Pembelajaran
Berbasis Projek
2 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Beranda
Pembelajaran Berbasis Projek
Surat Kabar Guru Belajar edisi ke-40 ini mengangkat topik “Pembelajaran
Berbasis Projek”. Topik ini merupakan turunan dari tema besar Temu Pendidik
Nusantara X, yaitu “Tumbuh Berkelanjutan: Perubahan Pendidikan
Melampaui Ruang Kelas”.
Dari Redaksi
Tulisan Pengantar
#TumbuhBerkelanjutan #BelajarDiTPNX
Dapatkan informasi selengkapnya
tentang Temu Pendidik Nusantara X
melalui laman :
tpn.gurubelajar.org
@temupendidiknusantara
6 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Dari Redaksi
Mari sejenak mengawali edisi ini dengan merefleksikan pengalaman kita sebagai
guru sekaligus pengalaman belajar murid-murid kita di sekolah.
Apakah murid kita belajar karena rasa ingin tahu terhadap suatu hal atau sekadar
karena perintah guru atau rutinitas bersekolah? Apakah murid kita belajar untuk
menemukan solusi atas suatu persoalan nyata di sekitarnya ataukah hanya demi
mencari nilai untuk lulus ulangan atau ujian? Apakah murid kita telah belajar
dengan mengeksplorasi dan menginvestigasi berbagai hal secara mendalam atau
sekadar menghafal materi yang disajikan guru atau buku?
cari.
Murid kita telah lama dibiasakan menelan mentah-mentah suapan mata pelajaran
dari guru. Setiap pagi, murid datang ke sekolah dengan kepala kosong, bukan
dengan segudang pertanyaan atau masalah yang akan mereka selesaikan. Di
ruang kelas, murid pun hanya duduk diam mendengar ceramah dari satu guru ke
guru lain, dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lain. Ini terjadi tidak sehari
atau dua hari, tapi bertahun-tahun!
Dengan pola pendidikan semacam itu, wajar bukan bila murid-murid kita banyak
bersekolah tapi sedikit belajar? Banyak menghafal materi, tapi tak paham untuk
apa semua yang mereka pelajari. Sampai pada akhirnya, ketika lulus pun mereka
bingung, apa sesungguhnya yang telah mereka pelajari dan berguna untuk masa
depan mereka?
Kini sudah saatnya kita berubah. Sudah waktunya kita beralih menerapkan
pembelajaran yang memungkinkan murid-murid benar-benar berpikir dan belajar
secara mendalam dan paham mengenai apa, mengapa, bagaimana, dan untuk
apa mereka belajar.
Membaca Surat Kabar Guru Belajar edisi ke-40 ini adalah awal yang tepat untuk
memulai perubahan itu. Dalam edisi ini, Anda dapat menemukan sejumlah praktik
baik mengenai pembelajaran berbasis projek yang dapat Anda jadikan referensi
atau inspirasi, lalu buatlah praktik baik Anda sendiri sesuai dengan kebutuhan kelas
Anda masing-masing.
Tulisan Pengantar
Pembelajaran Berbasis
Projek, Belajar yang
Berguna
Kebanyakan dari kita jarang memikirkan pertanyaan tersebut. Karena sering kali
kita menganggap pengetahuan sebagai makanan siap saji. Tanpa perlu banyak
diolah, pengetahuan bisa disajikan dan dicerna murid. Tidak heran, penyajiannya
pun persis menyajikan makanan siap saji, penyampaian materi melalui ceramah
satu arah.
Bukik Setiawan
Ternyata, Anda mengalami pengalaman yang berbeda di
Ketua Yayasan Guru Belajar restoran yang satu ini. Alih-alih mendapatkan sajian yang
siap santap, Anda justru dihadapkan dengan sajian berupa
Follow @bukik
garam, rempah, tepung, ikan, dan bahan mentah lainnya.
Anda
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 9
Anda datang dalam kondisi lapar dan siap makan, kok justru mendapat sajian
bahan mentah.
Kira-kira apa respons Anda menghadapi sajian bahan mentah tersebut? Pilih salah
satu respons berikut ini: Protes, pergi, diam, atau mencoba memasak bahan
mentah tersebut. Dugaan saya, sih, kebanyakan dari kita akan memilih respons
protes atau pergi. Kita protes mempertanyakan apa gunanya koki dan juru masak
kalau pengunjung disajikan bahan mentah. Kita pergi karena apa gunanya kita
tetap berada di restoran tersebut.
Proses serupa sebenarnya terjadi juga pada murid-murid kita di kelas ketika
mendapatkan sajian “bahan mentah” pengetahuan. Pada awalnya mungkin murid
kita tertarik dengan garam, rempah, tepung, ikan dan bahan mentah lainnya yang
baru pertama mereka lihat. Tapi lama-kelamaan, mereka akan mempertanyakan,
buat apa bahan mentah tersebut, terutama ketika mereka masuk di jenjang
pendidikan menengah. Seringkali mereka tidak pergi semata karena butuh ijazah
untuk melamar kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Sekali lagi, pembelajaran tekstual berarti mencekoki murid dengan bahan mentah.
Pembelajaran berbasis projek, menyajikan menu belajar yang beragam dengan
menggunakan bahan mentah yang mau diajarkan.
Tidak bisa langsung sempurna, mulai dulu saja, refleksi dan perbaiki. Jadi alih-alih
diam dalam keraguan, mulai saja dulu melakukan pembelajaran berbasis projek.
Berubahlah. Berusahalah berubah hingga kita benar-benar bisa menjalankan
perubahan tersebut. Tidak harus sempurna. Lakukan, refleksi, dan perbaiki secara
berkala. Niscaya kualitas pembelajaran berbasis projek yang kita lakukan terus
meningkat.
Tidak bisa guru seorang diri, berkolaborasi antarguru, orang tua dan tenaga
kependidikan. Perubahan pembelajaran kontekstual akan terasa berat bila
ditanggung guru secara individual. Kolaborasi dalam komunitas belajar menjadi
kunci agar beban perubahan bisa diatasi bersama. Merancang, membagikan, dan
merefleksikan praktik perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran
secara kolaboratif. Jangankan pembelajaran, makanan yang disajikan di restoran
pun hasil kolaborasi banyak pihak.secara
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 11
Guru bukan pelaksana teknis kurikulum yang hanya menjalankan instruksi dari
“pusat”. Guru adalah pelaksana kreatif kurikulum yang menghubungkan tuntutan
kurikulum dengan kondisi murid dan satuan pendidikan. Mari jadi guru merdeka
belajar yang berkreasi menyajikan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Saya merasa tersentil dengan apa yang mereka katakan. Muncul berbagai
pertanyaan dalam benak saya: Apakah saya membuat murid-murid merasa
terbebani dengan projek? Apakah projek yang saya berikan sia-sia saja karena
ternyata tidak memberikan manfaat bagi mereka?
Langkah awal yang saya lakukan adalah menjelaskan konsep projek kepada murid,
yaitu melakukan penelitian kecil tentang masalah apa yang ada di lingkungan
sekitar sekolah. Murid saya bagi menjadi kelompok kecil untuk melakukan
pengamatan lingkungan sekolah, mencari ide inovasi dan kreatif untuk
memecahkan masalah lingkungan sekolah.
Hari pengumpulan produk hasil pembelajaran berbasis projek pun tiba. Semua
kelompok antusias untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka dan laporan
penelitian yang mereka buat selama 2 minggu.
Saya terkejut melihat hasil penelitian mereka. Kelompok 1 menampilkan alat untuk
mengukur kesuburan tanah yang terbuat dari pipa pralon bekas, lampu bekas, dan
kabel bekas. Cara kerjanya sederhana. Begini. Ambil sampel tanah di kebun
sekolah. Kemudian alat tersebut ditancapkan di atas tanah. Kalau lampunya
menyala terang maka tanah tersebut subur. Semakin redup nyala lampunya maka
semakin tidak subur tanahnya.
14 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Kelompok 2 membuat sebuah akuarium sederhana dari wadah plastik bekas yang
diberi lampu bekas dan ikan hias kecil. Sungguh menarik. Kelompok lain memberi
tanggapan dan saran. Hal ini membuat produk yang mereka hasilkan bermanfaat
dalam jangka panjang. Murid juga menjadi kritis dalam berpikir dan berinovasi
dalam mengerjakan projek.
Setelah presentasi produk dilakukan, saatnya pameran karya yang rutin dilakukan
di sekolah saya setahun 2 kali, yaitu setiap akhir semester saat acara penerimaan
rapor semester tiba. Pameran karya di sekolah saya dihadiri oleh wali murid semua
jenjang dan semua murid.
Pengunjung bisa berkeliling melihat hasil projek yang sudah dilakukan selama 1
semester dan bisa bertanya tentang detail karya murid dan manfaatnya. Jadi,
seperti simulasi kecil untuk menguji kemampuan public speaking murid sekaligus
pemahaman konsep dan inovasi yang mereka tuangkan dalam projek tersebut.
Tanggapan dari pengunjung pameran karya beragam. Beberapa wali murid takjub
dan mengapresiasi penelitian yang dilakukan dan berharap ke depannya ada
inovasi yang lebih menarik. Beberapa rekan guru merasa terinspirasi dan ingin
melakukan hal serupa dengan tema penelitian yang lebih mendalam sesuai minat
murid per kelas.
“
“Projek (dalam pembelajaran) harus
berdampak kepada murid untuk
mengembangkan kemampuan
berpikir dan kreativitas mereka
di masa depan.”
Bagaimana cara saya membuat mereka bisa menyadari permasalahan yang terjadi
di sekitarnya? Apa yang harus saya lakukan untuk memfasilitasi keingintahuan
mereka? Apa cara tepat yang bisa saya terapkan untuk menarik keingintahuan
mereka akan suatu permasalahan yang bisa jadi berhubungan dekat dengan
kehidupan sehari-hari mereka? Apakah mereka akan paham ataukah justru
kesulitan dengan metode pembelajaran dan pengajaran yang saya terapkan?
Bagaimana membuat mereka terlibat secara aktif, senang, dan paham dengan
pembelajaran tersebut?
Ternyata mereka memiliki ide, pendapat, dan ketertarikan yang beragam. Saya
kesulitan untuk menggiring mereka kepada satu topik yang ingin mereka bahas
bersama-sama. Hal ini terjadi pada murid kelas 6 yang beranggotakan 4 orang
dengan minat yang bervariasi.
18 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Kondisi tersebut membuat saya harus mencari strategi pengajaran yang efektif
untuk membantu mereka dalam memahami topik permasalahan, membangun
pertanyaan berdasarkan masalah yang ada di sekitar, dan melakukan
perencanaan penyelidikan.
Dalam proses pembelajaran projek ini, saya mengikuti alur siklus inkuiri untuk
menjawab kondisi-kondisi yang saya hadapi dalam membimbing dan
memfasilitasi murid agar lebih mandiri dan konstruktif selama mengerjakan
projek mereka. Tentunya tidak sedikit tantangan yang harus saya lewati agar
murid saya memahami tujuan dan target pelajarannya. projek
Selain itu, hal yang paling mendasar, seperti membuat jadwal dan rencana target
penyelesaian projek, juga merupakan salah satu permasalah yang saya hadapi
bersama murid dan partner pembimbing karena situasi yang saat itu hybrid dan
perbedaan jadwal belajar dan mengajar.
Agar dapat lebih fokus, terarah, dan bermakna kepada pemecahan masalah, saya
membimbing mereka untuk dapat membuat pertanyaan inkuiri terkait isu yang
mereka ambil dengan cara mengaitkan 8 kunci konsep pemahaman dengan isu
tersebut.
20 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Keren sekali! Mengubah barang yang dianggap tak berguna menjadi sebuah
produk yang bisa dimanfaatkan.
Ada tiga macam projek riset yang menjadi pilihan murid, yaitu riset
menggambar, mewarnai, dan membuat cerita.
Dari pilihan riset tersebut, murid-murid memiliki produk riset yang beragam. Ada
poster, kaos, background photo booth, dan buku cerita bergambar.
Meski pilihan riset dan produknya bervariasi, semuanya memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengampanyekan gerakan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Sasarannya adalah seluruh warga Sekolah Islam Umar Harun.
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 25
Setiap murid berkesempatan melakukan uji coba riset berulang kali tanpa
melupakan refleksi.
Sedangkan untuk murid yang memilih riset membuat cerita, tema ceritanya
seputar menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Setelah melewati serangkaian
uji coba, dilanjutkan dengan presentasi hasil ujicoba dan refleksinya.
Melalui rangkaian dan tahapan belajar riset, murid-murid lebih peka terhadap
kebersihan diri dan lingkungan. Mereka bersemangat mengingatkan orang tua,
teman, bahkan guru yang belum menjaga kebersihan.
"
26 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Duh, senangnya hati ini. Anak seusia mereka bisa berkontribusi dalam
menyelesaikan permasalah di lingkungannya dan mengajak orang lain
melakukan perubahan.
Saya merasa bahwa pembelajaran berbasis projek sangat efektif dan berdampak.
Murid terlibat langsung dalam setiap proses, diajak berempati terhadap
lingkungan dengan mengidentifikasi dan memahami permasalahan yang ada,
lalu menentukan solusi. Sejak dini murid sudah terbiasa menyelesaikan
permasalahan.
