Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Tri Ratnawati, S.E.,
M.S., Ak., CA., CPA.
Mata Kuliah :
Audit Investigatif (G)
Kronologi
Dua komisaris, Ketua Tanjung dan Dony Oskaria, selaku perwakilan PT Trans Airways
menyatakan tidak setuju dan tidak mau menandatangani laporan keuangan. Ketua meminta
agar keberatan tersebut dibacakan di hadapan Rapat Umum Pemegang Saham namun
sesuai keputusan ketua rapat, permohonan tersebut tidak disetujui. Rapat terakhir
pemegang saham menyetujui laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018. Sehari
setelah kabar penolakan kedua komisaris terhadap laporan keuangan tersebar, saham
perusahaan berkode GIAA itu anjlok 4,4% di akhir sesi. sesi perdagangan pertama. , Kamis
(25 April). Harga saham Garuda Indonesia turun menjadi Rp 478/saham dari sebelumnya
Rp 500/saham. Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan akan memanggil direksi Garuda
Indonesia karena adanya perbedaan pandangan antara komisaris dan manajemen terkait
laporan keuangan 2018. Selain pengurus perseroan, pengelola bursa juga akan memanggil
pihak akuntansi. (KAP). Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan rekan sebagai auditor
laporan keuangan perusahaan.
Jika kita perhatikan dari Annual Report yang telah diterbitkan oleh PT Garuda
Indonesia dari tahun 2018 sampai dengan 2020 nampak belum berkesinambungan. Hal
tersebut dapat terlihat pada Annual Report PT Garuda Indonesia, Tbk di tahun 2019
rincian laba rugi pada perbandingan yang menunjukkan tahun 2018 berbeda dengan
hasil laba rugi pada Annual Report di tahun 2018 itu sendiri.
Perbedaan tersebut terletak di beberapa pos laba rugi dengan rincian sebagai berikut :
Pada Annual Report periode tahun 2019 (lihat pada kolom laporan tahun 2018)
kemudian dibandingkan dengan Annual Report tahun 2018 sendiri
a. Pos Pendapatan
- Akun Penerbangan Berjadwal
Pada tahun 2018 tercatat senilai USD. 3.538.378.852 sedang yg tercantum pada
laporan 2019 dengan tahun yg sama harusnya sama tetapi nilainya menjadi
USD. 3.529.322.999.
Pada Annual Report 2018 rinciannya sebagai berikut
Dari data diatas terdapat notes juga mengapa nilai yang dissjikan berbeda.
Terdapat pada catatan no 54 pada Annual Report tahun 2019 atas Penyajian
Dan Reklasifikasi Kembali Laporan Keuangan Konsolidasian.
Grup telah mengubah dan menyajikan kembali laporan keuangan konsolidasian
untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2018 yang diterbitkan tanggal 25 Juli
2019 untuk memperbaiki kesalahaan atas pengakuan, pengukuran dan
penyajian beberapa komponen laporan keuangan konsolidasian untuk
menyelaraskan dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia dan
peraturan yang di tetapkan oleh OJK No. VIII.G.7. mengenai pedoman
Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan
Publik. Beberapa penyesuaian juga berdampak pada saldo awal periode
penyajian, 1 Januari 2018.
- Akun Pendapatan lainnya
Pada tahun 2018 tercatat senilai USD. 567.931.595 sedangkan yg tercantum
pada laporan 2019 dengan tahun yg sama harusnya sama tetapi nilainya
menjadi USD. 534.251.439.
Pada Annual Report 2018 rinciannya sebagai berikut
Dari tabel diatas dapat dilihat arus kas operasi tahun 2018 sampai tahun 2020
mengalami penurunan, untuk tahun 2018 tingkat pertumbuhan arus kas operasi
sebesar Rp. 28,342,981 hal tersebut terjadi akibat besarnya jumlah kas yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar pemasok, pembayaran bunga,
dan pajak penghasilan. Jumlah arus kas operasi tahun 2019 mengalami
peningkatakn sebesar Rp. (484,758.305) peningkatakn tersebut terjadi karena
menurunnya jumlah kas yang di keluarkan oleh perusahaan, selanjutnya
ditahun 2020 arus kas perusahaan sebesar Rp. 110,374,162 akibat Covid 19,
besarnya jumlah kas yang dikeluarkan perusahaan kepada pemasok terlalu
besar. Beberapa pemasok yang dimaksud yaitu : PT. Pertamina, PT Angkasa
Pura I, Perum LPPNI, PT Angkasa Pura II, PT Telkomunikasi Indonesia.
Peningkatan pengeluaran kas kepada pemasok tersebut terbukti dengan adanya
peningkatan aset tetap – neto perusahaan.
