimana Allah
memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berteman dengan orang
yang baik.
Contohnya, ketika anak berteman dengan orang yang baik,
sholeh, dan ahli ibadah, bisa jadi ia akan ikut menjadi sholeh dan
ahli ibadah. Begitu pun sebaliknya, ketika anak berteman dengan
ahli maksiat dan tidak kuat keimanannya maka bisa jadi ia akan
ikut terjerumus ke dalam hal-hal yang buruk. Oleh karena itu,
orang tua harus memberikan perhatian dan pengawasan kepada
anak-anaknya dalam bergaul, dengan siapa saja anaknya berteman
karena jika anak salah memilih teman maka akan cenderung
mempengaruhi sikap dan akhlaknya.
Berdasarkan uraian diatas daat disimpulkan pentingnya dalam memilih
pasangan dengan tepat. Karena pendidikan anak tidak dapat dipisahkan
dengan fase sejak memilih pasangan hidup dan pernikahan, sampai pada fase
mengandung dan melahirkan. Pendidikan pada anak dalam kandungan

116
merupakan awal mula yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak pada
masa selanjutnya. Meskipun pada kenyataanya pendidikan dapat berjalan
secara efektif saat anak telah dilahirkan. Serta untuk mengajarkan dan
menumbuhkan nilai-nilai agama terutama aqidah pada anak harus berdasarkan
dari sumber yang benar yaitu Alquran dan As-Sunnah serta di berikan contoh
oleh orangtua sehingga dapat membantu anak untuk lebih mudah
memahaminya.
Serta pahala dari mendidik anak sangatlah besar, jika orangtunya berhasil
mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang taat pada perintah dan
larangan Allah SWT, hingga menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka
akan mengalir pahala kepada orangtuanya secara terus menerus tanpa henti
meskipun orangtuanya telah meninggal dunia. Sebagaimana terdapat dalam
Hadits Riwayat Muslim No. 308. Artinya: “Apabila salah seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang
selalu mendoakannya."
Berdasarkan penjelasan hadits diatas bahwa beruntung bagi orangtua yang
berhasil dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya menjadi makhluk
yang taat pada Allah. Dalam mewujudkan hal itu, bukanlah suatu hal yang
mudah dilakukan, karena dengan pesatnya kemajuan zaman di mana
berkembangannya teknologi di dunia tidak sedikit sering membawa dampak
negatif bagi perkembangan kepribadian dan aqidah anak. Tayangan-tayangan
tv yang kurang mendidik, menyebarnya situs-situs yang negatif, dan saat ini
sangat mudah dan bebas dalam mengakses apa saja dan siapa saja, termasuk
anak-anak. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang dapat merusak akhlak
seorang anak. Oleh karena itu, mendidik anak pada zaman modern merupakan
tanggung jawab yang berat bagi setiap orangtua. Demikianlah analisis peran
orangtua berdasarkan hadits muslim no. 4803 dan implikasinya terhadap
pendidikan keluarga dalam mendidik aqidah anak.

117
118
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pendapat para Muhadittsin dari Hadis Riwayat Muslim
tentang peran orang tua terhadap akidah anak dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Setaip anak Adam membawa fitrah tauhid yang lurus. Fitrah tersebut
dapat berkembang melalui pendidikan agama yang diberikan dalam
keluarga. Pendidikan keluarga bertujuan untuk mengarahkan dan
mengembangkan fitrah yang dimilikinya untuk mengenal dan beriman
kepada Allah SWT, hal tersebut dapat terwujud dengan diberikannya
pendidikan aqidah sebagai pemahaman pertama yang didapatnya,
sehingga dapat mengembangkan potensi dasar ketuhanan yang
dbawanya. Anak yang lahir dari kedua orang tua yang memiliki tauhid
maka sangat besar kemungkinannya untuk anak tetap berada pada
tauhid tersebut. Begitu pu anak yang lahir dari kedua orang tua yang
beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi maka sangat besar
kemungkinannya untuk anak mengikuti agama kedua orang tuanya,
baik dengan pengajaran yang diberikan ataupun dorongan dan
sebagainya, kesimpulan ini dapat dilihat dari pendapat para
Muhadittdin terkait Hadits Riwayat Muslim tentang peran orang tua
terhadap akidah anak.
a. Menurut Imam An-Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim
berpendapat setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi seorang
muslim, setiap anak yang memiliki kedua orang tuanya atau salah
satunya seorang muslim maka ia akan dihukumi berdasarkan Islam
di dunia dan akhirat, dan jika kedua orang tuanya kafir maka di
dunia ia dihukumi menurut agama kedua orang tuanya. . Jika ia

119
balig maka ia terus dihukumi kafir, jika ia ditakdirkan berbahagia
maka ia masuk Islam, jika tidak maka ia meninggal dalam
kekufuran. Jika ia meninggal sebelum balig maka ia akan menjadi
penghuni surga.
b. Menurut Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah Al Harori Asy
Syafi’i dalam Syarah Al-Kaukabul Wahhaj berpendapat setiap
anak terlahir dalam keadaan Islam dan fitrah yang lurus. Jika
kedua orangtuanya non muslim maka akan menjadikan anaknya
sesuai dengan agama yang dianutnya. Begitu pun hewan dilahirkan
dalam keadaan sempurna, adapun adanya kecacatan terjadi setelah
dilahirkan.
c. Dr. Musa Syahin Lasyin dalam Fathul Mun’im berpendapat setiap
anak akan mengikuti fitrah dan agama kedua orangtua melalui
motivasi, pendidikan, dan bimbingan yang diberikannya.
Walaupun secara khusus perubahan terjadikan karena orangtua ada
kalanya juga faktor lain sesusi dengan kebiasaanya. Sebagaimana
unta dilahirkan dengan sempurna, kalian yang menjadikannya
cacat.
2. Esensi yang terkandung dalam Hadis Riwayat Muslim tentang peran
orang tua terhadap akidah anak adalah 1). Setiap anak berada dalam
fitrah yang lurus yakni mengenal Allah SWT sebagai Tuhan-Nya. 2).
Fitrah sebagai pondasi dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang
tidak dapat berkembang tanpa adanya pendidikan. 3). Agama seorang
anak tidak lepas dari cara orangtua dalam mendidik dan membina. 4)
Agama anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat anak
tinggal dan bersosialisasi.
3. Implikasi Pendidikan Islam berdasarkan Hadits Muslim No. 4803
Terhadap Peran Orangtua Dalam Mendidik Akidah Anak adalah
sebagai berikut: Pertama, Menentukan Calon Pasangan Hidup. Kedua,

120
Mendidik Anak Secara Islami dimulai dari dalam kandungan sampai
remaja.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, kiranya dapat
memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk orang tua yang sering berinteraksi dengan anak, pentingnya
untuk menanamkan akidah kepada anak sejak dini sebagai upaya
mengambangkan fitrah yang telah dimilikinya sehingga dapat
berkembang sesuai ajaran Islam.
2. Mengingat orang tua sebagai pendidik pertama dan utama kepada
anak, maka pentingnya orang tua memiliki pengetahuan tentang
akidah secara mendalam karena akidah merupakan dasar keimanan
seseorang yang harus ditanamkan oleh orang tua.
3. Peran dan tanggung jawab orang tua telah di jelaskan dalam hadis
Rasulullah, bagaimana cara orang tua dalam mendidik anak.

121
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Achmadi. Ilmu Pendidikan (Suatu Pengantar). Salatiga: CV. Saudara, 1984.

Ahid, Nur. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.

Ahmad, Ali Arfaz & Syantut Khalid. Berkah Anak Perempuan. Solo: Kiswah Media, 2012.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari Jilid 23, Terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2014.

Alavi, Zianuddin. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Aksara, 2003.

Alimah, Aisa Roskhina. "Peran Orangtua Dalam Penanaman Nilai Aqidah Dan Ibadah Pada
Anak Di Asyarakat Keluarahan Korpri Raya Sukarame Bandar Lampung." UIN Raden
Intan Lampung: Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi (2017).

Al-Qahthani, Sa'id bin Ali bin Wahf. Al-Hadyu An-Nabawi fi Tarbitah Al-Auladi fi Dhau Al-
Qur'an wa As-Sunnah. Jawa Tengah: Zam-Zam mata Air Ilmu, 2015.

Aminuddin, dkk. Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: Graha Ilmu, 2006.

Andayani, Safrida dan Dewi. Aqidah Dan Etika Dalam Biologi. Banda Aceh: Syiah Kuala
University, 2016.

An-Nawani, Imam. Syarah Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj Jilid 11, Terj Fathoni Muhammad dan
Futuhal Arifin. Jakarta: Darus Sunnah , 2011.

