Anda di halaman 1dari 4

Liputan

WISATA ROHANI PONDOK INDAH

Setahun yang lalu Paduan Suara Gloria dari Wilayah Pondok Indah gagal
mengunjungi Padepokan Kiai Sadrach di Purworejo karena bus yang
membawanya mogok di tengah jalan. Kali ini dengan perhitungan yang lebih
matang PS Gloria mencoba kembali untuk bisa mengunjungi Padepokan
Kiai Sadrach dengan gereja tua yang “unik” dan sudah berumur 140 th itu.

Kamis, 12 Mei’11 pukul 22.00 sebuah bus besar dengan kapasitas 45 seats
yang hanya diisi separohnya saja oleh rombongan PS Gloria meninggalkan
halaman gereja Nehemia, diawali renungan dan doa oleh Ibu Harefa selaku
Majelis Pondok Indah.
Pengemudi bus menyarankan untuk melewati jalur selatan saja, karena jalur
pantura rusak. Perjalanan cukup lancar dan sekitar jam 08.00 rombongan
sudah bisa sarapan pagi di Rawalo-Kebumen atas jamuan seorang peserta
yang memang asli dari daerah dekat-dekat situ. Kemudian perjalanan
dilanjutkan dengan penuh canda dan tawa karena perut sudah diisi cukup
banyak untuk ukuran makan pagi.

Padepokan Kiai Sadrach.


Bus yang ditumpangi berukuran cukup besar dan tidak mungkin bisa masuk
ke Padepokan karena pengalaman yang lalu Rombongan Wilayah Permata
Hijau busnya nyangkut di rel, Maka rombongan PS Gloria harus transit
terlebih dulu di RM Sumber Alam - Andong untuk berganti dengan bus
angkutan kota (semacam metro mini) menuju Padepokan Kiai Sadrach.
Ketika rombongan melewati areal makam Kiai Sadrach rupanya rombongan
dari PS Makarios-Wil. Pasar Minggu sedang “ziarah” di sana karena
memang berangkatnya lebih awal 2 jam dengan tujuan yang sama.
Rombongan diterima Pak Purwanto Nugroho selaku pengelola Padepokan
dan rombongan diberi kesempatan untuk mandi. Badan yang pegal-pegal
terasa segar kembali setelah mandi, apalagi dengan minum teh hangat
ditemani “nyamikan” khas pedesaan. Sambil menikmati makanan kecil itu
Pak Purwanto seperti biasa memberikan “ceramah” tentang Kiai Sadrach
cikal bakal berdirinya gerea jawa hingga mempunyai 20.000 jemaat di desa
sekecil Karangjasa itu. Setelah melihat-lihat benda peninggalan Kiai Sadrach
di “museum” padepokan, maka rombongan dipersilahkan untuk menikmati
makan siang dengan sayur asem dan lauk khas Karangjasa. Mengingat
cuaca demikian panas maka “ziarah” ke makam Kiai Sadrach terpaksa
dibatalkan, namun kesan yang didapat dalam kunjungan kali ini cukup
dalam dan sungguh berkesan. Bantuan ala kadarnya diberikan oleh Wil.
Pondok Indah melalui pak Winarno selaku Majelis wilayah kepada
pengelola Padepokan untuk membantu renovasi atap gereja yang bocor.
Setelah pamit kepada pak Pur pengelola Padepokan, rombongan kembali
melanjutkan perjalanan menuju Jogja dengan wajah yang memancarkan
kekaguman dan kepuasan, sementara ibu-ibu masih sempat menenteng gula
kelapa yang “mringin” produksi masyarakat sekitar gereja.

Gunung Kidul
Maksud hati rombongan mau belanja di Pasar Beringharjo dan Malioboro,
namun apa daya hujan deras mengguyur kota Jogja sehingga akhirnya
nongkrong saja di parkiran “Abu Bakar” sambil ngopi dan mbakso serta
menunggu bergabungnya Pak Alfred dan ibu.
Menjelang magrib rombongan meninggalkan kota Jogja menuju Wonosari-
Gunung Kidul, tepatnya di Mijahan-Semanu. Rombongan diterima Mbah
Marto putri mertua ibu Titus dan segera ditempatkan pada kamar masing-
masing di sebuah “cottage” bertaraf bintang, komplit dengan penyejuk
ruangan dan air panasnya. Tanpa disuruh lagi rombonganpun segera mandi
air panas karena waktu sudah menjelang malam dan cuaca cukup dingin.
Makan malam yang cukup “berat” disantap dengan lahapnya dan bisa
diduga, begitu perut kenyang mata mengantuk dan tertidurlah dengan lelap.

Cangkringan dan Tlogo Putri.


Pagi-pagi sekali setelah “coffee morning” rombongan berangkat menuju
wisata “bencana merapi” di Cangkringan. Ternyata kalau dilihat dari bekas
murkanya gunung Merapi sungguh mengerikan. Jurang bekas kali yang
cukup dalam dan lebar dibawah check dam Kali Gendol sudah dipenuhi
pasir dari abu vulkanik Merapi dan trecium bau belerang karena air panas
sempat mengalir di situ. Perkampungan hancur dan pepohonan hangus serta
rata dengan tanah akibat awan panas. Kalau sudah begini maka kita benar-
benar merasa betapa kita ini sangat kecil dan lemah serta nyaris tak berarti di
hadapan Tuhan. Namun semua itu ada hikmahnya, karena bencana yang
melanda lereng Merapi itu juga memberikan berkat berlimpah berupa batuan
dan pasir abu vulkanik yang nilainya tak terhingga. Merapi yang selama ini
lebih sering bersembunyi karena tertutup awan, di pagi yang cerah itu “say
hello” dengan menampakkan dirinya yang perkasa di hadapan para
wisatawan baik lokal maupun asing. Kita segera menikmati “petan,” bukan
mencari kutu di kepala tetapi makan tempe-ketan atau disebut juga jadah-
tempe makanan khas lereng Merapi yang disiapkan salah seorang peserta
yang kebetulan sedang dinas di Jogja.
Lokasi wisata ini masih sekitar 1,5 km di bawah bekas tempat tinggal mbah
Marijan yang harus di tempuh dengan ojek karena mobil dilarang naik ke
desa Kinah Reja desa tempat mbah Marijan bertugas sebagai Jurukunci.
Setelah puas melihat-lihat lokasi bencana, akhirnya perjalanan dilanjutkan
ke Kaliurang. Tlogoputri menjadi tujuan wisata kali ini, setelah melewati
jembatan Kali Kuning sebagai jembatan pintas di atas “check dam” penahan
lahar yang ternyata pagarnya habis dihantam lahar dingin. Pagi ini sarapan
di Kaliurang berupa nasi pecel khas Kaliurang dan minum wedang jahe,
sekali lagi perut dimanjakan. Karena Tlogoputri dianggap kurang “menarik”
saat itu maka rombongan melanjutkan perjalanan ke gardu pandang dengan
mobil gandeng. Di sini rombongan disambut hangat oleh dua sahabatnya
yang berekor panjang yang terpaksa harus turun gunung karena tidak tahan
panasnya Merapi dan memang sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Pantai Depok-Parangtritis
Setelah puas berkeliling di Kaliurang rombongan menuju pantai Depok-
Parangtritis. Ternyata makan siang telah disiapkan oleh salah seorang
rombongan yang memang asli Jogja. Makan dipinggir pantai secara lesehan
sungguh sangat mengasyikkan, apalagi menunya “sea food” dengan ikan
bakar dan udang gorengnya ditambah minum air kelapa muda sehingga ada
yang “kemlekaren” saking kenyangnya.
Selesai acara makan siang kita dikejutkan atraksi menarik karena ada dua
nenek cantik dengan “garang” nya menaiki motor ATV beroda empat melaju
di tepi pantai layaknya abege sedang nge-trek. Diikuti peserta lain yang tak
mau kalah saling berboncengan mencoba nge-trek juga. Asyik juga, sih.
Setelah puas dan capek, rombongan kembali ke “cottage”.

Mijahan nite
Sore itu ketika rombongan PS Gloria sampai di “cottage” ternyata sudah
datang pemain organ tunggal yang akan menghibur rombongan dari Jakarta.
Setelah semua mandi rombongan menikmati teh plus makanan kecil dan
segera berkumpul di pendhopo joglo dalam acara “Mijahan nite”.
Pak Kristanto sebagai ketua PS Gloria menyampaikan rasa terimakasih
kepada mbah Marto putri karena diperkenankan menginap di situ. Mbah
putri dalam sambutannya juga menyampaikan rasa terima kasih karena PS
Gloria sudah mau “niliki” simbah sebagai saudara seiman dan kiranya
persaudaraan bisa dijalin terus. Matur nuwun, mbah Marto putri.
Zarimah sebagai bintang panggung malam itu memanaskan suasana dengan
dengan goyang ala Inulnya yang diiringi mas Ganef pemain organ tunggal
yang cukup beken di Gunung Kidul dan sekitarnya dengan lagu-lagu
campursari. Sementara dari pihak tamu muncul Pak Topo yang memang
sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk bisa bernyanyi bersama Zarima
yang dikenalnya 4 th yang lalu di tempat yang sama waktu rombongan
keroncong Suara Nada Nehemia mengikuti Festival Keroncong Rohani di
Sinode GKJ Salatiga. Malam itu memang “milik” mereka berdua karena
“tanpa sungkan” berjoged ria dengan semangat maju perut pantat mundur
lupa kalau he . . he . . sudah lansia.
Mijahan nite dimeriahkan para penyanyi ibu kota “papan atas” seperti bu
Emma Sinaga dengan lagu-lagu nostalgia dan bu Titus yang menunjukkan
aslinya dengan lagu Terajana, bu Pandam dengan prahu layarnya serta ibu-
ibu yang lain dan tak ketinggalan pak Nixon dengan suara khas yang
melengking membuat organis geleng-geleng kepala. Sayang kemeriahan itu
tidak dinikmati sebagian peserta karena terlanjur “teler” kecapekan.

GKJ Wonosari
Pagi-pagi sekali pukul 05.30 PS Gloria sudah berangkat untuk tampil pada
kebaktian pkl 06.00 di GKJ Wonosari yang sudah dipugar demikian megah
dan dipadati jemaat karena ternyata hari itu dilayankan perjamuan kudus.
PS Gloria mempersembahkan 2 buah lagu dalam kebaktian Minggu tersebut.
Selesai kebaktian kembali ke Mijahan untuk makan pagi, dan sekaligus
berkemas dan mohon pamit karena hari itu juga rombongan akan kembali ke
Jakarta. Setelah belanja oleh-oleh di Pathok dan makan siang di soto
Kadipiro rombongan kembali ke Jakarta. Senin pukul 05.00 sampai di
halaman gereja dengan selamat, sementara pukul 03.00 rombongan Pasar
Minggu telah lebih dulu datang.
Selamat berwisata rohani untuk memupuk serikat persaudaraan.

(Tim Gembala)

Anda mungkin juga menyukai