Anda di halaman 1dari 78

PERSEPSI ORANGTUA TENTANG PENERAPAN

NILAI KEADILAN SOSIAL DI PAUD

SKRIPSI

KHILYATUL WARDAH

180651100009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PAUD


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023
PERSEPSI ORANGTUA TENTANG PENERAPAN
NILAI KEADILAN SOSIAL DI PAUD

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan mendapakan


gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru PAUD

Khilyatul Wardah
180651100009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PAUD


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023

i
HALAMAN PERSETUJUAN

PERSEPSI ORANGTUA TENTANG PENERAPAN


NILAI KEADILAN SOSIAL DI PAUD

Khilyatul Wardah
180651100009

Proposal skripsi ini telah memenuhi persyaratan untuk dipertahankan di depan


Dewan Penguji.

Pada tanggal: (…………….)

Menyetujui

Kordinator Program Studi Dosen Pembimbing


PGPAUD

Dwi Nurhayati Adhani, M.Psi., Psikolog. Siti Fadjryana Fitroh, S.Psi., M.A.
NIP. 198309172014042001 NIP. 198704182014042001

ii
HALAMAN PENGESAHAN

PERSEPSI ORANGTUA TENTANG PENERAPAN


NILAI KEADILAN SOSIAL DI PAUD

Khilyatul Wardah
180651100009

Skripsi ini telah dipertahankan di depan tim penguji Program Studi Pendidikan
PAUD
dan Diterima untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana (S1) Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

Pada Tanggal : (........................................................)

TIM PENGUJI

Penguji 1 Ketua
................................................. .............
NIP. ...............................................
Penguji II Anggota
....................................................... .............
NIP. ..............................................
Penguji III Anggota
....................................................... .............
NIP. ..............................................
Penguji IV Pembimbing
....................................................... .............
NIP. ...............................................

MENGESAHKAN
Bangkalan, (.................................................................)

Dekan Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan


Fakultas Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Trunojoyo Madura Universitas Trunojoyo Madura

Dr. Hani’ah, S. Pd., M. Pd. Siti Fadjryana Fitroh, S. Psi., MA.


NIP. 197609082006042001 NIP. 198704182014042001

iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Khilyatul Wardah

Tempat Tanggal Lahir : Lamongan, 12 Maret 2000

NIM : 180651100009

Program Studi : Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

Fakultas : Ilmu Pendidikan

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. Skripsi dengan judul “Persepsi Orangtua tentang Penerapan Nilai Keadilan


Sosial di PAUD” adalah benar hasil karya tulis saya, dan bukan
merupakan plagiasi karya ata pendapat yang dituliskan atau di terbitkan
orang lain, kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata
penulisan karya ilmiah yang telah lazim dan di sebutkan dalam sumber
kutipan atau daftar pustaka.
2. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat di buktikan bahwa di dalam
naskah skripsi ini terdapat unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini di
gugurkan dan gelar akademik yang saya peroleh di batalkan, serta
menerima sangsi atas perbuatan saya.
3. Skripsi ini dapat dijadikan sumber sumber yang merupakan hak bebas
royalti non sksklusif.

Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk digunakan


sebagaimana mestinya.

Bangkalan, 28 November 2022


Yang Membuat Pernyatan

Khilyatul Wardah
Nim.180651100009

iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin puji syukur kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat dan karunianya-NYA sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Persepsi Orangtua tentang Penerapan
Nilai Keadilan Sosial di PAUD” dengan baik. Shalawat serta salam peneliti
haturkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah membawa alam semesta ini
dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan keilmuan. Dalam
penyusunan skripsi ini peneliti mendapatkan banyak dukungan, bimbingan,
petunjuk dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
peneliti menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Safi’, S. H., M. H. selaku Rektor Universitas Trunojoyo Madura

2. Dr. Hani’ah, S. Pd., M. Pd. selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

3. Dwi Nurhayati Adhani, S. Psi., M. Psi. Psikolog selaku Koordinator


Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

4. Siti Fadjryana Fitroh, S. Psi., MA. Selaku Dosen Pembimbing yang telah
dengan sabar membimbing dan mendampingi peneliti dalam penyelesaian
skripsi ini

5. Muhammad Busyro Karim, S. Ag., M. Si. selaku Dosen Pembimbing


Akademik yang telah mendampingi peneliti selama menjalankan proses
pendidikan di bangku perkuliahan

6. Seluruh dosen di Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia


Dini yang telah banyak memberikan ilmu kepada peneliti selama di
bangku perkuliahan

7. Kedua orangtua, terutama ibu yang tiada henti-hentinya mendoakan dan


memberikan dukungan kepada peneliti

8. M. Zulfiar Fahmi yang senantiasa selalu menemani, mendukung, dan


memberikan semangat kepada peneliti sehingga bisa sampai di tahap ini

9. Teman-teman seperjuangan kelas A angkatan 2018 yang selama ini


menemani peneliti dalam mencari ilmu di bangku perkuliahan

10. Teman-teman pengurus asrama yang telah berproses bersama selama


menjalankan amanah menjadi pengurus asrama Universitas Trunojoyo
Madura

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat atas bantuan yang telah
diberikan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

v
Khilyatul Wardah. 2022. Persepsi Orangtua tentang Penerapan Nilai Keadilan
Sosial di PAUD. Skripsi, Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia
Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Trunojoyo Madura. Pembimbing: Siti
Fadjryana Fitroh, S. Psi., MA.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi orangtua terhadap


penerapan nilai keadilan sosial di PAUD yang terfokus pada kasus bullying di TK
X. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan desain metode
studi kasus. Subjek penelitian ini adalah orangtua di TK X yang mempunyai anak
usia 4-6 tahun yang berasal dari berbagai macam latar pendidikan dan latar
belakang sosial ekonomi yang berbeda-beda. Pemilihan subjek penelitian
menggunakan teknik purposive sampling. Subjek penelitian ini sebanyak 4
orangtua. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi
tersamar atau terus terang dan observasi partisipan, wawancara semi terstruktur
dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi orangtua dilihat
dari aspek kognitif, afektif, dan konatif hal yang perlu ditingkatkan adalah pada
sisi aspek kognitif terutama pada kategori orangtua dengan latar belakang
pendidikan dan status sosial ekonomi yang berada pada kelas bawah. Sedangkan
pada aspek afektif dan konatif setelah dianalisis sudah tidak membutuhkan
perhatian yang lebih karena pada kedua aspek tersebut persepsi orangtua sudah
cukup baik.

Kata kunci : nilai keadilan sosial (bullying), orangtua, PAUD, persepsi

vi
Khilyatul Wardah. 2022. Parents’ Perceptions of the Application of Social
Justice Values in Early Childhood Education. Thesis, Early Childhood Education
Teacher Education Study Program, Faculty of Education, University of Trunojoyo
Madura. Advisor: Siti Fadjryana Fitroh, S. Psi., MA.

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine parents' perceptions of the application
of social justice values in PAUD which focused on cases of bullying in
Kindergarten X. This research used a qualitative research type with a case study
method design. The subjects of this study were parents at Kindergarten X who had
children aged 4-6 years who came from various educational and socioeconomic
backgrounds. Selection of research subjects using purposive sampling technique.
The subjects of this study were 4 parents. Data collection techniques in this study
used covert or frank observation and participant observation, semi-structured
interviews and documentation. The results showed that parents' perceptions were
seen from the cognitive, affective, and conative aspects that needed to be
improved on the cognitive aspect, especially in the category of parents with
educational background and socioeconomic status who were in the lower class.
Meanwhile, after analyzing the affective and conative aspects, they do not need
more attention because in these two aspects the perception of parents is quite
good.

Keywords: the value of social justice (bullying), parents, PAUD, perceptions

vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas segala rahmat dan nikmatNya peneliti dapat melaksanakan dan
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi Orangtua tentang Penerapan Nilai
Keadilan Sosial di PAUD”. Dalam pelaksanaanya peneliti mendapatkan banyak
bimbingan serta dorongan penuh cinta dari berbagai pihak. Oleh karena itu
peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. Safi’, S. H., M. H. selaku Rektor Universitas Trunojoyo Madura

2. Dr. Haniah, S. Pd., M. Pd. selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

3. Dwi Nurhayati Adhani, S. Psi., M. Psi. Psikolog selaku Koordinator


Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

4. Siti Fadjryana Fitroh, S. Psi., MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini dengan penuh dedikasi

5. Muhammad Busyro Karim, S. Ag., M. Si. selaku Dosen Pembimbing


Akademik yang telah mendampingi penulis selama menjalankan proses
pendidikan di bangku perkuliahan

6. Kedua orang tua, terutama Ibu yang tidak henti-hentinya mendoakan dan
memberikan dukungan kepada peneliti selama ini

Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun akan peneliti terima dengan senang
hati. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang lain.

