Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan ektopik merupakan fenomena pada kehamilan dimana

setelah dibuahi, sel telur bernidasi dan tumbuh pada daerah luar endometrium

kavum uteri. Kehamilan ektopik terganggu dapat menyebabkan morbiditas dan

mortalitas pada ibu. Kehamilan ektopik terganggu umumnya terdapat di

miskram dan atau rupture pada dinding oviduk. Kemudian biasanya pada

daerah oviduk utamanya bagian ampula dan isthmus terjadi gangguan

kehamilan ektopik (Dewi, 2016).

Seluruh kehamilan ektopik beresiko menjadi kehamilan ektopik

terganggu secara spontan. Kehamilan ektopik terganggu merupakan kondisi

urgen dalam kebidanan yang memerlukan tindakan medis secepatnya.

Pemeriksaan dini sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup ibu dan untuk

proyeksi kehamilan ke depannya. Dampak dari kehamilan ektopik terganggu

bagi kelangsungan reproduksi ibu adalah menurunkan fungsi reproduksi

selanjutnya dengan meningkatkan risiko terjadinya infertilitas (Dewi dan

Risilwa, 2017).

Kejadian kehamilan ektopik di dunia adalah 0,25-2,0% dari seluruh

kehamilan (Yadav et al., 2017). Di Amerika Utara, kehamilan ektopik terjadi

pada 19,7 kasus dari 1000 kehamilan, dan merupakan penyebab mortalitas

utama pada kehamilan trimester pertama. Angka kasus yang ada di negara

berkembang dipercaya lebih tinggi lagi, namun data yang mendetail masih

1
belum diketahui pasti. Umumnya di Indonesia, kasus kejadian kehamilan

ektopik berkisar 5-6 perseribu kehamilan (Khairani, 2018). Menurut studi

pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Kota Denpasar

dari 2019 sampai dengan 2020 terdapat 79 kasus kehamilan ektopik terganggu

(1,71%) dari pasien obstetri dan ginekologi di Instalasi Gawat Darurat

Pelayanan Obstetri Neonatal Komprehensif (IGD PONEK) RSUD Wangaya

Kota Denpasar. Kehamilan ektopik terganggu menjadi penyebab salah satu dari

tiga kematian (33.3%) di RSUD Wangaya Kota Denpasar pada tahun 2020

(Tim Surveilance dan Audit Maternal Perinatal RSUD Wangaya Kota

Denpasar, 2020).

Umur merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan

terjadinya kehamilan ektopik terganggu (Fitriany dkk., 2014).

Hal ini sama dengan penelitian Triana (2019) mengungkap bahwa

kehamilan etopik terganggu didominasi oleh ibu berusia di bawah 20 tahun dan

berusia di atas 35 tahun dengan persentasi 66,7%. Berdasarkan uji statistik

dapat diketahui bahwa adanya hubungan antara usia ibu dan kejadian

kehamilan ektopik terganggu yaitu didapatkan p value 0,024 < α 0,05 (Triana,

2019). Rentang usia optimal yang mendukung kondisi kehamilan adalah antara

20 sampai 35 tahun. Mengandung pada usia tidak lebih dari 20 tahun

mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi dalam kehamilan oleh karena

organ reproduksi yang belum matang dan masih pada masa pertumbuhan.

Sedangkan mengandung di usia diatas dari 35 tahun juga memiliki risiko tinggi

mengalami komplikasi karena terjadi penurunan pada fungsi reproduksi wanita

(Komariah dan Nugroho, 2020).

2
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik meneliti faktor-faktor

resiko kehamilan ektopik terganggu untuk mencegah kesakitan dan kematian

ibu. Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis ingin melakukan penelitan

mengenai Hubungan Umur dan Paritas Ibu Hamil dengan Kejadian Kehamilan

Ektopik Terganggu di RSUD Wangaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, masalah yang dapat dirumuskan pada penelitian

ini adalah :

Apakah ada hubungan antara Umur dan Paritas Ibu Hamil dengan

Kejadian Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUD Wangaya.?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk menganalisis hubungan umur dengan Kejadian Kehamilan

Ektopik Terganggu di RSUD Wangaya

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk mengevaluasi hubungan umur dengan Kejadian Kehamilan

Ektopik Terganggu di RSUD Wangaya

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat teoritis

3
1. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi dasar sebagai refrensi untuk

penelitian selanjutnya.

2. Dapat memberikan informasi mengenai umur sebagai faktor predisposisi

terjadinya kehamilan ektopik terganggu

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan dilakukannnya penelitian ini diharapkan:

1. Meningkatnya pemahaman mengenai hubungan faktor predisposisi umur

dengan terjadinya kehamilan ektopik terganggu serta dapat menjadi bahan

pertimbangan bagi dokter untuk melakukan edukasi pada pasien.

2. Adanya program penyuluhan kesehatan yang diselenggarakan oleh

pemerintah terhadap masyarakat mengenai kejadian kehamilan ektopik

terganggu yang dikaitkan dengan faktor predisposisi umur.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan Ektopik Terganggu

2.1.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang

dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri.

Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba

dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan

ektopik dapat terjadi diluar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau

rongga perut, tetapi dapat juga terjadi didalam rahim misalnya dalam

cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk rudimenter rahim.

Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba (90%)

terutama di ampula dan isthmus (Dewi, 2016). Terjadinya Kehamilan

ektopik terganggu dapat terjadi secara tiba-tiba pada seluruh kasus

kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik terganggu merupakan suatu

kegawatdaruratan dalam obstetri yang perlu penanganan segera. Perlunya

diagnosis dini maupun observasi klinis sangat diperlukan mengingat

pentingnya kelangsungan hidup ibu maupun prognosis reproduksi

selanjutnya (Dewi dan Risilwa, 2017).

2.1.2 Epidemiologi

Kejadian kehamilan ektopik di dunia adalah 0,25-2,0% dari seluruh

kehamilan (Yadav et al., 2017). Di Amerika Utara, kehamilan ektopik

5
terjadi pada 19,7 kasus dari 1000 kehamilan, dan merupakan penyebab

mortalitas utama pada kehamilan trimester pertama. Angka kejadian di

negara berkembang kejadiannya dipercaya lebih tinggi lagi, tetapi data

yang spesifik belum diketahui. Secara umum di Indonesia, kejadian

kehamilan ektopik berkisar 5-6 perseribu kehamilan (Khairani, 2018).

Berdasarkan studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Wangaya Kota Denpasar dari tahun 2019 sampai dengan 2020 terdapat 79

kasus kehamilan ektopik terganggu (1,71%) dari pasien obstetri dan

ginekologi di Instalasi Gawat Darurat Pelayanan Obstetri Neonatal

Komprehensif (IGD PONEK) Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Denpasar. Pada tahun 2020 terjadi satu (33,3%) kematian ibu yang

disebabkan oleh Kehamilan Ektopik Terganggu dari tiga kematian ibu yang

terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar (Tim

Surveilance dan Audit Maternal Perinatal RSUD Wangaya Kota Denpasar,

2020).

2.1.3 Patofisiologi

Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil

konsepsi (zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa sebab

terjadi gangguan dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut serta tumbuh

dalam tuba. Saluran telur bukan tempat ideal untuk tumbuh kembang hasil

konsepsi. Disamping itu penghancuran pembuluh darah oleh proses

proteolitik jonjot koreon menyebabkan pecahnya pembuluh darah.

Gangguan perjalanan hasil konsepsi sebagian besar karena infeksi yang

6
menyebabkan perlekatan saluran telur. Pembuluh darah pecah karena tidak

mempunyai kemampuan berkontraksi maka perdarahan tidak dapat

dihentikan dan tertimbun dalam ruang abdomen. Perdarahan tersebut

menyebabkan perdarahan tuba yang dapat mengalir terus ke rongga

peritoneum dan akhirnya terjadi ruptur, nyeri pelvis yang hebat dan akan

menjalar ke bahu.

Ruptur bisa terjadi pada dinding tuba yaitu darah mengalir antara 2

lapisan dari mesosalping dan kemudian ke ligamentum latum. Perubahan

uterus dapat ditemukan juga pada endometrium. Pada suatu tempat tertentu

pada endometrium terlihat bahwa sel-sel kelenjar membesar dan

hiperskromatik, sitoplasma menunjukkan vaskularisasi dan batas antara

sel-sel kurang jelas. Perubahan ini disebabkan oleh stimulasi dengan

hormon yang berlebihan yang ditemukan dalam endometrium yang

berubah menjadi desidua. Setelah janin mati desidua mengalami degenerasi

dan dikeluarkan sepotong demi sepotong. Pelepasan desidua ini disertai

dengan perdarahan dan kejadian ini menerangkan gejala perdarahan

pervaginam pada kehamilan ektopik terganggu (Dewi, 2016: 47-48).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya

implantasi dari kehamilan ektopik (Tarigan, 2016), dapat dibedakan

menurut :

a. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian

tuba fallopi. Merupakan bagian jenis terbanyak gestasi ekstra uterin

7
yang paling sering terjadi sekitar 95% dari kehamilan ektopik.

Kehamilan tuba akan menghasilkan salah satu dari ketiga hal ini :

1) Kematian hasil konsepsi dalam stadium dini : hasil konsepsi

ini kemudian bisa di absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal

sebagai mola tuba.

2) Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering

ditemukan, bersama-sama hasil konsepsi (dan

kemungkinan pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk

masuk ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum

peritoneum

3) Ruptura tuba : erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau

hasil konsepsi terus tumbuh hingga melampaui kemampuan

peregangan otot tuba.

b.Kehamilan ovarial merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan

terjadi bukan saja disebabkan oleh pecahnya kehamilan ovarium

tetapi juga rupture tuba korpus luteum, torsi dan endometriosis.

Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar

daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya

mengalami ruptur pada trimester awal.

c. Kehamilan uterus merupakan kehamilan pada uterus tidak pada

tempat yang tepat, pada endometrium kavum uteri sebab implantasi

terjadi pada kanalis servikalis (gestasi pada servikal uteri),

diverticulum (gestasi pada invertikulum uteri), kurnua (gestasi pada

kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk rudimenter).

8
d.Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang

terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan

tumbuhnya hasil konsepsi, serviks mengembang. Kehamilan

serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya

hasil konsepsi masih kecil.

e. Kehamilan Abdominal terbagi menjadi dua yaitu :

1) Primer, dimana impantasi sesudah dibuahi langsung di

peritoneum atau cavum abdominal.

2) ekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain

misalnya didalam saluran telur atau ovarium yang

selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh

karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus

kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik

sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau

ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya

kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini

jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum

tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena

pengambilan makanan kurang sempurna.

f. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang dapat

terjadi dalam waktu berdekatan dengan kehamilan ektopik.

Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas :

9
1) Kehamilan kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu

kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama

dengan kehamilan intrauterin normal.

2) Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic

Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan intrauterin setelah

lebih dahulu terjadi kehamilan ektopik yang telah mati atau

pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang terjadi kemudian

berkembang seperti biasa.

g.Kehamilan interstisial yaitu implantasi hasil konsepsi terjadi dalam

pars interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai

kehamilan kornual (kahamilan intrauterin, tetapi implantasi

plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah.

Karena lapisan miometrium di sini lebih tebal maka ruptur terjadi

lebih lambat kira-kira pada bulan ke 3 atau ke 4.

h.Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam

tuba yang pecah (bagian yang berada di antara kedua lapisan

peritoneum visceral yang membentuk ligamentum latum).

i. Kehamilan tubouterina merupakan kehamilan yang semula

mengadakan implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian

mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.

j. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang

semula mengadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba,

secara berangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal. k.

10
Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian

melekat pada tuba dan sebagian pada jaringan ovarium.

2.1.5 Tanda dan Gejala

Gambaran kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan

penderita maupun petugas medis biasanya tidak mengetahui adanya

kelainan dalam kehamilan. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-

gejala sebagai berikut:

a. Amenorhoe

b. Nyeri perut bagian bawah

c. Gejala kehamilan muda

d. Level hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) rendah

e. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua

f. Pada pemeriksaan pervagina terdapat nyeri goyang bila serviks

digoyangkan dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan

darah.

Gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat berbeda-beda dari

perdarahan banyak tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala

tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya, gejala dan tanda

bergantung pada lamanya kehamilan ektopik, abortus atau ruptur tuba,

tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum

penderita sebelum hamil (Norma dan Mustika, 2018).

11
2.1.6 Diagnosis

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat ditegakkan melalui

beberapa pemeriksaan meliputi pengkajian data subjektif (anamnesa), dan

data objektif (Pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik, kebidanan, dan

penunjang)

a. Pengkajian data subjektif

1. Biodata: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,

penghasilan, alamat istri dan suami (Norma dan Mustika,

2018).

2. Keluhan utama: amenore dapat disertai dengan tanda-tanda

hamil muda (morning sickness, mual muntah, dan ngidam),

adanya nyeri abdomen (nyeri dapat menjalar ke seluruh

abdomen, diafragma, dan nyeri pada saat buang air besar),

dan perdarahan pervaginam khas berwana kecoklatan

(Norma dan Mustika, 2018).

3. Riwayat haid: umur menarche, frekuensi atau siklus

menstruasi, lamanya menstruasi, dismenorrhea atau

keluhan saat menstruasi, dan Hari Pertama Haid Terakhir

(HPHT) untuk menghitung usia kehamilan (Norma dan

Mustika, 2018).

4. Riwayat pernikahan: ibu menikah berapa kali, lamanya,

umur pertama kali menikah (Norma dan Mustika, 2018).

5. Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya: sering

ditemukan riwayat operasi caesar, riwayat operasi tuba oleh

12
karena riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat

abortus berulang (Suryawinata dkk., 2019).

6. Riwayat kehamilan sekarang: berapa kali periksa dan

dimana, keluhankeluhan dan tanda-tanda bahaya yang

dirasakan. (Norma dan Mustika, 2018).

7. Riwayat penyakit: sering ditemukan riwayat keputihan

lama, infeksi menular seksual seperti clamidya, gonorhoe,

dan bakteri atau virus lainnya, riwayat penyakit radang

panggul (Pratiwi, 2019).

8. Riwayat kontrasepsi: jenis kontrasepsi yang dipakai oleh

ibu sebelum hamil, sudah berapa lama ibu menggunakan

alat kontrasepsi tersebut, apa yang ibu keluhkan selama

menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Hal tersebut untuk

menilai risiko alat kontrasepsi yang dipakai (Norma dan

Mustika, 2018).

9. Kebiasaan berbahaya bagi kehamilan seperti merokok baik

perokok aktif maupun pasif, minum jamu dan obat-obatan

terlarang (Pratiwi, 2019).

b. Pengkajian data objektif

1. Pemeriksaan umum: Keadaan umum, kesadaran, tanda-

tanda vital bervariasi tergantung tingkatan syok, lama dan

jumlah perdarahan (Norma dan Mustika, 2018).

2. Pemeriksaan fisik:

13
a) Pada konjungtiva ditemukan pucat tergantung lama

dan jumlah perdarahan.

b) Pada abdomen:

1) Inspeksi: apakah ada luka bekas operasi,

apakah abdomen tampak distensi atau perut

tegang.

2) Palpasi: Nyeri tekan pada abdomen, posisi

nyeri tekan bisa lebih keras disatu sisi

tergantung lokasi kehamilan ektopik

terganggu.

3. Pemeriksaan Kebidanan:

a) Pemeriksaan inspekulo: tampak perdarahan sedikit

sampai sedang berwarna kecoklatan.

b) Pemeriksaan dalam: tidak ada pembukaan portio,

adanya nyeri goyang portio, dan kavum douglas

menonjol.

4. Pemeriksaan penunjang:

a) Laboratorium: haemoglobin, hematokrit, sel darah

putih, dan tes kehamilan.

b) Pemeriksaan ultrasonografi (USG): tidak adanya

kantong kehamilan dalam kavum uteri, adanya

kantung kehamilan diluar kavum uteri, adanya

massa komplek di rongga panggul.

c) Laparoskopi.

14
d) Laparotomi : harus dilakukan pada kasus kehamilan

ektopik terganggu dengan gangguan hemostasis (

tindakan diagnosis dan definitif), diagnosa pasti

hanya ditegakkan dengan laparotomi.

e) Kuldosintesis.

2.1.7 Penatalaksanaan

Penanganan kehamilan ektopik terganggu mempertimbangkan

beberapa hal yaitu kondisi ibu, keinginan ibu untuk mempertahankan

fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomis organ

pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter, dan kemampuan teknologi

fertilisasi in vitro setempat. Pada keadaan kondisi ibu buruk yaitu dalam

keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi. Pada kasus kehamilan

ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah biasanya ditangani

dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari pembedahan.

Kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa, maka deteksi dini dan

pengakhiran kehamilan adalah tata laksana yang disarankan (Dewi, 2016).

2.1.8 Faktor Predisposisi

Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki tetapi

sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan beberapa

literatur, faktor risiko dari kehamilan ektopik terganggu adalah Umur.

15
Istilah umur diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam

satuan waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang

memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama

(Dorlan 2010 dalam Ekasari, 2015). Penyebab kematian maternal dari

faktor reproduksi diantaranya adalah usia ibu. Dalam kurun reproduksi

sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20

tahun sampai dengan 30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan

melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata dua sampai lima kali lebih

tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20 sampai 29

tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30 sampai 35

tahun (Prawirohardjo, 2012). Hamil di usia kurang dari 20 tahun memiliki

risiko tinggi terjadinya komplikasi dalam kehamilan oleh karena organ

reproduksi yang belum matang dan masih dalam masa pertumbuhan

(Komariah dan Nugroho, 2020).

Ketidakmatangan organ reproduksi mempermudah terjadinya

infeksi menular seksual sehingga menyebabkan rusaknya organ-organ

reproduksi seperti penyempitan saluran pada tuba yang dapat

meningkatkan kejadian kehamilan ektopik terganggu (Dewi, 2016). Hamil

diusia lebih dari 35 tahun juga memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi

oleh karena fungsi reproduksi wanita sudah terjadi penurunan (Komariah

dan Nugroho, 2020). Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi

risiko terjadinya kehamilan ektopik terganggu yang mengakibatkan

penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Dalam hal ini gerakan peristaltik tuba

menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai

16
kavum uteri (Asyima, 2018). Hal ini sesuai dengan penelitian Triana (2019)

menyatakan bahwa ibu yang mengalami kehamilan ektopik terganggu lebih

banyak pada ibu yang berumur < 20 dan >35 tahun yaitu 66,7%.

Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan antara umur ibu dengan

kejadian kehamilan ektopik terganggu yaitu didapatkan nilai p sebesar

0,024 < α 0,05. Sejalan dengan penelitian Asyima (2018), semakin

bertambahnya umur akan berisiko terkena kehamilan ektopik terganggu.

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai

p 0,038 < α 0,05, artinya ada hubungan umur ibu dengan kejadian

kehamilan ektopik terganggu.

Hasil penelitian Triana (2019) berbeda dengan hasil penelitian

Tarigan (2016), umur rata-rata ibu dengan kehamilan ektopik terganggu

adalah 32-33 tahun. Hasil penelitian Triana (2019) juga tidak sejalan

dengan penelitian Yadav et al. (2017), mayoritas kejadian kehamilan

ektopik terganggu pada umur 25-34 tahun. Umur 20-35 tahun merupakan

usia produktif seorang wanita untuk hamil sehingga risiko terjadinya

komplikasi kehamilan seperti kehamilan ektopik terganggu menjadi lebih

tinggi.

Menurut Nirmalasari dkk (2018), kelompok umur 25 – 49 tahun

merupakan kelompok seksual aktif dan mobilitas pada kelompok umur

tersebut juga tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Hendri dkk. (2013),

didapatkan kecenderungan peningkatan risiko infeksi menular seksual

seperti clamidya trakomatis dan penyakit radang panggul pada rentang usia

menikah antara 20-35 tahun sekitar 64%. Hal ini dapat mengakibatkan

17
peningkatan kejadian kehamilan ektopik terganggu oleh karena infeksi

dapat mengakibatkan adhesi atau perlengketan pada tuba, oklusi atau

penyumbatan tuba, fimbria phimosis atau hidrosalping. Hidrosalping

adalah suatu kondisi yang terjadi ketika tuba fallopi terisi dengan serosa

atau cairan sehingga mengakibatkan pembengkakan pada tuba (Aisyah dan

Amanda, 2019).

2.2. Paritas

a. Pengertian Paritas: yaitu jumlah atau banyaknya anak yang

dilahirkan (Wigunantiningsih dan Fakhidah, 2017).

b. Klasifikasi paritas yaitu :

1. Nullipara adalah wanita yang belum pernah melahirkan

bayi yang mampu hidup.

2. Primipara adalah wanita yang pernah satu kali melahirkan

bayi yang telah mencapai tahap mampu hidup.

3. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan dua janin

viabel atau lebih.

4. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan lima

anak atau lebih.

Semakin meningkatnya jumlah kehamilan akan meningkatkan

risiko terjadinya kehamilan ektopik terganggu, hal ini dikaitkan

dengan riwayat kehamilan terdahulu seperti riwayat abortus dan

riwayat kehamilan ektopik terdahulu yang merupakan faktor risiko

terjadinya kehamilan ektopik terganggu. Hal ini sejalan dengan

18
penelitian Prasanna, et.al (2016) yang menemukan bahwa kejadian

kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi pada multigravida

84% dan penelitian Santoso (2011) yang menemukan kejadian

kehamilan ektopik paling banyak pada gravida kedua yaitu 34,34%

dibandingkan gravida pertama yaitu 32,2%.

Abortus dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada rahim

yang tidak ditangani atau kerusakan dinding rahim terutama pada

abortus berulang (Dewi, 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian

Sariroh dan Primariawan (2015) bahwa kehamilan ektopik terganggu

sebagian besar disebabkan oleh kerusakan pada tuba atau

tersumbatnya tuba. Selain karena infeksi menular seksual dan penyakit

radang panggul, kerusakan pada tuba bisa diakibatkan oleh

endometriosis dan fibroid.

19
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti) yang

dipakai sebagai landasan berpikir dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2017).

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :

UMUR

PARITAS

Kejadian Kehamilan Ektopik


Terganggu

1. Riwayat Kesehatan
2. Riwayat Kebidanan yang lalu
3. Riwayat Kontrasepsi
4. Riwayat Merokok

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

Berdasarkan gambaran kerangka konsep di atas, peneliti meneliti

gambaran kejadian kehamilan ektopik terganggu berdasarkan umur dan

paritas ibu hamil riwayat kesehatan, riwayat kebidanan yang lalu, dan

20
riwayat kontrasepsi di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Denpasar.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

3.2.1 Variabel Penelitian

Menurut Arikunto (2013), variabel penelitian adalah objek

penelitian atau sesuatu yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.

Menurut Setiadi (2013), variabel adalah karakteristik yang diamati yang

mempunyai variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep

agar dapat diteliti secara empiris atau ditentukan tingkatannya. Variabel

dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu kejadian kehamilan

ektopik terganggu.

3.2.2 Definisi Operasional

Definisi operasional variabel penelitian menurut Sugiyono (2015)

adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang

memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Definisi variabel-variabel

penelitian harus dirumuskan untuk menghindari kesesatan dalam

mengumpulkan data. Definisi operasional variabel disusun dalam bentuk

matrik, yang berisi: nama semua variabel yang diteliti pada kerangka

konsep penelitian, deskripsi variabel, alat ukur, hasil ukur dan skala ukur

yang digunakan. Definisi operasional dibuat untuk memudahkan dan

menjaga konsistensi pengumpulan data, mengindarkan perbedaan

21
interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel (Setiadi, 2013).

Definisi operasional variabel pada penelitian ini disajikan pada tabel 1:

Variabel Definisi Operasional Cara Alat Skala

Pengukuran Ukur

Kejadian Diagnosis kehamilan Studi Chek Nominal

kehamilan ektopik terganggu yang dokumentasi list

ektopik tercantum dalam

terganggu dokumen rekam medis

pasien

Umur Umur ibu saat Studi Chek Nominal

kehamilan terakhir, dokumentasi list

dihitung dalam tahun

berdasarkan ulang tahun

terakhir yang tercantum

dalam rekam medis.

Paritas Jumlah total kehamilan Studi Chek Nominal

ibu termasuk kehamilan dokumentasi list

intrauterine normal dan

abnormal, abortus,

kehamilan ektopik, dan

mola hidatidosa yang

tercantum dalam rekam

22
medis dikategorikan

menjadi

a. Primigravida: wanita

yang hamil untuk

pertama kalinya.

b. Multigravida: wanita

yang sudah pernah

hamil lebih dari satu

kali.

c. Grandemultigravida:

wanita yang sudah

pernah hamil lima kali

atau lebih.

Tabel 1. Definisi Operasional

23
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau

menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat

kesimpulan yang lebih luas (Sugiyono, 2017). Penelitian ini menggunakan

pendekatan waktu cross sectional yaitu pengukuran variabel hanya dilakukan

dengan pengamatan sesaat atau dalam periode tertentu dan setiap studi hanya

dilakukan satu kali pengamatan untuk mendapatkan gambaran melalui data

sekunder yang berasal dari rekam medis pasien.

4.2 Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2017), populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas obyek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Handayani (2020), populasi adalah

totalitas dari setiap elemen yang akan diteliti yang memiliki ciri sama, bisa

berupa individu dari suatu kelompok, peristiwa, atau sesuatu yang akan diteliti.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil dengan kehamilan

ektopik terganggu pada tahun 2019 dan 2020 di Rumah Sakit Umum Daerah

Wangaya Kota Denpasar yang berjumlah 79 orang. Menurut Siyoto dan Sodik

(2015), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi, ataupun bagian kecil dari anggota populasi yang diambil

24
menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Sampel

dalam penelitian ini adalah ibu hamil dengan kehamilan ektopik terganggu di

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar tahun 2021 dan 2022

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan

eksklusi dalam penelitian ini, yaitu :

a. Kriteria Inklusi: data pada rekam medis dengan tindakan

laparotomi

b. Kriteria eksklusi: data pada rekam medis tidak lengkap.

4.3 Sampel Penelitian

a. Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini menggunakan besar sampel untuk

penelitian kategorik berpasangan:

{Z + Zβ}2 
N=
(𝑃1 − 𝑃2)2

{1,96 + 0,84 }2 0,3


N=
(0,25)2

N = 38

Dimana:

N = Besar sampel minimum

Zα = Deviat baku alfa (1,96)

Zβ = Deviat baku beta (0,84)

P1-P2= Perbedaan Proporsi

25
Perhitungan besar sampel diperoleh jumlah sampel minimum

adalah 38. Untuk menghindari bias penelitian, jumlah sampel dibulatkan

dari jumlah sampel minimum menjadi 40 orang.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik

sampling non-probabilitas (non-probability sampling) dengan jenis

purposive sampling. Menurut Kuntjojo (2009), teknik sampling non-

probabilitas adalah teknik pengambilan sampel yang ditemukan atau

ditentukan sendiri oleh peneliti atau menurut pertimbangan pakar. Teknik

ini tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau

anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Menurut Sugiyono (2016),

purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Sampel yang diambil disesuaikan dengan kriteria-

kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian yaitu data

ibu hamil dengan kehamilan ektopik terganggu yang memenuhi kriteria

inklusi.

4.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah

Wangaya Kota Denpasar beralamat Jalan Kartini No. 133 Denpasar. Alasan

pemilihan tempat ini karena Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Denpasar merupakan rumah sakit rujukan Penanganan Obstetri Neonatal

Emergency Komprehensif (PONEK) di Bali dan belum pernah dilakukan

penelitian yang sama.

Waktu penelitian dimulai dari saat persiapan operasional penelitian

(pengurusan ijin) sampai penyelesaian penulisan laporan penelitian yaitu

26
tanggal 22 Agustus sampai dengan 2 September 2022. Pengambilan data di

IGD PONEK dan unit rekam medis dilaksanakan tanggal 5 September

sampai dengan 8 September 2022.

4.5 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang bersumber dari catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah

Wangaya Kota Denpasar tahun 2021 dan 2022.

Pengumpulan data yang dilakukan dimulai dari:

a. Mengurus izin penelitian di tempat penelitian yaitu bagian Komisi

Etik Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Denpasar.

b. Setelah mendapatkan izin dari semua pihak peneliti memulai proses

pengumpulan data. Proses pengumpulan data dimulai dengan

mencatat nomor rekam medis pasien melalui register pasien masuk

Intalasi Gawat Darurat Penanganan Obstetri Neonatal Emergensi

Komprehensif (IGD PONEK) tahun 2020 dan 2021.

c. Peneliti melibatkan satu orang enumerator yaitu petugas rekam

medis.

d. Peneliti dan enumerator melakukan penyamaan persepsi mengenai

data yang diperlukan, peneliti memberikan nomor rekam medis yang

dikumpulkan oleh peneliti. Enumerator mengambil dokumen sesuai

dengan rekam medis yang telah diserahkan oleh peneliti.

e. Data yang telah memenuhi kriteria inklusi ditetapkan sebagai sampel

penelitian.

27
f. Melakukan pengumpulan data dengan cara instrumen berupa lembar

checklist yang telah ditentukan

4.6 Instrumen Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2013), instrumen pengumpulan data adalah alat

bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan

pengumpulan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan

mempermudah peneliti dalam mengolah dan menganalisis data. Penelitian

ini menggunakan instrumen penelitian berupa lembar chek list yaitu suatu

daftar berisi kode atau nomer subjek dan beberapa gejala atau identitas

lainnya dari sasaran pengamatan dengan memberikan tanda. Peneliti

menggunakan chek list yang dibuat format dan isinya oleh peneliti sesuai

dengan data sekunder yang diperlukan. Sumber dari data sekunder ini

adalah data rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya tahun 2021

dan 2022 pada formulir IGD OBGYN/IRM-00 (Pengkajian Kebidanan dan

Kandungan Gawat Darurat), formulir 02 RI GYN/IRM-02 (Assesmen

Medis Gynecologi), dan formulir laporan operasi.

4.7 Pengolahan Data dan Analisis

a. Pengolahan data

1. Editing, yaitu kegiatan memeriksa validitas data yang masuk seperti

memeriksa kelengkapan data chek list, dari 66 data sampel yang

sudah diplih oleh peneliti, semua data yang diperlukan lengkap.

28
2. Coding, yaitu kegiatan pemberian tanda dari data menurut kategori

masingmasing sehingga memudahkan mengelompokkan data.

Tanda atau kode yang diberikan adalah berupa angka terlampir

dalam lampiran 4.

3. Entry data, yaitu kegiatan memasukan data yang telah didapat

kedalam program computer yang telah ditetapkan.

4. Tabulating, yaitu kegiatan pengelompokan item dengan cara yang

diteliti dan teratur, kemudian dihitung dan jumlah beberapa banyak

item yang termasuk dalam satu kategori.

b. Analisis data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat.

Analisis univariat memiliki tujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,

2014), data umur, gravida, riwayat kesehatan, riwayat kebidanan yang

lalu, dan riwayat kontrasepsi. Data umur dengan skala data numerik

(rasio) berupa data mean, median, modus, standard deviasi, nilai

minimum, dan maksimum.

4.8 Etika Penelitian

Etika penelitian yang mendasari penyusunan skripsi ini terdiri dari:

1. Tanpa nama (anonymity)

Peneliti memberikan jaminan untuk tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden dan hanya ditulis berupa

berupa kode atau nomor responden pada lembar pengumpulan

29
data atau hasil penelitian yang disajikan. Kode responden

berupa angka 1,2,3………..dan seterusnya.

2. Kerahasiaan (confidentially)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

sesuai variabel penelitian meliputi umur, gravida, riwayat

kesehatan, riwayat kebidanan yang lalu, dan riwayat kontrasepsi

yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

3. Kemanfaatan (beneficience)

Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat serta memiliki resiko

yang sangat kecil. Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan

untuk menambah ilmu tentang gambaran kejadian kehamilan

ektopik terganggu, sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya,

dan bermanfaat dalam deteksi dini kehamilan ektopik

terganggu.

4. Berkeadilan (distributive justice)

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, sampel

yang diambil disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang

ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian yaitu data ibu hamil

dengan kehamilan ektopik terganggu yang memenuhi kriteria

inklusi.

30
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Distribusi Frekuensi Umur Pada Pasien KET di RSUD Wangaya

Gambar 1. Distribusi frekuensi Umur Pada Pasien KET di

RSUD Wangaya

Gambar 1 menunjukan bahwa berdasarkan kategori umur, kejadian

kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi pada rentang usia 20-35 tahun

yaitu berjumlah 31 orang, paling sedikit pada rentang usia < 20 tahun yaitu 1 orang

dan kejadian kehamilan ektopik terganggu pada pasien dengan rentang usia > 35

tahun adalah 8 orang.

31
5.2 Distribusi Frekuensi Paritas Ibu Hamil Pada Pasien KET di RSUD

Wangaya

Gambar 2. Distribusi frekuensi Paritas Ibu Hamil Pada Pasien KET di

RSUD Wangaya

Gambar 2 menunjukan bahwa berdasarkan kategori paritas ibu hamil,

kejadian kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi pada kategori

multigravida yaitu berjumlah 26 orang, paling sedikit pada kategori

grandemultigravida yaitu 4 orang dan kejadian kehamilan ektopik terganggu pada

kategori primigravida adalah 10 orang.