2018 (300,227,092)
2019 (317,434,055)
2020 (55,943)
Dari tabel diatas dapat dilihat arus kas investasi tahun 2018 sampai tahun 2020
memperoleh nilai negatif, tingkat pertumbuhan arus kas investasi tahun 2018
sebesar Rp. 300,227,092. Sedangkan ditahun 2019 perusahaan mengalami
peningkatan arus kas investasi sebesar Rp. (17,206,963) , dimana arus kas
investasi terjadi karena peningkatan penerimaan uang jaminan, penerimaan
pengembalian dana pemeliharaan pesawat, menurunnya aktivitas pembelian
pesawat, penerimaan bunga dan asset sewa pesawat. Selanjutnya ditahun 2020
PT Garuda Indonesia mengalami penurunan signifikan sebesar (317,378,112)
akibat pandemi Covid 19, dimana faktor utama penurunan juga dikarenakan
terlalu besarnya biaya penerimaan pengembalian dana cadangan pemeliharaan
pesawat, selain itu juga terjadinya penurunan atas penerimaan pengembalian
uang muka pembelian pesawat dan penerimaan atas bunga yang di peroleh.
Dari tabel arus kas aktivitas pendanaan ditahun 2018 sampai 2020 cenderung
mengalami penurunan, tingkat pertumbuhan arus kas investasi tahun 2018
sebesar Rp. 236,581,707, Sedangkan ditahun 2019 perusahaan mengalami
penurunan arus kas investasi sebesar Rp. (89,845,922), dimana penurunan arus
kas aktivitas pendanaan tersebut terjadi karena penurunan penerimaan utang
bank, peningkatan pembayaran pinjaman jangka panjang dan meningkatnya
pembayaran biaya pengembalian pesawat. Arus kas aktivitas pendanaan tahun
2020 mengalami peningkatan sebesar Rp. (4,196,660), hal tersebut dipengaruhi
oleh penurunan pembayaran untuk aktivitas pendanaan seta pembayaran utang
bank tinggi.
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat diketahui bahwa net profit margin
pada PT Garuda Indonesia tahun 2018 sebesar (0,45) kondisi yang dialami
perusahaan masih kurang baik karena laba bersih tidak sebanding dengan
besarnya penjualan, sehingga perusahaan masih belum mampu mendapatkan
keuntungan. Selanjutnya NPM tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi
0,32 meskipun perusahaan tetap mengalami kerugian. Dan tahun 2020 NPM PT
Garuda Indonesia kembali mengalami penurunan menjadi (1,47) Penyebabnya
adalah penurunan laba bersih perusahaan yang tidak sebanding dengan
peningkatan pendapatan yang diperoleh perusahaan, yaitu perusahaan tidak
dapat meningkatkan laba perusahaan yang menunjukkan kerugian. Kondisi net
profit margin PT Garuda Indonesia selama tahun 2018 - 2020 menunjukkan
penurunan, dalam kondisi tersebut net profit margin PT Garuda Indonesia
menunjukkan dalam kondisi yang “kurang baik” karena laba yang diperoleh
masih belum dapat menghasilkan laba bersih yang besar.
Tabel 7. Return on Investment
Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2018 debt to
equity ratio sebesar 5,49 dikarenakan total hutang lebih besar dibanding dengan
jumlah ekuitas perusahaan yang mengakibatkan semakin tinggi kewajiban
perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendek maupun jangka
panjangnya. Tahun 2019 menurun menjadi 5,18 disebabkan total meningkat
hutang lebih besar dibanding dengan jumlah ekuitas perusahaan. Selanjutnya
pada tahun 2020 terjadi penurunan secara drastis sebesar (6,55) dimana total
hutang meningkat lebih besar dibanding dengan jumlah ekuitas perusahaan.
Debt to equity ratio selama tahun 2018 - 2020 mengalami tren peningkatan
yang cukup tinggi, kondisi ini menunjukkan kinerja yang “kurang baik”, karena
semakin tinggi debt to equity ratio menunjukkan jumlah hutang perusahaan
lebih besar dibandingkan jumlah seluruh modal yang dimiliki.
4. Analisis Pendapatan PT Garuda Indonesia
5. Analisis perbandingan
Dalam melihat perkembangan bisnis, perusahaan perlu membuat strategi sebagai
salah satu cara untuk mengevaluasi keputusan jangka pendek dengan
membandingkan laporan keuangan perusahaan lain dalam industri yang sama.
Perusahaan yang dipilih adalah PT. AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) yang terdaftar
dalam BEI, menggunakan rasio keuangan tahun 2018-2020. Perusahaan
menggunakan net working capital untuk menunjukan besarnya kebutuhan modal
kerja yang digunakan oleh perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Terdapat dua kemungkinan dari selisih modal kerja yaitu aset lancar lebih besar dari
pada utang lancar atau asset lancar lebih kecil dari pada utang lancar yang dimiliki
perusahaan. Hasil olah data kedua perusahaan menunjukan bahwa kedua maskapai
sampai triwula III tahun 2020 dilaporkan bersifat agresif. Perusahaan yang paling
agresif yaitu PT Garuda Indonesia dengan nilai NPW paling tinggi. Mesikpun
kementrian perhubungan mengungkapkan bahwa kondisi maskapai penerbangan
dalam negri tahun 2018 belum kondusif. Selanjutnya likuiditas industri penerbangan
cenderung memiliki trend memburuk sebelum dan sesudah terjadinya pandemi
Covid 19. Jika dilihat dari rasio likudiitas dua perusahaan PT AirAsia Indonesia tidak
mampu menutupi lebih dari sebagian utang jangka panjang karena ekuitas bersifat
negatif. Hal tersebut ditindak lanjuti oleh Direktur Utama AirAsia Indonesia dengan
menerbitkan surat utang berbentuk sekuritas perpetual bond dengan syarat total
ekuitas dalam laporan keuangan pada kuartal 1 tahun 2019 menjadi positif.
Perhitungan rasio aktivitas memfokuskan pada seberapa efektif perusahaan
mengelola asetnya secara umum. Tingkat setiap aset akhir tahun dari laporan
keuangan digunakan dalam menghitung rasio aktivitas. Rasio aktivitas yang dihitung
yaitu rasio perputaran piutang dalam hari (receivable turnover in days) dan rasio
perputaran persediaan dalam hati (inventory turnover in days). Selain itu, rasio
perputaran utang dalam hari (payble turnover in days) juga dihitung untuk
mempelajari pembayaran utang perusahaan agar dapat mengetahui skedul umur
hutang. Nilai (receivable turnover in days) PT AirAsia yaitu 10 hari artinya,
pembayaran piutang perusahaan rata-rata dalam 10 hari. Sedangkan PT Garuda
Indonesia yaitu 45 hari, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penagihan piutang PT
AirAsia lebih baik. Namun, sebelum menyimpulkan lebih lanjut syarat kredit yang
ditawarkan oleh masing-masing perusahaan harus diperiksa terlebih dahulu.
Pandemi Covid 19 berdampak terhadap kinerja keuangan kedua perusahaan, dilihat
dari rasio likuiditas penurunan terjadi pada PT AirAsia yaitu dengan nilai rasio lancar
sebesar 0,47 pada triwulan keempat 2019 kemudian memasuki triwulan pertama
2020 menggalami penurunan hingga 31% menjadi 0,16 yang kemudian penurunan
juga terulang kembali pada saat triwulan berikutnya turun menjadi 0,7 dan kemudian
turun lagi menjadi 0,5 pada triwulan ketiga 2020, hal ini sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada PT Garuda Indonesia yang
terbilang yaitu pada saat triwulan pertama 2020 turun sebesar 2% dari nilai
sebelumnya 0,25 berubah menjadi 0,23, kemudian nilai itu naik lagi menjadi 0,25
pada triwulan kedua namun turun lagi pada triwulan ketiga 2020 menjadi 0,19.
Berdasarkan perhitungan rasio cepat dapat kita ketahui bahwa pandemi Covid 19
dapat menyebabkan penurunan kesanggupan perusahaan memenuhi kewajiban
jangka pendeknya dengan menggunakan aset lancar kecuali persediaan, hal ini
ditunjukkan dengan penurunan rasio cepat dari masing- masing perusahaan
penerbangan yang terjadi sejak triwulan pertama 2020 yang dapat dilihat pada PT Air
Asia Indonesia mengalami dampak penurunan rasio cepat paling tinggi dibandingkan
perusahaan lain pada saat awal masuknya COVID-19 yaitu pada saat triwulan
pertama 2020. Penurunan tersebut adalah sebesar 30% yaitu dari nilai rasio cepat
pada saat triwulan keempat 2019 sebesar 0,44 turun menjadi 0,14 pada saat triwulan
pertama 2020, sedangkan penurunan pada PT Garuda Indonesia hanya mengalami
penurunan sebesar 14% dan 2 saja.
Berdasarkan hasil penelitian kinerja keuangan PT Garuda Indonesia diatas, fluktuasi kinerja
keuangan perusahaan yang cepat mengalami kenaikan namun cepat mengalami penurunan
disebabkan karena kurang kompetitifnya industri penerbangan di Indonesia. Hal tersebut
dipengaruhi karena rute – rute domestik hanya dikuasai oleh dua grup maskapai saja yaitu
PT Garuda Indonesia dan PT LionAir yang menyebabkan harga tiket pesawat menjadi
mahal. Jika dilihat dari pangsa pasar rute domestik, Indonesia menjadi salah satu pangsa
pasar domestik terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, China, India dan Jepang.