Bangkalan, Januari 2023

Penyusun

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN..................................... iv

ABSTRAK.......................................................................................................... v

ABSTRACK......................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR........................................................................................ vii

DAFTAR ISI....................................................................................................... x

DAFTAR TABEL............................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian.................................................................................. 10
E. Batasan Penelitian................................................................................... 11
F. Definisi Istilah......................................................................................... 11

BAB II LANDASAN TEORI............................................................................. 12

A. Landasan Teori........................................................................................ 12
B. Penelitian yang Relevan.......................................................................... 60
C. Kerangka Berfikir.................................................................................... 63

BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 65

A. Jenis Penelitian........................................................................................ 65
B. Subjek Penelitian..................................................................................... 66
C. Teknik Pengumpulan Data...................................................................... 68
D. Instrumen Penelitian................................................................................ 71
E. Teknik Analisis Data............................................................................... 74
F. Prosedur Penelitian.................................................................................. 76
G. Pengujian Keabsahan Data...................................................................... 79

ix
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 83

A. Hasil dan Analisis Data........................................................................... 83


B. Pembahasan............................................................................................. 130

BAB V PENUTUP..............................................................................................137

A. Simpulan................................................................................................. 137
B. Saran........................................................................................................ 138

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 139

LAMPIRAN........................................................................................................ 142

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kajian Penelitian yang Relevan.......................................................... 61

Tabel 3.1 Instrumen Penelitian........................................................................... 73

Tabel 4.2 Subjek Penelitian................................................................................. 88

Tabel 4.2 Indikator Penelitian............................................................................. 86

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Persepsi......................................................... 35

Gambar 2.2 Kerangka Berfikir............................................................................ 63

Gambar 3.1 Analisis Data Model Milles dan Huberman.................................... 36

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Penelitian........................................................................ 142

Lampiran 2. Pedoman Koding............................................................................ 150

Lampiran 3. Lembar Validasi Instrumen Penelitian........................................... 161

Lampiran 4. Reduksi Data.................................................................................. 167

Lampiran 5 Hasil Analisis Data.......................................................................... 244

Lampiran 6 Logbook Penelitian.......................................................................... 256

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian................................................................... 257

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah aset bangsa, Oleh sebab itu perlu dikembangkan

potensinya secara optimal sehingga akan menjadi sumber daya manusia

yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah telah

menggalakkan pendidikan sejak anak masih berusia dini agar anak dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal tersebut selaras dengan

tujuan pendidikan anak usia dini yang dilakukan dengan memberikan

rangsangan pendidikan untuk membantu proses pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan untuk

memasuki pendidikan lebih lanjut.

Hal di atas sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional BAB 1 Pasal 1

butir 14 yang di dalamnya menjelaskan bahwa pendidikan pra sekolah

akan membantu pertumbuhan dan perkembangan baik perkembangan

jasmani maupun rohani anak serta akan membantu kecerdasanya yang

dilakukan dengan pemberian motivasi pembelajaran dengan tujuan

mempersiapkan pendidikan lebih lanjut. Hal ini diperoleh sejak lahir

sampai usia 6 (enam) tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan

penting diberikan kepada anak sejak anak masih berada pada usia dini.

Berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini, akan

timbul persepsi yang salah jika orangtua tidak mengetahui dengan benar

1
2

informasi tentang pentingnya pendidikan untuk anak usia dini. Jika

orangtua memiliki persepsi atau pandangan positif terhadap pendidikan

anak usia dini, maka orangtua juga akan memberikan respon yang positif

terhadap lembaga pendidikan anak usia dini. Akan tetapi jika orangtua

memiliki pandangan negatif tentang pendidikan anak usia dini, maka

respon orangtua tentang lembaga pendidikan anak usia dini juga akan

negatif. Maka, orangtua harus mengetahui pentingnya pendidikan anak

usia dini agar respon yang dihasilkan juga positif.

Persepsi juga timbul dari aspek-aspek persepsi seperti halnya aspek

kognitif yaitu pengetahuan atau pengalaman seseorang terhadap objek

yang dipersepsikan, aspek afektif yaitu kesan atau pandangan orang

terhadap objek persepsi dan selain itu ada aspek konatif atau tindakan.

Persepsi juga merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang sangat

penting, yang memungkinkan manusia untuk memahami dan mengetahui

tentang dunia sekelilingnya. Tanpa persepsi yang benar manusia mustahil

dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena, informasi atau data

yang ada senantiasa mengitarinya. Demikian juga halnya dengan

pendidikan anak usia dini, akan timbul persepsi yang salah jika orangtua

tidak mengetahui dengan benar informasi tentang pentingnya pendidikan

untuk anak usia dini (Trisnaningsih, 2019).

Pendidikan anak usia dini dikatakan penting karena dalam

pendidikan anak usia dini proses pendidikanya terdiri dari 3 (tiga) dimensi

yaitu dimensi kognitif, afektif, dan konatif yang mana ketiga dimensi tersebut

sangat penting bagi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketiga


3

dimensi tersebut perlu sama-sama dikembangkan baik oleh lembaga

pendidikan maupun orangtua. Berbanding terbalik dengan realita saat ini

dimensi yang kerap kali ditinggikan dan lebih dianggap penting oleh

kebanyakan orangtua adalah dimensi kognitif dan konatif, di sisi lain

dimensi afektif dianggap tidak seberapa penting bagi sebagian orangtua.

Padahal dimensi afektif sebenarnya juga perlu mendapatkan perhatian

lebih banyak dari guru dan lebih-lebih dari orangtua. Dimensi afektif

berhubungan dengan ranah nilai dan sikap yang meliputi perilaku, watak,

seperti halnya sikap, perasaan, emosi, nilai dan minat.

Dimensi afektif merupakan sebuah hal penting dalam kehidupan

seseorang, karena afektif seseorang yang akan menjadi penentu

kesuksesan seseorang. Oleh sebab itu, karakter yang baik perlu dibentuk

sejak dini pada diri anak (Saleh: 2016). Proses pendidikan saat ini tidak

hanya cukup dengan membuat anak-anak pandai dalam akademiknya saja,

akan tetapi juga harus mampu menciptakan karakter yang baik dalam diri

anak, karena sejatinya kesuksesan seorang anak tidak hanya ditentukan

dari pengetahuan dan keterampilannya saja, melainkan pada kecakapan

mengelola atau megatur diri sendiri dan juga orang lain yang mana hal

tersebut masuk pada ranah afektif.

Hal di atas berbanding terbalik dengan realita sekarang, banyak

pasangan orang tua lebih memperhatikan dimensi kognitif dan konatif

anak dari pada dimensi afektif anak. Hal ini dibuktikan dengan masih

banyaknya orangtua yang mendewakan konsep calistung (membaca,

menulis, dan berhitung) pada proses belajar anak. Hal di atas selaras
4

dengan penelitian yang telah dilakukan Pertiwi, Syafrudin dan Drupadi

(2021) terhadap orang tua yang mempunyai anak rentang usia 5-6 tahun

yang berada di Bandar lampung, hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebanyak 60 % orangtua menginginkan anaknya untuk dapat menguasai

konsep calistung sejak dini. Hal tersebut dapat menjadi bukti bahwa saat

ini masih banyak orangtua yang lebih mengedepankan dimensi kognitif

anak dari pada dimensi afektif. Hal tersebut tentunya akan menjadi dilema

baik bagi guru ataupun lembaga PAUD dalam menjalankan proses

pembelajaran di sekolah.

Akibat dari dilema yang dialami oleh guru dan lembaga PAUD

akhirnya banyak kejadian di lembaga pendidikan yang proses

pembelajaranya setiap hari hanya diisi dengan pembelajaran calistung

tanpa memperhatikan aspek perkembangan lain yang seharusnya patut

untuk dikembangkan pada anak usia dini. Calistung dianggap sangat

penting oleh orangtua karena saat ini masih ada beberapa sekolah dasar

yang memiliki acuan bahwa sebelum masuk SD akan ada tes calistung.

Melihat fenomena tersebut akhirnya muncul tuntutan orangtua terkait

dengan konsep calistung pada anak yang perlu untuk dinomor satukan.

Selain itu orangtua banyak yang mempunyai keyakinan bahwa anak

bisa dikatakan cerdas jika anak pandai dalam calistungnya, padahal

kecerdasan tidak bisa hanya dilihat dari kecerdasan matematis saja, tetapi

kecerdasan lain masih banyak yang dimiliki oleh anak. Hal di atas

selaras dengan ungkapan Gardner dalam Alfien & Syahrizal (2020) yang

mengungkapkan kecerdasam majemuk mencakup kecerdasan angka (logis


5

matematis), kecerdasan kata (verbal linguistik), kecerdasan musik

(musikal), kecerdasan gambar warna (visual spasial), kecerdasan

interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan gerak (kinestetik),

naturalis dan eksistensial.

Akibat dari kurang diterapkannya kebiasaan baik yang berhubungan

dengan afektif baik saat di rumah atau di sekolah, akhirnya banyak anak

usia dini yang melakukan hal-hal yang harusnya tidak patut untuk

dilakukan, misalnya saja bullying. Menurut Ladeska, Vera dkk, (2019)

menjelaskan bahwa bullying pada anak merupakan perilaku seorang anak

guna menakuti dan membahayakan anak yang lain, pelakunya biasanya

memilih anak-anak lain yang lebih lemah. Sedangkan menurut Olweus

dalam Rejeki, Sri (2016) menjelaskan bahwa bullying merupakan perilaku

negatif yang dilakukan berkali-kali, bertujuan menyebabkan

ketidaksenangan yang dilakukan oleh individu kepada orang lain yang

tidak mampu untuk melawanya, dari pernyataan tersebut diketahui bahwa

bullying dilakukan berulang-ulang , bertujuan menyakiti, dan ada pihak

yang kuat dan lemah.

Berdasarkan hasil penelitian Perren dan Alsaker mengungkapkan

bullying sebenarnya sudah ditemukan di tingkatan Taman Kanak-kanak.

Hasil penelitianya mendapatkan temuan 37% dari jumlah keseluruhan

anak Taman Kanak-kanak yang telah dicermati secara langsung ternyata

terjadi kasus bullying baik sebagai pelaku atau korban. Hal tersebut perlu

menjadi perhatian pihak sekolah dan orangtua untuk lebih memperhatikan


6

tentang keadilan sosial termasuk bullying karena sudah ada data yang

menyebutkan bahwa di tingkatan TK sudah pernah terjadi.

Kasus bullying biasanya juga terjadi di sekolah-sekolah yang

memiliki anak didik dari berbagai keberagaman, baik keberagaman tingkat

sosial ekonomi, agama, ras, budaya, maupun tingkat pendidikan orangtua.

Baru-baru ini terdapat berita yang dikeluarkan oleh Kompas.com pada

tanggal 13 Januari 2022 berisi tentang kasus bullying pada anak usia dini.

Kasus tersebut terjadi di kota Bekasi, dalam berita menjelaskan

bahwa belum lama ini beredar video rekaman anak yang sedang menangis

sambil diejek oleh teman-temanya yang lain. Video rekaman berdurasi 1

menit 45 detik, terlihat anak bernasib malang diinjak-injak oleh kumpulan

anak, sembari menangis dan tidak dapat berdiri, korban dikelilingi bocah-

bocah yang membully nya, dari berita tersebut dapat menjadi bukti bahwa

kasus bullying masih banyak terjadi di kalangan anak-anak terkhusus anak

usia dini yang perlu menjadi perhatian lebih, baik bagi guru terlebih lagi

orangtua yang paling banyak menghabiskan waktu bersama anak.

Melihat kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus bullying

memang benar ada di kalangan anak-anak dan salah satu penyebab

terjadinya adalah faktor heterogenitas yang berada di sebuah lembaga baik

berupa perbedaan tingkat sosial ekonomi orangtua, agama, ras, budaya

maupun tingkat pendidikan orangtua. Selain faktor heterogenitas di dalam

lembaga pendidikan, penyebab lainnya adalah pengenalan nilai-nilai

keadilan sosial yang masih jarang diterapkan guru saat berada lingkungan
7

lembaga pendidikan ataupun orangtua saat anak berada rumah, karena

pandangan orangtua dan guru yang menganggap keadilan sosial masih

sangat dini untuk diajarkan di tingkat PAUD (Oktavianingsih & Fitroh,

2022). Maka dari itu, baik guru atau terlebih lagi orangtua perlu

mengajarkan tentang konsep anti bullying pada anak sejak dini. Selain anti

bullying, anak juga perlu dikenalkan dengan kesetaraan gender yang mana

antara anak laki-laki dan perempuan bebas untuk memilih minat dan

kesukaanya masing-masing. Kesetaraan gender dan anti bullying masuk

dalam kategori nilai keadilan sosial anak usia dini yang patut untuk

diajarkan pada AUD baik di sekolah maupun di rumah.

Berdasarkan kesimpulan di atas yang menjelaskan bahwa kasus

bullying dipengaruhi oleh faktor heterogenitas yang berada di lembaga

pendidikan, akhirnya peneliti mencoba menggali data anak pada sekolah

TK X yang juga memiliki ciri heterogenitas. Berdasarkan hasil

wawancara dengan guru di TK X, anak-anak yang sekolah di lembaga

tersebut berasal dari berbagai keluarga dengan tingkat status sosial

ekonomi yang berbeda. Ada dari tingkat status sosial ekonomi kelas atas,

menengah, bahkan sampai rendah, selain itu ada anak yang benar-benar

tinggal atau menetap di panti dan anak umum yang tidak menetap di panti.

Hal tersebut terjadi karena memang awalnya TK X ini satu yayasan

dengan Panti Sosial Y yang mana awal mula tujuan pendirian panti sosial

ini diperuntukkan untuk membantu anak-anak yatim ataupun yatim piatu

yang orangtuanya memiliki status sosial ekonomi rendah untuk dapat tetap

merasakan pendidikan. Hal tersebut yang kerap kali dikhawatirkan terjadi


8

bullying pada anak di sekolah tersebut. Selain itu kesetaraan gender juga

patut untuk diajarkan ke anak sejak dini karena anak-anak seharusnya

bebas memilih minat dan kesukaan mereka tanpa harus dibatasi oleh jenis

kelamin dan hal inilah yang juga dikhawatirkan terjadi pada anak di TK X.

Berdasarkan fenomena di atas, jika dikaitkan dengan kondisi di TK

X dilihat dari sudut pandang orangtua terkait konsep bullying yang terjadi

di sekolah khususnya tingkatan PAUD, orangtua sebenarnya ada rasa

khawatir akan kejadian kasus bullying di lingkungan sekolah anak,

mengingat di lingkungan sekolah tersebut terdiri dari beberapa

keberagaman. Hal tersebut diungkap oleh salah satu orangtua saat peneliti

melakukan penggalian data awal dengan orangtua yang mempunyai latar

belakang pendidikan yang tinggi. Selain itu ada juga orangtua yang

mempunyai pandangan bahwa kasus bullying memang sudah sewajarnya

terjadi di kalangan anak dan mereka akan mengerti dengan sendirinya

sesuai dengan tingkat usia nya, saat masih usia-usia TK pasti anak akan

bertengkar dan lain sebagainya dan hal tersebut dianggap merupakan hal

yang wajar. Pernyataan tersebut merupakan pandangan dari salah satu

orangtua yang mempunyai latar belakang pendidikan lebih rendah.

Melihat sebagian perbedaan pandangan orangtua di atas, peneliti

ingin mengetahui lebih banyak pandangan orangtua tentang penerapan

konsep bullying yang mana bullying masuk pada nilai keadilan sosial pada

anak usia dini. Maka, peneliti menggagas untuk melaksanakan penelitian

ini dengan tujuan untuk menggali bagaimana persepsi orangtua dalam

keadilan sosial anak usia dini karena orangtua harus mengetahui lebih
9

awal tentang keadilan sosial pada anak-anaknya yang mana orangtua juga

yang paling banyak menghabiskan waktu dengan anak. Mengingat sebuah

persepsi juga dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Sebagian

orangtua berpendapat bahwa bullying ini kerap sering muncul pada anak

khususnya anak usia dini yang sepenuhnya belum mengenal baik dan

buruk, maka dari itu persepsi orangtua pada keadilan sosial anak usia dini

menarik untuk diteliti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pada uraian, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana persepsi orangtua dalam penerapan nilai

keadilan sosial di PAUD yang terfokus pada kasus bullying di TK X.

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui persepsi orangtua terhadap penerapan nilai keadilan

sosial di PAUD yang terfokus pada kasus bullying di TK X.


10

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. ManfaaTeoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmu atau

pengetahuan baru tentang persepsi orang tua tentang penerapan nilai

keadilan sosial di PAUD khususnya pada matakuliah metodologi

pengembangan kemampuan sosem (sosial emosional) anak usia dini,

pendidikan anak dalam keluarga, dan hak asasi anak khusunya anak

usia dini.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Orangtua

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada

masyarakat dalam bentuk pengetahuan baru tentang pentingnya

penerapan nilai keadilan sosial di PAUD.

b) Bagi Peneliti

Sebagai sumber informasi dan pengetahuan baru bagi peneliti

tentang persepsi orangtua tentang penerapan nilai keadilan sosial

di PAUD dan juga bisa dijadikan sumber acuan untuk penelitian

yang akan datang.

E. Batasan Penelitian
11

Batasan penelitian bertujuan menghindari peluasan dan penyimpangan inti

permasalahan yang diteliti oleh peneliti. Sehingga peneliti lebih fokus

untuk tercapainya tujuan penelitian. Batasan penelitian yang telah

ditetapkan terbatas pada masalah sebagai berikut :

1. Persepsi orangtua berdasarkan perbedaan latar belakang sosial

ekonomi dan latar belakang pendidikan

2. Orangtua yang memiliki anak rentang usia 4-6 tahun

3. Nilai keadilan sosial yang masuk dalam kategori bullying

4. Subjek dari penelitian ini adalah wali atau orangtua di TK X

F. Definisi Istilah

Definisi istilah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Persepsi

Persepsi diartikan sebagai pandangan yang berarti seseorang

memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi dapat diperoleh dari

sebuah tindakan yang dipengaruhi oleh stimulus yang didapat oleh

manusia melalui indera.

2. Bullying

Bullying diartikan sebagai suatu perilaku negatif yang dilaksanakan

berulang kali serta bermaksud menyakiti teman secara langsung

kepada seseorang yang tidak mampu untuk melawanya.

3. Orangtua

Orangtua diartikan sebagai ibu dan ayah yang memiliki tanggung

jawab yang berhubungan dengan anaknya baik dari segi pendidikan

dan segala aspek kehidupan anak.


12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pendidikan Anak Usia Dini

a. Pengertian Anak Usia Dini

Undang-undang no. 23 tahun 2003 terkait sistem

pendidikan nasional menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan AUD atau anak yang berada pada usia dini

merupakan anak yang berada pada rentang usia 0-6

tahun. Menurut The National Assosiation for the

Education of Children (NAEYC) menyebutkan AUD

(anak usia dini) merupakan anak yang usianya 0-8

tahun. Anak usia dini mengalami proses pertumbuhan

dan perkembangan berkembang sangat cepat. AUD

dikenal dengan masa golden age atau masa keemasan

yang menjadi penentu perkembangan anak di masa

yang akan datang (Ambara, Didith P.dkk, 2014)

Masa golden age otak anak perkembangannya

sangat cepat. Kondisi tersebut terjadi dari AUD berada

di kandungan sampai berusia 6 tahun. Masa itu otak

anak sedang bertumbuh sangat pesat, karena itu

perhatian yang lebih perlu diberikan pada anak. Bentuk

perhatianya seperti memberikan pendidikan secara


13

langsung baik dari orangtua atau lembaga pendidikan.

Maka dari itu, perkembangan anak di masa ini menjadi

penentu untuk tahap perkembangan yang akan datang

(Fauzziddin, M & Mufarizuddin, 2018)

Agar pada masa keemasan perkembangan anak bisa

berkembang dengan baik maka diperlukan stimulasi

atau ransangan yang harus diberikan kepada anak.

Ransangan bisa diberikan langsung oleh orangtua

maupun lembaga PAUD. Hal tersebut sesuai dengan

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 terkait sistem

pendidikan nasional yang menjelaskan tujuan

pendidikan usia dini sebagai usaha pembinaan yang

diperuntukkan untuk anak mulai lahir hingga umur 6

tahun yang dilaksanakan lewat ransangan pendidikan

guna membantu meransang perkembangan dan

pertumbuhan rohani dan jasmani anak dengan tujuan

agar siap menempuh pendidikan lebih lanjut.

Pelaksanaan pendidikan pada usia dini selain

memaksimalkan lembaga pendidikan faktor lain seperti

pemerintah, masyarakat terlebih lagi orangtua juga

sangat mempengaruhi. Pendampingan anak bukan pada

satuan pendidikan saja, melainkan anak memerlukan

interaksi baik dari lingkungan masyarakat dan lebih-

lebih dari lingkungan keluarga. Masyarakat khususnya


14

keluarga membutuhkan pemahaman yang baik terhadap

anaknya, memahami perubahan pada diri anak secara

fisik, perilaku, maupun kemampuan berpikir anak

(Mulyasa, 2012).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas,

kesimpulanya anak usia dini adalah yang berusia 0-6

tahun yang pada usia itu perkembangan dan

pertumbuhan anak sangat cepat. Selain itu masa usia

dini juga dapat dikatakan masa golden age atau masa

keemasan yang mana pada masa tersebut otak anak

berkembang sangat pesat sehingga dibutuhkan

ransangan-ransangan baik dari lingkungan keluarga,

sekolah ataupun masyarakat agar pertumbuhan dan

perkembangan anak bisa berkembang secara maksimal.

b. Karakteristik Anak Usia Dini

AUD atau biasa disebut anak usia dini

mempunyai karakteristik berbeda dengan orang dewasa

pada umumnya. Anak selalu aktif, antusias, selalu ingin

mengetahui yang dilihat, dirasakan dan di dengar serta

dinamis. AUD selalu bereksplorasi dan belajar

(Sujiono, 2013). Montessori dalam Sujiono (2013)

menjelaskan bahwa sejak anak lahir hingga berusia 6

tahun mengalami masa sensitif. Masa sensitif adalah


15

masa awal untuk anak belajar. Saat periode sensitif,

anak menjadi peka dan mudah terstimulasi aspek-aspek

dari lingkungan sekitarnya, sehingga perlu adanya

pendidikan kepada anak sejak dini agar anak dapat

menerima ransangan- ransangan dari luar. Selain itu

melalui pemberian ransangan- ransangan yang positif

juga dapat berdampak baik terhadap fase pertumbuhan

dan perkembangan anak.

Fase usia dini mempunyai perbedaan dengan fase

usia lainnya. Anak usia dini mempunyai karakteristik

khusus dan tidak sama dengan orang dewasa. Berikut

beberapa karakteristik yang ada dalam diri anak usia

dini (Amini, Mukti, 2014).

1. Mempunyai keingintahuan yang besar

Usia dini merupakan usia-usia dimana anak

memiliki rasa ingin tahu yang besar. Contoh saja

saat fase bayi, anak sering meraih dan memasukkan

benda-benda yang anak jumpai ke mulut si anak,

hal tersebut merupakan wujud dari si anak yang

mempunyai keingintahuan yang besar . Rentang

usia 3-4 tahun, si anak gemar bongkar pasang

segala yang sering dijumpainya seperti contoh

mainan sebagai wujud rasa keingintahuanya. Selain

itu, anak mulai senang bertanya meskipun masih


16

dengan bahasa yang cukup wajar. Kata “apa,

mengapa” yang biasanya digunakan anak sebagai

pertanyaannya, sedangkan anak yang berusia 4-6

tahun rasa ingin tahunya semakin besar.

2. Pribadi yang unik

Setiap anak mempunyai sisi unik tersendiri.

Seperti pada gaya belajarnya, latar belakang sosial

ekonomi keluarga, dan minat. Ciri khas tersebut bisa

dari faktor genetis misalnya ciri fisik dan lingkungan

seperti halnya minat. Maka dari itu, sebagai pendidik

dan orangtua perlu memahami keunikan dari setiap

anak dan tidak membanding-bandingkan anak karena

sejatinya anak mempunyai pribadi unik sendiri-

sendiri.

3. Suka berimajinasi dan berfantasi

Saat usia dini anak senang berkhayal tentang hal

yang tidak sebenarnya. Anak usia dini suka

membagikan cerita dengan segala keyakinanya.

Seakan-akan ia menjumpai dan mengalaminya

secara langsung, padahal hal tersebut merupakan

hasil imajinasi dan fantasinya belaka. Terkadang

mereka sepenuhnya belum dapat memisahkan

antara kenyataan dengan fantasi, akibatnya hal

tersebut sering dianggap berbohong oleh orang


17

dewasa. Padahal fantasi dan imajinasinya penting

untuk mengembangkan bahasa serta kreativitasnya.

Oleh sebab itu, pendidik terlebih lagi orangtua perlu

mengarahkan agar anak dapat memisahkan antara

imajinasi dan fantasi. Selain itu pendidik bersama

orangtua perlu untuk mengembangkan fantasi dan

imajinasi anak dengan bermacam-macam kegiatan

seperti mendongeng dan bercerita.

4. Masa Potensial Belajar


Masa usia dini disebut juga masa golden age

atau masa keemasan sebab masa tersebut anak

tumbuh dan berkembang sangat cepat. Seperti pada

perkembangan otak, saat usia 2 tahun pertama

proses pertumbuhan anak begitu cepat terjadi. Saat

lahir, berat otak anak ± 350 gram, umur 12 minggu

bertambah 500 gram, umur 1,5 tahun bertambah ± 1

kg, maka pada masa ini menjadi masa yang paling

penting untuk belajar segala sesuatu. Pendidik

maupun orangtua diharapkan dapat memberi

rangsangan supaya fase potensial tidak begitu saja

berlalu.

5. Memiliki Sikap Egosentris

Kata egosentris berasal dari kata ego dan

sentris. Ego mempunyai arti aku sedangkan sentris


18

mempunyai arti pusat. Maka egosentris mempunyai

arti “berpusat pada aku” yang artinya AUD

kebanyakan hanya memahami suatu hal dari sisi

dirinya sendiri bukan sisi individu lain. Anak

egosentrik biasanya sering memikirkan dan

membicarakan mengenai dirinya sendiri dari pada

individu lain. Tindakanya biasanya dengan tujuan

memberikan keuntungan diri si anak sendiri

(Hurlock, 2013). Hal tersebut terlihat jelas pada

perilaku anak yang sering rebutan mainan,

menangis dan merengek saat keinginanya belum

sepenuhnya terpenuhi, menganggap ibu dan

ayahnya adalah pasti hanya kedua orangtuanya

sendiri, bukan kedua orangtua kakak dan adiknya

(Amini, mukti, 2014). Maka disini, guru dan

orangtua berperan membantu mengurangi sifat

egosentris si anak dengan beberapa kegiatan seperti

melatih sifat peduli sosial, empati terhadap anak

yatim dan korban bencana dengan mengulurkan

bantuan serta mengajak anak mendengarkan cerita.

6. Mempunyai rentang daya konsentrasi yang pendek

Saat usia dini, anak mempunyai daya

konsentrasi cukup pendek, akibatnya konsentrasi

mudah teralih ke kegiatan lainya. Apalagi jika


19

kegiatan sebelumnya dirasa kurang menyenangkan

bagi anak. Menurut Berg dalam Amini, Mukti

(2014) mengatakan bahwa rentang konsentrasi anak

umur 5 tahun dapat konsentrasi duduk dengan

tenang memperhatikan sesuatu hanya sekitar kurang

lebih 5 menit terkecuali ada satu hal yang

membuatnya merasa senang. Orangtua penting

untuk lebih memperhatikan karakteristik anak yang

semacam itu. Maka dari itu, orangtua harus

berusaha menjadikan keadaan atau situasi menjadi

menarik ketika membimbing anak.

7. Termasuk makhluk sosial

Saat usia dini, anak mulai senang bermain,

berteman bersama temanya, belajar berbagi, antri,

serta sabar menunggu giliran pada waktu bermain

bersama teman sebayanya. Lewat interaksi bersama

kawan sebayanya diharapkan membentuk konsep

dalam diri anak. AUD belajar melakukan sosialisasi

serta berusaha agar diterima di lingkungan sosialnya.

Apabila anak bersikap ingin menang sendiri, maka

dia akan dijauhi oleh teman-temanya. Hal tersebut

membuat anak harus belajar berperilaku sesuai

dengan harapan sosial, karena sejatinya dia tetap

butuh oranglain di kehidupanya.


20

Selain beberapa karakteristik

tersebut, fokus riset yang

dilaksanakan oleh peneliti adalah

anak usia 4-6 tahun. Berikut

ini karakteristik yang dimiliki oleh

anak usia 4-6 tahun (Idris, Meity H,

2016).

1. Perkembangan fisik anak

menjadi sangat aktif

melaksanakan beragam jenis

kegiatan. Semua itu berguna

untuk berkembangnya otot-

otot kecil dan besar tubuh

anak.

2. Perkembangan bahasa anak

menjadi makin teratur dan

cukup baik. Mereka mulai

faham jika diajak berbicara

oleh oranglain serta mampu

mengutarakan pikiranya pada

batasnya.

3. Perkembangan kognitif

sangat cepat. Hal ini dapat


21

diketahui dari rasa ingin tahu

anak yang tinggi. Rasa ingin

tahu nya diungkapkan dengan

seringnya anak bertanya

terhadap orang dewasa.

4. Permainan si anak sifatnya

masih individu, tidak

permainan yang bersifat

sosial. Walaupun kegiatan

bermain dilaksanakan

bersama.

Berdasarkan karakteristik yang

dimiliki oleh anak, kesimpulanya adalah

anak usia dini merupakan manusia unik,

khas serta beda dari orang dewasa,

mereka juga mempunyai banyak potensi

yang harus dikembangkan, untuk itu

lingkungan anak baik lingkungan

sekolah, masyarakat, terlebih lingkungan

keluarga termasuk yang paling dekat

dengan anak adalah orangtua perlu

memberikan ransangan, dorongan, dan

bimbingan supaya kemampuan anak bisa


22

berkembang secara maksimal.

c. Aspek Perkembangan Anak

Menurut Permendikbud no. 137

tahun 2014 mengenai Standar PAUD

pasal 10 menyebutkan aspek

perkembangan anak usia dini terdiri dari

6 aspek yang perlu untuk dikembangkan.

Berikut keenam aspek tersebut :

1. NAM (Nilai Agama dan Moral)

Aspek NAM meliputi

kemampuan mengenal nilai agama

yang menjadi panutanya, menjalankan

ibadah, berperilaku jujur, sopan

santun, suka menolong, menghormati,

menjaga kebersihan diri dan

lingkungan, sportif, toleransi terhadap

agama orang lain, dan mengetahui

hari besar agama.

2. Fisik motorik

Aspek fisik motorik mencakup :

a) Motorik kasar meliputi

kemampuan gerak tubuh,

seimbang, lentur, lokomotor dan

non lokomotor, lincah, ikut


23

aturan.

b) Motorik halus meliputi

kelenturan dan kemampuan

gunakan jari serta alat untuk

mempelajari dan berekspresi diri

dalam beragam bentuk.

c) Perilaku keselamatan dan

kesehatan meliputi tinggi dan

berat badan, lingkar kepala sesuai

usianya, serta keterampilan

berperilaku hidup bersih dan

sehat serta peduli keselamatan.

3. Kognitif

Aspek kognitif mencakup :

a) Belajar dan pemecahan masalah

meliputi, kemampuan

memecahkan masalah sederhana

pada kehidupan sehari-hari

menggunakan cara yang luwes.

b) Berpikir logis, meliputi berbagai klasifikasi,

perbedaan,

pola, berencana, mengenal sebab akibat dan

berinisiatif.
24

c) Berpikir simbolik meliputi

kemampuan menyebutkan,

menggunakan, dan mengenal

konsep bilangan, mengetahui

huruf, dan bisa

mengidentifikasikan macam-

macam benda dan imajinasinya

ke dalam wujud gambar.

4. Bahasa

Aspek bahasa mencakup :

1) Mendalami bahasa reseptif,

meliputi kemampuan mendalami

cerita, perintah, aturan,

menghargai bacaan dan

menyenangi.

2) Mengutarakan bahasa, meliputi

anak mampu bertanya dan

menjawab sebuah pertanyaan,

komunikasi dengan lisan,

menceritakan ulang yang

didengar, mengekspresikan

perasaan dan keinginan pada

coretan, dan belajar bahasa


25

pragmatik.

3) Keaksaraan meliputi pemahaman

pada hubungan bunyi dan bentuk

huruf, memahami kata dalam

cerita, dan meniru bentuk huruf.

5. Sosial Emosional

Aspek sosial emosional mencakup:

a) Kesadaran diri, meliputi

mengendalikan diri, memahami

perasaan pribadi, menunjukkan

kemampuan diri dan mampu

menempatkan diri dengan

oranglain.

b) Rasa tanggung jawab pada diri

sendiri dan orang lain, meliputi

mampu mengenal akan haknya,

mematuhi peraturan, mempunyai

tanggung jawab atas perilakunya

dan mengatur diri sendiri.

c) Perilaku prososial meliputi

mampu bermain bersama teman,

merespon, paham perasaan,

menghargai pendapat dan hak


26

oranglain, berbagi, bersikap

kooperatif, bersikap sopan dan

toleransi.

6. Seni

Aspek perkembangan seni

mencakup mampu mengekspresikan

diri dan mengeksplorasi, mempunyai

kemampuan mengapresiasi karya

seni, berimajinasi dengan musik,

gerakan, drama, dan berbagai bidang

seni yang lain.

Berdasarkan pernyataan tersebut,

kesimpulanya adalah aspek

perkembangan pada anak yang perlu

dikembangkan baik oleh orangtua

ataupun pendidik ada 6 aspek

diantaranya ada aspek NAM, sosem,

seni, bahasa, kognitif, dan fisik

motorik. Aspek-aspek itu perlu

dikembangkan secara maksimal

supaya perkembangan dan

pertumbuhan anak juga bisa

berkembang dengan maksimal pula,

dari keenam aspek perkembangan


27

anak usia dini yang mempunyai

keterkaitan dengan nilai keadilan

sosial (bullying) yang termasuk fokus

dari penelitian ini yakni “aspek sosial

emosional” yang mana perilaku

bullying ini seharusnya tidak terjadi

pada anak jika orangtua, pendidik,

maupun lingkungan anak memberikan

stimulasi yang baik terhadap aspek

perkembangan sosial emosional anak

terkhusus pada perilaku prososial.

Jika perilaku prososial anak

distimulasi dengan baik seharusnya

anak mampu bermain bersama teman

sebayanya, menghargai pendapat dan

hak oranglain, toleransi, sopan,

kooperatif, berbagi, merespon,

memahami perasaan dan tidak

akan terjadi yang namanya perilaku

bullying. Apabila perilaku bullying

masih terjadi berarti anak belum

mempunyai kemampuan memahami

perasaan temanya dengan baik, selain

itu anak juga belum mampu


28

menghargai hak temannya. Maka dari

itu bullying masuk dalam kategori

aspek perkembangan sosial emosional

anak.

2. Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Kata persepsi berasal dari bahasa

Inggris perception yang berasal dari

bahasa Latin perceptio yang artinya

menerima atau mengambil. Leavitt dalam

Desmita (2014) menyatakan bahwa

perception dalam arti sempit adalah

penglihatan yang berarti cara seseorang

dalam melihat suatu hal, sedangkan pada

pengertian luas, perception adalah

pandangan yang berarti cara seseorang

melihat dan mengartikan suatu hal.

Sebuah persepsi dapat diperoleh dari

sebuah tindakan yang dipengaruhi oleh

stimulus yang didapat oleh manusia

melalui indera. Indera yang berperan

disini adalah indera penglihatan,

pendengaran, perabaan dan penciuman.

Semua stimulus terkumpul dan diterima


29

melalui berbagai indera kemudian

diorganisasikan menjadi informasi,

sehingga seseorang dapat membuat suatu

penafsiran.

Persepsi adalah kemampuan

manusia untuk membedakan,

mengelompokkan, kemudian

memfokuskan pikiran kepada suatu hal

dan untuk menginterpretasikanya.

Pembentukan persepsi berlangsung ketika

seseorang menerima stimulus dari

lingkunganya dan kemudian stimulus itu

diterima melalui panca indera dan diolah

melalui proses berpikir oleh otak untuk

kemudian membentuk suatu pemahaman,

dalam kehidupan sehari-hari yang

memegang peran penting pembentukan

persepsi adalah indera mata dan telinga

dan terkadang juga indera kulit untuk

merasakan tekstur suatu bentuk. Telinga

sama pentingnya dengan mata, melalui

indera telinga kita dapat mendengar

sesuatu kemudian merespon melalui

persepsi. Respon tiap individu erat


30

dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya

(Alizamar & Couto, N: 2016).

Persepsi berbeda dari realita.

Persepsi sebagai pengalaman peristiwa

dan objek serta hubungan yang telah

diperoleh dari memahami informasi serta

mengartikan pesan (Mamang, Etta, 2013).

Berdasarkan penjelasan tersebut,

kesimpulanya persepsi merupakan sebuah

cara pandang dan pemahaman seorang

individu

tentang objek pada lingkungan lewat

pengamatan, pengalaman dan

pengetahuan.

b. Aspek-aspek Persepsi

Rokeach & Hamka dalam

Walgito, Bimo

(2017)

mengungkapkan aspek persepsi terbagi 3

bagian, yaitu :

1. Aspek kognitif

Aspek kognitif berkaitan dengan

pemahaman aspek kognitif yang

melibatkan komponen pengharapan,


31

pengetahuan, sesuatu yang didapatkan

dari hasil pikiran orang yang

mempunyai persepsi, dan cara

berpikir, serta mendapatkan

pengalaman dan pengetahuan masa

lalu.

2. Aspek afektif

Aspek afektif berkaitan dengan

keadaan emosi dan perasaan

seseorang pada suatu objek yang

menyangkut evaluasi buruk atau baik

dari faktor emosional individu.

3. Aspek konatif

Aspek konatif berhubungan dengan

perilaku yang terjadi di sekitar yang

ditunjukkan pada sikap perilaku

seseorang dalam kehidupan sehari-

harinya sesuai pandangan pada

keadaan tertentu.

Berdasarkan pernyataan tersebut,

kesimpulanya adalah aspek-aspek persepsi

terbagi menjadi 3 yaitu aspek konatif,

kognitif dan afektif. Aspek konatif berkaitan

dengan motif dan tujuan timbulnya perilaku.


32

Aspek kognitif menyangkut komponen cara

berpikir dan pengetahuan. Aspek afektif

berkaitan dengan emosi dan perasaan

individu.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Danarjati, dkk (2013) menjelaskan

faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

ada 2, diantaranya ada faktor eksternal dan

internal. Faktor internal adalah faktor dari

dalam individu, sedangkan faktor eksternal

adalah faktor dari luar individu. Faktor

internal misalnya saja, kemauan, sikap, dan

kebiasaan, sedangkan faktor eksternal

misalnya stimulus baik sosial maupun fisik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

sebuah persepsi adalah objek yang dijadikan

persepsi, konteks yang dipersepsikan, dan

pelaku atau subjek persepsi (Danarjati, dkk,

2013). Ketika seseorang membuat persepsi

terpengaruh oleh faktor struktural dan

fungsional. Faktor fungsional sifatnya

individual. Sedangkan faktor struktural

adalah faktor di luar individu. Faktor


33

fungsional misalnya saja jenis kelamin,

kepribadian, pengalaman masa lampau,

umur, kebutuhan seseorang, dan sesuatu

yang bersifat subjektif, sedangkan faktor

struktural seperti norma sosial, budaya, dan

lingkungan (Danarjati, dkk, 2013).

Robbins (2014) menjelaskan bahwa

faktor pelaku persepsi dipengaruhi oleh

karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi,

kepentingan atau minat, pengalaman dan

pengharapan. Kemudian ada juga faktor lain

yang menentukan persepsi seseorang, seperti

umur, tingkat pendidikan, latar belakang

sosial ekonomi, budaya, lingkungan, fisik,

pekerjaan, kepribadian, dan pengalaman

hidup.

Berdasarkan penjelasan tersebut,

kesimpulanya adalah faktor yang

mempengaruhi sebuah persepsi ada faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal dari

luar individu, sedangkan faktor internal dari

dalam individu. Selain itu juga ada sikap,

motivasi, kepentingan atau minat,

pengalaman dan pengharapan. Ada juga


34

umur, tingkat pendidikan, latar belakang

sosial ekonomi, budaya, lingkungan, fisik,

pekerjaan, kepribadian, dan pengalaman

hidup.

d. Proses Persepsi Manusia

Persepsi adalah bagian dari

keseluruhan proses yang menghasilkan

tanggapan setelah ransangan diterapkan

kepada manusia. Proses persepsi

merupakan suatu proses kognitif yang

dipengaruhi oleh pengalaman dan

pengetahuan individu. Walgito (2016)

proses terjadinya persepsi terjadi dalam

beberapa tahap sebagai berikut :

1) Tahap pertama, merupakan tahap yang

dikenal dengan nama proses kealaman

atau proses fisik, merupakan sebuah

proses ditangkapnya suatu stimulus oleh

alat indera manusia.

2) Tahap kedua, merupakan tahap yang

dikenal dengan proses fisiologis,

merupakan proses diteruskanya stimulus

yang diterima oleh reseptor (alat indera)

melalui syaraf-syaraf sensoris.


35

3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang

dikenal dengan nama proses psikologik,

merupakan proses timbulnya kesadaran

individu tentang stimulus yang diterima

reseptor.

4) Tahap keempat, merupakan hasil yang

diperoleh dari proses persepsi yaitu

berupa tanggapan dan perilaku.

Berikut gambar proses terbentuknya

persepsi manusia

Gambar 2.1 Proses Terbentuknya

Persepsi

Keterangan :

L = Lingkungan

S = Stimulus

O = Individu
36

R = Respon/ reaksi

Dari gambar di atas, proses terjadinya

persepsi diawali dari objek yang

menimbulkan stimulus, kemudian

stimulus diterima oleh indera atau

reseptor dari individu. Individu tidak

hanya dikenai satu stimulus saja, tetapi

ada banyak stimulus yang datang.

Namun demikian, tidak semua stimulus

diterima atau mendapatkan respon dari

individu untuk dipersepsi. Stimulus mana

yang akan dipersepsi oleh individu

tergantung pada perhatianya. Lalu skema

selanjutnya merupakan kelanjutan dari

proses pertama. Sebagai akibat dari

stimulus yang dipilih dan diterima oleh

individu, maka dia akan menyadari dan

memberikan respon sebagai reaksi

terhadap stimulus tersebut.

3. Orangtua

a. Definisi Orangtua

Orangtua merupakan keluarga

yang termasuk ayah dan ibu. Selain itu

orangtua adalah hasil pernikahan yang


37

akhirnya membangun yang namanya

keluarga. Orangtua memiliki amanah

merawat, mendidik, mengasuh, dan

menuntun anak menjadi anak- anak yang

siap dalam kehidupan bermasyarakat.

Orang tua mempunyai peran penting

pada pendidikan anak-anaknya karena

orangtua merupakan guru yang

sebenarnya, guru pada kodratnya, maka

dari itu kasih sayang orangtua sebaiknya

kasih sayang yang sebenarnya pula

(Purwanto, Ngalim M, 2014).

Menurut Miami dalam Novrinda

(2017) menjelaskan bahwa orangtua

merupakan ayah dan ibu yang diikat

dalam sebuah perkawinan, selain itu

orangtua harus siap bertanggung jawab

menjalankan peran sebagai ayah dan ibu.

Sedangkan menurut Nasution dalam

Novrinda (2017) juga menjelaskan bahwa

orangtua merupakan pasangan suami istri

yang mempunyai tanggung jawab dalam

sebuah keluarga, dari beberapa

penjelasan tersebut, kesimpulanya


38

orangtua merupakan ayah dan ibu yang

mempunyai tanggung jawab atas

pendidikan anak serta semua aspek

kehidupanya sejak lahir sampai dewasa.

b. Peran Orangtua pada Pendidikan

Orangtua mempunyai peran dalam

pendidikan anak dengan tujuan untuk

mengantarkan anak ke jalan kesuksesan.

Nur (2015) mengungkapkan peran

orangtua pada pendidikan sebagai :

1) Pendidik

Orangtua adalah pendidik

yang utama dan pertama bagi anak

dengan tujuan mengembangkan

berbagai macam potensi yang

dimiliki oleh anak, seperti potensi

konatif, kognitif, dan afektif.

2) Pendorong

Orangtua sebagai pendorong

bagi anak yang bertujuan untuk

memotivasi anak agar dapat

mencapai yang diharapkan.

3) Fasilitator

Sebagai orangtua perlu


39

memberikan fasilitas belajar kepada

anak agar proses belajar anak bisa

sesuai dengan yang diharapkan

orangtua.

4) Pembimbing

Orangtua tidak hanya

berkewajiban memberikan fasilitas

belajar untuk anak, tetapi bimbingan

dari orangtua juga sangat diperlukan.

Berdasarkan pernyataan tersebut,

dapat disimpulkan peran orangtua dalam

pendidikan terbagi menjadi 4,

diantaranya orangtua harus mampu

menjadi pendidik, pendorong, dan

fasilitator, serta pembimbing bagi anak-

anaknya.

c. Status Sosial Ekonomi Orangtua


Status sosial ekonomi merupakan

tinggi rendahnya prestise yang dimiliki

oleh seseorang berdasarkan kedudukan

yang dipegangnya dalam kehidupan

bermasyarakat, berdasarkan pada

pekerjaanya untuk memenuhi kebutuhan

atau keadaan yang menggambarkan


40

posisi atau kedudukan keluarga dalam

masyarakat berdasarkan kepemilikan

materi dan lainya yang dapat

menunjukkan status sosial ekonomi yang

dimiliki seseorang (Taluke, dkk: 2021).

Status sosial ekonomi setiap orang

berbeda-beda dan bertingkat. Ada yang

status sosial ekonominya tinggi, sedang,

dan rendah. Berikut penjelasan dari

masing-masing tingkatan status sosial

ekonomi seseorang :

1) Golongan ekonomi tinggi


Golongan ekonomi kelas tinggi

adalah golongan keluarga atau

kehidupan rumah tangga yang

serba berkecukupan dalam segala

hal. Keluarga yang memiliki

golongan ekonomi tinggi

mempunyai kemampuan ekonomi

yang melebihi kebutuhan

hidupnya dari harta kekayaan

yang lebih banyak sehingga dapat

dengan mudah memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pendapatan


41

seseorang yang berekonomi

tinggi rata-rata di atas pendapatan

nasional.

2) Golongan ekonomi sedang


Golongan ekonomi sedang adalah

golongan yang mempunyai

kemampuan di bawah tinggi dan

di atas rendah atau dalam kata

lain orang yang kehidupanya

tidak berlebihan dan juga tidak

kekurangan atau bisa dikatakan

cukup. Seseorang yang

berekonomi sedang dalam

memenuhi kebutuhanya

disesuaikan dengan kemampuan

yang dimiliki dan pendapatanya

di bawah tinggi dan di atas

rendah dari pendapatan nasional.

3) Golongan ekonomi rendah


Golongan ekonomi rendah adalah

golongan yang mendapatkan

penghasilan yang lebih rendah

jika dibandingkan dengan

kebutuhan minimal yang


42

seharusnya dipenuhi dan

pendapatanya di bawah

pendapatan nasional (Taluke,

dkk: 2021).

Berdasarkan

penggolonganya BPS (Badan

Pusat Statistik: 2022)

membedakan pendapatan

penduduk menjadi 4 (empat)

golongan, yaitu :

1) Golongan pendapatan

sangat tinggi, jika

pendapatan rata-rata lebih

dari Rp. 3.500.000; per

bulan

2) Golongan pendapatan

tinggi, jika pendapatan

rata-rata antara Rp.

2.500.000; sampai dengan

Rp. 3.500.000; per bulan

3) Golongan pendapatan

sedang, jika pendapatan

rata-rata di bawah Rp.


43

1.500.000; sampai dengan

Rp. 2.500.000; per bulan

4) Golongan pendapatan

rendah, jika pendapatan

rata-rata Rp. 1.500.000;

per bulan.

d. Tingkat Pendidikan Orangtua


Tingkat pendidikan orangtua merupakan tahapan

atau jenjang pendidikan yang ditempuh oleh orangtua

dalam mengembangkan jasmani ataupun rohani atau

melalui proses pengubahan cara berpikir atau tata laku

secara emosional dan intelektual. Bentuk kegiatan

pendidikan dapat berupa pendidikan formal, non formal

dan informal. Berikut penjelasan dari masing-masing

kegiatan atau jalur pendidikan :

1) Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan

jalur pendidikan yang terstruktur

dan berjenjang yang terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan tinggi.

2) Pendidikan non formal

Pendidikan non formal yaitu jalur


44

pendidikan yang tidak terstruktur

dan pendidikan ini dapat

ditempuh di lingkungan sekitar.

Pendidikan yang teratur, dengan

sadar dilakukan, tetapi tidak

terlalu mengikuti peraturan-

peraturan yang tetap dan ketat.

3) Pendidikan informal

Pendidikan informal yaitu jalur

pendidikan keluarga dan

lingkungan berbentuk kegiatan

belajar secara mandiri yang

dilakukan secara sadar dan

bertanggung jawab (Taluke, dkk:

2021).

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik)

Tahun 2022 menyebutkan bahwa jenjang

pendidikan formal di Indonesia terdiri dari

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi. Berikut penjelasan dari

setiap jenjang pendidikan formal di

Indonesia :

a) Pendidikan Dasar
45

Pendidikan dasar merupakan

pendidikan umum yang lamanya

9 (sembilan) tahun.

Diselenggarakan 6 (enam) tahun

di Sekolah Dasar atau sederajat

dan 3 (tiga) tahun di Sekolah

Menengah Pertama atau

sederajat.

b) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan

pendidikan yang diselenggarakan

bagi lulusan pendidikan dasar.

Lama pendidikan yang harus

ditempuh adalah 3 (tiga) tahun.

