Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

HIPOTERMI, HIPERTERMI, HIPERGLIKEMI, HIPERBILIRUBIN

Oleh kelompok 9 :

1. Erlina
2. Sri natasya
3. syaharani

AKADEMI KEBIDANAN LANGKAT

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia serta taufik hidayahnya kami dapat menyelesaikan
makalah kegawatdaruratan maternal dan neonatal dengan Judul “Hipotermi,
Hipertermi, Hiperglikemia, Hiperbilirubin”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah


wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki.

Oleh karena itu, Kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak, dan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.

Stabat, 13 september 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTARISI.............................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN....................................................................................................1
Latar belakang..........................................................................................................1

Rumusan masalah.....................................................................................................1

Tujuan Penulisan......................................................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................2

Pengertian Hipotermia.............................................................................................2

Pengertian Hipertermia ...........................................................................................2

Pengertian Hiperglikemia ........................................................................................2

Pengertian hiperbilirubin

BAB III
PENUTUP...............................................................................................................3

Kesimpulan..............................................................................................................3

Saran ......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius

dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga
sehingga membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan nyawa
( nuraminudin, 2010).

Kasus gawatdarurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak


segera ditangani akan berakibat pada kematian ibu dan janin. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir (syaifuddin, 2010).

kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan


manjement yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( < usia 28 hari )
membutuhkan pengetahuan yang dalam mengali perubahan psikologis dan kondii
patologi yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (sharieff,
brousseau, 2011).

Setiap bayi yang baru lahir akan mengalami bahaya jiwa saat proses
kelahirannya. Ancaman jiwa berupa kematian tidak dapat di duga secara pasti
walaupun dengan bantuan alat-alat medis modern sekalipun, sering kali
memberikan gambaran berbeda terhadap kondisi bayi saat lahir. Kemauan dan
keterampilan tenaga medis yang menangani kelahiran bayi mutlak sangat di
butuhkan, tetapi tidak semua tenaga medis memiliki kemampuan dan
keterampilan standart dan melakukan resusitasi pada bayi baru lahir yang dapat di
andalkan, walaupun mereka memiliki latar belakang pendidikan sebagai
profesional ahli ( sharieff, brousseau, 2011).

B. Rumusan masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah konsep dasar
kegawatdauratan neonatal.

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan konsep dasar kegawatdaruratan neonatal

D. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai


berikut :

1. penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang konsep


dasar kegawatdaruratan neonatal
2. pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang konep
daar kegawatdaruratan neonatal
BAB II
PEMBAHASAN

A.Hipotermi

Hipotermi adalah kondii dimana suhu tubuh < 36ᵒ c atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Untuk mengukur uhu tubuh pada hipotermi di perlukan
termometer ukuran rendah ( low reading termometer ) sampai 25ᵒ c. Di amping
sebagai uatu gelaja hipotermi dapat merupakan awal penyakit yang berakhir
dengan kematian

Akibat hipotermi adalah meningkatnya konumi okigen ( terjadi hipoksia ),


terjadinya metabolik asedosis konsekuensi glikolisis anerobik, dan menurunnya
impanan glikogen dengan akibat hipokglikemia. Hilangnya kalori tanpak dengan
turunnya berat badan yang dapat di tanggulangi dengan meningkatkan intake
kalori. Etiologi dan faktor predispoisisi dari hipotermi antara lain : prematuritas,
asfeksia, sespsis, kondisi neorologik seperti maningitis dan perdarahan serepbral,
pengeringan yang tidak ade kuat setelah kelahiran dan eksposure suhu lingkungan
yang dingin.

Penanganan hipotermi di tunjukan pada :

1. mencegah hipotermia
a. menjaga tubuh tetap kering
b. mengenakan pakaian tebal dan pendukungnya, seperti syal, atau topi
saat beraktivitas di luar rumah jika cuaca dingin.
c. Menghindari konsumsi minuman beralkhohol dan kafein
d. Menghindari aktivitas fisik yang berat saat suhu sedang sangat dingin
e. Berikan cairan hangat dan bawa ke RS
2. mengenal bayi dengan hipotrmia
tidak mampu menyusu atau kemampuan menghisap rndah, menangis
lemah, letargi
3. mengenal resiko hipotermia
rendah nya suhu tubuh dapat menyebabkan jantung, sistem saraf srta organ
lainnya tidak dapat bekerja dengan baik, bahkan dapat mengakibatkan
kematian.

4. tindakan pada hipotermia


1. menangani penderita secara lmbut dan seperlunya
2. memastikan pasien dalam kondisi kering
3. memindahkan pasien ketempat yang lebih hangat
4. memberikan tambahan rasa hangat
5. berikan minuman hangat apabila pasien masih dalam keadaan sadar

tanda- tanda klinis hipotermia :


a. hipotermia sedang ( suhu tubuh 32ᵒ c - < 36ᵒc )
tanda- tandanya antara lain :
1. kaki teraba dingin
2. kemampuan mengisap lemah
3. tangian lemah dan kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata

b. hipotermia berat ( suhu tubu < 32ᵒc )

tanda-tandanya antara lain :

1. sama dengan hipotemia sedang


2. disertai dengan pernafasan lambat tidak teratur
3. bunyi jantung lambat
4. terkanag disertai hipokglikemi dan asidosis metabolik

c. stadium lanjut hipotermia


tanda-tandanya antara lain :
1. muka, ujung kaki, dan tangan berwarna merah terang
2. bagian tubuh lainnya pucat, kulit mengeras, merah dan timbul edema
terutama pada punggu, kaki dan tangan ( Sklerema).

B. Hipertermi

Pengertian Hipertermia Hipertermia adalah keadaan meningkatnya suhu


tubuh di atas rentang normal tubuh. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Hipertermi merupakan keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami kenaikan suhu tubuh >37,80 C (100 o F) per oral atau 38,80 C (101 o
F) per rektal yang sifatnya menetap karena faktor eksternal (Carpenito, 2012).
Hipertermia merupakan keadaan peningkatan suhu tubuh (suhu rektal >
38,80 C (100,4 F)) yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
menghilangkan panas ataupun mengurangi produksi panas (Perry & Potter, 2010).
Hipertermia adalah kondisi di mana terjadinya peningkatan suhu tubuh
sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran
panas atau menurunkan produksi panas. (Perry & Potter, 2005).
Hipertermia merupakan suatu kondisi di mana terjadinya peningkatan suhu
tubuh di atas 37,20 C akibat dari system pertahanan tubuh dari infeksi (viremia).
(Sudoyo, Aru W, dkk, 2010). Jadi hipertermia merupakan salah satu gejala klinis
yang ditemukan pada DHF sehingga dimungkinkan bahwa hipertermi juga
berpengaruh terhadap derajat keparahan penyakit DHF.

3. Etiologi Hipertermia

Hipertermia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pada pasien DHF,


hipertermia disebabkan oleh kerena adanya proses penyakit (infeksi virus dengue
(viremia)) di dalam tubuh yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2016).

4. Tanda dan Gejala Hipertermia

Hipertermia terdiri dari gejala dan tanda mayor, dan gejala dan tanda minor.
Adapun gejala dan tanda mayor, dan gejala dan tanda minor, yaitu :
a. Gejala dan Tanda Mayor

1) Suhu tubuh di atas nilai normal


Suhu tubuh di atas nilai normal yaitu > 37,80 C (100 o F) per oral atau
38,80 C (101 o F) per rektal.

b. Gejala dan Tanda Minor

1) Kulit merah

Kulit merah dan terdapat bintik-bintik merah (ptikie).

2) Kejang

Kejang merupakan suatu kondisi di mana otot-otot tubuh berkontraksi


secara tidak terkendali akibat dari adanya peningkatan temperatur yang tinggi.

3) Takikardia

Takikardia adalah suatu kondisi yang menggambarkan di mana denyut


jantung yang lebih cepat dari pada denyut jantung normal.

4) Takipnea

Takipnea adalah suatu kondisi yang mengambarkan di mana pernapasan


yang cepat dan dangkal.

5) Kulit terasa hangat

Kulit dapat terasa hangat terjadi karena adanya vasodilatasi pembuluh


darah sehingga kulit menjadi hangat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

5. Patofisiologi Hipertermia

Pada DHF Arbovirus masuk melalui gigitan nyamuk aedes aegypti pada tubuh
manusia yang beredar dalam aliran darah sehingga terjadi infeksi virus dengue
(viremia) yang menyebabkan pengaktifan sistem komplemen (zat anafilatoksin)
yang membentuk dan melepaskan zat C3a, C5a dan merangsang PGE2
(prostagelandin 2) yang selanjutnya akan meningkatkan seting point suhu di
hipotalamus. Kenaikan seting point ini akan menyebabkan perbedaan antara suhu
seting point dengan suhu tubuh, dimana suhu seting point lebih tinggi dari pada
suhu tubuh. Untuk menyamakan perbedaan ini, suhu tubuh akan meningkat
sehingga akan terjadi hipertermia. Hipertermia menyebabkan peningkatan
reabsorpsi Na+ dan H2O sehingga permeabilitas membran meningkat.

Meningkatnya permeabilitas membran menyebabkan cairan dari intravaskuler


berpindah ke ektravaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma. Kebocoran plasma
akan mengakibatkan berkurangnya volume plasma sehingga terjadi hipotensi dan
kemungkinan akan berakibat terjadinya syok hipovolemik (Nurarif & Kusuma,
2015).

6. Kondisi Klinis Terkait

Beberapa kondisi klinis yang terkait dengan terjadinya hipertermia di


antaranya adalah : proses infeksi (viremia), hipertiroid ( kondisi d mana jumlah
hormon tiroid dalam tubuh sangat tinggi), stroke, dehidrasi (kondisi ketika tubuh
kehilangan lebih banyak cairan dari pada yang didapatkan), trauma, prematuritas
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Trombosit
Biasanya hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien dengan DHF akan
mengalami penurunan trombosit ( < 100.000/mmᶾ )

b. Hemoglobin (Hb)

Hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien dengan DHF akan


menunjukkan kelainan pada Hb. Hb akan mengalami peningkatan sebesar 20%
dengan Hb normal pada laki-laki yaitu 14-16 gr/dL, dan pada perempuan yaitu 12-
16 gr/dL.

d. Hematrokrit
Biasanya hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien dengan DHF akan
menunjukkan kelainan pada hematrokrit (PCV) yang mengalami peningkatan
hingga 20% atau lebih. Hematokrit normal pada laki-laki yaitu 40-54%, sedangkan
pada perempuan yaitu 35-47%.

e. Leukopeni (mungkin normal atau lekositosis)

Kondisi rendahnya jumlah total sel darah putih (leukosit) dibanding nilai
normal. Nilai normal leukosit yaitu : 5000-10.000 uL.

f. Isolasi virus

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah penderita atau


jaringanjaringan, untuk penderita yang hidup melalui biopsy sedangkan untuk
penderita yang meninggal melalui autopsy. Namun, hal ini jarang dikerjakan.

f. Serologi (Uji H): respon terhadap antibodi sekunder

g. Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali (setiap jam atau 4- 6
jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan

8. Dampak

Salah satu dampak terjadinya hipertermia adalah dehidrasi. Di mana


terjadinya dehidrasi disebabkan oleh adanya peningkatan penguapan cairan tubuh
saat demam atau hipertermi, sehingga dapat mengalami kekurangan cairan dan
merasa lemah (Nurarif & Kusuma, 2015).

3.Hiperglikemia

Menurut American Diabetes Association (2014) diabetes merupakan

sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat

kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis

pada diabetes dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan


kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh

darah.
Beberapa proses patogenik terlibat dalam perkembangan diabetes.

