Anda di halaman 1dari 3

Analisis kasus Hukum Humaniter Internasional

Kelompok 8

Dosen Pengampu:Dr. Erna Dyah Kusumawati S.H.,M.Hum., LL.M

Anggota:
1. Annisa Utami L A (E0022062)
2. Bagus hendrawan S (E0022085)
3. Fransiska Devi S (E0022185)
4. Mareta Rella W (E0022277)
5. Matthew Arofona H (E0022281)

STUDI KASUS 4
Karena pertahanan Negara B sangat kuat yang salah satunya didukung kekuatan
bergerilya suku Birre yang merupakan penduduk sipil negara B, kondisinya g
sangat tertutup dalam hal arsitektur bangunan tempat tinggal, dan banyak daerah
perbukitan, maka pasukan negara A merencanakan menyerang kawasan tersebut dengan
menggunakan gas beracun di daerah suku Birre tersebut sehingga gerilyawan akan
mati. Setelah itu pasukan negara A menyerang wilayah tersebut dengan menggunakan
bom dan granat yang dilempar dari udara, sehingga bisa dipastikan penduduk di
kawasan tersebut tidak ada yang tersisa.

HASIL DISKUSI
1. Pelanggaran hukum humaniter yang dilakukan negara a dan negara b

Sejak awal mulanya, Hukum Humaniter Internasional (HHI) telah menetapkan


batasan terhadap hak pihak yang berperang untuk menimbulkan penderitaan dan
cedera pada manusia serta menimbulkan kerusakan pada benda-benda, termasuk
benda-benda milik lingkungan alam. Konvensi ini secara tradisional berkaitan
dengan pembatasan penggunaan jenis senjata atau alat perang tertentu yang terus
menimbulkan kerusakan bahkan setelah perang usai, atau yang dapat melukai orang
atau properti negara yang sama sekali tidak terlibat dalam konflik.

Penggunaan senjata biologis telah dilarang oleh Protokol Jenewa 1925


tentang pelanggaran penggunaan gas yang mengakibatkan sesak nafas, beracun,
cairan, benda atau peralatan sejenis, serta melarang penggunaan bakteri dalam
metode peperangan. Konsekuensi dari pelepasan agen biologis atau racun yang
disengaja dapat menyebabkan hilangnya nyawa secara tragis, peristiwa-peristiwa
tersebut juga dapat menyebabkan kekurangan pangan, bencana lingkungan, kerugian
ekonomi yang sangat besar, dan meluasnya penyakit, ketakutan, dan
ketidakpercayaan.
Selain itu gas beracun termasuk senjata kimia, dimana penggunaan tersebut
telah melanggar konvensi 1993. Senjata kimia sendiri telah dijelaskan dalam
pasal ke II, yaitu:

(a) Bahan kimia beracun, termasuk senyawa kimia awal, kecuali yang
dimaksudkan untuk tujuan yang tidak dilarang oleh konvensi ini, selama
jenis dan jumlahnya sesuai dengan tujuannya;
(b) Amunisi dan alat alat, yang secara khusus dirancang untuk membunuh atau
membahayakan melalui bahan kimia beracun seperti yang disebutkan dalam
sub-paragraf (a), yang dihasilkan dari penggunaan amunisi dan alat-alat
tersebut;
(c) Segala jenis perlengkapan yang secara spesifik dirancang untuk digunakan
secara langsung dengan penggunaan amunisi dan alat-alat yang dijelaskan
dalam sub-paragraf (b).

2. Bentuk pertanggungjawaban

Bentuk pertanggungjawaban secara pidana untuk menuntut pelaku (dader) penggunaan


senjata kimia, dikarenakan tindakan penggunaan senjata kimia merupakan
pelanggaran hukum humaniter internasional. Menurut Konvensi Senjata Kimia tahun
1993 dan Konvensi Den Haag I tahun 1899 dan II tahun 1907 beserta deklarasinya,
dan juga pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum humaniter. Selanjutnya
negara yang menggunakan senjata kimia pada saat perang wajib membayar ganti
rugi kepada korban sesuai dengan pasal 3 Konvensi Den Haag tahun 1907. Tetapi
penggunaan bahan kimia tidak dilarang jika dipergunakan untuk medis, pertanian,
farmasi maupun tujuan damai lainnya.

3. Dalam kasus ini negara A dan negara B telah melakukan pelanggaran:


● Prinsip Limitation

prinsip limitation sendiri mengatur tentang larangan setiap tindakan yang dapat
menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya disebutkan bahwa negara A
berencana menggunakan gas beracun untuk menumbangkan gerilyawan suku birre.
Padahal, dalam Deklarasi Den Haag I tahun 1899 diatur tentang larangan
penggunaan gas pencekik. Begitu juga dalam Protokol Jenewa 1925 mengatur tentang
pelarangan penggunaan gas pencekik beracun ataupun jenis gas lainnya dan juga
cara berperang biologis yang menggunakan bakteri untuk kepentingan perang.

● Prinsip keterpaksaan

Berdasarkan prinsip ini, Ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya
bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
Dalam prinsip ini hanya pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan
untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.

● Prinsip proportionality

Prinsip proportionality memiliki arti setiap serangan dalam operasi militer


harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak
akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa luka-
luka ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan
militer yang diharapkan langsung dari serangan tersebut. Dalam kasus ini, negara
A berencana melakukan penyerangan tanpa memastikan terlebih dahulu bahwa pihak
sipil tidak akan menjadi korban. Jika dilihat, suku birre sendiri masih bisa
disebut sebagai pihak sipil. Meluki pihak sipil sama saja dengan melakukan
pelanggaran.

KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional (HHI) telah membatasi hak-hak pihak yang berperang
untuk menimbulkan penderitaan, kerugian terhadap warga sipil, dan kerusakan
harta benda, termasuk harta benda lingkungan hidup. Protokol Jenewa tahun 1925
melarang penggunaan senjata biologis, melanggar penggunaan gas, cairan, benda
atau perangkat serupa yang menyebabkan sesak napas, dan beracun, serta melarang
penggunaan bakteri dalam metode peperangan.

Menurut Konvensi Senjata Kimia tahun 1993 dan Konvensi Den Haag I tahun 1899 dan
II tahun 1907 beserta deklarasinya, serta pelanggaran prinsip-prinsip hukum
humaniter.

Dalam hal ini, baik negara A maupun negara B melanggar:

● Prinsip keterbatasan
● Prinsip yang mengikat
● Prinsip proporsionalitas

Anda mungkin juga menyukai