Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KONSEP CULTURE AWARENESS AND BELIEFS IN

HEALTHCARE SYSTEM IN EUROPEAN PERSPECTIVE (JERMAN)

Mata Kuliah : Peka Budaya

Disusun Oleh :
1. Gusti Ketut Pina Astriani (202123054)
2. Hizkia Nur Wibowo (202123055)
3. Indah Puji Leksono (202123056)
4. Irene Denisya Purnasari (202123057)
5. Jerika Ardya Paramita Wibowo (202123058)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH YOGYAKARTA


SARJANA KEPERAWATAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Makalah Konsep
Culture Awareness and Beliefs in Healthcare System in European Perspective (Jerman)”.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk Mata Kuliah Peka Budaya
pada Prodi Sarjana Keperawatan Stikes Panti Rapih Yogyakarta.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada :

1. Ibu Herlin Lidya., Ns.,M.Kep

3. Teman-teman kelompok 5

Tidak ada gading yang tak retak, begitu pula kami dalam penyusunan makalah ini
yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun untuk kami agar dapat lebih baik kedepannya dalam menyusun makalah.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada kami selaku mahasiswa Prodi Sarjana
Keperawatan dan pembaca.

Sleman, 17 September 2023

(Kelompok 5)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................................................... 5
1.4. Metode Penulisan ........................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................. 6
RESUME ........................................................................................................................................ 6
BAB III ........................................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 8
3.1. Culture Awareness and Beliefs in Healthcare Practice di European (Jerman) ....... 8
3.2. Karakteristrik Perilaku Kesehatan di European (Jerman) ..................................... 10
3.3. Aplikasi Peka Budaya dan Nilai Kepercayaan dalam Praktik Kesehatan ............. 11
3.4. Contoh Budaya Kepercayaan dalam Praktik Kesehatan di European (Jerman) . 14
BAB IV ......................................................................................................................................... 16
PENUTUP .................................................................................................................................... 16
4.1. Kesimpulan........................................................................................................................ 16
4.2. Saran ............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 17
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sistem layanan kesehatan modern dihadapkan pada tantangan untuk


memenuhi kebutuhan populasi yang semakin beragam secara etnis. Pemenuhan
kebutuhan ini memerlukan pemahaman terhadap populasi dan individu yang
dilayani, tantangan dalam menghadapi keberagaman etnis dan agama serta
kesenjangan. Keberagaman etnis menimbulkan tantangan layanan kesehatan
yang dihadapi banyak negara. Sensitivitas budaya memerlukan pemahaman dan
empati terhadap migrasi seperti yang dibahas di bawah ini. Poin-poin ini berlaku
untuk individu dan sistem layanan kesehatan.

Dalam mengembangkan sistem layanan kesehatan yang sensitif secara


budaya (atau kompeten), di mana banyak faktor perlu dipertimbangkan secara
bersamaan, konsep etnisitas yang luas, cair dan mudah beradaptasi akan sangat
membantu. Etnisitas adalah kelompok sosial tempat Anda berada, atau dianggap
menjadi bagiannya, karena budaya Anda (bahasa, pola makan, agama),
keturunan, dan ciri fisik.

Menurut Leininger (2002) keperawatan transcultural adalah suatu area/


wilayah keilmuwan budaya pada belajar praktik keperawatan yang focus pada
memandang perbedaan dan kesamaan antara budaya dengan menghargai asuhan,
sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya kepercayaan dan tindakan, dan ilmu
ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau
keutuhan budaya kepada manusia. Teori transcultural keperawatan adalah
tindakan peduli. Tindakan peduli ini dalam memberikan dukungan kepada
individu secara utuh.

Dengan adanya sistem kesehatan ini diharapkan masyarakat Jerman


dapat memperoleh nilai kesehatan yang tinggi. Didalam mewujudkan sistem
kesehatan ini tentunya budaya serta kebiasaan dari setiap individu menjadisalah
satu faktor keberhasilan dalam tercapainya derajat kesehatan tiap
individu. Dengan demikian pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia dan juga
calon perawat untuk lebih mengenal serta mengetahui budaya- budaya yang ada di
negara tetangga yang diharapkan nantinya kita akan sadar dan dapat menerima serta
mempelajari budaya dan keyakinan- keyakinan yang dimiliki agar dapat
menyetarakan perbedaan-perbedaan budaya yang ada.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana culture awareness and beliefs in healthcare practice di Jerman?
2. Bagaimana karakteristik perilaku kesehatan di Jerman?
3. Bagaimana aplikasi peka budaya dan nilai kepercayaan dalam praktik kesehatan?
4. Apa saja contoh budaya kepercayaan dalam praktik kesehatan di Jerman?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Mengetahui culture awareness and beliefs in healthcare practice di Jerman
2. Mengetahui karakteristik perilaku kesehatan di Jerman
3. Mengetahui aplikasi peka budaya dan nilai kepercayaan dalam praktik kesehatan
4. Mengetahui contoh budaya kepercayaan dalam praktik kesehatan di Jerman

1.4. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menulis penugasan ini ialah metode pengumpulan data
melalui data yang berbentuk tulisan berupa artikel dan jurnal dari media elektronik.
Data yang sudah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis secara objektif dan
sistematis sehingga dapat tercapai tujuanyang diharapkan.
BAB II

RESUME

Di Jerman, “layanan kesehatan masyarakat” terdiri dari departemen kesehatan negara


bagian dan lokal, lembaga pemeriksaan hewan dan makanan tertentu, dan otoritas kesehatan di
tingkat nasional, negara bagian dan kota, termasuk badan-badan bawahannya. Inti dari
pelayanan kesehatan masyarakat adalah otoritas kesehatan local atau departemen kesehatan
Masyarakat dari pemerintah kotamadya kota dan kabupaten pedesaan.

Asuransi kesehatan adalah wajib di Jerman. Sekitar 86 persen penduduknya terdaftar


dalam asuransi kesehatan wajib, yang menyediakan perlindungan rawat inap, rawat jalan,
kesehatan mental, dan obat resep. Administrasi ditangani oleh perusahaan asuransi non-
pemerintah yang dikenal sebagai dana penyakit. Pemerintah hampir tidak memiliki peran
dalam pemberian layanan kesehatan secara langsung. Dana sakit dibiayai melalui iuran upah
umum (14,6%) dan iuran tambahan khusus (rata-rata 1% dari upah), yang keduanya ditanggung
bersama oleh pemberi kerja dan pekerja. Pembayaran bersama berlaku untuk layanan rawat
inap dan obat-obatan, dan dana sakit menawarkan berbagai pengurangan. Warga Jerman yang
berpenghasilan lebih dari $68.000 dapat memilih untuk tidak ikut SHI dan memilih asuransi
kesehatan swasta. Tidak ada subsidi pemerintah untuk asuransi swasta.

Cara Kerja Jaminan Kesehatan Universal

Undang-undang Asuransi Kesehatan Kanselir Otto von Bismarck tahun 1883


menetapkan sistem asuransi kesehatan sosial pertama di dunia. Pada awalnya, cakupan asuransi
kesehatan hanya terbatas pada pekerja kerah biru. Pada tahun 1885, 10 persen penduduk
diasuransikan dan berhak atas tunjangan tunai jika sakit (50% dari gaji selama maksimal 13
minggu), kematian, atau persalinan. Meskipun pada awalnya terbatas, cakupannya secara
bertahap diperluas. Langkah terakhir menuju cakupan kesehatan universal terjadi pada tahun
2007, ketika asuransi kesehatan, baik yang bersifat wajib maupun swasta, diwajibkan bagi
semua warga negara dan penduduk tetap. Sistem yang ada saat ini memberikan perlindungan
bagi seluruh penduduk, disertai dengan paket manfaat yang besar.

Asuransi kesehatan disediakan oleh dua subsistem: asuransi kesehatan wajib (SHI),
yang terdiri dari program asuransi kesehatan non-pemerintah yang bersaing, nirlaba, yang
dikenal sebagai dana sakit; dan asuransi kesehatan swasta. Layanan perawatan jangka panjang
dilindungi secara terpisah berdasarkan asuransi perawatan jangka panjang wajib (LTCI)
Jerman. Berbeda dengan negara-negara lain, dana penyakit dan perusahaan asuransi kesehatan
swasta, serta perusahaan asuransi perawatan jangka panjang, menggunakan penyedia layanan
yang sama. Dengan kata lain, rumah sakit dan dokter merawat semua pasien terlepas dari
apakah mereka memiliki asuransi SHI atau swasta.

Peran pemerintah: Sistem layanan kesehatan Jerman terkenal karena pembagian


kekuasaan pengambilan keputusan di antara pemerintah federal dan negara bagian serta
organisasi pembayar dan penyedia layanan yang mengatur dirinya sendiri (lihat pameran).
Dalam kerangka hukum Jerman, pemerintah federal memiliki kekuasaan regulasi yang luas
atas layanan kesehatan namun tidak terlibat langsung dalam pemberian layanan. Komite
Gabungan Federal, yang diawasi oleh Kementerian Kesehatan Federal, menentukan layanan
yang akan ditanggung oleh dana sakit. Sebisa mungkin, keputusan cakupan didasarkan pada
bukti dari tinjauan komparatif efektivitas dan penilaian teknologi kesehatan (manfaat-risiko).

Komite Gabungan Federal juga menetapkan ukuran kualitas bagi penyedia layanan dan
mengatur kapasitas perawatan rawat jalan (jumlah dokter yang bekerja di bawah kontrak SHI),
dengan menggunakan rasio populasi-dokter berdasarkan kebutuhan.

Status kesehatan penduduk di Jerman semakin membaik dalam beberapa tahun terakhir,
dengan penurunan angka kematian yang dapat dicegah dan peningkatan angka harapan
hidup. Keberhasilan ini sebagian disebabkan oleh pelayanan kesehatan masyarakat yang
menjalankan fungsi-fungsi penting seperti memastikan air minum bersih, memantau
kebersihan di fasilitas umum dan restoran, menjalankan program imunisasi dan
mengembangkan strategi untuk melawan perilaku kesehatan yang berisiko. Namun, kemajuan
apa pun dalam promosi kesehatan sebagian besar disebabkan oleh sistem kesehatan yang lebih
luas, karena masyarakat umum di Jerman kurang memiliki pemahaman yang jelas tentang
lembaga-lembaga yang terlibat dalam layanan kesehatan masyarakat dan peran kesehatan
masyarakat secara keseluruhan.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Culture Awareness and Beliefs in Healthcare Practice di European (Jerman)


a. Budaya kesehatan kaum immigrant di Europan (Jerman)

Kebudayaan Jerman sangat ditentukan oleh kebudayaan negara-negara


penyusunnya, serta kebudayaan umum lainnya di Eropa. Secara historis, budaya
Jerman dipengaruhi oleh para pemikir dan intelektual besar.Berdasarkan jurnal
“Reducing the health care burden for marginalised migrants: The potential role
for primary care in Europe”. Penduduk migran di Jerman mendapatkan
ketidakadilan yang parah tentang hak dan akses terhadap layanan kesehatan
berkualitas tinggi. Ada kebutuhan untuk mengeksplorasi peran migran dalam
perawatan peran penting dalam mengurangi hambatan-hambatan tersebut dan
mengidentifikasi cara-cara di mana kebijakan dan sistem layanan kesehatan dapat
mempengaruhi kemampuan fasilitas perawatan primer untuk merespons kebutuhan
migran yang rentan dan terkucilkan. Pelayanan kesehatan primer yang peka
terhadap budaya dapat memainkan peranan penting memberikan perawatan
berkualitas tinggi dan mudah diakses bagi para migran yang berada dalam situasi
rentan. Pengambil kebijakan dan Praktisi harus menghormati hal ini ketika
mendanai, yang mungkin membatasi akses perawatan dan memiliki dampak
negatif pada kualitas perawatan ini praktisi dapat memenuhi kebutuhan populasi
ini.
Sistem kesehatan dan pelayanan kesehatan primer pada umumnya lebih
tepatnya, ini menjadi dasar untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
sistem layanan kesehatan primer di lima negara Eropa termasuk jerman, untuk
melaksanakannya pelayanan kesehatan bagi kelompok imigran yang terpinggirkan
Yang ini bisa menekankan pengaruh sosial dan politik yang lebih luas pada layanan
primer dan bagaimana sistem dan kebijakan layanan kesehatan pada tingkat makro
kegiatan di tingkat nasional dapat ditingkatkan atau dikurangi hambatan terhadap
layanan kesehatan primer.

Hambatan dalam mengakses layanan kesehatan meliputi bahasa dan


komunikasi, hambatan dan masalah di sekitarnya kompetensi dan pemahaman
antar budaya. Pendanaan pengobatan kesehatan bergantung pada pajak atau
asuransi sosial. Di negara Austria dan Belanda, pendanaan tradisional untuk
layanan kesehatan mengandalkan asuransi sosial. Kendala lain dalam berdonasi
layanan kesehatan adalah kurangnya akses terhadap layanan kesehatan karena
status migrasi (misalnya pencari suaka atau tidak berdokumen migran), kurangnya
akses terhadap asuransi kesehatan. Tingkat pemasok hambatan khususnya berfokus
pada profesional kesehatan dokter rumah sakit dan dokter keluarga/dokter umum.
Kendala lain itu adalah kurangnya kemampuan komunikasi, kemiskinan, hati
nurani dan kompetensi budaya. Waktu tunggu dan sistem rujukan diperhitungkan
sebagai kendala di tingkat pemasok. Termasuk tingkat sistem penghalang
kurangnya juru bahasa dan layanan nasional.

2. Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Sandra C Buttigig, dll, semuanya muncul di pencarian bertajuk “Kebutuhan


Evaluasi layanan kesehatan seksual sedang dikembangkan di sejumlah kecil daerah
Negara Anggota Uni Eropa (2019)”. Penelitian berhasil mensurvei orang-orang
yang tersisa berusia 16-21 tahun. Belajar didorong oleh momen milenium baru
kesehatan seksual di Malta, negara kecil anggota Uni Eropa. Tabu dan standar
menjadi hambatan yang kuat terhadap penyediaan informasi dan layanan kesehatan
reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan jumlahnya banyak
Berpengalaman dalam layanan dan risiko lebih banyak tersedia dibandingkan laki-
laki. Sekolah adalah sumber informasi paling umum, sedangkan staf medis adalah
dokter umum dianggap sebagai sumber terpercaya untuk kebutuhannya. Keamanan
dianggap sebagai fitur yang paling banyak diminta di industri perawatan Kesehatan
reproduksi. Kesimpulan dan penelitian adalah tiga kebutuhan Sistem multidisiplin
yang penting adalah sistem penyebaran informasi kesehatan. Kesehatan seksual
lengkap, pendidikan kesehatan seksual berbasis sains untuk para profesional yang
bekerja dengan pemuda, dan Layanan kesehatan seksual dirancang dengan baik
dan efektif diakses. Hasil penelitian ini menunjukkan informasi tentang Kesehatan
reproduksi sangat penting masyarakat, khususnya remaja, dimana hal ini seringkali
tidak memungkinkan diperoleh secara publik bagi remaja untuk benar-benar
mencari informasi salah, ini mempengaruhi perilaku seksual normal.
3.2. Karakteristrik Perilaku Kesehatan di European (Jerman)
A. Perilaku kesehatan kelompok minoritas di Eropa (Jerman)
Kurangnya kesadaran akan kesehatan mental yang buruk, ekspektasi budaya,
stigma yang terus-menerus, budaya layanan kesehatan yang tidak responsif dan
terfragmentasi, serta interaksi dengan penyedia layanan. Inkompetensi dan
ketidakmampuan budaya berdampak pada kemampuan perempuan dari latar
belakang etnis minoritas untuk menerima dukungan kesehatan mental antenatal yang
memadai di Inggris. Perempuan dari kelompok etnis minoritas berisiko lebih tinggi
mengalami masalah kesehatan mental. Kesehatan mental perinatal yang buruk
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ibu serta dapat berdampak negatif terhadap
kesehatan anak dan keluarga. Dalam ulasan berjudul “Tinjauan sistematis
pengalaman perempuan etnis minoritas tentang kondisi dan layanan kesehatan
mental perinatal di Eropa” mengatakan bahwa perempuan dari semua kelompok
etnis minoritas tidak menyadari gangguan kesehatan mental perinatal. Bahkan ketika
mereka mengetahui atau mengalami gejala kesehatan mental perinatal, mereka tidak
menganggapnya sebagai penyakit tetapi menganggapnya sebagai masalah normal,
kurang istirahat, isolasi, kurangnya dukungan, efek negatif, dan lain-lain di bawah
pengaruh roh jahat. , mereka akan sembuh dari penyakitnya. Perempuan Karibia
berkulit hitam mengatakan depresi tidak dapat diterima dalam budaya mereka karena
dapat mempengaruhi peran mereka dalam masyarakat.
Budaya tersebut dipengaruhi oleh dampak dari sejarah perbudakan mereka,
dan perempuan diharapkan menjadi kuat dan protektif terhadap keluarganya dan
tidak boleh mengakui depresi yang mereka alami karena merupakan kelemahan atau
ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula pada perempuan
Bangladesh, depresi dapat dilihat sebagai suatu kelemahan. (Watson, H., Harrop, D.,
Walton, E. dan Young, A, 2019).
Wanita dengan gangguan kesehatan mental perinatal menggambarkan gejala
yang dialaminya sebagai berikut: kecemasan, mood rendah dan sedih, menangis
berkepanjangan, pikiran negatif, nyeri dada atau perut, lemas, perubahan perilaku
seperti sulit keluar rumah, dan masalah nafsu makan atau tidur. (Watson, H., Harrop,
D., Walton, E. dan Young, A, 2019).
B. Penggunaan terapi komplementer dan pengobatan alternatif di Eropa (Jerman)

Menurut jurnal Kemppainen, Kemppainen, Reippainen, Salmenniemi dan


Vuolanto (2018) Penggunaan pengobatan komplementer dan alternatif di Eropa,
negara-negara Asia bukan satu-satunya yang menggunakan terapi komplementer dan
alternatif:
Faktor penentu terkait kesehatan dan sosio-demografis, secara total, 25,9%
populasi umum telah menggunakan terapi komplementer dan alternatif dalam 12 bulan
terakhir. Biasanya, hanya satu pengobatan CAM (Terapi Komplementer dan Alternatif)
yang digunakan, dan sering kali digunakan sebagai pengobatan komplementer
daripada pengobatan alternatif. Penggunaan CAM sangat bervariasi antar negara, dari
10% di Hongaria hingga hampir 40% di Jerman. Dibandingkan dengan orang sehat,
penggunaan CAM dua hingga empat kali lebih tinggi pada orang dengan masalah
kesehatan.
Profil kesehatan pengguna modalitas CAM yang berbeda akan bervariasi.
Misalnya, nyeri pada punggung atau pada bagian leher biasanya dikaitkan dengan
semua jenis CAM, sedangkan depresi hanya dikaitkan dengan penggunaan terapi
sebagai pikiran tubuh. Orang dengan kondisi kesehatan yang sulit didiagnosis lebih
cenderung menggunakan pengobatan alternatif, dan penggunaan ini lebih umum terjadi
di kalangan perempuan dan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.
Pendapatan yang lebih rendah dikaitkan dengan penggunaan terapi pikiran-tubuh,
sementara tiga modalitas TCM lainnya dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi
(Kemppainen, L.M., Kemppainen, T.T., Reippainen, J. A., Salmenniemi, ST dan
Vuolanto, PH 2018).

3.3. Aplikasi Peka Budaya dan Nilai Kepercayaan dalam Praktik Kesehatan
Binteriawati, .Pahriah dan Nuraeni, (2020) dalam merawat pasien dari budaya
yang berbeda, ada beberapa prinsip yang dapat dihormati, antara lain:
1. Nilai-nilai yang menjadi dimensi caring
Peduli terhadap klien dan keluarga, kolega, kolega di semua profesi dan tingkat
manajemen. Namun yang belum dilakukan adalah mengurus organisasi. Merawat
pasien dengan kebaikan dan kasih sayang semata-mata untuk kepentingan rumah sakit
dan merupakan bagian integral dari rumah sakit. Menjadi ciri organisasi, sehingga
segala sesuatu yang dilakukan mewakili organisasi dan setiap pengalaman perawat
dalam melakukan pekerjaannya juga dialami oleh organisasi.
Dukungan terhadap organisasi dapat diterapkan dalam bentuk pelayanan pasien:
A. Knowing (memahami nilai-nilai profesional yang harus dimiliki serta menunjukkan
reputasi baik di organisasi)
B. Being With (Mendampingi) : berpartisipasi, mengambil tanggung jawab untuk
menciptakan “reputasi baik” bagi organisasi
C. Doing For (tujuannya semua layanan keperawatan diberikan semata-mata untuk
meningkatkan “reputasi baik” rumah sakit)
D. Enabling (menjamin turun temurunnya nilai-nilai dan budaya- budaya organisasi
dan menjadi “penciri” atas nilai-nilai dan budaya organisasi)
E. Maintaining Belief (Menjaga kepercayaan): menjadi agen perubahan untuk
mengintegrasikan nilai dan budaya organisasi, dan menerapkan siklus penjaminan mutu
untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut)

2. Pelayanan prima

Budiono, (2012) dalam Suroso, (2017) adalah pelayanan yang dapat


memberikan perasaan kepada pelanggan bahwa mereka menerima suatu pelayanan
yang sesuai dengan harapannya, sesuai dengan indikator tertentu dan pelayanan
tersebut dapat diperhitungkan sehingga mereka merasa puas. Pelayanan yang baik
adalah tentang mengeluarkan yang terbaik dari diri pelanggan, melakukan segala
kemungkinan untuk memuaskan mereka, dan membuat keputusan yang dapat
menguntungkan pelanggan tanpa merugikan bisnis. Keunggulan layanan disampaikan
melalui alur operasi yang efisien, lancar, terbuka, sederhana, fokus, terjangkau,
komprehensif, dan lugas.

3. Faktor komunikasi

Komunikasi itulah yang memungkinkan seseorang menyusun dan


menyampaikan suatu pesan secara sederhana sehingga orang lain dapat memahami dan
menerimanya. Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan faktor
kunci bagi perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan untuk mencapai hasil
yang optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan komunikasi terapeutik
antara lain: pendidikan, jam kerja dan pengetahuan, sikap dan kondisi psikologis.
4. Perawat di departemennya memberikan layanan yang tepat dan dapat diandalkan

Asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan standar asuhan keperawatan dan


prosedur operasional standar. Perawat juga memberikan pelayanannya dengan sikap ramah
dan tanggap terhadap keluhan atau permintaan pasien serta bekerjasama dengan rekan
kerja atau dokter dalam memberikan pelayanan medis.

5. Kompetensi budaya

Perawat menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang budaya pasien,


menerima dan menghormati perbedaan budaya, dan menyesuaikan perawatan agar sesuai
dengan budaya pasien. dengan budaya pasien (Ozga et al, 2018) dalam (Binteriawati,
Pahriah & Nuraeni, 2020).

Perawat harus memiliki lima elemen yang merupakan pendorong utama kompetensi
budaya di tingkat penyedia layanan kesehatan:

A. Kesadaran budaya
B. Pengetahuan budaya
C. Keterampilan Budaya
D. Pertemuan budaya
E. Keinginan budaya

Perawat yang kompeten secara budaya akan kompeten secara budaya dan akan
bertindak atau mengambil keputusan yang mempertimbangkan aspek kognitif, suportif
atau suportif yang konsisten dengan nilai-nilai budaya, keyakinan dan budaya individu,
kelompok, atau organisasi untuk memberikan atau mendukung layanan kesehatan atau
sosial. bermakna, bermanfaat dan memuaskan (Binteriawati, Pahriah & Nuraeni, 2020).
3.4. Contoh Budaya Kepercayaan dalam Praktik Kesehatan di European (Jerman)
Budaya memengaruhi keindahan gender dan cara berbagai hal diungkapkan
dalam berbagai budaya. Dalam budaya Jerman, ada hal yang bisa dipelajari, antara lain:

1. Bahasa: Ada banyak dialek berdasarkan wilayah dan letak geografis. Banyaknya
bahasa maju menunjukkan kekayaan budaya Jerman.

2. Pakaian tradisional: Salah satu kostum tradisional Jerman yang paling terkenal adalah
“Dirndl” untuk wanita dan “Lederhosen” untuk pria. Kostum tradisional ini banyak
digunakan di wilayah Bavaria. Dirndl yang aslinya merupakan seragam pelayan
merupakan gaun warna-warni yang dipadukan dengan korset, blus, rok, dan celemek.
Lederhosen, sebaliknya, adalah celana kulit selutut yang dikenakan oleh orang-orang
di dalam dan sekitar wilayah Alpen.

3. Bangunan: Jerman merupakan salah satu negara dengan jumlah karya warisan budaya
terbanyak yang dilindungi UNESCO. Hampir di mana-mana di kota ini terdapat
bangunan arsitektur masa lalu berupa istana, kastil, katedral, dan monumen yang masih
terjaga keasliannya.

4. Menghargai Waktu: Salah satu budaya Jerman yang wajib kita ikuti adalah ketepatan
waktu atau punktlichkeit. Orang sering bilang waktu adalah uang, tapi orang Jerman
berbeda. Bagi mereka, menghargai waktu berarti menghargai diri sendiri dan juga
menghargai orang lain. Jadi bukan hanya soal perlengkapan atau disiplin, ketepatan
waktu sudah menjadi bagian dari budaya Jerman.

5. Kebiasaan membaca: Seperti biasa bagi masyarakat di negara maju, Jerman juga
terkenal memiliki budaya membaca yang tinggi. Padahal membaca bukan hanya
sekadar hobi, namun sudah menjadi kebutuhan yang esensial. Karena membaca akan
menentukan cara berpikir, etos kerja, dan sikap mental seseorang.

Kepercayaan terhadap praktik kesehatan di Jerman termasuk rematik, khususnya


bahwa membawa kentang di saku akan memastikan kita tidak tertular rematik. Karena
kentang mudah rusak dan layu maka akan diganti dengan kentang baru jika diperlukan.
Pada beberapa orang, horse-chestnut digunakan dengan cara yang sama. Suara ular berbisa
yang diikatkan pada tali dan digantungkan di leher konon dapat menyembuhkan dan
mencegah serangan rematik. Minyak ular derik bila dioleskan ke area yang terkena juga
dianggap sebagai obat yang jitu atau mujarab. Rebusan kulit kayu witch hazel juga
digunakan secara lokal. Rebusan kulit kayu atau sari bunga pohon abu berduri-
Zanthoxylum Americanum Mill juga digunakan dengan cara yang sama seperti
sebelumnya. Selain itu, bila kita sedang batuk disertai pilek, pengobatan yang umum
dilakukan adalah dengan memasukkan brendi (minuman beralkohol) ke dalam piring dan
membakarnya. Jika sudah menyala beberapa menit, matikan apinya dengan menutup
piring dan menambahkan gula putih secukupnya untuk membuat sirup. Dosisnya satu
sendok makan, diminum dengan selang waktu satu atau dua jam, jika diperlukan. Peter
Kalrn membahas penggunaan sassafras, dicampur dengan rum atau brendi, “yang diminum
setiap pagi”. “Ya, kulit kayunya yang dicampur dengan arak kental atau direbus dengan
alkohol lain dikatakan tidak hanya meredakan nyeri dada tetapi juga membantu meredakan
segala nyeri dada dan mulas”. Kulit bagian dalam pohon ceri liar (bersama dengan buah
beri) dimasukkan ke dalam botol wiski atau brendi dan dibiarkan selama sekitar satu
minggu, kemudian campuran tersebut diminum dalam dosis kecil untuk mengobati batuk.
Kaus kaki yang diikatkan di kepala telah digunakan untuk mengobati flu sampai di kepala
dan kemungkinan besar merupakan modifikasi dari solusi yang diusulkan bertahun-tahun
yang lalu.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Sistem kesehatan dan pelayanan kesehatan primer pada umumnya lebih
tepatnya, ini menjadi dasar untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
sistem layanan kesehatan primer di lima negara Eropa termasuk Jerman, untuk
melaksanakannya pelayanan kesehatan bagi kelompok imigran yang terpinggirkan
Yang ini bisa menekankan pengaruh sosial dan politik yang lebih luas pada layanan
primer dan bagaimana sistem dan kebijakan layanan kesehatan pada tingkat makro
kegiatan di tingkat nasional dapat ditingkatkan atau dikurangi hambatan terhadap
layanan kesehatan primer.

Perawat yang kompeten secara budaya akan kompeten secara budaya dan akan
bertindak atau mengambil keputusan yang mempertimbangkan aspek kognitif, suportif
atau suportif yang konsisten dengan nilai-nilai budaya, keyakinan dan budaya individu,
kelompok, atau organisasi untuk memberikan atau mendukung layanan kesehatan atau
sosial. bermakna, bermanfaat dan memuaskan

Pelayanan kesehatan primer yang peka terhadap budaya dapat memainkan


peranan penting memberikan perawatan berkualitas tinggi dan mudah diakses bagi para
migran yang berada dalam situasi rentan. Pengambil kebijakan dan Praktisi harus
menghormati hal ini ketika mendanai, yang mungkin membatasi akses perawatan dan
memiliki dampak negatif pada kualitas perawatan ini praktisi dapat memenuhi
kebutuhan populasi ini.

4.2. Saran
Tenaga kesehatan atau mahasiswa kesehatan diharapkan dapat berkolaborasi
dalam meningkatkan peka terhadap budaya yang ada di sekitar kita, serta selalu
memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan setara dengan tidak membeda-bedakan
antara kebudayaan satu dengan yang lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Connie, C., & Yuni, I. (2022). ADAPTASI DESAIN INTERIOR GOETHE INSTITUT

JAKARTA PASCA PANDEMI COVID-19. Jurnal INT’DESiGN, 1(1), 14-29.

Sadewa, D. P. (2019). Diplomasi Sains Komunitas Epistemik Jerman Dalam Meningkatkan


Pembangunan Kolombia. Sospol: Jurnal Sosial Politik, 5(2), 277-290.

Proceedings, Source, American Philosophical, and Jan Jul. 1889. “Folk-Medicine of the
Pennsylvania Germans Author ( s ): W . J . Hoffman Published by : American
Philosophical Society Stable URL : Https://Www.Jstor.Org/Stable/982955.” 26(129):
329–52.

Murdiyanti Dewi. (2020). Keperawatan Transkultural. Pustaka Baru Press. Bantul,


Yogyakarta. Elizabeth Elzha: penata riset.

Watson, H., Harrop, D., Walton, E., & Young, A. (2019). A systemic review of ethnic
minority women's experiences of perinatal mental health conditions and services in
Europe. PLOS One .

Noviestari, E., Gunawijaya, J., & Indracahyani, A. (2018). Pelatihan AsuhanKeperawatan


Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 27-33

Anda mungkin juga menyukai