Anda di halaman 1dari 12

RANGKUMAN ANALISA KB 1

TAFSIR, TA'WIL, TERJEMAH DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASANNYA


Oleh : Endang Saeful Anwar (Dosen Fakutas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten)

A. Makna Tafsir dalam Pandangan Mufasir


v Tafsir dalam pandangan mufasir adalah penjelasan atau klarifikasi terhadap satu kalimat atau ucapan,
yang juga mengandung pengertian penyingkapan dan penunjukan maksud dari suatu ucapan atau
kalimat. Istilah ini memiliki arti membawa keluar atau mengeluarkan. Dalam konteks penafsiran al-Qur'an,
tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan makna ayat-ayat al-Qur'an serta maksud-maksudnya.
Mufasir berperan seperti seorang dokter yang menganalisis urine untuk menemukan penyakit. Tafsir
membutuhkan pengetahuan sebelumnya untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Ada
perbedaan pendapat mengenai asal usul etimologis kata "tafsir", apakah berasal dari "fasara" atau
"safara". Dalam bahasa Inggris, kegiatan menafsir disebut "exegesis" yang berarti membawa keluar atau
mengeluarkan, yang dalam konteks tulisan berarti membaca atau menggali arti tulisan tersebut. Terdapat
berbagai pengertian tafsir dalam istilah, termasuk menjelaskan kalam Allah, mengungkapkan makna-
makna dan maksud-maksud al-Qur'an, serta memahami kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
B. Pengertian Ta'wil dan Ruang Lingkup Pembahasannya
v Pengertian Ta'wil adalah menjelaskan dan mengembalikan kepada maksud yang diharapkan. Secara
terminologi, Ta'wil dapat berarti menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya atau makna yang
dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Ta'wil sering dianggap sinonim dengan tafsir dan tidak jauh dari
pengertian ta'wil secara bahasa. Ta'wil juga dapat berarti mengalihkan makna dari yang meragukan atau
membingungkan pada makna yang meyakinkan dan mententramkan. Penggunaan lafazh ta'wil lebih
populer daripada tafsir pada masa Khalifah Abu Bakar dan Rasulullah sendiri menggunakan lafazh ta'wil
dalam doa untuk Ibnu Abbas. Dalam penggunaannya, ta'wil berkaitan dengan memahami dan
mengungkap kandungan ayat al-Qur'an.
C. Perbedaan Tafsir Dan Ta'wil
v Tafsir dan ta'wil merupakan dua konsep yang berbeda dalam penafsiran Al-Qur'an. Tafsir adalah
penjelasan dan interpretasi teks Al-Qur'an berdasarkan pengetahuan tentang bahasa, sejarah, dan
konteksnya. Tafsir umumnya mengacu pada penafsiran literal dan eksternal dari ayat-ayat Al-Qur'an.
v Sementara itu, ta'wil adalah penafsiran yang lebih dalam dan bersifat metaforis terhadap ayat-ayat Al-
Qur'an. Ta'wil mencari makna bathin atau makna tersembunyi di balik teks dan sering kali digunakan
dalam konteks alegoris. Ta'wil dapat melibatkan aspek spiritual, esoteris, dan simbolis dalam interpretasi
Al-Qur'an.
v Para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang perbedaan antara tafsir dan ta'wil. Beberapa
ulama menganggap tafsir lebih umum dan digunakan dalam konteks umum, sementara ta'wil lebih
khusus dan digunakan dalam konteks kitab-kitab suci. Namun, ada juga pandangan bahwa ta'wil adalah
bentuk intensif dari tafsir yang melibatkan interpretasi yang lebih mendalam.
v Perbedaan antara tafsir dan ta'wil terletak pada pendekatan mereka terhadap makna Al-Qur'an. Tafsir
berfokus pada penjelasan teks secara harfiah dan eksternal, sementara ta'wil lebih menekankan makna
batin dan penafsiran metaforis. Ta'wil dapat melibatkan pemahaman yang lebih luas dan imajinatif
terhadap teks
v Dalam praktiknya, tafsir umumnya lebih umum digunakan dalam kajian 'Ulumul Qur'an, sementara
ta'wil memiliki peran yang lebih terbatas dan tidak sering dibahas secara terbuka. Meskipun demikian,
ta'wil tetap menjadi bagian penting dalam tradisi penafsiran Al-Qur'an, terutama dalam konteks
pemahaman spiritual dan esoteris.
v Perbedaan pendapat tentang tafsir dan ta'wil juga mencakup metodologi dan implikasi linguistik.
Beberapa ulama memandang ta'wil sebagai penafsiran yang berhubungan dengan makna bathin dan
penafsiran metaforis, sementara tafsir berkaitan dengan penjelasan eksternal. Namun, ada juga
pandangan yang menghubungkan tafsir dengan makna lughawi yang riil dan ta'wil dengan makna
metaforis.
v Dalam pemahaman ta'wil, terdapat perbedaan antara ta'wil qarib yang mencari kemungkinan makna
terdekat dan ta'wil ba'id yang mencari kemungkinan makna yang lebih jauh. Ta'wil qarib lebih umum
diterima, sementara ta'wil ba'id memerlukan penguatan atau pembenaran yang mendekatkannya kepada
makna zhahir.
v Secara keseluruhan, tafsir dan ta'wil merupakan dua pendekatan yang berbeda dalam penafsiran Al-
Qur'an. Meskipun ada perbedaan dalam metodologi dan fokus penafsiran, keduanya memiliki peran
penting dalam memahami makna Al-Qur'an secara menyeluruh.
D. Pengertian Terjemah
v Terjemah secara etimologi berarti menyalin atau memindahkan sesuatu pembicaraan atau bahasa dari
satu bahasa ke bahasa lain. Terjemahan adalah salinan bahasa atau alih bahasa dari suatu bahasa ke
bahasa lain. Tarjamah dalam literatur Arab berarti menerangkan atau menjelaskan. Terjemahan dapat
dilakukan dengan maksud agar pembicaraan atau kalimat bahasa asal dapat difahami oleh orang yang
tidak memahami bahasa asal tersebut.
v Ada dua jenis terjemahan:
Terjemah harfiah: Memindahkan pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sambil memelihara susunan
dan makna asli yang terkandung. Terjemah harfiah dapat dilakukan sesuai dengan susunan dan struktur
bahasa asal, atau dengan sedikit kebebasan dari susunan dan struktur bahasa asal.
v Terjemah ma'nawiah atau tafsiriah: Menjelaskan atau menerangkan makna yang terkandung dalam
satu buku dengan bahasa lain tanpa memperhatikan susunan dan jalan bahasa aslinya. Terjemahan ini
lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan bahasa asal dan tidak terikat dengan susunan dan
struktur kalimat. Terjemah ma'nawiah juga dikenal sebagai terjemah bebas.
v Penerjemahan Al-Qur'an memiliki beberapa pengertian, antara lain:
a. Terjemah harfiah: Memindahkan pengertian ayat-ayat Al-Qur'an dalam bahasa lain secara kata per
kata, memperhatikan gaya bahasa dan uslubnya, dengan tujuan agar terjemahan mengandung
pengertian asli dari Al-Qur'an.
b. Terjemah ma'nawiah atau tafsiriah: Menerangkan atau menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an
dengan bahasa lain tanpa memperhatikan susunan dan struktur bahasa aslinya. Terjemahan ini lebih
mengedepankan maksud atau isi kandungan bahasa asal.
v Penting untuk membedakan antara tafsir dengan terjemah tafsiriah. Terjemah tafsiriah menggunakan
bahasa yang berbeda dari bahasa asli yang diterjemahkan, sedangkan tafsir menggunakan bahasa yang
sama dengan bahasa aslinya. Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia, seperti Tafsir Al-Azhar, lebih tepat
disebut terjemah tafsiriah. Terjemah harfiah dan terjemah ma'nawiah/tafsiriah umumnya digabungkan
dalam penerjemahan Al-Qur'an, di mana terjemahan harfiah ditempatkan dalam teks utama, sementara
terjemahan tafsiriah (jika ada) ditempatkan dalam catatan kaki.
v Penting untuk diingat bahwa tidak ada terjemahan Al-Qur'an yang sempurna, karena bahasa tidak
mampu menyalin secara tepat makna yang terkandung dalam bahasa yang diterjemahkan. Ayat-ayat Al-
Qur'an juga memiliki kebenaran risalah dan mukjizat yang tidak dapat dipahami secara tepat mutlak oleh
manusia. Terjemahan Al-Qur'an dapat membantu dalam pemahaman, namun tidak sama dengan tafsir
Al-Qur'an yang sebenarnya.
RANGKUMAN ANALISA KB 2
KRITERIA KE-SHAHIH-AN HADIS MENURUT AL-KHATHIB AL-BAGHDADI DALAM KITAB AL-
KIFAYAH FI ‘ILM AL-RIWAYAH
(Agus Firdaus Chandra1 dan Buchari M2 1)
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau 2
Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Qur`an Padang agus.firdaus.chandra@uin-
suska.ac.id
KRITERIA KE-SHAHIH-AN HADIS MENURUT AL-KHATHIB AL-BAGHDADI DALAM KITAB AL-
KIFAYAH FI ‘ILM AL-RIWAYAH
1. Biograpi Al-Khattab
v Al-Khathib (Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit ibn Ahmad ibn Muhdi) lahir enam hari sebelum
berakhirnya bulan Jumadil Akhir pada tahun 392 H. Ayahnya adalah seorang yang memiliki perhatian
tinggi terhadap ilmu dan sering memberikan ceramah di daerah Darzaijan. Al-Khathib mulai menuntut
ilmu pada ayahnya dan juga berguru pada beberapa ulama terkenal.
v Masa petualangan ilmiah Al-Khathib dimulai pada tahun 412 H, di mana ia bertemu dengan berbagai
ulama di Bashrah, Kufah, Naisabur, dan kota-kota lainnya. Selama perjalanan ini, ia belajar hadis dari
beberapa guru terkenal. Setelah itu, Al-Khathib mulai mengumpulkan, merapikan, dan menulis hadis
serta riwayat-riwayat lainnya. Ia menyampaikan karya-karyanya terutama di Masjid al-Manshur. Namun,
kemudian terjadi sebuah fitnah yang membuat Al-Khathib hijrah dari Baghdad ke Damaskus. Setelah
beberapa waktu di Damaskus, ia memilih kota Shur sebagai tempat tinggalnya. Pada usia 70 tahun, Al-
Khathib kembali ke Baghdad dan mulai mengajar serta menyampaikan hadis di Masjid al-Manshur.
v Al-Khathib dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki keilmuan yang luas terutama dalam bidang
hadis. Ia memiliki pengetahuan mendalam tentang para periwayat hadis, mengetahui hadis yang sahih,
gharib, fard, munkar, cacat, dan terbuang. Ulama-ulama banyak memuji keahliannya dalam bidang hadis,
dan ia dianggap sebagai penolong terakhir dalam hadis setelah al-Daruquthni. Pada bulan Ramadhan
tahun 463 H, Al-Khathib meninggal dunia di tempat tinggalnya dekat Sekolah Nizhamiyah. Kematian Al-
Khathib sangat disayangkan oleh banyak orang, dan ia dianggap sebagai salah satu ulama terbesar
setelah al-Daruquthni di Baghdad.
v Sumber:Viografi Al-Khathib dalam buku "Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Tela’ah Kritik dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah" oleh Syuhudi Ismail. Beberapa informasi tambahan dari buku "Tarikh
Madinat al-Dimasyq" oleh Ibn 'Asakir"Wafayat al-A'yan wa Anba Abna al-Zaman" oleh Ibn
Khalkan"Thabaqat Al-Syafi’iyah Al-Kubra" oleh Al-Subki
2. Kitab Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah
v Al-Khathib adalah seorang ulama yang aktif menulis, dengan total 80 karya yang meliputi berbagai
bidang ilmu, termasuk Tarikh Baghdad, Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, dan Syarf Ashhab al-Hadits. Kitab
yang terkenal adalah Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, yang membahas pokok-pokok ilmu hadis dan syarat-
syaratnya. Dalam kitab ini, al-Khathib menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh ahli hadis dan ahli
fiqh dalam menghafal dan mempelajari hadis. Ia juga merujuk pada pendapat-pendapat ahli hadis
terdahulu yang memiliki manfaat dan memberikan perlindungan terhadap agama dari kesalahan dan
penyimpangan. Beberapa pokok-pokok yang dibahas dalam kitab ini meliputi ilmu jarh wa ta'dil (kritik dan
pujian terhadap periwayat hadis), kaedah pen-shahih-an (kriteria keabsahan hadis), tadlis (ketidakjujuran
dalam meriwayatkan hadis), dan berbagai aspek lainnya.
v Motivasi al-Khathib dalam menulis kitab ini adalah karena minimnya pengetahuan tentang ilmu
periwayatan hadis dan pemahaman hadis pada masa itu. Ia merasa tanggung jawab untuk menyebarkan
ilmu dan menjaga keabsahan hadis. Kitab Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah kemudian menjadi referensi
utama bagi para ahli hadis setelah al-Khathib.
3. Kriteria Kesahihan Matan Hadis
v Al -Khathib mengemukakan bahwa hadis shahih adalah hadis musnad dengan sanad yang
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, tanpa kejanggalan atau cacat. Dia juga
menekankan pentingnya sanad yang bersambung, periwayat yang adil, dan kemampuan periwayat
dalam memahami dan meriwayatkan hadis dengan tepat. Al-Khathib tidak mewajibkan pertemuan
langsung antara guru dan murid dalam sanad, melainkan fokus pada konsistensi keberagamaan
periwayat. Selain itu, pentingnya periwayat yang jujur, terkenal dalam pembicaraannya, dan menjauhi
perbuatan dosa juga menjadi kriteria ke-adalan periwayat. Dia juga menyebutkan tentang kemampuan
periwayat dalam mengetahui dan memahami hadis yang diriwayatkannya. Ini adalah ringkasan dari
materi yang diberikan.
4. Kriteria Kesahihan Matan Hadis
v Kriteria kesahihan matan hadis menurut al-Khathib al-Baghdadi. Terdapat dua kriteria yang dibahas
dalam materi tersebut:
1.) Terhindar dari Syadz: Syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah
(terpercaya), namun terdapat pertentangan atau kejanggalan dalam hadis tersebut yang bertentangan
dengan periwayatan para periwayat tsiqah lainnya. Syarat dalam hadis syadz adalah adanya
pertentangan yang tidak bisa dikompromikan dalam matan hadis dan periwayat yang menghadapkan
pertentangan tersebut adalah orang-orang tsiqah.
2.) Terhindar dari 'Illat: 'Illat adalah cacat yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas suatu hadis.
Al-Khathib membagi khabar (berita) dari segi muatannya menjadi tiga kelompok: khabar yang diketahui
kebenarannya, khabar yang diketahui cacatnya, dan khabar yang tidak berada pada dua kelompok
tersebut. Al-Khathib melakukan pengujian matan hadis dengan menggunakan akal sehat manusia, al-
Qur'an, hadis mutawatir, ijma', dan qiyas. Suatu matan hadis dapat dibenarkan jika sesuai dengan
sumber-sumber tersebut, namun akan ditolak jika bertentangan dengan sumber-sumber tersebut.
v Al-Khathib al-Baghdadi memberikan perhatian khusus pada kualitas matan hadis dalam penentuan
kesahihan hadis. Ia menggunakan akal sehat manusia sebagai salah satu alat pengujian dan
memprioritaskan akal sehat daripada qiyas. Pendekatan ini menjadi keistimewaan dalam penilaian hadis
menurut al-Khathib al-Baghdad.
RANGKUMAN ANALISA QURDIS KB 3

PENDEKATAN DALAM TAFSIR


(Tafsir Bi Al Matsur, Tafsir Bi Al Ra`yi, Tafsir Bi Al Isyari)

Oleh Muhammad Arsad Nasution


Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan

e-mail: arsad73@yahoo.com

A. Tafsir Bi Al Ma`sur
Tafsir bi al-ma'tsur adalah penafsiran ayat-ayat Alquran berdasarkan penjelasan yang ada dalam Alquran
sendiri, hadis Nabi, perkataan sahabat, dan riwayat tabi'in. Pendekatan dalam tafsir ini menggunakan
kutipan-kutipan yang sahih untuk menjelaskan maksud Allah dalam kitab-Nya. Sumber utama dalam
tafsir bi al-ma'tsur adalah Alquran, Sunnah, perkataan sahabat, dan tabi'in. Beberapa pendapat
menyertakan pendapat tabi'in dalam tafsir ini, sementara yang lain memasukkannya ke dalam tafsir bi al-
ra'yi. Fungsi tafsir bi al-ma'tsur adalah menjelaskan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran dengan
menggunakan ayat Alquran itu sendiri, hadis Nabi, penjelasan sahabat, dan penjelasan tabi'in.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai apakah tafsir tabi'in termasuk dalam tafsir bi al-
ma'tsur. Beberapa alasan yang menyebutkan bahwa tafsir tabi'in termasuk dalam tafsir bi al-ma'tsur
adalah karena mereka menerima pengetahuan tersebut dari sahabat dan memiliki kemampuan untuk
memahami penafsiran ayat-ayat Alquran. Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tafsir
tabi'in termasuk dalam tafsir bi al-ra'yi karena mereka menggunakan penalaran dan pemikiran pribadi
dalam penafsiran. Dalam tafsir bi al-ma'tsur, terdapat empat cara penafsiran, yaitu: penafsiran ayat
Alquran dengan ayat Alquran, penafsiran ayat Alquran dengan hadis, penafsiran ayat Alquran dengan
penjelasan sahabat, dan penafsiran ayat Alquran dengan penjelasan tabi'in.
Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran adalah salah satu metode dalam tafsir Al-Quran
yang dilakukan dengan menghubungkan ayat-ayat yang saling berkaitan dalam Al-Quran untuk
memperoleh pemahaman yang lebih lengkap. Beberapa cara penafsiran yang digunakan dalam metode
ini antara lain:
1. Penjelasan dalam satu ayat: Dalam beberapa ayat Al-Quran, suatu topik atau konsep disebutkan
secara ringkas, sedangkan penjelasan lebih lanjut ditemukan dalam ayat yang lain. Dengan mempelajari
ayat-ayat terkait, kita dapat mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang topik
tersebut. Contoh: Ayat Al-Baqarah (2:37) menyebutkan bahwa Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya dan Allah menerima taubatnya. Penjelasan lebih lanjut tentang kalimat-kalimat ini ditemukan
dalam ayat lain, yaitu Al-A'raf (7:23), di mana Adam dan Hawa memohon ampunan kepada Allah.
2. Ayat yang umum dan khusus: Beberapa ayat Al-Quran bersifat umum, sementara ayat lainnya
memberikan penjelasan atau pengecualian yang khusus. Dengan memperhatikan hubungan antara ayat-
ayat tersebut, kita dapat memahami batasan dan pengecualian yang ada. Contoh: Surah Al-Ma'idah (5:1)
menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman harus memenuhi perjanjian-perjanjian tertentu.
Penjelasan lebih lanjut diberikan dalam ayat berikutnya (Al-Ma'idah 5:3), yang melarang makan bangkai,
darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah.
3. Ayat yang mujmal dan muqayyad: Ayat-ayat Al-Quran ada yang disampaikan dengan kata-kata
yang umum atau ringkas, sementara ayat lainnya memberikan pembatasan atau penjelasan yang lebih
rinci. Dalam metode ini, kita mencari penjelasan ayat mujmal (umum) dalam ayat yang muqayyad
(terperinci) untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Contoh: Surah Al-Fatihah (1:6-7)
mengemukakan permohonan untuk diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Penjelasan lebih lanjut
tentang jalan yang lurus ini ditemukan dalam ayat Al-Quran lain, seperti An-Nisa (4:69), yang
menjelaskan bahwa orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bersama-sama dengan
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, termasuk para Nabi, orang-orang yang membenarkan yang
benar, orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh.Metode penafsiran Al-Quran dengan ayat Al-
Quran ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, seperti "Adwa Al-Bayan Fi Idah Al-Quran Bi Al-Quran"
karya Muhammad Amin Asy-Syinqithi.
4. Tafsir Al-Qur'an dengan Hadis : salah satu metode penafsiran Al-Qur'an yang dilakukan dengan
menggunakan hadis atau sunnah Nabi Muhammad SAW. Penafsiran ini digunakan jika tidak ada
penjelasan yang memadai dalam Al-Qur'an itu sendiri atau jika penafsiran dengan Al-Qur'an lain tidak
memungkinkan. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan hal-hal yang masih bersifat umum,
mengkhususkan, atau menghapus ketentuan dalam Al-Qur'an.
B. Tafsir Bi al Ra’yi
Penafsiran Al-Quran berdasarkan pendapat para Tabi'in. Tabi'in adalah orang-orang yang hidup setelah
wafatnya para sahabat Rasulullah. Mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang isi Al-
Quran karena mereka hidup dan bergaul langsung dengan para sahabat. Pendapat mereka dianggap
sangat membantu generasi berikutnya dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Terdapat dua kelompok
dalam penafsiran Al-Quran berdasarkan pendapat Tabi'in: Pertama Tafsir bi al-ma'tsur: Kelompok ini
memiliki kedudukan tertinggi dalam penafsiran Al-Quran, kecuali tafsir bi al-ma'sur yang datang langsung
dari Tabi'in. Namun, beberapa tafsir dalam kelompok ini dipengaruhi oleh kecenderungan dan seringkali
bercampur dengan cerita-cerita Isra'iliyah. Tafsir bi ar-ra'yi: Kelompok ini memiliki pendekatan penafsiran
berdasarkan pemikiran dan penilaian pribadi. Pendekatan ini lebih tergantung pada analisis pribadi dan
pemikiran Tabi'in.
Sumber-sumber dalam penafsiran Al-Quran oleh Tabi'in meliputi: , Al-Quran itu sendiri, Sunnah atau
tradisi Nabi Muhammad, Pendapat para sahabat, Tafsir dari Tabi'in lainnya,, Bahasa Arab, Pengetahuan
tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat Al-Quran, Pengetahuan tentang ahli kitab (kitab-kitab
sebelum Al-Quran), Ijtihad Tabi'in (upaya pemikiran dan penilaian Tabi'in dalam memahami Al-
Quran).Penafsiran Al-Quran oleh Tabi'in juga mengacu pada sumber-sumber referensi dalam penulisan
Al-Quran itu sendiri. Tabi'in memberikan penjelasan berdasarkan pendapat sahabat, karena mereka
bertemu langsung dengan sahabat dan memiliki pengetahuan yang sama. Oleh karena itu, penjelasan
Tabi'in tetap dianggap sebagai salah satu corak penafsiran bi al-matsur dalam memahami Al-Quran.
Beberapa contoh tafsir Al-Qur'an dengan Hadis adalah sebagai berikut:
1) Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-An'am ayat 82 yang berbicara tentang orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman. Dalam hal ini, Rasulullah menjelaskan