32
BAB VI

PEMBAHASAN

Berdasarkan kategori umur, kejadian kehamilan ektopik terganggu paling

banyak terjadi pada umur 20-35 tahun. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan

penelitian Triana (2019) dan Asyima (2018) yang menyatakan bahwa ibu yang

mengalami kehamilan ektopik terganggu lebih banyak pada ibu yang berumur <

20 dan >35 tahun. Hamil di usia kurang dari 20 tahun memiliki risiko tinggi

terjadinya komplikasi dalam kehamilan oleh karena organ reproduksi yang belum

matang dan masih dalam masa pertumbuhan. Hamil di usia lebih dari 35 tahun juga

memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi oleh karena fungsi reproduksi wanita

sudah terjadi penurunan (Komariah dan Nugroho, 2020).

Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terjadinya

kehamilan ektopik terganggu yang mengakibatkan penurunan aktivitas mioelektrik

tuba. Dalam hal ini gerakan peristaltik tuba menjadi lamban, sehingga implantasi

zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri (Asyima, 2018). Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian

Tarigan (2016) yang menemukan bahwa kejadian kehamilan ektopik

terganggu terjadi pada rata-rata umur 32,03 tahun, standar deviasi 6,491 tahun,

umur termuda 19 tahun dan tertua 44 tahun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan

penelitian Yadav et al. (2017), yang menemukan kejadian kehamilan ektopik

terganggu terjadi pada rata-rata umur 29,15 tahun dengan standar deviasi 5,10

tahun dan mayoritas kejadian kehamilan ektopik terganggu pada umur 25-34 tahun.

Umur 20-35 tahun merupakan usia produktif seorang wanita untuk hamil sehingga

33
risiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti kehamilan ektopik terganggu

menjadi lebih tinggi.

Menurut Nirmalasari dkk. (2018), kelompok umur 25-49 tahun merupakan

kelompok seksual aktif dan mobilitas pada kelompok umur tersebut juga tinggi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Hendri dkk. (2013), didapatkan kecenderungan

peningkatan risiko infeksi menular seksual seperti clamidya trakomatis dan

penyakit radang panggul pada rentang usia menikah antara 20-35 tahun sekitar

64%. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kejadian kehamilan ektopik

terganggu oleh karena infeksi dapat mengakibatkan adhesi atau perlengketan pada

tuba, oklusi atau penyumbatan tuba, fimbria phimosis atau hidrosalping.

Hidrosalping adalah suatu kondisi yang terjadi ketika tuba fallopi terisi dengan

serosa atau cairan sehingga mengakibatkan pembengkakan pada tuba (Aisyah dan

Amanda, 2019).

Berdasarkan kategori paritas ibu hamil, kejadian kehamilan ektopik

terganggu paling banyak terjadi pada multigravida 65%. Hasil dari penelitian ini

sejalan dengan Prasanna et.al. (2016) yang menemukan bahwa kejadian kehamilan

ektopik terganggu paling banyak terjadi pada multigravida 84%, tingginya

kejadian kehamilan ektopik terganggu pada multigravida dihubungkan dengan

kemungkinan terjadinya abortus sebelumnya dan infeksi pada daerah tuba. Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Santoso (2011) yang menemukan

kejadian kehamilan ektopik paling banyak pada gravida kedua yaitu 34,34%

dibandingkan gravida pertama yaitu 32,2%. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

ini yang menemukan bahwa kejadian kehamilan ektopik terganggu hampir

seluruhnya terjadi pada bagian tuba falopii khususnya bagian ampula 87,9% dan

34
riwayat abortus 34,8%. Abortus dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada rahim

yang tidak ditangani atau kerusakan dinding rahim terutama pada abortus berulang

(Dewi, 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian Sariroh dan Primariawan (2015)

bahwa kehamilan ektopik terganggu sebagian besar disebabkan oleh kerusakan

pada tuba atau tersumbatnya tuba. Selain karena infeksi menular seksual dan

penyakit radang panggul, kerusakan pada tuba bisa diakibatkan oleh endometriosis

dan fibroid.

35
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

berdasarkan kategori umur, kejadian kehamilan ektopik terganggu di

RSUD Wangaya tahun 2021-2022 paling banyak terjadi pada umur 20-35

tahun dan berdasarkan kategori paritas ibu hamil, kejadian kehamilan

ektopik terganggu paling banyak terjadi pada multigravida yaitu sebanyak

65% dari total 40 kasus

7.2 Saran

Pada penelitian selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan penelitian selanjutnya

dengan menggunakan data primer.

36
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. dan Amanda, S.S. 2019. Infeksi Chlamydia Trachomatis pada Saluran

Genital, Tuba Fallopi, dan Serviks. J. Teknosains, 13(2): 145-148.

Aling, D.M.R., Kaeng, J.J dan Wantania, J. 2014. Hubungan Penggunaan

Kontrasepsi dengan Kejadian Kehamilan Ektopik Terganggu di BLU RSUP

Prof. DR. R. D. Kandou Manado Periode 2009-2013. Jurnal EClinic, 2(3).

Arikunto, S., 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.

Jakarta.

Asyima. 2018. Hubungan Paritas dan Umur Ibu Terhadap Kejadian Kehamilan

Ektopik Terganggu (KET) di RSUD Syekh Yusuf Gowa Tahun 2018. Jurnal

Kesehatan Delima Pelamonia, 2(2):87-92.

Baud, D., Goy, G., Jaton, K., Osterheld, M.C., Blumer, S., Borel, N., Vial , Y. 2011.

Role Of Chlamydia Trachomatis in Miscarriage. Emerging Infectious

Diseases, 17(9): 630-635.

Dewi, T.P. dan Risilwa, M. 2017. Kehamilan Ektopik Terganggu: Sebuah Tinjauan

Kasus. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 17(1): 26-32.

Dewi, N.A.T., 2016. Patologi dan Patofisiologi Kebidanan. Nuha Medika.

Yogyakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2020. Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2019.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Bali.

Ekasari, W.U. 2015. Pengaruh Umur ibu, Paritas, Usia Kehamilan, dan Berat Lahir

Bayi Terhadap Asfiksia Bayi pada Ibu Preeklampsia Berat. UNSPasca Sarjana.

Fitriany, A.N., Sukarya, W.S. dan Nuripah, G. 2014. Hubungan antara Usia, Paritas

37
dan Riwayat Medik dengan Kehamilan Ektopik Terganggu. Prosiding

Penelitian Sivitas Akademika Unisba. 2: 329-335.

Hadijanto, B., Rachimhadi, T. dan Winknjosastro, G.H., 2014. Ilmu kebidanan. PT.

Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Jakarta.

Handayani, R., 2020. Metodologi Penelitian Sosial. Trussmedia Grafika.

Yogyakarta.

Hendri, A., Henri, S.., Fidel. 2013. Kejadian Infeksi Klamidia Trakomatis di

Serviks dan Tuba pada Pasien kehamilan Ektopik Terganggu di RSUP H.

Adam malik medan dan RS Jejaring FK USU. Majalah Kedokteran Nusantara,

46(2), 65-69.

Johnson, R.E., Newhall, W.J., JR, JS. 2002. Chlamydia Trachomatis and Neisseria

Gonorrhoeae Infection. Papp Knapp Black Gift Screening Test to Detect

CM,TL. 51(15): 1-38.

Kemenkes RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Khairani, Y. 2018. Epidemiologi Kehamilan Ektopik.

https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-danginekologi/kehamilan-

ektopik/epidemiologi. diakses tanggal 1 Februari 2021.

Komariah, S. dan Nugroho, H. 2019. Hubungan Pengetahuan, Usia Dan Paritas

Dengan Kejadian Komplikasi Kehamilan Pada Ibu Hamil Trimester III Di

Rumah Sakit Ibu Dan Anak Aisyiyah Samarinda. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Uwigama, 5(2): 83-93.

Kristianingsih, A. dan Halimah, A. 2018. Hubungan Keterpaparan Asap Rokok

38
Dengan Kejadian Kehamilan Ektopik di RSIA Anugerah Medical Center Kota

Metro Tahun 2016. Jurnal kebidanan, 4(1): 30-33.

Kuntjojo, 2009. Metodologi Penelitian. Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri.

Nirmala, C., Adiguna, S., dan Puspawati, D. 2018. Prevalensi dan Karakteristik

Infeksi Menular Seksual di Klinik Anggrek UPT Ubud II pada Bulan Januari-

Desember 2016. E- Jurnal Medika Udayana, 7(4): 169-175.

Norma, N dan Dwi, M., 2018. Asuhan Kebidanan Patologi Teori dan Tinjauan

Kasus Dilengkapi Contoh Askeb. Edisi 3. Nuha Medika. Yogyakarta.

Notoatmodjo, S. 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Nursalam, 2017. Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan: Pendekatan Praktis.

Salemba Medika. Jakarta.

Prasanna, B., Jhansi, CB., Swathi, K., Mahaboob, V. 2016. A Study on Risk Factors

and Clinical Presentation of Ectopic Pregnancy in Woman Attending a Tertiary

Care Centre. IAIM, 3(1): 90-96

Pratiwi, A.M., 2019. Patologi Kehamilan: Memahami Berbagai Penyakit dan

Komplikasi Kehamilan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Prawirohardjo, S., 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Prawirohardjo, S., 2018. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Santoso, B. 2016. Analisis Faktor Risiko Kehamilan Ektopik. Jurnal Ners, 6(2):

164-168.

Sariroh, W. dan Primariawan, R.Y. 2015. Tingginya Infeksi Chlamydia

39
Trachomatis pada kerusakan Tuba Fallopi Wanita Infertil. Majalah Obstetri

dan Ginekologi. 23(2): 69-74

Setiadi, 2013. Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan. Edisi 2. Graha

Ilmu. Yogyakarta.

Siyoto, S. dan Sodik, A., 2015. Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media

Publising. Yogyakarta.

Sugiyono, 2015. Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

Bandung. , 2017. Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Alfabeta. Bandung. Suryawinata, A. dan Islamy, N. 2019. Komplikasi pada

Kehamilan dengan Riwayat Caesarian Section. Jurnal Agromedicine , 6(2):

364–369.

Tarigan, G.Y., 2016. Karakteristik Pasien Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUP

H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2012 -2015. Repositori Institusi

Universitas Sumatera Utara.

Tim Surveilance dan Audit Maternal Perinatal RSUD Wangaya Kota Denpasar.

2020. Laporan Surveilance dan Audit Maternal Perinatal RSUD Wangaya

Kota Denpasar Tahun 2020. RSUD Wangaya. Denpasar.

Triana, A. 2019. Hubungan Umur dan Paritas Ibu Hamil Dengan Kejadian

Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Journal

of Health Sciences, 8(1): 1-5.

World Health Organization. 2019. World Health Statistics Overview 2019.

Monitoring health for the SDGs, sustainable development goals. WHO.

Wulandari, D.W. dan Laksono, A.D. 2020. Hubungan Paritas dan Karakteristik

40
Individu terhadap Pemakaian Alat Kontrasepsi Diantara Wanita Usia Subur di

Provinsi Jawa Timur Tahun 2017. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 24(1).

Yadav, A., Prakash, A., Sharma, C., Pegu, B., dan Saha, M.K. 2017. Trends of

ectopic pregnancies in Andaman and Nicobar Islands. International Journal of

Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology. 6(1): 15-19.

41

Anda mungkin juga menyukai