Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nuraini

Kelas : B

A. Rasa bangga

Bangga adalah kata sifat. Menurut kamus besar Indonesia, bangga adalah besar hati atau merasa
gagah karena mempunyai keunggulan.

Orang yang tidak mempunyai rasa bangga umumnya akan merasa rendah diri, dan hal ini adalah
suatu energi yang negative. Karyawan yang tidak mempunyai kebanggan bekerja pada suatu
perusahaan tidak akan memberikan hasil kerja yang optimal. Pemilik usaha yang tidak mempunyai
kebanggaan pada nilai-nilai usaha dan budaya perusahaannya, maka usaha itu hanya akan menjadi
bonsai di tanah gersang yang tidak subur.

Pejabat yang tidak mempunyai kebanggaan pada integritas dan kompetensi jabatan yang
diembannya, wakil-wakil rakyat yang tidak bangga pada semangat mewakilidan memperjuangkan
aspirasi rakyat, pemimpin bangsa yang tidak mempunyai kebanggaan pada kebesaran negerinya,
dan aparat hukum yang tidak mempunyai kebanggaan pada upaya penegakan hukum, maka hanya
akan menghasilkan kondisi pemerintahan yang ‘asal jalan’ saja.

Singkatnya rasa bangga itu harus dan positif.

B. Malu

Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau
kurang sopan. Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan
akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan
tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila
melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya,
orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun
banyak orang mengetahuinya.

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang
yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan
beriman. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi
adalah mengucapkan ‘La ilaha illallah’, dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan
(duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.’’ (HR Bukhari-Muslim).

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang
dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu, seseorang akan
berusaha mencari harta yang halal dan akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun
kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke
derajat paling rendah. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah apabila hendak
membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.

Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak
menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut
darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah
jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya,
tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah
dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.’’ (HR Ibn Majah).

Tiga Macam Rasa Malu

Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika
sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu
ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.

Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar
ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya
bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena
ia terpelihara dari perbuatan dosa.

Ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang
yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban
selama meyakini Allah selalu mengawasinya.

Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama
kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat memelihara iman
seseorang.

C. Bersalah

Rasa bersalah adalah perilaku yang tidak dapat diterima secara moral

normatif yang dilakukan oleh pelanggar yang nantinya akan menderita akibat

dari kesalahan yang dibuatnya (Smith & Ellsworth, dalam Xu, dkk., 2011).

Menurut pandangan yang digunakan oleh Weiss (dalam O’Connor, dkk.) rasa

bersalah dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari alturisme dan kepedulian

terhadap orang. Dengan demikian rasa bersalah termasuk dalam bagian self

perceived (perasaan diri) dengan respek untuk standar orang lain, dimana

fokus perhatian adalah beberapa perilaku yang nyata. Menurut Tangney

(dalam Cohen dkk, 2010) rasa bersalah dapat dikarakteristikkan dengan


adanya kecendrungan untuk mengevaluasi perilaku diri yang negatif dan

kecendrungan untuk memperbaiki tindakan.

Berdasarkan psikologi eksistensial (Hall & Lindzey, 1993) rasa

bersalah adalah suatu eksistensial pemahaman yang berpusat pada diri

individu yang memiliki tanggung jawab atas tindakannya yang bersifat bebas

yang berarti suatu ciri fundamental dari desain atau kemampuan manusia

dalam eksistensialnya atau kemampuan menetap dan memaknai hidupnya.Jadi

dapat dismpulkan bahwa rasa bersalah bagaimana manusia memaknai

hidupnya agar tidak terjadi kesalahan. Mordiningsih (2000) mendefinisikan rasa bersalah adalah
pelanggaran

terhadap standar internal yang menghasilkan penurunan harga diri, jadi ketika

seseorang merasakan penurunan harga diri hal ini dapat disebabkan karena

orang tersebut memiliki perasaan bersalah.

Menurut Tarcy & Robins, (dalam Xu, dkk., 2011) rasa bersalah adalah

hasil kesadaran emosi dalam diri yang negative dari ketidaksesuaian antara

identitas diri dan tujuan yang kita inginkan. Kegagalan dalam memenuhi

perintah Allah namun masih terus bertahan dalam identitas diri yang telah

dijalani selama ini.