An-Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj Jilid 7, Terj. Fathoni Muhammad dan
Futuhal Arifin. Jakarta: Darus Sunnah, 2011.

Anshari, Endang Saifudin. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam. Jakarta: Usaha Interpress,
1976.

Ansori, Raden Ahmad Muhajir. "Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada
Peserta Didik." Jurnal Pusaka (2016).

Anwar, Chairul. Hakikat Manusia Dalam Pendidikan . Yogyakarta: Suka-Press, 2014.

Arifin, H.M. Psikologi Dakwah Salam Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Arikunto, Suharsimi. Manajemin Pendidikan . Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

ASM, Saifudin Aziz. Pengantar Ilmu Hadits dan Cara Berteladan Pada Rasul. Bandung:
Komunitas Kajian Alquran dan Hadits, 2017.

122
Astrida. "Peran Dan Fungsi Orangtua Dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak."
https://sumsel.kemenag.go.id (n.d.).

Asy'ari, Musa. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, Menyongsong Era Industrialisasi.


Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijogo, 1988.

Aziz, Abdul. Filsafat Pendidikan : Sekolah Gagasan Membangun Islam. Surabaya: Elkaf, 2006.

Aziz, Safrudin. Pendidikan Keluarga: Konsep Dan Strategi. Yogyakarta: Penerbit Gava Media,
2015.

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Quran.
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.

Basyariah, Syamsuar. "Metode dan Tanggung Jawab Orangtua dalam Pendidikan Iman."
Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam (2009): Vol:1, No:1.

Basyir, Abd. "Model Pendidikan Keluarga Dalam Tradisi Kelahiran Pada Adat Banjar." Jurnal
Studi Gender dan Anak (2015): Vol: 3, No: 1.

Danial, Andi Safar. "Peran Dan Tanggung Jawab Orangtua Tentang Pendidikan." UIN
Alauddin Makassar: Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan (2018).

Darajat, Zakia. Ilmu Pendidikan Islam. jakarta: Bumi Aksara, 2008.

—. Pendidikan Islam Dlam Kelaurga dan Sekolah. Bandung: Ruhama, 1995.

Dimyati, Mujiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Frimayanti, Ade Imelda. "Implementaso Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Agama Islam."
Jurnal Pendidikan Islam Universitas Lampung (2017): Vol: 8, No. 11.

Gade, Fithriani. "Ibu Sebagai MadrasahDalam Pendidikan ." Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA (2012):
Vol: XIII, No:1.

Hartini, N. "Metodelogi Pendidikan Anak Dalam Pandangan Islam." Jurnal Pendidikan Agama
Islam-Ta'lim (2011): Vol: 9, No: 1

Herawati. Pendidikan Keluarga: Teoritis-Prakis. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan . Jakarta: Rineke Cipta, 1997.

Ismail, Syarifah. "Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia Dalam Pendidikan Islam."
Jurnal At-Ta'dib (2013): Vol: 8, No: 2.

Jailani, M. Syahran. "Teori Pendidikan Keluarga Dan Tanggung Jawab Orangtua dalam
Pendidikan Anak Usia Dini." Jurnal Pendidikan Islam (2014): Vol: 8, No: 2.

Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Perasada, 2003.

123
Jumhuri, Muhammad Asroruddin Al. Belajar Aqidah Akhlak: Sebuah Ulasan Ringkas Tentang
Asan Tauhid Dan Akhlak Islamiyah. Yogyakarta: CV Budi Utama, 2015.

Komarudin. Kamus Riset. Bandung : Angkasa, 1988.

Kurniawan, Moh. Hsitami Salim & Syamsul. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012.

Labaso, Syahrial. "Konsep Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Alquran dan Hadits ." Jurnal
Pendidikan Agama Islam (2018): Vol: XV, No: 1.

Lestari, Indah Ayu. "Potensi Pendidikan manusia Dalam Hadits Nabi."

Mahmud. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga. Jakarta: Akademia, 2013.

Mardiyah. "Peran Orangtua Dalam Pendidikan Agama Terhadap Pembentukan Kepribadian


Anak." Jurnal Kependidikan (2015): Vol: 3, No: 2.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma'arif, 1989.

Mualimin. "Konsep Fitrah Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam." Al-Tadziyyah:
Jurnal Pendidikan Islam (2017): Vol:8, No: 11.

Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Mudzair, Abdul Mujib dan Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006.

Mulyawan, Jasa Ungguh. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.

Muslim. "Dasar-dasar Kependidikan." Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1995).

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.

Nashori, Fuad. Potensi-Potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Neolaka, A & A. Neolaka, G. A. Lanadasan Pendidikan (Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju
Perubahan Hidup). Depok: PT. Kharisma Putra Utama, 2017.

Pransiska, T. "Konsepsi Fitrah manusia Dalam Pespektif Islam Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Islam Kontemporer." Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA (2016): Vol:17, No:1.

Raharjo, Dawam. Pandangan al-Quran Tentang manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif
al-Quran. Yogyakarta: LPPI, 1999.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Sahrodi, Jamali. Membelah Nalar Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005.

124
Salim, Moh. Halitami. Pendidikan Agama Dalam Keluarga: Revitalis Peran Keluarga Dalam
Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Santosa, Harri. Fitrah Based Education Mengembangkan Pendidikan Sejati Selaras Fitrah
Misi Hidup dan Tujuan Hidup. Bekasi: Yayasan Cahaya Mutiara Timur, 2018

Saryono. "Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam." jurnal Studi Islam (2016): Vol: 12, No: 2.

Solichin, Mohammad Muchlis. "Fitrah: Konsep dan Pengembangannya dalam Pendidikan


Islam". Tadris: Jurnal Pendidikan Islam (2007) Vol:2, No:2

Sugiarto. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Suka Media,
2015.

Sugiyono. Metode Penelitian KOMBINASI. Bandung: Alfabeta, 2009.

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan ISlam (Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan).
Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Penerj. Fathur Rahman.
Bandung: al-Ma'arif, 1986.

Suryan, Junias Zulfahmi dan. "Peran Orangtua Terhadap Pendidikan Anak Perspektif
Pendidikan Islam." Bidyah: Studi Ilmu-Ilmu Keislaman (2018): Vol: 9, N0: 1.

Syafril, & Zen, Z. Dasar Ilmu Pendidikan. 2017: Kencana, Depok.

Syahreni, Andi. "Tanggung Jawab Dalam Pendidikan Anak." Jurnal Bimbingan Penyuluhan
Islam (2015): Vol: 2, No 1.

Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ashaq Aulu. Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2008.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2005.

—. Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.

Tambak, Syahrani. Dkk. "Peran Orangtua Dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional


Anak di Desa Petongga Kecamatan Rakit Kulim Kabupaten Indragiri Hulu." Jurnal Al-
Hikmah (2017): Vol: 14, No; 2.

TR, Burhanusin. "Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Alquran Surat At-Tahrim/66 Ayat 6."
Jurnal Pendidikan ke-SD-an (2017): Vol: 12, No:2.

Ulwan, Abdull Nashih. Tabiyatul Aulad Fil Islam. Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2019.

125
Wahyudi, Ari. "Tauhid: Pentingnya Aqidah Dalam Kehidupan Seorang Insan." Muslim.or.id
19 April 2021.

Widyati, Tri. "Peran Orangtua Dalam Mendidik Anak Perempuan Perspektif Pendidikan
Islam." UIN Raden Intan Lampung: Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan (2018).

Yanuarti, Eka. "Analisis Sikap Kerjasama Siswa dalam Proses Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Melalui Cooperative Learning." Media Akademika (2016): Vol:13.

Yasin, Abu. Strategi Pendidikan Negara Khilafah . Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012.

Yusuf, Munir. Pengantar Ilmu Pendidikan. Bara Kota Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN
Palopo, 2018.

Zainudin. Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali. Jakarta: bumi Aksara, 2014.

126
BIOGRAFI PENELITI

1. Nama : Balqis Amany Hasan


2. NPM : 10030117038
3. No. Tlp/HP : 083820066524
4. Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 03 November 1999
5. Agama : Islam
6. Program Studi : Pendidikan Agama Islam
7. Fakultas : Tarbiyah dan Keguruan
8. Alamat : Soreang, Cingcin Permata Indah.
9. Nama Ayah : Hasan Mamun S.T,M.T
10. Nama Ibu : Sri dewi Rofaida S.si
11. Riwayat Pendidikan : 1. TK Fitriani
1. SD Negeri Cingcin 3
2. SMP IT Anni’mah
3. MA Persis 2 Bandung

Bandung, Maret 2021

Peneliti,

Balqis Amany Hasan

127

Anda mungkin juga menyukai