Anda di halaman 1dari 22

LINGKUNGAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Keuangan
Syariah Kelompok 2

Dosen Pengampu:

Disusun Oleh :

1. Bela Dwi Cahya Astora As 2151040190


2. Cindy Aryati
3. Delia Natalia
4. Delphiana Azizahtuz Zahra
5. Dito Pratama

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2023 M / 1445 H


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas rahmat dan hidayah dari Allah SWT. Berkat
Allah SWT, makalah ini telah selesai dikerjakan tepat pada waktunya. Kami telah
menyelesaikan makalah dengan judul Lingkungan Manajemen Keuangan Syariah.

Dengan selesainya makalah ini, maka kami juga ingin berterima kasih kepada Dr.
Muhammad Iqbal, M.E.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen Keuangan
Syariah yang telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan baru, serta teman-teman yang telah terlibat dalam pengerjaan makalah ini
sampai dengan selesai tepat pada waktunya.

Kami mengetahui bahwasanya masih terdapat banyak kekurangan dalam pembuatan


makalah ini, dengan ini kami memohon maaf serta meminta kritik serta saran agar dapat
menjadi lebih baik lagi. Kami menyusun makalah ini dengan tujuan utama yaitu memenuhi
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
memberikan wawasan kepada penulis dan pembaca tentang Lingkungan Manajemen
Keuangan Syariah.

Bandar Lampung, 20 September


2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................2

Daftar isi .................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................4

A. Latar Belakang ...........................................................................................................4


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................4
C. Tujuan.................................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................6

A. Bentuk Organisasi Bisnis Dalam Perekonomian Syariah..........................................6


B. Jenis Akad dan Implementasi dalam Organisasi Bisnis..............................................9
C. Profit Normal dan Profit Tidak Normal......................................................................9
D. Keberagaman Tujuan Perusahaan……………………………………………………….
E. Tata Kelola Perusahaan Dalam Islam………………………………………………….13
F. Relevansi Tujuan Perusahaan dan Tata Kelola Perusahaan………………………….14

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….19

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………19
B. Saran………………………………………………………………………………..19

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….........
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem keuangan syariah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antar pihak yang
membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana melalui produk dan jasa keuangan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Seluruh transaksi yang terjadi dalam kegiatan keuangan
syariah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.1 Lembaga keuangan syariah adalah
Lembaga Keuangan yang menjalankan kegiatannya dengan berlandaskan prinsip syariah Islam.
Lembaga keuangan syariah terdiri dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan non Bank
(asuransi, pegadaian, reksadana, pasar modal, dan baitul mal wat tamwil). Lembaga Keuangan
Syariah memiliki dua sifat yang berbeda yakni Lembaga Keuangan Syariah Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah non Bank.2 Bank berdasarkan prinsip syariah adalah bank umum yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam atau dengan kata lain yaitu bank yang tata
cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam tata cara tersebut terhindar dari kegiatan yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk
diisi dengan praktik atau kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dari pembiayaan perdagangan atau
praktik usaha yang dilakukan pada zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang sebelumnya
telah dilarang oleh Rasulullah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Bentuk Organisasi Bisnis Dalam Perekonomian Syariah?
2. Apa Jenis Akad dan Implementasi dalam Organisasi Bisnis?
3. Apa Profit Normal dan Profit Tidak Normal?
4. Apa Keberagaman Tujuan Perusahaan?
5. Apa Tata Kelola Perusahaan Dalam Islam?
6. Apa Relevansi Tujuan Perusahaan dan Tata Kelola Perusahaan?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bentuk Organisasi Bisnis Dalam Perekonomian Syariah
2. Untuk Mengetahui Jenis Akad dan Implementasi dalam Organisasi Bisnis
3. Untuk Mengetahui Profit Normal dan Profit Tidak Normal
4. Untuk Mengetahui Keberagaman Tujuan Perusahaan
5. Untuk Mengetahui Tata Kelola Perusahaan Dalam Islam
6. Untuk Mengetahui Relevansi Tujuan Perusahaan dan Tata Kelola Perusahaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bentuk Organisasi Bisnis Dalam Perekonomian Syariah

Dalam perekonomian Islam, bentuk organisasi bisnis secara umum dikelompokkan menjadi
tiga bentuk, yaitu organisasi bisnis perusahaan perseorangan (sole proprietorship), bentuk
persekutuan/ syirkah (partnership), dan organisasi bisnis mudharabah. 1
a. Perusahaan Perseorangan (Sole Proprietorship)
Seperti sistem ekonomi kapitalis, ekonomi Islam mengizinkan perusahaan swasta oleh
individu dan tidak mengikatnya. Dalam perusahaan ini pemilik bebas untuk memutuskan
modal, baik melalui pinjaman maupun menjual barang-barangnya dengan cara kredit.
b. Persekutuan (Partnership)/Syirkah Kata syirkah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata
syarikayasroku, syarikan/syirkatan/syarikatan yang artinya menjadi sekutu atau serikat.
Secara etimologis, syirkah berarti mencampurkan kedua bagian tangan atau lebih
sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya
(An-Nabbani, 1990). Adapun menurut makna syari’ah, syirkah adalah suatu akad antara
dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Persekutuan (partnership) merupakan hubungan antara dua orang atau lebih
untuk mendistribusikan laba (profit) atau kerugian (loses) dari suatu bisnis yang dijalankan
oleh semua pihak atau salah satu dari mereka sebagai pengelola.

1) Hukum dan rukun syirkah Hukum syirkah ialah ja’iz (boleh).


Pada saat Nabi SAW. diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah
dengan cara ber-syirkah dan Nabi Muhammad SAW. membenarkannya. Nabi Muhammad
SAW. bersabda, sebagaimana telah dituturkan Abu Hurairah r.a. Allah SWT. berfirman:
“Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Jika salah satunya berkhianat, aku keluar dari keduanya” (H.R.
Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan Ad-Daruqutni).
Rukun syirkah ada tiga, yaitu:
a) akad (ijab dan kabul) disebut juga syighat;
b) dua pihak yang berakad (‘aqidain);
c) objek akad (maqqud ‘alaihi).
Adapun syarat dari akad, yaitu sebagai berikut.
a) Objek akadnya berupa tassarruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan
akad-akad. Misalnya, jual beli.
b) Objek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak
bersama di antara para syarik.

2) Jenis-jenis organisasi syirkah


Syarikah memiliki klasifikasi, yaitu syarikah hak milik (syarikatul amlak) dan syarikah
transaksi (syarikatul uqud). Musyarakah ‘amlak (secara otomatis) adalah dua orang atau
lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad.
1
Dadang Husen,manajemen keuangan syariah,Bandung:CV.Pustaka Setia:2017,hal.33.
Musyarakah jenis ini dibagi menjadi dua:
(a) syirkah jibary (paksaan), yaitu syirkah yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih
yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti seseorang diwariskan sesuatu
maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka;
(b) syirkah ikhtiari (sukarela)
timbul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Musyarakah ‘uqud (atas
dasar kontrak) merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk
bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syarikatul uqud terdiri atas lima jenis berikut
ini.
a) Syarikah al-inan Syirkah antara dua orang atau lebih yang masing-masing pihak memberi
kontribusi kerja dan modal. Hukum dari syirkah ini adalah boleh berdasarkan dalil As-
Sunnah dan Al-ijma’. Syarikah jenis ini dibangun dengan prinsip wakalah dan kepercayaan.
b) Syarikah al-wujuh Syirkah antara dua orang dengan modal berasal dari pihak di luar
orang tersebut. Syirkah al-wujuh dapat terjadi karena adanya kedudukan, profesionalisme,
kepercayaan dari pihak lain untuk membeli secara kredit, kemudian menjualnya secara
kontan.
c) Syarikah abdan Syirkah antara dua orang atau lebih mengandalkan tenaga atau
keahliannya tanpa kontribusi modal.
d) Syarikah mudharabah Syirkah antara dua orang atau lebih dengan ketentuan, satu pihak
memberikan kontribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan kontribusi modal.
e) Syarikah mufawadhah Syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas.

(b) Mudharabah
Mudharabah adalah hubungan antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak
menyediakan modal (investor) kepada pihak lain yang berkedudukan sebagai pengelola
untuk menjalankan bisnis (mudharib) dengan kesepakatan untuk mendapatkan tingkat
keuntungan tertentu. Definisi di atas memberikan implikasi berikut ini.
1) Persetujuan tidak terbatas hanya antara dua orang, tetapi dapat terjadi lebih dari jumlah
tersebut.
2) ) Dalam setiap persetujuan terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang
berkedudukan sebagai penyedia modal usaha disebut pihak utama, dan pihak yang
berkedudukan sebagai pengelola disebut sebagai enterpreneur.
3) Pihak pengelola dapat membawa modalnya sendiri untuk kepentingan bisnis atau usaha
yang dijalankannya, tetapi hal ini perlu juga mendapat persetujuan dari pihak pemilik
modal. Dalam hal ini, modal yang berada pada pihak pengelola bukan merupakan bentuk
pinjaman, melainkan berfungsi untuk dijalankan dalam bisnis yang telah disepakati oleh
pemilik modal dengan kesepakatan mendapatkan porsi keuntungan dari usaha tersebut.

1) Pengalokasian keuntungan dan kerugian


Pengalokasian keuntungan antara pemilik modal dan pengelola dibuat berdasarkan
kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, tidak boleh dibuat berdasarkan
jumlah atau nominal pasti sebelum berjalanya bisnis tersebut, hanya dalam bentuk
persentase atas keuntungan yang diperoleh.2 Sementara berdasarkan aturan umum
syari’ah, pengalokasian kerugian yang terjadi dalam bisnis mudharabah ditanggung
2
Loc. Cit., Vithzal dan Faisar Ananda, Islamic ......, 2010, hlm. 245.
seluruhnya oleh pemilik modal dan tidak dapat ditangguhkan kepada pihak pengelola.
Pihak pengelola hanya berkedudukan sebagai agen dari pemilik modal, selama kerugian
yang terjadi bukan karena keteledorannya. Oleh karena itu, pihak pengelola dalam hal
ini tidak mendapatkan bagian jika terjadi kerugian dalam bisnis yang dijalankannya.
Syari’ah Islam telah membuat kewajiban kepada siapa saja yang menginvestasikan
uangnya untuk bertanggung jawab untuk kemungkinan terjadinnya kerugian dan
keuntungan. Dalam syari’ah Islam, kerugian tidak ditanggung oleh muharib dengan
alasan mudharib tidak mendapatkan penghargaan atas pekerjaan yang telah
dikerjakannya.

2) Konsep mudharabah ganda (double mudharabah)


Mudharabah ganda adalah seseorang yang memperoleh keuntungan dari bisnis
mudharabah, dan keuntungan itu diberikan kepada pihak ketiga untuk menjalankan
bisnis lainnya.
Dalam hal ini pengusaha pertama memiliki dua peran, yaitu pengusaha untuk pemilik
dan bertindak sebagai pemilik.
a) Mudharabah dan kewajiban para peserta
Konsep kewajiban di dalam bisnis mudharabah memiliki kemiripan dengan bentuk
bisnis persekutuan seperti berikut ini.
(1) Kewajiban pemegang saham adalah menyediakan modal yang akan digunakan
untuk menjalankan perusahaan.
(2) Jika pihak pengelola bisnis mudharabah membeli barang secara cicilan
melebihi total modal yang ada melalui persetujuan pemilik modal, kedua-duanya
bertanggung jawab untuk melunasi utang yang ada.
(3) Kerugian atau keuntungan yang diperoleh dari hasil pinjaman di luar modal
akan dibagi secara bersama antara pemilik modal dan pihak pengelola, bukan
berdasarkan perbandingan keuntungan yang disepakati dalam kontrak
mudharabah.
(4) Jika terjadi kerugian terhadap modal yang dipinjam saat diputar dalam usaha
yang dijalankan, pelunasan modal pinjaman ini harus didahulukan sebelum
mengembalikan modal awal yang dimiliki pemilik modal.

b). Pemutusan kontrak mudharabah


Seperti halnya dengan kemitraan, kontrak mudharabah dapat dicabut kembali
setiap saat jika dalam kontrak tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi pihak
yang terkait, sebagaimana kontrak mudharabah dapat dibubarkan karena kematian
ataupun terganggunya akal salah satu pihak yang terlibat. Seperti halnya bentuk
persekutuan juga, kontrak mudharabah dapat dijalankan terus oleh pihak lain yang
terlibat mengelolanya. Dengan demikian, hal ini akan memberikan kesempatan
bagi pihak yang tidak bubar untuk terus menjalankannya, dan tidak perlu untuk
membubarkannya.
c) Mudharabah dan penyertaan saham perusahaan (joint stock company)
Struktur penyertaan saham perusahaan modern sekarang ini dapat ditemukan
beberapa variasi konsep yang serupa dengan konsep mudharabah, yaitu:
(1) penyertaan saham perusahaan juga memiliki pembagian antara kepemilikan
dan pengawasan;
(2) tidak adanya batasan jumlah pemegang saham yang terdapat dalam suatu
bentuk penyertaan saham perusahaan, sebagaimana halnya juga berlaku dalam
bentuk mudharabah;
(3) pemindahan saham atau bagian dari seorang pemilik modal kepada yang
lainnya tidak akan menyebabkan perusahaan tersebut bubar, sebagaimana halnya
juga dalam mudharabah.

B. Jenis Akad dan Implementasi dalam Organisasi Bisnis


Akad bernama adalah akad yang telah ditentukan tujuan dan namanya
oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang
berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Adapun tujuan
akad bernama ini antara lain:
1) pemindahan hak milik dengan imbalan maupun tanpa imbalan;
2) melakukan pekerjaan;
3) melakukan persekutuan;
4) melakukan pendelegasian; dan
5) melakukan penjaminan.

Dalam akad bernama ini, ulama berbeda pendapat dalam


mengklasifikasikan jumlah akad bernama, bahkan mereka pun tidak
membuat penyusunan sistematis tentang urutan-urutan terhadap akad
tersebut.
Pendapat pertama dikemukakan oleh al-Kasani bahwa akad bernama

itu meliputi 18 jenis sebagai berikut: 1) sewa- menyewa (al-Ijarah); 2)


penempaan (al-Istishna’); 3) jual beli (al-Bai’); 4) penanggungan (al-
Kafalah); 5) pemindahan utang (al-Hiwalah); 6) pemberian kuasa (al-
Wakalah); 7) perdamaian (ash-Shulh); 8) persekutuan (al-Syirkah); 9) bagi
hasil (al-Mudharabah); 10) hibah (al-Hibah); 11) pemeliharaan tanaman (al-
Musaqah); 12) gadai (ar-Rahn); 13) penggarapan tanah (al-Muzara’ah); 14)
penitipan (al-Wadi’ah); 15) pinjam pakai (al-‘Ariyah); 16) pembagian (al-
Qismah); 17) wasiat (al-Washaya), dan 18) pinjam mengganti (al-Qardh).3

Sedangkan al-Zuhaily membagi ke dalam 13 jenis akad bernama,


yaitu: 1) jual beli (al-Bai’); 2) pinjam mengganti (al-Qardh); 3) sewa-
menyewa (al-Ijarah); 4) persekutuan (al-Syirkah); 5) hibah (al-Hibah); 6)
penitipan (al-ida’); 7) pinjam pakai (al-I’arah); 8) pemberian kuasa (al-
Wakalah); 9) penanggungan (al-Kafalah); 10) pemindahan utang (al-Hiwalah);
3
Naerul Edwin Kiki Aprianto,implementasi bentuk bentuk akad bernama dalam lembaga syariah,Vol.9,Jurnal
ekonomi islam,2018,Hal.4
11) gadai (ar-Rahn);
12) perdamaian (al-Shulh); dan 13) janji imbalan/sayembara (al-Jualah).

Berbeda dengan al-Zarqa, yang menurut perhitungannya membagi akad


bernama menjadi 25 jenis akad, yaitu:
1)sewa-menyewa (al-Ijarah); 2) jual beli opsi (Bai’ al- Wafa); 3) jual
beli (al-Bai’); 4) penanggungan (al-Kafalah); 5) pemindahan utang (al-
Hiwalah); 6) pemberian kuasa (al-Wakalah); 7) perdamaian (ash-Shulh); 8)
arbitrase (al-Tahkim); 9) pelepasan hak kewarisan (al-Mukharajah); 10)
persekutuan (al-Syirkah); 11) bagi hasil (al-Mudharabah); 12) hibah (al-
Hibah); 13) gadai (ar- Rahn); 14) penggarapan tanah (al-Muzara’ah); 15)
pemeliharaan tanaman (al- Musaqah); 16) penitipan (al-Wadi’ah); 17) pinjam
pakai (al-‘Ariyah); 18) pembagian (al-Qismah); 19) wasiat (al-Washaya); 20)
pinjam mengganti (al-Qardh); 21) pemberian hak pakai rumah (al-‘Umra);
22) penetapan ahli waris (al-Muwalah); 23) pemutusan perjanjian atas
kesepakatan (al-Qalah); 24) perkawinan (al-Zawaj); dan 25) pengangkatan
pengampu (al-Isha’).

Aneka ragam akad bernama yang disebutkan al-Zarqa mencakup kehendak


sepihak seperti wasiat, akad diluar lapangan hukum harta kekayaan seperti
nikah, dan bagian dari suatu akad seperti pemberian hak pakai rumah yang
merupakan bagian dari hibah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dalam tulisan ini akan
dijabarkan mengenai bentuk-bentuk akad bernama sesuai dengan
implementasi-nya dalam aktivitas ekonomi di institusi keuangan dan bisnis
syariah baik perbankan syariah, BMT, asuransi syariah, pegadaian syariah,
obligasi dan lain-lainnya, sebagai berikut

1. Jual Beli (Al-Bai)

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda (barang) yang

mempunyai nilai, atas dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara’.
Menurut pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang
bersifat khusus.
Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu
yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan
manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah berupa dzat (berbentuk) dan ia
berfungsi sebagai objek penjualan. Sedangkan jual beli dalam arti khusus
ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang mempunyai kriteria antara lain
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan, yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir
dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang
tersebut ada di hadapan si pembeli maupun tidak, dan barang tersebut telah
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu., atau pertukaran
antara benda dengan uang.
2. Pinjam Mengganti (al-Qardh)
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih

atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan

imbalan.4
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa al-Qardh merupakan
memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa mengharapkan
imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih
atau diminta kembali kapan saja penghutang menghendaki. Akad al-Qardh ini
diperbolehkan dengan tujuan meringankan (menolong) beban orang lain Dalam
implementasinya di lembaga keuangan syariah, al-Qardh dapat diaplikasikan
sebagai berikut:
a. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang
relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah
uang yang dipinjam itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak
bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
c. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu
sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk
khusus, yaitu al-qardh al-hasan.
Dengan demikian, sumber dana yang digunakan dalam pembiayaan al-
Qardh, yaitu dari dana sosial meliputi dana yang diterima oleh lembaga
keuangan syariah dari pihak lain (misalnya dari sumbangan zakat, infak, dan
sedekah) serta dana yang disediakan oleh para pemilik lembaga keuangan
syariah, dan hasil pendapatan non- halal.

2. Sewa-Menyewa (al-Ijarah)
Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam

memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual

jasa, dan lain- lain.12 Dalam hal ini, al-Ijarah dapat diartikan sebagai akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa,

4
Naerul Edwin Kiki Aprianto,implementasi bentuk bentuk akad bernama dalam lembaga syariah,Vol.9,Jurnal
ekonomi islam,2018,Hal.6
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Menurut jumhur ulama, hukum asal al-Ijarah adalah mubah (boleh) bila
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’.
Implementasi dari al-Ijarah ini, lembaga keuangan syariah dapat melakukan
leasing. Akan tetapi pada umumnya, lembaga keuangan syariah tersebut lebih

banyak menggunakan al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik (IMB) karena lebih


sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, lembaga keuangan syariah pun
tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing
maupun sesudahnya. (Suganda, Kartu Plastik, 2014).
3. Persekutuan (al-Syirkah)
Al-Syirkah merupakan suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara

dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan. Dalam hal ini, al-
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuangan dan resiko ditanggung
bersama.5
Transaksi al-Syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang
bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara
bersama-sama. Hal ini didasarkan firman Allah dalam QS. an-Nisa ayat 12
dan QS. Shaad ayat 24.Dalam implementasinya di lembaga keuangan
syariah, al-Syirkah dapat diaplikasikan pada pembiayaan suatu proyek, di
mana lembaga keuangan syariah bekerja sama dengan sebuah perusahaan
untuk sebuah proyek. Dalam hal ini, kedua belah pihak masing-masing
mengeluarkan dana guna membiayai proyek yang akan berlangsung. Setelah
proyek itu selesai, perusahaan mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati.

1. Penitipan (al-Wadi’ah)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan
merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si

5
Naerul Edwin Kiki Aprianto,implementasi bentuk bentuk akad bernama dalam lembaga syariah,Vol.9,Jurnal
ekonomi islam,2018,Hal.9
penitip menghendaki. Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad wadiah
adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang
atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
Dalam al-wadi’ah, para ulama fikih sepakat menggunakan akad dalam

rangka tolong-menolong sesama manusia, disyariatkan dan dianjurkan dalam

Islam.
Dalam implementasinya di lembaga keuangan syariah, akad al-Wadi’ah

dapat diaplikasikan pada produk-produk seperti produk giro maupun produk

tabungan. Sebagai konsekuensi dari akad ini, semua keuntungan yang


dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik lembaga keuangan
(demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian).
Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya. Sungguh demikian,
bank sebagai penerima titipan sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan
dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa
bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak
ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul
merupakan kebijaksanaan dari manajemen lembaga keuangan.

1. Bagi Hasil (al-Mudharabah)


Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di
mana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang
menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai
pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan
biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian itu di tanggung oleh shahibul mal
sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan
mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang
telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian itu
diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
Secara umum, landasan dasar syariah al-Mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam QS.
al-Muzammil ayat 20 dan QS. al-Jumu’ah ayat 10.
Dalam implementasinya, al-Mudharabah biasanya diterapkan pada
produk- produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana,
al-Mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,
seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan lain sebagainya.
b. Deposito, yaitu penyimpanan dan pengambilannya ditentukan oleh waktu
yang telah disepakati. Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di
mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah. Deposito baru bisa
dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya, biasanya deposito
mempunyai jatuh tempo 1, 3, 6, atau 12 bulan. Bila deposito dicairkan
sebelum tanggal jatuh tempo, maka akan kena penalty atau sanksi.
Adapun dari sisi pembiayaan di lembaga keuangan syariah, al-Mudharabah
diterapkan untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi khusus disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber
dana khusus dengan penyaluran khusus dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh shahibul mal.

4. Pemberian Kuasa (al-Wakalah)


Al-Wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan
atau urusan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang

mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan 6. Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa al- Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus
dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.
Islam mensyariatkan al-Wakalah karena manusia membutuhkannya.
Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk
menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang
6
Naerul Edwin Kiki Aprianto,implementasi bentuk bentuk akad bernama dalam lembaga syariah,Vol.9,Jurnal
ekonomi islam,2018,Hal.11
perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili
dirinya. Dalam implementasinya, lembaga keuangan syariah dapat
memberikan jasa wakalah, yaitu sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi
kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini, lembaga
keuangan akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasa tersebut.
Sebagai contoh, lembaga keuangan dapat menjadi wakil untuk melakukan
pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau
telepon. Contoh lainnya adalah lembaga keuangan mewakili sekolah atau
universitas sebagai penerima biaya SPP dari para pelajar untuk biaya studi.

5. Penanggungan (al-Kafalah)
Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain

sebagai penjamin. Oleh karena itu, kafalah merupakan akad yang


mengandung kesanggupan seseorang untuk mengganti atau menanggung
kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannnya. (Suganda, 2010).

Dalam implementasi al-Kafalah, sebagai contoh dalam praktik


perbankan syariah adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan
dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang (pemuka masyarakat).
Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank
berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah
yang dibiayai mengalami kesulitan. Contoh lainnya, bisa dilakukan untuk
menjamin pengembalian barang yang disewa pada waktu sewa-menyewa
berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk
kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan
penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa
deposito/tabungan, dan bank dapat membebankan uang jasa/fee kepada
nasabah.
6. Pemindahan Utang (al-Hiwalah)
Al-Hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan orang yang
memindahkan (al-muhil) kepada tanggungan orang yang dipindahi hutang
(muhal ‘alaih). Secara harfiah artinya pengalihan, pemindahan, perubahan
warna kulit atau memikul sesuatu diatas pundak. Objek yang dialihkan
dapat berupa utang atau piutang. Jenis akad ini pada dasarnya adalah akad
tabarru’ yang bertujuan untuk saling menolong untuk menggapai ridho
Allah7.Dengan kata lain, pengalihan utang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Misalnya, A memberi pinjaman kepada
B, sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C. Begitu B tidak mampu
membayar utangnya
pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan
demikian, C yang harus bayar utang B kepada A, sedangkan utang C
sebelumnya pada B dianggap selesai. Dalam aplikasinya, kontrak hiwalah
dalam lembaga keuangan syariah biasanya diterapkan pada factoring (anjak
piutang), di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga
memindahkan piutang itu kepada bank, kemudian bank membayar piutang
tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.

7
Abdul Majid Toyyibi, IMPLEMENTASI HAWALAH PADA PEMBIAYAAN BERMASALAH STUDI KASUS KOPERASI
JASA KEUANGAN SYARIAH USAHA GABUNGAN TERPADU BMT SIDOGIRI KCP OMBEN TAHUN BUKU
2018,Vol.2,Jurnal Kajian Ekonomi Dan Perbankan,2019,Hal.3
7. Gadai (ar-Rahn)
Ar-Rahn merupakan menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud

sesudah ditebus. Lebih lanjut, M. Syafi’i Antonio mengemukakan bahwa ar-


Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa ar-Rahn adalah semacam jaminan utang
atau gadai8.

Dalam implementasinya di perbankan syariah, ar-Rahn dipakai sebagai


produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral)
terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank
dapat menahan nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Selain itu, akad
rahn juga dapat dijadikan produk tersendiri. Maksudnya, akad rahn dipakai
sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Dalam hal ini, dalam rahn
(pegadaian syariah), nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari
nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat
bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya
rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka

8
Meirani Rahayu Rukmanda, Konsep Rahn Dan Implementasinya Di Indonesia,Vol.2,Jurnal Ilmiah Ekonomi,
dan Keuangan Syariah,2020,No.03
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

C. B. Saran
D. Pembuatan makalah
ini sangat jauh dari
kesempurnaan, karena
E. keterbatasan sumber
yang kami peroleh.
Sehingga isi dari
makalah ini masih
F. bersifat umum, oleh
karena itu kami harapkan
agar pembaca bisa mecari
sumber
G. yang lain guna
membandingkan dengan
pembahasan yang kami
buat, guna
H. mengoreksi bila terjadi
kelasahan dalam pembuatan
makalah ini
I. B. Saran
J. Pembuatan makalah
ini sangat jauh dari
kesempurnaan, karena
K. keterbatasan sumber
yang kami peroleh.
Sehingga isi dari
makalah ini masih
L. bersifat umum, oleh
karena itu kami harapkan
agar pembaca bisa mecari
sumber
M. yang lain guna
membandingkan dengan
pembahasan yang kami
buat, guna
N. mengoreksi bila terjadi
kelasahan dalam pembuatan
makalah ini
O. B. Saran
P. Pembuatan makalah
ini sangat jauh dari
kesempurnaan, karena
Q. keterbatasan sumber
yang kami peroleh.
Sehingga isi dari
makalah ini masih
R. bersifat umum, oleh
karena itu kami harapkan
agar pembaca bisa mecari
sumber
S. yang lain guna
membandingkan dengan
pembahasan yang kami
buat, guna
T. mengoreksi bila terjadi
kelasahan dalam pembuatan
makalah ini
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan,
karenaketerbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah
ini masihbersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mecari
sumberyang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami
buat, gunamengoreksi bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai