Anda di halaman 1dari 41

THAHARAH

Thaharah merupakan kunci dan syarat sahnya ibadah shalat. Shalat yang dilaksanakan
oleh seorang muslim harus didahului dengan berthaharah terlebih dahulu. Jika thaharah ini tidak
dilakukan maka hukum shalatnya menjadi tidak sah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫َّسلِْي ُم‬ ِ ِ
ْ ‫ور َوحَتْ ِرمْيَُها التَّ ْكبْي ُر َوحَتْلْيلُ َها الت‬
ِ َّ ‫ِم ْفتاح‬
ُ ‫الصالَة الطُّ ُه‬ ُ َ
“Kunci shalat ialah suci (thuhur) yang menyebabkan haram melakukan perkara-perkara yang
dihalalkan sebelum shalat adalah takbiratul ihram dan yang menghalalkan melakukan perkara
yang diharamkan sewaktu shalat ialah salam”.
Sabda Nabi yang lain,
ِ َ‫الطَّهور َشطْر ااْلِ مْي‬
‫ان‬ ُ ُ ُْ
“Suci adalah sebagian dari iman”.
Sabda Nabi di atas menunjukkan thaharah sangat berpengaruh bagi diterimanya shalat
seseorang. Bahkan thaharah merupakan sebagian dari iman, yang berarti realisasi sebagian
keimanan seorang muslim salah satunya ditentukan oleh thaharah.
Thaharah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Islam sangat
memperhatikan kebersihan dan kesucian umatnya. Kebersihan dan kesucian dimaksud meliputi
lahiriah dan batiniah. Perhatiannya ditunjukkan dalam firman Allah SWT maupun dalam sabda
Nabi Muhammad SAW.

ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ِإ َّن اهللَ حُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬
“Sungguh Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang yang mensucikan
diri” (QS. al-Baqarah: 222).
Bertaubat ditujukan untuk membersihkan batin, sedangkan berwudhu untuk
membersihkan jasmani.

َ ‫ب الْ ُمطَّ ِّه ِر‬


‫ين‬ ٌ ‫فِ ِيه ِر َج‬
ُّ ِ‫ال حُيِ بُّو َن َأن َيتَطَ َّه ُروا َواهللُ حُي‬
“Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, Allah menyukai orang-orang
yang bersih” (QS. at-Taubah: 108).
Kualitas ibadah bisa dicapai apabila dilandasi dengan kebersihan dan kesucian yang
mencakup lahiriah dan batiniah. Kebersihan lahiriah dilakukan dengan membersihkan tubuh,
sedangkan kebersihan batin dilakukan dengan menghilangkan diri dari noda dosa. Dosa bisa
dihilangkan dengan cara bertobat.
A. Pengertian
Thaharah secara bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau najis hissi (yang dapat
terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis ma’nawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti
aib dan maksiat. Secara istilah thaharah berarti bersih dari najis baik najis haqiqi yaitu
khabats (kotoran) atau najis hukmi yaitu hadats, yang dapat menghalangi shalat dan ibadah-
ibadah sejenisnya dengan air, tanah, batu atau benda keras lainnya.
Khabats berarti sesuatu yang kotor sebagai mana diungkapkan oleh syara’, sedangkan
hadats ialah sesuatu yang melekat pada anggota tubuh dan dapat menghilangkan kesucian
(thaharah).

ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ِإ َّن اهللَ حُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat (yang kembali) dan mencintai
orang-orang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah: 222).
Thaharah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu thaharah hadats dan thaharah
khabats. Mensucikan hadats khusus pada badan. Sedangkan mensucikan kotoran mencakup
badan, pakaian dan tempat. Mensucikan hadats dibagi menjadi tiga macam, yaitu: hadats
besar dengan mandi, mensucikan hadats kecil dengan wudhu’ serta bersuci sebagai ganti
kedua jenis cara bersuci mandi dan wudhu dengan bertayamum. Bertayamum diperkenankan
apabila tidak mampu melakukan mandi atau wudhu disebabkan ada halangan atau udzur.
Sedangkan mensucikan kotoran atau khabats bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
membasuh, mengusap, dan memercikkan.
B. Pensyariatan
Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Bahkan menjadi
kunci pertama bagi diterimanya shalat dan ibadah sejenis lainnya. Sebagaimana dijelaskan
dalam sabda Nabi SAW:
‫َّسلِْي ُم‬
‫ت‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ل‬
ُ
ْ َ ْ َ ُْ ‫ي‬
ْ
ِ‫الصالَِة الطُّهور وحَت ِرمْي ها التَّ ْكبِير وحَت ل‬
َُ ْ َ ُ ُ َّ ‫اح‬ ِ
ُ َ‫م ْفت‬
“Kunci shalat ialah suci (thuhur) yang menyebabkan haram melakukan perkara-perkara
yang dihalalkan sebelum shalat adalah takbiratul ihram dan yang menghalalkan melakukan
perkara yang diharamkan sewaktu shalat ialah salam”.
Disyariatkannya bersuci meliputi badan, pakaian, maupun tempat yang terkena najis.
Oleh sebab itu, ketiganya ketika terkena najis wajib hukumnya untuk dibersihkan.

َ َ‫َوثِيَاب‬
‫ك فَطَ ِّه ْر‬
“Dan bersihkanlah pakaianmu” (al-Muddatstsir: 4).
Firman Allah SAW di atas menjelaskan tentang adanya perintah membersihkan
pakaian. Pakaian adalah sesuatu yang melekat di tubuh manakala melakukan aktifitas
termasuk juga ketika melakukan shalat. Dengan demikian, yang perlu dilakukan tidak hanya
membersihkan badan tetapi juga membersihkan pakaian, agar ketika melaksanakan shalat
yang bertujuan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SAW, dalam keadaan
bersih secara keseluruhan.
Bukankah pada saat akan berjumpa dengan sesama manusia, kita selalu
memperhatikan kebersihan pakaian? Jika hal tersebut selalu diperhatikan semestinya pada saat
akan menghadap Allah SWT juga selalu memperhatikan kebersihan pakaian yang dikenakan.
Karena bagaimanapun Allah adalah Dzat yang maha agung, yang telah memberikan rezeki
kepada setiap makhluknya, maka sepantasnya ketika hambanya hendak menghadap kepada-
Nya selalu menggunakan pakaian yang bersih.
Sabda Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan:
‫اس ُك ْم َحىَّت تَ ُك ْونُ وا َك َأنَّ ُك ْم‬ ِ ِ ‫ِإنَّ ُكم قَ ِادمو َن علَى ِإخ وانِ ُكم فََأص لِحوا ِرح الَ ُكم و‬
َ َ‫َأص ل ُحوا لب‬
ْ َ ْ َ ُ ْ ْ َ ْ َ ُْ ْ
‫ش‬
َ ‫الت َف ُّح‬
َّ ‫ش َواَل‬ ُّ ِ‫َّاس فَِإ َّن اهللَ اَل حُي‬
َ ‫ب الْ ُف ْح‬ ِ ‫َش َامةٌ يِف الن‬
“Apabila kamu datang ke tempat saudara-saudara kamu hendaknya kamu perindah atau
perbaiki kendaraan dan pakaian kamu, sehingga kamu menjadi perhatian di antara manusia.
Karena Allah tidak suka perbuatan keji dan juga keadaan yang tidak teratur” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut mengindikasikan keteraturan yang ditampakkan pada kebersihan
pakaian dan kendaraan merupakan hal yang disukai Allah. Perhatian terhadap keindahan
merupakan cermin kepribadian seseorang yang mulia. Kemuliaan tersebut menjadikan orang
tersebut akan menjadi perhatian orang lain.
Dalam firman Allah SWT, yang lain juga diperintahkan untuk membersihkan tempat
yang hendak digunakan untuk melakukan aktifitas ibadah.
ِ ‫السج‬ ِِ ِ‫ِ ِئ‬
‫ود‬ ُ ُّ ‫الر َّك ِع‬
ُّ ‫ني َو‬ َ ‫َأن طَ ِّهَرا َبْييِت َ للطَّا ف‬
َ ‫ني َوالْ َعاكف‬
“…Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang beri’tikaf, orang yang
ruku’ dan orang yang sujud” (al-Baqarah: 125).
Jika badan dan pakaian telah dijaga kebersihannya, maka setiap tempat yang
digunakan untuk shalat juga harus bersih dan suci. Agar ibadah yang dilakukan oleh seorang
muslim menjadi sah hukumnya. Kebersihan dan kesucian yang dijaga mencakup dua aspek
yaitu bersih dan suci dari najis, dan hadats, baik yang berkategori besar maupun kecil.

C. Alat bersuci
Thaharah bisa menggunakan sejumlah alat bersuci yang memenuhi syarat. Di antara
alat bersuci yang bisa digunakan untuk berthaharah adalah sebagai berikut:
1. Air
Air merupakan alat bersuci yang utama, yang berarti sebelum seseorang
diperbolehkan menggunakan alat bersuci lain, maka bagi orang tersebut diutamakan
menggunakan air. Kendati demikian, tidak semua air boleh dipakai untuk bersuci. Air yang
boleh dipakai untuk bersuci harus memenuhi criteria tertentu sebagaimana dijelaskan dalam
syari’at. Berikut akan dijelaskan tentang macam-macam air berikut hukumnya untuk
digunakan bersuci.
a. Air Mutlak
Air mutlak adalah air yang suci dan mensucikan. Secara dzatiyah suci dan dapat
mensucikan yang lain. Di antara jenis air yang termasuk kategori mutlak adalah air yang
jatuh dari langit atau yang bersumber dari bumi dan keadaan asalnya tetap. Misalnya: air
dari mata air, air sungai, air hujan, air embun, air salju, air laut dan air telaga, maupun air
sejenis lainnya. Berikut dalil yang menjelaskan kebolehan jenis air tersebut dipakai untuk
bersuci.
‫ورا‬ ِ َّ ‫الرياح ب ْشرا ب يدي رمْح تِ ِه وَأنزلْنا ِمن‬ ِ َّ
ً ‫الس َمآء َمآءً طَ ُه‬ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ‫َو ُه َو الذي َْأر َس َل ِّ َ َ ُ ً َنْي‬
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”
(QS. Al-Furqan: 48).
ِ ‫السم‬
‫آء َمآءً لِيُطَ ِّهَر ُك ْم بِِه‬ َ َّ ‫َويَُنِّز ُل َعلَْي ُكم ِّم َن‬
“Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit untuk mensucikanmu” (QS. Al-
Anfaal: 11).
‫ث فِْي ِه‬
ُ ‫اس ٍة حَتْ ُد‬ ِ ‫ِإ‬
َ ‫اَلْ َماءُ طَ ُه ْوٌر اَّل َأ ْن َيَتغََّيَر ِرحْي ُهُ َْأو طَ ْع ُمهُ َْأو لَ ْونُهُ بنَ َج‬
“Air itu pembersih, kecuali jikalau telah berubah baunya atau rasanya, ataupun warnanya
lantaran kemasukan benda najis”.
ِ
ُ‫الطَّ ُه ْو ُر َماُؤ هُ احْل ُّل َمْيتَتُه‬
“Suci airnya, halal bangkainya”.

b. Air Musta’mal
Yaitu air yang telah digunakan untuk wudhu dan mandi. Hukumnya sama dengan air
mutlak, suci dan mensucikan.
ِ َّ ‫اج النَّيِب ىِف ج ْفنَ ٍة فَج اء النَّيِب لِيَتو‬
ْ َ‫اَأوِإ ْغتَ َس َل َف َق ال‬
:ُ‫ت لَ ه‬ ْ ‫ضَأمْن َه‬ َ َ ُّ َ َ َ ِّ ِ ‫ض َْأز َو‬ ُ ‫ِإ ْغتَ َس َل َب ْع‬
‫ َف َق َ ِإ‬،‫ت جنُب ا‬ ‫ِ ِإ‬
‫ب (رواه أمحد وأبوداودوالنس آئى‬ ُ ُ‫ َّن الْ َم اءَ الَ جَيْن‬:‫ال‬ ً ُ ُ ‫ ىِّن ُكْن‬،‫يَ َار ُس ْو َل اهلل‬
)‫والرتمذى‬
“Salah seorang dari isteri-isteri Nabi SAW mandi di satu bejana, maka datanglah beliau
hendak wudhu atau mandi dari (air) itu, maka iapun berkata: wahai Rasulallah,
sesungguhnya aku (mandi) junub. Beliaupun bersabda: sesungguhnya air itu tidak dapat
menjunubkan”.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa air yang telah digunakan untuk mandi, sisanya boleh
digunakan untuk bersuci baik untuk dipakai mandi maupun wudhu. Hukumnya tetap sah
dilakukan.
c. Air suci tetapi tidak mensucikan
Yaitu air yang secara dzatiyah suci namun tidak bisa dipakai untuk bersuci karena tidak
mensucikan. Misalnya air yang telah tercampur dengan zat kimia seperti menuman
bersoda, kemudian air kelapa, air susu, air teh, air sirup. Air tersebut tidak bisa digunakan
bersuci karena telah berubah sifat, rasa, dan baunya.
d. Air Bernajis
Ialah air yang telah bercampur dengan benda najis, sehingga berubah salah satu di antara
rasa, warna dan baunya. Air ini tidak dapat dipakai untuk bersuci disebabkan telah
tercampur dengan najis, sehingga tidak dapat menghilangkan najis maupun hadats.
2. Debu
Debu merupakan alat bersuci yang biasa digunakan manakala terdapat hal-hal yang
membolehkan untuk meninggalkan air manakala bersuci. Debu yang dimaksud adalah debu
yang suci dan kering, yang bisa dijumpai di tanah, dinding, kaca, maupun di tempat lainnya.
Allah SWT berfirman:
ِ ‫ِئ‬
‫ِّس آءَ َفلَ ْم‬ َ َ‫ض ى َْأو َعلَى َس َف ٍر َْأو َج آء‬
َ ‫َأح ُد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَآ ط َْأو الََم ْس تُ ُم الن‬ َ ‫َوِإن ُكنتُم َّم ْر‬
‫صعِ ًيدا طَيِّبًا‬ ِ
َ ‫جَت ُدوا َمآءً َفَتيَ َّم ُموا‬
“…Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih)….” (QS. Al-Mai’dah: 6).

Demikian juga dalam sabda Nabi SAW:


ِِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ‫َأح ُد ُك ْم بَن ْعله اَأْل َذى فَِإ َّن التَُّر‬
ُ‫اب لَهُ طَ ُه ْو ُره‬ َ ‫َذا َوطَئ‬
“Jika sandalmu mengenai kotoran, maka tanah adalah alat untuk membersihkannya”
Debu yang digunakan bersuci adalah debu yang bersih dan tidak terkena najis. Tentu
saja mudah ditemukan, karena jumlahnya sangat banyak dan bisa dijumpai di banyak tempat
di sekitar kita.
3. Benda padat
Benda-benda padat selain korotan dan tulang, seperti batu, kayu, daun, tisu dsb, bisa
digunakan untuk bersuci asalkan sebelumnya tidak terkena najis, dan tidak dijumpai pula air.
Hal ini didasarkan pada hadits:
‫ َْأو َأ ْن‬، ِ ‫اهلل َأ ْن نَ ْس َت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ةَ بِغَاِئ ٍط َْأو َب ْو ٍل َْأو َأ ْن نَ ْس َتْن ِج َي بِ الْيَ ِمنْي‬
ِ ‫لََق ْد َنهانَ ا رس و ُل‬
ُْ َ َ
)‫َأح َجا ٍر َْأونَ ْسَتْن ِج َي بَِر ِجْي ٍح َْأو بِ َعظْ ٍم (رواه مسلم‬ ِ ِ ِ
ْ ‫نَ ْسَتْنج َي بَِأقَ َّل م ْن ثَالَثَة‬
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat sewaktu buang air besar
atau kecil, atau istinja’ dengan tangan kanan, atau istinja’ dengan batu kurang dari tiga
buah, atau istinja’ dengan kotoran atau dengan tulang” (HR. Muslim).
Perihal larangan menggunakan kotoran dan tulang dijelaskan dalam hadits berikut:
ِ ‫الرو‬
‫ فَِإنَّهُ َز ُاد ِإ ْخ َوانِ ُك ْم ِم َن اجْلِ ِّن‬،‫ث َوالَ بِالْعِظَ ِام‬ ِ ِ
ْ َّ ‫الَتَ ْستَ ْجم ُر ْوا ب‬
“Janganlah kalian beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang, karena keduanya adalah
makanan saudara-saudara kalian dari jin” (HR. Bukhari-Muslim).
Selain larangan beristinja’ menggunakan dua benda di atas, sebaiknya juga tidak
mengunakan benda yang masih memberikan manfaat selain untuk kepentingan istinja’.
D. Filosofi Bersuci
Daftar Pustaka
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Bekasi (Darul Falah:
2011).
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 1 (terj. A. H. al-Kattani), Jakarta (Darul
Fikir: 2011).
Jamaluddin, Syakir, Kuliah Fiqh Ibadah, Yogyakarta (LPPI UMY: 2011).
Pasha, Musthafa Kamal, dkk, Fikih Islam: Sesuai dengan Putusan Tarjih, Yogyakarta (Citra
Karsa Mandiri: 2009).
PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta
(PP Muhammadiyah: 2011).

Najis dan Hadats

Istilah najis mempunyai pengertian apa saja yang keluar dari dua lubang manusia berupa
tinja, atau urine, atau air madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau wadyu
(cairan putih yang keluar selepas air kencing), atau air mani.
Istilah an-najaasah merupakan lawan kata dari istilah ath-thahaarah. Kata al-anjaas
merupakan bentuk jamak dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor menurut pandangan
syara’. Najis terdiri dari dua jenis, yaitu najis hukmi dan najis haqiqi. Secara bahasa najis haqiqi
ialah benda-benda yang kotor, seperti darah, air kencing, dan kotoran. Sedangkan menurut istilah
adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat. Najis haqiqi terbagai menjadi beberapa
jenis, yaitu mughaladhah (berat), mukhaffafah (ringan),
Najis hukmi ialah najis yang terdapat pada beberapa bagian anggota badan yang
menghalangi sahnya shalat.
A. Pengertian Najis
Secara bahasa najis adalah segala sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan.
Sedangkan menurut istilah najis adalah macam-macam kotoran yang dapat menghalangi
sahnya shalat ataupun sahnya thawaf.
B. Macam-Macam Najis dan Cara Pensuciannya
Macam-macam najis dikelompokkan menjadi empat macam. Berikut penjelasan dan cara
penyuciannya.
1. Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis berkategori ringan. Cara pensuciannya cukup
dipercikkan dengan air pada tempat yang terkena najis tersebut.
ِ ‫ت حُمْص ٍن ر ِضي اهلل عْنها َأنَّها َأتَت بِِإب ٍن هَل ا ص غِ ٍ مَل يِْأ ُك ِل الطَّع ام ِإىَل رس و ِل‬
‫اهلل‬ ِ ‫ش بِْن‬
ٍ ‫َع ْن ُِّأم َقْي‬
ُْ َ َ َ ْ ‫َ َ َ ُ َ َ َ ْ ْ َ َ رْي‬
)‫ض َحهُ َومَلْ َي ْغ ِسلَهُ (رواهاجلماعه‬ ٍ ِ َ َ‫َأجلَ َسهُ يِف ْ ِح ْج ِر ِه َفب‬
َ َ‫ال َعلَى َث ْوبِه فَ َد َعا مِب َاء َفن‬ ْ َ‫ف‬
“Dari Ummu Qais binti Muhshan r.a. bahwasanya ia bersama anak lelakinya yang masih
kecil dan belum pernah makan makanan menghadap Rasulullah SAW, kemudian Nabi pun
mendudukkan anak tersebut di atas pangkuannya. Tiba-tiba anak tersebut kencing pada
pakaian beliau. Maka beliau meminta air lalu dipercikkan dan tidaklah beliau
mencucinya”.

2. Najis Mutawasithah
Najis mutawasithah adalah najis berkategori sedang. Cara pensuciannya dilakukan
dengan mencucinya sampai bersih. Mencucinya harus bersih hingga hilanglah bekas, bau
dan rasanya.
ِ ِ
‫ب‬ ‫ت ِإ ْم رَأةٌ ِإىَل النَّيِب ِّ َف َق الَ ْ ِإ‬
ُ ‫ ْح َدانَا يُص ْي‬:‫ت‬ َ ْ َ‫ َج اء‬:‫ت‬ ْ َ‫َع ْن َأمْسَاءَ بِْنت َأىِب بَ ْك ٍر َر ِض َي اهللُ َعْن َه ا قَ ال‬
.‫صلِّى فِْي ِه‬ ِ ِ ‫َثوبها ِمن دِم احْل ي‬
َ ‫صهُ بِالْ َماء مُثَّ َتْن‬
َ ُ‫ض ُحهُ مُثَّ ت‬ ُ ‫ حَتُتُّهُ مُثَّ َت ْق ُر‬:‫صنَ ُع؟ َف َق َال‬
ْ َ‫ف ت‬
َ ‫ضة َكْي‬ َ َْ َ ْ َ َ ْ
“Dari Asma’ binti Abu Bakar r.a. berkata: bahwa seseorang wanita menghadap Nabi
SAW menyatakan bahwa salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidl,
bagaimanakah (seharusnya) yang dilakukan? Maka Nabi SAW mengatakan agar dia
menghilangkan dan mencuci pakaian itu dengan air, kemudian dikeringkan lalu
dipakainya untuk shalat”.
3. Najis Mughaladhah
Najis mughaladhah adalah najis berkategori berat. Cara pensuciannya menggunakan air
sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah atau debu.
ٍ ‫طَه ور ِإنَ ِاء َأح ِد ُكم ِإذَا ولَ َغ فِي ِه الْ َك ْلب َأ ْن ي ْغ ِس لَه س بع م َّر‬
ِ ‫ ُأوالَ ُه َّن بِ التُّر‬،‫ات‬
‫اب (رواه أمحد‬ َ ْ َ َْ َ ُ َ ُ ْ َ ْ َ ُْ ُ
)‫ومسلم‬
“Sucikanlah bejana milik salah seorang di antara kalian bila terjilat anjing dengan
supaknya dicuci tujuh kali, permulaannya dengan debu”.
Dalam riwayat Tirmidzi terdapat tambahan kalimat berikut:
ِ ‫ُأخر ُاه َّن بِالتُّر‬
‫اب‬ َ َ ْ ‫ُْأو الَ ُه َّن َو‬
“Bahwa permulaan atau penghabisannya dengan debu”.
Syarat pensucian najis mughaladhah dilakukan sebanyak tujuh kali dan salah satunya
dicambur dengan tanah atau debu yang suci. Berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi
campuran tanah atau debu boleh dilakukan pada bilangan berapapun, karena redaksi hadits
boleh dilakukan di bilangan awal maupun akhir.
4. Najis Ma’fu
Najis ma’fu adalah najis yang dimaafkan. Oleh sebab karena sulit untuk dikenal
sehingga dimaafkan sekalipun tidak dicuci. Di antara najis yang berkategori ma’fu adalah
ujung celana yang terkena cairan yang tidak diketahui najis atau tidak, sehingga tidak perlu
mencermatinya dengan jalan dicium.
C. Pengertian Hadats
Hadats adalah keadaan tidak suci yang mengenai pribadi seorang muslim sehingga
menyebabkan terhalangnya orang tersebut melakukan shalat dan ibadah sejenis lainnya seperti
thawaf. Dalam kondisi berhadats seseorang tidak sah melakukan shalat sampai ia bersuci dari
hadatsnya.
D. Macam-Macam Hadats dan Pensuciannya
Macam-macam hadats dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu hadats kecil dan hadats
besar. Berikut akan dijelaskan masing-masing hadats tersebut beserta cara penyuciannya.
1. Hadats Kecil
Hadats kecil merupakan keadaan yang menyebabkan seseorang wajib melakukan
wudhu sebelum melaksanakan shalat atau ibadah sejenis lainnya seperti thawaf.
a. Mengeluarkan sesuatu dari lubang kubul (kencing) dan dubur (kentut)

‫َأح ُد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَآِئ ِط‬


َ َ‫َجآء‬
“Salah seorang dari kalian datang dari jamban (buang air)” (QS. Al-Maidah: 6).
ِ َ‫الَي ْقب ل اهلل ص الَة‬
ُ َ‫ َمااحْل‬:‫ال َر ُج ٌل ِم ْن َح ْض َر َم ْو ٍت‬
‫دث يَاَأبَ ا‬ َ ‫ َف َق‬.‫ض َأ‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ ْ َ‫َأح د ُك ْم ِإذ‬
َ ‫اَأح َد‬ َ َ ُ ََُ
)‫ضَرا ٌط (متفق عليه‬
ُ ‫ فُ َساءٌ َْأو‬:‫ال‬
َ َ‫ُهَر ْيَر َة؟ ق‬
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian jikalau berhadats
sampai ia berwudhu. Maka bertanyalah seorang lelaki dari Hadramaut” apakah
artinya hadats itu ya Abu Hurairah? Ia menjawab: kentut atau berak” (Muttafaq’alaih).
b. Mengeluarkan madzi dan wadi
‫ َأ ْغ ِس ْل ذَ َك َر َك َْأو َم َذاكِْيَر َك‬:‫ال‬ ِ ِ َّ
َ ‫ي َف َق‬ ُ ‫ َو ََّأما الْ َم ْذ‬،‫ََّأماالْ َميِن ُّ َف ُه َو الذى مْن هُ الْغُ ْس ُل‬
ُ ‫ي َوالْ َو ْد‬
.‫لصالَِة‬ َّ ِ‫ل‬
“Mengenai mani itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi
hendaklah engkau basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah sebagai
wudhumu untuk shalat”.
c. Menyentuh kemaluan tanpa alas
Menyentuh kemaluan tanpa menggunakan alas menyebabkan seseorang wudhu sebelum
melaksanakan shalat.
‫ضْأ‬
َّ ‫س ذَ َكَرهُ َف ْليََت َو‬
َّ ‫َم ْن َم‬
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia berwudhu” (HR.
Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi).
d. Tidur nyeyak
Keadaan tidur nyeyak merupakan penyebab seseorang berwudhu ketika akan
melaksanakan shalat. Hal tersebut didasarkan pada hadits riwayat Abu Daud.
َّ ‫ فَ َم ْن نَ َام َف ْليََت َو‬،‫الس ِه‬
)‫ضْأ (رواه أبوداود‬ ِ َ‫اِلْعين‬
َّ ُ‫ان ِو َكاء‬ َْ
“Kedua mata itu bagaikan tali dubur. Maka barangsiapa telah tidur berwudhulah”
(HR. Abu Daud).
2. Hadats Besar
Hadats besar merupakan keadaan yang menyebabkan seseorang wajib melakukan
mandi sebelum melaksanakan shalat atau ibadah sejenis lainnya seperti thawaf.
a. Mengeluarkan mani (sperma)
Keluarnya mani baik disengaja maupun tidak disengaja, baik dalam kondisi
mimpi maupun tidak mewajibkannya mandi. Berdasarkan hadits:
‫ ِإ َّن اهللَ الَ يَ ْس تَ ْحىِي ِم َن اجْلَ ِّق َف َه ْل َعلَى الْ َم ْر َِأة غُ ْس ٌل ِإ َذا‬،‫اهلل‬
ِ ‫ يارس و َل‬:‫ُُّأم س لَي ٍم قَ الَت‬
ْ ُ ََ ْ ْ ُ
ِ ‫ ِإ َذا ر‬،‫ َنعم‬:‫ال‬
.َ‫َأت الْ َماء‬ َ ْ َ َ َ‫ت؟ ق‬ ْ ‫احَتلَ َم‬
ْ
“Ummu Sulaim bertanya: ya Rasulallah SAW, sesungguhnya Allah tidak malu
mengenai kebenaran? Wajibkah perempuan itu mandi bilamana ia bermimpi? Beliau
menjawab, benar, bila ia melihat air” (HR. Bukhari-Muslim dan lainnya).
Dalam sabda Rasulullah SAW yang lain:
)‫ت الْ َماءَ فَا ْغ ِس ْل (روه أبو داود‬
ِ ‫ضنَح‬
َ َ َ‫فَِإذَا ف‬
“Apabila air itu terpancar keras maka mandilah” (HR. Abu Daud).
b. Hubungan kelamin
Hubungan kelamin merupakan salah satu penyebab diwajibkannya mandi bagi
orang yang melakukannya. Oleh karena itu, digolongkan ke dalam hadats besar.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
‫َوِإن ُكنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُروا‬
“Dan jika kamu sekalian junub hendaklah bersuci” (QS. Al-Maidah: 6).
Demikian pula dalam sabda Rasulullah SAW:
‫ِإ‬
‫ب الْغُ ْس ُل َأْن َز َل َْأم مَلْ يُْن ِز ْل (رواه أمحد و‬ ْ ‫س َبنْي َ ُش َعبِ َها‬
َ ‫اَأْلربَ ِع مُثَّ َج َه َد َه ا َف َق ْد َو َج‬ َ َ‫َذا َجل‬
)‫مسلم‬
“Jika seseorang telah duduk di antara keempat anggota badannya (menggauli) maka
sungguh wajiblah untuk mandi, baik mengeluarkan (mani) ataupun tidak”
c. Haid dan Nifas
Kondisi sedang haid atau nifas mewajibkan seorang wanita melakukan mandi
ketika haid dan nifasnya sudah selesai. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 222
dijelaskan,
‫وه َّن َحىَّت يَطْ ُه ْر َن‬ ِ ‫ِّس آءَ يِف الْ َم ِح‬
ُ ُ‫يض َوالََت ْقَرب‬ ِ ْ َ‫يض قُل ُه و َأ ًذى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬
ِ
َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمح‬ َ َ‫َويَ ْس َئ لُون‬
ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ‫ث ََأمَر ُك ُم اهلل‬ ُ ُ‫فَِإذَا تَطَ َّه ْر َن فَْأت‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu…..”
(QS. Al-Baqarah: 222).

Daftar Pustaka
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah (jilid 1), Bandung (Penerbit al-Ma’arif: 1973).
WUDHU’

A. Pengertian Wudhu’
Secara bahasa wudhu adalah suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan digunakan
untuk membersihkan anggota-anggota badan tertentu. Menurut istilah wudhu berarti kegiatan
kebersihan yang khusus atau perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat khusus,
kemudian membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala (rambut kepala), dan
membasuh kedua kaki.
B. Dalil Wudhu’
Allah SWT telah mensyariatkan wudhu. Pensyariatan tersebut dapat dijumpai dalam
al-Qur’an maupun dalam sunnah Rasulullah SAW.
Allah SWT berfirman:
‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ َّ
َ ‫الص الَة فَا ْغس لُوا ُو ُج‬ ‫ين ءَ َامنُ وا ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإىَل‬ ِ َّ
َ ‫يَاَأيُّ َه ا الذ‬
ِ ‫الْ َك ْعَبنْي‬ ‫وس ُك ْم َو َْأر ُجلِ ُك ْم ِإىَل‬
ِ ‫وامسحوا بِرء‬
ُُ ُ َ ْ َ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki” (al-Maidah: 6).
Rasulullah SAW bersabda:
ِ ُ‫الَُت ْقبل صالَة‬
‫ضَأ‬ َ ‫َأحد ُك ْم ِإ َذا َح َد‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ َ َ َُ
“Shalat salah seorang dari kalian tidak diterima jika ia berhadats hingga ia berwudhu” (HR.
Bukhari).
C. Keistimewaan Wudhu’
Wudhu mempunyai keistimewaan. Keistimewaan tersebut akan diberikan kepada
orang mau berwudhu. Di antara keistimewaannya adalah sebagai berikut:
1. Disukai oleh Allah.
Allah menyukai orang-orang yang senantiasa bersuci, baik suci secara jasmani maupun
rohani. Allah SWT berfirman:
ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ِإ َّن اهللَ حُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222).
2. Mengurangi dosa yang dilakukan anggota tubuh
Setiap anggota tubuh yang dibasuh atau diusap pada saat wudhu dosa-dosanya akan
jatuh bersamaan dengan menetesnya air. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
‫ فَ اِ َذا‬.‫ت اخْلَطَايَ ا ِم ْن اَنِْفْي ِه‬ِ ‫ فَ اِذَا اس َتْنَثر خ رج‬.‫ت اخْلَطَاي ا ِمن فِي ِه‬ ِ ‫ض مض خ رج‬ ِ
َ ََ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ‫ض َأ الْ َعْب ُد فَ َم‬ َ ‫اذَا َت َو‬
‫ فَ اِ َذا َغ َس َل يَ َديْ ِه‬.‫ت اَ ْش َفا ِر َعْيَنْي ِه‬
ِ ْ‫ت اخْلَطَاي ا ِمن وج ِه ِه حىَّت خَت ْ رج ِمن حَت‬
ْ َُ َ َْْ َ
ِ ‫َغس ل وجه ه خ رج‬
َ َ َ ُ َْ َ َ َ
‫ت اخْلَطَايَا ِم ْن‬ ِ ‫ فَاِ َذا مس ح بِرْأ ِس ِه خ رج‬.‫ت اَظَافِ ِر ي َدي ِه‬ ِ ْ‫ت اخْلَطَاي ا ِمن ي َدي ِه حىَّت خَت ْ رج ِمن حَت‬ ِ ‫خرج‬
َ ََ َ َََ َْ ْ َُ َ َْْ َ َ ََ
‫ت اَظَِف ِر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
َ ْ‫ فَا َذا َغ َس َل ِر ْجلَْيه َخَر َجت اخْلَطَايَا م ْن ِر ْجلَْيه َحىَّت خَت ُْر َج م ْن حَت‬.‫َرْأسه َحىَّت خَت ُْر َج م ْن اُذَُنْيه‬
.)‫ (رواه مالك والنسائى وابن ماجه واحلاكم‬.ً‫صاَل تُهُ نَافِلَة‬ ِِ ِ ِ
َ ‫ِر ْجلَْيه مُثَّ َكا َن َم ْشيُهُ اىَل الْ َم ْسجد َو‬
“Jika seorang hamba mukmin berwudhu pada saat ia berkumur-kumur, keluarlah
kesalahan-kesalahannya dari mulutnya. Pada saat ia menghirup air ke hidung, keluarlah
kesalahan-kesalahannya dari hidungnya. Pada saat ia membasuh wajahnya, keluarlah
kesalahan-kesalahannya dari wajahnya, sampai keluar dari bawah alisnya. Pada saat ia
mencuci tangannya, keluarlah kesalahan-kesalahannya dari kedua tangannya sampai
keluar dari jari-jari tangannya. Pada saat mengusap kepalanya, keluarlah kesalahan-
kesalahan dari kepalanya, sampai keluar dari kedua telinganya. Pada saat mencuci kedua
kakinya, keluarlah kesalahan-kesalahannya dari kakinya, sampai ia keluar dari bawah jari-
jari kakinya. Lalu ia berjalan ke masjid dan sholatnya merupakan tambahan keutamaan
baginya” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Imam al-Bani).
3. Diangkat derajatnya
‫ ِإ ْس بَ ُغ‬:‫ال‬ ِ ‫ قَ الُوا بلَى ي ا رس و ُل‬.‫ات‬
َ َ‫اهلل ق‬ ِ ‫َأالَ َأدلُّ ُكم علَى م امَيْحو اللَّه بِ ِه اخْل طَاي ا ويرفَ ع يِ ِه ال دَّرج‬
ُْ َ َ َ ََ ُ َْ َ َ َ ُ ُ َ َ ْ ُ
ِّ ‫الصالَِة فَ َذلِ ُك ُم‬
‫الربَا ُط‬ ِ ‫الْوضو ِء علَى الْم َكا ِر ِه و َك ْثرةُ اخْل طَا ِإىَل الْمس‬
َّ ‫اج ِد َوانْتِظَ ُار‬
َّ ‫الصالَِة َب ْع َد‬ ََ ُ َ َ َ َ ُْ ُ
“Maukah aku beritahu kepada kalian, sesuatu yang Allah akan menghapus kesalahan kalian
dan mengangkat derajat kalian? Para sahabat menjawab: tentu wahai Rasulullah.
Rasulullah bersabda: menyempurnakan wudhu pada saat situasi yang tidak diinginkan,
banyak melangkah ke masjid dan menunggu shalat berikutnya, maka itu semua adalah
ribath” (HR. Muslim).
4. Wajahnya bersinar di hari kiamat

‫ض ْو ِء‬ ِ َ‫اهلل َأْنتُ ْم الْغُُّر الْ ُم َح َّجلُو َن َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة ِم ْن ِإ ْس ب‬


ُ ‫اغ الْ ُو‬
ِ ‫ال رسو ُل‬
ْ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ضُأ َوقَ َال‬
ِ ‫رَأيت رسو َل‬
َّ ‫اهلل َيَت َو‬ ُْ َ ُ ْ َ
‫اع ِمْن ُك ْم َف ْليُ ِط ْل غَُّرتَهُ َوحَتْ ِجْيلَ ُهز‬
َ َ‫استَط‬
ْ ‫فَ َم ْن‬
“Aku pernah melihat Rasulullah berwudhu, beliau bersabda: kalian adalah orang yang
akan bersinar mukanya pada hari kiamat karena menyempurnakan wudhu. Barangsiapa
yang bisa melakukannya maka panjangkanlah tanda yang akan bersinar”
5. Diampuni dosa sejak saat shalat hingga waktu shalat berikutnya
َّ‫ض َأ مُث‬ ٍ ‫ِ عت عثْم ا َن بن عفَّا َن وه و بِِفن ِاء الْمس ِج ِد فَج اءه الْم ذِّ ُن ِعْن د الْعص ِر فَ دعا بِوض‬
َّ ‫وء َفَت َو‬ ُ َ ََ ْ َ َ ‫َ َ ُ ُ َؤ‬ ْ َ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ُ ُ ْ ‫مَس‬
ُ ‫ول اللَّ ِه َي ُق‬ ِ ِ ِ َ‫قَ َال واللَّ ِه ُألح ِّد َثنَّ ُكم ح ِديثًا لَوالَ آي ةٌ ىِف كِت‬
َ‫ول "ال‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫اب اللَّه َم ا َح َّد ْثتُ ُك ْم ِإىِّن مَس ْع‬ َ ْ َ ْ َ َ
‫الص الَِة الَّىِت‬
َّ َ ‫ص الًَة ِإالَّ َغ َف َر اللَّهُ لَ هُ َم ا َبْينَ هُ َو َبنْي‬ ِ ِ
َ ‫ص لِّى‬ ُ ‫ض ُأ َر ُج ٌل ُم ْس ل ٌم َفيُ ْحس ُن الْ ُو‬
َ ُ‫ض وءَ َفي‬ َّ ‫َيَت َو‬
."‫تَلِ َيها‬
“Aku mendengar Utsman bin Affan ra, ketika dia berada di halaman masjid kemudian
datang seorang mu’adzin menjelang waktu Ashar tiba. Maka Utsman meminta diambilkan
air wudhu, lalu dia berwudhu. Setelah itu dia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan
menceritakan kepada kalian sebuah hadits. Kalaulah bukan karena suatu ayat di dalam
Kitabullah niscaya aku tidak akan menuturkannya kepada kalian. Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim berwudhu dan membaguskan
wudhunya kemudian mengerjakan sholat melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya
sejak saat itu sampai sholat yang berikutnya” (HR. Muslim).
6. Hilang dosanya seperti bayi yang baru lahir
‫ك‬ ِ َ ‫ضْأت ِإ ْغتس ْلت ِمن خطَاي‬ ‫ِإ‬
َ ‫اك َكَي ْوم ُولَ َد َك ُُّأم‬َ َ ْ َ َ َ َ َّ ‫َذاَت َو‬
“Jika engkau berwudhu akan dibasuh kesalahanmu seperti hari engkau dilahirkan oleh
ibumu” (HR. Muslim).

D. Tatacara Berwudhu’
Tatacara berwudhu adalah sebagai berikut:
1. Niat. Karena dalam niat berwudhu tidak terdapat dalil yang menjelaskan tentang anjuran
melafalkannya dengan keras, maka niat wudhu cukup dilakukan di dalam hati.
2. Membasuh tangan sampai menyela-nyelai jari.
....‫اَأْلصابِ ِع‬
َ َ ‫ض ْوءَ َو َخلِّ ْل َبنْي‬
ُ ‫َأسبَ ِغ الْ ُو‬
ْ
“Sempurnakanlah dalam berwudhu, sela-selailah di antara jemari...” (HR. Tirmidzi,
Nasa’i, Abu Daud).
3. Berkumur
Berkumur berarti memasukkan air ke mulut sampai ke dalam dan diselingi memasukkan
air ke hidung dan mengeluarkannya kembali. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits.
‫ك ثَالَثًا‬ ِ ٍ ِ‫فو‬ ِ
َ ‫اح َدة َف َف َع َل َذل‬ َ ٍّ ‫اسَتْن َش َق م ْن َك‬
ْ ‫ض َو‬
َ ‫ض َم‬
ْ ‫فَ َم‬
“Lalu berkumur-kumur dan mengisap air dari telapak tangan sebelah, ia lakukan itu tiga
kali” (Muttafaq’alaih).
4. Membasuh muka/wajah
Membasuhkan air secara merata ke seluruh wajah dan mengucek ujung bagian dalam
kedua mata. Gerakan membasuh wajah dilakukan sebanyak tiga kali. Berdasarkan hadits.
ِ ‫و َغسل و ْج َههُ و َكا َن مَيْسح الْما َقنْي ِ ِمن الْ َعنْي‬
َ َ َُ َ َََ َ
“Lalu membasuh wajahnya sambil mengucek ujung dalam kedua matanya” (HR. Ahmad,
Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Bagi yang berjenggot dituntunkan supaya menyela-nyelainya. Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah. (ُ‫حِلْيَتُه‬ ‫)خُيَلِّ ُل‬
5. Membasuh kedua tangan
Membasuh tangan dimulai dari yang kanan sampai tangan kiri. Setiap tangan yang dibasuh
sampai bagian siku. Mengenai anjuran mendahulukan anggota yang kanan dijelaskan
dalam hadits riwayat ‘Aisyah.

‫ضْأمُتْ فَابْ َدءُوا بَِأيَ ِامْن ُك ْم‬


َّ ‫ِإ َذا لَبِ ْستُ ْم َوِإ َذا َت َو‬
“Apabila kalian berpakaian dan berwudhu maka mulailah dengan yang kanan-kanan”
(HR. Abu Daud & Nasa’i).
6. Mengusap kepala/rambut dan telinga
Mengusap kepala tempat tumbuhnya rambut hingga ketelinga sebanyak satu kali.
‫ب هِبِ َم ا ِإىَل َق َف اهُ مُثَّ َر َّدمُهَ ا ِإىَل‬ ِ ِ ِ ‫مِب‬ ِ‫هِب‬ ِ ِ
َ ‫مُثَّ َم َس َح َرْأ َس هُ بيَ َديْ ه فََأ ْقبَ َل َم ا َو َْأد َب َر بَ َدَأ َُق دَّم َرْأس ه َحىَّت َذ َه‬
ِ ِ ِ
ُ‫الْ َم َكان الَّذي بَ َدَأ مْنه‬
“Kemudian beliau mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, dari depan ke
belakang, (yakni) ia mulai dari batas depan kepala hingga beliau menjalankan kedua
tangannya sampai tengkuknya. Lalu mengembalikannya ke tempat ia memulainya” (HR.
Jama’ah).
‫اط َن ُأذَُنْي ِه‬
ِ ‫السبَّاحَت ِ ب‬ ِ ِ ِ ‫ِِإ‬ ِ َّ ‫صَب َعْي ِه‬
َ ‫السبَّا َحَتنْي ِ يِف ْ ُأذَُنْيه َو َم َس َح ب ْب َه َامْيه َعلَى ظَاه ِر ُأذَُنْيه َوبِ َّ َ نْي‬ ْ ‫فَ َْأد َخ َل ِإ‬
“Beliau memasukkan jari telunjuknya ke dalam dua lubang telinga. Dua ibu jari beliau
mengusap punggung kedua telinganya sedang dua telunjuknya di dalam kedua
telinganya” (HR. Abu Daud & Nasa’i dari Ibnu Umar).
‫ان ِم ْن َرْأ ِس َو َكا َن مَيْ َس ُح َرْأ َسهُ َمَّر ًة‬
ِ َ‫اَُأْلذُن‬
“Telinga termasuk bagian kepala, dan beliau mengusap kepalanya sekali” (HR. Ibnu
Majah, Tirmidzi & Abu Daud).
7. Membasuh kaki
Membasuh kedua kaki. Dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri. Dari mata kaki hingga
menyela-nyelai jari sebanyak tiga kali. Mengenai perintah menyela-nyelai jari didasarkan
pada hadits
)‫ك (رواه أمحد والرتمذى وابن ماجه‬ َ ْ‫َأصابِ َع يَ َدي‬
َ ‫ك َو ِر ْجلَْي‬ َ ‫ت فَ َخلِّ ْل‬ َّ ‫ِإذَا َت َو‬
َ ‫ضْأ‬
“Jika kamu berwudhu silang-silangilah kedua jari tangan dan kedua jari kakimu” (HR.
Ahmad, Tirmidzi & Ibnu Majah).
Wudhu dilakukan secara tertib. Secara urut mulai dari awal sampai akhir harus sesuai
dengan gerakan yang dicontohkan Nabi SAW, seperti yang telah diuraikan urutannya dalam
buku ini.
E. Hal-hal yang membatalkan wudhu
Ada lima hal yang bisa membatalkan wudhu, yaitu:
1. Keluarnya sesuatu dari dua lubang, yaitu qubul dan dubur
Mengeluarkan sesuatu dari dua lubang, baik lubang qubul (kemaluan) maupun dubur
(pantat), karena disebabkan berhadats kecil maupun berhadats besar dapat membatalkan
wudhu. Hal ini didasarkan dalam firman Allah SWT,
‫َأح ُد ِّمن ُكم ِّم َن الْغَآِئ ِط‬
َ َ‫َجآء‬
“Salah seorang dari kalian datang dari jamban (buang air)” (QS. Al-Maidah: 6).
ِ َ‫الَي ْقب ل اهلل ص الَة‬
ُ َ‫ َمااحْل‬:‫ض َر َم ْو ٍت‬
‫دث يَاَأبَ ا‬ ْ ‫ال َر ُج ٌل ِم ْن َح‬
َ ‫ َف َق‬.‫ض َأ‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ ْ َ‫َأح د ُك ْم ِإذ‬
َ ‫اَأح َد‬ َ َ ُ ََُ
)‫ضَرا ٌط (متفق عليه‬ ُ ‫ فُ َساءٌ َْأو‬:‫ال‬
َ َ‫ُهَر ْيَر َة؟ ق‬
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian jikalau berhadats sampai ia
berwudhu. Maka bertanyalah seorang lelaki dari Hadramaut” apakah artinya hadats itu
ya Abu Hurairah? Ia menjawab: kentut atau berak” (Muttafaq’alaih).
2. Tidur Nyeyak
Tidur nyeyak dapat menyebabkan batalnya wudhu seseorang. Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits riwayat Abu Daud.
َّ ‫ فَ َم ْن نَ َام َف ْليََت َو‬،‫الس ِه‬
)‫ضْأ (رواه أبوداود‬ ِ َ‫اِلْعين‬
َّ ُ‫ان ِو َكاء‬ َْ
“Kedua mata itu bagaikan tali dubur. Maka barangsiapa telah tidur berwudhulah” (HR.
Abu Daud).
Kecuali jika seseorang posisi tidurnya dengan duduk. Hal didasarkan pada hadits berikut.
َّ ‫صلُّ ْو َن َوالََيَت َو‬
‫ضُؤ َن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ‫اب َر ُس ْول اهلل َيْنتَظ ُر ْو َن الْع َشاءَ اَأْلخَرةَ َحىَّت خَت ْف َق ُرءُ ْو ُس ُه ْم مُثَّ ي‬
ُ ‫َأص َح‬
ْ ‫َكا َن‬
“Suatu ketika para sahabat Rasulullah SAW menunggu waktu shalat isya’ yang akhir
hingga kepala mereka terkantuk-kantuk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu”
(HR. Abu Daud Ahmad dari Anas, serta Tirmidzi dari Syu’bah).

3. Menyentuh kemaluan tanpa alas atau pembatas


Seseorang yang telah memiliki wudhu namun ketika sebelum melaksanakan shalat
menyentuh kemaluannya tanpa menggunakan alas, maka diwajibkan wudhu terlebih dulu.
‫ضْأ‬
َّ ‫ص ِّل َف ْليََت َو‬
َ ُ‫س ذَ َكَرهُ فَالَ ي‬
َّ ‫َم ْن َم‬
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia
berwudhu” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi).

4. Hilang akal, seperti gila, pingsan atau mabuk


5. Bersetubuh

. َّ ِ‫ َأ ْغ ِس ْل ذَ َكَر َك َْأو َم َذاكِْيَر َك ل‬:‫ال‬


‫لصالَِة‬ َ ‫ي َف َق‬ ِ ِ َّ
ُ ‫ َو ََّأما الْ َم ْذ‬،‫ََّأماالْ َميِن ُّ َف ُه َو الذى مْنهُ الْغُ ْس ُل‬
ُ ‫ي َوالْ َو ْد‬
“Mengenai mani itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi
hendaklah engkau basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah sebagai
wudhumu untuk shalat”.

F. Hal-hal berkaitan dengan wudhu


1. Mengusap Serban
Boleh hukumnya mengusap serban bagi laki-laki yang memakainya. Ulama Hambali
berpendapat, seorang laki-laki yang mengambil wudhu kemudian berhadats maka ia boleh
mengusap ke atas serban yang dipakainya. Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin
Umayyah ad-Damiri, “Aku melihat Rasulullah SAW mengusap di atas kain serbannya dan
juga di atas khufnya”. Dalam pendapat lain shahabat Umar mengatakan, “barangsiapa
yang tidak pernah menyucikan dirinya dengan mengusap ke atas serban, maka Allah tidak
menyucikannya”.
2. Mengusap Khuf
Secara bahasa khuf berarti menggerakkan tangan di atas sesuatu. Menurut syara’
berarti pakaian kulit atau sejenisnya yang menutupi dua mata kaki ke atas. Dengan
demikian, yang dimaksud mengusap khuf adalah menyentuh khuf yang tertentu dan di
tempat tertentu, dengan tangan yang dibasahi dengan air dan dilakukan pada waktu yang
tertentu. Mengusap khuf merupakan rukhshah atau keringanan yang boleh dilakukan oleh
musafir ataupun tidak, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Bersiwak
Siwak secara bahasa menggambarkan perbuatan menggosok gigi dan juga alat yang
digunakannya. Sedangkan secara syara’ berarti menggunakan ranting atau yang lain seperti
pasta gigi untuk menggosok gigi dan sekelilingnya, dengan tujuan menghilangkan kuning
gigi dan sejenisnya.
Bersiwak hukumnya sunnah, karena merupakan usaha untuk membersihkan mulut.
Mengenai tatacaranya, menurut ulama Maliki, siwak dilakukan sebelum berkumur. Dalam
hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasa’I, Rasulullah SAW bersabda:
ِّ ‫ضاةٌ لِ َّلر‬
‫ب‬ ِ
َ ‫الس َو ُاك ُمطَ َّهَرةٌ ل ْل َف ِم َم ْر‬
ِّ
“Bersiwak adalah membersihkan mulut dan memperoleh keridhaan Allah”.
Dalam hadits lain juga dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda:
‫ض ْو ِء‬ ِ ِّ ِ‫َأش ُّق علَى َُّأميِت َأَلمر ُتهم ب‬
ُ ‫لس َواك َم َع ُك ِّل ُو‬ ْ ُ َْ ْ َ ُ َ‫لَ ْو ال‬
“Jika tidak karena khawatir memberatkan umatku, maka niscaya aku perintahkan mereka
supaya bersiwak pada setiap hendak berwudhu”
4. Mengusap kaos kaki (Stocking)
Menurut ulama mazhab Hanafi boleh hukumnya membasuh kaos kaki (stocking),
sekiranya bisa dipakai untuk berjalan sejauh satu farsakh ataupun lebih. Kaos kaki yang
dimaksud harus kuat dan melekat sampai betis serta barbahan tebal sehingga tidak
transparan atau terlihat sesuatu yang ada di dalamnya.
5. Mengusap balutan atau perban
Mengusap balutan atau perban merupakan perkara mubah yang berarti boleh
dilakukan. Menurut Abu Hanifah, jika mengusap perban menimbulkan kemadharatan maka
hukum mengusap menjadi gugur. Oleh karena kewajiban membasuh dapat dilepaskan
dengan sebab uzur, niscaya kewajiban mengusap lebih utama dibanding untuk digugurkan.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan mengusap perban atau
balutan, antara lain:
a. Tidak mampu membasuh atau mengusap anggota tubuh tersebut disebabkan
kemadharatan.
b. Hendaklah balutan tidak melebihi bagian yang perlu.
c. Perban dipasang dalam keadaan orang yang bersangkutan dalam keadaan bersuci
dengan air.
d. Perban berasal dari bahan yang halal atau boleh digunakan untuk membalut.
Daftar Pustaka
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih Muslim, Bandung (Penerbit Jabal: 2012).
Mundziri, Imam, Ringkasan Shahih Muslim, Bandung (Penerbit Jabal: 2012).
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, Bekasi (Darul
Falah: 2000).
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu (jilid 1), Jakarta (Darul Fikir: 2011).

TAYAMUM

A. Pengertian Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah al-qashd yang berarti niat atau bersengaja, secara
istilah berarti bersengaja menggunakan debu untuk menyapu muka dan kedua tangan dengan
maksud dapat melakukan shalat. Dalam dimensi fikih, tayamum merupakan salah satu
rukhshah yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
‫يث ِمْنهُ تُ ِنف ُقو َن‬
َ ِ‫َوالَ َتيَ َّم ُموا اخْلَب‬
“Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan…” (al-Baqarah: 267).
Dalam firman yang lain,
‫اج َع َل َعلَْي ُك ْم يِف الدِّي ِن ِم ْن َحَر ٍج‬
َ ‫َو َم‬
“Dan Dia sama sekali tidak menjadikan bagimu dalam beragama suatu kesempitan” (al-Hajj:
78).
Tayamum mulai disyariatkan pada waktu peperangan Bani al-Musthaliq (peperangan
al-Muraisi’), yaitu pada tahun keenam Hijrah. Tepatnya pada peristiwa Aisyah kehilangan
kalungnya, kemudian Rasulullah menyuruh shahabat untuk mencarinya hingga masuk waktu
shalat dan mereka tidak memiliki air untuk berwudhu. Maka turunlah ayat yang menjelaskan
tentang perintah bertayamum.
B. Dalil Tayamum

‫يد اهللُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِّم ْن‬


ُ ‫وه ُك ْم َوَأيْ ِدي ُكم ِّمْنهُ َمايُِر‬
ِ ‫يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫َفلَم جَتِ ُدوا مآء َفَتي َّمموا‬
َ ُ َ ً َ ْ
‫يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
ُ ‫َحَر ٍج َولَ ِكن يُِر‬
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur” (QS. al-Maidah: 6).
Tayamum dilakukan manakala orang sedang sakit sehingga tidak bisa melakukan
wudhu menggunakan air atau dalam perjalanan dan tidak menjumpai air. Dengan demikian
tayamum hukumnya fardhu sebagai pengganti wudhu.
Dalam hadits riwayat Imam Muslim
ِ ِ
ٌ ‫ض ُكلُّ َها َم ْسج ًدا َو ُت ْر َبُت َها طَ ُه‬
‫ور‬ ُ ‫اَأْلر‬
ْ ‫ت لَنَا‬
ْ َ‫ُجعل‬
“Seluruh tanah dijadikan tempat shalat untuk kita dan debunya adalah alat penyuci”.
Dalam hadits lain:
ْ ‫اب طَ ُه ْو ُر الْ ُم ْسلِ ِم َولَ ْو ِإىَل َع َشَر ِح َج ٍج َمامَلْ جَيِ ِد الْ َماءَ َْأو حَيْ َد‬
‫ث‬ ُ ‫التَُّر‬
“Tanah menjadi alat penyuci seorang muslim, meskipun hingga untuk sepuluh kali haji selagi
dia tidak mendapatkan air atau berhadats”.
Mayoritas ahli fikih menyatakan tayamum dapat menggantikan wudhu, mandi junub,
mandi haid, dan nifas. Seseorang yang berhadats, junub, haid, nifas, serta perempuan yang
melahirkan anak, kemudian tidak menjumpai air dibolehkan bertayamum untuk shalat dan
ibadah-ibadah lain.
Imran Ibnu Hushain, pernah mengatakan saat bersama Rasulullah dalam suatu
perjalanan melakukan shalat berjamaah. Kemudian Rasulullah SAW mendapati ada seorang
di antara mereka yang keluar dari jamaah, lalu Rasulullah bertanya: “mengapa engkau tidak
shalat?” Orang tersebut menjawab: “aku dalam keadaan junub dan tidak ada air untuk
mandi.” Rasulullah berkata: “cukuplah engkau menggunakan debu.” Sebuah riwayat yang
disampaikan oleh Jabir, “pada suatu hari kami keluar berjalan (musafir), kemudian salah
seorang kami luka dan kepalanya dibungkus. Kemudian dia bermimpi (junub) lalu dia
bertanya kepada kawan-kawannya, apakah dia boleh bertayamum. Kawan-kawannya
menjawab: kami tidak mengetahui ada kelonggaran yang demikian. Kau masih bisa
menggunakan air. Maka dia pun mandi lalu mati. Setelah kejadian ini disampaikan kepada
Rasulullah SAW, beliau berkata: “karena mereka membunuhnya, maka Allah membunuh
mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat
kebodohan adalah bertanya.”
Riwayat di atas menunjukkan bahwasanya tayamum boleh dilakukan untuk
menghindarkan diri dari kemadharatan. Dalam surat an-Nisaa: 29, Allah berfirman:
ِ ِ ‫ِإ‬
ً ‫َوالََت ْقُتلُوا َأن ُف َس ُك ْم َّن اهللَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬
‫يما‬
“…..Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”
(QS. an-Nisaa: 29).
Firman Allah di atas ada kaitannya dengan hadits riwayat Amr Ibn Ash, ketika berada
dalam peperangan Dzatus Salaasil kemudian junub sedangkan udara waktu itu sangat dingin.
Kemudian Amr Ibn Ash bertayamum dan menjadi imam shalat subuh kejadian tersebut
disampaikan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, wahai Amr, apakah engkau
mengimami shalat kawan-kawanmu sedangkan kamu dalam keadaan junub? Aku menjawab,
saya teringat firman Allah (‫يما‬ ِ ِ ‫ِإ‬
ً ‫)والََت ْقُتلُ وا َأن ُف َس ُك ْم َّن اهللَ َك ا َن ب ُك ْم َرح‬
َ lalu saya bertayamum dan saya
shalat. Rasulullah tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa”.

C. Tatacara Bertayamum
Tatacara bertayamum adalah sebagai berikut:
1. Mengucap bismillah sambil meletakkan kedua telapak tangan di tanah (boleh di dinding)
kemudian meniup debu yang menempel di kedua telapak tangan tersebut.
2. Mengusap kedua telapak tangan ke wajah satu kali, kemudian langsung mengusapkan ke
tangan kanan lalu kiri cukup sampai pergelangan telapak tangan. Masing-masing satu kali.
Tatacara tersebut didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW:
َّ‫ض َو َن َف َخ فِْي ِه َم ا مُث‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ب َكفَّْي ه‬
َ ‫اَأْلر‬ َ ُ ‫ب النَّيِب‬
َ ‫ض َر‬
َ َ‫ ف‬،‫ك َه َك َذا‬
ِ
َ ‫ِإمَّنَ ا َك ا َن يَكْفْي‬
.‫َم َس َح هِبِ َما َو ْج َههُ َو َكفَّْي ِه‬
“Sesungguhnya cukup bagimu begini, lalu beliau pun menepukkan kedua telapak
tangannya ke tanah lalu meniupnya kemudian mengusap keduanya pada wajah dan
kedua telapak tangannya” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
D. Hal-hal penyebab bertayamum
Seseorang dibolehkan bertayamum apabila dalam kondisi berikut:
1. Tidak menjumpai air
2. Menjumpai air akan tetapi hanya bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang sangat penting.
Misal, hanya untuk minum.
3. Kondisi udara yang sangat dingin. Dikhawatirkan dapat berakibat fatal jika memaksakan
menggunakan air.
4. Sakit yang tidak memungkinkan menggunakan air
5. Sanggup menggunakan air akan tetapi waktu sudah sangat mendesak sehingga apabila
memaksakan justru shalatnya akan tertinggal.
E. Hal-hal yang membatalkan tayamum, adalah:
Berikut merupakan hal-hal yang membatalkan tayamum:
1. Semua hal yang membatalkan wudhu.
2. Menemukan air suci sebelum mengerjakan shalat. Namun bila sudah melaksanakan shalat
kemudian menjumpai air maka baginya terdapat dua pilihan, yaitu tidak mengulangi
shalatnya atau berwudhu kemudian mengulangi shalatnya.
3. Habis masa berlakunya, yakni satu tayamum untuk satu shalat kecuali bila dijamak.

Haid, Nifas dan Istihadhah

Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga macam, yaitu darah haid, darah nifas, dan
darah istihadhah. Darah haid adalah darah yang keluar ketika seorang wanita dalam keadaan
sehat. Darah istihadhah adalah darah yang keluar ketika seorang wanita dalam keadaan sakit.
Sedangkan darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya bayi saat melahirkan.
A. Haid
Haid secara bahasa berarti banjir atau mengalir. Secara istilah haid adalah darah yang
keluar dari ujung rahim wanita ketika dalam keadaan sehat, bukan ketika melahirkan atau
sakit, dan darah tersebut keluar pada masa tertentu. Biasanya, darah haid berwarna hitam,
sangat panas, terasa sakit, dan berbau busuk. Wanita yang sudah haid berarti telah menjadi
baligh dan mukallaf. Oleh sebab itu, ia dituntut menjalankan seluruh kewajiban seperti shalat,
puasa, haji, dan ibadah wajib lainnya.
Para fuqaha bersepakat, darah haid yang keluar setiap bulan berwarna hitam, merah,
kuning, atau keruh antara warna hitam dan putih. Namun, apabila darah berwarna kuning dan
keruh keluar setelah masa keluar haid maka tidak dianggap haid. Sementara berhentinya haid
bisa diketahui dengan adanya warna putih, yaitu dengan cara perempuan yang berkenaan
memasukkan kain yang bersih atau kapas ke dalam kemaluannya. Hal ini dilakukan untuk
melihat apakah masih ada sisa darah atau tidak.
Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. dijelaskan:
‫آد َم‬ ِ
َ ‫َه َذا َش ْيءٌ َكتَبَهُ اهللُ َعلَى َبنَات‬
“Ini adalah perkara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada anak-anak Adam yang
perempuan.”
Darah haid tidak akan dialami oleh wanita yang sedang hamil. Hal tersebut ditegaskan
dalam sebuah hadits.
ِ َ‫لِيطَلِّ ُقها ط‬
‫اهًرا َْأو َح ِاماًل‬ َ ُ
“Hendaklah dia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil.”
Hadits di atas menegaskan tentang tanda ketiadaan haid bagi wanita yang sedang
hamil. Apabila pada saat hamil seorang wanita mengeluarkan darah maka darah tersebut
bukanlah darah haid. Dengan demikian, wanita yang sedang hamil tidak boleh meninggalkan
ibadah seperti shalat, thawaf, puasa, I’tikaf, serta tidak boleh melarang suaminya
menyetubuhinya. Hanya saja, oleh sebagian ulama wanita bersangkutan disunnahkan mandi
jika darah tersebut telah berhenti.
1. Masa haid dan suci
Menurut ulama Hanafi, masa minimal darah haid adalah tiga hari tiga malam. Jika
darah keluar kurang dari masa itu, bukan darah haid melainkan darah istihadhah. Sebuah
hadits riwayat Abu Umamah dijelaskan,
ٍ‫الثيِّب ثَاَل ثَةَ َأمَّيٍ َوَأ ْكَثرهُ َع ْشرةُ َأمَّي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َأقَ ُّل احْلَْي‬
َ ُ ُ َّ ‫ض ل ْل َجاريَة الْبك ُْر َو‬
“Masa minimal haid bagi seorang gadis dan janda ialah tiga hari, dan masa maksimalnya
adalah sepuluh hari”.
Kendati demikian, masa maksimal haid bagi wanita berbeda-beda. Bagi wanita yang
baru mulai haid masa maksimalnya adalah lima belas hari. Darah yang keluar lebih dari
masa itu dianggap darah penyakit. Kemudian untuk wanita yang biasa haid, masa
maksimalnya ditambah tiga hari melebihi masa biasa. Untuk mengetahui masa biasa,
cukup dengan mengamatinya ketika berlaku haid selama tidak melebihi setengah bulan.
Sedangkan untuk wanita yang kondisinya bercampur-campur atau tidak menentu, di mana
dalam suatu hari darah keluar dan di hari lain tidak keluar, sehingga tidak mengalami masa
suci sempurna. Untuk mengetahui masa maksimal haid dengan cara menghitung dan
menggabungkan masa datangnya darah haid, tanpa mengikutsertakan masa-masa suci di
tengahnya. Masa maksimalnya adalah lima belas hari. Jika didapati darah haid keluar lebih
dari lima belas hari berarti darah istihadhah. Pada saat hari di mana tidak ada darah haid
keluar, hendaknya wanita bersangkutan mandi dengan anggapan masa sucinya telah
sempurna.
2. Haid dan hukumnya
Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya Fiqh al-Islam: wa Adillatuhu menjelaskan
mengenai lima hukum berkenaan dengan haid dan nifas.
a. Wajib mandi jika haid dan nifas telah berhenti
‫وه َّن َحىَّت يَطْ ُه ْر َن‬
ُ ُ‫يض َوالََت ْقَرب‬ ِ ‫ِّس آءَ يِف الْ َم ِح‬ ِ ْ َ‫يض قُل ُه و َأذًى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬
ِ
َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمح‬ َ َ‫َويَ ْس َئ لُون‬
ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ث ََأمَر ُك ُم اهللُ ِإ َّن اهللَ حُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬ ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ ُ‫فَِإذَا تَطَ َّه ْر َن فَْأت‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah: 222).
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, kepada Fatimah binti Abu Hubaisy
“Apabila haid datang, hendaklah kamu tinggalkan shalat. Apabila ia telah pergi, maka
basuhlah darahmu (mandi) dan shalatlah.”
b. Datangnya haid menjadikan seorang wanita baligh dan bertanggung jawab atas
kewajiban-kewajiban syara’. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, yang
diriwayatkan imam Ahmad,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima shalat seseorang yang sudah haid, kecuali
dengan tudung (khumar).”
Hadits tersebut menjelaskan kewajiban memakai kerudung (menutupi aurat)
adalah karena seseorang haid. Berarti pula taklif (tanggung jawab syara’) telah
diberikan kepadanya.
c. Selesainya iddah haid seorang wanita dihukumi bersih rahimnya. Salah satu dasar
ditetapkan iddah adalah untuk mengetahui kekosongan rahim dari bayi.
d. Menurut pandangan ulama Hanafi dan Hambali, tiga quru’ yang disebutkan oleh al-
Qur’an maksudnya adalah haid. Iddah perempuan yang diceraikan dalam keadaan tidak
hamil tidak akan tamat, kecuali dengan selesainya masa haid yang ketiga. Masa haid
sewaktu talak terjadi tidak dihitung. Menurut ulama mazhab Maliki dan syafi’i, quru’
artinya ‘suci’. Oleh sebab itu, iddah dihitung berdasarkan masa-masa suci dan iddah
berakhir dengan bermulanya haid yang ketiga. Masa suci seorang wanita ketika talak
dijatuhkan, dihitung sebagai salah satu dari tiga kali suci, walaupun masa itu sangat
singkat, sedetik saja misalnya.
e. Menurut ulama mazhab Hambali, orang yang melakukan hubungan badan semasa haid
wajib membayar kafarat.

B. Nifas
Darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya bayi saat melahirkan. Para
ulama mazhab telah mendefisinikan darah nifas, antara lain: Pertama, menurut Hanafi dan
Syafi’i, nifas adalah darah yang keluar setelah bersalin. Akan tetapi darah yang keluar
bersama-sama dengan bayi ketika lahir atau sebelumnya disebut darah istihadhah. Menurut
kedua ulama di atas, hukum bagi wanita yang mengeluarkan darah bersama-sama dengan
keluarnya bayi hendaknya tetap melaksanakan shalat dengan cara berwudhu jika mampu,
namun jika tidak cukup mampu dengan bertayamum.
Kedua, menurut ulama Hambali, nifas adalah darah yang keluar sebab lahirnya bayi.
Menurut ulama Hambali, darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum kelahiran yang
menandai kelahiran bayi dan darah yang keluar bersama-sama lahirnya bayi juga dianggap
sebagai darah nifas. Ketiga, menurut ulama Maliki, nifas adalah darah yang keluar dari
kemaluan wanita sewaktu melahirkan bayi ataupun setelahnya. Darah yang keluar sebelum
masa kelahiran disebut darah haid.
Menurut para ulama mazhab selain Syafi’i, nifas tidak memiliki masa minimal.
Karena tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan tentang batasan minimal tersebut. Tidak
menutup kemungkinan seorang wanita melahirkan anak tanpa keluar darah. Sebagaimana
diriwayatkan, pada zaman Rasulullah ada seorang wanita yang melahirkan tidak
mengeluarkan nifas. Wanita yang demikian dinamakan dengan Dzatul jufuf.
Mengenai batasan maksimal, para ulama mazhab, masa nifas kebiasaannya empat
puluh hari dan paling lama adalah enam puluh hari. Darah yang datang melebihi masa itu
dikategorikan darah istihadhah. Keterangan tersebut didasarkan pada kata-kata Ummu
Salamah, “Pada zaman Rasulullah SAW, perempuan berada dalam nifas selama empat puluh
hari empat puluh malam”.
C. Perkara yang diharamkan karena haid dan nifas
Terdapat tujuh perkara yang diharamkan kepada orang yang haid dan nifas, antara
lain:
1. Bersuci: mandi atau wudhu
Menurut ulama Syafi’i dan Hambali, hukumnya haram berthaharah atau bersuci bagi
wanita yang sedang haid atau nifas, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang
mewajibkan berthaharah. Maka thaharah yang boleh dilakukan adalah setelah haid atau
nifasnya selesai. Dengan demikian, thaharah yang dilakukan menjadi sah hukumnya.
2. Shalat
Pada masa Rasulullah wanita yang haid disuruh untuk mengkadha’ puasa dan tidak disuruh
mengkadha’ shalat. Perintah tersebut mengisyaratkan pada saat wanita sedang haid atau
nifas tidak boleh melakukan shalat dan tidak perlu menggantinya di hari lain saat telah
suci.
3. Puasa
Berdasarkan keterangan di atas pula berarti wanita yang haid atau nifas diharamkan
melakukan puasa, dengan ketentuan menggantinya di hari yang lain saat telah suci.
4. Membaca, memegang, dan membawa mushaf al-Qur’an
Kedudukan wanita haid dan nifas sama seperti orang yang berjunub, berdasarkan firman
Allah SWT,
‫الَّ مَيَ َّسهُ ِإالَّ الْ ُمطَ َّهُرو َن‬
“Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan” (QS. Al-Waaqi’ah:
79).
Berdasarkan hadits,
ِ ‫الَ َت ْقرُأ احْل اِئض واجْل نُب َشيئاً ِمن الْ ُقر‬
‫َأن‬ ْ َ ْ ُ ُ َُ َ َ
“Seseorang yang haid dan orang yang berjunub janganlah membaca apapun dari al-
Qur’an”
5. Masuk, duduk, dan I’tikaf di masjid
Wanita yang sedang haid atau nifas di larang masuk masjid, baik untuk melaksanakan
shalat, I’tikaf maupun hanya sekedar untuk duduk saja. Hal ini didasarkan pada hadits,
ٍ ُ‫ض والَ ُجن‬ ‫ِ حِل ِئ‬ ِ
‫ب‬ َ ٍ ‫الَ ُأح ُّل الْ َم ْسج َد َا‬
“Aku tidak menghalalkan bagi orang haid atau junub memasuki masjid”
6. Thawaf
Thawaf harus dilakukan dalam keadaan suci. Tidak sah hukumnya bagi orang yang
melaksanakan thawaf akan tetapi tidak dalam kondisi suci. Dalam hadits dijelaskan,
ِ
ِ ‫اج َغير َأ ْن الَ تَطُويِف بِالْبي‬
‫ت َحىَّت تَطْ ُه ِر ْي‬ َْ ْ َ ْ ُّ َ‫ت فَا ْف َعل ْي َما َي ْف َع ُل احْل‬
َ‫ض‬ْ ‫ِإ َذا ِح‬
“Apabila kamu didatangi haid, lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang
mengerjakan haji. Tetapi kamu tidak boleh thawaf di Ka’bah kecuali setelah kamu
bersuci”.
7. Bersetubuh
Pada saat sedang haid atau nifas seorang wanita tidak boleh bersetubuh. Demikian
sebaliknya, seorang suami tidak boleh menyetubuhi istrinya yang sedang haid atau nifas.
Larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT,
‫وه َّن َحىَّت يَطْ ُه ْر َن فَِإ َذا‬
ُ ُ‫يض َوالََت ْقَرب‬ ِ ‫ِّسآءَ يِف الْ َم ِح‬ ِ ْ َ‫يض قُل ُهو َأ ًذى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬
ِ
َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمح‬ َ َ‫َويَ ْسَئ لُون‬
ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ث ََأمَر ُك ُم اهللُ ِإ َّن اهللَ حُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬ ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ ُ‫تَطَ َّه ْر َن فَْأت‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS.
Al-Baqarah: 222).
Dalam hadits juga dijelaskan,
‫ٍ ِإ‬ ْ ‫ِإ‬
َ ‫صَنعُوا ُك َّل َش ْيء الَّ النِّ َك‬
‫اح‬
“Lakukanlah semua perkara kecuali nikah (persetubuhan)”.
8. Talak
Haram hukumnya menceraikan istri dalam keadaan haid karena menyebabkan iddahnya
menjadi panjang. Hal ini didasarkan dalam firman Allah SWT
‫وه َّن لِعِ َّدهِتِ َّن‬
ُ ‫ِّسآءَ فَطَلِّ ُق‬ َّ ‫ِإ‬
َ ‫يَاَأيُّ َها النَّيِب َذا طَل ْقتُ ُم الن‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (ath-Thalaaq: 1).
Dalam hadits juga dijelaskan,

ً‫ُم ْرهُ َف ْلُيَر ِاج ْع َها مُثَّ لِيُطَلِّ ْق َها َْأو َح ِامال‬
“Suruhlah dia supaya merujuknya dulu, kemudian menceraikannya dalam keadaan suci
atau hamil”.

D. Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang mengalir bukan pada waktu biasanya (selain haid dan nifas)
disebabkan sakit di bagian pangkal (dekat) rahim.
1. Hukum darah istihadhah
Kedudukan istihadhah adalah hadats yang berterusan sama seperti kencing, madzi, berak
dan kentut yang berterusan. Hal tersebut berbeda dengan darah haid dan nifas yang
menyebabkan terhalangnya melakukan shalat, puasa, thawaf, i’tikaf, menyentuh dan
membaca al-Qur’an. Darah istihadhah tidak menghalangi amalan-amalan atau ibadah-
ibadah tersebut.
2. Cara thaharah bagi wanita mustahadhah
Mazhab Maliki berpendapat, wanita yang mustahadhah disunnahkan mengambil wudhu
setiap kali hendak shalat, sebagaimana disunnahkan membasuh darah istihadhahnya
setelah darah itu berhenti. Jumhur ulama memberikan tambahan, jika darah istihadhah
tersebut masuh keluar, maka dimasukkan kapas untuk menahan agar darah tersebut tidak
keluar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
ِ ‫ك الْ ُكرس ِإ‬
‫ب الدَِّم‬ َ ُ ْ ِ َ‫ت ل‬
ُ ‫ف فَ نَّهُ يُ ْذه‬ ُ ‫َأْن َع‬
“Ambilah kapas dan gunakanlah ia akan menghilangkan darah” (HR. Abu Dawud, Ahmad
& Titmidzi).
3. Masa haid wanita mustahadhah
Saat darah mustahadhah terus mengalir diperlukan penjelasan lebih lanjut untuk bisa
melaksanakan hukum-hukum haid dan mengetahui secara pasti bahwa yang dialaminya
tersebut adalah istihadhah. Terdapat prinsip-prinsip utama yang dapat diperhatikan, antara
lain:
a. Membuat perbedaan sifat darah (darah haid biasanya hitam).
b. Perbedaan berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang suda berlaku.
c. Berdasarkan kebiasaan kebanyakan wanita.

MANDI

A. Pengertian
Secara umum mandi berarti membasahi dan menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan
tujuan membersihkan diri dari kotoran yang melekat pada tubuh sehingga menjadi bersih.
Hukum melakukan mandi juga berbeda berdasarkan sebabnya. Sebagai contoh seseorang
yang mandi setelah junub tentu berbeda hukumnya dengan mandi yang dilakukan setiap hari.
B. Yang mewajibkannya
Mandi wajib dilakukan manakala seseorang mengalami keadaan sebagai berikut:
1. Keluar mani
Keluarnya mani merupakan penyebab wajib mandi. Karena dengan wudhu tidak cukup
untuk mensucikannya. Namun jika yang keluar hanya madzi maka cukup baginya
melakukan wudhu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
‫ َويِف الْ َميِن ِّ الْغُ ْس ُل‬،ُ‫ضوء‬
ُ ‫ال يِف الْ َم ْذ ِي الْ ُو‬ ُ ْ‫ت َر ُجالً َم َّذاءً فَ َسَأل‬
َ ‫ت النَّيِب َّ َف َق‬ ُ ‫ُكْن‬
“Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang hal itu. Beliau berkata, keluar madzi wajib berwudhu dan keluar mani wajib
mandi” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi).
2. Selesai bersetubuh sekalipun tidak keluar mani
Bersenggama atau bersetubuh merupakan penyebab wajib melakukan mandi. Hal ini
dilakukan sebelum orang yang bersetubuh akan melaksanakan shalat. Mandi ini wajib
dilakukan baik setelah bersetubuh mengeluarkan mani atau tidak. Seperti dalam sabda
Nabi Muhammad SAW.
‫ب الْغُ ْس ُل َوِإ ْن مَلْ َيْن ِز ْل‬ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ‫ذَا الَْت َقى اخْل تَانَان َف َق ْد َو َج‬
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajiblah mandi, meskipun tidak keluar mani” (HR.
Muslim).
‫ب الْغُ ْس ُل‬ ِ ‫ِإ‬
َ ‫س َبنْي َ ُش َعب َها ااْل َْربَ ِع مُثَّ َج َه َد َها َف َق ْد َو َج‬
َ َ‫َذا َجل‬
“Apabila (dzakar) seseorang berada di antara empat segi (kelamin wanita) kemudian
melakukan kerja (jimak), maka dia wajib mandi” (Muttafaq ‘alaih).
3. Selesai haid dan Nifas
Setiap selesai haid dan nifas setiap wanita wajib mandi untuk mensucikan dirinya
sehingga sah baginya melakukan shalat.
QS al-Baqarah: 222
‫وه َّن َحىَّت يَطْ ُه ْر َن‬
ُ ُ‫يض َوالََت ْقَرب‬ ِ ‫ِّس آءَ يِف الْ َم ِح‬ ِ ْ َ‫يض قُ ل ُه و َأذًى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬
ِ
َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمح‬ َ َ‫َويَ ْس َئ لُون‬
َ ‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ُّ ِ‫ني َوحُي‬
َ ِ‫ب الت ََّّواب‬ُّ ِ‫ث ََأمَر ُك ُم اهللُ ِإ َّن اهللَ حُي‬
ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
ُ ُ‫فَِإذَا تَطَ َّه ْر َن فَْأت‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah: 222).

ِ ِِ َّ ‫ضةُ فَ َد ِعي‬ ِ َ‫ِإ َذا َأْقبل‬


‫صلَّى‬
َ َّ‫َّم مُث‬ ْ ‫الصالََة َوِإ َذا َْأد َبَر‬
َ ‫ت فَا ْغسلي َعْنك الد‬ َ ‫ت احْلَْي‬ َ
“Apabila mulai datang haid, hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila ia telah
berhenti, maka hendaklah kamu mandi dan mengerjakan shalat”

4. Meninggal dunia
Setiap orang muslim yang meninggal wajib dimandikan kecuali jenazah orang muslim
yang meninggal karena peperangan.
ِ ‫ِإ ْغ ِسلُوهُ مِب َ ٍاء و ِس ْد ٍر و َكفُِّنوهُ يِف ثَو َبنْي‬
ْ ْ َ َ
“Hendaklah kamu mandikan dia dengan air bidara kafankan dia dalam dua helai kain
kafan” (Muttafaq’alaih).

C. Tatacara Mandi Wajib


Saat melakukan mandi besar ada tatacara yang harus diperhatikan. Adapun
tatacaranya adalah sebagai berikut:
1. Niat
‫ض ُأ‬َّ ‫ِإذَا ا ْغتَ َس َل ِم ْن اجْلَنَابَ ِة َيْب َدُأ َفَي ْغ ِس ُل يَ َديْ ِه مُثَّ يُ ْف ِرغُ بِيَ ِمْينِ ِه َعلَى مِش َالِِه َفَي ْغ ِس ُل َف ْر َج هُ مُثَّ َيَت َو‬
ِ ‫ضوءه لِلصَّاَل ِة مُثَّ يْأخ ُذ الْماء َفي ْد ِخل َأصابِعه يِف ُأص‬
‫اس تَْبَرَأ َح َف َن‬ْ ‫الش ْع ِر َحىَّت ِإ َذا َرَأى َأ ْن قَ ْد‬ َّ ‫ول‬ ُ َُ َ ُ ُ َ َ ُ َ ُ َ ُ ‫ُو‬
‫اض َعلَى َساِئِر َج َس ِد ِه مُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْي ِه‬ ٍ
َ َ‫ث َح َفنَات مُثَّ َأف‬ َ ‫َعلَى َرْأ ِس ِه ثَاَل‬
“Apabila beliau mandi karena junub, beliau memulai dengan membasuh kedua
tangannya, lalu menuangkan (air) dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu
membasuh farjinya. Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya untuk shalat,
kemudian mengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke dasar rambut hingga
apabila ia sudah merasa bersih, beliau menyiramkan air di atas kepalanya dengan
tiga siraman. Kemudian beliau meratakan ke seluruh tubuhnya lalu membasuh
kedua kakinya” (Muttafaq ‘alayh).
2. Mencuci kedua tangan
3. Mencuci farji dengan tangan kiri. Setelah itu dituntunkan pula mencuci tangan kiri
dengan tanah (HR. al-Bukhari) atau cukup digantikan dengan sabun mandi.
4. Berwudhu seperti wudhu untuk shalat
5. Menyiramkan air ke kepala sampai merata (keramas) dan menguceknya sampai ke
dasar kulit kepala. Bagi yang berambut panjang jika merasa kerepotan bisa
menggelung rambutnya kemudian menyiramnya dengan air
6. Menyiramkan air ke seluruh badan sampai rata yang dimulai dari kanan kemudian
kiri. Berdasarkan Hadits riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW mengakhiri
mandinya dengan mencuci kaki.
D. Macam-Macam Mandi Sunnah
Berikut merupakan mandi yang hukumnya sunnah untuk dilakukan:
1. Mandi untuk menunaikan shalat jum’at
2. Mandi untuk shalat dua hari raya
3. Mandi untuk ihram haji dan umrah
4. Mandi untuk mengerjakan shalat sunnah gerhana bulan dan matahari
5. Mandi karena memandikan mayat (baik mayat muslim atau kafir)
6. Mandi wanita yang mengalami istihadhah
7. Mandi karena pulih dan sadar dari gila, pingsan atau mabuk
8. Mandi setelah berbekam, pada malam Nishfu Sya’ban dan juga pada malam
Lailatul Qadar sekiranya dapat menemuinya
SHALAT

A. Pengertian Shalat
Shalat menurut bahasa berarti doa atau rahmat. Shalat dalam pengertian doa dijumpai
dalam QS al-Taubah: 103,
……‫ك َس َك ٌن هَّلُ ْم‬ َ ‫ص ِّل َعلَْي ِه ْم ِإ َّن‬
َ َ‫صالَت‬ َ ‫……و‬
َ
“…dan berdoalah (wa salli) untuk mereka. Sesungguhnya doamu (shalataka) itu
menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka…” (at-Taubah: 103).
Sedangkan dalam arti rahmat dijumpai dalam QS al-Ahzab: 43,
‫يما‬ ِ ‫هو الَّ ِذي يصلِّي علَي ُكم ومالَِئ َكتُه لِيخ ِرج ُكم ِّمن الظُّلُم‬
ِ ِ‫ات ِإىَل النُّو ِر و َكا َن بِالْمْؤ ِمن‬
ً ‫ني َرح‬
َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ُ ََ ْ ْ َ َ ُ َُ
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan
untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang).
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS. al-Ahzab:
43).
Adapun pengertian shalat secara istilah berarti:
‫َّسلِْي َم‬ ِ ِ ِِ ِ
ْ ‫ ُم ْفتَتَ َحةً بتَ ْكبرْي اهلل َوخُمْتَتَ َمةً بالت‬،ً‫صة‬ ُ ْ‫ض َّم ُن َأْق َواالً َوَأْف َعاالً خَم‬
َ ‫ص ْو‬
ِ
َ َ‫عبَ َادةٌ َتت‬
“Suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka dengan
takbir dan ditutup dengan salam”
Dalam hadits Ibnu Umar dari Nabi Muhammad SAW,
َّ ‫اهلل َوِإقَ ِام الصَّاَل ِة َوِإ ْيتَ ِاء‬
‫الز َك ِاة‬ ِ ‫َأن حُم َّم ًدا رسو ُل‬ ‫ِإ ِإ‬ ِ
ْ ُ َ َ َّ ‫س َش َه َادة َأ ْن اَل لَهَ اَّل اهللُ َو‬ ٍ ْ‫بُيِن اِإل ْساَل ُم َعلَى مَخ‬
َ
ِ
‫اع ِإلَْيه َسبِْياًل‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ضا َن َوح ِّج الَْبْيت َم ِن‬
َ َ‫استَط‬ َ ‫ص ْوم َر َم‬َ ‫َو‬
“Islam ditegakkan di atas lima perkara, yaitu bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah, mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke
Baitullah bagi yang mampu mengerjakannya”.
B. Pensyariatan Shalat
Allah SWT telah mensyariatkan shalat kepada kaum muslimin agar senantiasa
melaksanakannya. Syariat ini bisa dijumpai dalam al-Qur’an maupun dalam sunnah. Allah
berfirman:
‫ك‬ ِ َّ ‫ص نْي َ لَ هُ ال دِّيْ َن ُحَن َف آءَ َويُِقْي ُم ْوا‬
َّ ‫الص لَو َة َويُْؤ ُت ْوا‬ ِ ِ‫وم آ ُِأم رو~ا ِإالَّ لِيعب ُدوااهلل خُمْل‬
َ ‫االز َك و َة َو َذل‬ َ ْ ُْ َ ُْ ََ
‫ِد ْينُالْ َقيِّ َم ِة‬
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama dan juga agar melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)” (al-Bayyinah: 5).
Dalam firman Allah yang lain,
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫الصالََة َوءَاتُوا‬ ِ
ُ‫الز َكا َة َو ْاعتَص ُموا باهلل ُه َو َم ْوالَ ُك ْم فَن ْع َم الْ َم ْوىَل َون ْع َم النَّصري‬ َّ ‫يموا‬
ُ ‫فََأق‬......
“….Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada
Allah. Dialah pelindungmu; dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong” (al-
Hajj: 78).
Menurut pendapat yang masyhur ibadah shalat difardhukan pada malam isra’ (lima
tahun sebelum hijrah). Adapun hukum shalat adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf
(orang yang sudah baligh dan berakal). Berarti seorang muslim yang telah memasuki usia
baligh berkewajiban melaksanakan shalat.
Shalat mempunyai dimensi yang sangat penting bagi manusia. Sampai-sampai Nabi
Muhammad menekankan agar shalat dilaksanakan mulai sejak kecil. Nabi menekankan
agar seorang anak berumur tujuh tahun sudah harus mulai melaksanakan shalat. Bahkan
jika sampai sepuluh tahun tidak mau melaksanakan shalat harus diberi pelajaran yang
tegas. Sebagaimana sabda Nabi SAW,
ِ ‫ و َفِّرقُوا بينهم ىِف الْمض‬، ِ‫اض ِربوهم علَيها لِع ْش ِر ِسن‬ ِِ ِ ِ ِ
‫اج ِع‬ َ َ ْ ُ َ َْ َ َ ‫نْي‬ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ‫ َو‬، َ ‫ُم ُروا صْبيَانَ ُك ْم بِالصَّاَل ة ل َسْب ِع سننْي‬
“Suruhlah anakmu shalat semasa umur mereka telah mencapai tujuh tahun dan pukullah
mereka setelah umurnya sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka.”
Perintah memberi pukulan kepada anak berumur sepuluh tahun yang tidak mau
melaksanakan shalat bukan bermaksud melakukan kekerasan kepada anak. Akan tetapi
untuk menegaskan kepada anak bahwa di umur sepuluh tahun harus melaksanakan shalat.
Sikap tegas di atas bertujuan agar anak terbiasa melakukan shalat. Kelak ketika
memasuki usia baligh diharapkan tetap mempertahankan shalatnya. Seorang muslim yang
baligh dan berakal sengaja meninggalkan shalat dihukumi syirik dan kufur Nabi
Muhammad SAW bersabda,
‫الر ُج ِل َو َبنْي َ الش ِّْر ِك َوالْ ُك ْف ِر َت ْر ُك الصَّاَل ِة‬
َّ َ ‫َبنْي‬
“(Beda) antara seorang (mu’min) dan antara syirik dan kekafiran ialah meninggalkan
shalat” (HR. Muslim).
‫َبْيَننَا َو َبْيَن ُه ْم َت ْر ُك الصَّاَل ِة فَ َم ْن َت ْر َك َها َف َق ْد َك َفَر‬
“(Beda) antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) itu, ialah: meninggalkan shalat.
Maka barangsiapa meninggalkannya, sungguh ia telah kufur” (HR. Ahmad).
C. Fungsi Shalat
Shalat mempunyai fungsi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu yang
senantiasa taat dan patuh kepada Allah SWT, tetapi juga menjadi pondasi tegaknya kehidupan
masyarakat yang baik. Di antara fungsi shalat adalah:
a. Shalat memiliki fungsi utama untuk dzikrullah (mengingat Allah). Allah SWT berfirman:
‫ِ ِئ‬ ِِ ِ ِِ ‫ِئ‬ ِ َّ
ُ ُ‫ين ءَ َامنُوا َوتَطْ َم ُّن ُقلُوبُ ُهم بذ ْك ِر اهلل َأالَبذ ْك ِر اهلل تَطْ َم ُّن الْ ُقل‬
‫وب‬ َ ‫الذ‬
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS al-Ra’d: 28).
Allah sendiri menegaskan, untuk mengingat diri-Nya Allah memerintahkan untuk
melaksanakan shalat.
‫الصالَةَ لِ ِذ ْك ِري‬
َّ ‫اعبُ ْديِن َوَأقِ ِم‬
ْ َ‫ِإنَّىِن َأنَا اهللُ آلِإلَهَ ِإآلَأنَا ف‬
“Sesungguhnya akulah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingatKu” (QS Thaha: 14).
b. Shalat dapat mendidik seseorang menjadi tenang dalam menghadapi kesusahan dan tidak
bersikap kikir ketika memperoleh nikmat dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
ِ َّ ِ
‫ين‬ َ ‫ ِإالَّالْ ُم‬،‫وع ا‬
َ ِّ‫ص ل‬
َ ‫ الذ‬،‫ني‬ ً ُ‫ َوِإ َذا َم َّس هُ اخْلَْي ُر َمن‬،‫وع ا‬
ً ‫ ِإ َذا َم َّسهُ الشَُّّر َجُز‬،‫وعا‬
ً ُ‫نسا َن ُخل َق َهل‬ ‫ِإ ِإل‬
َ ْ‫َّن ا‬
‫صالَهِتِ ْم َدآِئ ُمو َن‬
َ ‫ُه ْم َعلَى‬
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, sedang apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat, yaitu mereka yang tetap mengerjakan shalatnya”
(QS. al-Ma’arij: 19-23).
c. Shalat berfungsi untuk mencegah perbuatan keji dan munkar
ِ ِ ِ َّ ‫َوَأقِ ِم‬
َّ ‫الصالَةَ ِإ َّن‬
‫الصالَةَ َتْن َهى َع ِن الْ َف ْح َشآء َوالْ ُمن َك ِر َولَذ ْك ُر اهلل َأ ْكرَب‬
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan
munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) lebih besar keutamaannya” (al-
Ankabuut: 45).
d. Shalat dan sabar sebagai penolong bagi orang yang beriman
ِِ ِ َّ ‫الص ِ و‬ ِ ِْ‫و‬
َ ‫الصالَة َوِإن ََّها لَ َكبِ َريةٌ ِإالَّ َعلَى اخْلَاشع‬
‫ني‬ َ ‫استَعينُوا ب َّرْب‬ َ
“Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan yang demikian itu sungguh
berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’” (QS. al-Baqarah: 45).
D. Syarat Sahnya Shalat
Syarat sahnya shalat ada empat, yaitu:
a. Sudah masuk waktu shalat. Setiap shalat memiliki waktu-waktu yang telah ditentukan. Saat
memasuki waktu shalat ditandai dengan seruan suara adzan. Allah SWT berfirman:
‫س ِإىَل َغ َس ِق الَّْي ِل‬
ِ ‫َّم‬ ِ ِ َّ ‫َأقِ ِم‬
ْ ‫الصالَةَ ل ُدلُوك الش‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam” (QS al-Israa:
78).
b. Suci dari najis dan hadats (kecil dan besar)
ٍ ُ‫اَل ي ْقبل اهلل صاَل ةً بِغَرْيِ طُهو ٍر واَل ص َدقَةً ِمن غُل‬
‫ول‬ ْ َ َ ُ َ ُ َُ َ
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci, dan (tidak menerima) shadaqah dari hasil
kejahatan/korupsi” (HR. Jama’ah)
c. Menutup aurat
Menutup aurat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Seseorang yang sedang
melaksanakan shalat namun auratnya terbuka maka shalatnya tidak sah hukumnya.
Perintah menutup aurat tersebut bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
‫ند ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬
َ ‫يَابَيِن ءَ َاد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع‬
“Hai anak Adam, pakailah perhiasaanmu (pakaian yang indah) di setiap (memasuki)
masjid…” (QS.al-A’raf: 31).
Dalam sebuah hadits yang menceritakan tentanga Salamah yang bertanya kepada
Rasulullah SAW:
.‫ َو ْاز ُر ْرهُ َولَ ْو بِ َش ْو َك ِة‬،‫ َن َع ْم‬:‫اح ِد؟ قَ َل‬
ِ ‫ص الْو‬ ِ ‫يِف‬ ِ ِ
َ َ‫ َأف‬،‫يَ َار ُس ْو ُل اهلل ِإيِّن َر ُج ٌل ُأصْي ُد‬
َ ِ ‫ُأصلِّى ْ الْ َقمْي‬
“Wahai Rasulullah, saya ini orang yang suka berburu. Apakah saya boleh shalat dengan
satu gamis (baju)? Jawab beliau: Ya, kancingkanlah bajumu, meskipun hanya satu
kancing (dengan peniti)!” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
d. Menghadap ke kiblat (Masjidil Haram)
Allah memerintahkan kepada umat muslim agar menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
ketika melaksanakan shalat. Arah kiblat yang dimaksud adalah Masjidil Haram. Allah
SWT berfirman:
ِِ
......ُ‫وه ُك ْم َشطَْره‬ ُ ‫ك َشطَْر الْ َم ْسجد احْلََر ِام َو َحْي‬
َ ‫ث َما ُكنتُ ْم َف َولُّوا ُو ُج‬ َ ‫ َف َو ِّل َو ْج َه‬.....
“……Palingkanlah (hadapkanlah) wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja
kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya…..” (QS. al-Baqarah: 144).

E. Kaifiyat Shalat
Berikut akan dijelaskan tentang tatacara shalat:
1. Niat. Niat merupakan perbuatan hati dan tidak perlu diucapkan dengan mulut. Apalagi
tidak ada satupun hadits yang menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika
hendak memulai shalat. Secara etimologis niat berarti menyengaja (al-qashdu: maksud),
sehingga siapapun yang menyengaja melakukan suatu perbuatan berarti telah berniat untuk
melakukan perbuatan itu. Allah berfirman,
‫ك‬ ِ َّ ‫ص نْي َ لَ هُ ال دِّيْ َن ُحَن َف آءَ َويُِقْي ُم ْوا‬
َّ ‫الص لَو َة َويُْؤ ُت ْوا‬ ِ ِ‫وم آ ُِأم رو~ا ِإالَّ لِيعب ُدوااهلل خُمْل‬
َ ‫االز َك و َة َو َذل‬ َ ْ ُْ َ ُْ ََ
‫ِد ْينُالْ َقيِّ َم ِة‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”
(QS. al-Bayyinah: 5).
2. Berdiri. Berdiri sempurna menghadap kiblat. Hal ini dipahami dari firman Allah SWT,
‫ني‬ِِ ِ ِ َّ ‫ات و‬ِ َّ ‫حافِضوا علَى‬
َ ‫وموا هلل قَانت‬
ُ ُ‫الصالَة الْ ُو ْسطَى َوق‬ َ ‫الصلَ َو‬ َ ُ َ
“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'” (QS. al-Baqarah: 238).
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dijelaskan mengenai posisi pelaksanaan
shalat terkait jawaban Nabi Muhammad SAW atas pertanyaan Imran bin Hushain yang
sedang sakit.
ِ ‫ص ِّل قَاِئما فَِإ ْن مَل تَستَ ِطع َف َق‬
ٍ ‫اع ًدا فَِإ ْن تَستَ ِط ْع َف َعلَى َجْن‬
‫ب‬ ْ ْ ْ ْ ً َ
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka (shalatlah) dengan duduk,
dan jika tetap tidak mampu maka dengan berbaringlah!” (HR. Bukhari).
Dari hadits tersebut bisa dipahami bahwa shalat diperintahkan untuk berdiri. Akan
tetapi jika tidak mampu karena suatu halangan, misalnya sakit, sedang berperang, musafir
di atas kendaraan, maka diperbolehkan dengan cara duduk, bahkan diperbolehkan dengan
berbaring jika tidak mampu duduk.
3. Bertakbir
ِ ‫ك ِمن الْ ُقر‬ ِ ِ َّ‫ِإذَا قُمت ِإىَل الصَّاَل ِة فََأسبِ ِغ الْوضوء مُث‬
.‫َأن‬ ْ ْ َ ‫اسَت ْقب ِل الْقْبلَةَ فَ َكِّب ْر مُثَّ ا ْقَرْأ َما َتيَ َّسَر َم َع‬
ْ َ ُْ ُ ْ َ ْ
“Apabila kamu bangkit berdiri untuk shalat, maka sempurnakan dalam berwudhu,
kemudian menghadap kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur’an yang paling
mudah ada padamu!” (Muttafaq’alaih).
4. Membaca surat al-Fatihah
Membaca surat al-Fatihah hukumnya wajib berdasarkan hadits Nabi SAW:
ِ َ‫الَ صالَةَ لِمن مَل ي ْقرْأ بَِفاحِت َ ِة الْ ِكت‬
‫اب‬ ََْ َْ َ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca fatihatul kitab” (HR. Jama’ah).
5. Ruku’
Mengangkat kedua tangan seperti takbiratul ahram sambil membaca takbir (Allahu
akbar) menuju posisi ruku’ dengan meletakkan tangan di lutut.
‫اس ُج ُدوا َو ْاعبُ ُدوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُوا اخْلَْيَر لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬ ِ َّ
َ ‫يَاَأيُّ َها الذ‬
ْ ‫ين ءَ َامنُوا ْار َكعُوا َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu
dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS. al-Hajj: 77).
6. I’tidal
Setelah ruku’ kemudian berdiri tegak (I’tidal) dengan sempurna dan tenang. Ini
didasarkan pada hadits Nabi SAW:
....‫اس ُج ْد‬ ‫ِ ِئ‬ ِ ‫ِئ‬
ْ َّ‫مُثَّ ْار َك ُع َحىَّت تَطْ َم َّن َراك ًعا مُثَّ ْارفَ ْع َحىَّت َت ْعتَد َل قَا ًما مُث‬
“Kemudian ruku’lah hingga tenang, kemudian angkatlah (kepalamu) hingga tegak
berdiri kemudian sujudlah….” (Muttafaq’alaih).
7. Sujud
Bertakbir tanpa mengangkat tangan, kemudian sujud dengan meletakkan lutut dahulu
kemudian tangan, lalu wajah (dahi dan hidung). Berdasarkan hadits Nabi SAW,
‫ض َرفَ َع يَ َديِْه َقْب َل ُر ْكبََتْي ِه‬ ِ ِ
َ ‫ض ُع ُر ْكبََتْيه َقْب َل يَ َديْه َوِإ َذا َن َه‬
َ َ‫ِإ َذا َس َج َد ي‬
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya” (HR.
Tirmidzi).
8. Duduk
Setelah sujud kedua, maka dituntunkan untuk duduk. Jika dalam posisi tasyahud awal
maka posisi duduknya iftirasy yakni duduk di atas bentangan kaki kiri sementara telapak
kanan ditegakkan dengan jari kaki kanan menghadap kiblat. Namun, jika sudah dalam
posisi duduk tasyahud akhir maka posisi duduknya tawarruk yakni pangkal paha atas
(pantat) yang kiri duduk bertumpu pada laintai sedangkan posisi kaki kanan sama dengan
tahiyat awal.
9. Salam
Setelah berdoa pada tasyahud akhir, kemudian salamlah dengan berpaling ke kanan
hingga terlihat pipimu dari belakang dengan membaca (‫اهلل‬ ِ ُ‫)الس الَم علَي ُكم ورمْح ة‬
َ َ َ ْ ْ َ ُ َّ , kemudian
berpaling ke kiri dengan gerakan yang sama dan bacaan yang sama seperti salam
pertama.