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 27
Sejak pertama masuk, saya menilai murid Kelas IX SMP Negeri 5 Kintap memiliki
keinginan kuat untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan
orang-orang di sekitarnya. Mereka terpukau ketika saya kali memperkenalkan diri
saya dengan bahasa inggris yang menurut mereka sangat fasih. Mereka ingin fasih
berbahasa Inggris, tetapi kemampuan yang mereka miliki sangat minim karena
kegiatan belajar yang tidak rutin dan ketiadaan guru yang membersamai mereka
berbahasa Inggris.
Saya tergerak untuk mengakomodasi keinginan mereka. Pada tahap awal, saya
berharap murid dapat menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi dengan
orang lain.
Untuk mencapai hal itu, saya mempersiapkan beberapa
contoh pidato pendek berisi pesan moral yang baik;
mendiskusikan tema-tema yang murid sukai; berlatih
pidato di depan teman sekelas, di kelas-kelas lain, juga di
depan komite dan orang tua murid saat rapat komite, serta
Penulis
Wah, murid yang mendengar mulai tertarik. Mereka semakin termotivasi saat
melihat contoh-contoh orang yang berpidato dalam bahasa Inggris. Ternyata,
banyak sekali hal-hal menarik yang bisa dilakukan bila seseorang terampil
berbahasa Inggris.
Memang, banyak kesalahan yang mereka lakukan. Wajar. Hal ini menjadi tahap
awal yang menggembirakan karena sudah ada keinginan untuk mencoba.
Beberapa murid yang sudah mulai fasih berpidato, berkeliling ke kelas lainnya
untuk tampil dan memberikan motivasi kepada teman di luar kelas mereka.
30 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Beberapa murid kelas yang lain merasa takjub dengan kemampuan teman
mereka. Tentu saja rasa takjub tersebut memotivasi murid untuk semakin
mengasah kemampuan mereka.
Setelah itu, saya memanfaatkan aset lingkungan sekolah yang dikelilingi beberapa
perusahaan besar yang juga mengadakan kelas bahasa Inggris. Kami berbagi ilmu.
Saat mereka belajar bahasa Inggris, murid saya yang telah fasih berpidato tampil di
kelas bahasa Inggris yang diadakan oleh perusahaan tersebut.
Hal itu sangat membanggakan kami‒guru dan orang tua murid. Di kelas tersebut,
murid saya berkomunikasi dalam bahasa Inggris, berbagi pengalaman belajar
bahasa Inggris, dan belajar mengungkapkan pendapat kepada orang yang lebih
tua dengan cara yang santun.
Ketiga, murid dapat menjalin komunikasi dengan orang yang lebih dewasa di
lingkungan perusahaan sekitar sekolah. Hal tersebut sangat penting untuk
memupuk kepercayaan diri murid dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih
dewasa dengan cara yang santun.
“
“Murid terbiasa berbagi cerita tentang
tantangan-tantangan yang mereka
hadapi dalam berlatih bahasa Inggris.
Mereka bercerita bagaimana
mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
hal pengucapan, kosakata, dan tata
bahasa Inggris dengan orang-orang di
sekitarnya.”
— Evelyn Simanjuntak —
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 33
Praktik Baik Pembelajaran
Topik Umum
Saya berharap, ketika terbiasa menggunakan ragam bahasa Jawa di sekolah dan di
lingkungan masyarakat, mereka dapat melestarikan bahasa ibu serta tidak malu
lagi karena dibilang udik atau kampungan.
Saya membuat kelompok. Satu kelas saya bagi menjadi 4 kelompok. setiap
kelompok terdiri dari 7 atau 8 murid. Tujuan saya adalah mereka dapat mencari,
menulis, serta menggunakan bahasa ibu dalam praktik berbicara sebagai wujud
murid yang memiliki karakter dan sopan santun beretika dalam pergaulan atau
bermasyarakat.
Dalam setiap kelompok terdapat murid yang sama sekali tidak dapat
menggunakan bahasa ibu. Salah satunya Sheysha.
Sheysha maju dengan muka pucat pasi. Dia terbata-bata dalam berucap sehingga
sempat menimbulkan keriuhan di kelas.
Saya ingin semua murid dapat berdialog menggunakan bahasa Jawa, setidaknya
bahasa ngoko, termasuk Sheysha. Saya berusaha semaksimal mungkin agar setiap
murid mampu menggunakan bahasa Jawa walaupun secara minimal. Setidaknya
mereka mengerti, syukur-syukur dapat berdialog dalam wadah drama tradisional
berbahasa jawa.
Selain Sheysha, ada Diandro, yang walaupun dapat menggunakan bahasa Jawa,
tetapi masih ragu-ragu dalam mengucapkannya karena takut salah. Konsentrasi
yang lemah membuatnya lamban dalam melakukan praktik tersebut. Bahkan, dia
sering tersenyum sambil berkata atau berperan dalam memainkan salah satu
tokoh drama tersebut.
Sheysha, menurut guru lainnya, memiliki rasa kepercayaan dirinya yang lemah
dibandingkan dengan teman-temannya. Apabila ada kendala, dia malu bertanya
kepada teman maupun guru mapelnya.
Tentu saja menangani kedua murid ini memiliki tantangan tersendiri. Oleh
karenanya, saya terus berupaya untuk mencari ide-ide kreatif agar mereka terlibat
dalam proses pembelajaran.
Saya mulai dengan pendekatan personal kepada Sheysha dan Diandro. Saya
menyempatkan diri mengajak mereka berdiskusi tentang kebiasaan yang mereka
lakukan saat berada di rumah serta menanyakan apa yang mereka senangi saat
pulang dari sekolah.
Untuk mengetahui informasi lebih banyak, saya berbicara dengan orang tua
mereka dan berdiskusi dengan wali kelas serta guru BK yang menanganinya.
Saya beralih ke Diandro yang belum bisa menguasai dirinya sendiri untuk lebih
percaya diri tampil di depan teman-temannya. Akhirnya saya memberikan
kesempatan untuk tampil berikutnya agar mempersiapkan dengan sempurna dan
mengurangi rasa groginya.
Beberapa kelompok sudah menampilkan dramanya. Ada yang hafal dialognya, ada
pula yang setengah-setengah sehingga membuat gelak tawa di ruang kelas.
36 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Melihat murid antusias dengan praktik drama tersebut, saya menyiapkan 2 jam
pelajaran untuk melakukan penilaian praktik tersebut.
Ketika jam pelajaran hampir berakhir, saya bertanya, apakah mereka senang
dengan praktik drama itu. Mereka menjawab dengan jawaban yang: senang
dengan kegiatan praktik drama tradisional.
Setelah berjalan 2 minggu, semua murid terbiasa tampil di depan kelas dan
berdialog menggunakan bahasa Jawa dengan baik. Murid yang awalnya kurang
percaya diri dan tidak antusias menjadi lebih tertantang dalam menggunakan
bahasa ibu.
Sheysha, murid yang awalnya tidak bisa menggunakan bahasa Jawa, kini rajin
bertanya kosakata bahasa Jawa. Bahkan, mencobanya saat kegiatan di sekolah dan
dengan keluarganya. Sejak saat itu, jika saya atau temannya bertanya, Sheysha
bisa menjawab dengan beberapa kata, bahkan kalimat dalam bahasa Jawa.
Mendampingi murid yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang
berbeda serta kurang memiliki rasa kepercayaan memberi pelajaran yang sangat
berharga bagi saya. Pertama, seorang guru harus tetap positive thinking kepada
muridnya. Tidak boleh berputus asa. Apalagi mengambil kesimpulan bahwa murid
susah diatur.
Kedua, melalui kegiatan praktik berbicara dalam drama tradisional Jawa, banyak
hal yang dapat murid pelajari. Di antaranya, murid tanpa terasa belajar kosakata
baru dari temannya, cara berkomunikasi, belajar menyimak, dan menghargai
teman yang sedang berbicara. Ternyata, belajar dari teman sebaya juga lingkungan
keluarga sangat berpengaruh.
Ketiga, ketika kita memberi kepercayaan, murid akan merasa dibutuhkan dan
bertanggung jawab dengan sepenuhnya melaksanakan kegiatan belajar. Ketika
mengalami kegagalan atau ada masalah dalam pembelajaran, kita harus banyak
belajar memahami karakter murid serta menerapkan pembelajaran yang menarik
agar murid merasa tertarik, bahkan antusias saat kegiatan pembelajaran.
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 37
— Antin Triswanti —
38 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Pengalaman belajar uji makanan sering kulewatkan karena keterbatasan alat dan
bahan di laboratorium IPA. Indikator tidak tersedia. Tentu saja bukan pilihan bijak
jika membebankannya kepada murid. Namun, kerinduan terbesarku sebagai
seorang guru adalah menghadirkan kelas yang tidak sekadar menyenangkan,
tetapi juga memberi pengalaman belajar bermakna yang memantik growth
mindset dan proses berpikir kritis pada murid.
Follow @erlina__siahaan
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 39
Aku mendapat pencerahan ketika menceritakan keresahanku tersebut kepada
seorang rekan guru—kakak seniorku lebih tepatnya—Kak Imelda Sianipar. Aku
kemudian mengaitkan kebutuhan belajar muridku dan apa yang ada di sekitar
rumah yang dengan sangat mudah ditemukan murid.
Mengapa Betadine? Iodine adalah bahan yang dijadikan sebagai indikator bahan
makanan yang mengandung karbohidrat. Betadine yang menjadi obat luka dapat
diadopsi sebagai pengganti iodine.
Meski ini penemuan konsep, aku justru lebih menekankan pembelajaran yang
bermakna yang melibatkan murid. Tidak semata menyelesaikan tagihan tujuan
pembelajaran, tetapi juga menajamkan cipta, menghaluskan rasa, menguatkan
karsa, dan membuat mereka bangga pada hasil pemikiran dan kreativitasnya.
Selain itu, juga menguatkan bonding antar-sesama murid dan denganku.
Ah, Kurikulum Merdeka memang sangat memberi ruang itu lewat pemangkasan
materi yang tidak tanggung-tanggung.
Sungguh, aku melihat ketika muridku yang semula acuh tak acuh di kelas, yang
menatap dengan kosong, yang kurang peduli dengan kelas, yang sepertinya
merindukan tempat tidurnya, hari itu mereka tampak bernyawa di kelasku.
Bahkan, muridku yang masih tergagap-gagap membaca, berani menyampaikan
pertanyaannya meski dengan malu-malu. “Gula, telur, dan tahu tidak mengalami
perubahan warna, Bu. Apakah artinya tidak mengandung karbohidrat?”
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 41
Aku mengelus punggungnya, memberi penguatan dan berbisik, “Kamu keren,
Sayang.”
Hal yang kupelajari hari itu, selain harus kreatif dalam menciptakan ruang kelas
yang mampu mengakomodasi kebutuhan belajar setiap murid, guru juga harus
mampu menjadikan pelajaran itu dalam daily circle, bukan sesuatu yang jauh dari
keseharian. Pembelajaran kontekstual tentu akan menyisakan pengalaman
bermakna yang jauh lebih dalam dan bermakna.
Murid tidak butuh guru hebat, tetapi mereka butuh guru yang mengamongi tanpa
tedeng aling-aling.
Apa bedanya? Saat pembelajaran secara daring, wali murid banyak membantu
dalam mendampingi belajar. Sedangkan saat belajar di sekolah, murid-murid
belajar mandiri, tanpa pendampingan wali murid. Tentu menjadi tanggung jawab
dan tantangan yang lumayan besar bagi guru kelas. Saya ingat betul, betapa
stresnya saya pada minggu pertama sekolah. Saya merasa perlu lebih banyak
belajar untuk menyesuaikan diri menjadi guru kelas 1 SD.
Kondisi murid sebelum dan sesudah pandemi juga sangat berbeda. Mayoritas
murid sudah akrab dengan gawai, berbeda dengan sebelum adanya pandemi. Apa
akibatnya? Banyak perilaku, perkataan, dan tingkah yang dipengaruhi apa yang
mereka saksikan melalui gawai.
Sebenarnya hal ini bukan masalah. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika
jumlah anggota kelompok timpang. Ada yang bergerombol penuh, ada yang
sedikit. Bahkan, ada yang tidak mendapatkan teman.
Dalam kondisi ini, guru PAI merasa perlu membangun komunikasi untuk
mengatur komposisi kelompok. Ternyata, setelah adanya komunikasi, ada murid
yang merasa ditolak oleh temannya. Teman yang diinginkan untuk belajar bersama
tidak mau. Lalu murid ini emosi dan meluapkannya dengan menangis. Sambil
menangis, di lari ke luar gerbang dan bersembunyi di tempat jualan kelapa muda.
Dua bangunan dari sekolah kami ada tukang jualan kelapa muda.
Kondisi ini membuat rencana belajar PAI menjadi kacau. Beruntungnya di kelas
satu ada guru pendamping. Guru PAI bisa melanjutkan proses belajar. Guru
pendamping membujuk murid yang lari itu untuk kembali ke kelas dan mengikuti
proses belajar.
Sebagai wali kelas, saya mendapatkan laporan tentang dinamika yang terjadi di
kelas saat itu.
"Saya tidak tenang, Ustazah. Hati saya sakit ditolak ingin belajar sama dia," tutur
salah satu anak.
Yang saya lakukan saat itu adalah menenangkan murid-murid terlebih dahulu
sehingga suasana belajar menjadi lebih kondusif. Selanjutnya, saya berencana
untuk membicarakan kejadian ini keesokan harinya. Saya fokus menyelesaikan
bagaimana bersikap terlebih dahulu karena menyangkut keamanan jika terus
berulang keluar gerbang sekolah. Tentang pilihan diksi dan kalimat, bisa di lain
waktu dan dijadikan rangkaian projek pembelajaran setelah masalah pertama
selesai. Sejauh yang saya dengar masih aman, meskipun terdengar kurang pas
untuk murid kelas 1 SD.
Satu per satu menceritakan kronologi kejadian, saling memberikan koreksi, dan
menguatkan cerita. Persis seperti laporan yang saya terima dari guru PAI dan guru
pendamping kelas.
Keberanian mereka untuk menceritakan kronologi secara jujur layak untuk diberi
apresiasi.
"Anak-anak, terima kasih, ya. Kalian mau menceritakan dengan jujur dan jelas.
Ustazah mengerti dan paham cerita kalian. Tepuk tangan dulu, yuk, buat kita
semua!" ajak saya.
Setelah semua dalam kondisi nyaman, perasaan tenang, saya kembali mengajukan
pertanyaan.
"Menurut kalian, berantem dengan teman lalu nangis dan lari keluar gerbang itu
baik apa tidak?"
"Karena tidak aman. Bagaimana kalau ketabrak saat keluar gerbang? Juga bikin
belajar jadi tidak nyaman kalau pada berantem," jawab mereka saling menimpali.
"Nah, betul. Itu kalian tahu. Lalu … apa, ya, yang harus kita lakukan agar tidak
terjadi lagi?"
"Kita perbarui kesepakatan kelas kita saja, Ustazah," jawab salah satu murid yang
disetujui oleh murid lain.
Lalu, hasil diskusi kami menghasilkan satu poin untuk ditambahkan dalam
kesepakatan kelas, yaitu tidak akan lari keluar gerbang sekolah jika berantem atau
kecewa dengan teman. Jika melanggar, konsekuensinya akan mendapatkan
catatan dari wali kelas tentang perilaku yang tidak sesuai dengan kesepakatan
bersama.
Satu jam pembelajaran projek menghasilkan solusi yang disepakati bersama untuk
menjadi pijakan berperilaku di kelas.
Sebagai wali kelas, saya senang dan bangga bisa memandu anak-anak untuk
melihat permasalahan secara utuh lalu merumuskan solusi bersama. Solusinya
sederhana karena memang yang merumuskan murid-murid kelas 1 SD. Bisa
merumuskan solusi dengan tenang dan menyepakatinya bersama adalah
pencapaian yang luar biasa untuk mereka.
Lalu, apa tugas saya sebagai guru? Saya membantu mengawasi dan mengontrol
pelaksanaan kesepakatan yang sudah mereka rumuskan. Proses belajar ini tidak
selesai hanya dengan merumuskan kesepakatan. Hal yang menjadi inti dari
pembelajarannya adalah bagaimana mematuhi kesepakatan yang sudah disetujui
bersama.
Pelajaran yang saya dapatkan dalam setiap proses belajar bersama murid adalah
pentingnya memberikan ruang kepada mereka untuk menyampaikan.
Mendengarkan dengan sepenuh hati, sepenuh tubuh. Bukan untuk menjawab
atau menyanggah.
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 47
Membiasakan murid untuk berani menyampaikan adalah langkah awal
membangun regulasi diri mereka, yang tentu saja membangunnya tidak instan.
Perlu dikenalkan sejak dini. Caranya bagaimana? Dengan selalu memberi
kesempatan kepada mereka untuk terlibat. Merumuskan kesepakatan kelas
bersama merupakan salah satu contoh melibatkan murid. Mereka belajar untuk
melihat permasalahan secara menyeluruh, merumuskan solusi, melakukan uji coba
terhadap solusi yang disepakati, dan merefleksikan pelaksanaannya.
48 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Belasan tahun saya mengajar, ada banyak hal yang membuat saya begitu terpukau
dengan dunia tersebut. Salah satunya adalah bagaimana kita “menertibkan” (baca:
mengajarkan berlaku tertib) murid. Peraturan adalah sarana yang dipandang
efektif dan paling sederhana untuk mencapai tujuan tersebut. Maka tak
mengherankan ketika masuk ke sebuah kelas di suatu sekolah, saya menemukan
ada 36 butir peraturan berikut konsekuensi. Jidat saya berkerut, dan tentu saja
bengong setelahnya.
Namun, akhirnya saya merasa geli setelah sejenak menenangkan diri dan mencoba
berpikir jernih. Bukan bermaksud menertawakan. Bagi saya semakin banyak
peraturan bagi murid, berarti semakin lucu diri kita ini.
Misalnya begini, di kelas kita bikin peraturan dengan lima belas poin larangan.
Suatu ketika ada murid yang melakukan sebuah tindakan tidak patut (indispliner)
yang belum ter-cover dalam peraturan yang dibuat, apakah murid tersebut
dinyatakan melanggar peraturan? Peraturan mana yang dilanggar? Kan tidak ada
ada dalam poin‐poin peraturan yang dibuat. Apakah
kemudian kita akan menambahkan poin baru?
Itu berarti kita tidak antisipatif.
Penulis
Itu yang pertama. Kedua, bagaimana membuat sebuah peraturan yang bisa
melatih keterampilan berpikir murid. Kebanyakan peraturan dibuat dalam kalimat
yang tegas. Maksudnya tidak untuk ditafsirkan. Tidak ada kesempatan melatih
murid berpikir.
Beruntung saya menemukan jawabannya. Tidak usah bikin peraturan! Setiap awal
tahun pelajaran, saat kali pertama masuk kelas, saya ajak murid-murid
menyebutkan peraturan di kelas. Saya tulis semua usulan mereka. Setelah tidak
ada lagi yang memberi pendapat, saya bacakan draft peraturan yang mereka
usulkan.
Surat Kabar Guru Belajar | Pembelajaran Berbasis Projek 51
“Wow, ternyata banyak, ya,” komentar saya.
Lalu saya kasih contoh perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, tapi belum ada
peraturan yang melarangnya.
Saya sebutkan lagi banyak contoh perbuatan yang belum ada aturannya.
Pada akhirnya saya katakan, “Kalian boleh melakukan apa saja asal tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain.”
Sudah, cukup itu saja. Pendek, simpel, jelas, dan antisipatif. Di samping itu juga
tidak membuat murid takut. Justru mereka merasa aman dan nyaman. Kan boleh
melakukan apa saja.
murid saya minta untuk menilai apakah perbuatannya merugikan atau tidak.
Merugikan siapa? Apa kerugiannya? Harusnya bagaimana? Terus, apa yang akan
dilakukan selanjutnya?
Misalnya ada murid yang berkata dengan suara yang keras. Murid tersebut tidak
langsung saya tegur, tetapi saya nyatakan apa yang saya lihat atau dengar. Saya
akan katakan begini, “Pak Suhud dengar kamu tadi berkata keras. Apakah benar
seperti itu?”
Murid tidak disalahkan, tapi dimintai konfirmasi. Saya cukup mengatakan faktanya
saja dulu. Setelah itu barulah saya sampaikan apa yang saya rasakan. “Pak Suhud
kecewa dan tidak suka kamu berteriak ketika berbicara.”
Pada saat inilah saya punya kesempatan untuk mengajak dia berpikir dan
menyadari perbuatan dan akibatnya, terutama bagi orang lain. Biasanya akibat
sebuah perbuatan diibaratkan bola salju yang menggelinding. Artinya, tidak hanya
merugikan satu orang saja, tetapi banyak orang yang dirugikan.
Jadi, sebenarnya bukan tanpa aturan, tapi peraturan yang dibuat sangat cair
sehingga apa pun perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan dapat dikategorikan
sebagai sesuatu yang merugikan dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,
murid belajar berempati. Tindakannya bisa saja merugikan orang lain. Dirugikan itu
tidak enak, lo.
— Suhud Rois —
54 Surat Kabar Guru Belajar | Edisi ke-40 Tahun ke-8
Profil
Guru Merdeka Belajar
“Awalnya saya tidak merasakan keresahan dalam menjalani profesi guru. Datang
pagi, sampaikan materi pelajaran, ajak murid ulangan, kasih soal, dan begitu
seterusnya hingga jam pulang sekolah. Pola ini terulang terus selama
bertahun-tahun. Kemudian, saya mulai resah saat merasa ada yang perlu
diperbaiki dalam cara saya mengajar. Sebab, ternyata murid saya tidak benar-benar
paham atas pembelajaran yang saya berikan. Sejak itulah saya mulai belajar,
mencari teman dalam komunitas, dan berupaya berkolaborasi.
Pengalaman masa lalu yang tidak akan saya ulang adalah memaksa murid belajar
dengan cara saya sebagai guru, bukan melihat ketertarikan dan kemampuan
murid.”
“Sangat luar biasa. Saya justru belajar banyak hal dari murid saya. Saya tidak
tertekan dengan target. Murid pun menikmati petualangan belajar bersama saya.”
“Jangan pernah takut keluar dari zona nyaman karena zona nyaman tak selalu
aman. Merdekakan diri sebagai guru untuk bisa memerdekakan murid dari
penjajahan belajar.”
MAU
KAUS
INI?
TELAH HADIR!
Dapatkan Info
Pembelian Kaos
#TumbuhBerkelanjutan
melalui:
@temupendidiknusantara
@gurubelajaresensial