Anda di halaman 1dari 12

Genetika kanker ovarium merupakan konsep yang kompleks dan terus berkembang untuk

menghadirkan rintangan dalam klasifikasi, diagnosis, dan pengobatan di klinik. Ketidakstabilan genom
adalah salah satu hallmarks kanker ovarium. Pada HGSC yang merupakan subtipe kanker ovarium paling
sering muncul, TP53 bermutasi pada lebih dari 90% dari semua pasien. Selain itu terdapat mutasi pada
jalur perbaikan DNA, termasuk BRCA1 dan BRCA2, yang terjadi pada sekitar 50% dari semua pasien
HGSC yang mengarah pada pengembangan terapi inhibitor poli ADP ribosa polimerase (inhibitor PARP).

Pendahuluan

Kanker ovarium merupakan istilah umum yang digunakan untuk kanker yang melibatkan
ovarium serta berbagai jenis sel yang ada dalam kompartemen Müllerian. Kanker ovarium muncul dalam
subset kanker yang berbeda dengan variasi genomik yang luas (seperti mutasi TP53 somatik, mutasi
germline BRCA1/2, peningkatan copy number dalam BRAF, CCNE1, TERC, TERT, dan hilangnya copy
number RB1 dan/atau PTEN) seperti yang ditunjukkan pada database The Cancer Genome Atlas (TGCA)
(Gambar 1).
Kanker ovarium dapat diklasifikasikan ke dalam subkelas berdasarkan aspek patologis dan
genetik. Setiap subkelas memiliki perbedaan dalam perubahan genetik, patogenesis penyakit,
perkembangan tumor, dan luaran survival dalam merespon terapi.

Klasifikasi Kanker Ovarium

Kanker ovarium yang berasal dari sel epitel menyumbang lebih dari 85% dari semua tumor
ovarium jika dibandingkan dengan tumor yang berasal dari sel germinal, epidermoid, stroma, dan border
cells. Kanker ovarium epitelial merupakan jenis kanker ovarium yang paling banyak terjaid dan paling
mematikan. Biasanya kanker ovarium epitelial diklasifikasikan menjadi lima subtipe histologis yang
berbeda: high-grade serous (HGS), low-grade serous (LGS), endometrioid, clear cell dan mucinous (Tabel
1). Low-grade dan High-grade biasanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat atypia nuklear nya dan
tingkat mitosis. Tumor low-grade tumbuh lebih lambat, lebih stabil secara genetik dan tidak merespon
terhadap kemoterapi. Sedangkan tumor high-grade tumbuh lebih cepat dan tidak stabil secara gnomik.
HGSC merupakan subtipe kanker ovarium yang paling umum (lebih dari 70%) diikuti oleh karsinoma
endometrioid, karsinoma clear cell dan LGSC. Kanker ovarium campuran yang mewakili lebih dari satu
subtipe lebih jarang terjadi dan terhitung hanya kurang dari 1% dari semua kanker ovarium. Setiap
subtipe berperilaku sebagai penyakit diskrit dengan perbedaan dalam presentasi, perkembangan, profil
mutasi, hubungan dengan sindrom kanker herediter, dan respon terhadap kemoterapi (Tabel 1). 10-
Years Survival untuk setiap subtipe adalah mucinous (87%), endometrioid (59,7%), clear cell (58,7%),
hingga serous (24,4%).

Setiap subtipe memiliki pola ekspresi protein histologis, mutasi dan bahkan tanda epigenetik
yang berbeda. Klasifikasi lebih lanjut dibuat berdasarkan profil molekuler yang dapat memberikan
wawasan untuk meningkatkan pemilihan terapi. Studi terbaru menunjukkan stratifikasi lebih lanjut
terkait perbedaan genomik antarmasing-masing subtipe di mana 12 lokus yang berbeda berkontribusi
pada kerentanan serous (3q28, 4q32.3, 8q21.11, 10q24.33, 18q11.2, 22q12.1, 2q13, 8q24. 1 dan
12q24.31), subtipe mucinous (3q22.3 dan 9q31.1) dan endometrioid (5q12.3). Klasifikasi molekuler
membuat stratifikasi penyakit low grade ke dalam kelompok yang terpisah, sedangkan penyakit high-
grade memiliki pemisahan genetik yang lebih sedikit.

