Anda di halaman 1dari 3

Rangkul Dia, Perempuan yang Membuka Jilbabnya

Setiap kali seorang perempuan berjilbab memutuskan membukanya, saya selalu ingin merangkul
dan menepuk bahunya. Saya yakin itu adalah keputusan yang berat bagi kebanyakan orang. Saya
tidak selalu seperti ini. Ada suatu waktu, meski hanya sekali, saya bertingkah menyebalkan. Saya
mengomentari keputusan seorang kawan yang berjilbab, lalu membukanya.

“What’s wrong with you?” tanya saya. Sinis, sok berbahasa Inggris pula.

Perempuan itu dengan rambut lurus sepunggung hitam kemilau tertunduk malu. Kemungkinan besar
saya bukan satu-satunya orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu. Hanya selisih beberapa hari
kemudian ia pun kembali berjilbab. Mungkin tak kuat menghadapi orang-orang resek seperti saya.

Entah kenapa saya menanyakan hal tersebut kepadanya, yang sebetulnya langsung saya sesali di
saat yang sama saya melakukannya. Tapi di kepala saya ketika itu, orang yang sudah berjilbab
seharusnya teguh di jalannya. Berjilbab adalah sebuah keputusan besar, dimana begitu seseorang
sudah memilihnya pantang untuk surut dan berubah pikiran. Itu nilai-nilai yang ternyata saya adopsi
dari keluarga dan lingkungan saya di masa itu, setelah tahun 1998.

Ketika itu sudah cukup banyak perempuan memilih berjilbab. Berbeda dengan era 1979-1989 saat
Orde Baru sedang digdaya, saat pemakaian jilbab kerap dilarang di berbagai sekolah terutama
sekolah negeri. Pilihan untuk berjilbab ini biasanya dirayakan oleh lingkungan sekitarnya dengan
memberikan ucapan selamat. Selamat atas keberanian berhijrah. Termin hijrah kerap digunakan di
lingkungan Muslim untuk menyebutkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kata hijrah ini mengacu
pada sejarah Islam yaitu perpindahan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin dari kota Mekkah
dimana mereka kerap mengalami ancaman dan kekerasan dari kaum kafir ke kota Madinah. Termin
hijrah kepada perempuan yang memutuskan berjilbab lebih terasa relevan terutama karena
perempuan yang berjilbab mengalami tekanan dari lingkungan sekitarnya, bahkan sempat ada isu
santer ada perempuan berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar.

Tradisi memberikan selamat kepada perempuan yang berjilbab itu terus berlanjut pada era 1990-an
hingga 2000-an meski jilbab bukan lagi barang langka. Pada saat itu memang telah terjadi
penguatan kelompok Islam di kampus dan SMA melalui biro kerohanian Islam. Anjuran—bahkan
peringatan—terus menerus disuarakan agar perempuan segera mengenakan jilbab yang diyakini
merupakan kewajiban. Peringatan yang sering bernada ancaman meski sanksinya konon baru akan
diberikan di akhirat nanti. Pernah misalnya di suatu acara keruhanian Islam di kampus saya, seorang
laki-laki pembicara bertutur seperti ini.

“Ada seorang muslimah yang sangat taat dan memiliki akhlak yang sangat baik. Semua keluarga dan
orang yang mengenalnya bersaksi demikian. Lalu belum lama ini ia wafat. Saat baru dua hari
dimakamkan, baru terungkap kuburannya ternyata salah lokasi karena kekeliruan pengelola
pemakaman. Alhasil terpaksa makamnya yang masih basah itu dibongkar kembali. Namun tak
diduga terjadi kejadian yang mengejutkan yaitu bagian kepala jenazahnya berlumuran darah.
Ternyata muslimah yang sangat taat dan berakhlak karimah tadi melakukan satu-satunya dosa. Satu-
satunya! Kalian tahu apa itu? “ Si pembicara terdiam sejenak untuk memberikan efek dramatis.

“Ia tidak berjilbab,” demkian si pembicara menutup kisahnya.

“Ada pertanyaan? “ Ia kemudian bertanya, hampir terdengar menantang.


Seluruh ruangan aula hening. Saya ingin angkat tangan, sayang batal. Saya hanya gatal kepingin
bertanya, bagaimana jika dia sebetulnya melakukan suatu dosa besar yang hanya dia dan Allah yang
tahu dan itu tidak ada hubungannya dengan jilbab? Pertanyaan itu kemudian tertelan begitu saja.

Cerita-cerita seputar sanksi bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab hadir dan menyebar,
menjadi teror mental yang menghantui perempuan. Seluruh hukuman siap menunggu perempuan
tak berjilbab, mulai dari memiliki kepala seperti onta berpunuh dua, digantung dengan api neraka,
digantung dengan rantai api neraka (secara spesifik dibedakan), digantung sampai ubun-ubun,
digantung bagian lidahnya (ya begitu banyak hukuman digantung), memakan badannya sendiri,
memotong anggota badannya sendiri, mengunyah isi perut sendiri.

Masih belum cukup? Ya tentunya perempuan-perempuan itu akan kekal abadi di dalam neraka.
Sehelai rambut perempuan yang terlihat oleh lelaki bukan mahram dan dilakukan dengan sengaja
maka akan mendapatkan balasan masuk neraka selama 70 ribu tahun, dimana satu hari di akhirat
sama dengan 1000 tahun di dunia. Luar biasa azab yang akan ditimpakan kepada perempuan tak
berjilbab, yang bahayanya seolah lebih besar daripada seluruh koruptor bersatu menyelewengkan
uang rakyat atau diktator yang melakukan pembunuhan massal.

Selain tekanan mental dengan ancaman neraka, ‘tekanan’ dalam bentuk yang manis juga ada.
Bentuknya biasanya adalah keyakinan yang terus menerus ditanamkan bahwa perempuan serta
merta akan menjadi lebih elok dengan menggunakan jilbab. Lebih cantik karena kekurangan bentuk
fisiknya akan tersamarkan, muda karena dahinya tertutup, lebih bersinar dari dalam karena
meningkatnya iman. Bagi banyak perempuan anjuran dan dorongan seperti ini pasti terasa akrab.
Berjilbablah supaya cantik lahir batin, siapa yang tak kepingin?

Begitu deras desakan bagi perempuan untuk mengenakan jilbab itu terbukti efektif. Dalam
setidaknya sepuluh tahun terakhir pengguna jilbab sepertinya sudah menjadi mayoritas. DI acara
kumpul-kumpul keluarga atau reuni yang tersebar di media sosial, kerap kita lihat hampir seluruh
perempuannya berjilbab. Saya beberapa kali mendengar di sejumlah instansi pemerintah dan
kampus negeri, perempuan yang tidak berjilbab merasakan tekanan dari sesama kolega bahkan
kadang mengalami hambatan karier.

Jika perempuan tak berjilbab telah menjadi kaum minoritas, perempuan yang membuka jilbabnya
tentu lebih terpinggir lagi bahkan dianggap nista. Mereka harus siap menerima luapan pertanyaan,
bahkan cemoohan mulai dari yang sifatnya bisik-bisik hingga terbuka di media sosial. Kenapa si B
buka jilbab, kasihan ya, makanya kalau iman belum kuat nggak usah berjilbab dulu. Kenapa ya si A
buka jilbab, mungkin karena dia stress setelah bercerai dari suaminya. (Salah satu dugaan yang
paling sering muncul, meski kalau dipikir-pikir logikanya sungguh dipaksakan). Itu tentu versi
komentar yang baik, sedangkan ratusan ujaran kejam bisa kita baca di akun media sosial Rina Nose,
seorang selebrita yang baru memilih membuka jilbabnya.

Pada satu fase dalam kehidupan saya, saya pernah berjilbab, lalu memutuskan untuk membukanya.
Karenanya saya memahami bagaimana sulitnya keputusan seperti ini. Beberapa teman perempuan
kerap bercerita sebenarnya tak betah lagi berjilbab, tapi terlalu malas dan lelah dengan semua
konsekuensi yang akan menyertainya. Perempuan yang ingin melepaskan jilbabnya seperti harus
siap melawan dunia –serbuan orang-orang yang akan menasihatinya tentang pedihya azab api
neraka atau menganjurkan sebaiknya keluar saja dari Islam. Pada rambut para perempuan itu
seolah bergantungan seluruh kebusukan dosa umat manusia. Kadang saking pedihnya komentar
orang, neraka seperti tiba lebih awal.
Kepada perempuan yang memutuskan untuk membuka jilbab, saya ingin mengucapkan selamat.
Mungkin Anda tidak melakukan hijrah seperti yang diyakini sebagian orang. Tapi Anda telah berani
membuat pilihan dengan segala risiko dan penghakiman yang Anda terima. Jika ada perempuan
seperti itu di sekitar Anda, temani dia, ajak bercakap tentang hal-hal yang ringan dan menyenangkan
saja terutama di bulan-bulan awal ia baru membuka jilbabnya. Itu bukanlah waktu yang nyaman
baginya, karena ia harus berhadapan dengan sorot mata yang penuh tanda tanya, tak jarang dengan
cerca. Dunia butuh lebih banyak orang seperti Anda, yang siap merangkul dan menemani tanpa
banyak bertanya.

Lalu bagaimana dengan ancaman gantung-menggantung di neraka?

Biarkan saja, itu bukan lagi urusan kita.

Feby Indirani adalah penulis yang menerbitkan kumpulan cerita Bukan Perawan Maria (Pabrikultur
2017) dan menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama.

Anda mungkin juga menyukai