Pemerintah menyarankan untuk melakukan persaingan secara sehat untuk menekan harga
tiket pesawat, yaitu dengan masuknya maskapai asing ke industri penerbangan nasional.
Namun hingga sepuluh tahun terakhir hanya PT AirAsia yang masih bertahan meskipun
merugi, hal tersebut menandakan industri penerbangan di Indonesia tidak profitable. PT
AirAsia tersebut nyaris tidak pernah laba di Indonesia, semua laba ditarik ke Malaysia yang
tarif pajaknya lebih rendah.
Kerugian dan keuntungan industri penerbangan di Indonesia yang cepat berubah dipengaruhi
oleh model bisnis LCC pada tahun 2000 sehingga harga tiket menjadi murah, namun
terdapat kompensasi dari murahnya tiket yaitu sering terjadi kecelakaan pesawat. Dalam hal
ini pemerintah cenderung pasif membendung model bisnis LCC, sehingga banyak maskapai
yang bangkrut. Namun pemerintah kembali membuat kebijakan harga tiket menjadi normal
dikarenakan banyak masyarakat yang mengeluh karena harga tiket menjadi mahal. Kinerja
keuangan PT Garuda Indonesia memiliki beban serta modal yang tinggi untuk menjalankan
usahanya, namun penerimaan usahanya hanya berasal dari penjualan tiket saja, tidak hanya
itu ternyata margin keuntungan industri penerbangan tersebut hanya sekitar 1-3%. Beban
terbesar bagi perusahaan adalah bahan bakar utama pesawat yang harga jualnya fluktuatif,
beban pemeliharaan, beban gaji pegawai, dan pelayanan konsumen. Jika dilihat dari laporan
keuangan PT Garuda Indonesia, perusahaan memiliki hutang lebih banyak dari pada
pendapatan yang diterima. Maka dari itu pola industri penerbangan khususnya PT Garuda
Indonesia memang akan cepat mengalami kenaikan namun cepat mengalami penurunan
karena industrinya, kompetitor bisnisnya, dan beban yang dikeluarkan lebih besar dari pada
yang diterima.
Dampak Covid 19 semakin memperparah kinerja keuangan PT Garuda Indonesia yang
sebelumnya sudah mengalami kerugian, pasalnya sejak awal bulan januari 2020 jasa
transportasi penerbangan telah membatasi penerbangan internasional terutama penebangan
Indonesia-China. Jika dilihat dari laporan arus kas operasi PT Garuda besarnya jumlah kas
yang dikeluarkan perusahaan kepada PT. Pertamina, PT Angkasa Pura I, Perum LPPNI, PT
Angkasa Pura II, PT Telkomunikasi Indonesia terlalu besar. Arus kas investasi yang turun
signifikan karena besarnya biaya pemeliharaan pesawat, selain itu juga terjadinya penurunan
atas penerimaan pengembalian uang muka pembelian pesawat dan penerimaan atas bunga
yang diperoleh dan arus kas pendanaan yang bernilai negatif. PT Garuda Indonesia selama
masa pandemi Covid 19 mengalami penurunan penjualan tiket pesawat yang mengakibatkan
pendapatan usaha berkurang, selain itu adanya biaya overhead yang tetap harus dikeluarkan.
Dalam hal ini keduanya sangat berimplikasi pada kinerja keuangan PT Garuda Indonesia.
Hutang perusahaan yang semakin meningkat menimbulkan kurangnya modal yang ada pada
perusahaan.
2019 : Daniel Kohar dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan (firma
anggota dari jaringan global PwC) dengan opini wajar berikut
2020 : Daniel Kohar dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan (firma
anggota dari jaringan global PwC) dengan tidak ada opini yang dinyatakan
Akuntan yang terlibat tidak menilai dengan tepat sifat transaksi untuk mencatat pencatatan
piutang dan pendapatan lainnya. Bahkan, AP mencatatkan pendapatan piutang meski
perusahaan tidak menerimanya sebesar nilai nominalnya.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kinerja keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2018-2020 dengan
menggunakan analisis industri, rasio likuiditas, profitabilitas, solvabilitas dan benchmark, dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tumbuh pesat namun menurun
pesat akibat beban industri. Selain sumber modal usaha yang besar, pendapatan perseroan hanya
berasal dari penjualan tiket. Apalagi margin keuntungan industri penerbangan hanya berkisar 1
hingga 3%. Minimnya pesaing komersial membuat PT Garuda Indonesia mendominasi pasar
domestik sehingga membuat harga tiket pesawat menjadi mahal. Kondisi keuangan PT Garuda
Indonesia yang tidak sehat diperparah dengan adanya pandemi Covid 19 yang menyebabkan
pendapatan menurun dan biaya bahan bakar, beban operasional serta utang perusahaan
meningkat.