Disusun Oleh:
Muhammad Abdan Syakur (21400016)
Karimah Indah Lestari (21400020)
Hansed Pither Lasa (21400072)
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatnya tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Kedaulatan Dalam Ilmu Negara.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bpk. Dr. Nursyamsudin, S.H., M.H
selaku Dosen mata kuliah Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan kelompok berkaitan dengan
topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan Terima Kasih yang sebesarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3 Tujuan......................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................7
2.1 Pengertian Kedaulatan..............................................................................................7
2.2 Sifat - Sifat Kedaulatan............................................................................................9
2.3 Jenis - Jenis Kedaulatan...........................................................................................9
2.4 Sudut Pandang Kedaulatan.....................................................................................10
2.5 Kedaulatan Dalam Pandangan UUD 1945.............................................................11
2.6 Teori Kedaulatan Secara Umum.............................................................................12
2.7 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Barat............................................................13
2.8 Kedaulatan Dalam Pandangan Filsuf Islam............................................................19
BAB III KESIMPULAN & SARAN.............................................................................23
3.1 Kesimpulan............................................................................................................23
3.2 Saran......................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan
suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada batas-batas
tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur melalui hukum
internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara
bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Kedaulatan negara merupakan
karakteristik negara yang secara politik merdeka dari negara lainnya, baik secara
de jure maupun de facto. Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek,
aspek internal yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu
yang ada atau yang terjadi di dalam batas-batas wilayahnya.
Kedaulatan jika dilihat dari aspek wilayah suatu negara mengandung arti
bahwa negara mempunyai kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorialnya
dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan. Setiap negara agar tetap
dipercayakan sebagai pribadi internasional akan selalu berusaha untuk
4
mempertahankan kedaulatannya. Dalam konteks hubungan internasional, tiap-tiap
negara telah menerima prinsip saling menghormati kedaulatan suatu negara
(Situmorang, 2019).
Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, serta telah diakui di
mata dunia internasional. Namun pada kenyataannya, kedaulatan diri dan
kedaulatan Indonesia hingga kini belum mengalami perkembangan yang
maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek ekonomi, budaya, dan juga politik.
Setelah kemerdekaan, Indonesia berusaha mengubah ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional, tetapi hingga saat ini hal tersebut belum berhasil atau
dapat dikatakan bahwa kedaulatan ekonomi Indonesia belum sepenuhnya dapat
diwujudkan. Jika dilihat dari segi aspek kebudayaan, Indonesia masih kerap kali
mengalami konflik dengan negara tetangga terkait dengan warisan budaya bangsa.
Ditinjau dari aspek politik, kedaulatan politik Indonesia dalam mengatur tata
Kelola kehidupan bernegara masih sangat tergantung dan sering mendapat
tekanan kekuatan asing. Ancaman kekuatan asing yang secara perlahan dan kini
bersifat masif terhadap kedaulatan diri dan Indonesia cenderung dinikmati dan
tidak disadari sebagai suatu ancaman.
Hal tersebutlah yang sejak awal mendasari para pendiri bangsa menetapkan
bentuk negara yang dipilih adalah republik bukan monarki dan kedaulatan
tertinggi berada ditangan rakyat. Negara Indonesia menganut negara hukum agar
5
keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu,
penting untuk memahami pentingnya kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.
Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka berikut pokok masalah yang
dapat dirumuskan:
1.3 Tujuan
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
mutlak bagi adanya Negara. Kedaulatan adalah sesuatu yang tertinggi dalam suatu
Negara yang berlaku terhadap seluruh rakyat Negara itu.
8
Menurut William Blackstone, kedaulatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Naning, 1982):
1. Adanya kekuasaan tertinggi (supreme).
2. Adanya kekuasaan yang tidak dapat disanggah (irresistable).
3. Adanya kekuasaan yang mutlak (absolut).
4. Kekuasaan tersebut tidak diawasi (uncontrolled).
1) Permanen, Artinya kedaulatan itu tetap ada selama negara itu sendiri.
2) Asli, Artinya kedaulatan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih
tinggi.
3) Bulat, Artinya kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi dan merupakan satu-
satunya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
4) Tidak Terbatas, Artinya kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, sebab
jika ada yang membatasi maka akan melenyapkan sifat kedaulatan.
Menurut Jean Bodin (1500 – 1590), Ada dua jenis kedaulatan yaitu:
9
lembaga negara dan perangkat lainnya, tanpa campur tangan negara lain.
Kedaulatan ke dalam merupakan kedaulatan yang dimiliki suatu negara
untuk mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku di negara tersebut, dan rakyat harus
patuh dan tunduk dengan apa yang digariskan pemerintah.
2) Kedaulatan ke luar (ekstern)
yaitu kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengadakan hubungan
dengan negara lain serta mempertahankan wilayah dari berbagai ancaman
dari luar. Negara berhak mengadakan hubungan atau kerjasama dengan
negara lain guna kepentingan nasionalnya. Kedaulatan ke Iuar merupakan
kedaulatan yang berkaitan dengan wewenang untuk mengatur
pemerintahan dan menjaga keutuhan wilayah suatu negara yang
sepatutnya juga dihormati negara lain. Pelaksanaan konsep kedaulatan ke
luar seperti adanya hubungan diplomatik, perjanjian antarnegara,
hubungan dagang dan sosial budaya.
Ada dua ajaran atau faham yang memberikan pengertian tentang kedaulatan
ini, yaitu:
1) Monisme: Menyatakan bahwa kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat
dibagi-bagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang
tertinggi dalam negara (baik yang berwujud personal atau lembaga). Jadi
wewenang tertinggi yang menentukan wewenang-wewenang yang ada
dalam negara tersebut (Kompeten-Kompeten).
2) Pluralisme: Menyatakan bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi
yang memiliki kedaulatan (Harold J Laski). Banyak organisasi-organisasi
lain yang ‘berdaulat‘terhadap orang-orang dalam masyarakat. Sehingga,
tugas negara hanyalah mengkoordinir (koordineren) organisasi yang
berdaulat di bidangnya masing-masing.
10
Keadaan ini oleh Baker disebutkan sebagai “Polyarchisme”. Di lingkungan
ajaran Katholik dikenal dengan nama “subsidiaristeit beginsel” (prinsip
subsidiaritas). Ajaran Pluralisme ini lahir karena ajaran Monisme terlalu
menekankan soal kekuatan atau menekankan (force) hukum dalam melihat
masyarakat negara, dan kurang menekankan soal kehendak (will) dari rakyat
seperti yang diajarkan Rousseau.
11
oleh beberpa lembaga negara yang memperoleh amanat dari rakyat dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.
12
mempunyai kekuasaan dalam suatu Negara. Di dalam perkembangan
sejarah ketatanegaraan, 3 unsur Negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat,
wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) dan pengakuan Internasional
(secara de facto maupun de jure).
Masyarakat Athena atau negara kota Yunani untuk tidak mengatakan negara
pertama yang mengenal kedaulatan – telah mengenal kedaulatan dalam
pemerintahan (baca: negara). Hal ini pengaruh dari para filsuf Yunani saat itu
yang sering berbicara tentang masalah manusia dan kelompok-kelompok mereka
(Amirudin, 2000). Selain itu juga terlihat dari literatur para sarjana-sarjana abad
pertengahan yang menggunakan istilah Superanus, summa potestas, atau
plenitudo potestatis yang berarti wewenang tertinggi dari kesatuan politik. Selain
tiga istilah tersebut. Basileus -bahasa Yunani - sebutan untuk raja yang
mempunyai kekuasaan yang besar pada zaman Yunani kuno.
13
anti-sosial Kontrak kedua ini menunjukkan bahwa manusia tidak mempunyai
kepentingan alamiah bersama: tetapi merek mempunyai kepentingan untuk
14
dan manusia dimuka bumi. Paham kedaulatan ini berkembang pada abad
pertengahan, yakni antara abad V sampai abad XV masehi. Hal ini terjadi
seiring perkembangan agama Kristen di Eropa. Yang awalnya
perkembangan agama Kristen di toleransi oleh kerajaan Romawi akhirnya
diakui karena menjadi kelompok agama yang mempunyai pengaruh besar
dalam negara menjadi agama resmi negara. Dari pengakuan ini masih
menyisakan masalah yakni masalah antara kelompok politik dan kelompok
agama. Karena kelompok politik mempunyai loyalitas yang tinggi
terhadap negara mencakup loyalitas terhadap dewa- dewa negara, hal ini
ditolak oleh kelompok agama karena bertentangan dengan doktrin agama
Kristen (Schmandt 2005), Kemudian pemuka agama Kristen melakukan
pengorganisiran terhadap penganutnya yang kemudian menjadi organisasi
keagamaan, yakni gereja dan dikepalai Paus (Soehino, 1980).
Salah satu tokoh teori kedaulatan tuhan adalah St. Augustinus yang
menyatakan bahwa yang mewakili Tuhan di dunia dan juga dalam suatu
negara adalah Paus. Antara kekuasan raja dan Paus itu sama, maka ada
pembagian wilayah kekuasaan. Dalam pembagian ini raja berkuasa dalam
wilayah kedunawian dan paus berkuasa dalam wilayah keagaman.' Dalam
perkembangannya Marsillius menitik beratkan kekuasan berada di tangan
raja sebagai wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang
kedaulatan di bumi. Namun dalam karya Unam Sanctam, meyatakan
bahwa “Oleh karena itu. keduanya, kekuasaan spiritual dan kekuasaan
dunia. berada di tangan Gereja.... Karenanya satu pedang harus berada
dibawah pedang lainnya dan kekuasaan dunia tunduk pada kekuasaan
spiritual... Oleh karenanya, jika kekuasaan bumi menyimpang, ia harus
dihakimi oleh kekuasaan spiritual.. Tetapi jika kekuasaan tertinggi
menyeleweng, ia hanya bisa dihakimi oleh Tuhan, bukan oleh manusia”
(Schmandt 2005)
Dari karya tersebut menurut beberapa komentator menjadi dasar
bagi Paus untuk melakukan imperialisme kepada kerajaan-kerajaan yang
tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya. Machiavelli mencatat banyak
15
negara-negara yang takut untuk tidak tunduk di bawah kekuasaan gereja
(Paus) karena dua hal, pertama karena negara-negara di bawah kekuasaan
Paus takut akan kebesaran Gereja, kedua tidak adanya kardinal yang
menyebabkan pertikaian diantara negara bawahan Paus (Machiavelli,
2002).
2) Kedaulatan Raja
Dalam penghujung abad ke-16, di Eropa muncul pemikiran-
pemikiran politik yang menitik beratkan pada kedaulatan raja sebagai
sumber kekuasaan politik.21 Dengan adanya paham ini kekuasaan Gereja
terhadap kerajaan-kerajaan di Eropa mulai memudar. Raja sebagai
penguasa dalam sistem negara monarki mempunyai kekuasaan dominan
terhadap elemen-elemen yang ada dalam negara. Karena – hal ini berasal
dari asumsi
rakyat menyerahkan kekuasan mereka kepada raja untuk mengatur
kehidupan warga negara (rakyat). Awalnya konsep ini (kedaulatan raja –
dapat diterima oleh rakyat. Namun, lama kelamaan kekuasaan raja yang
dominan membawa rakyat kearah yang tidak memberikan ruang dan hak
kebebasan dan kemerdekaan bagi rakyat. Dengan kondisi yang merugikan
rakyat kemudian kekuasaan raja yang dominan dibatasi.
3) Kedaulatan Negara
Dalam pandangan Jean Bodin dalam mendefinisikan negara
sebagai pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga
serta kepentingan bersama oleh kekuasaan yang berdaulat (Schmandt
2005).
Dengan pemahaman negara tersebut, Adanya negara untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang baik dan membuat warganya menjadi
bijak dan yang terpenting adalah adanya kedaulatan. Menurut Bodin, yang
membedakan negara dengan organisasi atau komunitas lainnya adalah
adanya kedaulatan. Dalam teori kedaulatan ini, kekuasaan berasal dari
negara. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, dalam buku Ilmu Negara
mencatat bahwa teori kedaulatan negara ini muncul di Jerman. Untuk
16
mempertahankan kekuasaannya, raja merangkul golongan bangsawan,
angkatan perang atau militer dan birokrasi yang ada di Jerman waktu itu.
Teori ini juga dikatan sebagai kelanjutan dari kedaulatan raja (Kusnardi &
Saragih 1995).
Rakyat yang mempunyai paham kedaulatan rakyat dikhawatirkan
oleh raja, rakyat akan melakukan pemberontakan terhadap raja. Untuk
mengantisipasi agar rakyat tidak melakukan pemberontakan terhadap raja,
kemudian raja membuat teori baru tentang kedaulatan. Teori raja
menyatakan bahwa rakyat membentuk dirinya menjadi negara. Sehingga
rakyat identik dengan negara, maka, negara harus berdaulat. Karena
kedaulatan negara diangggap terlalu abstrak maka kedaulatan atau
kekuasaan berada ditangan raja.
Selain Jean Bodin, penganut teori ini adalah Georg Jellinek. Dalam
teori Jellinek, hukum adalah penjelamaan dari negara. karena hukum yang
membuat negara, maka negara dengan suka rela mengikat dirinya dengan
hukum untuk melaksanakan kekuasaannya. Teori kedaulatan negara ini
kritik oleh Krabbe. Menurut Krabbe kalau negara berdaulat dengan
menjelmakan diri dengan hukum, bagi Krabbe hal sangat bertentangan
dengan kenyataan. Dari kritikan atau tanggapan Krabbe terhadap terori
kedaulatan negara. Krabbe mengganggap bahwa yang berdaulat bukanlah
negara tetapi hukum (Soehino, 1980).
4) Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereinteit
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Raja atau penguasa
maupun warga negara atau rakyat semuanya tunduk terhadap hukum.
Semua tindakan yang dilakukan oleh raja atau rakyat harus sesuai dengan
hukum (Soehino, 1980). Kedaulatan ini bersumber dari kesadaran
masyarakat atau rakyat yang mempunyai rasa membuat hukum yang baik.
Dengan rasa kesadaran akan hukum. maka manusia mengeluarkan
perasaan (kesadarannya) sehingga mampu membedakan adanya norma
norma yang terlepas dari kehendak kita. Adanya sesuatu yang diluar
17
kehendak kita, maka kita mengeluarkan reaksi tersebut untuk menetapkan
sesuatu yang baik, adil dan sebagainya.
Kemudian, hukum dinyatakan sebagai jelmaan dari kehendak
manusia. Menurut Krabbe, yang kemudian diteruskan oleh muridnya
Kranenburg. hukum itu diluar kehendak negara, dan dia memberikan
kepada hukum kepribadian sendiri. Berbeda dengan Krabbe, tentang teori
kedaukatan hukum adalah Hans Kelsen. Hukum berlaku tanpa menunggu
penerimaan masyarakat atau rakyat, karena hukum bersifat imperatis
(Soehino, 1980). Teori Kelsen tidak mengenal negara, karena negara
menurut Kelsen merupakan kumpulan dari peraturan hukum yang berlaku
di masyarakat. Pemahaman arti negara dan arti hukum dikonkritkan dalam
tubuh raja. Maka. kedaulatan negara sama dengan kedaulatan hukum yang
bersifat imperatif (Kusnardi & Saragih 1995)
5) Kedaulatan Rakyat
Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, dalam pidato
peresmian pemakaman nasional Gettyburg mengatakan bahwa
pemerintahan yang ada di Amerika Serikat adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. “Pernyataan Lincoln memang sangat
populer di dunia dengan asas demokrasi yang diikuti oleh banyak negara
di dunia”.
Pernyataan Lincoln menunjukkan bahwa kedaulatan dalam sebuah
negara adalah kedaulatan rakyat. JJ Rousseau salah satu tokoh teori
kedaulatan rakyat. Rousseau membagi kehendak rakyat menjadi dua.
Pertama, Volonte de Tous atau kehendak seluruh rakyat. Yang dimaksud
Rousseau dengan Volonte de Tous adalah perjanjian seluruh rakyat untuk
membentuk negara. Persetujuan rakyat dalam perjanjian ini tidak dapat
dicabut apabila suatu waktu rakyat tidak sepekat dengan perjanjian yang
ada. Kedua, Volonte Generale setelah terbentuknya negara, suara
terbanyaklah yang menjalankan sistem pemerintahan suatu negara
tersebut. Dengan suara terbanyak dalam memutuskan suatu perkara
18
(meedesheid belsuit) yang kemudian muncul kediktatoran mayoritas
(meedesheid dictatuur) (Urofsky, 2001).
Kehendak rakyat yang kedua sama dengan yang dinyatakan
Montesquieu dalam buku The Spirit of Law,"bahwa rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi wajib mengatur segala sesuatu yang berada
dalam lingkungan kekuasaannya”. Imanuel Kant mengatakan bahwa
tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
warga negaranya. Kebebasan yang dimaksud Kant, kebebasan yang di
batasi oleh undang-undang. Undang-undang adalah jelmaan dari kehendak
rakyat. Jadi rakyatlah pemeang kekuasaan tertinggi (Soehino, 1980).
Beberapa filsuf islam berpendapat bahwa dalam Negara islam yang berdaulat
adalah Tuhan yakni Allah SWT. Salah satunya Nizam al Mulk al Tusi
19
berpendapat bahwa raja memerintah atas dasar anugrah Allah untuk membuat
kebijakan agar masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kebahagiaan didunia.
Sedangkan W.Montgomery Watt sebagaimana dikutip Harum Nasution
menyatakan bahwa untuk Bani Abbasyiah dengan sebutan Zhillullah fi al-Ard
(bayang-bayang Tuhan di bumi) (Amirudin, 2000).
Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa dalam politik islam yang cocok
adalah Kerajaan Tuhan (kingdom of Gods) atau dalam bahasa politiknya
Teodemokrasi. Dalam pandangan al-Maududi, konsep teodemokrasi Islam
berbeda dengan teokrasi yang pernah ada di Eropa yang dikuasai oleh sekelompok
orang (pendeta) yang memaksakan kekuasaan ketuhanan kepada rakyat. Islam
dalam penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat dengan
berpegang kepada kitabullah dan sunnah (Al-Maududi, 1995).
20
pemegang kedaulatan harus satu yakni orang yang mempunyai bakat dan
dapat membimbing orang lain. Selain itu al-Farabi mengkritik filsuf
Yunani yang mengagas cita-cita ideal sebuah Negara yang sangat sulit
untuk dipenuhi, hal ini mengakibatkan orang harus memilih Tuhan sebagai
penguasa (Arifuddin, 2008).
21
3) Kedaulatan Hukum
Konsep kedaulatan hukum dalam islam sama dengan kedaulatan
hukum yang dipahami oleh para filsuf Barat. Bahwa kekuasaan tertinggi
dalam sebuah Negara adalam hukum. Filsuf islam yang menganut paham
ini adalah Majid Khadduri. Dalam pandangan Khadduri, sistem
pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Nomokrasi bukan
Teokrasi sebagaimana asumsi sebagian besar masyarakat. Adapun yang
dimaksud dengan nomokrasi adalah sebuah pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang resmi, aturan hukum dalam suatu masyarakat
(Khadduri, 2002). Pemahaman Khadduri ini tidak lepas dari konsep
syari’ah merupakan hukum perjanjian antara tuhan dan manusia. Dari
konsep ini kemudian muncul konsep single contract dan two contract.
Single contract merupakan perjanjian antara sesama manusia yang
membentuk sebuah institusi masyarakat. Sedangkan two contract,
mengasumsikan bahwa manusia yang tergabung dalam masyarakat
mengangkat seorang pemimpin atau raja untuk memerintah dengan segala
kondisi dan keterbatasan yang ada dalam pemerintahannya.
4) Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat pada era saat ini sangat-lah popular
dibandingkan dengan paham kedaulatan lainnya. Pemikiran-pemikiran
Islam baik klasik maupun kontemporer telah mengagas kedaulatan rakyat.
Filsuf klasik yang terkenal dengan gagasan kedaulatan rakyat adalah Ibn
Sina dan al-Mawardi. Gagasan Ibn Sina dapat dilihat dari konsep
pemilihan kepala Negara sebelumnya, atau kedua melalui pemilihan yang
dilakukan oleh para tokoh yang dipercaya oleh rakyat (Amirudin, 2000).
Pendapat al-Mawardi hampir sama dengan Ibn Sina, dalam pemilihan
kepala ada dua cara, pertama pemilihan yang dilakukan oleh ahl wal ‘aqd,
kedua dengan penunjukan kepala Negara sebelumnya (AL-Mawardi,
2000). Ibn Khaldun menegaskan akan pentingnya pemilihan kepala
Negara. Ia berpendapat bahwa masyarakat memerlukan seorang wazi’ atau
22
pemimpin untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan
masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama (Arifuddin,
2008).
Mengenai kedaulatan rakyat, intelektual muslim kontemporer
Hasan al-Banna menyatakan bahwa dalam ajaran islam tanggung jawab
Negara ada pada para pemimpin Negara (Amirudin, 2000).Konsep kontrak
sosial dalam islam juga menunjukkan bahwa kedaulatan ada dalam tangan
rakyat. Dalam konsep kontrak sosial bahwa kekuasaan ada melalui
perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa kekuasaan rakyat di
serahkan kepada sebuah lembaga Negara atau seseorang (Pulungan, 1999),
dan apabila seseorang telah terpilih sebagai pemimpin Negara, al-Baqillani
pemimpin tersebut tidak mempunyai hal membatalkan perjanjian yang
telah disepakati.
Mehdi Hadavi menjelaskan bahwa manusia mempunyai kehendak
dan seluruh tindakkannya merupakan fenomena ilmiah. Seperti saat
manusia memilih tempat tinggal, ia dapat memilih tempat tinggal secara
bebas. Saat manusia telah menetapkan sebuah tempat untuk ditinggali,
maka ia mempunyai hak kepemilikan atas rumah yang ditempati. Begitu
juga dengan kepemilikan bersama sebuah lingkungan yang lebih besar,
seperti kepemilikan bersama sebuah Negara – karena manusia hidup
bersama dalam sebuah lingkungan yang lebih besar. Hal ini mendorong
individu-individu mewakilkan seseorang atau sekelompok orang untuk
membaktikan diri demi kehidpan yang damai (Tehrani, 2005).
23
24
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Sebagai bangsa yang besar terbentang dari sabang sampai marauke. Bangsa ini
tidak akan menjadi bangsa yang besar apabila rakyat dalam hal ini kita sebagai
pelajar tidak peduli, oleh karena itu sudah saatnya kita semua harus bersatu yang
mau terpecah belah oleh hal apapun.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
27
Situmorang, I. M. (2019). Konsep Kedaulatan Negara dan Rakyat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Soehino. (1980). Ilmu Negara. Liberty.
Soetomo. (1986). Ilmu Negara. Usaha Nasional.
Stanford. (n.d.). Sovereignty. Retrieved November 22, 2021, from
http://plato.stanford.edu/entries/sovereignty
Suryono, H. (2014). Ilmu Negara. Ombak.
Tehrani, M. H. (2005). Negara Ilahiah (R. Mulyono (ed.)). AL-Huda.
Urofsky, M. I. (2001). Demokrasi. USINFO.
Wahjono, P. (1996). Ilmu Negara. Universitas Indonesia.
28