bahwa "kezaliman" dalam ayat tersebut merujuk pada "kemusyrikan".Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-
Baqarah ayat 238 yang menyebutkan "Peliharalah segala shalat dan shalat wustha." Rasulullah
menjelaskan bahwa "shalat wustha" dalam ayat tersebut merujuk pada "shalat Asar".
2) Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-Fatihah ayat 7 yang menyebutkan "Jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat." Rasulullah menjelaskan bahwa "orang-orang yang dimurkai" merujuk pada orang
Yahudi dan Nasrani.
3) Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-Anfal ayat 60 yang menyebutkan "Dan siapkan untuk menghadapi
mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi." Rasulullah menjelaskan bahwa "kekuatan-
kekuatan" dalam ayat tersebut merujuk pada anak panah.
4) Ayat Al-Qur'an dalam Surah Ghafir ayat 60 yang menyebutkan "Dan Tuhanmu berfirman:
'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina'."
Firman Allah tentang kewajiban shalat dijelaskan oleh Rasulullah dengan pernyataan "Shalatlah kalian
semua sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Selain tafsir dengan hadis, tafsir Al-Qur'an juga dapat dilakukan dengan pendapat sahabat. Para
sahabat Nabi adalah orang-orang yang paling memahami Al-Qur'an karena mereka hidup pada saat Al-
Qur'an diturunkan dan mengetahui konteks sosial serta sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat Al-Qur'an.
Pendapat sahabat menjadi salah satu sumber dalam penafsiran ayat-ayat Al-
Qur'an.Terdapat Tpenafsiran yang keliru dalam penggunaan corak tafsir al-ra'yi, khususnya dalam
penafsiran kalam Syiah terhadap ayat ke-33 dari Surat Al-Waqi'ah. Ayat tersebut berbicara tentang
kemampuan manusia dan jin untuk melintasi penjuru langit dan bumi, namun penafsiran keliru
menganggapnya sebagai kemungkinan para ilmuwan dalam konteks modern dapat melakukannya.
Penafsiran tersebut dianggap menyimpang dan terkesan dipaksakan.
Tafsir bi al-ra'yi, juga dikenal sebagai tafsir dirayah atau tafsir ma'qul, adalah penjelasan yang
didasarkan pada ijtihad (usaha pemikiran) dan akal, dengan memperhatikan kaidah bahasa dan adat
istiadat orang Arab dalam penggunaan bahasa mereka. Tafsir tersebut tidak semata-mata berdasarkan
pendapat individu atau penafsiran pribadi seseorang, tetapi berdasarkan pemahaman mufassir terhadap
bahasa Arab dan makna kata-kata.
Dalam hal ini, ada dua jenis tafsir bi al-ra'yi, yaitu tafsir bi al-ra'yi yang terpuji (al-Mahmud) dan tafsir bi al-
ra'yi yang tercela (al-Mazmum). Tafsir yang terpuji adalah penafsiran yang dilakukan dengan ijtihad yang
menggunakan kaidah dan persyaratan yang benar, sehingga tidak menyimpang. Sedangkan tafsir yang
tercela adalah penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, sehingga jatuh dalam kesesatan
dan kejahilan.
Pendekatan dalam tafsir bi al-ra'yi melibatkan empat prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Mengutip dari Rasul dengan menghindari hadis yang lemah atau palsu.
2) Mengambil pendapat para sahabat karena kedudukan mereka yang marfu'.
3) Mengutamakan bahasa Arab sebagai dasar penafsiran karena al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab.
4) Mengambil ucapan yang umum di kalangan orang Arab dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Namun, ada perselisihan di kalangan ulama mengenai legalitas tafsir bi al-ra'yi. Beberapa kelompok
menyetujuinya, sementara yang lain menolaknya. Perselisihan ini lebih berkaitan dengan cara
penyampaian daripada masalah prinsip. Oleh karena itu, kedua pandangan tersebut dapat digabungkan,
di mana ada dua jenis tafsir bi al-ra'yi, baik yang terpuji maupun yang tercela. Sebelum seorang mufassir
(penafsir) terjun ke dalam penafsiran bi al-ra'yi, penting untuk mengikuti tiga sumber penafsiran yang
telah disebutkan sebelumnya dan memperhatikan kaidah-kaidah tertentu. Hal ini dapat membantu
mufassir untuk menghindari kesesatan dalam penafsiran al-Quran.Beberapa kitab tafsir bi al-ra'yi yang
terkenal antara lain Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Fakhrur.
Terdapat Tpenafsiran yang keliru dalam penggunaan corak tafsir al-ra'yi, khususnya dalam
penafsiran kalam Syiah terhadap ayat ke-33 dari Surat Al-Waqi'ah. Ayat tersebut berbicara tentang
kemampuan manusia dan jin untuk melintasi penjuru langit dan bumi, namun penafsiran keliru
menganggapnya sebagai kemungkinan para ilmuwan dalam konteks modern dapat melakukannya.
Penafsiran tersebut dianggap menyimpang dan terkesan dipaksakan. Tafsir bi al-ra'yi, juga dikenal
sebagai tafsir dirayah atau tafsir ma'qul, adalah penjelasan yang didasarkan pada ijtihad (usaha
pemikiran) dan akal, dengan memperhatikan kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam
penggunaan bahasa mereka. Tafsir tersebut tidak semata-mata berdasarkan pendapat individu atau
penafsiran pribadi seseorang, tetapi berdasarkan pemahaman mufassir terhadap bahasa Arab dan
makna kata-kata. Dalam hal ini, ada dua jenis tafsir bi al-ra'yi, yaitu tafsir bi al-ra'yi yang terpuji (al-
Mahmud) dan tafsir bi al-ra'yi yang tercela (al-Mazmum). Tafsir yang terpuji adalah penafsiran yang
dilakukan dengan ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan yang benar, sehingga tidak
menyimpang. Sedangkan tafsir yang tercela adalah penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan
tersebut, sehingga jatuh dalam kesesatan dan kejahilan.
Pendekatan dalam tafsir bi al-ra'yi melibatkan empat prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Mengutip dari Rasul dengan menghindari hadis yang lemah atau palsu.
b. Mengambil pendapat para sahabat karena kedudukan mereka yang marfu'.
c. Mengutamakan bahasa Arab sebagai dasar penafsiran karena al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab.
d. Mengambil ucapan yang umum di kalangan orang Arab dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Namun, ada perselisihan di kalangan ulama mengenai legalitas tafsir bi al-ra'yi. Beberapa kelompok
menyetujuinya, sementara yang lain menolaknya. Perselisihan ini lebih berkaitan dengan cara
penyampaian daripada masalah prinsip. Oleh karena itu, kedua pandangan tersebut dapat digabungkan,
di mana ada dua jenis tafsir bi al-ra'yi, baik yang terpuji maupun yang tercela. Sebelum seorang mufassir
(penafsir) terjun ke dalam penafsiran bi al-ra'yi, penting untuk mengikuti tiga sumber penafsiran yang
telah disebutkan sebelumnya dan memperhatikan kaidah-kaidah tertentu. Hal ini dapat membantu
mufassir untuk menghindari kesesatan dalam penafsiran al-Quran.Beberapa kitab tafsir bi al-ra'yi yang
terkenal antara lain Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawi, Tafsir al-Fakhrur R

C. Tafsir bi al-Isyari.
Tafsir bi al-Isyari merupakan metode penafsiran Al-Qur'an yang berfokus pada penafsiran melalui
isyarat-isyarat tersembunyi. Penafsiran ini dilakukan oleh para sufi yang memiliki pengetahuan dan
tingkat ketakwaan yang tinggi. Tafsir isyari berusaha menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan
makna batin yang tersembunyi, dan seringkali mengacu pada praktik amaliyah kaum sufi seperti
kehidupan sederhana, zuhud, dan banyak beribadah. Tafsir bi al-Isyari menggunakan isyarat-isyarat yang
tersembunyi dalam Al-Qur'an, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki pengetahuan
spiritual yang cukup. Penafsiran ini tidak hanya berfokus pada makna lahir ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi
juga menggali makna batin yang terkandung di dalamnya. Metode ini sering digunakan dalam tafsir sufi
dan dapat ditemukan dalam karya-karya seperti tafsir Al-Naysaburi, Futuhât al Makkiyah karya Ibn 'Arabi,
dan tafsir al-Alusi yang ditulis oleh Syihabuddin al-Alusi.Namun, penafsiran bi al-Isyari juga kontroversial
dan diperdebatkan.

Beberapa ulama berpendapat bahwa tafsir ini harus mempertimbangkan makna lahiriyah ayat-ayat
Al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan dalil syari'at. Ada juga tafsir bi al-Isyari yang diterima (maqbul)
jika memenuhi syarat-syarat tertentu dan tafsir yang ditolak (mardud) jika melanggar syarat-syarat
tersebut.
Metode penafsiran bi al-Isyari telah ada sejak awal turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad
SAW. Metode ini mengacu pada tradisi penafsiran Islam yang disandarkan pada Nabi, para sahabat, dan
tabi'in. Para sufi juga menganggap diri mereka sebagai pewaris kenabian dan mengemban tugas
menyebarkan risalah akhlaqiyah, ajaran moral yang mencerminkan keluhuran budi pekerti. Dalam tafsir bi
al-Isyari, mufassir sufi tidak hanya menjelaskan makna harfiah ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga
menyuarakan makna moral yang tersirat melalui penafsiran simbolik. Metode ini berkembang seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, serta pertumbuhan ilmu tasawuf.
RANGKUMAN ANALISA KB 4
Toleransi Antar Umat Beragama Perspektif KH. Ali Mustafa Yaqub
Dewi Anggraeni
Universitas Negeri Jakarta
dewianggraeni@unj.ac.id
Siti Suhartinah
Universitas Negeri Jakarta
Tinahhamid40@gmail.com