PUASA

A. Pengertian Puasa
Puasa atau dalam bahasa Arab disebut shiyam (‫ام‬ ِ
ٌ َ‫ )صي‬shaum (‫)ص ْو ٌم‬
َ memiliki pengertian
menahan diri dari sesuatu (‫َّي ِء‬ ِ ُ ‫)اِإل ْم َس‬. Sedangkan menurut istilah puasa berarti:
ْ ‫اك َعن الش‬
‫س َم َع النِّيَ ِة‬ ِ ِ ِ
ْ ‫اك َع ِن الْ ُم َفطَِّرات م ْن طُلُ ْو ِع الْ َف ْج ِر ِإىَل غُُر ْوب الش‬
ِ ‫َّم‬ ُ ‫اِإل ْم َس‬
“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya matahari sampai
dengan terbenamnya matahari yang disertai niat.”
Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Qur’an menyatakan, istilah shiyam
dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak delapan kali. Semuanya dalam arti puasa menurut
pengertian hukum syar’at. Sedangkan kata shaum dijumpai hanya sekali dengan makna
menahan diri untuk tidak berbicara. Kata shaum dalam pengertian ini terdapat pada QS.
Maryam: 26
ِ ‫ِإيِّن نَ َذرت لِلرَّمْح ِن صوما َفلَن ُأ َكلِّم الْيوم ِإ‬
‫نسيًّا‬ َ َْ َ ْ ً َْ َ ُ ْ
“Sesungguhnya aku bernadzar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusia pun” (QS. Maryam: 26).
Ayat di atas merupakan ucapan Maryam yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika
muncul pertanyaan tentang kelahiran anaknya bernama Isa as. Seperti telah ditunjukkan dalam
pengertian puasa secara bahasa di atas, semua aneka bentuk kata yang dimaksud terambil dari
akar kata sha-wa-ma yang makna berupa “menahan”, “berhenti”, atau “tidak bergerak”.
Dengan demikian, manusia yang berupaya menahan diri dari suatu aktivitas disebut shaim
(berpuasa). Oleh hukum syari’at, kata shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari
makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari”.
Di kalangan sufi, puasa dirujuk pada tataran hakikat dan tujuannya, yaitu berupa
pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam
dosa. Orang yang berpuasa berarti harus menahan atau mengendalikan diri, dan upaya
menahan atau mengendalikan diri berarti pula berkaitan dengan kesabaran. Terkait hal ini
banyak ulama yang mempersamakan hadits qudsi yang menyatakan, “Puasa untuk-Ku, dan
Aku yang memberinya ganjaran” dengan QS az-Zumar: 10.,
ٍ ‫َأجر ُهم بِغَرْيِ ِحس‬
‫اب‬ ِ َّ ‫ِإمَّنَا يوىَّف‬
َ َ ْ ‫الصاب ُرو َن‬ َُ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa
batas” (QS. az-Zumar: 10).
B. Macam-Macam Puasa
Secara garis besar macam-macam puasa dapat dibagi menjadi: puasa wajib dan puasa
sunnah.
1. Puasa Fardhu
a. Puasa Ramadhan
Disyariatkan puasa Ramadhan termuat dalam QS. al-Baqarah: 183
‫ين ِمن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ِ َّ
َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ ِ َّ
َ ‫يَاَأيُّ َها الذ‬
َ ‫ين ءَ َامنُوا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah:
183).
b. Puasa Qadha
Puasa qadha merupakan puasa yang wajib dilaksanakan karena kedudukannya
sebagai pengganti atas puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Jumlah hari pelaksanaannya
sama dengan bilangan hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Allah berfirman dalam
QS. al-Baqarah: 184,
ِ ‫ات فَمن َك ا َن ِمن ُكم َّم ِريض ا َأو علَى س َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِّمن َأيَّ ٍام ُأخ ر وعلَى الَّ ِذ‬ ٍ ‫َأيَّام ا َّمع ُد‬
ُ‫ين يُطي ُقونَه‬َ َ َ ََ ْ َ َ ْ ً َ ‫ود‬ َ ْ ً
‫وموا َخْيُر لَّ ُك ْم ِإن ُكنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬
ُ ‫ص‬ُ َ‫ع َخْيًرا َف ُه َو َخْي ُر لَّهُ َوَأن ت‬ ٍ ‫فِ ْديَةُ طَ َع ُام ِمس ِك‬
َ ‫ني فَ َمن تَطََّو‬ ْ
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 184).
c. Puasa Nadzar
Puasa yang dikerjakan karena bernadzar untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Jika puasa tersebut dinadzarkan maka hukumnya wajib untuk dilaksanakan.
d. Puasa Kafarat
Puasa kafarat merupakan puasa yang dilaksanakan akibat melakukan pelanggaran-
pelanggaran tertentu:
1) Sumpah palsu (hukumannya berpuasa 3 hari).
2) Bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan. (Hukumannya puasa memerdekakan
budan, puasa 60 hari berturut-turut, memberi makan kepada 60 orang fakir miskin).
3) Melakukan dhihar (mengharamkan isteri atau menyamakan isteri dengan ibunya
sendiri). Hukumannya puasa 60 hari terus-menerus.
e. Puasa Fidyah
Puasa fidyah merupakan puasa pengganti dari kewajiban membayar dam karena
melanggar peraturan ibadah haji. Pelaksanaannya 3 hari di kota suci, dan dilanjutkan 7
hari di negeri sendiri. Sebagaiman Allah berfirman:
ِ ِ ِ ‫هلل فَ ِإ ْن‬ ِ َ‫وَأمِت ُّوا احْل َّج والْعم رة‬
‫وس ُك ْم َحىَّت َيْبلُ َغ‬ َ ُ‫اسَتْي َس َر م َن اهْلَ ْد ِي َوالَ حَتْل ُق وا ُرء‬
ْ ‫ُأحص ْرمُتْ فَ َم ا‬
ْ َ ُْ َ َ َ
ٍ ‫يض ا َأو بِ ِه َأ ًذى ِّمن َّرْأ ِس ِه فَِف ْدي ةُ ِّمن ِص ي ٍام َأو ص َدقٍَة َأو نُس‬ ِ ِ ‫اهْل ْد‬
‫ك‬ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ً ‫ي حَم لَّهُ فَ َمن َك ا َن من ُكم َّم ِر‬ ُ َ
‫ص يَ ُام ثَالَثَ ِة َأيَّ ٍام يِف‬
ِ َ‫فَ ِإ َذآ َِأمنتُم فَمن مَتَتَّع بِ الْعمر ِة ِإىَل احْل ِّج فَم ا اسَتيس ر ِمن اهْل ِْدي فَمن مَّل جَيِ ْد ف‬
ْ َ َ َ ََ ْ ْ َ َ َُْ َ َ ْ
‫اض ِري الْ َم ْس ِج ِد احْلَ راَِم‬ ِ ‫ك لِمن مَّل ي ُكن َأهلُ ه ح‬ ِ ِ
َ ُ ْ ْ َ ْ َ َ ‫ك َع َش َرةٌ َكاملَ ةٌ َذل‬ َ ‫احْلَ ِّج َو َس ْب َع ٍة ِإذَ َار َج ْعتُ ْم تِْل‬
‫اب‬ ُ ‫َأن اهللَ َش ِد‬
ِ ‫يد الْعِ َق‬ َّ ‫َو َّات ُقوا اهللَ َو ْاعلَ ُموا‬
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan 'Umrah sebelum Haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuhhari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan
bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya” (QS.
al-Baqarah: 196).

2. Puasa sunnah
Berikut akan dijelaskan tentang macam-macam puasa sunnah sebagaimana pernah
dilakukan ataupun dianjurkan Rasulullah SAW:
a. Puasa di hari yang putih (Ayyam al-Bidh). Puasa ini dilaksanakan pada tiga hari pada
setiap tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Qamariyah. Sebagai dalil disunnahkannya
puasa ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
، ‫ُّحى‬ ِ ‫ و‬،‫َأوص اىِن خلِيلِى بِثالَ ٍث الَ َأدعه َّن حىَّت َأم وت ص وِم ثَالَثَ ِة َأيَّ ٍام ِمن ُك ِّل َش ه ٍر‬
َ ‫ص الَة الض‬
َ َ ْ ْ ْ َ َ ُ َ ُُ َ َ َ َ ْ
‫َو َن ْوٍم َعلَى ِوتْ ٍر‬
“Kekasihku (Rasulullah) mewasiatkan kepadaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: berpuasa tiga hari pada setiap bulan, mengerjakan
shalat dhuha, mengerjakan shalat witir sebelum tidur” (HR. Bukhari).
Demikian juga riwayat yang menceritakan tentang pertanyaan Mu’adz kepada
‘Aisyah RA.
‫ت ِم ْن‬
ُ ‫ ُق ْل‬.‫ت َن َع ْم‬
ِ
ْ َ‫وم ثَالَثَةَ َأيَّ ٍام م ْن ُك ِّل َش ْه ٍر قَال‬
ُ ‫ص‬ُ َ‫ ي‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّه‬
ِ ُ ‫َأ َكا َن رس‬
َُ
ِ ‫يث حسن‬ ِ ِ ِ ِ ِ
‫يح‬
ٌ ‫صح‬ َ ٌ َ َ ٌ ‫يسى َه َذا َحد‬ َ ‫ قَ َال َأبُو ع‬.‫ص َام‬ َ ‫ت َكا َن الَ يُبَاىِل م ْن َأيِّه‬
ْ َ‫وم قَال‬
ُ ‫ص‬ُ َ‫َأيِّه َكا َن ي‬
“Apakah Rasulullah SAW berpuasa tiga hari setiap bulan? ‘Aisyah menjawab, iya.
Mu’adz lalu bertanya: pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut? ‘Aisyah
menjawab, beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (semau beliau)” (HR.
Tirmidzi).
Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas juga dijelaskan,
‫ض ٍر َواَل َس َف ٍر‬ ِ ِ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم اَل يُ ْف ِطُر َأيَّ َام الْب‬
َ ‫يض يِف َح‬
ِ ُ ‫َكا َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
“Rasulullah SAW biasa berpuasa pada ayyamul bidh ketika tidak bepergian maupun
ketika bersafar” (HR. Nasa’i).
Hadits riwayat Abu Dzar juga menjelaskan,
ٍ ِ ‫يا َأبا ذَ ٍّر ِإذَا صم‬
َ‫س َع ْشَرة‬
َ ْ‫ث َع ْشَرةَ َو َْأربَ َع َع ْشَرةَ َومَخ‬ ُ َ‫َّه ِر ثَالَثَةَ َأيَّام ف‬
َ َ‫ص ْم ثَال‬ ْ ‫ت م َن الش‬
َ ُْ َ َ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal
13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah)” (HR. Tirmidzi).

b. Puasa Senin Kamis

‫ص ْوِم َي ْوِم اْاِل ْثَننْي ِ ؟‬ ‫ِئ‬ ِ


َ ‫ص لّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ُس َل َع ْن‬
ِ ِ
َ ‫َع ْن اَيِب ْ َقتَ َاد َة َرض َي اهللُ َعْن هُ اَ َّن َر ُس ْو َل اهلل‬
‫ت اَْو اُنْ ِز َل َعلَ َّي فِْي ِه‬ ِ ِ ِ ‫ك يوم ولِ ْد‬ ِ
ُ ْ‫ت فْيه َو َي ْو ٌم بُعث‬
ُ ُ ٌ ْ َ َ ‫فَقاَ َل َذل‬
“Dari Abu Qatadah RA., sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang puasa Senin.
Maka beliau menjawab: Hari Senin adalah hari lahirku, hari aku mulai diutus atau
hari mulai diturunkannya wahyu” (HR. Muslim).

‫ال َي ْو َم‬
ُ ‫ض اْاَل ْع َم‬ َ َ‫ص لّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬
ُ ‫ال ُت ْع َر‬
ِ ِ
َ ‫َو َع ْن اَيِب ْ ُهَر ْي َر َة َرض َي اهللُ َعْن هُ َع ْن َر ُس ْو َل اهلل‬
‫صاِئ ٌم‬ ِ ُّ ‫س فَاُ ِح‬
ِ ‫اْاِل ْثَننْي ِ َواخْلَ ِمْي‬
َ ‫ض َع َمل ْي َواَنَا‬
َ ‫ب اَ ْن يٌّ ْعَر‬
“Dari abi Hurairah RA., dari Rasulullah SAW bersabda: Seluruh amal disetor pada
hari Senin dan Kamis, maka aku lebih menyukai saat setor amal tersebut dalam
keadaan berpuasa” (HR. Turmudzi).

ِ ‫ص و َم اْاِل ْثَننْي‬ ِ ِ ‫ِئ‬


ْ َ‫َو َع ْن َعا َشةَ َر ِض َي اهللُ َعْن َه ا قَال‬
ْ َ ‫ص لّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َيتَ َح َّري‬
َ ‫ت َك ا َن َر ُس ْو َل اهلل‬
‫س‬ِ ‫َواخْلَ ِمْي‬
“Dari ‘Aisyah RA., berkata: Rasulullah selalu memilih puasa Senin dan Kamis” (HR.
Turmudzi).

c. Puasa Arafah
Puasa Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijjah. Mengenai keutamaannya
dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah,

‫ص ْوِم َي ْوِم َعَرفَةَ ؟‬ ِ


َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َع ْن‬
ِ ‫عن اَيِب َقتَادةَ ر ِضي اهلل عْنه قَ َ ِئ‬
َ ‫ ُس َل َر ُس ْو ُل اهلل‬: ‫ال‬ ُ َ ُ َ َ َ ْ َْ
َ‫اضيَّةَ َوالْبَاقِيَّة‬
ِ ‫السنَةَ الْم‬
َ َّ ‫ يُ َكف ُِّر‬: ‫قَ َال‬
“Dari Qatadah RA., Rasulullah SAW ditanya perihal berpuasa pada hari Arafah
(tanggal 9 Zulhijjah). Rasulullah bersabda: Puasa pada hari itu dapat menghapuskan
dosa pada tahun yang lalu serta tahun yang akan datang” (HR. Muslim).

d. Puasa 6 hari bulan syawal


Setelah merayakan Idul Fitri selama bulan syawal disunnahkan melaksanakan
puasa selama enam hari. Dalam riwayat Abi Ayub al-Anshari dijelaskan mengenai
keutamaan puasa syawal tersebut, yaitu:

َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬


‫ َم ْن‬: ‫ال‬ ِ َ َ‫ص ا ِري َر ِض َي اهللُ َعْن هُ ق‬
َ ‫ اَ َّن َر ُس ْو َل اهلل‬: ‫ال‬ َ ْ‫ب اْالَن‬ َ ‫َع ْن اَيِب ْ اَيُّ ْو‬
ِ ِ ِ
ْ ‫ضا َن مُثَّ اَْتَب َعهُ ستَّا م ْن َش َّو ِال َكا َن َكصيَ ِام الد‬
.‫َّه ِر‬ َ ‫ص َام َر َم‬ َ
“Dari Abi Ayub al-Anshari RA., Rasulullah bersabda: barangsiapa berpuasa
Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari di bulan Syawal pahalanya seperti puasa
setahun” (HR. Muslim).

ُ‫ص لَّىاهلل‬
ِ َ ‫ َف َق‬،‫ص ْو ُم اَ ْش ُهَر احْلُ ُرِم‬
َ ‫ال لَ هُ َر ُس ْو ُل اهلل‬
ٍ ِ ِ ِ
ُ َ‫ اَ َّن اُ َس َامةَ بْ ِن َزيْ د َك ا َن ي‬:‫َع ْن حُمَ َّمد بْ ِن ا ْب َراهْي َم‬
.‫ات‬ ِ‫ فتر َك اشهر احْل ر‬.‫ صم شواال‬: ‫علَي ِه وسلَّم‬
َ ‫ص ْو ُم َش َّواالً َحىَّت َم‬
َُ َْ‫ي‬ ‫ل‬ْ ‫ز‬َ ‫ي‬ ‫مَل‬ َّ‫مُث‬ ‫م‬ ُُ َ ُ ْ َ َ ََ ً َّ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ
“Dari Muhammad bin Ibrahim bahawa Usamah bin Zaid berpuasa pada bulan-bulan
mulia, lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda kepadanya: Puasalah
pada bulan Syawal. Lalu dia meninggalkan puasa bulan-bulan mulia dan terus
berpuasa dibulan Syawal hingga dia meninggal dunia”.
‫السنَ ِة‬ ِ ِ
َ ‫ضا َن فَ َش ْهٌر بِ َع َشَر ِة َأ ْش ُه ٍر َو ِصيَ ُام ِست َِّة َأيَّ ٍام َب ْع َد الْفطْ ِر فَ َذل‬
َ ‫ك مَتَ ُام‬ َ ‫ص َام َر َم‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, maka puasa sebelum itu sama dengan
sepuluh bulan dan dengan puasa enam hari setelah berbuka (berhari raya), maka itu
melangkapi puasa setahun” (HR Ahmad).

e. Puasa ‘Asyura (10 Muharram)


Dasar disunnahkannya puasa 10 Muharram adalah ketika Nabi Muhammad
SAW datang di Madinah dan menjumpai orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Hal ini
disandarkan pada riwayat dari Abdullah bin Abbas RA.

ِ ِ ِ
‫م اَ َه َذا؟ قَ الُْوا‬:‫ال‬
َ ‫اش ْو َراء َف َق‬
ُ ‫ص ْو ُم َي ْو َم َع‬ َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم املَد ْينَ ةَ َف َرَأى‬
ُ َ‫الي ُه ْو َد ت‬ َ ُّ ‫قَ د َم النَّيِب‬
ِ ِ ‫ِئ‬ ِ ‫ه َذا ي وم‬
‫َأح ُّق‬
َ َ‫ فََأن ا‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫ص َامهُ ُم ْو َس ى‬َ َ‫ص ال ٌح َه َذا َي ْو ٌم جَنَّى اهللُ بَيِن ْ ِإ ْس َرا ْي َل م ْن َع ُد ِّوه ْم ف‬ َ ٌَْ َ
‫صيَ ِام ِه‬
ِ ِ‫ فَصامه وَأمر ب‬.‫مِب ُوسى ِمْن ُكم‬
ََ َ ُ َ َ ْ َْ
“Tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wasallam datang ke Madinah beliau melihat orang-
orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik,
pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam
berpuasa pada hari ini. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Saya lebih
berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu
dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR Al Bukhari).
Dalam riwayat Aisyah juga dijelaskan,

ِ ِ‫اهلل ص لَّى اهلل علَي ِه وس لَّم َأم ر ب‬


ُ ‫ص يَ ِام َي ْو َم َع‬ ِ ‫َك ا َن رس و ُل‬
‫ض ا َن َك ا َن َم ْن‬ َ ‫اش ْو َراءَ َفلَ َّما فُ ِر‬
َ ‫ض َر َم‬ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ ُْ َ
‫ص َام َو َم ْن َشاءَ َأفْطََر‬
َ َ‫َشاء‬
“Dahulu Rasulullah SAW memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika
puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia
boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka” (HR Al
Bukhari).

f. Puasa Nabi Dawud (puasa selang)


Disunnahkannya puasa Dawud diawali dengan pernyataan Abdullah bin Amr
bin Ash yang mengatakan, “aku memberi tahu Rasulullah SAW bahwa aku mengatakan,
demi Allah aku akan puasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam seumur
hidupku”. Kemudian Rasulullah mengatakan, “sesungguhnya engkau tidak akan
sanggup, untuk itu berpuasalah dan berbukalah, shalatlah malam dan tidurlah”.
Rasulullah melanjutkan sabdanya: ”berpuasalah tiga hari dalam sebulan maka
sesungguhnya suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang sepertinya dan
hal itu seperti berpuasa sepanjang masa”. Di saat Abdullah bin Amr bin Ash
mengatakan mampu melakukan amalan yang lebih dari itu, Rasulullah bersabda:
“berpuasalah sehari dan berbukalah sehari. Ini adalah puasa Dawud dan ini puasa
yang paling baik” (HR. Bukhari).

C. Ketentuan orang yang tidak berpuasa


a. Perempuan yang sedang datang bulan (haid) atau sedang nifas
Seorang perempuan yang berpuasa dalam kondisi sedang haid atau nifas hukumnya
tidak sah. Menurut jumhur Ulama, perempuan yang haid dan nifas tidak wajib berpuasa
dan wajib meng-qadha-nya.
Hadits Mu’adzah saat bertanya kepada ‘Aisyah dijelaskan tentang larangan
perempuan haid,
‫ت حِب َُرو ِريٍَّة‬
ُ ‫ت لَ ْس‬
ِ
ُ ‫َأح ُرو ِريَّةٌ َأنْت ُق ْل‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫الص الََة َف َق ال‬
َّ ‫ض ى‬ِ ‫الص وم والَ َت ْق‬ ِ ِ ‫ال احْل اِئ‬
َ َ ْ َّ ‫ض َت ْقض ى‬ َ ُ َ‫َم ا ب‬
َّ ‫ض ِاء‬
.‫الصالَِة‬ ِ َّ ‫صيبنا َذلِك َفن مر بَِقض ِاء‬ ِ
َ ‫الص ْوم َوالَ نُْؤ َمُر بَِق‬ َ ُ َ ‫ت َكا َن يُ ِ َُ َ ُْؤ‬ ْ َ‫ قَال‬.‫َأل‬
ُ ‫َأس‬
ْ ‫َولَكىِّن‬
“Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’
Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku
bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, perempuan yang haid diperintahkan meng-qadha puasa,
sedangkan shalat tidak diperintahkan untuk meng-qadha.

b. Orang yang sedang sakit


Orang yang sakit memperoleh rukhshah untuk tidak berpuasa atau membatalkan
puasa. Kebolehan untuk tidak berpuasa ini dijelaskan dalam firman Allah SWT:
ِ
َ ‫يضا َْأو َعلَى َس َف ٍر فَع َّدةٌ ِّم ْن َأيَّ ٍام‬
‫ُأخَر‬ ً ‫َو َمن َكا َن َم ِر‬
“…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…(al-
Baqarah: 185).
Seseorang yang sedang sakit mendapatkan rukhshah meninggalkan puasa, terlebih
sakit yang diderita bisa mendatangkan kemadharatan bagi dirinya jika tetap berpuasa.
Misalnya, sakit yang dapat menyebabkan kematian jika masih berpuasa, atau sakit yang
menyebabkan semakin melemahnya kondisi, atau sakit yang dapat menyebabkan
lambatnya kesembuhan apabila tetap berpuasa. Namun jika seseorang yang sakit tetapi
tidak sampai mengancam kondisinya maka tetap berpuasa. Misalnya, penderita kudis, sakit
gigi, bisul, dsb.
c. Orang Tua Renta
Menurut ijma’ ulama, orang tua yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun boleh
tidak berpuasa, dan tidak diwajibkan meng-qadha karena sudah tidak mempunyai
kemampuan melakukannya. Sebagai gantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberi
makan kepada seorang miskin untuk setiap harinya satu mud (0,5 kg). Allah SWT
berfirman:
ٍ ‫و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةُ طَ َع ُام ِمس ِك‬
‫ني‬ ْ َ َ
“…Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin….” (al-Baqarah: 184).
Menurut Ibnu Abbas, ayat di atas berlaku bagi orang usia lanjut, baik pria maupun
wanita yang tidak mampu berpuasa. Ayat di atas berlaku juga bagi orang sakit yang tidak
mempunyai harapan sembuh sehingga tidak mampu berpuasa. Adapun bagi orang yang
tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan akan tetapi mampu meng-qadha-nya di waktu
yang lain, maka ia wajib meng-qadha tanpa harus membayar fidyah.
d. Musafir atau orang dalam perjalanan jauh.
Ukuran jarak seseorang boleh meninggalkan puasa adalah sejauh seseorang boleh
meng-qhasar shalat empat rekaat. Kebolehan meninggalkan puasa bagi musafir didasarkan
pada QS. al-Baqarah 185. Demikian juga dalam hadits berikut dijelaskan,
‫ فَِقْي َل‬،ُ‫َّاس َم َعه‬
ُ ‫ص َام الن‬
ِ
َ ‫ َو‬،‫اع الْغَمْي ِم‬ َ ‫ص َام َحىَّت َبلَ َغ ُكَر‬
ِ َ ‫َأن رس‬
َ َ‫ ف‬،‫ول اهلل َخَر َج ِإىَل َم َّكةَ َع َام الْ َفْت ِح‬ ُ َ َّ
‫َّاس َيْنظُ ُر ْو َن‬‫ن‬‫ال‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫ر‬ِ ‫ فَ َش‬،‫ص ِر‬ ‫ع‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ٍ ‫ فَ دعا بَِق د ٍح ِمن م‬،‫ ِإ َّن النَّاس يْنظُ رو َن فِيم ا َفع ْلت‬:‫لَ ه‬
‫اء‬
ُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َْ ُْ َ َ ُ
ُ‫صاة‬َ ُ‫ك الْع‬ َ ‫ ُأولَِئ‬:‫ال‬
َ ‫ َف َق‬،‫ص ُاموا‬ َ ‫اسا‬ ً َ‫َأن ن‬َّ ُ‫ َفَبلَغَه‬،‫ض ُه ْم‬ ُ ‫ص َام َب ْع‬
َ ‫ َو‬،‫ض ُه ْم‬
ِ
ُ ‫ فََأفْطََر َب ْع‬،‫ِإلَْيه‬
“Rasulullah SAW, berangkat ke Mekkah pada tahun penaklukkan kota tersebut. Beliau
berpuasa hingga tiba di Kura’ul Ghamim, dan kaum muslimin juga berpuasa. Kemudian
ada orang yang berkata kepada beliau, ‘orang-orang sudah merasa berat sekali untuk
berpuasa. Mereka mengikuti apa yang anda lakukan.’ Maka, beliau meminta semangkuk
air sesudah shalat Ashar lalu meminumnya, sementara orang-orang memandang beliau.
Sebagian dari mereka lantas menghentikan puasanya, tetapi sebagian lagi masih terus
berpuasa. Ketika beliau mendengar bahwa ada sebagian orang yang masih meneruskan
puasanya, beliau bersabda, ‘Mereka itulah para pembangkang’”.
Hadits tersebut merupakan dalil dibolehkannya seorang musafir membatalkan
puasanya karena dalam perjalanan yang jauh. Konsekuensinya, wajib mengganti puasa
yang ditinggalkannya tersebut di hari yang lain.
e. Lapar dan Haus
Kondisi seorang yang berpuasa yang kemudian merasakan lapar atau haus yang
sangat berat sehingga tidak mampu menahannya, maka dibolehkan kepadanya
membatalkan puasa. Terlebih jika kondisi lapar atau haus tersebut bisa menimbulkan
madharat baginya, bahkan bisa mengakibatkan berkurangnya fungsi anggota tubuh bahkan
menyebabkan kematian. Sebagai penggantinya wajib meng-qadha puasanya di waktu yang
lain.
Dalam QS. al-Baqarah: 195, Allah SWT berfirman:
ِِ ُّ ِ‫َأح ِسنُوا ِإ َّن اهللَ حُي‬ ِ ‫اهلل والَ ُت ْل ُقوا بَِأي ِدي ُكم ِإىَل الت‬
ِ ِ ِ
‫ني‬
َ ‫ب الْ ُم ْحسن‬ ْ ‫َّهلُ َكة َو‬
ْ ْ ْ َ ‫َوَأنف ُقوا يِف َسب ِيل‬
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Baqarah: 195).

f. Pekerja Berat
Abu Bakar al-Ajiri berpendapat orang yang mempunyai pekerjaan berat dan
dikhawatirkan akan meninggal atau mendapatkan madharat karena berpuasa, dibolehkan
meng-qhada puasanya di waktu lain. Namun apabila orang tersebut mampu menjalankan
pekerjaannya tanpa meninggalkan puasa, haram baginya untuk meng-qadha puasa. Karena
madharat yang menjadi alasan dibolehkan orang yang mempunyai pekerjaan berat boleh
membatalkan puasanya dan meng-qadha-nya di waktu yang lain. Kebolehan meng-qadha
tersebut didasarkan pada firman Allah SWT pada QS. an-Nisaa’: 29,
ِ ِ ‫ِإ‬
ً ‫َوالََت ْقُتلُوا َأن ُف َس ُك ْم َّن اهللَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬
‫يما‬
“….Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (QS. an-Nisaa’: 29).
D. Kaifiyat (Tata Cara) Puasa
a. Menentukan awal dan akhir Ramadhan
Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan ditandai dengan terlihatnya hilal. Terlihatnya
hilal berarti telah memasuki bulan yang baru. Nabi SAW bersabda:
. َ ‫ص ُموا لُِرْؤ يَتِ ِه َوَأفْ ِط ُروا ُلرْؤ يَتِ ِه فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فََأ ْك ِملُوا ِع َّد َة َش ْعبَا َن ثَالَثِنْي‬
ُ
“Berpuasalah jika kalian telah melihatnya (hilal Ramadhan), dan hentikan puasa jika
kalian telah melihatnya (hilal Syawal). Jika kalian tidak bisa melihatnya karena cuaca
mendung, lengkapkan jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.”
Untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan dilakukan dengan melihat hilal.
Mengenai metode yang digunakan bisa dilakukan dengan metode ru’yah (melihat hilal)
bisa melalui pengamatan mata secara langsung maupun memakai bantuan alat untuk
melihat jarak jauh. Selain itu bisa dilakukan dengan menggunakan metode hisab yaitu
dengan menggunakan penghitungan rumus.
b. Niat pada malam hari
Dalam melaksanakan amal ibadah harus dilandasi dengan niat. Karena amalan yang
tidak dilandasi niat bisa menyebabkan amalan tersebut menjadi tidak bermakna. Dalam
sabda Nabi Muhammad SAW dijelaskan,
ِ َّ‫الني‬
ِّ ِ‫ال ب‬
‫ات‬ ْ ‫ِإمَّنَا‬
ُ ‫اَألع َم‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Niat memiliki hakikat kesengajaan yang bergetar di dalam hati untuk melakukan
sesuatu. Demikian halnya, ketika akan menjalankan ibadah puasa niat juga harus
mengiringinya. Niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari atau sebelum terbit fajar
subuh. Tapi jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka puasanya
tidaklah sah. Hal ini didasarkan hadits dari Hafshah, Nabi SAW,
ِ
ُ‫الصيَ َام َقْب َل الْ َف ْج ِر فَاَل صيَ َام لَه‬
ِّ ‫ت‬ْ ِّ‫َم ْن مَلْ يَُبي‬
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa
untuknya.” (HR. An Nasai).
Sedangkan untuk puasa sunnah, niat boleh dilakukan di pagi hari asalkan matahari
belum tergelincir di Barat (waktu zawal). Hal ini didasarkan pada Hadits,

‫ ِإ َذا َد َخ َل َعلَ َّى‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬


ُ ‫ت َكا َن َر ُس‬ْ َ‫َع ْن َعا َشةَ – رضى اهلل عنها – قَال‬
‫ِئ‬
.»‫صاِئ ٌم‬ َ َ‫ فَِإذَا ُق ْلنَا الَ ق‬.» ‫قَ َال « َه ْل ِعْن َد ُك ْم طَ َع ٌام‬
َ ‫ال « ِإىِّن‬
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab
tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim).

c. Makan sahur
Seseorang yang akan berpuasa disunnahkan untuk makan sahur. Karena dalam
makan sahur terdapat keberkahan. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat
Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda,
َّ ‫تَ َس َّحُروا فَِإ َّن ىِف‬
ً‫الس ُحو ِر َبَر َكة‬
“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (Muttafaqun
‘alaih)

d. Meninggalkan segala yang membatalkan puasa


Berpuasa berarti menghindari dari melakukan hal-hal yang membatalkannya selama
waktu yang telah ditentukan. Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut maka batalah
puasanya. Di antara hal-hal yang harus dihindari atau ditinggalkan adalah makan, minum,
dan berhubungan seksual dengan isteri sampai terbenamnya matahari. Untuk menambah
kesempurnaan puasa, maka diharapkan untuk menghindari pula hal-hal yang berpotensi
mengurangi nilai pahala puasa. Di antaranya, ghibah (menggunjing orang lain), berkata
kotor, berdusta, dsb.

e. Segera berbuka ketika maghrib


Waktu berbuka puasa ditandai dengan adzan maghrib. Oleh karena itu, diperintahkan
untuk segera berbuka, dan tidak diperkenankan untuk menundanya. Sesuai sabda Nabi
Muhammad SAW: “Orang yang paling aku cintai diantara hamba-hambaku ialah orang
yang bersegera berbuka” (HR. Tirmidzi).
Berbuka puasa hendaklah diawali dengan memakan makanan yang ringan dan manis
rasanya. Seperti dilakukan Rasulullah SAW saat berbuka puasa, beliau lebih senang
memakan makanan dengan jenis ini. Sebagaimana sabdanya,

‫ابو يعلى عن انس‬.‫َّار‬ ِ ٍ ِ ِ ُّ ِ‫اهلل ص حُي‬


ِ ‫َكا َن رسول‬
ُ ‫ب اَ ْن يُ ْفطَر َعلَى ثَالَث مَتََراَْو َش ْـىء مَلْ تُصْبهُ الن‬ ُْ َ
“Adalah Rasullulah SAW suka berbuka dengan tiga biji kurma atau sesuatu yang tidak
dimasak dengan api” (HR. Abu Ya’la dari Anas).
Dari riwayat di atas bisa dipahami bahwa kurma merupakan makanan kesukaan
Rasulullah saat berbuka puasa. Namun bila kurma tidak dijumpai bisa diganti dengan
makanan yang manis dan tidak perlu dimasak. Makanan jenis ini bisa diinterpretasikan
dengan makanan yang berasal dari buah-buahan yang rasanya manis. Seperti pepaya,
mangga, dsb.
Dalam riwayat yang lain juga dijelaskan tentang perintah yang sama dengan riwayat
di atas.
‫ اب وداود و‬.‫ فَ اِ ْن مَلْ جَيِ ْد َف ْلُي ْف ِط ْر َعلَى َم ٍاء فَاِنَّهُ طَ ُه ْو ًر‬،‫اِ َذااَفْطَ َر اَ َح ُد ُك ْم َف ْلُي ْف ِط ْر َعلَي مَتْ ِر ْن‬
.‫الرتمذى‬
“Apabila seseorang diantara kalian berbuka, maka hendaklah ia berbuka dengan kurma.
Jika ia tidak memperoleh kurma, hendaklah ia berbuka dengan air, karena air itu bersih
dan membersihkan” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Anda mungkin juga menyukai