Bentuk satuan pendidikan

menengah seperti SMA (Sekolah

menengah atas) atau sederajat.

c) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan

kelanjutan dari pendidikan

menengah yang diselenggarakan

untuk menyiapkan seseorang

menjadi manusia yang


46

profesional.

4. Nilai Keadilan Sosial

a. Pengertian Nilai Keadilan Sosial

Pendidikan berbasis social justice

(keadilan sosial) akan membuat anak agar

lebih berperan aktif dalam pendidikan

mereka sendiri dan juga mendorong guru

untuk menjadikan lingkungan pendidikan

yang demokratis, memberdayakan, dan

kritis. Bell (Hackman, 2017)

mendefinisikan social justice sebagai

tujuan dan proses. “Tujuan dari social

justice dalam pendidikan adalah

partisipasi penuh dan setara dari semua

kelompok masyarakat yang dibentuk

bersama untuk memenuhi kebutuhan

mereka”. Sedangkan “proses untuk

menuju social justice harus demokratis

dan partisipatif, inklusif dalam

berkolaborasi sebagai masyarakat.”

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan oleh Kesanen (2019)

pembelajaran nilai keadilan sosial “social

justice” untuk anak Sekolah Dasar


47

mencakup :

1) Perbedaan kondisi ekonomi

Perbedaan kondisi ekonomi keluarga anak

biasanya menjadi

pemicu penyebab terjadinya

penyimpangan nilai keadilan sosial.

Anak dari keluarga dengan status

sosial ekonomi tinggi biasanya akan

merasa mempunyai kedudukan lebih

tinggi pula dan mempunyai peluang

melakukan penyimpangan ketidak

adilan sosial terhadap anak yang

berasal dari keluarga dengan sosial

ekonomi rendah.

2) Kemampuan diri

Kemampuan diri pada setiap anak

atau individu juga dapat menjadi

pemicu terjadinya ketidak adilan

sosial pada anak. Anak yang

mempunyai kemampuan lebih unggul

akan merasa mempunyai kedudukan

yang lebih unggul pula. Di sisi lain

anak yang mempunyai kemampuan

lebih rendah akan merasa


48

kedudukanya lebih rendah pula. Hal

tersebut dapat menjadi penyebab

terjadinya ketidak adilan sosial pada

anak.

3) Ras atau warna kulit.

Anak yang berasal dari ras

atau warna kulit putih biasanya

memiliki kedudukan lebih tinggi

atau kuat dibandingkan anak dari ras

atau warna kulit hitam. Biasanya

anak dari ras atau warna kulit putih

akan menganggap anak dari ras atau

warna kulit hitam lebih rendah dari

mereka. Akhirnya dari hal tersebut

muncul peluang terjadinya nilai

ketidak adilan sosial pada anak.

Mengacu pada penjelasan

tersebut, kesimpulanya pendidikan

social justice akan mengajarkan

tentang keadilan dengan

memasukkan demokrasi, dialog,

dan berpusat pada anak.

Pembelajaran nilai keadilan sosial

mencakup perbedaan
49

kondisi ekonomi, kemampuan diri, dan ras atau

warna kulit.

b. Macam Nilai Keadilan Sosial

Young (2011) menyatakan bahwa

terdapat 5 jenis penindasan disebabkan

rendahnya nilai keadilan sosial pada

lingkup pendidikan di tingkatan PAUD,

seperti kekerasan, ketidakberdayaan dan

imperialisme budaya, eksploitasi, serta

marginalisasi. Mengacu pada uraian

sebelumnya, maka ada penelitian ini yang

ingin menggali secara mendalam terkait

bagaimana persepsi orangtua tentang

penerapan nilai keadilan sosial di PAUD.

Agar ranahnya tidak terlalu lebar maka

tema-tema yang menjadi jangkauan

dalam penelitian ini terfokus pada macam

nilai keadilan sosial sebagai berikut :

1. Kesetaraan Gender

Persamaan peran gender perlu

diajarkan kepada anak sejak dini

karena selain merupakan bentuk

pengenalan social justice, juga


50

merupakan proses pembentukan

konsep diri anak secara utuh baik

sebagai laki-laki maupun perempuan.

Seperti yang diungkapkan oleh Meece

(2018) bahwa anak telah siap untuk

memahami peran gender sebelum

mereka memasuki sekolah. Guru

dapat melatih anak untuk belajar yang

namanya peran gender dengan cara

tetap membiarkan anak perempuan

dan anak laki-laki bermain mainan

apapun yang mereka pilih sesuai

dengan keinginanya. Tugas seorang

guru sebagai perencana kegiatan

pembelajaran adalah dengan

menciptakan lingkungan belajar yang

aman, nyaman, menarik dan

menumbuhkan rasa keingin tahuan

anak tentang peran gender dengan

tanpa membeda-bedakan mainan dan

jenis kegiatan yang sesuai untuk

perempuan dan laki-laki.

2. Bullying

a) Definisi Bullying
51

Bullying merupakan sebuah bentuk

perilaku dan sikap kekerasan terhadap seorang

anak. Pelaku dari bullying adalah individu yang

menganggap individu tersebut mempunyai

kekuatan untuk melakukan apapun pada

korbanya. Korban dari bullying mengganggap ia

tidak berdaya, lemah dan terancam (Zakiyah,

dkk, 2017).

Sedangkan menurut pendapat

Darmayanti (2019) menjelaskan bahwa bullying

adalah perbuatan agresif seorang individu

berkali-kali serta ditemukan selisih kekuatan

antara korban dan pelaku. Berdasarkan beberapa

pendapat tersebut, dapat disimpulkan bullying

adalah perilaku kekerasan baik fisik atau psikis

yang dilaksanakan kelompok atau individu

berkali-kali serta terdapat perbedaan kekuatan

antara korban dan pelaku.

b) Bentuk Bullying

Zakiyah (2017)

menjelaskan bahwa bullying

terjadi dalam beberapa bentuk

tindakan, diantaranya adalah

sebagai berikut:
52

1) Bullying Fisik

Bullying fisik adalah jenis

kekerasan yang paling tampak

dari jenis bullying yang lain.

Bentuk kekerasan jenis ini

diantaranya mencakar,

menyekik, mukul,

menendang, menggigit,

meludahi, merusak baju atau

barang-barang yang di bully.

2) Bullying Verbal

Bullying verbal merupakan

jenis bullying yang kerap kali

dilakukan baik anak laki-laki

atau perempuan. Bullying

jenis ini seperti memfitnah,

mencela, memberikan julukan

nama, pelecehan seksual,

menghina, merampas uang

jajan dan barang-barang, e-

mail, telpon, dan gosip.

3) Bullying Relasional

Bullying relasional merupakan

bentuk bullying yang paling


53

susah untuk dideteksi dari

luar. Bentuk bullying ini

seperti pengucilan,

pengecualian, dan pengabaian

serta pengasingan teman.

4) Cyber Bullying

Cyber bullying merupakan

jenis bullying paling baru

disebabkan kecanggihan

teknologi, adanya internet,

serta media sosial. Intinya

korban dari jenis bullying ini

adalah mendapatkan hinaan,

teroran dari dunia maya.

c) Dampak Bullying

Zakiyah (2017) menjelaskan dampak bullying


sebagai berikut:

1) Dampak bagi Korban

Berikut dampak-dampak bullying bagi

korban :

a. Marah dan Depresi

Korbanya umunya mengalami

marah dan depresi karena merasa dirinya

sedang tidak aman dan perlu


54

perlindungan.

b. Tingkat Kehadiran Rendah dan Pretasi

Akademik juga Rendah Akibat dari

perilaku bullying yang dialami

anak, anak akan takut hadir ke sekolah

karena merasa tidak aman. Akhirnya

korban bullying tingkat kehadiranya

rendah dan biasanya juga prestasi

akademiknya juga rendah.

c. Menurunya skor

kecerdasan (IQ) dan

kemampuan analisis anak

Akibat merasa

kurang aman dan

memerlukan perlindungan

akhirnya kondisi mental

dan pikiran korban

bullying semakin menurun

akhirnya juga akan

menjadi penyebab

menurunya skor IQ serta

keterampilan analisis

seorang anak.

2) Dampak bagi pelaku


55

Pelaku biasanya bersikap

agresif, mempunyai watak

keras, pemarah, impulsif, dan

mendominasi oranglain.

Selain itu pelaku juga

mempunyai kekuasaan dan

jika dibiarkan begitu saja,

maka dikhawatirkan

berdampak muncul perilaku

kekerasan lain.

3) Dampak bagi Anak Lain yang Menyaksikan


Bullying

Apabila perilaku

kekerasan seperti bullying

dibiarkan begitu saja,

dikhawatirkan akan

berdampak bagi anak lain

yang menyaksikan. Mereka

akan beranggapan bahwa

bullying adalah perilaku yang

diperbolehkan dilakukan dan

diterima di lingkungan sosial

dan mereka akhirnya ikut

melakukan. Jadi perilaku


56

kekerasan seperti bullying

perlu ditindak lanjuti agar

tidak menjadi contoh untuk

lain.

c. Faktor yang Mempengaruhi Nilai Keadilan


Sosial
Menurut Zakiyah (2017)

menyebutkan bahwa faktor yang

membuat terjadi ketidak adilan sosial

adalah :

1) Keluarga
Pelaku bullying biasanya

dari anak keluarga bermasalah.

Seperti misalnya orangtua sering

memberikan hukuman kepada

anak. Anak secara tidak langsung

akan mengamati konflik dalam

keluarganya dan akan

menerapkan ke temanya. Apabila

tidak terdapat tindakan yang jelas

dari lingkunganya, maka anak

akan meniru kekerasan itu.

2) Sekolah

Kebanyakan sekolah

kurang memperhatikan penerapan


57

nilai ketidak adilan sosial pada

anak seperti bullying. Akibatnya

anak memperoleh penguatan

terhadap perilaku yang anak

lakukan.

