Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ILMU NEGARA

KEDAULATAN DALAM ILMU NEGARA

Disusun Oleh:
Muhammad Abdan Syakur (21400016)
Karimah Indah Lestari (21400020)
Hansed Pither Lasa (21400072)

Dosen: Dr. Nursyamsudin, S.H., M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
JAKARTA
1442 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatnya tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Kedaulatan Dalam Ilmu Negara.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bpk. Dr. Nursyamsudin, S.H., M.H
selaku Dosen mata kuliah Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan kelompok berkaitan dengan
topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan Terima Kasih yang sebesarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 19 November 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3 Tujuan......................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................7
2.1 Pengertian Kedaulatan..............................................................................................7
2.2 Sifat - Sifat Kedaulatan............................................................................................9
2.3 Jenis - Jenis Kedaulatan...........................................................................................9
2.4 Sudut Pandang Kedaulatan.....................................................................................10
2.5 Kedaulatan Dalam Pandangan UUD 1945.............................................................11
2.6 Teori Kedaulatan Secara Umum.............................................................................12
2.7 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Barat............................................................13
2.8 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Islam............................................................19
BAB III KESIMPULAN & SARAN.............................................................................23
3.1 Kesimpulan............................................................................................................23
3.2 Saran......................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik


politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang
berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki
suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut,
dan berdiri secara independen. Salah satu unsur utama sebuah negara adalah
memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat.
Sedangkan unsur pendukungnya adalah pengakuan dari negara lain.

Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam


suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan
organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu
tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan,
yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Istilah kedaulatan pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin (1530-1596),


dalam bukunya “six Livres de republique”. Kedaulatan berarti kekuasaan
tertinggi pada suatu negara atau kekuasaan yang tidak terletak di bawah
kekuasaan negara lain. Dalam hukum internasional, konsep kedaulatan terkait
dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh dalam urusan negerinya
sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial geografisnya, dan dalam konteks
tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi
hukum sendiri. dengan maksimal dengan adanya kerjasama yang baik antara
pemerintah dan masyarakat (Ihsan, 2021)

Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara


untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja

3
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan
suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas
tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum
internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara
bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Kedaulatan negara merupakan
karakteristik negara yang secara politik merdeka dari negara lainnya, baik secara
de jure maupun de facto. Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek,
aspek internal yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu
yang ada atau yang terjadi di dalam batas-batas wilayahnya.

Untuk melindungi kedaulatan sebuah negara, ditetapkan peraturan perundang-


undangan yang dapat memproteksi wilayah negara tersebut dari intervensi
maupun segala macam gangguan dari pihak asing. Peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh sebuah negara harus memperhatikan hukum internasional
yang dijadikan standar oleh masyarakat internasional. Meskipun setiap negara
telah mempunyai batas wilayah yang jelas dan telah diakui melalui mekanisme
hukum internasional namun pelanggaran terhadap batas wilayah kerap terjadi.
Pelanggaran ini kadang bersifat tidak disengaja namun seringkali pula dilakukan
secara sengaja untuk berbagai tujuan tertentu.

Kedaulatan merupakan atribut penting bagi suatu negara. Prinsip kedaulatan


di dalam Piagam PBB merupakan salah satu prinsip dasar yang paling penting dan
dihormati terutama di dalam kesamaan posisi hak antar negara di dunia. Hal ini
merupakan salah satu prinsip atau doktrin yang disebut dengan “jus cogens” atau
“peremptory norms”, yaitu suatu norma yang diterima sebagai norma dasar
hukum internasional secara keseluruhan dan sebagai suatu norma yang tidak boleh
dilanggar.

Kedaulatan jika dilihat dari aspek wilayah suatu negara mengandung arti
bahwa negara mempunyai kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorialnya
dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan. Setiap negara agar tetap
dipercayakan sebagai pribadi internasional akan selalu berusaha untuk

4
mempertahankan kedaulatannya. Dalam konteks hubungan internasional, tiap-tiap
negara telah menerima prinsip saling menghormati kedaulatan suatu negara
(Situmorang, 2019).

Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, serta telah diakui di
mata dunia internasional. Namun pada kenyataannya, kedaulatan diri dan
kedaulatan Indonesia hingga kini belum mengalami perkembangan yang
maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek ekonomi, budaya, dan juga politik.
Setelah kemerdekaan, Indonesia berusaha mengubah ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional, tetapi hingga saat ini hal tersebut belum berhasil atau
dapat dikatakan bahwa kedaulatan ekonomi Indonesia belum sepenuhnya dapat
diwujudkan. Jika dilihat dari segi aspek kebudayaan, Indonesia masih kerap kali
mengalami konflik dengan negara tetangga terkait dengan warisan budaya bangsa.
Ditinjau dari aspek politik, kedaulatan politik Indonesia dalam mengatur tata
Kelola kehidupan bernegara masih sangat tergantung dan sering mendapat
tekanan kekuatan asing. Ancaman kekuatan asing yang secara perlahan dan kini
bersifat masif terhadap kedaulatan diri dan Indonesia cenderung dinikmati dan
tidak disadari sebagai suatu ancaman.

Kedaulatan negara juga membawa konsekuensi untuk merealisasikan


kedaulatan rakyatnya. Tanpa negara yang berdaulat, rakyat Indonesia sulit
merealisasikan kedaulatan diri secara maksimal dan bermartabat. Sebaliknya,
negara yang berdaulat tanpa memberi ruang kedaulatan diri rakyatnya akan
menjadi praktek kekuasaaan yang otoritarian. Para pendiri bangsa dengan
cerdas telah merumuskan bahwa perjuangan mencapai kedaulatan politik dari
penjajahan merupakan sarana atau suatu jembatan emas untuk membangun dan
memfasilitasi kesejahteraan dan keamanan rakyat tanpa harus mengorbankan
kedaulatan dirinya.

Hal tersebutlah yang sejak awal mendasari para pendiri bangsa menetapkan
bentuk negara yang dipilih adalah republik bukan monarki dan kedaulatan
tertinggi berada ditangan rakyat. Negara Indonesia menganut negara hukum agar

5
keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu,
penting untuk memahami pentingnya kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka berikut pokok masalah yang
dapat dirumuskan:

 Bagaimana Pengertian Kedaulatan Dalam Ilmu Negara?

1.3 Tujuan

 Untuk Mengetahui Bagaimana Kedaulatan Diartikan Dalam Ilmu Negara.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kedaulatan

Soehino dalam Isharyanto, (2016), Jika kekuasaan dikonstruksikan dalam


kerangka yuridis, maka kekuasaan itu disebut kedaulatan. Jadi, kedaulatan adalah
kekuasaan dalam

Perspektif yuridis Kedaulatan berasal dari Bahasa Inggris, yaitu


“sovereignty”, dalam Bahasa Perancis disebut “souverainete”, dan dalam bahasa
Itali disebut ”sovranus”, yang asal katanya berasal dari Bahasa Latin ”superanus”,
yang berarti yang tertinggi atau teratas (supreme). Kedaulatan (sovereignty) juga
dapat dipakai sebagai sinonim untuk istilah kemerdekaan (independent).
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum suatu
negara, konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin (Isharyanto, 2016).
Oleh karena itu konsep kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan
pemerintahan yang tertinggi dalam suatu negara yang ditujukan untuk
kepentingan warga negaranya.

Menurut James Bryce, kedaulatan merupakan sesuatu “dusty desert of


abstraction through which successive generations of political philosophers have
though it necessary to lead thei deciples” (Wahjono, 1996).

Neil Mac Cormick mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan membuat


hukum yang tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, dan secara tegasnya bahwa
suatu badan atau lembaga mempunyai kedaulatan secara politik, atau kekuasaan
yang tertinggi di dalam negara yang pada akahirnya adanya ketaatan warga negara
terhadap negara (Cormick, 1999).

Menurut Soetomo (1986), Kedaulatan adanya suatu pemerintah yang berkuasa


di wilayahnya terhadap suatu wilayah dan segenap rakyatnya merupakan syarat

7
mutlak bagi adanya Negara. Kedaulatan adalah sesuatu yang tertinggi dalam suatu
Negara yang berlaku terhadap seluruh rakyat Negara itu.

Menurut Kansil, (1989), Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam


kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah
dan segenap rakyat dalam Negara itu

Kedaulatan mempunyai pengertian negatif dan positif. Kedaulatan dalam arti


negatif berarti bahwa Negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi atau kekuasaan apapun dan
dari manapun tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Kedaulatan dalam
pengertian positif berarti kedaulatan memberikan titulernya kepada Negara
pemimpin tertinggi atas Negaranya, hal ini yang dinamakan wewenang penuh dari
suatu Negara (Isrok & Al Uyun 2012)

Kedaulatan merupakan suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah


pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori
yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat. Berdasarkan ada atau
tidaknya hubungan dengan negara lain, kedaulatan mempunyai dua pengertian,
yaitu kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah kedaulatan
suatu negara untuk mengatur segala kepentingan rakyatnya tanpa campur tangan
negara lain.

Dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, kedaulatan tersebut tampak pada


tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sedangkan kedaulatan keluar adalah kedaulatan suatu negara
untuk mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara-negara lain demi
kepentingan bangsa dan Negara (Suryono, 2014). Hubungan dan kerjasama ini
tentu saja untuk kepentingan bersama. Hal ini juga menandakan bahwa bahwa
negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara lain.

8
Menurut William Blackstone, kedaulatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Naning, 1982):
1. Adanya kekuasaan tertinggi (supreme).
2. Adanya kekuasaan yang tidak dapat disanggah (irresistable).
3. Adanya kekuasaan yang mutlak (absolut).
4. Kekuasaan tersebut tidak diawasi (uncontrolled).

2.2 Sifat - Sifat Kedaulatan

Kedaulatan menurut Jean Bodin adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat


hukum didalam suatu Negara yang memiliki sifat-sifat, diantaranya:

1) Permanen, Artinya kedaulatan itu tetap ada selama negara itu sendiri.
2) Asli, Artinya kedaulatan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih
tinggi.
3) Bulat, Artinya kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi dan merupakan satu-
satunya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
4) Tidak Terbatas, Artinya kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, sebab
jika ada yang membatasi maka akan melenyapkan sifat kedaulatan.

Kedaulatan adalah kekuasaaan yang tertinggi dalam setiap Negara. Kedaulatan


tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan tidak mengenal batas, karena
membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi. Kedaulatan itu
lengkap, sempurna, karena tidak ada manusia dan organisasi yang diperkecualikan
dari kekuasaan yang berdaulat.

2.3 Jenis - Jenis Kedaulatan

Menurut Jean Bodin (1500 – 1590), Ada dua jenis kedaulatan yaitu:

1) Kedaulatan ke dalam (intern)


yaitu kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya.
Pemerintah berhak mengatur segala kepentingan rakyat melalui berbagai

9
lembaga negara dan perangkat lainnya, tanpa campur tangan negara lain.
Kedaulatan ke dalam merupakan kedaulatan yang dimiliki suatu negara
untuk mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku di negara tersebut, dan rakyat harus
patuh dan tunduk dengan apa yang digariskan pemerintah.
2) Kedaulatan ke luar (ekstern)
yaitu kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengadakan hubungan
dengan negara lain serta mempertahankan wilayah dari berbagai ancaman
dari luar. Negara berhak mengadakan hubungan atau kerjasama dengan
negara lain guna kepentingan nasionalnya. Kedaulatan ke Iuar merupakan
kedaulatan yang berkaitan dengan wewenang untuk mengatur
pemerintahan dan menjaga keutuhan wilayah suatu negara yang
sepatutnya juga dihormati negara lain. Pelaksanaan konsep kedaulatan ke
luar seperti adanya hubungan diplomatik, perjanjian antarnegara,
hubungan dagang dan sosial budaya.

2.4 Sudut Pandang Kedaulatan

Ada dua ajaran atau faham yang memberikan pengertian tentang kedaulatan
ini, yaitu:
1) Monisme: Menyatakan bahwa kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat
dibagi-bagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang
tertinggi dalam negara (baik yang berwujud personal atau lembaga). Jadi
wewenang tertinggi yang menentukan wewenang-wewenang yang ada
dalam negara tersebut (Kompeten-Kompeten).
2) Pluralisme: Menyatakan bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi
yang memiliki kedaulatan (Harold J Laski). Banyak organisasi-organisasi
lain yang ‘berdaulat‘terhadap orang-orang dalam masyarakat. Sehingga,
tugas negara hanyalah mengkoordinir (koordineren) organisasi yang
berdaulat di bidangnya masing-masing.

10
Keadaan ini oleh Baker disebutkan sebagai “Polyarchisme”. Di lingkungan
ajaran Katholik dikenal dengan nama “subsidiaristeit beginsel” (prinsip
subsidiaritas). Ajaran Pluralisme ini lahir karena ajaran Monisme terlalu
menekankan soal kekuatan atau menekankan (force) hukum dalam melihat
masyarakat negara, dan kurang menekankan soal kehendak (will) dari rakyat
seperti yang diajarkan Rousseau.

2.5 Kedaulatan Dalam Pandangan UUD 1945

Berikut Ini Merupakan Kedaulatan Menurut UUD 1945:

1) Kedaulatan Menurut UUD 1945 Sebelum Perubahan


Indonesia adalah salah satu negara yang menganut teori kedaulatan
rakyat. Hal itu terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”.
Selanjutnya dijelaskan pula dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil dekrit
5 juli 1959 atau sebelum perubahan yang berbunyi: “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Menurut pasal tersebut maka MPR adalah penjelmaan rakyat
indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang memegang kedaulatan
rakyat sepenuhnya.
2) Kedaulatan Menurut UUD 1945 Setelah Perubahan
Perubahan UUD 1945 ketiga tahun 2001 yang diantaranya
mengubah rumusan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang bunyinya menjadi:
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. Perubahan rumusan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 tersebut
membawa kosekuensi dan implikasi yang signifikan terhadap fungsi dan
kewenangan dari lembaga negara, terutama pada lembaga MPR sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya. Dengan demikian MPR tidak
lagi sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan tetap dipegang oleh rakyat, namun pelaksanaanya dilakukan

11
oleh beberpa lembaga negara yang memperoleh amanat dari rakyat dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.

2.6 Teori Kedaulatan Secara Umum

Ciri khusus dari pemerintahan dalam Negara adalah pemerintahan memiliki


kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu
Negara dan berada dalam wilayah Negara. Terdapat empat macam teori mengenai
suatu kedaulatan, yaitu teori Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Negara, Kedaulatan
Hukum dan Kedaulatan Rakyat:
1. Teori Kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteif)
Teori Kedaulatan Tuhan (Gods souvereiniteif) menyatakan atau
menganggap kekuasaan pemerintah suatu Negara diberikan oleh Tuhan.
Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan
dirinya Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia
(Raja Haile Selasi) dinamakan “Singa penakluk dari suku Yuda yang
terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia”.
2. Teori Kedaulatan Negara (Staats souvereiniteif)
Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteif) menganggap
sebagai suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu
wilayah Negara, negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua
kekuasaan yang ada dalam wilayah suatu Negara. Otto Mayer (dalam buku
Deutshes Verwaltungsrecht) menyatakan “kemauan Negara adalah
memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendak alam”. Sementara itu
Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakan kedaulatan
Negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari
siapapun. Pemerintah adalah “alat Negara”.
3. Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteif)
Teori kedaulatan rakyat (Volks aouvereiniteif), semua kekuasaan
dalam suatu Negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J
Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak
sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui pemerintah

12
mempunyai kekuasaan dalam suatu Negara. Di dalam perkembangan
sejarah ketatanegaraan, 3 unsur Negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat,
wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan pengakuan Internasional
(secara de facto maupun de jure).

2.7 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Barat

Masyarakat Athena atau negara kota Yunani untuk tidak mengatakan negara
pertama yang mengenal kedaulatan – telah mengenal kedaulatan dalam
pemerintahan (baca: negara). Hal ini pengaruh dari para filsuf Yunani saat itu
yang sering berbicara tentang masalah manusia dan kelompok-kelompok mereka
(Amirudin, 2000). Selain itu juga terlihat dari literatur para sarjana-sarjana abad
pertengahan yang menggunakan istilah Superanus, summa potestas, atau
plenitudo potestatis yang berarti wewenang tertinggi dari kesatuan politik. Selain
tiga istilah tersebut. Basileus -bahasa Yunani - sebutan untuk raja yang
mempunyai kekuasaan yang besar pada zaman Yunani kuno.

Selain Bodin, Thomas Hobbes filsuf barat juga mendefinisikan kedaulatan.


Definisi Hobbes tentang kedualatan adalah wewenang yang absolut, luas dalam
sebuah wilayah dan tidak mengenal waktu (Stanford, n.d.). Wewenang tersebut
menurut Hobbes tidak termasuk dalam wilayah privat, individu-individu dalam
wilayah tersebut berhak melakukan apa saja yang menjadi keinginan individu. Inti
kedualatan bagi Hobbes adalah hak untuk membuat undang-undang. Ia
mecontohkan apabila seorang raja membuat undang-undang: raja tidak dapat
dikenakan undang-undang ia buat (Arifuddin, 2008).

Hobbes dalam mendefinisikan kedualatan tidak lepas dari gagasannya tentang


kontrak sosial. Ada empat hal gagasan Hobbes tentang kontrak sosial, Pеrtаmа,
perjanjian terselenggara bukan antara ruler (penguasa) dan ruled (rakyat) tetapi
sebuah kesepakatan (agreement) antara individu-individu untuk mengakhiri
keadaan alamiah (state of nature) dan membentuk masyarakat sipil. Kedua,
kontrak sosial dilakukan oleh individu-individu yang secara alamiah terisolir dan

13
anti-sosial Kontrak kedua ini menunjukkan bahwa manusia tidak mempunyai
kepentingan alamiah bersama: tetapi merek mempunyai kepentingan untuk

mempertahankan masyarakat sipil yang mereka bentuk. Ketiga, individu-individu

yang terbentuk dalam perjanjian sosial (social covenant) merupakan konsekuensi

dari kedaulatan dari pada sumber kedaulatan. Keempat, orang-orang dituntut

menciptakan kedualatan yang kuat guna menajalankan tatanan internal dan


mempertahankan diri dari agresi luar (Schmandt, 2005b).

Berbeda dengan Bodin dan Hobbes, John Locke walaupun tidak


mendefinisikan kedualatan secara definitif, tetapi ia berpandangan bahwa –
kekuasaan tertinggi ada pada masyarakat. Hal ini berasal dari pandangan Locke
bahwa manusia berkumpul dan bersepakat untuk membuat pemerintahan sipil.
Pemerintahan sipil harus mengikuti arah yang ditentuan kesepakatan mayoritas
(Locke, 2002). Maka, untuk melembagakan gagasan tersebut Locke menggagas
adanya pembatasan pemerintah dan pembagian dalam sistem pemerintahan yakni
Trias Politika. Menurut Locke hanya ada satu agen politik tertinggi, agen yang
dimaksud Locke adalah legislatif sebagai pengawas (trustee) hukum bagi rakyat
dan pemegang kedaulatan (Schmandt, 2005b).

Sedangkan Montesqueiu lebih condong pada paham demokrasi dalam


pemerintahan. Karena dalam paham atau asas ini menunjukkan kedaulatan dalam
tangan rakyat. Montesquieu menilai kedualatan tidak dapat terlaksankan kecuali
dengan rakyat mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum, yang menunjukkan
kehendak rakyat sendiri. Adapun kehendak dari kedualatan adalah kedaulatan itu
sendiri (Arifuddin, 2008).

Berikut beberapa teori kedaulatan menurut Filsuf Barat:


1) Kedaulatan Tuhan
Menurut sejarah, teori kedaulatan tuhan adalah teori kedaulatan
paling tua dibandingkan dengan teori kedaulatan lainnya. Dalam teori
kedaulatan tuhan, tuhan lah yang mempunyai kuasa terhadap segala alam

14
dan manusia dimuka bumi. Paham kedaulatan ini berkembang pada abad
pertengahan, yakni antara abad V sampai abad XV masehi. Hal ini terjadi
seiring perkembangan agama Kristen di Eropa. Yang awalnya
perkembangan agama Kristen di toleransi oleh kerajaan Romawi akhirnya
diakui karena menjadi kelompok agama yang mempunyai pengaruh besar
dalam negara menjadi agama resmi negara. Dari pengakuan ini masih
menyisakan masalah yakni masalah antara kelompok politik dan kelompok
agama. Karena kelompok politik mempunyai loyalitas yang tinggi
terhadap negara mencakup loyalitas terhadap dewa- dewa negara, hal ini
ditolak oleh kelompok agama karena bertentangan dengan doktrin agama
Kristen (Schmandt 2005), Kemudian pemuka agama Kristen melakukan
pengorganisiran terhadap penganutnya yang kemudian menjadi organisasi
keagamaan, yakni gereja dan dikepalai Paus (Soehino, 1980).
Salah satu tokoh teori kedaulatan tuhan adalah St. Augustinus yang
menyatakan bahwa yang mewakili Tuhan di dunia dan juga dalam suatu
negara adalah Paus. Antara kekuasan raja dan Paus itu sama, maka ada
pembagian wilayah kekuasaan. Dalam pembagian ini raja berkuasa dalam
wilayah kedunawian dan paus berkuasa dalam wilayah keagaman.' Dalam
perkembangannya Marsillius menitik beratkan kekuasan berada di tangan
raja sebagai wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang
kedaulatan di bumi. Namun dalam karya Unam Sanctam, meyatakan
bahwa “Oleh karena itu. keduanya, kekuasaan spiritual dan kekuasaan
dunia. berada di tangan Gereja.... Karenanya satu pedang harus berada
dibawah pedang lainnya dan kekuasaan dunia tunduk pada kekuasaan
spiritual... Oleh karenanya, jika kekuasaan bumi menyimpang, ia harus
dihakimi oleh kekuasaan spiritual.. Tetapi jika kekuasaan tertinggi
menyeleweng, ia hanya bisa dihakimi oleh Tuhan, bukan oleh manusia”
(Schmandt 2005)
Dari karya tersebut menurut beberapa komentator menjadi dasar
bagi Paus untuk melakukan imperialisme kepada kerajaan-kerajaan yang
tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya. Machiavelli mencatat banyak

15
negara-negara yang takut untuk tidak tunduk di bawah kekuasaan gereja
(Paus) karena dua hal, pertama karena negara-negara di bawah kekuasaan
Paus takut akan kebesaran Gereja, kedua tidak adanya kardinal yang
menyebabkan pertikaian diantara negara bawahan Paus (Machiavelli,
2002).
2) Kedaulatan Raja
Dalam penghujung abad ke-16, di Eropa muncul pemikiran-
pemikiran politik yang menitik beratkan pada kedaulatan raja sebagai
sumber kekuasaan politik.21 Dengan adanya paham ini kekuasaan Gereja
terhadap kerajaan-kerajaan di Eropa mulai memudar. Raja sebagai
penguasa dalam sistem negara monarki mempunyai kekuasaan dominan
terhadap elemen-elemen yang ada dalam negara. Karena – hal ini berasal
dari asumsi
rakyat menyerahkan kekuasan mereka kepada raja untuk mengatur
kehidupan warga negara (rakyat). Awalnya konsep ini (kedaulatan raja –
dapat diterima oleh rakyat. Namun, lama kelamaan kekuasaan raja yang
dominan membawa rakyat kearah yang tidak memberikan ruang dan hak
kebebasan dan kemerdekaan bagi rakyat. Dengan kondisi yang merugikan
rakyat kemudian kekuasaan raja yang dominan dibatasi.
3) Kedaulatan Negara
Dalam pandangan Jean Bodin dalam mendefinisikan negara
sebagai pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga
serta kepentingan bersama oleh kekuasaan yang berdaulat (Schmandt
2005).
Dengan pemahaman negara tersebut, Adanya negara untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang baik dan membuat warganya menjadi
bijak dan yang terpenting adalah adanya kedaulatan. Menurut Bodin, yang
membedakan negara dengan organisasi atau komunitas lainnya adalah
adanya kedaulatan. Dalam teori kedaulatan ini, kekuasaan berasal dari
negara. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, dalam buku Ilmu Negara
mencatat bahwa teori kedaulatan negara ini muncul di Jerman. Untuk

16
mempertahankan kekuasaannya, raja merangkul golongan bangsawan,
angkatan perang atau militer dan birokrasi yang ada di Jerman waktu itu.
Teori ini juga dikatan sebagai kelanjutan dari kedaulatan raja (Kusnardi &
Saragih 1995).
Rakyat yang mempunyai paham kedaulatan rakyat dikhawatirkan
oleh raja, rakyat akan melakukan pemberontakan terhadap raja. Untuk
mengantisipasi agar rakyat tidak melakukan pemberontakan terhadap raja,
kemudian raja membuat teori baru tentang kedaulatan. Teori raja
menyatakan bahwa rakyat membentuk dirinya menjadi negara. Sehingga
rakyat identik dengan negara, maka, negara harus berdaulat. Karena
kedaulatan negara diangggap terlalu abstrak maka kedaulatan atau
kekuasaan berada ditangan raja.
Selain Jean Bodin, penganut teori ini adalah Georg Jellinek. Dalam
teori Jellinek, hukum adalah penjelamaan dari negara. karena hukum yang
membuat negara, maka negara dengan suka rela mengikat dirinya dengan
hukum untuk melaksanakan kekuasaannya. Teori kedaulatan negara ini
kritik oleh Krabbe. Menurut Krabbe kalau negara berdaulat dengan
menjelmakan diri dengan hukum, bagi Krabbe hal sangat bertentangan
dengan kenyataan. Dari kritikan atau tanggapan Krabbe terhadap terori
kedaulatan negara. Krabbe mengganggap bahwa yang berdaulat bukanlah
negara tetapi hukum (Soehino, 1980).
4) Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereinteit
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Raja atau penguasa
maupun warga negara atau rakyat semuanya tunduk terhadap hukum.
Semua tindakan yang dilakukan oleh raja atau rakyat harus sesuai dengan
hukum (Soehino, 1980). Kedaulatan ini bersumber dari kesadaran
masyarakat atau rakyat yang mempunyai rasa membuat hukum yang baik.
Dengan rasa kesadaran akan hukum. maka manusia mengeluarkan
perasaan (kesadarannya) sehingga mampu membedakan adanya norma
norma yang terlepas dari kehendak kita. Adanya sesuatu yang diluar

17
kehendak kita, maka kita mengeluarkan reaksi tersebut untuk menetapkan
sesuatu yang baik, adil dan sebagainya.
Kemudian, hukum dinyatakan sebagai jelmaan dari kehendak
manusia. Menurut Krabbe, yang kemudian diteruskan oleh muridnya
Kranenburg. hukum itu diluar kehendak negara, dan dia memberikan
kepada hukum kepribadian sendiri. Berbeda dengan Krabbe, tentang teori
kedaukatan hukum adalah Hans Kelsen. Hukum berlaku tanpa menunggu
penerimaan masyarakat atau rakyat, karena hukum bersifat imperatis
(Soehino, 1980). Teori Kelsen tidak mengenal negara, karena negara
menurut Kelsen merupakan kumpulan dari peraturan hukum yang berlaku
di masyarakat. Pemahaman arti negara dan arti hukum dikonkritkan dalam
tubuh raja. Maka. kedaulatan negara sama dengan kedaulatan hukum yang
bersifat imperatif (Kusnardi & Saragih 1995)
5) Kedaulatan Rakyat
Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, dalam pidato
peresmian pemakaman nasional Gettyburg mengatakan bahwa
pemerintahan yang ada di Amerika Serikat adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. “Pernyataan Lincoln memang sangat
populer di dunia dengan asas demokrasi yang diikuti oleh banyak negara
di dunia”.
Pernyataan Lincoln menunjukkan bahwa kedaulatan dalam sebuah
negara adalah kedaulatan rakyat. JJ Rousseau salah satu tokoh teori
kedaulatan rakyat. Rousseau membagi kehendak rakyat menjadi dua.
Pertama, Volonte de Tous atau kehendak seluruh rakyat. Yang dimaksud
Rousseau dengan Volonte de Tous adalah perjanjian seluruh rakyat untuk
membentuk negara. Persetujuan rakyat dalam perjanjian ini tidak dapat
dicabut apabila suatu waktu rakyat tidak sepekat dengan perjanjian yang
ada. Kedua, Volonte Generale setelah terbentuknya negara, suara
terbanyaklah yang menjalankan sistem pemerintahan suatu negara
tersebut. Dengan suara terbanyak dalam memutuskan suatu perkara

18
(meedesheid belsuit) yang kemudian muncul kediktatoran mayoritas
(meedesheid dictatuur) (Urofsky, 2001).
Kehendak rakyat yang kedua sama dengan yang dinyatakan
Montesquieu dalam buku The Spirit of Law,"bahwa rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi wajib mengatur segala sesuatu yang berada
dalam lingkungan kekuasaannya”. Imanuel Kant mengatakan bahwa
tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
warga negaranya. Kebebasan yang dimaksud Kant, kebebasan yang di
batasi oleh undang-undang. Undang-undang adalah jelmaan dari kehendak
rakyat. Jadi rakyatlah pemeang kekuasaan tertinggi (Soehino, 1980).

2.8 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Islam

Wacana kedaulatan dalam dunia Islam juga mendapatkan perhatian yang


cukup besar. Hal ini terlihat dengan beberapa intelektual muslim dari zaman
klasik sampai zaman kontemporer yang mendefinisikan kedaulatan. Antara lain
Ibn Arabi, Al Ghazali, Ibn Sina, Fazlur Rahman, Abu A'la al Maududi, Ayatullah
Khomeini, dll. Kalau kita runut dari sejarah negara Islam, di mulai pada periode
Madinah. Di kota inilah, nabi Muhammad meletakkan sendi-sendi negara Islam.
Pada periode ini Islam belum mendeklarasikan diri sebagai komunitas yang
berubah menjadi negara. Umat Islam masih menjadi sebuah komunias yang
berada di Madinah Bersama dengan suku-suku yang ada di Madinah sebelumnya
yakni Auz dan Khazraj yang sudah masuk Islam (Pulungan, 1999).

Seiring dengan perjalanan waktu, Islam menjadi sebuah komunitas yang


mempunyai kekuatan yang besar, hal ini terlihat dengan kekuaatan militer yang
dimiliki Islam mampu menguasai wilayah semenanjung Arab. Kondisi ini tidak
berubah sampai kepemimpinan khulafa' ur-rasyidûn. Setelah periode khulafa' ar-
rasyidím timbullah dinasti-dinasti Islam yang ada di wilayah Arab, Persia, Afrika
Selatan dan Eropa (Karim, 2005).

Beberapa filsuf islam berpendapat bahwa dalam Negara islam yang berdaulat
adalah Tuhan yakni Allah SWT. Salah satunya Nizam al Mulk al Tusi

19
berpendapat bahwa raja memerintah atas dasar anugrah Allah untuk membuat
kebijakan agar masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kebahagiaan didunia.
Sedangkan W.Montgomery Watt sebagaimana dikutip Harum Nasution
menyatakan bahwa untuk Bani Abbasyiah dengan sebutan Zhillullah fi al-Ard
(bayang-bayang Tuhan di bumi) (Amirudin, 2000).

Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa dalam politik islam yang cocok
adalah Kerajaan Tuhan (kingdom of Gods) atau dalam bahasa politiknya
Teodemokrasi. Dalam pandangan al-Maududi, konsep teodemokrasi Islam
berbeda dengan teokrasi yang pernah ada di Eropa yang dikuasai oleh sekelompok
orang (pendeta) yang memaksakan kekuasaan ketuhanan kepada rakyat. Islam
dalam penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat dengan
berpegang kepada kitabullah dan sunnah (Al-Maududi, 1995).

Berikut beberapa teori kedaulatan menurut filsuf islam:


1) Kedaulatan Tuhan
Beberapa filsuf Islam berpendapat bahwa dalam negara Islam yang
bedaulat adalah Tuhan yakni Allah SWT. Salah satunya Nizam al Mulk al
Tusi berpendapat
bahwa raja memerintah atas darsar anugrah Allah untuk membuat
kebijakan agar masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kebahagiaan di
dunia. Sedangkan W. Montgomery Watt sebagaimana di kutip Harun
Nasution menyatakan bahwa untuk khalifah Bani Umayyah dengan
sebutan Khalifatullâh (wakil Tuhan) dan untuk Bani Abbasiyah dengan
sebutan Zhillullah ſi al-Ard (bayang-bayang Tuhan di bumi) (Amirudin,
2000).
2) Kedaulatan Raja
Pemimpin Negara atau sering disebut khalifah, dalam paham
kedaulatan raja menjadi symbol kekuasaan kerajaan atau dinasti. Pada
umumnya filsuf muslim menjadikan raja sebagai wakil Tuhan di bumi.
Namun tidak bagi al-Farabi, menurut al-Farabi kedaulatan sebuah Negara
berada dalam tangan raja (Amirudin, 2000). Dalam pandangan al-Farabi,

20
pemegang kedaulatan harus satu yakni orang yang mempunyai bakat dan
dapat membimbing orang lain. Selain itu al-Farabi mengkritik filsuf
Yunani yang mengagas cita-cita ideal sebuah Negara yang sangat sulit
untuk dipenuhi, hal ini mengakibatkan orang harus memilih Tuhan sebagai
penguasa (Arifuddin, 2008).

21
3) Kedaulatan Hukum
Konsep kedaulatan hukum dalam islam sama dengan kedaulatan
hukum yang dipahami oleh para filsuf Barat. Bahwa kekuasaan tertinggi
dalam sebuah Negara adalam hukum. Filsuf islam yang menganut paham
ini adalah Majid Khadduri. Dalam pandangan Khadduri, sistem
pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Nomokrasi bukan
Teokrasi sebagaimana asumsi sebagian besar masyarakat. Adapun yang
dimaksud dengan nomokrasi adalah sebuah pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang resmi, aturan hukum dalam suatu masyarakat
(Khadduri, 2002). Pemahaman Khadduri ini tidak lepas dari konsep
syari’ah merupakan hukum perjanjian antara tuhan dan manusia. Dari
konsep ini kemudian muncul konsep single contract dan two contract.
Single contract merupakan perjanjian antara sesama manusia yang
membentuk sebuah institusi masyarakat. Sedangkan two contract,
mengasumsikan bahwa manusia yang tergabung dalam masyarakat
mengangkat seorang pemimpin atau raja untuk memerintah dengan segala
kondisi dan keterbatasan yang ada dalam pemerintahannya.
4) Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat pada era saat ini sangat-lah popular
dibandingkan dengan paham kedaulatan lainnya. Pemikiran-pemikiran
Islam baik klasik maupun kontemporer telah mengagas kedaulatan rakyat.
Filsuf klasik yang terkenal dengan gagasan kedaulatan rakyat adalah Ibn
Sina dan al-Mawardi. Gagasan Ibn Sina dapat dilihat dari konsep
pemilihan kepala Negara sebelumnya, atau kedua melalui pemilihan yang
dilakukan oleh para tokoh yang dipercaya oleh rakyat (Amirudin, 2000).
Pendapat al-Mawardi hampir sama dengan Ibn Sina, dalam pemilihan
kepala ada dua cara, pertama pemilihan yang dilakukan oleh ahl wal ‘aqd,
kedua dengan penunjukan kepala Negara sebelumnya (AL-Mawardi,
2000). Ibn Khaldun menegaskan akan pentingnya pemilihan kepala
Negara. Ia berpendapat bahwa masyarakat memerlukan seorang wazi’ atau

22
pemimpin untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan
masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama (Arifuddin,
2008).
Mengenai kedaulatan rakyat, intelektual muslim kontemporer
Hasan al-Banna menyatakan bahwa dalam ajaran islam tanggung jawab
Negara ada pada para pemimpin Negara (Amirudin, 2000).Konsep kontrak
sosial dalam islam juga menunjukkan bahwa kedaulatan ada dalam tangan
rakyat. Dalam konsep kontrak sosial bahwa kekuasaan ada melalui
perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa kekuasaan rakyat di
serahkan kepada sebuah lembaga Negara atau seseorang (Pulungan, 1999),
dan apabila seseorang telah terpilih sebagai pemimpin Negara, al-Baqillani
pemimpin tersebut tidak mempunyai hal membatalkan perjanjian yang
telah disepakati.
Mehdi Hadavi menjelaskan bahwa manusia mempunyai kehendak
dan seluruh tindakkannya merupakan fenomena ilmiah. Seperti saat
manusia memilih tempat tinggal, ia dapat memilih tempat tinggal secara
bebas. Saat manusia telah menetapkan sebuah tempat untuk ditinggali,
maka ia mempunyai hak kepemilikan atas rumah yang ditempati. Begitu
juga dengan kepemilikan bersama sebuah lingkungan yang lebih besar,
seperti kepemilikan bersama sebuah Negara – karena manusia hidup
bersama dalam sebuah lingkungan yang lebih besar. Hal ini mendorong
individu-individu mewakilkan seseorang atau sekelompok orang untuk
membaktikan diri demi kehidpan yang damai (Tehrani, 2005).

23
24
BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1 Kesimpulan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara kesatuan


berbentuk republik dengan system desentralisasi (pasal 18 UUD 1945), dimana
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya diluar bidang
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.

Kedaulatan merupakan suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah


pemerintahan dan masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan Internasional, konsep
kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh
urusan dalam negaranya sendiri dalam suatu wilayah atau batas territorial atau
geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagaiorganisasi atau
lembaga memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas
merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah suatu yang pasti, melainkan
seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.

Sebagai sebuah bangsa yang besar, keutuhan dan kesatuaan Negara


sebagai syarat mutlak dalam kedaulatan kebangsaan harus bisa dijaga oleh
segenap rakyat Indonesia. Dapat dilakukan dengan cara yang paling sederhana
yaitu menghargai kebudayaan dan sejarah NKRI.

3.2 Saran

Sebagai bangsa yang besar terbentang dari sabang sampai marauke. Bangsa ini
tidak akan menjadi bangsa yang besar apabila rakyat dalam hal ini kita sebagai
pelajar tidak peduli, oleh karena itu sudah saatnya kita semua harus bersatu yang
mau terpecah belah oleh hal apapun.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, A. A. (1995). Hukum dan Konsitusi Sistem Politik Islam (Cet.IV).


Mizan.
AL-Mawardi, I. (2000). Al-Ahkam Al-Sulthoniyah wa Al-Wilayah Al-Diniyah.
Gema Insani Press.
Amirudin, M. H. (2000). Konsep Negara Islam. UII Press.
Arifuddin. (2008). Konsep Kedaulatan Menurut Ayatullah Khoemeini dan Baron
De Montesquieu.
Cormick, N. Mac. (1999). Questioning Sovereignty, Law State and Nation In The
European Commonwealth. Oxford University Press.
Ihsan, H. (2021). Kedaulatan.
Isharyanto S.H M.Hum, D. (2016). Buku Ilmu Negara. Oase Pustaka.
Isrok, D., & Al Uyun, D. (2012). Ilmu Negara. Universitas Brawijaya Press.
Kansil, C. S. . (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai
Pustaka.
Karim, K. A. (2005). Negara Madinah Penaklukan Politik Masyarakat Suku
Arab. LKiS.
Khadduri, M. (2002). War & Peace In The Law Of Islam. Terawang Press.
Kusnardi, M., & Saragih, B. R. (1995). Ilmu Negara. Gaya Media Pratama.
Locke, J. (2002). Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula
Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil.
Kanisius.
Machiavelli, N. (2002). Sang Penguasa. In Principe (Cet.VI, p. 48). Gramedia
Pustaka.
Naning, R. (1982). Gatra Ilmu Negara. Liberty.
Pulungan, J. S. (1999). Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Perkembangan
(Cet.IV). Rajawali.
Schmandt, H. J. (2005a). Kajian Historis. In Filsafat Politik (II, p. 340). Pustaka
Pelajar.
Schmandt, H. J. (2005b). Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman
Modern. In Filsafat Politik (II, pp. 317–318). Pustaka Pelajar.

26
27
Situmorang, I. M. (2019). Konsep Kedaulatan Negara dan Rakyat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Soehino. (1980). Ilmu Negara. Liberty.
Soetomo. (1986). Ilmu Negara. Usaha Nasional.
Stanford. (n.d.). Sovereignty. Retrieved November 22, 2021, from
http://plato.stanford.edu/entries/sovereignty
Suryono, H. (2014). Ilmu Negara. Ombak.
Tehrani, M. H. (2005). Negara Ilahiah (R. Mulyono (ed.)). AL-Huda.
Urofsky, M. I. (2001). Demokrasi. USINFO.
Wahjono, P. (1996). Ilmu Negara. Universitas Indonesia.

28

Anda mungkin juga menyukai