A. Metodologi Penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data
diperoleh melalui penelitian buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian
ini, baik melalui sumber data primer maupun sumber data sekunder. Buku-buku yang membahas
toleransi antar umat beragama menjadi sumber data primer, sedangkan literatur lainnya seperti artikel,
skripsi, tesis, dan informasi dari dunia maya menjadi sumber data sekunder.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, dengan tujuan menguraikan fakta-fakta kondisional mengenai
peristiwa yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terfokus
mengenai pemikiran KH. Ali Mustafa Yaqub tentang toleransi antar umat beragama.
Subjek penelitian ini adalah KH. Ali Mustafa Yaqub, sedangkan objek penelitian adalah pemikiran KH. Ali
Mustafa Yaqub mengenai toleransi antar umat beragama
B. Hasil dan Pembahasan
1. Biografi K.H.Ali Mustafa Yaqub
KH Ali Mustafa Yaqub adalah seorang ulama Indonesia yang lahir di Batang, Jawa Tengah pada tahun
1952. Ia tumbuh dalam keluarga yang taat beragama dan dididik untuk hidup sederhana serta taat
kepada ajaran agama. Ayahnya, Mustafa Yaqub, adalah seorang muballigh terkemuka pada zamannya.
Ibu Ali Mustafa Yaqub, Hj. Zulaikha, adalah seorang ustadzah dan ibu rumah tangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Ali Mustafa Yaqub melanjutkan pendidikan di
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia kemudian melanjutkan studi di Universitas Hasyim Asy'ari,
Fakultas Syari'ah. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Arab Saudi di Universitas Islam Imam
Muhammad bin Saud dan memperoleh gelar sarjana (Lc) serta gelar master di Fakultas Dirosah
Islamiyah, Universitas King Saud.
Setelah kembali ke Indonesia, Ali Mustafa Yaqub mengajar di berbagai institusi, termasuk Institut Ilmu al-
Qur'an (IIQ) Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ), dan Masjid Istiqlal Jakarta. Ia juga
mendirikan Pondok Pesantren Darussalam di Batang, Jawa Tengah, yang kini diasuh oleh kakaknya.
Pemikiran Ali Mustafa Yaqub terfokus pada toleransi antar umat beragama. Ia mengkaji kitab-kitab hadis
dan mencari petunjuk dalam Al-Qur'an serta sirah Nabi Muhammad terkait pluralisme dan kerukunan
umat beragama, khususnya di Indonesia. Beliau juga ditugaskan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia)
untuk membahas fatwa terkait kehadiran umat Islam dalam perayaan Natal bersama, yang memicu
reaksi yang beragam di masyarakat.
Ali Mustafa Yaqub mewakili pemikirannya dalam paper yang membahas toleransi antar umat beragama.
Beliau merupakan seorang dosen dan pengajar di berbagai institusi, serta aktif dalam kegiatan
keagamaan dan dakwah. Beliau wafat pada bulan April tahun 2016.
2. Tinjauan Umum tentang Toleransi antar Umat Beragama Definisi Toleransi
Toleransi adalah sikap atau tingkah laku seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain dan
memberikan pengakuan atas perbedaan sebagai hak asasi manusia. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, toleransi berarti bersifat menenggang, menghargai, membiarkan, membolehkan, atau bersikap
lapang dada terhadap pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya yang
berbeda dengan pendirian sendiri. Istilah "toleransi" berasal dari bahasa Arab "tasamuh" yang artinya
ampun, maaf, dan lapang dada. Secara umum, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela, dan kelembutan.
Macam-macam Toleransi
a. Toleransi Terhadap Sesama Agama
Toleransi terhadap sesama agama adalah toleransi yang mencakup masalah keyakinan yang terkait
dengan agama dan ke-Tuhanan yang diyakini oleh individu. Toleransi agama memungkinkan seseorang
untuk memiliki kebebasan dalam memilih dan mengamalkan agama serta menghormati pelaksanaan
ajaran agama yang dipeluk oleh individu lain. Toleransi agama juga mengandung arti sikap lapang dada
dalam menghormati dan membiarkan pemeluk agama menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama
masing-masing tanpa adanya gangguan atau paksaan dari pihak lain, termasuk keluarga. Dalam konteks
agama, terdapat dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan
vertikal antara individu dengan Tuhan yang direalisasikan melalui ibadah, dan hubungan horizontal
antara manusia dengan sesamanya.
b. Toleransi Terhadap Non Muslim
Toleransi terhadap non-Muslim adalah sikap menghormati dan menghargai individu yang memiliki agama
yang berbeda. Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama dapat terwujud melalui
penghayatan ajaran masing-masing. Ada dua jenis toleransi yang disebutkan oleh Said Agil Al Munawar,
yaitu toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi yang dingin dan tidak
menghasilkan kerjasama, hanya bersifat teoritis. Sedangkan toleransi dinamis adalah toleransi yang aktif
dan melahirkan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam toleransi dinamis, kerukunan antar
umat beragama bukan hanya dalam bentuk teoritis, tetapi sebagai refleksi dari persatuan umat beragama
sebagai satu bangsa..
Prinsip-prinsip Toleransi Beragama
a. Kebebasan Beragama
Dalam melaksanakan toleransi beragama, ada beberapa prinsip yang perlu dipegang. Pertama, prinsip
kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang esensial, mencakup kebebasan berpikir,
berkehendak, dan memilih keyakinan atau agama tanpa paksaan atau hambatan. Kedua, prinsip saling
menghormati dan menghargai keberagaman. Toleransi beragama melibatkan sikap lapang dada dan
penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan agama orang lain. Ketiga, prinsip kerjasama dan
kebersamaan. Toleransi beragama yang dinamis melahirkan kerjasama antar umat beragama untuk
mencapai tujuan bersama dan membangun kerukunan dalam kehidupan
bermasyarakat. Keempat, prinsip dialog dan komunikasi yang baik. Penting untuk membangun
pemahaman dan saling mengenal antarumat beragama melalui dialog yang terbuka, menghargai
pendapat orang lain, dan berkomunikasi dengan sikap saling mendengarkan.
Kelima, prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Toleransi beragama tidak melanggar nilai-nilai
moral dan etika yang universal, seperti menghormati hak asasi manusia, mengedepankan keadilan,
perdamaian, dan toleransi itu sendiri.
b. Penghormatan dan Eksistensi Agama lain
Sikap toleransi beragama juga harus diikuti dengan etika penghormatan dan pengakuan terhadap
eksistensi agama lain. Hal ini berarti menghormati keragaman dan perbedaan ajaran yang ada dalam
setiap agama dan kepercayaan, baik yang diakui oleh negara maupun yang belum diakui.
Dalam menghadapi realitas pluralitas ini, setiap pemeluk agama dituntut untuk mampu memahami dan
menghargai eksistensi agama lain. Ini berarti tidak mencela, memaksa, atau bertindak sewenang-wenang
terhadap pemeluk agama lain. Sikap saling menghormati dan menghargai harus menjadi dasar dalam
berinteraksi dengan umat beragama lain.
c. Agree in Disagreement
Prinsip "Agree in Disagreement" (setuju di dalam perbedaan) ditekankan oleh Mukti Ali. Ini berarti bahwa
perbedaan pendapat atau keyakinan tidak harus menyebabkan permusuhan atau konflik. Kehidupan ini
selalu dipenuhi dengan perbedaan, tetapi perbedaan itu sendiri tidak harus menimbulkan pertentangan.
3. Toleransi dalam Pandangan K.H. Ali Mustof Yaqub
a. Toleransi adalah Kewajiban
Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, menjadi baik terhadap non-Muslim adalah kewajiban selama mereka
tidak terlibat dalam permusuhan, mengusir umat Muslim dari tanah mereka, atau membantu orang lain
mengusir umat Muslim. Penting juga untuk dicatat bahwa ketika Islam memerintahkan pengikutnya untuk
berinteraksi dengan non-Muslim, hal itu dilakukan dengan peringatan terhadap tindakan kezaliman
b. Toleransi dalam Masalah Agama
Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, ayat ini mengandung setidaknya dua teori. Teori pertama adalah teori
persamaan hak bagi manusia (Nadhariyah al-Musawah). Persamaan ini berlaku untuk semua manusia
tanpa memandang perbedaan individu, seperti kelompok, etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan, dan
sebagainya. Teori kedua adalah teori pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa dan suku-suku. Allah
mengakui dan menghendaki adanya bangsa-bangsa dan suku-suku ini.
Dalam sejarah, terdapat bukti kedekatan Nabi Muhammad dengan orang Nasrani melalui hubungannya
dengan Pendeta Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah, yang menunjukkan sikap simpati kepada Nabi.
Selain itu, Nabi juga memiliki hubungan baik dengan kaum Yahudi. Contohnya, pada tahun 7 M, Nabi
bersama Shofiyah, putri Huyai bin Akhtab, seorang tokoh Yahudi Bani Quraidhah di Khaibar. Mertua Nabi
tetap menjadi seorang Yahudi hingga meninggal dunia. Hubungan ini membuat rumah tangga Nabi tidak
menutup pintu bagi orang-orang Yahudi, seperti keluarga Shofiyah, istri Nabi. Kisah lain mengenai
hubungan Nabi dengan Yahudi juga terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, di mana
Aisyah, istri Nabi, sering berdiskusi dengan wanita-wanita Yahudi di rumah Nabi, bahkan terkadang Nabi
ikut terlibat dalam diskusi tersebut.
c. Hal-Hal yang Diharamkan dalam Bertoleransi
1) Tolong menolong dalam Dosa
2) Merusak Akidah
3) Mencampuradukan Hak dan Batil
4) Menghadiri Perayaan Agama Non-Muslim (Syahadah al-Zur
5) Kaidah Fiqih
6) Mengakui kebenaran Agama non- Islam
d. Penerapan Teori Jizyah dan Dzimmah
Dalam konteks toleransi antar umat beragama untuk menciptakan kerukunan, KH. Ali Mustafa Yaqub
mengemukakan bahwa Al-Quran menurunkan sebuah teori yang dikenal sebagai teori jizyah dan
dzimmah. Falsafah moral dari teori ini adalah pengakuan terhadap eksistensi agama-agama dan
terciptanya harmoni kehidupan antar umat beragama. Prinsip ini mengatakan bahwa kelompok yang kuat
harus melindungi kelompok yang lemah, dan kelompok mayoritas harus melindungi kelompok minoritas.
Mengakui eksistensi suatu agama bukan berarti mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. Al-Quran
ingin menekankan bahwa Islam tidak hadir untuk memusnahkan agama lain, tetapi untuk memungkinkan
pemeluk agama dan umat beragama hidup berdampingan secara damai dan mampu bertoleransi satu
sama lain.
Oleh karena itu, berdasarkan perspektif Al-Quran dan hadis, tidak ada alasan bagi kelompok minoritas
non-Muslim untuk takut tinggal dan hidup berdampingan di lingkungan mayoritas Muslim. Jika hal ini tidak
terjadi, maka teori jizyah dan dzimmah yang diturunkan oleh Allah melalui Al-Quran dan diterapkan oleh
Rasulullah tidak akan memiliki makna apa pun.

Anda mungkin juga menyukai