Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KMB

“ colitis ”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

KELAS 2B

1. Atika Mahira (223110285)

2. Filzah Nurul Sakinah (223110291)

3. Maharatu Anghrilla Anggelina (223110297)

4. Nur Sakirah Humaira (223110303)

5. Salsabila Adrian (223110310)

6. Tri Junia Permata Roza (223110316)

Dosen Pembimbing :

Ns. Hj. Defia roza, S.Kep.M.Biomed

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

PRODI DIII KEPERAWATAN PADANG

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat-Nya dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini
adalah tentang “colitis”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen pengampu Hj. Defia roza, S.Kep.M.Biomed selaku dosen mata kuliah KMB yang telah
memberikan arahan dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa banyak kekurangan dalam makalah ini baik dalam
penulisan dan terutama sistematikanya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami, mohon kritik dan saran membangun senantiasa kami harapkan mengenai
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pihak lain
yang berkepentingan pada umumnya.

Mingu,10 september 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................2
C. TUJUAN..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian colitis.................................................................................3
B. Epidemiologi colitis.............................................................................3
C. Epiopatogenesis colitis........................................................................3
D. Manifestasi klinis colitis .....................................................................5
E. Penatalaksanaa colitis.........................................................................11
F. Komplikasi colitis................................................................................13

BAB III PENUTUPAN


A. KESIMPULAN ...................................................................................14
B. SARAN.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan


saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara
garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila
sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate
colitis (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe
Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn
disease, yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis
ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy.
Colitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang memiliki dampak emosional
dan sosial yang amat sangat pada pasien yang terkena, dan ditandai dengan adanya
eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik (Basson, 2011).

Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan,
disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan
berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).

Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen


yang sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun
penemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak
menunjukkan peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa
dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder.
Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak,
sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2011).

Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya


10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100
kasus per 100.000 orang (Basson, 2011).

1
B. Rumusan Masalah
1) Pengertian colitis
2) Epidemiologi colitis
3) Epiopatogenesis colitis
4) Manifestasi klinis colitis
5) Penatalaksanaa colitis
6) Komplikasi colitis

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian colitis
2) Untuk mengetahui epidemiologi colitis
3) Untuk mengetahui epiopatogenesis colitis
4) Untuk mengetahui manifestasi colitis
5) Untuk mengetahui penatalaksana colitis
6) Untuk mengetahui komplikasi colitis

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian colitis
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara
garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila
sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate
colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus
lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat, 2006).
Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel
Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat
mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya
mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).

B. Epidemiologi colitis
Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya
10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100
kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit
tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada
setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008).
Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease. Colitis
ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African American
atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki
(Basson, 2011).

C. Etiopatogenesis colitis
Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan,
disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan
berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).

3
Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen
yang sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun
penemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak
menunjukkan peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa
dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder.
Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak,
sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2011).

Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu


dari penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi
faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.

1. Faktor familial/genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit
hitam dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik
terhadap perkembangan penyakit ini.

2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha
menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian diisolasi.
Laporan awal isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan
yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.

3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa
manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis,
perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik
tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka
melalui mekanisme imunosupresif.

4
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak
lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan
dengan adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota
keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki
kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stress
emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.

5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun
secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade
ke-3. Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh
limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas.
Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang
mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.

Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
pathogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu
mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T
atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu
autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal.

D. Manifestasi klisnis colitis


 Gejala klinis
Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada
penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk
yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.

5
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya
anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).
Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon
yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer
mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi,
hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah
bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa
yang normal. Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien
akan mendertia relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama,
mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat
periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada
umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan
intensitas radang (Ariestine, 2008).

 Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat
dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap
darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya
mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang ulserasi. Peningkatan
kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang
berhubungan. Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile
negative. Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody
Saccharomyces cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit
colitis ulseratif dengan penyakit Crohn (Ariestine, 2008).
6
 Gambaran radiologi
 foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung
terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai
penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan
nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat
memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah
inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka
materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan
empty abdomen.
Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic
megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak
dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka
dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama
pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD)
maupun pada foto toraks tegak.
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan
barium enema merupakan kontra indikasi.

 barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan
apabila ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan
barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan
yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-tururt
dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi
minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat
diberikan laksatif peroral. Pemeriksaan barium enema dapat dilakuka
dengan teknik kontras tunggal (single contrast) maupun dengan
kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara.
7

Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa


kolon dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur
pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium enema juga
merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien
dengan colitis ulseratif
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan colitis
ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya
kontur haustra serta kolon ttampak menjadi kaku seperti tabung.
Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon.
Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan
keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang
segmental maka rectum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat,
karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan
menyebar kea rah proksimal secara kontinu. Jadi rectum selalu terlibat,
walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya.
Pada keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-
shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks,
yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang
khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan colitis ulseratif juga
menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon.\

 ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan
modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali
merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen
dan ekstralumen. Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya
pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan menyarankan pasien
untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air putih.
8

Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan.


Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon
yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan
berstruktur hipoekhoik akibat dari edema.
Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan
hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-
kidney sign pada potongn transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dindng usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus
tersebut.

 ct scan
Kelebihan CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai
sejauh mana komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi.
Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah mengevaluasi
jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang
cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT Scan pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal
secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka
terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi
dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan
abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Ariestine, 2008).

 Gambaran endoskopi
Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar
/progresif ke proksimal.
9

Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi


colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah
kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan
nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik.
Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah
mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai.
Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen
dengan colitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis
ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa
memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa
menunjukkan penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine,
2008).

 Gambaran histopastologi
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur
mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur
mukosa, perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran
abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek). Pada kolon
normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar
kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi,
predominan terletak di bagian atas lamina propria.
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth
serta permukaan viliform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria
meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-
sel berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini
berhubungan dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau
kronik/menyembuh (Ariestine, 2008). Gambaran khas untuk colitis ulseratif
adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan
polimorfonuklear di lamina propria (Djojoningrat, 2006).
10
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit colitis
ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.

Kriteria mayor colitis ulseratif :


a) Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa
b) Basal plasmositosis
c) Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
d) Abses kripta
e) Kriptitis
f) Distorsi kripta
g) Permukaan viliformis

Kriteria minor colitis ulseratif :

a) Jumlah sel goblet berkurang


b) Metaplasia sel Paneth

Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat


dibedakan dari colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang
gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang
penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan
(Ariestine, 2008).

E. Penatanalsanaan colitis
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya
lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan
adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik
pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara
pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja
usus dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada
serangan akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi.
11

Obat baku pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA)


dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan
obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin,
azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab). Pada kasus tertentu
atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik
kolon, maka diperlukan intervensi surgikal (Djojodiningrat, 2006).
Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai
efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk menginduksi
remisi pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang.
Bekerja secara lokal pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan secara
sistemik menghambat sintesis prostaglandin. Temuan klinis pada colitis ulseratif yang
berat berhubungan dengan nekrosis luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan
sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi
sepsis (Basson, 2011).
Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena
histamin terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural pada
traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan
dan mucus, mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan
respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta meningkatkan
pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor H1, H2, H3 dan H4.
Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan karakterisitik dari IBD
kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan meningkatkan
pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).
Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan
merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik,
dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses
inflamasi (WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada colitis ulseratif, serat yang
insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung
manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh
traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika
inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis.
12

Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon,
menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel
pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble
adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih
(Collitis UK, 2011).

F. Komplikasi colitis
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang
terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama
pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko
terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).
13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kolitis adalah peradangan akut atau kronik pada kolon yang dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit baik akibat infeksi maupun non-infeksi. Kolitis
ditunjukkan oleh adanya gejala seperti diare, perdarahan rektal, nyeri perut,
tenesmus, dan penurunan berat badan.

B. SARAN
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat dan menambah
wawasan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang dimengerti. Kami juga
sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini diterima dengan baik.
14

DAFTAR PUSTAKA

Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas Kedokteran Medan.
www.scribd.com/affannurrochman/d/40473357-Kolitis. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam
22.00 WIB.

Basson, Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 17


April 2012. Jam 22.00 WIB.

Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis.


http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam
22.00 WIB.

Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan Pengobatannya


di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi ke-IV. Hal. 384-388. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Fauci, Anthony S., et all. 2009. Inflammatory Bowel Disease. Harrison’s Manual of Medicine
17th Edition. Hal. 836-840. United States of America : Mc.Graw Hill.

Fogel, W.A., et all. 2005. The Role of Histamine in Experimental Ulcerative Colitis in Rats.
Inflammation Research Volume 54.
http://www.springerlink.com/content/h2341286554185w7/. Diakses tanggal 17 April 2012.
Jam 22.00 WIB.

WebMD. 2012. Creating an Ulcerative Colitis Diet Plan. http://www.webmd.com/ibd-


crohns-disease/ulcerative-colitis/creating-an-ulcerative-colitis-plan. Diakses tanggal 17 April
2012. Jam 22.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai