Anda di halaman 1dari 17

Identitas Seorang Muslim (1)

Sebagai seorang muslim yang dimulai sejak lahir, Siti dididik dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga
muslim. Saat ia dilahirkan, ia disambut lantunan adzan oleh ayahnya di telinga kanannya dan lantunan iqomat di
telinga kirinya. Tujuh hari kemudian, Siti diberi nama, dicukur rambutnya, dan di-aqiqah-kan dengan
menyembelih satu ekor kambing. Semuanya sesuai dengan syariat Islam, seperti yang tertuang dalam hadis
berikut ini:

”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara dengan aqiqahnya dan disembelihkan hewan untuknya pada hari
ketujuh, dicukur dan diberikan nama untuknya.” (HR. Imam yang lima, Ahmad dan Ashabush Sunan dan
dishohihkan oleh Tirmidzi)

Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran
bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari
(5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]

Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya
yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits
Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi
2/81, dan lain-lainnya]

Berbeda dengan Siti, Sri adalah anak dari keluarga bangsawan jawa yang memegang teguh adat istiadat Jawa.
Sejak dalam kandungan Sri sudah disuguhi oleh upacara adat istiadat Jawa, tepatnya ketika umur kandungan 7
bulan. Ritual ini disebut Tingkepan atau lebih dikenal dengan Mitoni. Dalam pelaksanaan upacara tingkepan,
ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.

Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin.
Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam
kendi habis, kendi dipecah. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami
melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu
halangan.

Siti dan Sri mendapat perlakuan yang berbeda dari masing-masing keluarganya. Siti mendapat perlakuan yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad, sedangkan Sri mendapat perlakuan dari leluhur keluarganya. Upacara adat
tentu saja berbeda dengan ritual keagamaan, terutama agama Islam karena Islam adalah agama samawi paling
muda yang berfungsi menyempurnakan agama sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, sebagian orang
meninggalkan adat istiadat yang dirasa tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman sekarang. Namun masih ada
sebagian kecil orang yang keukeuh melakukan ajaran leluhurnya itu, bahkan ada juga yang memodifikasi
upacara adat dengan ajaran agama (contoh: tahlilan). Sah-sah saja mereka lakukan itu, asal tidak melenceng dari
ajaran Islam. Namun ada satu poin penting yang harus diingat, bahwa ajaran Islam tak akan bisa diubah oleh
keadaan zaman, berbeda dengan adat istiadat yang bisa berubah.

AKHLAK DALAM PANDANGAN ISLAM


Untuk menyempurnakan rangkaian pembahasan ini, kami melihat ada satu topik penting yang
banyak diperbincangkan orang dan pengaruhnya cukup besar dalam kehidupan masyarakat
ataupun individu. Topik tersebut adalah tentang akhlak dalam pandangan Islam.

Seperti telah diketahui, agama Islam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya ;
hubungan manusia dengan dirinya ; serta hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan
manusia dengan Penciptanya tercakup dalam masalah akidah dan ibadah. Hubungan manusia
dengan dirinya diatur dengan hukum akhlak, makanan dan minuman, serta pakaian. Selain itu,
hubungan manusia dengan sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan ‘uqubat ( sanksi ).

Islam telah memecahkan persoalan hidup manusia secara menyeluruh dengan menitikberatkan
perhatiannya kepada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi. Dengan demikian, kita
melihat Islam menyelesaikan persoalan manusia dengan metode yang sama, yaitu membangun
semua solusi persoalan tersebut di atas dasar akidah, yaitu asas rohani tentang kesadaran
manusia akan hubungannya dengan Allah, kemudian dijadikan asas peradaban Islam, asas syariat
Islam, dan asas negara.

Syariat Islam telah menopang sistem kehidupan dan memerinci aturannya. Ada peraturan ibadah,
muamalah, dan ‘uqubat. Syariat Islam tidak mengkhususkan akhlak sebagai pembahasan yang
berdiri sendiri, namun Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak dengan anggapan bahwa
akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah Swt. tanpa melihat lagi apakah akhlak harus
diberi perhatian khusus, melebihi hukum dan ajaran Islam yang lain. Bahkan, pembahasan akhlak
tidak begitu banyak sehingga tidak dibuat bab tersendiri dalam fiqih. Para fuqaha (ulama fiqih)
dan mujtahid tidak menitikberatkan pembahasan dan penggalian hukum dalam masalah akhlak.

Dalam kitab-kitab fiqih yang meliputi hukum syara’ tidak ditemukan bab khusus tentang akhlak.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan akhlak tidak berpengaruh langsung terhadap tegaknya
suatu masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup, serta dipengaruhi oleh
perasaan dan pemikiran yang merupakan kebiasaan umum, hasil dari pemahaman hidup yang
dapat menggerakkan masyarakat. Karena itu, yang menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak,
melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah masyarakat, pemikiran-pemikiran, dan
perasaan-perasaan yang ada pada masyarakat. Akhlak sendiri adalah buah dari pemikiran,
perasaan, dan penerapan aturan.

Ketika akhlak tidak mampu menegakkan dan menggerakkan masyarakat, bolehkah kita
mendakwahkan akhlak di tengah-tengah masyarakat?

Tanpa ragu lagi kita mengatakan bahwa berdakwah kepada akhlak adalah tidak boleh. Hal ini
karena akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah dan larangan Allah Swt. yang dapat
dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara
sempurna. Di samping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutarbalikkan
persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar
tentang hakikat masyarakat dan pembentukannya. Bahkan, dapat membuat manusia salah
menduga bahwa keutamaan dan kelebihan individu dapat membangun umat dan masyarakat,
selain mengakibatkan kelalaian dalam melangkah menuju kemajuan hidup.
Dengan demikian, dakwah seperti ini akan memunculkan anggapan bahwa dakwah Islam itu
hanya pada akhlak semata, kemudian bisa mengaburkan gambaran utuh pemikiran Islam. Lebih
dari itu, dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya metode dakwah yang dapat
menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islam di muka bumi.

Bukankah akhlak tetap merupakan bagian dari pengaturan interaksi manusia dengan dirinya, lalu
mengapa tidak ada sistem khusus bagi akhlak?

Hal ini dikembalikan pada realitas bahwa Syariat Islam pada saat mengatur hubungan manusia
dengan dirinya melalui hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat akhlak, tidak menjadikannya
sebagai aturan tersendiri seperti halnya aturan ibadah dan muamalah. Akan tetapi, akhlak
dijadikan bagian dari perintah dan larangan Allah, untuk merealisasikan nilai khuluqiyah (nilai-nilai
akhlak).

Seorang Muslim ketika menyambut seruan Allah untuk berlaku jujur, maka dia akan jujur. Apabila
Allah memerintahkannya untuk amanah, dia akan amanah. Begitu pula apabila Allah melarang
curang dan berbuat dengki, dia akan menjauhinya. Dengan demikian, akhlak dapat dibentuk
hanya dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah Swt. untuk merealisasikan akhlak, yaitu
budi pekerti luhur dan amal kebajikan. Sifat-sifat ini muncul karena hasil perbuatan, seperti sifat
‘iffah (menjaga kesucian diri) muncul dari pelaksanaan shalat.

Sifat-sifat tersebut juga muncul karena memang wajib diperhatikan saat melakukan berbagai
kegiatan interaksi, seperti jujur yang harus ada saat melakukan jual beli. Meski aktivitas jual beli
tidak otomatis menghasilkan nilai akhlak karena nilai tersebut bukan tujuan dari transaksi jual
beli.

Jadi, sifat ini muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan atau sebagai perkara yang
mesti diperhatikan saat melakukan satu perbuatan. Karena itu, seorang Mukmin dapat
memperoleh nilai rohani dari pelaksanaan shalatnya, dalam contoh lain, dia memperoleh nilai
materi dalam transaksi perdagangannya, serta pada saat yang sama telah memiliki sifat-sifat
akhlak yang terpuji.

Seperti apa sifat akhlak yang baik dan yang buruk dalam pandangan syara’?

Allah Swt. telah memerintahkan jujur, amanah, punya rasa malu, berbuat baik pada kedua orang
tua, silaturahmi, menolong orang dalam kesulitan, dan sebagainya. Semuanya merupakan sifat
akhlak yang baik dan Allah Swt. menganjurkan kita terikat dengan sifat-sifat ini. Sebaliknya, Allah
Swt. melarang sifat-sifat yang buruk, seperti berdusta, khianat, dengki, durhaka, melakukan
maksiat, dan sebagainya.

Bagaimana menanamkan sifat-sifat baik ini pada jiwa individu dan masyarakat?
Menanamkan sifat-sifat baik pada masyarakat dapat dicapai dengan mewujudkan perasaan-
perasaan dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah hal ini terwujud di tengah-tengah masyarakat,
maka pasti akan terbentuk pula dalam diri individu-individu.

Bagaimana hal itu bisa diwujudkan?


Sebagai langkah awal, harus ada kelompok atau jamaah Islam yang mengamalkan Islam secara
keseluruhan, tidak hanya menganjurkan untuk terikat pada akhlak semata. Individu-individu yang
ada dalam jamaah itu merupakan satu kesatuan, bukan individu yang terpisah-pisah. Mereka
mengemban dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, mewujudkan pemikiran dan perasaan
Islam. Apabila demikian, seluruh anggota masyarakat akan memiliki akhlak, setelah mereka
berbondong-bondong kembali kepada Islam.

Penjelasan ini menjadikan kita bertanya tentang sifat-sifat yang harus menjadi unsur utama
individu?

Ada empat sifat yang wajib dimiliki serta dicapai oleh individu, yaitu sifat-sifat yang menyangkut
masalah akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Empat hal ini tidak boleh dipisahkan pada pribadi
seseorang sehingga harus selalu lengkap dan sempurna. Sekalipun hanya satu dari unsur itu yang
hilang, maka tidak akan tercapai kesempurnaan pribadi individu. Apabila kita membaca al-Quran
pada surat Luqman (31) ayat 13-19 yang dimulai dengan ayat, “Ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya, saat memberinya pelajaran, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar’ dan
diakhiri dengan ayat, “Berbuat sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”. Kita akan mendapati bahwa keempat
unsur itu ada di sana.

Demikian pula dalam surat al-Furqan (25) ayat 63, “Hamba-hamba yang baik dari Robb yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Ketika
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka ucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan”, hingga ayat 76, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang
tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan
ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap
dan tempat kediaman”.

Kita dapati pula dalam surat al-Isra (17) saat kita membaca ayat 23, “Rabbmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya” hingga ayat 37, “Janganlah kamu berjalan di
muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatan yang amat
dibenci di sisi Rabbmu”. Semua ayat yang ada pada ketiga surat tersebut merupakan satu
kesatuan yang sempurna dalam menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, yang membentuk
identitas seorang Muslim dan menjelaskan kepribadian Islam yang khas sehingga berbeda dengan
umat yang lain.

Apa yang menarik perhatian kita saat membaca semua ayat tadi?

Kita perhatikan bahwa sifat-sifat akhlak merupakan perintah dan larangan Allah Swt. Sebagian isi
ayat-ayat tersebut merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah, sebagian lainnya
berkaitan dengan ibadah, muamalah, dan akhlak. Dapat dilihat pula, bahwa isinya tidak terbatas
hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi juga mencakup akidah, ibadah, muamalah, di samping akhlak.
Sifat-sifat inilah yang dapat membentuk kepribadian Islam yang khas. Membatasi pengambilan
hukum hanya pada salah satu dari empat unsur ini, seperti akhlak misalnya, berarti meniadakan
terbentuknya kepribadian yang sempurna dan kepribadian yang Islami.
Untuk mencapai tujuan akhlak, hendaklah dilandaskan pada fondasi rohani, yakni akidah Islam,
serta sifat-sifat ini harus dilandaskan pada akidah semata. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak
akan memiliki sifat jujur semata-mata karena kejujuran itu sendiri, tetapi karena Allah Swt.
memerintahkan demikian. Meskipun demikian, dia tetap mempertimbangkan terwujudnya nilai
akhlak ketika berbuat jujur. Dengan demikian, akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena
dibutuhkan oleh manusia, tetapi ia merupakan perintah Allah.

Kemudian, sifat akhlak ini adakalanya diperoleh melalui ibadah, sebagai pelaksanaan dari perintah
Allah Swt. dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar” (QS al-Ankabut [29]: 45). Wajib pula diperhatikan perolehan sifat akhlak dalam
muamalah, sesuai dengan sabda Rasul saw., “Agama itu adalah muamalah”. Di samping itu,
akhlak merupakan sekumpulan perintah dan larangan Allah Swt. yang bisa mengokohkan jiwa
seorang Muslim.

Kita melihat sifat-sifat tersebut menyatu satu sama lain, bagaimana kita memilah-milahnya dari
unsur-unsur kepribadian seorang Muslim yang lainnya?

Memang benar, sifat-sifat akhlak menyatu dengan aturan hidup yang lain yaitu akidah, ibadah,
dan muamalah. Namun, akhlak tetap merupakan sifat-sifat yang berdiri sendiri. Misalnya,
seseorang beriman, tetapi dia berdusta sehingga kita melihat bahwa Rasul telah memerintahkan
seorang Mukmin untuk menghiasi diri dengan sifat jujur. Terkadang pula seseorang itu melakukan
shalat dan melakukan penipuan.

Karena itu, kita melihat Rasulullah memerintahkan Muslim untuk menjauhi perbuatan penipuan
dengan sabdanya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang suka menipu” atau dalam riwayat
lain beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami”.
Kadang seseorang itu berbuat khianat, karena itu kita melihat Rasulullah sangat menekankan
seorang Muslim untuk memegang amanah ketika bekerja sama dalam perdagangan. Dengan
demikian, sifat-sifat akhlak yang menyatu dengan aturan hidup lainnya, pada saat bersamaan
merupakan sifat yang terpisah dari setiap aturan.

Disatukannya akhlak dengan aturan hidup lainnya, maksudnya Islam menghendaki adanya
jaminan pembentukan pribadi Muslim yang saleh dan sempurna di atas dasar rohani, yang
merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah Swt. atau menjauhi larangan-Nya. Hal itu bukan
berdasarkan pada manfaat atau mudharat yang ada pada sifat-sifat tersebut.

Inilah yang menjadikan seorang Muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus-menerus
dan konsisten, selama dia berupaya melaksanakan ajaran Islam dan selama tidak memperhatikan
aspek manfaat. Akhlak tidak ditujukan semata-mata untuk kemanfaatan. Bahkan, pandangan
terhadap manfaat itu harus dijauhkan.

Tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau
nilai kerohanian. Selain itu, nilai-nilai ini tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak agar tidak
terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diperhatikan di sini, nilai
materi harus dijauhkan dari akhlak karena akan menghasilkan pelaksanaan akhlak yang hanya
mencari keuntungan. Justru, hal ini akan sangat membahayakan akhlak.
Ini semua dikaitkan dengan pembentukan akhlak pada individu, kemudian di mana peran akhlak
dalam membentuk masyarakat?

Akhlak adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Tentu saja secara pasti,
akhlak sebagai salah satu dasar pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan begitu saja. Suatu
masyarakat tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun, masyarakat tidak akan menjadi
baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan
Islami, serta diterapkannya aturan di tengah-tengah masyarakat itu.

Unsur-unsur pembentukan masyarakat berbeda dengan unsur-unsur pembentukan individu. Unsur


pembentuk masyarakat lebih luas sifatnya, sebagai contoh akidah Islam harus ada pada
masyarakat, demikian pula pada individu. Praktiknya di masyarakat tidak berhenti pada aturan-
aturan indivdu, tetapi lebih luas dari itu, yaitu mencakup seluruh pemikiran Islam yang terkait
dengan akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak.

Demikian pula pada masyarakat tersebut harus ada perasaan-perasaan Islami yang terbentuk dari
adanya kecenderungan, keinginan, serta perasaan yang diatur dengan hukum halal dan haram.
Kondisi seperti ini akan membentuk adat istiadat dan kebiasaan yang Islami pada saat seorang
individu Muslim di dalam masyarakat tersebut akan menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan
yang berguna bagi masyarakat umum. Di dalam masyarakat harus ada penerapan aturan Islam
yang mengatur interaksi antarindividu ataupun kelompok.
Demikianlah, unsur pembentukan masyarakat lebih luas dari unsur pembentukan individu,
sekalipun unsur pembentukan individu telah tercakup di dalamnya.

Dari sini, dapat dipastikan bahwa perbaikan, individu harus senantiasa diikuti dengan perbaikan
masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat pula dipastikan tidak akan terjadi perbaikan masyarakat
tanpa adanya perbaikan individu. Jadi, sekalipun di dalam suatu masyarakat banyak orang-orang
saleh, selama yang mengatur interaksi yang terjadi di masyarakat itu bukan perasaan yang
diarahkan oleh pemikiran dan aturan Islam, maka tidak akan terjadi perbaikan individu dan
masyarakat.

Dengan demikian, akhlak bukanlah unsur pembentuk masyarakat, melainkan termasuk unsur
pembentuk individu. Seorang individu tidak akan menjadi baik karena akhlak semata, tetapi harus
ada aturan lain, yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, ketika individu tersebut terikat dengan
semua aturan itu. Ini berarti, seseorang tidak diakui sebagai Muslim apabila mempunyai akhlak
yang baik, tetapi tidak meyakini akidah Islam. Begitu pula sama halnya apabila individu itu
berakhlak baik, tetapi melalaikan ibadah atau bermuamalah yang tidak sesuai dengan hukum-
hukum syara’.

Walhasil, supaya perbaikan individu berjalan sempurna, diperlukan adanya hukum-hukum akidah,
ibadah, muamalah, dan akhlak yang berhubungan secara sinergis. Apabila salah satu darinya tidak
ada, perbaikan individu yang sempurna tidak akan tercapai. Hal ini menegaskan bahwa tidak
diperbolehkan melakukan dakwah yang diarahkan pada akhlak semata dalam rangka perbaikan
individu, sedangkan sifat yang lainnya diabaikan. Bahkan, tidak diperbolehkan memfokuskan
sesuatu sebelum perkara akidah selesai. Hal ini sebagaimana harus juga diperhatikan hendaknya
akhlak didasarkan pada akidah Islam agar seorang Mukmin memiliki sifat-sifat yang didasarkan
pada perintah dan larangan Allah Swt.
Diskusi
Tanya: Apakah hubungan antara manusia dengan penciptanya hanya diatur dalam hukum akidah
dan ibadah?

Jawab: Benar, perintah dan larangan Allah Swt. sangat banyak, tetapi yang mengatur hubungan
langsung antara Pencipta dengan makhluk hanya diatur dalam hukum akidah dan ibadah. Adapun
muamalah dan ‘uqubat mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hukum akhlak
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Tanya: Bagaimana Islam menyelesaikan persoalan manusia secara integral dan tidak terpisah-
pisah?

Jawab: Hal ini terjadi manakala akidah Islam, yaitu keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Pencipta
manusia dan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan perintah dan larangan-Nya menjadi satu-
satunya asas dalam menyelesaikan persoalan manusia.

Tanya: Apakah dalam kitab-kitab fiqih seluruh mazhab terdapat bab dan pasal yang menerangkan
hubungan manusia dengan tiga pihak, yaitu hubungannya dengan Pencipta, dengan sesamanya,
dan dengan dirinya sendiri?

Jawab: Benar. Di dalam kitab-kitab tersebut pembahasan ini banyak diuraikan. Namun,
penjelasannya mencakup hubungan manusia dengan Pencipta dan hubungan dengan sesamanya.
Tidak ada bab dan pasal khusus yang menjelaskan akhlak karena akhlak merupakan bagian yang
tercakup dalam perintah dan larangan Allah.

Tanya: Mengapa tidak ada pembahasan khusus tentang akhlak di dalam fiqih Islam?

Jawab: Fiqih (hukum) Islam meliputi aturan interaksi yang terjadi di masyarakat. Adapun akhlak
ditujukan untuk individu dan tidak mempengaruhi pembentukan masyarakat. Keberadaan akhlak
sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian individu sebagai bagian dari masyarakat.

Tanya: Apakah ada kaitannya ‘urf (kebiasaan) umum di masyarakat dengan akhlak?

Jawab: Ada. ‘Urf masyarakat terbentuk dari pemikiran dan pemahaman yang digunakan dalam
mengatur kehidupan. Sementara itu, akhlak sebagai sifat dari seorang Muslim adalah hasil dari
pemikiran dan pemahaman sesuatu dalam kehidupan yang ada pada diri seorang Muslim. Jadi,
antara ‘urf dengan akhlak ada keterkaitan. Sebagai contoh, apabila dikatakan sifat jujur sudah
menjadi ‘urf dalam masyarakat Muslim, itu artinya masyarakat tersebut telah diliputi suasana yang
kuat dalam menjalankan perintah dan larangan Allah. Misalnya pula, kebohongan telah menyebar
di masyarakat sehingga menjadi kebiasaan umum, ini merupakan hasil dari tidak adanya
keterikatan terhadap perintah dan larangan Allah di dalam masyarakat tersebut.

Tanya : Apa maksud dari dakwah menyeru pada akhlak?

Jawab: Maksudnya, individu beserta masyarakat diseru untuk terikat dengan akhlak dengan
dugaan bahwa akhlak merupakan unsur pembentuk individu dan juga masyarakat. Padahal, tidak
mungkin dalam kondisi apa pun, menjadikan akhlak satu-satunya unsur pembentuk masyarakat.
Tanya : Jika demikian, apa maksud dari syair, “Sesungguhnya eksistensi umat mana pun
ditentukan oleh akhlaknya, apabila akhlak telah hilang, maka hilang pula umat”?

Jawab: Syair tersebut merupakan ungkapan rasa sedih ketika melihat kondisi kaum Muslim yang
meninggalkan syariat. Diduga syair tersebut dipengaruhi oleh tuduhan-tuduhan asing terhadap
Islam bahwasanya umat terbentuk karena akhlak. Lalu, jika kaum Muslim menghendaki eksistensi
mereka, sudah seharusnya mereka mengikatkan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak
yang buruk.

Tanya: Namun, syair ini berbicara tentang umat, bukan tentang masyarakat. Apa perbedaan umat
dengan masyarakat?

Jawab: Antara umat dan masyarakat terdapat perbedaan yang besar. Umat adalah kumpulan
individu yang menganut suatu akidah beserta aturannya tanpa melihat lagi penerapannya di
dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana umat Islam yang memeluk Islam, tapi tidak menerapkan
aturan yang terpancar dari akidah Islam dalam kehidupannya. Adapun masyarakat adalah
kumpulan individu yang hidup berdasarkan aturan akidah yang dianutnya dan seluruh aspek
kehidupannya ditata sesuai dengan aturan tersebut. Akhlak tidak dapat membentuk umat dan
masyarakat, akhlak tetap merupakan unsur pembentuk individu.

Tanya: Untuk memperbaiki individu di masyarakat, apakah cukup dengan akhlak saja, ataukah
harus ada unsur-unsur lain?

Jawab: Akhlak saja tidak cukup untuk memperbaiki pribadi seseorang karena akhlak salah satu
bagian dari kepribadian. Untuk itu, seorang individu harus diberikan pemikiran akidah, ibadah, dan
muamalah–di samping akhlak–yang diperlukan dalam hidupnya bersama yang lain.

Tanya: Mengapa akhlak bukan termasuk unsur pembentuk masyarakat? Padahal, individu-individu
di dalam masyarakat diminta untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat terpuji ketika
berinteraksi satu sama lain?

Jawab: Seorang individu ketika berbuat jujur dalam bermuamalah, sesungguhnya dia telah berhias
dengan sifat baik yang telah Allah perintahkan. Sifat jujur ini menyatu dengan aktivitas
perdagangan yang ia lakukan dalam mencari manfaat dan keuntungan materi, serta ketika
mencari rizki dalam kehidupannya. Sifat jujur di sini bukan bagian dari aktivitas perdagangan
karena jujur tidak ada kaitannya dengan perolehan manfaat materi yang menjadi tujuan aktivitas
bisnis.

Adapun hubungan sifat jujur dalam muamalah ini adalah bahwa Allah Swt. telah memerintahkan
individu tersebut untuk bermuamalah secara benar dan jangan melakukan kecurangan. Demikian
pula dalam aktivitas ibadah, ketika seseorang melakukan shalat dia akan melakukan dengan ikhlas
hanya untuk Allah, bukan untuk yang lain. Lalu, dia tidak akan berbuat nifak (menjadi munafik).
Dalam kondisi itulah akhlak yang baik menyatu dalam setiap aktivitas kehidupan.

Jadi, ketika akhlak dilakukan dengan anggapan bahwa akhlak adalah perintah Allah, maka
seseorang akan meraih nilai akhlak. Dengan demikian, akhlak–yang merupakan perintah dan
larangan Allah–akan menyebar dalam bentuk pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan
aturan, bukan sebagai bagian tersendiri yang terpisah, serta bukan suatu pengistimewaan.
Tanya : Selama akhlak memiliki posisi dalam kehidupan individu ataupun masyarakat, lalu
bagaimana dengan propaganda atau slogan yang menyerukan perbaikan (akhlak) umat dan
masyarakat?

Jawab: Ketika masyarakat dunia Islam berinteraksi dengan masyarakat dunia lainnya, efek
sampingnya mulai terasa pada pemikiran-pemikiran Islam akibat adanya propaganda Barat
tentang Islam dan kaum Muslim. Seperti yang telah diketahui, gerakan-gerakan yang muncul
sepanjang masa pemerintahan Islam sebelum khilafah runtuh, memfokuskan dakwah kepada
masyarakat, serta tidak terlihat menyeru kepada perbaikan akhlak, kecuali setelah hancurnya
tatanan kehidupan masyarakat disebabkan runtuhnya kekhilafahan. Saat itu, dakwah mulai
difokuskan pada perbaikan individu. Dakwah seperti ini merupakan tindakan pembelaan terhadap
Islam dan pemeluknya.

Dakwah seperti ini memiliki cara pandang yang sama dalam memandang individu dan masyarakat
sebagaimana cara pandang Barat Kapitalis Demokratis, yang memandang kehidupan sarat dengan
kebebasan individu. Berbeda dengan pandangan Islam tentang masyarakat, Kapitalisme
memandang masyarakat sebagai kumpulan individu. Adapun Sosialisme memandang tidak ada
kebebasan bagi individu, pilihan individu dalam Sosialisme hanyalah menjadi gigi atau jari-jari
dalam roda. Perang pemikiran yang disusupkan ke negeri-negeri Islam melalui cara berpikir kaum
Muslim, telah menjadikan mereka terbelenggu dengan pemikiran individualis demokratis.

Akhirnya, mereka tidak memperhatikan dakwah pada Islam, yang mereka pikirkan adalah dakwah
Individualistis. Karena akhlak merupakan salah satu unsur pembentuk individu dan tampak pada
saat individu tersebut melakukan ibadah dan muamalah, maka propaganda dakwah mereka
tujukan pada akhlak.

Demikianlah Barat dengan kebencian dan kelicikannya menjauhkan para aktivis dakwah Islam–
yang jumlahnya banyak dan tinggi semangatnya, meskipun mereka berniat baik–dari hakikat
dakwah Islam. Saat ini, Barat telah berhasil melakukannya. Padahal, semestinya dakwah
dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu dakwah pada akidah Islam
yang menjadi asas dalam pengaturan peradaban Islam.

Adapun akhlak wajib dipisahkan, yaitu hanya sebagai unsur pembentuk individu, kemudian yang
dijadikan sebagai unsur pembentuk masyarakat, yaitu dalam bentuk pemikiran, perasaan, dan
penerapan aturan Islam. Dengan demikian, yang menjadi asas pembentukan masyarakat Islam
dan pengaturan interaksinya adalah akidah Islam dan bukan dengan akhlak Islam.
AKHLAK BERPAKAIAN DAN AKHLAK BERHIAS

AKHLAK BERPAKAIAN
Pakaian sebagai kebutuhan dasar bagi setiap orang dalam berbagai zaman dan keadaan. Islam
sebagai ajaran yang sempurna, telah mengajarkan kepada pemeluknya tntang bagaimana tata cara
berpakaian. Berpakaian menurut Islam tidak hanya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
setiap orang, tetapi berpakaian sebagai ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu setiap
orang muslim wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan yang ditetap Allah. Untuk memberikan
gambaran yang jelas tntang adab berpakaian dalam Islam, berikut ini akan dijelaskan pengertian
adab berpakaian, bentuk akhlak berpakaian, nilai positif berpakaian dan cara membiasakan diri
berpakaian sesuai ajaran Islam.
Pengertian Akhlak Berpakaian
Pakaian (jawa : sandang) adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan
kondisi dimana seorang berada. Pakaian memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan
seorang, guna melindungi tubuh dari semua kemungkinan yang merusak ataupun yang menimbulkan
rasa sakit. Dalam Bahasa Arab pakaian disebut dengan kata "Libaasun-tsiyaabun". Dan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonsia, pakaian diartikan sebagai "barang apa yang biasa dipakai oleh seorang baik
berupa baju, jaket, celana, sarung, selendang, kerudung, jubah, surban dan lain sebagainya.
Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatu yang dikenakan seseoang dalam bebagai ukuran dan
modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah ataupun yang lain), yang disesuaikan dengan
kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus ataupun umum. Tujuan bersifat
khusus artinya pakaian yang dikenakan lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi pemakaian.
Tujuan bersifat umum lebih berorientasi pada keperluan untuk menutup ataupun melindungi bagian
tubuh yang perlu ditutup atau dilindungi, baik menurut kepatutan adat ataupun agama. Menurut
kepatutan adat berarti sesuai mode ataupun batasan ukuran untuk mengenakan pakaian yang
berlaku dalam suatu wilayah hukum adat yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan agama lebih
mengarah pada keperluan menutup aurat sesuai ketentuan hukum syari'at dengan tujuan untuk
berribadah dan mencari ridho Allah. (Roli A.Rahman, dan M, Khamzah, 2008 : 30).
Bentuk Akhlak Berpakaian
Dalam pandangan Islam pakaian dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu : pertama, pakaian
untuk menutupi auot tubuh sebagai realisasi dai perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali
tangan dan wajah, dan bagi pria menutup di bawah lutut dan di atas pusar. Standar pakaian seperti
ini dalam perkembangannya telah melahirkan kebudayaan berpakaian bersahaja sopan dan santun
serta menghindarkan manusia dari gangguan dan eksploitasi aurat. Sedangkan yang kdua, pakaian
merupakan perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkmbangan peradaban
manusia.
Berpakaian dalam pengertian untuk menutup aurat, dalam Syari'at Islam mempunyai ketentuan yang
jelas, baik ukuran aurat yang harus ditutup atau pun jenis pakaian yang digunakan untuk
menutupnya. Bepakaian yang menutup aurat juga menjadi bagian intgral dalam menjalankan ibadah,
terutama ibadah shalat atau pun haji dan umrah. Karena itu setiap orang beriman baik pria atau pun
wanita memiliki kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat.
Sedangkan pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan yang menyatakan identitas diri, sesuai dengan
adaptasi dan tradisi dalam berpakaian, merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan
mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan
berpakaian menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam
kaitannya dengan pakaian sebagai pehiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan keinginan mengembangkan bebagai mode pakaian menurut fungsi dan
momentumnya namun dalam agama harus tetap pada nilai-nilai dan koridor yang telah digaiskan
dalam Islam.
Pakaian yang berfungsi menutup aurat pada wanita diknal dengan istilah jilbab, dalam bahasa sehari-
hari jilbab mengangkut segala macam jenis selendang atau kerudung yang menutupi kepala (kecuali
muka), leher, punggung dan dada wanita. Dengan pengertian seperti itu selendang yang masih
mmperlihatkan sebagian rambut atau leher tidaklah dinamai jilbab.
Dalam kamus Bahasa Arab, Al-Mu'jam al-Wasith, jilbab di samping dipahami dalam arti di atas juga
digunakan secara umum untuk segala jenis pakaian yang dalam (gamis, long dress, kebaya) dan
pakaian wanita bagian luar yang menutupi semua tubuhnya seperti halnya mantel, jas panjang.
Dengan pengertian seperti itu jilbab bisa diartikan dengan busana muslimah dalam hal ini secara
khusus berarti selendang atau kerudung yang berfungsi menutupi aurat.
Karena itu hanya muka dan telapak tangan yang boleh diperlihatkan kepada umum. Selain itu haram
diperrlihatkan kecuali kepada beberapa orang masuk kategori mahram atau maharim dan tentu saja
kepada suaminya. Antara suami istri tidak ada batasan aurat sama sekali secara fiqih. Tetapi dengan
maharim yang boleh terlihat hanyalah aurat kecil (leher ke atas, tangan dan lutut ke bawah). Busana
muslimah haruslah memenuhi kriteria berikut ini :
1. Tidak jarang dan ketat
2. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
3. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim
4. Pantas dan sederhana (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 30)
Nilai Positif Akhlak Berpakaian
Setiap muslim diwajibkan untuk memakai pakaian, yang tidak hanya berfungsi sebagai menutup auat
dan hiasan, akan tetapi harus dapat menjaga kesehatan lapisan terluar dari tubuh kita. Kulit befungsi
sebagai pelindung dari krusakan-kerusakan fisik karena gesekan, penyinaran kuman-kuman, panas
zat kimia dan lain-lain. Di daerah tropis dimana pancaran sinar ultra violet begitu kuat, maka pakaian
ini menjadi sangat penting. Pancaran radiasi sinar ultra violet akan dapat menimbulkan terbakarnya
kulit, penyakit kanker kulit dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan penggunaan bahan, hendaknya pakaian terbuat darri bahan yang dapat
menyerap keringat seperti katun, karena memudahkan terjadinya penguapan keringat, dan untuk
menjaga suhu kestabilan tubuh agar tetap normal. Pakaian harus bersih dan secara rutin dicuci
setelah dipakai supaya terbebas dari kuman, bakteri ataupun semua unsur yang merugikan bagi
kesehatan tubuh manusia.
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berpakaian yang baik, indah dan bagus, sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi
hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Sehingga bila hendak menjalankan
shalat dan seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih (bukan
berarti mewah). Hal ini sesuai fiman Allah dalam Surat al-A'raf/7 : 31.
‫ن‬َ ‫س ِرفِ ْي‬ ُ ‫ ال َ ُيحِبُّ ا ْل‬,‫س ِر ُف ْوا ج اِنَّ ُه‬
ْ ‫م‬ ْ ُ‫اش َر ُبوا َوال َ ت‬
ْ ‫سجِ ٍد َو ُكلُ ْوا َو‬
ْ ‫ل َم‬
ِّ ‫ع ْن َد ُك‬
ِ ‫ُم‬
ْ ‫خ ُذ ْوا ِز ْي َن َتك‬ َ ‫يَبَنِى َأ َد‬
ُ ‫م‬
Artinya : "Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan,
minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan (Q.S Al-A'raf/7 : 31)

Islam mengajak manusia untuk hidup secaa wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga
jangan kurang dan jangan berlebihan.
Ketentuan dan kriteria busana muslimah menurut Al-Qur'an dan Sunnah memang lebih ketat
dibanding ketentuan berbusana untuk kaum pria. Hal-hal yang tidak diatur oleh Al-Qur'an dan Sunnah
diserahkan kepada pilihan masing-masing, misalnya masalah warna dan mode. Keduanya
menyangkut selera dan budaya, pilihan warna dan mode akan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan peradaban umat manusia. Karena itu apapun model busanya, maka haruslah dapat
mengantarkan menjadi hamba Allah yang bertaqwa (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 32)
Membiasakan Akhlak Berpakaian
Merujuk pada realita di lapangan, manusia dalam berbagai tingkat statifikasi dan levelnya tetap akan
mengenakan pakaian sebagai kebutuhan untuk melindungi diri ataupun memperelok diri. Jenis
pakaian yang dikenakan setiap orang mencerminkan identitas seorang sesuai dengan tingkat
peradaban yang berkembang. Karena itu pakaian yang dikenakan setiap orang pada zaman modern
cukup beragam baik bahan ataupun modenya. Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar
berpakaian yang baik dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian
bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan
keindahan. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya pakaian yang kita
pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar,
berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan.
Islam telah menggariskan aturan-aturan yang jelas dalam berpakaian yang harus ditaati yakni dalam
apa yang disebut etika berbusana. Seorang muslim atau muslimah diwajibkan untuk memakai busana
sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam aturan. Tidak dibenarkan seorang muslim atau
muslimah memakai busana hanya berdasarkan kesenangan, mode atau adat yang berlaku di suatu
masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan. Karena
sesungguhnya hanya orang munafiq, yang suka meninggalkan ketentuan berpakaian yang sudah
diatur agama yang diyakini kebenarannya, akibat mereka yang mengabaikan ketentuan akan
mendapatkan azab di hadapan Allah kelak di akhirat. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah 2008 : 32)
2). AKHLAK BERHIAS
Berhias adalah naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Berhias telah menjadi kebutuhan dasar
manusia sesuai dengan tingkat peradaban, tingkat sosial di masyarakat. Berhias dalam ajaran Islam
sebagai ibadah yang berorientasi untuk mndapatkan ridha Allah. Untuk memberikan uraian yang lebih
detail tentang akhlak berhias, berikut akan dibahas tentang ; pengetian akhlak berhias, bentuk akhlak
berhias, nilai positif akhlak berhias, membiasakan akhlak berhias dalam kehidupan sehari-hari,
tentunya sesuai dengan nilai Islam.
Pengetian Akhlak Berhias
Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini (modern), berhias adalah kebutuhan dasar untuk
memperindah penampilan diri, baik di lingkungan rumah ataupun di luar rumah. Berhias adalah
bentuk ekspesi personal, yang menegaskan jati diri dan menajdi kebanggaan seseorang. Berhias
dalam Bahasa Arab disebut dengan kata "Zayyana-yazayyini (QS. Al-Nisa') 'Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, berhias diarttikan : "Usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainnya yang
indah-indah, berdandan dengan dandanan yang indah dan menarik"
Secara istilah berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untuk memperindah diri dengan
berbagai busana, asesoris ataupun yang lain dan dapat memperindah diri bagi pemakainya, sehingga
memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri penampilan
untuk suatu tujuan tertentu.
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat dipahami pada pada hakekat berhias itu dapat
dikategorikan akhlak terpuji, sebagai perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, selama tidak
bertentangan dengan prinsip dasar Islam. (QS. Al-A'raf : 31).
Dalam sebuah Hadist Nabi saw bersabda :
)‫مالِ (رواه مسلم‬ َ ‫ل َو ُيحِبُّ ا ْل‬
َ ‫ج‬ ٌ ‫م ْي‬
ِ ‫ج‬
َ ‫هللا‬
َ َّ‫ِإن‬
Artinya : Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim)
Adapun tujuan berhias untuk memperindah diri sehingga lebih memantapkan pelakunya menjadi
insane yang lebih baik (muttaqin). (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 33).
Bentuk Akhlak Berhias
Berhias merupakan perbuatan yang diperintahkan ajaran Islam. Mengenakan pakaian merupakan
salah satu bentuk berhias yang diperintahkan. Pakaian dalam Islam memiliki fungsi hiasan yaitu
untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak sekadar membutuhkan pakaian penutup aurat,
tetapi juga busana yang memperelok pemakainya.
Pada masyarakat yang sudah maju peradabannya, mode pakaian ataupun berdandan mmperoleh
perhatian lebih besar. Jilbab, dalam konteks ini, menjalankan fungsinya sebagai hiasan bagi para
muslimah. Mode jilbab dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Jilbab bukan hanya
sebagai penutup aurat, namun juga memberikan keelokan dan keindahan bagi pemakainya untuk
mempercantik dirinya.
Berhias dalam ajaran Islam tidak sebatas pada penggunaan pakaian, tetapi mencakup keseluruhan
piranti (alat) aksesoris yang lazim digunakan untuk mempercantik diri, mulai dari kalung, gelang,
arloji, anting-anting, bross dan lainnya. Di samping itu dalam kehidupan modern, berhias juga
mencakup penggunaan bahan ataupun alat tertentu untuk melengkapi dandanan dan penampilan
mulai dari bedak, make-up, semir rambut, parfum, wewangian dan sejenisnya.
Agama Islam telah memberikan rambu-rambu yang tegas agar setiap muslim mengindahkan kaidah
berhias yang meliputi :
1. Niat yang lurus, yaitu berhias hanya untuk beribadah, artinya segala bentuk kegiatan berhias
diorientasikan sebagai bentuk nyata bersyukur atas nikmat dan bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
2. Dalam berhias tidak dibenarkan menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama
3. Dilarang berhias dengan menggunakan simbol-simbol non muslim (salib dll)
4. Tidak berlebih-lebihan
5. Dilarang berhias seperti cara berhiasnya orang-orang jahiliyah
6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis kelamin
7. Dilarang berhias untuk keperluan berfoya-foya atau pun riya'
Islam telah memberikan batasan-batasan yang jelas agar manusia tidak tertimpa bencana karena
nalurinya yang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Sebab seringkali naluri manusia berubah
menjadi nafsu liar yang menyesatkan dan akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia.
Agama Islam memberi batasan dalam etika berhias, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah
berikut :
‫هللا‬ َ َّ‫س ْولَ ُه ج ِإن‬
ُ ‫ما ُي ِر ْي ُد‬ ُ ‫هللا َو َر‬
َ ‫ن‬ ِ ‫ن ال َّزكَو َة َوَأ‬
{َ ‫ط ْع‬ َ ‫صلَو َة َوَأتِ ْي‬
َّ ‫ن ال‬ ْ ِ‫لى َوَأق‬
َ ‫م‬ َ ‫ة ْاُأل ْو‬ َ ‫ج ْال‬
ِ َّ‫ج ِهلِي‬ َ ‫ن تَبَ ُّر‬ ْ ‫ُن َوال َ تَبَ َّر‬
َ ‫ج‬ َّ ‫َوق َْرنَ فِى ُب ُي ْوتِك‬
ْ َ‫ُم ت‬
)23( ‫ط ِه ْي ًرا‬ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ه‬ َ
ْ َ ِّ ُ َ‫ط‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ت‬
ِ ‫ي‬ ‫ب‬‫ل‬ْ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫َأ‬ ‫س‬
ْ َ َ ْ َ ْ ِّ ُ ْ َ َ ‫ج‬ ‫الر‬ ‫ُم‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ِب‬ ‫ه‬ ْ‫ذ‬ ‫ِي‬
ُ ‫ل‬
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (1215) dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (1216) dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait (1217)dan membersihkan kamu sebersih-besihnya. (QS. Al-ahzab/33 : 33)
(1215) Maksudnya : istri-istri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang
dibenarkan oleh syara'. Perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
(1216) yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi
Muhammad saw dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi
sesudah datangnya Islam.
(1217) Ahlul bait disini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah saw
Larangan Allah dalam ayat tersebut di atas, secara khusus ditujukan kepada wanita-wanita muslimah,
agar mereka tidak berpenampilan (tabarruj)seperti orang-orang jahiliyah zaman Nabi dahulu.
Berangkat dari pengalaman sejarah masa lalu, maka seorang muslim harus berhati-hati dalam
berhias. Sebab jika seorang muslim sembarangan dalam berhias, maka akan terjebak dalam
perangkat setan. Ketauhilah bahwa setan memasang perangkap di setiap sudut kehidupan manusa.
Tujuannya tentu saja untuk menjebak manusia agar menjadi sahabat setianya. (Roli A. Rahman dan
M. Khamzah, 2008 : 34)

Nilai Positif Akhlak Berhias


Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur manusia dalam segala aspeknya. Ajaran Islam
bukannya hanya mengatur hubungan vertikal manusia (hablum minallah), tetapi juga hubungan
horizontal dengan sesamanya (hablum minannas). Karena itulah antara lain Islam dikatakan sebagai
yang sempurna, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari bagaimana cara makan, minum,
tidur, sampai bagaimana cara mengabdi kepada sang khalik.
Dalam masalah berhias, Islam menggariskan aturan-aturan yang harus ditaati yakni dalam apa yang
disebut etika berhias (berdandan). Seorang muslim atau muslimah dituntut untuk berhias sesuai
dengan apa yang digariskan dalam aturan. Tidak boleh misalnya, seorang muslim atau muslimah
dalam berhias hanya mementingkan mode atau adat yang berlaku di suatu masyarakat, sementara
batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan.
Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias (berdandan) sesuai ketentuan Islam, maka
sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah
menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang
konsisten dalam berhias secara syar'i. Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan
jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan mnajdi motivasi untuk
menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak mnimbulkan keangkuhan dan
kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan
merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari.
Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena
berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan
seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari al-Kholik. Namun
sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal
yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan
kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan.
Adapun bentuk perangkap setan dalam hal berhias, dapat kita telusuri melalui kisah manusia pertama
sebelum diturunkan di bumi. Ketika Adam dan Hawa masih tinggal di surga, setan membisikkan
pikiran jahat kepada keduanya. Setan membujuk mereka untuk menampakkan auratnya dengan cara
merayu mereka untuk memakan buah khuldi.
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya
apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata : "Tuhan kamu tidak melarangmu
dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi
orang-orang yang kekal (dalam surga)" (QS. Al-a'raf /7:20).
Dari peristiwa Adam dan Hawa tersebut, kita dapat mengambil dua pelajaran, pertama, ide membuka
aurat adalan idenya setan yang selalu hadir dalam lintasan pikiran manusia, Kedua, Adam dan Hawa
diusir dari surga karena terjebak pada perangkap setan, maka derajat mereka turun dengan drastis.
Begitulah siapapun yang mau dijebak setan akan mengalami nasib yang sama. (Roli A. Ahman, dan
M. Khamzah, 2008 : 35)
Membiasakan Akhlak Berhias
Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga
sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan,
bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita.
Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut
tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang
terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias
atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan
mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat
menyatakan identitas diri seseorang.
Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias,
yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila
kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang
baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah
berlebihan.
Hal ini sesuai firman Allah :" Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-A'raf/7:31). Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar,
berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu
setiap pribadi menyakinkan, tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan
penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam. (Roli A. Rahman, dan M.
Khamzah, 2008 : 36).

Bentuk-bentuk Akhlak
March 6, 2012 at 2:13 am (Kumpulan Teori Pendidikan)
Tags: Akhlak Manusia, Bentk-bentuk Akhlak, Macam-macam akhlak, Perilaku dan
Akhlak,Sifat-sifat Muslim

Bentuk dan Macam-macam Akhlak

Beberapa sasaran Akhlak [baca juga: Hakikat dan Pengertian Akhlak], yakni :

a. Akhlak terhadap Allah SWT

Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia

memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak

akan mampu menjangkau hakikat_Nya.

b. Akhlak terhadap manusia


Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama

manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti

membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada

menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau

salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi

Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan

sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul

yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan

melebihi manusia lain.

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar

manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya

akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai

khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia

dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan,

agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang

muslim menurut ajaran Islam, yakni :

1. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus

dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang

menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran

kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan

bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.

2. Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini

akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan

sesamanya secara terorganisir.

3. Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis

dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi

kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).

Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :

1. Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.


2. Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.
3. Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan uji.
4. Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.
5. Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada siapapun.
6. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.
7. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.
8. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak atau kebenaran.
9. Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.
10. Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.

11. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.

12. Rifqi, berhati belas kalian sehingga kepada hewan sekalipun (Waso’al Dja’far, Addien, 1951:25).

Demikianlah sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pribadi muslim. Jika sifat-sifat ini telah

dimiliki oleh pribadi muslim, dengan demikian akan dapat menentukan kualitas dirinya/akhlak dan

perilaku [baca juga: Akhlak dan Perilaku Anak] sebagai seorang muslim.

BENTUK-BENTUK AKHLAK By :Mohd Amin Hms


14/05/2013

Mohd Amin Hms


BENTUK-BENTUK AKHLAK
Bentuk-bentuk akhlak dengan Allah :
1.Mengenal Allah dengan yakin
2.Merasakan kebesaran Allah
3.Merasa takut dengan siksaan Allah
4.Merasa sentiasa diawasi Allah
5.Merasa rendah diri terhadap Allah
6.Meredhai setiap takdir dan ketentuan-Nya
7.Sabar dengan ujian Allah
8.Mencintai Allah lebih daripada yang lain dan selalu mengingati-Nya
9.Tawakkal kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya
10.Rindu kepada syurga dan pertemuannya dengan Allah
Bentuk-bentuk akhlak kepada manusia :
1.Mencintainya sebagaimana mencintai dirinya sendiri
2.Merasa gembira dengan kegembiraannya begitu pula apabila bersedih
3.Mengharap kebaikan buatnya dan terjauh dari bencana
4.Benci terhadap kejahatannya tetapi kasihan terhadapnya dan menasihatinya
5.Kebaikannya ditiru, kejelekannya diperbaiki dan dirahsiakan
6.Mengenang jasanya dan membalasnya kerana Allah
7.Memaafkannya dan sanggup pula meminta maaf
8.Berlapang dada dan berbaik sangka dengan manusia.

Anda mungkin juga menyukai