Perubahan dari kerusakan autoimun sel-sel pankreas dengan akibat defisiensi

insulin menjadi kelainan yang mengakibatkan resistensi terhadap kerja insulin.

Dasar kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada penderita

diabetes yang kekurangan kerja insulin pada jaringan target. Akibat aksi insulin

yang kurang dari sekresi insulin yang tidak adekuat dan / atau respons jaringan

yang berkurang terhadap insulin pada satu atau lebih titik dalam jalur aksi

hormon yang kompleks.

Gangguan sekresi insulin dan efek kerja insulin sering terjadi bersamaan

pada pasien yang sama, dan seringkali tidak jelas kelainan mana, jika salah

satunya, merupakan penyebab utama hiperglikemia (American Diabetes

Association, 2014).

Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas dari penyakit diabetes


mellitus. Hiperglikemia terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa dalam
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan
kadar glukosa darah puasa melebihi 126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu
melebihi 200 mg/dL yang dibuktikan melalui pemeriksaan laboratorium kadar
glukosa darah dan gambaran klinis pasien. (Farid, 2014).

2. Tanda dan gejala hiperglikemia

Tanda dan gejala hiperglikemia menurut American Diabetes Association


(2014) yaitu : poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, terkadang dengan
polifagia, penglihatan kabur, penurunan pertumbuhan dan kerentanan terhadap
infeksi tertentu juga dapat menyertai hiperglikemia kronis.
3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut PERKENI (2015) :

a. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.

TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat

jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

d. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam

posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta

ankle brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh

darah arteri tepi

e. Pemeriksaan funduskopi

f. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

g. Pemeriksaan jantung

h. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskopPemeriksaan

ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

i. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan

insulin) dan pemeriksaan neurologis

j. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain


k. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

l. Pemeriksaan A1C

m. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan

trigliserida)

n. Kreatinin serum, albuminuria, keton, sedimen, dan protein dalam urin

4. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI (2015) penatalaksanaan DM dapat dilakukan dengan

melakukan pengaturan pada makan dan latihan jasmaniselama beberapa waktu

(2-4 minggu).

a. Edukasi

Penyebab terjadinya diabete tipe 2 karena gaya hidup dan pola hidup yang

telah berlangsung lama. Pemberian terapi pada penderita diabetes

memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Peran tim

kesehatan dalam kondisi ini adalah mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku sehat. Keberhasilan perubahan perilaku dapat dicapai

meningkatkan edukasi yang komprehensif dan motivasi. Pemantauan kadar

glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan

khusus.

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara


menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain

serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan makan pada penyandang

diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu

makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah

makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin.

Komposisi makanan :

a. Karbohidrat = 60 % – 70 %

b. Protein = 10 % – 15 %

c. Lemak = 20 % – 25 %

Jumlah kalori perhari

a. Antara 1100 -2300 kkal

b. Kebutuhan kalori basal : laki – laki : 30 kkal / kg BB, Perempuan : 25 kkal

/ kg BB

Penilaian status gizi :

BBR = BB x 100 %

Kurus : BBR 110 %

Obesitas bila BBRR > 110 %

Obesitas ringan 120% – 130 %

Obesitas sedang 130% – 140%


Obesitas berat 140% – 200%

Obesitas morbit > 200 %

Jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk penderita DM yang bekerja

biasa adalah :

Kurus : BB x 40 – 60 kalori/hari

Normal (ideal) : BB x 30 kalori/hari

Gemuk : BB x 20 kalori/hari

Obesitas : BB x 10 – 15 kalori/hari

c. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan

jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan

dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali

glukosa darah.

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa

ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.

Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.


Manfaat latihan jasmani :

a. Menurunkan kadar glukosa darah (mengurangi resistensi insulin,

meningkatkan sensitivitas insulin)

b. Menurunkan berat badan

c. Mencegah kegemukan

d. Mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lipid

darah, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi darah

Prinsip : Continuous, Rhytmic, Interval, Progressive, Endurance (CRIPE)

1) Continuous : berkesinambungan, terus-menerus tanpa henti, misal 30 menit

jogging tanpa henti

2) Rhytmic : berirama yaitu kontraksi dan relaksasi secara teratur (jalan

kaki, jogging, berlari, berenang, bersepeda, mendayung. Main golf, tenis,

atau badminton tidak memenuhi syarat karena banyak berhenti))

3) Interval : selang-seling antara gerak cepat dan lambat (jalan cepat diselingi

jalan lambat, jogging diselingi jalan)

4) Progressive : bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai

sedang hingga mencapai 30-60 menit

5) Sasaran Heart Rate : 75-85 % dari maksimum Heart Rate

6) Maksimum Heart Rate : 220-umur

7) ketahanan: latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging,

berenang, dan bersepeda


d. Terapi farmakologis

1) Insulin

a) Insulin reaksi pendek disebut juga sebagai clear insulin, merupakan jenis

obat insulin yang memiliki sifat transparan dan mulai bekerja dalam tubuh

dalam waktu 30 menit sejak dimasukkan ke dalam tubuh. Obat insulin ini

bekerja secara maksimal selama 1 sampai 3 jam dalam aliran darah

penderita, dan segera menghilang setalah 6-8 jam kemudian.

b) Insulin reaksi panjang merupakan jenis insulin yang mulai bekerja 1 hingga

2 jam setelah ia disuntikkan ke dalam tubuh seseorang. Tetapi obat insulin

ini tidak memiliki masa reaksi puncak, sehingga ia bekerja secara stabil

dalam waktu yang lama yaitu 24 sampai 36 jam di dalam tubuh penderita

diabetes, contohnya Levemir dan Lantus.

c) Jenis insulin reaksi menengah adalah insulin yang mulai efektif bekerja

menurunkan gula darah sejak 1 sampai 2 jam setelah disuntikkan ke dalam

tubuh. Obat ini bereaksi secara maksimal selama 6-10 jam, dan berakhir

setelah 10-16 jam setelahnya, contohnya Humulin m3, Hypurin, dan

Inuman.

d) Insulin reaksi cepat akan langsung bekerja 5-15 menit setelah masuk ke

dalam tubuh penderita. Ia memiliki tingkat reaksi maksimal selama 30-90

menit, dan pengaruhnya akan segera menghilang setelah 3-5 jam kemudian.

Contoh obat insulin ini berupa Lispro, Actrapid, Novorapid, dan Velosulin.
Insulin diperlukan pada keadaan:

a) Penurunan berat badan yang cepat

b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

c) Ketoasidosis diabetic

d) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat

f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

4.Hiperbilirubinemia

Pengertian Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning


yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012).
Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk
oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau cairan yang
befungsi untuk membantu pencernaan (Mendri dan Prayogi, 2017).

Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah


sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami
hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh meningkatnya produksi
bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut,
penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan
ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin


dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan pada bayi
baru lahir yaitu warna kuning pada mata, kulit, dan mata atau biasa disebut dengan
jaundice. Hiperbilirubinemia 9 merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang
disebabkan oleh salah satunya yaitu kelainan bawaan sehingga menyebabkan
ikterus (Imron, 2015).

Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan


karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir
berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi,
2017).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis dan


dapat juga disebabkan oleh kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan
bayi baru lahir tampak kuning, keadaan tersebut timbul akibat akumulasi pigmen
bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus atau kuning pada
sklera dan kulit (Kosim, 2018). Pada keadaan normal kadar bilirubin indirek pada
tali pusat bayi baru lahir yaitu 1 – 3 mg/dL dan terjadi peningkatan kurang dari 5
mg/dL per 24 jam. Bayi baru lahir biasanya akan tampak kuning pada hari kedua
dan ketiga dan memuncak pada hari kedua sampai hari keempat dengan kadar 5 –
6 mg/dL dan akan turun pada hari ketiga sampai hari kelima. Pada hari kelima
sampai hari ketujuh akan terjadi penurunan kadar bilirubin sampai dengan kurang
dari 2 mg/dL. Pada kondisi ini bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia fisiologis (Stoll et al, 2015).

Pada hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis, ikterus atau kuning


akan muncul pada 24 jam pertama kehidupan. Kadar 10 bilirubin akan meningkat
lebih dari 0,5 mg/dL per jam. Hiperbilirubinemia patologis akan menetap pada
bayi aterm setelah 8 hari dan setelah 14 hari pada bayi preterm (Martin et al,
2015).

Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi


merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi akan
terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi
menjadi toksik. Hal ini akan menyebabkan kematian bayi baru lahir dan apabila
bayi bertahan hidup dalam jangka panjang akan menyebabkan sekuele neurologis
(Kosim, 2012).

2.Etiologi

Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena


tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan
sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena
penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan


oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat
berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan
disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal
tersebut meyebabkan kadar 11 bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi
ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini, 2016).

Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau


hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.

Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut.


Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup
dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab
lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi bilirubin.


Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi.

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.
Kelainan diluar hepar 12 biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Tabel

3. Penyebab

hiperbilirubinemia pada neonatal dasar

a. Peningkatan produksi bilirubin


b. Peningkatan penghancuran bilirubin.
c. Peningkatan jumlah hemoglobin
d. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
e. Perubahan clearance bilirubin hati.
f. Perubahan produksi atau aktifitas uridine diphosphoglucoroyl transverase.
g. Perubahan fungsi dan perfusi hati (kemampuan konjugasi)

Penyebab

Incompatibilitas darah fetomaternal (Rh, ABO )

- Defisiensi enzim konginetal

- Perdarahan tertutup (sefalhematom, memar), sepsis,

- Polisitemia (twin-to-twin transfusion, SGA)

- Keterlamban klem tali pusat

- Keterlambatan pasase mukonium, ileus mukonium, muconium plug syndrome.

- Puasa atau keterlambatan minum


- Atrrsia atau stenosis intestinal.

- Imaturitas - Gangguan metabolik/endokrin

- Asfiksia, hipoksia, hipotermi, sepsi (juga proses inflamasi)

- Obat-obatan dan hormon (novobiasin, pregnanediol)

- Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)

- Bilirubin load berlebihan (sering pada hemolisis berat)

3. Patofisiologi

Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara
berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan
melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna
belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan
menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga
bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya


dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang renda h terhadap bilirubin karena konsentrasi
albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang
terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat
toksik (Kosim, 2012).

Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan


hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi
non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin,
bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati.
Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein.
Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam
uridin disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) 14 glukurinil transferase
menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi
direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui
ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran
kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri
menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali
menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang


melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat
disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin
mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah.
Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan
menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna, 2013). Warna kuning dalam kulit
akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non
polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan
merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase.

Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan


protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani
2010).
Tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah icterus

Derajat ikterus Luas daerah ikterus Kadar bilirubin preterm (mg/dl) aterm

I Kepala dan leher 4-8 4-8

II Dada sampai pusat 5-12 5-12

III Bagian dada pusat 7-15 8-16


sampai ke lutut

IV Lutut sampai 9-18 11-18


pergelangan kaki dan
bahu sampai
pergelangan tangan

V Kaki dan tangan >10 >15


termasuk telapak kaki
dan telapak tangan

5. Klasifikasi Hiperbilirubinemia

a. Hiperbilirubinemia Fisiologis

Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam
pertama setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis
peningkatan kadar bilirubin total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup
bulan, hiperbilirubinemia fisiologis akan mencapai puncaknya pada 72 jam setelah
bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8 mg/dL. Selama 72 jam
awal kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL
kemudian pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL
(Hackel, 2004). Setelah hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan
sampai dengan normal pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat
Lahir Rendah (BBLR) atau bayi kurang bulan (premature) bilirubin mencapai
puncak pada 120 jam pertama dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15
mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013)

b. Hiperbilirubinemia Patologis

Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi


baru lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada
hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin total akan meningkat lebih dari
5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan meningkat 18
sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan (premature) kadar serum
bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung
kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada
bayi kurang bulan (Imron, 2015). 6. Manifestasi Klinis Bayi baru lahir dikatakan
mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir tersebut tampak berwarna
kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013).

Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit


sehingga menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk
bisanya dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah,
2012).

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada


sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam
pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu
dengan diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari
ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun
pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis
(Suriadi dan Yuliani 2010).

Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada 19 ikterus tipe obstruksi (biliru
bin direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning
kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau
ikterus yaitu muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat
(Suriadi dan Yuliani 2010).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami


hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut : a. Sklera, selaput
lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan bilirubin. b. Terjadi
pada 24 jam pertama kehidupan.

c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.

d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.

e. Ikterik yang disertai proses hemolisis. f. Ikterik yang disertai berat badan lahir
kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom
gangguan pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.

7. Komplikasi

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih
fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu
kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental,
hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta
tangisan yang melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).

Menurut American Academy of Pediatrics (2014) manifestasi klinis kern


ikterus pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, paralisis upward gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus
merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin
pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons, dan cerebellum.
Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2014)
terdiri dari tiga fase, yaitu :

a.Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi,


dan reflek hisap yang buruk.
b.Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
c.Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan tonus,
tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Hipotermi adalah kondii dimana suhu tubuh < 36ᵒ c atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Untuk mengukur uhu tubuh pada hipotermi di perlukan
termometer ukuran rendah ( low reading termometer ) sampai 25ᵒ c. Di amping
sebagai uatu gelaja hipotermi dapat merupakan awal penyakit yang berakhir
dengan kematian

Akibat hipotermi adalah meningkatnya konumi okigen ( terjadi hipoksia ),


terjadinya metabolik asedosis konsekuensi glikolisis anerobik, dan menurunnya
impanan glikogen dengan akibat hipokglikemia.

Hipertermia adalah keadaan meningkatnya suhu tubuh di atas rentang


normal tubuh. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Hipertermi merupakan
keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami kenaikan suhu
tubuh >37,80 C (100 o F) per oral atau 38,80 C (101 o F) per rektal yang sifatnya
menetap karena faktor eksternal (Carpenito, 2012).

Hipertermia merupakan keadaan peningkatan suhu tubuh (suhu rektal >


38,80 C (100,4 F)) yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
menghilangkan panas ataupun mengurangi produksi panas (Perry & Potter, 2010).

Menurut American Diabetes Association (2014) diabetes merupakan

sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat

kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis

pada diabetes dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan


kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh

darah.
Pengertian Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning
yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012).
Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk
oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau cairan yang
befungsi untuk membantu pencernaan (Mendri dan Prayogi, 2017).

Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah


sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami
hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh meningkatnya produksi
bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut,
penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan
ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

B.Saran

Bagi tenaga Kesehatan gawat darurat hendaknya selalu memperhatikan peran dan
fungsinya sebagai tenaga Kesehatan gawat darurat memberikan asuhan Kesehatan
yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Anik Maryuni, Eka Puspita Sari. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Dan
Neonatal.Tim, Jakarta.

Armini, Ni wayan. 2017. Asuhan Kebidanan Neonatus ,Bayi, Balita, dan Anak
PraSekolah. Yogyakarta: ANDI

Astriana. 2015. Analisis Faktor Yang Menghubungani Kejadian Asfiksia


Neonatorum di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Abdul Moeloek Provinsi
Lampung Tahun 2013. Jurnal Dunia Kesmas. Universitas Malahayati

Hernawati,Kamila,Lia. 2017. Buku Ajar Bidan Kegawatdaruratan Maternal dan


Neonatal.Jakarta: CV.Trans Info Media

Indrayani dan Djami Moudy. 2016. Update Asuhan Persalinan Dan Bayi Baru
Lahir. Jakarta; Trans Info Media.

Jitowiyono, Sugeng dan Weni. 2011. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak.
Yogyakarta:Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai