DISUSUN OLEH
KELOMPOK 9
NAMA :- ATMA WIJAYA RAJAGUKGUK (4193111069)
- DICKY SEPTIANUS MANIK (4193230024)
- EZRA YOLANDA SIREGAR (4193230014)
- FAUSTINA SARCHE GRATIA (4193250011)
- MIRANDA AGNES SANI HUTAGAOL (4193111077)
- OKTAVIA FRANSISKA SILALAHI (4193131057)
0
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Kesehatan dan karunia kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan
Critical Book Review ini tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Yakobus Ndona, S.Pd., M.Hum selaku dosen matakuliah Agama Katolik.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik, saran, dan usulan demi
perbaikan yang akan dibuat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
menambah ilmu ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Kelompok 9
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………....
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………..
3.2 Saran……………………………………………………………………………………
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Identitas Buku
Judul Buku : Falsafah Batak merestorasi jati diri, hubungan seks, sosial, budaya,
demokrasi, bisnis, dan melibas dosa, korupsi & mafia hukum
Penulis : Djapiter Tinambunan
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2010
ISBN : 978-979-278-053-6
2.2 Ringkasan Buku
Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan
konteks sosialnya. Keyakinan dan kepercayaan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh
manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai
kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak
selalu benar atau keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Kepercayaan
tradisional Pakpak hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Pakpak itu sendiri, namun
terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Pakpak. Kepercayaan tradisional ini
muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya
juga mempengaruhi bentuk kebudayaannya. Tendi dalam Kepercayaan Tradisional
Pakpak dalam bahasa Pakpak, tendi adalah jiwa, sukma, semangat, dan roh.
Menurut kepercayaan tradisional Pakpak, tendi merupakan kepribadian manusia
dan badannya merupakan pelindung jiwanya sehingga dapat bertindak bebas. Dipercayai
orang Pakpak tradisional bahwa tendi selain dapat memberikan kebahagiaan juga bisa
membawa kecelakaan. Tendi juga dapat sesaat meninggalkan badan, membuatnya
merana dan sebagainya. Diyakini oleh masyarakat tradisional Pakpak setiap manusia
memiliki tiga tendi yaitu tertua (si tuan), penengah (si penengah) dan bungsu (si
ampunampun). Ada beberapa ungkapan Pakpak mengenai tendi berhubungan dengan
manusia, antara lain:
nakan tendi, yaitu sajian makanan ketika orang mengucapkan saling selamat dan
bahagia.
4
mengidupi pertendin, yaitu mengucapkan selamat mengenai sukma, jiwa dan roh
seseorang.
nakan ari-ari tendi, yaitu jamuan makanan untuk menghormati tendi yang
diadakan bila seseorang sangat terkejut.
mengari-ari tendi, yaitu mengadakan jamuan makan dengan tujuan agar seseorang
yang baru meninggal jangan membawa roh keturunannya ke kuburan.
meraleng tendi, yaitu ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut karena
mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang terancam suatu
bahaya.
Dengan keadaan seperti ini, maka tendinya akan pergi meninggalkan raganya.
Untuk menjemput tendi yang pergi perlu diadakan ritus meraleng tendi. Biasanya
diadakan dengan membawa sesajen seperti: ayam merah atau ayam putih yang diberikan
kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sesajen tersebut dibawa ke tempat
pemakaman nenek moyang tersebut atau sesuai dengan petunjuk guru (atau dukun).
Meraleng tendi tidak dapat dilakukan sembarang harus oleh orang tertentu yang ahli
dalam bidang tersebut. Proses meraleng tendi dilakukan dengan doa (mantra) dan
peralatan khusus. Selain terhadap manusia, page atau padi juga dipercaya mempunyai
tendi, sebagai roh pelindung. Padi diyakini secara tradisional bisa menjadi banyak di
ladang berkat tendi atau rohnya.
Dari keyakinan itu muncul ungkapan Pakpak metendi pagena, berat mengenai
padinya, yang juga diterapkan kepada manusia, misalnya saat menggendong seorang
anak. Ketika kita menggendong anak atau mengangkat padi, pantang mengucapkan kata
embotong (berat) karena diyakini memiliki tendi. Padi yang tumpah dari tempatnya akan
segera dikumpulkan karena diyakini memiliki tendi. Menurut kisah orang-orang dahulu,
bila seseorang meninggal di ladang, terhadap keluarga yang ditinggal akan dikenakan
denda secara adat yang disebut penendi page, karena menurut keyakinan bahwa roh padi
akan pergi, maka dengan membayar denda penendi page roh padi itu akan kembali lagi.
Keyakinan bahwa padi memiliki tendi, tampak juga dalam masyarakat Pakpak
tradisional dalam ritus menanda tahun, yaitu ritus pada saat mengawali penanaman padi.
Dalam arti harafiah, ladang tidak boleh ditabur sebelum dikenali. Ritus ini biasanya
dilakukan oleh dua orang dengan mata tertutup (penanda tahun) membuat lubang-lubang
5
di tanah dan seorang lagi memasukkan padi yang telah dijadikan bibit. Ritus menanda
tahun dimaksudkan agar hasil panen melimpah dan terhindar dari segala jenis hama
penyebab gagal panen. Kepercayaan Pakpak pada Daya AdikodratiOrang Pakpak dahulu
percaya akan adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Diyakini bahwa alam raya
ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara Guru, Tunggung ni
Kuta, dan Beraspati ni Tanoh. Debata Guru atau Batara Guru diyakini menciptakan
segala yang ada di dunia ini (simenempa marang simenghanaken suberi si lot).
Kemudian Debata Guru atau Batara Guru menjadikan wakilnya sebagai penjaga
dan pelindung. Penjaga dan pelindung itu dalam masyarakat Pakpak tradisional berupa
roh-roh: Tunggung ni Kuta (roh tanah kampung): roh kampung, hantu-hantu atau roh
yang diduga mendiami kampung dan dengan siapa diminta pertambahan ternak.
Tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda:Lapihen: primbon, buku
dari kulit kayu, buku berisi mantra. Naring: wadah berisi ramuan untuk pelindung
kampung. Apabila suatu kampung mendapat ancaman, maka naring akan memberikan
pertanda suara gemuruh atau siulan agar masyarakat dapat mengantisipasi gangguan
tersebut. Pengulubalang: guna-guna yang terdiri dari beberapa ramuan yang intinya ialah
kepala manusia. Pengulubalang dapat memberikan bunyi (suara gemuruh) sebagai tanda
gangguan, bala, musuh, dan penyakit yang mengancam sebuah kuta.Sibiangsa: sejenis
guna-guna yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah
yang bertugas untuk mengusir penjahat yang datang. Beraspati ni Tanoh: roh pelindung
tanah, yang diserukan dengan menaruh sehelai sirih di kedua telapak tangan yang
bertelungkup.
Beraspati (dengan gambar Cicak) adalah roh pelindung yang menjaga tanah dan
untuk memohon panen yang bagus. Jika seseorang menebang pohon, bambu, atau
tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati ni Tanoh. Masyarakat
tradisional Pakpak juga percaya adanya roh yang baik maupun yang jahat, seperti:
Sembahen: dipandang sebagai kepala roh di dunia roh. Roh-roh yang berkedudukan lebih
tinggi, roh orang-orang yang sudah meninggal, roh nenek moyang, menurut dugaan
terutama tinggal dekat pohon-pohon yang tinggi atau tempat-tempat gelap serta sekali-
sekali mengambil bentuk ular, roh-roh pendiri kampung-kampung dan marga-marga.
Sumangan: hantu, roh orang meninggal, roh nenek moyang yang meninggal, dikenal
6
sebagai hantu yang baik. Begu: sukma seorang yang mati, hantu jahat yang bertujuan
mengambil nyawa, misalnya perempuan-perempuan yang hamil. Sukma dari sanak
saudara yang meninggal beberapa tahun kemudian.
Beberapa begu antara lain: begu sampar, begu kalibon, begu lae, begu mate mi lae,
begu panting, begu pengerompang. Dialog dengan Kepercayaan Tradisional
PakpakDalam Lapihen Simbadia (Kitab Suci) dan buku-buku liturgis bahasa Pakpak,
kata Tendi merupakan terjemahan dari kata ‘Roh’ dalam bahasa Indonesia.
Tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengkontekstualisasikan iman tersebut
agar dapat dihayati masyarakat setempat dengan sungguh-sungguh. Kepercayaan
tradisional Pakpak ini tentu sesuai dengan irama alamnya, kepadanya terikat kehidupan
dan ini dilihat memberi kehidupan serta jalan menuju keselamatan. Allah menjadi
manusia dalam diri Kristus supaya manusia dapat diilahikan. Inilah kiranya menjadi
prinsip kita. Karena itu, diharapkan Gereja mampu bersikap dialogis, menciptakan
keselarasan hidup orang Pakpak. Sehingga terwujudlah seratus persen Katolik, seratus
persen Pakpak.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam buku tersebut, masih ada penyimpangan budaya Pak pak terhadap agama, seperti
budaya Pakpak masih percaya dengan roh nenek moyang yang sudah meninggal atau
dikenal dengan Tendi. Proses meraleng tendi yang dilakukan dengan doa (mantra) dan
peralatan khusus, dengan membawa sesajen ke tempat pemakaman nenek moyang tersebut
atau sesuai dengan petunjuk guru (atau dukun). Penjaga dan pelindung dalam masyarakat
Pakpak tradisional berupa roh-roh: Tunggung ni Kuta (roh tanah kampung): roh kampung,
hantu-hantu atau roh yang diduga mendiami kampung dan dengan siapa diminta
pertambahan ternak. Tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda, seperti
Lapihen: primbon, buku dari kulit kayu, buku berisi mantra.
3.2 Saran
Untuk memahami materi tentang Dosa Dan Rekonsiliasi Budaya Pakpak, dapat digunakan
buku tersebut. Karena pada buku tersebut materi sudah lengkap, bahasa yang digunakan
pada buku mudah dimengerti oleh pembaca, dan kata kata yang digunakan pada buku adalah
kata kata sederhana sehingga pembaca tidak sulit memahami isi buku. Namun materi yang
dijabarkan dalam buku ini belum sepenuhnya merujuk ke topik pembahasan tetapi lebih
condong ke pembahasan umum. Sehingga pembaca dapat mengambil inti materi dalam buku
secara tersirat.