1. HGSC

HGSC bertanggung jawab terhadap sebagian besar diagnosis dan kematian kanker ovarium
dengan karakteristik histologis yaitu struktur papiler, mikropapiler, glandular, cribriform dan
trabecular yang melibatkan sel kolumnar dengan sitoplasma berwarna merah muda. HGSC
berbeda dari LGSC dan bukan merupakan neplasma yang berbeda bukan neoplasma yang sama
dengan tingkatan yang berbeda). HGSC dapat diidentifikasi dengan indeks mitosis tinggi dan
fitur inti tingkat tinggi (Gambar 2). HGSC dapat diidentifikasi dari keganasan lain seperti kanker
rahim dan kanker endometrioid melalui pewarnaan positif pada WT-1, p53, dan p16. Mayoritas
HGSC didiagnosis pada advance stage ketika reseksi tumor yang lengkap sulit dilakukan.
Meskipun sangat jarang, ada beberapa bukti yang mendukung perkembangan LGSC atau tumor
borderline menjadi HGSC.. Perkembangan ini dapat disebabkan oleh mutasi sekunder TP53 pada
tumor borderline atau LGSC.

HGSC dikaitkan dengan ketidakstabilan genom karena hampir semua (> 95%) HGSC memiliki
mutasi TP53 somatik dan lebih dari setengahnya memiliki defisiensi jalur perbaikan DNA
homolog yang terutama diwakili oleh defek pada BRCA1, BRCA2, atau protein lain yang terkait.
HGSC memiliki ketidakstabilan genomik paling banyak berdasarkan rasio perubahan copy
number dengan tingkat mutasi. Perubahan genetik lain yang telah diidentifikasi pada HGSC
antara lain amplifikasi cyclin E1 (CCNE1). Amplifikasi CCNE1 pada HGSC dikaitkan dengan
prognosis yang buruk dan resistensi platinum. Ketidakstabilan genom HGSC menyebabkan
inaktivasi gen supresor tumor melalui kerusakan gen. Hilangnya ekspresi PTEN dalam sel tumor
spesifik merupakan prediksi kelangsungan hidup pasien yang buruk pada kanker ovarium. Selain
itu terdapat juga beberapa perubahan pada HGSC seperti up-regulasi atau amplifikasi MYC di
~30% kasus, down-regulasi RBL2 di ~25% kasus, dan up-regulasi atau amplifikasi CCNE1 di ~20%
kasus.

2. LGSC
LGSC menyumbang sekitar 10% dari keseluruhan tumor serosa. LGSC lebih sering terjadi pada
pasien yang berusia lebih muda dengan usia rata-rata saat diagnosis 55,5 tahun dibandingkan
dengan pasien HGSC yang memiliki usia rata-rata 62,6 tahun. LGSC lebih sering didiagnosis pada
tahap awal, dengan keterlibatan ovarium bilateral, dan tanpa potensi invasif. Pasien dengan
tumor non-invasif memiliki 7-years survival yang secara signifikan lebih tinggi (95,3%)
dibandingkan dengan tumor invasif (66%). LGSC muncul dengan gambaran papiler yang luas dan
terdapat psammoma bodies, inti bulat hingga oval yang seragam, kromosom yang terdistrusi
secara merata, dan tingkat pembelahan sekitar 10 mitosis/LPB.
LGSC biasanya tumbuh lebih lambat dan memiliki lebih banyak mutasi pada KRAS, BRAF, dan
ERBB2, dan cenderung tidak memiliki mutasi TP53. Setiap mutasi gen merupakan signature dari
jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang diaktifkan. Aktivasi MAPK lebih sering
terjadi pada LGSC dibandingkan dengan HSGC dan berkorelasi dengan sensitivitas terhadap
terapi paclitaxel dan peningkatan 5-years-survival. Karena masih memiliki p53 yang fungsional,
LGSC memiliki genom yang lebih stabil dengan rearrangements, mutasi, dan heterogenitas
tumor yang lebih sedikit. Selain itu, karena jalur perbaikan DNA pada LGSC lebih kompeten,
maka LGSC tidak merespon kemoterapi lini pertama seperti pada HGSC. Pasien dengan operasi
debulking yang optimal dengan sisa tumor yang minimal merupakan prediktor terbaik untuk
survival. Keterlibatan regulasi MAPK dari siklus sel dianggap sangat terkait dengan
kemoresistensi LGSC, tetapi pada gilirannya memberikan subpopulasi potensial untuk
pengembangan terapi yang ditargetkan. Selumetinib, penghambat MEK1/2, menunjukkan
beberapa aktivitas dalam kasus LSGC rekuren dengan menghambat jalur MAPK.

LGSC dianggap sebagai tumor borderline yang terbentuk secara bertahap dari permukaan
ovarium. Tumor borderline adalah tumor epitel yang berperan sebagai perantara dari
kistadenoma jinak menjadi adenokarsinoma dengan gambaran histologis seperti atipia seluler
tanpa invasi stroma. Perkembangan LGSC dari tumor borderline diduga berasal dari rekurensi
tumor borderline yang tidak terdeteksi. Sebenarnya tumor borderline selanjutnya dapat
didiagnosis sebagai tumor serosa atau endometrioid, namun sebagian besar kasus tersebut
didiagnosis sebagai tumor serosa. Tumor borderline menyumbang ~ 15% dari semua diagnosis
kanker ovarium dengan persentase besar kasus yang didiagnosis pada tahap awal (~ 75%) dan
tingkat overall survival yang tinggi karena biasanya terdiagnosis pada usia dini (usia rata-rata ~
45 tahun) dan merupakan penyakit yang invasif minimal. Tumor borderline memiliki aktivasi
MAPK yang serupa dengan LGSC, tetapi memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada mutasi BRAF.
Mutasi BRAF lebih sering terjadi pada tumor stadium awal serta tumor stadium akhir yang tidak
kambuh pada pasien. Namun, ada kemungkinan banyak LGSC berkembang secara independen
dari tumor borderline.
3. Karsinoma Endometrioid
Tumor endometrioid menyumbang sekitar 10-20% dari semua kasus kanker ovarium. Secara
maksroskopik, karsinoma endometrioid memiliki permukaan luar yang halus dengan area kistik
yang solid di dalamnya, sementara secara mikroskopik memiliki ciri adanya sel proliferatif yang
menyerupai diferensiasi skuamosa atau endometrioid dengan fitur sel sekretori, ruang kistik
yang dilapisi oleh epitel musinosa tipe gastrointestinal dengan stratifikasi dan dapat membentuk
papila filiform dengan setidaknya dukungan stroma minimal. Tinjauan histologis menemukan
bahwa tumor endometrioid memiliki inti yang sedikit lebih besar dari cystadenoma; terdapat
aktivitas mitosis; sel goblet dan kadang-kadang terdapat sel Paneth (paling sering ditemukan di
usus kecil), tetapi tidak ada invasi stroma (Gambar 5). Tumor ovarium endometrioid secara
histologis mirip dengan neoplasma endometrium. Sekitar sepertiga dari semua kasus
endometrioid mengalami karsinoma endometrium tersinkronisasi atau hiperplasia
endometrium. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa tumor endometrioid diyakini
muncul dari sel-sel prekursor endometrium dan/atau endometriosis yang berubah,
kemungkinan dari aliran balik selama menstruasi yang berimplantasi ke epitel permukaan
ovarium.
5-Years Survival Rate untuk tumor endometrioid berkisar antara 40 dan 80%, sementara untuk
10-Years survival rate-nya sekitar 60%. Seperti pada tumor serosa, tumor endometrioid dapat
berupa high-grade dan low grade dengan pola pertumbuhan seperti pada tumor serosa. Tumor
endometrioid high-grade sangat mirip dengan tumor HGSC dalam hal ketidakstabilan genom
dan respons terhadap kemoterapi. Regimen pengobatan utama terdiri dari debulking bedah
diikuti dengan kemoterapi berbasis platinum.
Pada tumor endometrioid terdapat mutasi pada CTNNB1 dan PIK3CA, serta ARID1A (yang
membantu menghubungkan asal mereka dengan endometriosis). PTEN mengalami alterasi pada
~ 20% tumor endometrioid lebih jarang terjadi mutasi pada KRAS dan BRAF.
4. Kanker Musinosa
Kanker ovarium musinosa bersifat unilateral, bisa berukuran sangat besar (ukuran rata-rata 10
cm dan dapat berkisar hingga 48 cm), dan biasanya terdiagnosis pada early stage (sebagian
besar adalah stadium I atau II), bersifat invasif pada <10% dari semua kasus kanker musinosa.
Kanker musinus jarang terjadi bila dibandingkan dengan subtipe lain dengan laporan insiden
keseluruhan mulai dari 3 % - 12%. Pada kasus kanker musinosa, pasien dengan penyakit invasif
(FIGO Tahap III atau IV) memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dan kelangsungan hidup yang
lebih pendek dibandingkan pasien dengan penyakit awal (FIGO Tahap I atau II).
Secara mikroskopis terdapat musin intracytoplasmic, seringkali heterogen dan mengandung sel
seperti endoserviks atau usus dengan sel superfisial/foveolar dan pilorus lambung, sel
enterokromafin, sel argirofilik, dan sel Paneth. Penanda patologis sekunder seperti SATB2, CDX2,
dan PAX8 berpotensi membantu dalam mendiagnosis kanker musinosa.
Overall survival kanker ovarium musinosa tinggi karena sebagian besar kasus didiagnosis pada
tahap awal, namun apabila bersifat invasif maka akan memiliki hasil klinis yang lebih buruk dan
tingkat respons yang rendah terhadap kemoterapi karena tingginya ekspresi gen yang terlibat
dalam resistensi obat seperti transporter ABC. Penyakit musinosa sebagian besar diperkirakan
berasal dari saluran pencernaan, meskipun mekanisme molekuler penyakit ini masih belum
sepenuhnya dijelaskan. Mutasi KRAS, yang ditemukan pada subtipe kanker ovarium lainnya,
merupakan perubahan genetik paling umum yang ditemukan pada kanker musinosa, diikuti oleh
amplifikasi HER2, mutasi BRAF, TP53, dan CDKN2A.
5. Karsinoma clear cell
Ovarian clear cell carcinoma (CCC) menyumbang sekitar 5% dari semua pasien kanker ovarium di
Amerika Serikat; namun, lebih sering terjadi pada wanita Asia (~11%) daripada wanita Afrika-
Amerika (~3%) atau Kaukasia (~5%). CCC umumnya berukuran besar (dapat tumbuh lebih dari 15
cm), bersifat unilateral dengan ciri mikroskopis adanya arsitektur papiler, tubulokistik, dan padat
dengan sel hobnail yang mengandung sitoplasma jernih (Gambar 7). Dalam hal mekanisme
molekuler, CCC kompleks pada tingkat genom dan dapat memiliki mutasi pada ARID1A, PIK3CA,
KRAS, dan PTEN: ARID1A bermutasi pada ~50% dan PIK3CA bermutasi pada ~33% sampel tumor
pasien. Sebaliknya, CCC yang wild-type memiliki mutasi TP53 dan memiliki frekuensi mutasi
BRCA1 dan BRCA2 yang lebih rendah.

