Anda di halaman 1dari 41

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komsos Sedunia 2015:

Mengkomunikasikan Keluarga – Tempat Perjumpaan


Istimewa dengan Karunia Cinta
Submitted by administrator on Thu, 05/02/2015 - 08:06

Keluarga adalah subjek refleksi mendalam oleh Gereja dan


proses yang melibatkan dua Sinode: yang luar biasa yang
terjadi baru-baru ini dan yang biasa yang dijadwalkan Oktober
mendatang. Maka, saya pikir tepatlah kalau tema Hari
Komunikasi se-Dunia berikutnya mengangkat keluarga sebagai
titik acuan. Lagi pula, dalam konteks keluargalah kita pertama-
tama mempelajari cara berkomunikasi. Fokus pada konteks ini
bisa membantu membuat komunikasi kita lebih otentik dan
manusiawi, sambil membantu kita melihat keluarga dalam
perspektif baru.
Kita bisa menarik inspirasi dari bagian Injil yang berkaitan
dengan kunjungan Maria kepada Elizabet (Luk 1: 39-56).
“Ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak
yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh
Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah
engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah
rahimmu” (ayat 41-42).
Episode ini pertama-tama menunjukkan kepada kita bagaimana
komunikasi merupakan dialog yang terkait dengan bahasa
tubuh. Tanggapan pertama terhadap sapaan salam dari Maria
diberikan oleh sang anak, yang melompat kegirangan dalam
rahim Elizabet. Dari satu sisi, sukacita saat bertemu orang lain,
yang kita pelajari bahkan sebelum lahir, merupakan pola dasar
dan simbol setiap bentuk komunikasi lainnya. Rahim yang
menjadi tempat tinggal kita adalah “sekolah” komunikasi
pertama, tempat kita mendengarkan dan melakukan kontak
fisik agar terbiasa dengan dunia luar dalam lingkungan yang
dilindungi, dengan suara detak jantung ibu yang menenangkan.
Perjumpaan dua orang yang terkait begitu erat meski tetap
saling berbeda ini, perjumpaan yang begitu dipenuhi janji ini,
adalah pengalaman komunikasi pertama. Inilah pengalaman
yang kita semua alami bersama, karena kita semua lahir dari
seorang ibu.
Bahkan setelah datang ke dunia, bisa juga berarti kita masih di
dalam “rahim”, yakni keluarga. Rahim terdiri dari beberapa
orang yang saling terkait: keluarga adalah “tempat kita belajar
untuk hidup dengan orang lain meskipun berbeda” (Evangelii
Gaudium, 66). Tanpa melihat perbedaan jenis kelamin dan usia
di antara mereka, anggota-anggota keluarga saling menerima
karena ada ikatan di antara mereka. Semakin lebar kisaran
hubungan-hubungan ini dan semakin besar perbedaan usia,
semakin kayalah lingkungan hidup kita. Ikatan ini berada pada
akar bahasa, yang pada gilirannya memperkuat ikatan itu. Kita
tidak menciptakan bahasa. Bahasa dapat digunakan karena kita
sudah menerimanya. Dalam keluargalah kita belajar berbicara
“bahasa ibu”, bahasa dari orang-orang yang mendahului kita.
(lih 2 Makabe 7: 25,27). Dalam keluarga kita menyadari bahwa
orang lain telah mendahului kita, mereka membuat kita bisa
eksis dan pada gilirannya hidup serta melakukan sesuatu yang
baik dan indah. Kita bisa memberi karena kita telah menerima.
Lingkaran luhur ini merupakan inti dari kemampuan keluarga
untuk berkomunikasi di antara para anggotanya dan dengan
orang lain. Dalam bahasa yang lebih awam dikatakan bahwa
itulah model semua komunikasi.
Pengalaman hubungan yang “lebih dahulu ini” memungkinkan
keluarga menjadi lingkungan tempat diturunkannya bentuk
komunikasi paling dasar, yaitu doa. Ketika orang tua
menidurkan anak-anaknya yang baru lahir, mereka sering
mempercayakan anak-anaknya kepada Tuhan, seraya meminta
agar Tuhan menjaga mereka. Saat anak-anak sudah lebih besar,
orang tua membantu mereka mengucapkan beberapa doa
sederhana, mendoakan orang lain, seperti kakek-nenek, sanak-
saudara, orang sakit dan orang menderita, serta semua orang
yang membutuhkan pertolongan Allah. Dalam keluargalah
sebagian besar dari kita mempelajari dimensi religius
komunikasi, yang dalam kekristenan diresapi dengan cinta,
cinta yang Allah limpahkan kepada kita dan yang kemudian
kita berikan kepada sesama.
Dalam keluarga, kita belajar saling merangkul dan mendukung,
memahami arti dari ungkapan wajah dan saat-saat hening.
Tertawa dan menangis bersama-sama orang-orang yang belum
saling memilih itu penting. Ini sangat membantu kita
memahami makna komunikasi seraya menyadari dan
menciptakan kedekatan. Saat mengurangi jarak dengan
semakin mendekat dan saling menerima, kita mengalami rasa
syukur dan sukacita. Salam yang disampaikan Maria dan
gerakan anaknya adalah anugerah bagi Elizabeth. Itu dilanjuti
dengan kidung yang indah, Magnificat. Dalam kidung itu
Maria memuji rencana kasih Allah bagi dirinya dan bagi
umatnya. “Ya” yang diucapkan dengan iman bisa berdampak
jauh melampaui diri dan tempat kita di dunia. “Mengunjungi”
berarti membuka pintu, tidak membiarkan tertutup dalam dunia
yang kecil, melainkan bergaul dengan orang lain. Demikian
juga keluarga menjadi hidup kalau keluar dari dirinya sendiri.
Keluarga-keluarga yang demikian mengkomunikasikan pesan
kehidupan dan persekutuan mereka, seraya memberikan
hiburan dan pengharapan untuk keluarga-keluarga yang lebih
rapuh, dan dengan demikian membangun Gerejanya sendiri,
yakni keluarga dari keluarga-keluarga.
Melebihi tempat mana pun, keluarga adalah tempat kita setiap
hari mengalami batas-batas diri kita dan batas-batas orang lain,
persoalan-persoalan besar dan kecil yang ada dalam kehidupan
yang damai bersama orang lain. Tidak ada keluarga yang
sempurna. Janganlah takut akan ketidaksempurnaan,
kelemahan atau bahkan konflik, melainkan belajarlah cara
mengatasinya secara konstruktif. Keluarga, tempat kita terus
saling mencintai di tengah keterbatasan dan dosa-dosa kita, lalu
menjadi sekolah pengampunan. Pengampunan itu sendiri
merupakan proses komunikasi. Saat penyesalan diungkapkan
dan diterima, maka ada kemungkinan untuk memulihkan dan
membangun kembali komunikasi yang rusak. Seorang anak
lelaki atau perempuan yang dalam keluarga telah belajar
mendengarkan orang lain, berbicara dengan hormat dan
mengungkapkan pandangannya tanpa mengingkari pandangan
orang lain, akan menjadi kekuatan dialog dan rekonsiliasi di
masyarakat.
Ketika menghadapi tantangan-tantangan komunikasi, ada
banyak hal bisa dipelajari dari keluarga-keluarga yang anak-
anaknya memiliki ketidakmampuan. Keterbatasan motorik,
sensorik atau mental dapat menjadi alasan untuk menutup diri
sendiri. Namun, berkat cinta orang tua, saudara, dan teman-
teman, keterbatasan itu bisa juga menjadi insentif untuk
keterbukaan, berbagi dan komunikasi dengan semua orang.
Keterbatasan itu juga bisa membantu sekolah-sekolah, paroki-
paroki, dan lembaga-lembaga untuk lebih menerima dengan
senang hati serta inklusif terhadap setiap orang.
Dalam dunia di mana orang sering memaki, menggunakan
bahasa kotor, menjelekkan orang lain, menabur perselisihan
dan meracuni lingkungan manusia dengan gosip, keluarga bisa
mengajarkan kita untuk memahami komunikasi sebagai berkah.
Dalam situasi-situasi yang tampaknya didominasi oleh
kebencian dan kekerasan, di mana keluarga-keluarga
terpisahkan oleh dinding-dinding batu atau dinding-dinding
prasangka dan kebencian yang kurang bisa ditembus, di mana
rasanya tempat itu menjadi alasan-alasan yang baik untuk
mengatakan ‘cukup sudah’, hanyalah berkat bukan caci maki,
kunjungan bukan penolakan, dan penerimaan bukan
perkelahian, yang mematahkan spiral kejahatan, menunjukkan
bahwa kebaikan selalu mungkin, dan mendidik anak-anak kita
menuju persahabatan.
Saat ini, media modern, yang merupakan bagian penting
kehidupan, khususnya bagi orang muda, bisa menjadi bantuan
dan gangguan bagi komunikasi di dalam keluarga-keluarga dan
di antara keluarga-keluarga. Media bisa mengganggu kalau
menjadi cara untuk tidak mendengarkan orang lain, untuk
menghindari kontak fisik, untuk mengisi setiap saat hening dan
istirahat, sehingga kita lupa bahwa “keheningan adalah bagian
integral dari komunikasi; tanpa keheningan, tidak akan ada
kata-kata yang kaya isinya.” (BENEDIKTUS XVI, Pesan
untuk Hari Komunikasi se-Dunia 2012). Media dapat
membantu komunikasi kalau media bisa membuat manusia
berbagi cerita, tetap berhubungan dengan teman-teman yang
jauh, berterima kasih kepada sesama atau mencari
pengampunan mereka, serta membuka pintu untuk perjumpaan-
perjumpaan baru. Dengan setiap hari mengembangkan
kesadaran akan pentingnya menjumpai orang lain,
“kemungkinan-kemungkinan baru” ini, kita akan menggunakan
teknologi dengan bijaksana, bukan membiarkan diri kita
dikuasai oleh teknologi itu. Orang tua adalah juga pendidik
utama dalam hal ini. Namun, mereka tidak dapat dibiarkan
sendiri. Umat Kristen dipanggil untuk membantu mereka
mengajar anak-anak menyesuaikan diri dengan lingkungan
media dengan cara yang sesuai dengan martabat manusia dan
demi kebaikan bersama.
Tantangan besar saat ini adalah mempelajari sekali lagi cara
berbicara satu dengan yang lain, bukan sekedar cara
mendapatkan dan menerima informasi. Yang terakhir ini adalah
kecenderungan yang bisa didorong oleh media komunikasi
modern kita yang penting dan berpengaruh. Informasi itu
penting, tetapi itu tidak cukup. Terlalu sering semua hal
disederhanakan, pendirian-pendirian dan sudut pandang-sudut
pandang berbeda saling diadu, dan orang diajak untuk
berpihak, bukan melihatnya secara keseluruhan.
Kesimpulannya, keluarga bukan subjek perdebatan atau medan
pertempuran ideologis. Sebaliknya, keluarga adalah lingkungan
tempat kita belajar berkomunikasi dalam pengalaman
kedekatan, tempat komunikasi berlangsung. Keluarga adalah
“komunitas berkomunikasi.” Keluarga adalah komunitas yang
memberi bantuan, yang merayakan kehidupan dan berbuah.
Setelah menyadari hal ini, kita akan sekali lagi melihat
bagaimana keluarga terus menerus menjadi sumber daya
manusia yang kaya, bukan menjadi masalah atau lembaga yang
mengalami krisis. Kadang-kadang, media cenderung
menampilkan keluarga semacam model abstrak yang harus
diterima atau ditolak, dibela atau diserang, bukan sebagai
realitas kehidupan. Atau juga sebagai pekarangan untuk
bentrokan ideologis bukan sebagai tempat bagi kita semua
untuk bisa belajar artinya berkomunikasi dengan saling
mencintai. Mengaitkan pengalaman berarti menyadari bahwa
hidup kita saling terikat sebagai satu realitas, bahwa suara kita
banyak, dan bahwa masing-masing suara itu unik.
Keluarga-keluarga harus dilihat sebagai sumber daya bukan
sebagai persoalan bagi masyarakat. Keluarga-keluarga sudah
sebaik mungkin berkomunikasi secara aktif lewat kesaksian
akan keindahan dan kekayaan hubungan antara pria dan wanita,
dan antara orang tua dan anak-anak. Kita tidak berupaya
membela masa lalu. Namun, dengan kesabaran dan
kepercayaan, kita berupaya membangun masa depan yang lebih
baik bagi dunia tempat kita hidup.
Dari Vatikan, 23 Januari 2015
Di hari menjelang Peringatan Santo Fransiskus dari Sales
FRANSISKUS
Sumber: www.penakatolik.com
Tags:

Hari Komunikasi Sedunia 2015: “Komunikasi dalam


Keluarga: Tempat Istimewa Menemukan Keindahan
Cinta”

RD. Kamilus Pantus October 21, 2014


0 52 1 minute read
Share
Facebook Twitter Google+ LinkedIn StumbleUpon
Hari Komunikasi Sedunia 2015
Komunikasi dalam Keluarga: Tempat Istimewa
Menemukan Keindahan Cinta
MENURUT siaran pers Vatikan, tema Hari Komunikasi
Sedunia 2015 berkesinambungan dengan pesan Tema Hari
Komunikasi Sedunia 2014, “Komunikasi: Budaya perjumpaan
yang sejati“, serta berkaitan dengan tema Sinode tentang
Keluarga, yang baru saja berlangsung 5-19 Oktober 2014.
Berbagai berita melaporkan tentang adanya kesulitan yang
dihadapi keluarga-keluarga saat ini. Sering kali, perubahan
budaya tidak membantu kita menghargai bahwa betapa
pentingnya keluarga.
“Hubungan antara para anggota keluarga dijiwai dan
dibimbing oleh hukum ‘memberi secara sukarela’. Dengan
menghormati dan memupuk martabat pribadi pada masing–
masing anggota sebagai satu-satunya dasar nilai, sikap
‘memberi secara sukarela’ itu diwujudkan dalam sikap
menerima setulus hati, perjumpaan dan dialog, sikap tersedia
tanpa pamrih, pengabdian dengan kemurahan hati, dan sikap
setiakawan yang mendalam” (Familiaris Consortio no. 43).
Hari Komunikasi Sedunia 2015 akan berlangsung pada 17 Mei
dan akan merefleksikan tentang orang-orang yang “mungkin
terluka dan kecewa, namun cinta di antara seorang pria dan
seorang wanita merupakan sesuatu yang baik,” membiarkan
“anak-anak tahu bahwa mereka adalah karunia yang paling
berharga,” dan membantu ”memulihkan mereka yang terluka
dan kecewa …menemukan kembali keindahan cinta”.
“Bagaimana kita dapat menunjukkan bahwa keluarga adalah
tempat istimewa dimana kita mengalami keindahan hidup,
sukacita dan rahmat kasih, saling menerima dan memberi, dan
pertemuan dengan yang lain?”
Pernyataan itu menambahkan bahwa Gereja harus belajar
kembali “bagaimana menunjukkan bahwa keluarga adalah
karunia besar, sesuatu yang baik dan indah”.
“Ini adalah tugas menarik untuk menggerakkan orang melihat
realitas sejati dari pribadi manusia, dan itu membuka pintu
untuk masa depan, yaitu, untuk kehidupan.”
Hari Komunkasi Sedunia, satu-satunya perayaaan seluruh
dunia sebagaimana diamanatkan oleh Konsili Vatikan II, setiap
tahunnya selalu dirayakan di hampir semua negara. Ini
berdasarkan rekomendasi para uskup sedunia dan biasanya
dirayakan pada hari Minggu sebelum Pentakosta (17 Mei
2015).
Pesan Bapa Suci untuk Hari Komunikasi Sedunia secara
tradisional diumumkan dalam rangka Pesta Santo Fransiskus da
Sales, pelindung para penulis (24 Januari 2015)
Keterangan foto: Selfie Paus Fransiskus dgn Orang Muda
Asia; Komunikasi dalam Keluarga, ilustrasi
dari www.diocesisorrentocmare.it

Refleksi atas Tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2016

RD. Kamilus Pantus November 16, 2015


3 32 1 minute read
Share
Facebook Twitter Google+ LinkedIn StumbleUpon
DEWAN Komunikasi Sosial Kepausan telah mengumumkan
tema Hari Komunikasi Sedunia 2016, yaitu Komunikasi dan
Kerahiman: Perjumpaan yang Memerdekakan.
Hari Komunikasi Sedunia dicanangkan oleh Paus Paulus VI
setelah Konsili Vatikan II untuk mendatangkan perhatian akan
adanya “fenomena luas dan kompleks dari berbagai sarana
modern komunikasi sosial.”
Tema tahun ini diputuskan bertepatan dengan Tahun Jubelium
Kerahiman Ilahi, Tahun Kudus yang diserukan oleh Paus
Francis untuk mengumumkan rahmat Allah.
Pilihan tema tahun ini diinspirasi oleh Jubelium Agung
Kerahiman, dan Bapa Suci menghendaki agar Hari Komunikasi
Sedunia dapat menjadi kesempatan yang tepat untuk
merefleksikan sinergi yang mendalam antara komunikasi dan
kerahiman.
Dalam “Bull of Indiction of the Jubillee Year” paragraf 12 Paus
menegaskan bahwa: Gereja ditugaskan untuk memberitakan
rahmat Allah, detak jantung dari Injil, yang dengan caranya
sendiri harus merasuk ke dalam hati dan pikiran setiap orang.
Bapa Suci melanjutkan: bahasanya dan gerakannya harus
mengirimkan rahmat/belas kasih, sehingga dapat menyentuh
hati semua orang dan menginspirasi mereka untuk menemukan
jalan yang mengarah kepada Bapa. Dalam hal ini, adalah
bermanfaat untuk mengingat bahwa refleksi kita terletak dalam
konteks kesadaran akan pentingnya komunikasi sebagai elemen
kunci untuk memajukan/mendukung budaya
pertemuan/perjumpaan.
Bapa Paus pada kesempatan ini mengacu pada bahasa dan
gerak tubuh Gereja, namun konteksnya adalah jelas bahwa
semua pria dan wanita dalam komunikasi mereka, dalam upaya
mereka menjangkau orang lain untuk bertemu, seharusnya
termotivasi oleh ekspresi yang mendalam akan penyambutan,
ketersediaan dan pengampunan.
Tema kali ini menyoroti kemampuan komunikasi yang baik
dalam membuka ruang dialog, menumbuhkan saling pengertian
dan rekonsiliasi, sehingga memungkinkan pertemuan antar
manusia yang membuahkan hasil. Pada saat perhatian kita
sering tertarik pada banyaknya komentar di media/jaringan
sosial yang terpolarisasi dan bersifat menghakimi, tema ini
mengharapkan kekuatan kata-kata dan gerak tubuh untuk
mengatasi kesalahpahaman, untuk menyembuhkan kenangan
buruk, serta untuk membangun perdamaian dan kerukunan.
Sekali lagi Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa pada
intinya, komunikasi merupakan pencapaian manusia yang
mendalam. Komunikasi yang baik tidak pernah hanya
merupakan produk dari teknologi terbaru atau tercanggih,
namun diwujudkan dalam konteks hubungan interpersonal
yang mendalam.
Gereja Katolik Indonesia, melalui Komisi Komunikasi Sosial
KWI akan menerjemahkan pesan Bapa Suci untuk Hari
Komunikasi Sosial Sedunia yang akan dipublikasikan 24
Januari setiap tahun.
Pesan Bapa Suci akan dipelajari oleh Tim Komsos KWI untuk
menemukan nilai-nilai utama yang disampaikan Paus
Fransiskus. Dilanjutkan dengan penyusunan naskah film
pendek, bahan katekese, buku panduan misa Minggu
Komunikasi, poster, banner. Semua bahan animasi ini akan
didistribusikan ke keuskupan-keuskupan pada bulan Maret
2016.
Hari Komunikasi Dunia, satu-satunya perayaan di seluruh
dunia yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II (“Inter
Mirifica”, 1963), dirayakan di banyak negara atas rekomendasi
dari para uskup dunia pada hari Minggu sebelum Pentakosta,
yang untuk tahun 2016 jatuh pada tanggal 8 Mei. (SA)

Katekese Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2016

Komsos KWI April 5, 2016


0 50 3 minutes read
Share
Facebook Twitter Google+ LinkedIn StumbleUpon
Kapan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2016?
Hari Minggu, tanggal 8 Mei 2016.
Mengapa Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2016 bercorak
istimewa?
Karena inilah tahun ke-50: Pesta Emas Hari Komunikasi Sosial
Sedunia dalam Gereja Katolik.
Manakah tema yang disarankan oleh Sri Paus Fransiskus?
Komunikasi dan Kerahiman: Perjumpaan yang Memerdekakan
Apakah keinginan Paus Fransiskus tentang tema ini?
Beliau mengundang seluruh Gereja dan mereka yang
berkehendak baik untuk merenungkan hubungan antara
komunikasi dan kerahiman pada Tahun Suci Kerahiman.
Hal apakah yang penting diperhatikan dalam perayaan
ini?
Gereja dalam perkataan dan perbuatannya harus
mengungkapkan belaskasih, kelembutan dan pengampunan
Allah bagi semua orang: komunikasi adalah kasih dalam sikap
terbuka dan berbagi.
Apakah tujuan komunikasi sosial dalam karya pastoral
Gereja?
Tujuannya adalah membawa kerahiman, menjamah orang dan
menyokongnya dalam perjalanan menuju kepenuhan hidup
dalam Yesus Kristus, utusan kerahiman Bapa.
Manakah sasaran utama perayaan Komunikasi Sosial
dalam Gereja?
Gereja harus membawa kehangatan dalam dunia, agar Kristus
semakin dikenal dan dikasihi, karena itulah panggilan iman
Kristiani melalui pengajaran dan kesaksian hidupnya.
Apakah manfaat komunikasi sosial?
Manfaat kuat dari komunikasi sosial adalah membangun
jembatan menuju perjumpaan yang memperkaya
masyarakat.Komunikasi harus membawa kebenaran,
perdamaian dan kerukunan hidup.
Di mana komunikasi terjadi?
Dalam dunia material dan dunia digital guna membangun
kembali hubungan yang retak, agar persekutuan terjalin di
tengah kejahatan dan kebencian.
Bagaimana hubungan kerahiman dan komunikasi?
Hubungannya terletak pada upaya menyembuhkan luka-luka
sosial dan memulihkan perdamaian dan kerukunan dalam
keluarga dan kelompok masyarakat. Kerahiman dapat
menciptakan bentuk wacana dan dialog baru.
Bagaimana dengan bahasa politik dan diplomatik?
Bahasanya harus memberikan dan menumbuhkan pengharapan,
tanpa mempersalahkan orang, karena mudah sekali
menyebarkan ketidakpercayaan, ketakutan dan kebencian.
Bahasanya harus mengutamakan proses rekonsiliasi yang
konstruktif bagi kesejahteraan bersama, karena “Berbahagialah
orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah” (Mt 5:7-9).
Bagaimana sikap para Pastor dalam komunikasi
pastoralnya?
Para Pastor tidak boleh menganggap dirinya superior, terutama
dalam hubungan dengan mereka yang “hilang”: berdosa dan
dianggap sebagai musuh, tetapi mewartakan kebenaran secara
peka untuk membebaskan para korban dan mengangkat yang
jatuh, karena “kebenaran memerdekakan” (Yoh 8:32).
Mengapa kebenaran akan memerdekakan?
Karena kebenaran menurut iman Kristiani adalah Yesus Kristus
sendiri, dan kerahiman-Nya adalah tolok ukur kita untuk
menilai dunia, terutama dalam hal ketidakadilan dan kejahatan.
Kristus diutus Bapa untuk mencari orang yang kehilangan
hubungan dengan Allah, yaitu orang-orang berdosa.
Bagaimana tugas utama dari Gereja dalam komunikasi
sosial?
Gereja harus berpegang teguh pada kebenaran dengan kasih,
sehingga perkataan dan tindakannya dapat menyentuh hati
manusia yang berdosa. Dengan demikian, secara ramah kita
dapat menghantar mereka kepada pertobatan dan kebebasan.
Di mana kita dapat belajar komunikasi berpengharapan?
Pengalaman hubungan dalam keluarga: orangtua mengasihi
anak-anaknya, karena mereka menginginkan yang terbaik bagi
anak-anaknya. Selalu mereka disambut dan diterima dengan
baik. Masyarakat juga harus menjadi sebuah rumah di semua
orang rasa diterima dan disambut.
Manakah syarat utama dalam komunikasi berkerahiman?
Syarat utama adalah mendegarkan, karena berkomunikasi
berarti berbagi. Dengan mendengarkan secara efektif, kita
memperoleh hal secara benar, dan dengan demikian
membangun kedekatan: berbagi persoalan, keraguan, berjalan
bersama serta bertukar anugerah demi kebaikan bersama.
Apakah sikap mendengarkan adalah mudah?
Sikap mendengarkan tidaklah mudah, karena menuntut
perhatian, pemahaman, penghargaan dan hormat, bahkan perlu
pengorbanan diri. Olehnya, kita mohon karunia mendengarkan
dan melakukannya dalam praktek hidup.
Manakah bentuk-bentuk baru dari komunikasi sosial di
jaman ini?
Surel, pesan teks, jejaring sosial dan chatting dalam dunia
digital. Semua ini adalah teknologi yang harus digunakan
dengan bijaksana dan penuh tanggungjawab bersesama.
Bagaimana dengan jejaring sosial?
Jejaring sosial dapat memperlancar hubungan dan memajukan
kebaikan masyarakat, tetapi juga dapat menghantar pada
polarisasi dan pemisahan dalam masyarakat, karena dunia
digital adalah lapangan publik.
Manakah harapan Sri Paus Fransiskus dalam hal
komunikasi di Tahun Yubileum?
Bahwa kita terbuka kepada dialog yang jujur dan bersemangat
untuk saling memahami dengan lebih baik. Tetapi jejaring
digital menuntut suatu tanggungjawab bersesama, yaitu
menghormati martabatnya; dengan arif membangun
masyarakat sehat dan terbuka untuk berbagi dalam kebenaran.
Bagaimana dengan komunikasi itu sendiri?
Komunikasi membuka cakrawala meluas dan itulah anugerah
Allah yang melibatkan tanggungjawab besar. Kekuatan
komunikasi terletak pada “kedekatan”, yang memuat
kepedulian, penghiburan, penyembuhan dan pertemanan dan
perayaan bersama.
Apakah makna dari komunikasi berkerahiman?
Maknanya, membantu menciptakan kedekatan yang sehat,
bebas dan bersaudara antara anak-anak Allah sebagai saudara-
saudari dalam keluarga umat manusia.
Mengapa Gereja Katolik selalu memakai istilah
“komunikasi sosial”?
Alasannya sederhana, yaitu bahwasanya pusat komunikasi
adalah manusia: manusialah yang membuat hubungan-
hubungan pribadi dan sosial, termasuk hubungan sosial melalui
jejaring sosial digital.
Bagaimana Gereja memandang jejaring sosial digital?
Gereja memandangnya sebagai anugerah Tuhan bagi
kemanusiaan: kita harus menggunakannya dengan bijaksana
dan penuh tanggungjawab dalam kebenaran, keadilan dan
perdamaian.
Bagaimana kita umat Katolik membangun komunikasi
sosial dalam masyarakat luas?
Kita umat Katolik ikut serta menggerakkan komunikasi sosial
yang merukunkan masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia Tahun


2017
May 17, 2017 Info Sepekan Seputar Gereja
RADIO SUARA WAJAR – Berikut ini adalah pesan Paus
Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke 51. Seluruh teks
ini diambil dari http://www.sesawi.net.
Pesan ini dikeluarkan para peringatan St. Frans de Sales,
pelindung komunikasi,24 Januari 2017.
“Janganlah takut, sebab Aku ini menyertai engkau.” (Yes
43: 5)
Mengkomunikasikan Harapan dan Kepercayaan pada
Masa Kini
Berkat kemajuan teknologi, akses ke media kini semakin
memungkinkan banyak orang bisa dengan mudah dan cepat
berbagi berita dan kemudian menyebarkannya kepada publik
secara massif. Berita-berita itu bisa saja berupa kabar baik atau
buruk; juga bisa berupa kabar benar atau kabar bohong.
Umat kristiani perdana sering mengidentikkan pikiran manusia
layaknya batu kilangan yang tiada hentinya menggiling; itu
terserah kepada pemilik batu kilangan apakah dia ingin
menggiling biji gandum berkualitas atau biji-bijian lain yang
tak berguna. Pikiran kita juga senantiasa ‘menggiling’, tetapi
terserah pada kita sendiri memilih bahan apa yang akan giling.
(Lihat: Surat Leontius dari Santo Johannes Kasianus).
Saya ingin menyampaikan pesan ini kepada mereka yang
karena pekerjaan profesionalnya atau karena relasi pribadinya
seperti batu kilangan tersebut, yang sehari-hari ‘mengolah’
informasi dengan tujuan bisa menyediakan aneka informasi
bagus sesuai keinginan pihak dengan siapa mereka menjalin
komunikasi.
Saya ingin memotivasi siapa pun agar senantiasa berperilaku
secara konstruktif dalam menyikapi cara-cara berkomunikasi
yang mengesampingkan segala prasangka terhadap orang lain
dan mendorong terciptanya adab perjumpaan, karena ini akan
membantu kita memandang dunia di sekitar apa adanya dan
penuh kepercayaan.
Saya meyakini bahwa kita memang sudah seharusnya memutus
mata rantai lingkaran setan kecemasan dan membendung spiral
ketakutan yang muncul karena terlalu fokus pada “berita-berita
buruk” (perang, terorisme, skandal, dan segala macam berita
tentang kegagalan manusia). Ini bukan perkara tentang
penyebaran informasi salah yang mengabaikan tragedi
penderitaan manusia, juga bukan tentang optimisme buta yang
naif terhadap skandal kejahatan.
Lebih dari itu, saya ingin mengajak kita semua berusaha
mengatasi ketidakpuasan dann sikap tarik diri yang makin
berkembang sehingga menimbulkan apatisme, ketakutan atau
gagasan bahwa kejahatan tidak ada batasnya. Apalagi, di
industri komunikasi, berita baik diyakini tidak punya nilai jual
sementara tragedi kemanusiaan dan misteri kejahatan malah
dengan mudah dikemas sebagai hiburan, maka di situ selalu
ada godaan yang membuat hati nurani tumpul atau terperosok
pada pesimisme.
Karenanya, saya ingin menyumbangkan upaya untuk
menemukan pola komunikasi terbuka dan kreatif yang tidak
berusaha mengagungkan kejahatan, melainkan fokus pada
solusi dan menginspirasi pendekatan positif dan
bertanggungjawab bagi pihak perima informasi. Saya
mengimbau semua orang agar memberi kepada manusia
dewasa ini inti cerita yang pada hakekatnya adalah “kabar
baik”.
Kabar baik
Hidup bukanlah semata-mata rangkaian susul-menyusul aneka
peristiwa yang begitu saja ‘telanjang’, melainkan merupakan
sebuah sejarah, sebuah jalinan cerita yang menunggu saat
untuk kemudian dikisahkan menggunakan lensa interpretasi
tertentu yang bisa menyeleksi dan mengumpulkan data paling
relevan.
Di dan pada dirinya sendiri, realitas itu tak punya satu makna
yang jelas. Semuanya tergantung pada cara bagaimana orang
melihat realitas tersebut, pada lensa mana yang dianggapnya
paling tepat. Kalau saja kita mengganti lensa pandang, maka
realitas itu dengan sendirinya juga akan berubah. Lalu,
bagaimana kita mesti mulai ‘membaca’ realitas dengan lensa
yang tepat pula?
Bagi kita, segenap umat kristiani, lensa tersebut adalah kabar
gembira, berawal dari Kabar Baik yang tak lain tak bukan
adalah Sang Kabar Baik itu sendiri: “Inilah Injil Yesus Kristus,
Anak Allah” (Mk 1: 1). Dengan rumusan kalimat itu, Santo
Markus mengawali penulisan Injilnya tidak dengan cara
mempertautkan kabar baik tentang Yesus Kristus, melainkan
menegaskan bahwa Kabar Baik itu tidak lain adalah Yesus
sendiri.
Benarlah, dengan membaca teks Injil Markus, kita jadi tahu
bahwa judul itu memang sesuai dengan isinya dan –lebih dari
semua hal— isinya pun juga berkisah tentang pribadi Yesus.
Kabar gembira –Yesus sendiri— itu baik, bukan karena tidak
ada kaitannya dengan penderitaan, melainkan menderita itu
sendiri hanyalah bagian kecil dari sebuah gambar yang lebih
besar. Hal ini dipandang sebagai bagian integral dari cinta
Yesus kepada Bapa-Nya dan kepada seluruh umat manusia.
Dalam Kristus, Tuhan telah menunjukkan solidaritas-Nya
dengan setiap kondisi manusia. Ia sendiri telah mengatakan
kepada kita bahwa kita tidak sendirian, karena kita memiliki
Bapa yang senantiasa peduli dengan anak-anak-Nya.
“Janganlah takut, sebab Aku ini menyertaimu.” (Yes 43: 5): ini
adalah kata-kata hiburan dari Tuhan yang telah merasuk ke
dalam sejarah umat manusia. Dalam diri Putera-Nya yang
terkasih, janji ilahi –“Aku senantiasa bersamamu” itu– telah
menyatu padu dengan semua kelemahan manusia, bahkan
sampai saat mati pun.
Dalam Kristus itu, bahkan kegelapan dan kematian menjadi
titik pertemuan antara Terang dan Hidup. Harapan muncul,
sebuah harapan yang merengkuh semua orang—terutama di
bagian paling persimpangan dimana kehidupan menghadapi
pahitnya kegagalan. Harapan ini tidak mengecewakan, karena
kasih Tuhan telah dicurahkan kepada hati kita (Roma 5: 5) dan
menjadikan hidup baru bersemi, sama seperti tumbuhan baru
yang muncul dari benih yang jatuh. Dipandang dari perspektif
ini, setiap tragedi baru yang terjadi di sejarah umat manusia
bisa menjadi wahana bagi munculnya kabar baik, sejauh kasih
itu menemukan jalan untuk mendekatkan dan membangkitkan
banyak hati yang simpati, wajah yang teguh dan tangan yang
siap membangun yang baru.
Keyakinan akan benih Kerajaan Allah
Guna mengantar para murid-Nya dan kerumunan orang akan
cara pandang Injil ini dan untuk menyediakan kepada mereka
lensa tepat, yang dibutuhkan untuk melihat dan merengkuh
kasih yang kadang mati dan bangkit kembali tersebut, maka
Yesus menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Sering kali
Yesus membandingkan Kerajaan Allah seumpama benih yang
memperlihatkan daya hidupnya manakala benih tersebut jatuh
ke tanah dan mati (Mk 4: 1-34).
Penggunaan gambaran dan metafor untuk menjelaskan kuasa
Kerajaan Allah yang tenang itu tidak mengurangi penting dan
urgensi pesan yang ingin disampaikan; lebih dari itu, inilah
cara penuh kasih yang bisa memberi ruang bagi para
pendengar sabda-Nya untuk secara bebas menerima dan
menghargai kuasa tersebut. Ini juga merupakan cara paling
efektif untuk mengungkapkan martabat agung Misteri Paska
dengan lebih menggunakan gambaran daripada konsep, untuk
mengkomunikasikan keindahan paradoksal akan hidup baru
dalam Kristus. Dalam kehidupan tersebut, kesulitan dan salib
tidak saling menghalangi, melainkan membawa keselamatan
Allah; kelemahan membuktikan diri lebih kuat dibanding
semua kekuatan manusiawi; kegagalan bisa menjadi awal bagi
pemenuhan akan segala sesuatu dalam kasih.
Ini adalah bagaimana harapan dalam Kerajaan Allah itu akan
menjadi matang dan semakin mendalam: ini adalah “Seperti
seseorang yang harus menyebarkan benih di tanah, kemudian
tidur di malam hari dan ketika bangun keesokan harinya, maka
tunas itu telah tumbuh dan berkembang.” (Mk 4: 26-27).
Kerajaan Allah sebenarnya telah hadir di tengah-tengah kita,
mirip sebuah benih yang tidak mencolok mata namun
kemudian akarnya tumbuh bersemi. Kepada mereka yang oleh
Roh Kudus mendapatkan pandangan yang jernih, akan
dimampukan melihat benih itu mekar dan bertumbuh. Mereka
tidak membiarkan dirinya terbuai dengan kegirangan akan
Kerajaan Allah karena semak belukar pun ikut bermunculan.

Cakrawala Roh
Harapan kita berdasarkan kabar baik yakni Yesus sendiri itu
telah membuat kita mengangkat pandangan dalam
merenungkan Tuhan saat perayaan liturgis Kenaikan.
Sekalipun Tuhan sekarang ini tampak makin jauh, namun
cakrawala harapan justru berkembang makin luas. Di dalam
Kristus, yang membawa kemanusiaan kita semakin ilahi, maka
setiap laki-laki dan perempuan sekarang bebas “masuk ke
dalam tempat kudus berkat darah Yesus, di jalan baru dan yang
hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri” (Ibr 10:
19-20). Oleh “kekuatan Roh Kudus”, kita menjadi saksi dan
“komunikator” akan kemanusiaan kita yang baru dan tertebus
“bahkan sampai ke ujung bumi” (Kis 1: 7-8).
Keyakinan akan benih Kerajaan Allah dan Misteri Paska itu
seharusnya juga membentuk cara kita berkomunikasi.
Kepercayaan ini memungkinkan kita mampu melaksanakan
pekerjaan kita –dalam segala cara berkomunikasi di zaman
modern ini—dengan keyakinan bahwa mungkinlah bisa
mengenali dan menyoroti hadirnya kabar baik di setiap cerita
dan pada wajah setiap orang.
Mereka yang dalam iman mempercayakan kepada bimbingan
Roh Kudus akan menyadari betapa Allah hadir dan bekerja di
setiap saat dalam hidup dan sejarah kita, dengan sabar
membawa kita kepada sejarah keselamatan. Harapan adalah
untaian benang dengan apa sejarah suci ini ditenun, dan sang
penenun itu tidak lain adalah Roh Kudus, Sang Penghibur.
Harapan merupakan kebajikan paling bersahaja, karena ia tetap
tersembunyi di relung kehidupan; namun harapan itu mirip
ragi yang mengolah semua adonan. Kita memeliharanya
dengan cara membaca Injil lagi dan lagi, “dicetak ulang” ke
banyak edisi dalam rupa hidup para kudus yang telah menjadi
simbol akan kasih Tuhan di dunia ini.
Sekarang ini pun, Roh Kudus masih terus menabur dalam diri
kita hasrat akan Kerajaan Allah, terima kasih kepada semua
orang yang bisa mengambil inspirasi dari Kabar Gembira di
tengah hiruk pikuknya peristiwa dramatik sekarang ini, karena
Roh Kudus senantiasa memancarkan cahaya seperti mercusuar
di tengah gelapnya dunia, mencurahkan sinar terangnya itu
sepanjang waktu dan membuka jalan baru menuju keyakinan
dan harapan senantiasa.
Dari Vatikan, 24 Januari 2017
FRANSISKUS

2018 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI


KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE - 52
24 Januari 2018
http://www.mirifica.net/2018/02/19/pesan-paus-fransiskus-
untuk-hari-komunikasi-ke-52-2018/

“Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu”


(Yoh 8:32)
Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian
Saudara dan Saudari yang terkasih,

KOMUNIKASI adalah bagian dari rencana Allah


bagi kita dan jalan utama untuk menjalin
persahabatan. Sebagai manusia kita diciptakan
seturut gambar dan rupa Sang Pencipta, dan
karenanya kita bisa mengungkapkan dan
membagi hal-hal yang benar, baik dan indah. Kita
mampu melukiskan pengalaman-pengalaman kita
sendiri serta tentang dunia sekitar kita, dengan
demikian menciptakan kenangan sejarah serta
pengertian tentang pelbagai peristiwa. Namun
apabila kita begitu saja menuruti hasrat pribadi
serta kebanggaan pada diri, maka kita dapat
merusak cara kita memanfaatkan kemampuan
berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak awal
sejarah, dalam dua kisah alkitabiah tentang Kain
dan Habel serta Menara Babel (bdk. Kej 4:4-16;
11:1-9). Kemampuan untuk memelintir
kebenaran merupakan fenomena yang melekat
pada kemanusiaan kita, baik pribadi maupun
masyarakat. Sebaliknya, manakala kita setia pada
rencana Allah, maka komunikasi akan menjadi
sarana efektif bagi pencarian kebenaran dan
kebaikan secara bertanggungjawab.

Saat ini, dalam dunia komunikasi serta sistem


digital yang sedemikian cepat berubah, kita
menyaksikan penyebaran dari apa yang dikenal
sebagai “berita bohong” (fake news). Kenyataan
ini mengundang kita berefleksi, dan itulah
sebabnya saya memutuskan untuk kembali
mengangkat pokok tentang kebenaran dari Pesan
Hari Komunikasi Sedunia para pendahulu saya,
sejak Paus Paulus VI. Pada tahun 1972 Paus
Paulus VI mengkat tema: Komunikasi Sosial demi
Pelayanan Kebenaran. Maksud saya adalah
memberikan dukungan pada komitmen kita
bersama untuk membendung penyebaran berita
bohong, serta mengangkat keluhuran martabat
jurnalisme dan tanggungjawab pribadi para
jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.

1. Apa yang “palsu” tentang Berita Palsu?

Wacana “berita palsu” telah menjadi objek diskusi


dan debat yang sengit. Umumnya berita palsu
mengacu pada penyebaran informasi sesat secara
daring (online) atau melalui media tradisional.
Berita palsu terkait dengan informasi palsu tanpa
berdasarkan data atau memutar balik data
dengan tujuan menipu dan mencurangi baik
pembaca maupun pemirsa atau pendengar.
Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, memengaruhi
keputusan-keputusan politik, dan melayani
kepentingan-kepentingan ekonomi.

Berita palsu itu bisa efektif, terutama karena


mampu mengelabui seolah-oleh berita yang benar
dan masuk akal. Kedua, berita palsu, namun
meyakinkan ini, amat cerdik serta mampu
menarik perhatian, dengan memunculkan hal-hal
stereotipe dan apa yang menjadi objek
keingintahuan umum, serta mengeksploitasi
emosi-emosi sesaat seperti kecemasan, rasa
terhina, kemarahan dan frustrasi. Kemampuan
untuk menyebarkan berita palsu semacam itu
sering kali ditopang oleh kemampuan
memanfaatkan, dengan manipulasi, pelbagai
jejaring sosial dan cara kerjanya. Cerita-cerita
yang tidak benar dapat menyebar begitu cepat,
sehingga bantahan-bantahan dari pihak
berwenang sekalipun gagal membendung dampak
negatif yang ditimbulkannya.

Kesulitan untuk membuka kedok dan


menyingkirkan berita palsu juga disebabkan oleh
kenyataan bahwa banyak orang berinteraksi
dalam ruang lingkup digital yang seragam, yang
“kedap” terhadap aneka sudut pandang dan
pendapat yang berbeda, sehingga informasi sesat
tumbuh subur di tengah tidak adanya informasi
tandingan dari sumber-sumber lain yang dapat
secara efektif menangkal prasangka dan
melahirkan dialog konstruktif. Akibatnya, berita
palsu itu menyeret orang menjadi kaki-tangan
untuk meneruskan penyebaran gagasan tak
berdasar dan bias. Tragedi dari informasi sesat
ialah pendiskreditan pihak-pihak lain,
menampilkan mereka sebagai musuh, dengan
tujuan menjadikan mereka sasaran kebencian dan
mengobarkan konflik. Berita bohong adalah wujud
dari sikap intoleran dan hipersensitif, yang hanya
akan mengarah kepada penyebaran arogansi dan
kebencian. Itulah capaian akhir dari kebohongan.

2. Bagaimana Kita Dapat Mengenali Berita


Palsu?

Kita semua tanpa kecuali bertanggungjawab


menangkal berita palsu. Ini bukan tugas
gampang, karena informasi sesat berakar pada
retorika menyesatkan yang dengan sengaja
dibuat sedemikian ringkas dan kadang-kadang
memanfaatkan mekanisme psikologis yang
mengelabui. Saat ini berbagai upaya yang patut
dipuji sedang dilakukan untuk menciptakan
program-program pendidikan yang bertujuan
membantu orang menafsirkan dan menilai
informasi yang disajikan media, dan mengajar
mereka untuk secara aktif berperan membuka
kedok kepalsuan, dan bukannya secara tidak
sengaja malah giat menyebarkan informasi sesat.
Kita patut menghargai aneka prakarsa
kelembagaan dan hukum yang bertujuan
mengembangkan regulasi untuk mengendalikan
fenomena tersebut, demikian juga upaya yang
sedang dilakukan pelbagai perusahaan teknologi
dan media untuk menemukan kriteria pembuktian
identitas pribadi yang tersembunyi di baik jutaan
profil digital.

Namun upaya mencegah dan mengidentifikasi


cara informasi sesat bekerja, juga memerlukan
proses disermen mendalam dan seksama. Kita
perlu membuka kedok dari apa yang dapat
disebut “taktik ular” yang dipakai oleh mereka
yang menyamarkan diri agar dapat menyerang
pada setiap waktu dan tempat. Inilah strategi
yang digunakan oleh “ular licik” dalam Kitab
Kejadian, yang pada awal umat manusia,
menciptakan berita bohong yang pertama. (bdk.
Kej 3:1-15). Itulah awal sejarah tragis dosa
manusia, dosa pembunuhan yang dilakukan
kakak-beradik yang pertama (bdk. Kej 4) dan dari
situ terus muncul kejahatan lain yang tak
terhitung banyaknya, yang melawan Tuhan,
sesama, masyarakat dan ciptaan. Strategi dari
“bapa segala dusta” yang cerdik ini (Yoh 8:44)
meniru bentuk rayuan licik dan jahat yang
merasuk ke dalam hati dengan argumen-argumen
palsu dan memikat.

Dalam kisah tentang dosa pertama, si penggoda


mendekati si perempuan, dengan berpura-pura
menjadi seorang sahabat yang peduli pada
kesejahteraannya. Ia menyampaikan sesuatu
yang hanya separuh benar: “Tentulah Allah
berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan
kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1).
Padahal yang benar adalah Tuhan tidak pernah
melarang Adam makan buah dari semua pohon,
tetapi hanya buah dari satu pohon saja: “Tetapi
pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang
jahat itu, janganlah kaumakan buahnya” (Kej
2:17). Perempuan itu membantah perkataan si
ular, namun membiarkan dirinya terperangkap
oleh hasutan si ular: “Tentang buah pohon yang
ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman:
Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti
kamu mati” (Kej 3:2). Jawaban perempuan itu
ditulis dengan istilah yang legalistik dan negatif;
setelah mendengarkan si penggoda dan
membiarkan dirinya terperdaya oleh fakta-fakta
menurut versi si ular, perempuan itu pun
terperdaya. Maka, ia menuruti apa yang
dikatakan si penggoda dengan yakin: “Sekali-kali
kamu tidak akan mati!” (Kej 3:4).

“Dekonstruksi” si penggoda kemudian tampil


dalam bentuk kebenaran: “Allah mengetahui
bahwa pada waktu kamu memakannya matamu
akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti
Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”
(Kej 3:5). Perintah Allah sebagai Bapa, yang
dimaksudkan untuk kebaikan mereka (manusia
pertama), diputar-balikkan oleh bujuk rayu si
musuh: “Perempuan itu melihat bahwa buah
pohon itu baik untuk dimakan dan sedap
kelihatannya” (Kej 3:6). Episode alkitabiah ini
mejelaskan suatu unsur hakiki dari refleksi kita,
yaitu tidak ada informasi sesat yang tidak
berbahaya; sebaliknya, mempercayai kepalsuan
dapat mendatangkan akibat-akibat yang sangat
buruk. Bahkan suatu penyimpangan yang
nampaknya kecil pun dapat menyebabkan akibat-
akibat berbahaya.

Penyebab semua ini adalah keserakahan kita.


Berita palsu sering kali menjadi viral, menyebar
dengan sangat cepat sehingga sulit dihentikan,
bukan karena dorongan untuk berbagi yang
memang mengilhami media sosial, melainkan
karena berita palsu itu merangsang keserakahan
yang tak pernah terpuaskan, yang dapat muncul
dengan begitu mudah dalam diri manusia. Tujuan
ekonomis dan manipulatif yang memacu informasi
sesat berakar pada kehausan akan kekuasaan,
hasrat untuk memiliki dan menikmati, yang pada
akhirnya menyebabkan korban penipuan yang
lebih tragis, yakni tipu-daya si jahat yang
bergerak dari satu kepalsuan ke kepalsuan
lainnya untuk mencabut kita dari kebebasan
batiniah kita. Itulah mengapa pendidikan tentang
kebenaran berarti mengajar orang untuk
melakukan disermen, mengevaluasi, dan
memahami hasrat dan kecenderungan kita yang
paling dalam, sebab jika tidak demikian maka kita
akan kehilangan wawasan tentang apa yang baik
dan menyerah pada setiap godaan.

3. “Kebenaran itu akan Memerdekakan


Kamu” (Yoh 8:32)

Pencemaran terus-menerus oleh bahasa bohong


dapat berakhir pada semakin gelapnya kehidupan
batin kita. Pengamatan Dostoevsky menjelaskan
hal itu: “Orang-orang yang menipu diri dan
mempercayai tipuannya sendiri akan sampai pada
suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi
mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di
sekitar mereka, dan dengan demikian mereka
kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka
sendiri dan terhadap orang lain. Dan ketika
mereka tidak lagi memiliki rasa hormat pada diri
mereka sendiri, mereka akan berhenti mencintai,
dan kemudian untuk menyibukkan diri dan
mengalihkan perhatian dari diri mereka yang
tanpa kasih, mereka mengumbar berbagai nafsu
dan kenikmatan badani, serta tenggelam dalam
ketamakan yang meyerupai binatang, dalam
kebiasaan untuk terus menerus berbohong
kepada sesama dan diri mereka sendiri”. (The
Brothers Karamazov, II, 2).
Lalu, bagaimana kita dapat mempertahankan diri
dari kebohongan? Penangkal paling jitu terhadap
virus kepalsuan adalah pemurnian oleh
kebenaran. Dalam Kekristenan, kebenaran bukan
melulu suatu realitas konseptual yang
berhubungan dengan bagaimana kita menilai
segala sesuatu, menentukan sesuatu benar atau
salah. Kebenaran itu tidak sekadar
mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi,
“menyingkap kenyataan”, sebagaimana
kebenaran diartikan dalam istilah Yunani kuno
yaitu aletheia (dari kata a-lethès, “tidak
tersembunyi”). Kebenaran mencakup keseluruhan
hidup kita. Dalam Alkitab, kebenaran
mengandung makna dukungan, soliditas dan
kepercayaan, seperti yang tersirat oleh akar kata
‘aman,’ asal-usul kata ‘amin’ dalam liturgi kita.
Kebenaran adalah sesuatu ke mana anda dapat
bersandar agar tidak jatuh. Dalam pengertian
relasional ini, Dialah satu-satunya yang dapat
sungguh-sungguh diandalkan dan dipercayai – Dia
yang bisa kita andalkan – adalah Tuhan yang
hidup. Oleh karena itu, Yesus dapat berkata:
“Akulah kebenaran” (Yoh 14:6). Kita menemukan
kembali kebenaran ketika kita mengalaminya di
dalam diri kita sendiri, dalam kesetiaan dan
kepercayaan kepada Dia yang mengasihi kita.
Inilah satu-satunya yang dapat membebaskan
kita: “Kebenaran itu akan memerdekakan kamu”
(Yoh 8:32).
Bebas dari kepalsuan dan mencari relasi,
merupakan dua unsur yang tidak boleh hilang dari
kata dan perbuatan kita, agar kata dan sikap kita
benar, otentik dan dapat dipercaya. Untuk
mengenal kebenaran, kita perlu mengenal segala
sesuatu yang mendorong terbentuknya
persekutuan dan yang memajukan kebaikan,
serta membedakannya dari apa pun yang
cenderung mengasingkan, memecah belah, dan
menentang. Karena itu, kebenaran sesungguhnya
tidak dapat dipahami, ketika kebenaran
dipaksakan dari luar sebagai sesuatu yang
impersonal. Kebenaran hanya dapat mengalir dari
relasi bebas di antara orang-orang dan dari saling
mendengarkan. Kita juga tidak akan pernah bisa
berhenti mencari kebenaran, selama kepalsuan
selalu bisa menyelinap masuk, bahkan ketika kita
menyatakan hal-hal yang benar. Argumen yang
tak dapat salah, sesungguhnya berlandas pada
fakta-fakta yang tak terbantahkan, namun jika
argumen itu digunakan untuk melukai orang lain
dan untuk mendiskreditkan orang itu di hadapan
orang lain, maka betapapun argumen itu
kelihatannya benar, argumen tersebut
sesungguhnya tidak mengungkap kebenaran. Kita
bisa mengenal kebenaran setiap pernyataan dari
buahnya: apakah pernyataan itu memicu
pertengkaran, menimbulkan perpecahan,
mendorong pengunduran diri; atau sebaliknya,
pernyataan itu mengembangkan refleksi yang
matang dan berlandas pada informasi benar yang
mengarah kepada dialog konstruktif dengan hasil-
hasil yang bermanfaat.

4. Perdamaian adalah Berita yang


Sebenarnya

Penangkal terbaik melawan kebohongan bukan


strategi, melainkan masyarakat: masyarakat yang
tidak serakah tetapi bersedia mendengarkan,
masyarakat yang berikhtiar melakukan dialog
tulus agar kebenaran dapat tersingkap:
masyarakat yang tertarik oleh kebaikan dan
bertanggung jawab atas cara bagaimana
memanfaatkan bahasa. Jika tanggung jawab
adalah jawaban terhadap penyebaran berita
bohong, maka tanggung jawab berat itu berada di
pundak orang-orang yang tugasnya memberikan
informasi, yaitu para wartawan, pengawal berita.
Di dunia sekarang ini, tugas mereka adalah
memberikan informasi bukan sekadar sebagai
suatu pekerjaan. Tugas itu adalah sebuah misi,
perutusan. Di tengah hiruk pikuk dan hingar-
bingar kesibukan menyampaikan berita pertama
serta tercepat, para jurnalis mesti ingat bahwa
intisari informasi bukanlah kecepatan
menyampaikan atau dampaknya pada para
audiens, melainkan orang perorangan.
Memberikan informasi kepada orang lain berarti
membentuk mereka; itu berarti ada hubungannya
dengan kehidupan orang lain. Itulah alasannya
mengapa menjamin keakuratan sumber dan
melindungi komunikasi adalah sarana riil untuk
memajukan kebaikan, membangkitkan
kepercayaan, dan membuka jalan menuju
persekutuan dan perdamaian.

Maka, saya ingin mengajak semua orang untuk


memajukan jurnalisme perdamaian. Jurnalisme
perdamaian tidak dimaksudkan sebagai
jurnalisme “pemanis rasa” yang menolak
mengakui adanya masalah-masalah serius atau
jurnalisme yang bernada sentimentalisme.
Sebaliknya, jurnalisme perdamaian adalah suatu
jurnalisme yang jujur dan menentang kepalsuan,
slogan-slogan retoris, dan pokok berita yang
sensasional. Sebuah jurnalisme yang diciptakan
oleh masyarakat untuk masyarakat, yang
melayani semua orang, terutama mereka – dan
mereka adalah mayoritas di tengah dunia kita –
mereka yang tidak bersuara. Sebuah jurnalisme
yang tidak terpusat pada breaking news (berita
sela) tetapi menelisik sebab-sebab yang
mendasari konflik, guna memajukan pemahaman
yang lebih mendalam dan memberi sumbangan
bagi jalan keluar dengan memulai suatu proses
yang baik. Sebuah jurnalisme yang berkomitmen
untuk menunjukkan beragam alternatif terhadap
meningkatnya keributan dan kekerasan verbal.

Untuk mencapai tujuan ini, seraya menimba ilham


dari untaian doa Fransiskan, kita sebagai pribadi
mesti berpaling kepada Sang Kebenaran:
Tuhan, jadikanlah kami alat damai-Mu.
Bantulah kami mengenali kejahatan yang
tersembunyi dalam suatu komunikasi yang tidak
membangun persekutuan.
Bantulah kami untuk membuang racun dari
berbagai penilaian kami.
Bantulah kami untuk berbicara tentang orang lain
sebagai saudara dan saudari kami.
Dikaulah yang setia dan dapat diandalkan;
semoga perkataan kami menjadi benih kebaikan
bagi dunia:
di mana ada teriakan, biarkanlah kami berlatih
mendengarkan;
di mana ada kebingungan, biarkanlah kami
mengilhami keselarasan;
di mana ada ketidakjelasan, biarkanlah kami
membawa kejelasan;
di mana ada pengucilan, biarkanlah kami
memberi solidaritas;
di mana ada kegemparan, biarkanlah kami
memakai ketenangan;
di mana ada kedangkalan, biarkanlah kami
mengajukan persoalan-persoalan nyata;
di mana ada prasangka, biarkanlah kami
membangkitkan kepercayaan;
di mana ada permusuhan, biarkanlah kami
membawa rasa hormat;
di mana ada kepalsuan, biarkanlah kami
membawa kebenaran.
Amin.

Sri Paus Fransiskus

(TEMA BICARA KPP: KELUARGA & MEDIA SOSIAL)

Keluarga Katolik Generasi Digital


 Lingkungan/Wilayah
- 21 Juni, 2015 - visibility 35

[TAMAN YASMIN] Seiring dengan berjalannya waktu,


masyarakat global terus-menerus mengikuti perkembangan
tekologi. Hal ini tentu mempengaruhi lifestyle serta mindset
setiap kalangan.
Banyak kalangan menanggapi kecanggihan teknologi dengan
memanfaatkannya secara positif. Walau demikian tidak
menandakan bahwa teknologi tidak dimanfaatkan oleh
beberapa pihak yang tak bertanggungjawab. Tak heran banyak
kasus kejahatan dengan motif dan metode beragam.
Selain itu, relasi dan kebersamaan dengan keluarga dan
lingkungan pun dapat menjadi terbatas karena dapat
menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, sehingga
waktu banyak tersita dengan urusan pribadi. Inilah yang
menjadi keistimewaan umat kristiani di zaman serba modern
ini. Kebersamaan dalam pewartaan injil serta penguatan iman
tidak pernah terlupakan. Salah satu upaya ini telah dilakukan
oleh Ketua Wilayah St. Hieronimus Pak Yoseph Martin
Dharmawan Tanudjaja dengan mengadakan sarasehan keluarga
dan mengundang seluruh umat Wilayah St. Hieronimus. Pada 9
Mei 2015 di kediaman rumah Pak Michael Indra W. Taman
Yasmin. Sarasehan keluarga bertemakan “Keluarga Katolik
Generasi Digital Gadget” dihadiri oleh 80 umat dan para ketua
lingkungan, Lingkungan St. Yohanes Pembaptis, Bapak
Kristianus Irwanwangsa, Ketua Lingkungan St. Petrus, Hilarius
Suwondo, Ketua Lingkungan Franciscus Xaverius, Ibu
Anastasia Herlina dan Ketua Lingkungan St. Catharina Bapak
Theodorus Tri Budi Luhur. Edukasi dari sarasehan ini sangat
bermanfaat bagi umat yang hadir dan juga untuk menjalin
hubungan antar umat di wilayah serta membangun
keharmonisan keluarga.
Acara dimulai pulul 16:00 WIB oleh Rd. Alfonsus Sutarno
sebagai fasilitator dari kegiatan ini. Romo segera menuju pada
pokok permasalahan mengenai norma penggunaan gadget-
aplikasi Injil, Kitab Suci, Puji Syukur ketika perayaan Ekaristi.
Menurut pandangan pribadi Romo Tarno, hal ini tidak
bertentangan bila gadget tersebut digunakan pada kegiatan
rohani yang bersifat personal dan non-formal. Sebisa mungkin
agar para Imam dan pemimpin kegiatan ibadah menghindari
penggunaan gadget dalam kegaitan ibadah. Menurutnya,
penggunaan gadget ini dapat dihindarii dengan cara
memantangkan semua persiapan pada kelengkapan material
pendukung ibadah.
Selain bertukar pikiran dengan sharing pengalaman, Romo
Tarno juga memaparkan beberapa data mengenai penggunaan
internet dan facebook di Indonesia. Meski bukan urutan
pertama, pengguna facebook di Indonesia sangat banyak
sehingga berada pada posisi atas negara-negara maju.
Dunia internet juga memberikan dampak positif dalam
pergaulan, bidang pendidikan, bisnis, advertisement product,
perkembangan informasi serta berita dunia entertainment
dalam maupun luar negeri. Hal ini membuka peluang bagi
setiap kalangan untuk memulai wirausaha tanpa memerlukan
modal tinggi. Kecanggihan teknologi membuat segala sesuatu
menjadi lebih praktis, mudah, singkat, cepat. Keuntungan
lainnya yaitu kita dapat mempelajari sosial-budaya negara lain,
kampanye, publikasi acara, mengekspresikan diri,
menghubungi rekan yang berada di luar kota/negeri, bertemu
dengan teman lama, mencari teman baru, membuat online
store.
Acara diakhiri dengan pengundian door prize dan santapan
malam yang telah disediakan panitia. Romo Tarno sangat
mendukung acara saresehan keluarga ini. Ia menyambut baik
antusias umat dan berharap agar kegaitan seperti ini tidak
sporadis dan berkelanjutan. Romo Tarno juga menyampaikan
pesan dari Bapa Paus agar penggunaan internet sebagai sarana
evangelisasi dapat bermanfaat untuk seluruh umat.

Anda mungkin juga menyukai