3) Teman

Anak-anak ketika berada

di sekolah atau pada saat di

lingkungan rumah dengan

temanya terkadang terdorong

untuk melakukan ketidak adilan

sosial (bullying). Mereka

melakukan hal tersebut dengan

harapan agar orang lain percaya

mereka dapat bergabung pada

kelompok tertentu. Walaupun

mereka merasa kurang nyaman

dengan tindakan itu.

4) Kondisi Tingkat Sosial Ekonomi

Kondisi tingkat sosial ekonomi bisa

menjadi salah

satu sebab munculnya ketidak adilan sosial

seperti bullying. Salah satu faktor yang

menyebabkan diantaranya kemiskinan. Anak


58

yang berada pada kondisi kemiskinan akan

melakukan apapun untuk mencukupi kebutuhan

yang diperlukan meskipun dengan melakukan

pemalakan.

5) Tayangan TV dan Media Cetak

Tayangan TV dan media cetak dapat

menjadikan pola perilaku ketidak adilan sosial

pada diri anak seperti bullying dari tayangan yang

ditontonkan.

Berdasarkan pernyataan tersebut,

kesimpulanya faktor yang mempengaruhi

terjadinya ketidak adilan sosial (bullying)

pada anak, diantaranya keluarga, sekolah,

teman dan kondisi tingkat sosial ekonomi

serta tayangan TV dan media cetak.

5. Persepsi Orangtua tentang Penerapan

Nilai Keadilan Sosial di PAUD

Menurut Oktavianingsih & Fitroh (2022)

menyebutkan bahwa penerapan nilai keadilan sosial di

PAUD masih jarang diterapkan. Selain itu kebanyakan

orangtua juga belum mengajarkan saat anak berada di

lingkungan rumah. Hal tersebut terjadi karena menurut

pandangan orangtua dan guru yang masih mengganggap

nilai keadilan sosial terlalu dini ketika diterapkan di tingkat


59

PAUD. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa persepsi orangtua tentang penerapan

nilai keadilan sosial di PAUD masih menganggap bahwa

untuk mengajarkan nilai keadilan sosial di PAUD belum

perlu diterapkan karena menilai anak masih terlalu dini

untuk diajarkan nilai tersebut.

Mengacu hasil penelitian Komariyah (2018)

menyebutkan bullying merupakan perilaku negatif yang

tercela yang akan berdampak pada perubahan sikap dan

proses belajar, untuk mengatasi perilaku bullying di sekolah

adalah dengan adanya pendekatan dengan orangtua dan

pihak sekolah. Selain penelitian tersebut terdapat penelitian

yang juga telah dilakukan oleh Bili & Sugito (2021)

menyimpulkan persepsi orangtua dilihat dari perbedaan

tingkat pendidikan memiliki peran penting untuk menyikapi

tindakan bullying di TK. Orang tua yang tamatan

pendidikannya SD dan SMP memahami tindakan bullying

hanya sebatas perilaku yang mengganggu anak lain dan

kenakalan yang dilakukan anak, sedangkan orangtua dengan

tamatan pendidikan S1 ke atas memahami tindakan bullying

dengan anggapan yang baik. Hal tersebut dikarenakan

mereka mempunyai akses untuk lebih tahu terkait perilaku

perundungan.

Berdasarkan uraian tersebut, kesimpulanya bullying


60

merupakan perilaku negatif yang akan mempunyai dampak

buruk bagi anak ketika di sekolah, dalam hal tersebut maka

pengajaran tentang nilai-nilai bullying perlu untuk diajarkan

ke anak sejak dini. Di sisi lain orangtua mempunyai persepsi

yang berbeda-beda dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, maka

pemahaman tentang konsep bullying pada anak juga akan

semakin baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan

orangtua juga semakin rendah pula pemahaman orangtua

tentang konsep bullying.

B. Penelitian yang Relevan


Peneliti menggunakan jurnal pada tabel

2.1 untuk dijadikan penelitian yang relevan

dengan penjelasan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Penelitian yang


Relevan

No. Judul Tahun Kesimpulan Perbedaan


1. Pengembangan 2022 Pengembangan Sumber data yang
electronic electronic wordless diteliti pada jurnal ini
wordless picture book mengarah pada anak
picture book digunakan untuk saja. Sedangkan dalam
untuk mengenalkan social penelitian yang diteliti
mengenalkan justice (nilai keadilan oleh peneliti, yang
social justice sosial) pada anak usia menjadi sumber data
pada anak usia 4-6 tahun. Penelitian adalah orangtua. Pada
4-6 tahun ini dilakukan di TK jurnal ini menggunakan
(Eka Muslimat NU Darun metode penelitian dan
Oktavianingsih Najah Kamal. pengembangan
& Siti Electronic wordless (researcha and
Fadjryana picture book ini development/RnD).
Fitroh) dikembangkan karena Penelitian
keterbatasan materi pengembangan ini
dan media tentang menggunakan model
61

keadilan sosial atau ADDIE. Sedangkan


social justice pada peneliti menggunakan
anak usia 4-6 tahun. pendekatan kualitatif
Selain itu electronic dengan metode studi
wordless picture book kasus dengan penelitian
juga sudah layak Fokus kepada persepsi
digunakan karena orangtua tentang
telah valid dan efektif. penerapan nilai
Media hasil keadilan sosial di
pengembangan ini PAUD
diharapkan dapat
menjadi bahan untuk
mengajarkan materi
keadilan sosial yang
meliputi bullying dan
kesetaraan gender.
2. Persepsi Guru 2022 Kesimpulan dari Jurnal ini memiliki
tentang jurnal ini adalah perbedaan dengan
Penerapan Nilai menggali bagaimana penelitian yang
Keadilan Sosial persepsi guru tentang dilakukan oleh
di PAUD penerapan nilai peneliti. Perbedaanya
(Khilyatul keadilan sosial di adalah terletak pada
Wardah Eka PAUD. Peran guru subjeknya. Subjek
Oktavianingsih dalam mengajarkan penelitian dalam
& Siti nilai keadilan sosial jurnal ini adalah guru,
Fadjryana di PAUD seperti sedangkan dalam
Fitroh) bullying dan penelitian yang
kesetaraan gender dilakukan peneliti
sangat penting karena subjeknya adalah
guru adalah orangtua
seseorang yang yang
paling dekat dengan
anak ketika di
sekolah.
3. Persepsi 2017 Tujuan dari Perbedaan jurnal ini
penelitian ini adalah dengan penelitian yang
tentang untuk mengetahui dilakukan oleh peneliti
Perilaku dipengaruhi persepsi adalah pada subjek
Bullying terhadap perilaku yang diteliti. Pada
ditinjau dari bullying ditinjau dari jurnal ini meneliti
Jenis Kelamin jenis kelamin. tentang persepsi
(Novendawati Penelitian ini perilaku bullying
Wahyu menunjukkan bahwa ditinjau dari jenis
Sitasari) tidak ada perbedaan kelamin, sedangkan
persepsi tentang penelitian yang
perilaku bullying dilakukan peneliti
ditinjau dari jenis tentang persepsi
kelamin. orangtua tentang
penerapan nilai
keadilan sosial yang
juga termasuk dalam
kategori bullying
62

Penelitian di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :

Penelitian pertama yang berjudul “Pengembangan electronic

wordless picture book untuk mengenalkan social justice pada

anak usia 4-6 tahun”. Kesimpulanya adalah mengembangkan

electronic wordless picture book yang digunakan untuk

memperkenalkan social justice (nilai keadilan sosial) anak

umur 4-6 tahun. Penelitian itu dilakukan di TK Muslimat NU

Darun Najah Kamal.

Electronic wordless picture book ini dibuat dikarenakan

terbatasnya pelajaran dan media mengenai nilai keadilan sosial

di tingkatan taman kanak-kanak. Selain itu electronic wordless

picture book juga sudah layak digunakan karena telah valid dan

efektif. Media hasil pengembangan ini diharapkan dapat

menjadi bahan untuk mengajarkan materi keadilan sosial yang

meliputi bullying dan kesetaraan gender.

Penelitian yang kedua berjudul “Persepsi Guru tentang

Penerapan Nilai Keadilan Sosial di PAUD”. Kesimpulan dalam

penelitian kedua ini adalah menggali bagaimana guru tentang

penerapan nilai keadilan sosial di PAUD. Peran guru dalam

mengajarkan nilai keadilan sosial sosial di PAUD seperti

bullying dan kesetaraan gender sangat penting karena guru

adalah seseorang yang yang paling dekat dengan anak ketika di


63

sekolah. Penelitian yang ketiga berjudul “Persepsi tentang

Perilaku Bullying ditinjau dari Jenis Kelamin”, simpulannya

adalah untuk mengetahui pengaruh persepsi terhadap tindakan

bullying dilihat dari jenis kelamin. Penelitian ini menunjukkan

tidak ada pengaruh perbedaan persepsi dilihat dari jenis

kelamin seseorang.

C. Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir


64

Berdasarkan gambar di atas, dapat didekskripsikan bahwa

saat ini masih banyak orangtua yang hanya memperhatikan

dimensi kognitif dan konatif anak tanpa memperhatikan

dimensi afektif anak yang pada akhirnya guru-guru di sekolah

hanya terfokus pada pembelajaran calistung saja. Lokasi

penelitian ini di lembaga pendidikan Taman Kanak-kanak X

yang mana pada lembaga tersebut terdiri dari orangtua

dengan berbagai latar belakang, baik latar belakang

sosial ekonomi, pendidikan atau yang lain. Selain itu anak yang

bersekolah di lembaga ini juga ada yang tinggal di panti dan

ada anak umum yang hanya sekolah saja tanpa tinggal di panti.

Akhirnya hal tersebut menjadi peluang besar untuk terjadinya

bullying.

Maka dari itu sangat dibutuhkan keterlibatan orangtua

dalam menerapkan nilai keadilan sosial (bullying) pada anak

usia dini. Hal tersebut mendorong peneliti ingin mengetahui

dan melakukan penelitian lebih jauh terkait persepsi orangtua

dalam menerapkan nilai keadilan sosial di PAUD.

Anda mungkin juga menyukai