Secara klinis, CCC biasanya didiagnosis pada early stage; namun, kurang responsif terhadap
kemoterapi berbasis platinum lini pertama. Jika dibandingkan dengan penyakit serosa yang
sama stadiumnya, CCC stadium awal (I-II) memiliki overall survival yang lebih baik daripada
serosa, tetapi CCC stadium akhir (III-IV) memiliki prognosis yang lebih buruk daripada
adenokarsinoma serosa dan endometrioid. Selain itu, pada CCC ditandai dengan ekspresi
berlebih dari sitokin pro-inflamasi IL-6 yang dapat menjadi target terapi alternatif.

Patogenesis Kanker Ovarium

Kanker Ovarium epitelial muncul terutama dari epitel permukaan ovarium. Terdapat
dua hipotesis baru terkait patogenesis HGSC. Pada mekanisme pertama, perubahan genetik
terjadi pada epitel permukaan ovarium normal atau kista inklusi melalui high-grade pathway
tanpa kondisi histologi intermediate yang terlibat atau low-grade pathway yang mencakup
beberapa langkah jinak dan noninvasif (Gambar 8). Hipotesis pertama ini mengusulkan bahwa
sel epitel permukaan ovarium mengalami stres berulang melalui beberapa siklus ovulasi
sehingga menyebabkan inflamasi, kerusakan DNA, dan inisiasi tumorigenesis. Hipotesis ini
sebagian didukung oleh bukti bahwa penurunan risiko kanker ovarium berhubungan dengan
penggunaan kontrasepsi oral yang menghambat ovulasi secara lengkap. Bukti lain mendukung
korelasi antara jumlah siklus ovulasi seumur hidup dan peningkatan insiden kanker ovarium.
Demikian juga, kanker ovarium jarang terjadi pada primata lain yang memiliki siklus ovulasi
lebih sedikit daripada manusia. Godwin et al adalah beberapa peneliti pertama yang membuat
kultur epitel permukaan ovarium dari ovarium tikus dan manusia dan menggunakan model
ovulasi in vitro sebagai mekanisme untuk transformasi dan tumorigenesis. Inaktivasi p53 dan
Rb1 pada sel permukaan ovarium tikus juga menyebabkan transformasi tumorigenik.

Teori kedua menjelaskan bahwa prekursor kanker ovarium berkembang di fimbria dari
karsinoma intraepitel tuba serosa (STIC), sebelum metastasis ke ovarium. Karena sifat agresif
tumor HGSC dan adanya ketidakstabilan genomik awal, dihipotesiskan bahwa tumor ovarium
HGS merupakan lesi metastasis dari sel epitel tuba fallopi (Gambar 8). Untuk mengurangi risiko
kanker ovarium HGS pada wanita pembawa mutasi BRCA, ada baiknya menjalani salpingo-
ooforektomi bilateral (pengangkatan kedua ovarium bersama dengan saluran tuba) daripada
hanya ooforektomi (pengangkatan hanya ovarium). Inaktivasi BRCA, Tp53 atau Pten di Pax8
yang mengekspresikan sel sekretori tuba fallopi tikus menyebabkan perkembangan HGSC.
Perubahan genomik lain yang umum pada penyakit HGS seperti amplifikasi CCNE1 dan
perubahan jumlah salinan lainnya juga ditemukan pada lesi STIC dan mungkin merupakan
langkah awal dalam perkembangan kanker ovarium HGS. Namun, beberapa bukti ada untuk
menunjukkan evolusi klon independen yang menunjukkan sejumlah kecil lesi tuba fallopi
mungkin merupakan mikrometastasis dari karsinoma endometrioid uterus.
Imunohistokimia

1. Fiksasi Jaringan
Fiksasi jaringan dilakukan untuk mempertahankan struktur jaringan dan
mempertahankan antigenisitas (ketersediaan antigen/protein untuk dideteksi oleh
antibodi).
Jika menginginkan ekspresi antigen yang baik tetapi tidak terlalu memperdulikan
morfologi sel/jaringan maka dipilih metode snap-frozen dan acetone-fixed. Namun,
jika morfologi juga sangat penting selain aspek ekspresi antigen, maka digunakan
metode formalin-fixed and paraffin-embedded (FFPE).
2. Deparafinisasi dan Hidrasi
Deparafinisasi bertujuan untuk menghilangkan parafin yang meresap ke dalam
jaringan. Setelah deparafinisasi menggunakan xylene, xilena dihilangkan dengan
etanol 100%. Kemudian, slide dihidrasi dalam serangkaian alkohol bertingkat sampai
air digunakan.
Hidrasi bertujuan untuk mengembalikan air dalam jaringan biologis
3. Antigen-Retrieval
Antigen-retrieval dilakukan untuk meningkatkan ekspresi antigen sampel dengan
memecah ikatan silang antigen yang diinduksi formalin, dan mengekspos kembali
epitop pada antigen ke pengikatan antibodi.
Metode yang digunakan adalah metode pemanasan dan metode enzimatik. Heat-
induced epitope retrieval (HIER) merupakan metode yang paling sering digunakan.
Pada metode HIER, pemanasan slide dilakukan dalam buffer pada pH6 atau pH9
(seperti TBS dan citrate buffer) menggunakan microwave atau pressure cooker.
Pada metode enzimatik dapat menggunakan enzim proteolitik seperti pepsin atau
pronase untuk memecah ikatan silang dan mengekspos epitop yang perlu dilihat
oleh antibodi.
4. Blocking Endogenous
Blocking endogenous sebelum pewarnaan sangat penting dilakukan untuk
meminimalkan hasil pewarnaan positif palsu. Positif palsu ini dapat disebabkan oleh
adanya peroksidase endogenous yang dapat bereaksi dengan H2O2 (yang diberikan
bersamaan dengan DAB) menimbulkan warna coklat.
Blok Enzim Endogen
Blocking ini dilakukan terhadap enzim endogen dalam jaringan yang dapat
mengaktifkan substrat yang mungkin digunakan kemudian dalam memvisualisasikan
pengikatan antibodi (misalnya peroksidase endogen dan alkaline phosphatase).
Hidrogen peroksida (H2O2) biasanya digunakan untuk memblokir aktivitas
peroksidase endogen. Konsentrasi H2O2 yang sering digunakan adalah 3%. Blocking
dapat dilakukan saat:
(1) setelah rehidrasi ke air dan sebelum antigen retrieval,
(2) setelah antigen-retrieval dan sebelum inkubasi antibodi primer,
(3) setelah inkubasi antibodi primer, atau
(4) setelah inkubasi antibodi sekunder terbiotinilasi.
Untuk antigen tertentu seperti CD4 dan CD8, pemblokiran hidrogen peroksida
memiliki efek merugikan pada epitop, sehingga mengurangi intensitas pewarnaan
antibodi. Oleh karena itu, pemblokiran setelah antibodi primer atau inkubasi
antibodi sekunder lebih direkomendasikan.
Protein Blocking
Protein blocking dilakukan untuk meminimalisir protein non-spesifik berikatan
dengan antibodi yang ada dalam jaringan. Dapat menggunakan normal serum,
protein solution seperti BSA dan commercial mix

Anda mungkin juga menyukai