Rasa bersalah adalah perbaikan emosi yang merupakan hasil dari

refleksi diri dari peristiwa negative (Baumester, 2007). Hal ini menjelaskan

terdapat ketidaksesuaian antara perilaku diri terhadap apa yang telah dilakukan

dan muncul suatu keadaan yang tidak diinginkan. Senada dengan Xu

dkk.(2011), yang mengungkapkan bahwa rasa bersalah adalah penerimaan diri

yang tidak dikehendaki atau tidak diinginkan.Rasa bersalah juga merupakan

keadaan emosi negatif yang timbul ketika tingkah laku individu berselisih

dengan standarisasi tingkah laku seharusnya (Baumester dkk. 1994).

Rasa salah dapat menutup diri dari kebenaran, membuat individu

menipu diri sendiri, dan menyebabkan agresif secara berlebihan dalam usaha

untuk mempertahankan diri dari serangan yang dilakukan sendiri. Mungkin

mencoba menghindar dari akibat yang di timbulkan oleh rasa salah dalam diri

serta berusaha menimpa akibat perbuatan salah kepada orang lain (Coleman,
1992).

D. Perkembangan regulasi emosi

emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai,

mengatasi, mengelola dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka

mencapai keseimbangan emosional. Kemampuan yang tinggi dalam mengelola

emosi akan memampukan individu untuk menghadapi ketegangan dalam

kehidupannya(Gross, 1998).

Menurut Gross (2006), respon emosional yang tidak tepat dapat menuntun

individu ke arah yang salah. Pada saat emosi tampaknya tidak sesuai dengan

situasi tertentu, individu sering mencoba untuk mengatur respon emosional agar

emosi tersebut dapat lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan, sehingga

diperlukan suatu strategi yang dapat diterapkan untuk menghadapi situasi

emosional berupa regulasi emosi yang dapat mengurangi pengalaman emosi

negatif maupun tingkah laku maladaptif.

Individu yang mengendalikan emosinya dapat mendatangkan kebahagiaan

bagi mereka, hal ini dinyatakan oleh Karl C. Garrison (dalam Mappiare, 2003),

bahwa kebahagiaan seseorang dalam hidup ini bukan karena tidak adanya bentuk-

bentuk emosi dalam dirinya, melainkan kebiasaannya memahami dan menguasai

emosi. Proses pengendalian emosi ini juga disebut sebagai proses regulasi emosi.

Regulasi emosi merupakan cara individu untuk menentukan emosi apa yangdirasakan, kapan emosi
tersebut dirasakan dan bagaimana mengekspresikan dan

mengetahui emosi tersebut(Fridja dalam Gross, 2006).

Gross (1998) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu

mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan

bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi

emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan

mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai

dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001).

Gross (1998) mengemukakan bahwa tujuan dari regulasi emosi sendiri bersifat
spesifik tergantung keadaan yang dialami seseorang. Sebagai contoh, pada suatu

situasi seseorang menahan emosi takutnya agar ketakutannya tersebut tidak

dimanfaatkan orang lain. Dalam situasi yang lain, seseorang dapat dengan sengaja

menaikan rasa marahnya untuk membuat orang lain merasa takut. Cukup sulit

untuk mendeteksi tujuan dari regulasi emosi pada tiap individu, namun satu hal

yang dapat disimpulkan adalah bahwa regulasi emosi berkaitan dengan

mengurangi dan menaikkan emosi negatif dan positif. Emosi positif dan emosi

negatif ini muncul ketika individu yang memiliki tujuan berinteraksi dengan

lingkungannya dan orang lain. Emosi positif muncul apabila individu dapat

mencapai tujuannya dan emosi negatif muncul bila individu mendapatkan

halangan saat akan mencapai tujuannya. Hal yang termasuk emosi positif

diantaranya adalah senang dan gembira, sedangkan yang tergolong emosi negatif

diantaranya adalah marah, takut dan sedih.

Menurut Garnefski (2001) terdapat beberapa macam strategi-strategi untuk

meregulasi emosi, yaitu :

a. Self blame disini mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri.

Beberapa penelitian menemukan bahwa self blame berhubungan dengan

depresi dan pengukuran kesehatan lainnya.

b. Blaming others mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain atas

kejadian yang menimpa dirinya.

c. Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas

kejadian yang menimpa dirinya. Acceptance merupakan strategi coping yang

memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self

esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.

d. Refocus on planning mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa yang

harus diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami. Perlu

diperhatikan kalau dimensi ini hanya pada tahap kognitif saja, tidak sampai

kepelaksanaan. Refocusing on planning merupakan strategi coping yang

memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self

esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai