Anda di halaman 1dari 5

Nama : Riska Dewi Yulianti

NIM : Z1A023184
Mata Kuliah : Teori Pembangunan

Rank Kemiskinan Serta Rank Jemaah Haji di Kota Tasikmalaya


Pada Tahun 2018 – 2023

A. Rank Kemiskinan di Kota Tasikmalaya 2018-2023


Kemiskinan merupakan suatu keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin
kelangsungan hidup. Kemiskinan diartikan sebagai suatu fenomena multiface atau
multidimensional (Suryawati, Chriswardani: 2005). Kemiskinan dideskripsikan sebagai suatu
integrated concept dengan lima substansial yaitu, kemiskinan, ketidakberdayaan, ketahanan
menghadapi situasi darurat, ketergantungan, dan keterasingan (Nasikun: 2001). Dalam catatan
waktu, tingkat kemiskinan di Indonesia sangat dinamis. Pada periode Maret sampai September
tahun 2018 tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat sebesar 0,25% dengan persentase 9,82%
pada periode Maret 2018 dan 9,66% pada periode April 2018. Pada periode Maret 2019 sampai
September 2019, tingkat kemiskinan menurun 0,19% dengan persentase 9,41% pada periode
Maret 2019 dan 9,22% pada periode September 2019. Pada periode Maret sampai September 2020,
tingkat kemiskinan meningkat sebesar 1,01% dengan persentase pada periode Maret 2020 sebesar
9,78% dan periode September sebesar 10,19%. Periode Maret sampai September 2021 terjadi
penurunan sebesar 0,43% dengan persentase pada bulan Maret 2021 sebesar 10,14% dan
September 2021 sebesar 9,71%. Periode Maret sampai September 2022 terjadi penurunan sebesar
0,17% dengan persentase pada bulan Maret 2022 sebesar 9,54% dan September 2022 sebesar
9,37%. Periode Maret sampai September 2023 terjadi penurunan sebesar 0,21% dengan persentase
pada bulan Maret 2023 sebesar 9,36% dan September 2023 9,15% (BPS: 2023)

Tabel 1. Tingkat Kemiskinan Indonesia


Tahun 2018-2023
Tahun Tingkat Kemiskinan Indonesia (%)
2018 9,82%
2019 9,41%
2020 10,19%
2021 10,14%
2022 9,54%
2023 9,36%
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2023
Kota Tasikmalaya merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah
penduduk sebanyak 729.921 jiwa dan jika dilihat dari indeks gini atau gini ratio sebesar 0,414 di
tahun 2022 (BPS: 2021). Pemerataan pembangunan di Kota Tasikmalaya harus memperhatikan
beberapa komponen untuk mengurangi kemiskinan masyarakat Kota Tasikmalaya. Untuk
mengukur pencapaian tersebut maka variabel yang dipilih adalah tingkat kemiskinan.
Tabel 2. Tingkat Kemiskinan Kota Tasikmalaya
Tahun 2018-2023
Tahun Tingkat Kemiskinan Kota Tasikmalaya (%)
2018 12,71%
2019 11,60%
2020 12,97%
2021 13,13%
2022 12,72%
2023 12,72%
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2023

Pada tahun 2018, tingkat pengangguran 6,85%, lalu pada tahun 2019 terjadi penurunan
sehingga tingkat pengangguran Kota Tasikmalaya sebesar 6,78%, pada tahun 2020 terjadi
kenaikan akibat pandemi COVID-19 sebesar 7,99%, pada tahun 2021 sebesar 7,66%, pada tahun
2022 sebesar 6,62%, pada tahun 2023 sebesar 3,5%. Pergerakan perubahan tingkat pengangguran
kota Tasikmalaya memiliki peran penting dalam menentukan tingkat kemiskinan di Kota
Tasikmalaya. Seharusnya tingkat pengangguran yang dinamis memberikan dampak pada
perubahan tingkat kemiskinan di Kota Tasikmalaya. Dengan semakin berkurangnya tingkat
pengangguran, dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau memiliki hubungan yang positif.

Tabel 3. Tingkat Pengangguran Kota Tasikmalaya


Tahun 2018-2023
Tahun Tingkat Pengangguran Kota Tasikmalaya (%)
2018 6,85%
2019 6,78%
2020 7,99%
2021 7,66%
2022 6,62%
2023 3,5%
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2023

Kemiskinan yang terjadi memiliki hubungan tersendiri dengan tingkat Upah Minimum
Regional atau UMR. Upah minimum merupakan Rizki Maulana Prasetyo / WELFARE Jurnal Ilmu
Ekonomi, Volume 3, Nomor 1, Mei 2022 / Halaman 33-38 [35] upah yang ditetapkan minimum
dalam suatu wilayah (Sumarsono: 2003). Upah minimum yang dibayarkan merupakan upah yang
terendah yang diizinkan oleh perusahaan kepada tenaga kerja (Case dan Fair: 2005). Jadi, upah
minimum merupakan upah terendah yang dibayarkan oleh perusahaan pada wilayah tertentu.
Tingkat Upah Minimum Regional atau UMR di Kota Tasikmalaya yang terus bertambah. Pada
tahun 2018 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar Rp1.931.435. Pada tahun 2019 tingkat UMR
Kota Tasikmalaya sebesar Rp2.086.529. Pada tahun 2020 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar
Rp2.264.093. Pada tahun 2021 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar Rp2.264.093 . Pada tahun
2022 tingkat UMR kota Tasikmalaya sebesar Rp2.363.389. Pada tahun 2023 tingkat UMR kota
Tasikmalaya sebesar Rp2.533.341,02 (Herpinto: 2023).
Tabel 4. Tingkat UMR Kota Tasikmalaya
Tahun 2018-2023
Tahun UMR
2018 1.931.435
2019 2.086.529
2020 2.264.093
2021 2.264.093
2022 2.363.389
2023 2.533.34,02
Sumber: Herpinto, 2023

B. Rank Jemaah Haji di Kota Tasikmalaya 2018-2023


Hari-hari ini ratusan ribu calon jamaah haji (calhaj) sudah berada di Makkah al-Mukarramah
dan Madinah al-Munawwarah untuk menunaikan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji. Dengan
keras dan lantang Hujjatul Islam itu mengkritik habis-habisan kepada para jamaah haji, baik yang
melakukannya untuk kali pertama (haji wajib), terlebih yang berkehendak mengulanginya untuk
kali kedua dan seterusnya (haji sunnah).
Terhadap mereka yang berangkat haji untuk kali pertama, al-Ghazali mengritik bahwa di
antara mereka itu banyak yang berangkat tanpa terlebih dahulu membersihkan jiwa dan hatinya.
Mereka banyak yang mengabaikan aspek-aspek ibadah haji yang berdimensi psikis maupun etis,
sehingga ketika sampai di Tanah Suci mereka tidak mampu menjaga kesucian dirinya untuk tidak
menghujat, mengolok-olok, dan berkata keji.
Sedangkan bagi mereka yang Ahlul Haj (berkali-kali naik haji), dengan menukil sebuah
kisah spiritual bernuansa sufistik, al-Ghazali menyebut orang-orang yang lebih berantusias
menjalankan haji ulang daripada memberikan sedekah kepada para tentangganya yang
menggelepar kelaparan dan hidup dalam kemiskinan itu sebagai orang yang terpedaya (ghurur),
karena mengabaikan skala prioritas dalam beribadah. Kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali itu
sungguh sangat relevan dan signifikan buat kondisi bangsa kita yang kini masih dihadapkan pada
persoalan kemiskinan. Hemat penulis, untaian hikmah yang sering dibentangkan oleh kaum sufi
itu sebenarnya merupakan reaktualisasi suatu ibadah yang telah lama berkarat, karena terbungkus
lumpur kepicikan egoisme sendiri dan arogansi personal yang telah merasa paling Islam.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bila saja ada 10.000 calon jemaah haji ulang
bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya, sehingga terkumpul cash money sekitar Rp350
miliar (Ongkos Naik Haji tahun ini sekitar Rp35 juta), lalu dana itu dimanfaatkan untuk
mengentaskan rakyat miskin yang menurut data Badan Pusat Statistik kini berkisar 25,64 juta,
apakah pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji? Mungkinkah hukum haji ulang itu
bergeser dari sunnah menjadi makruh, atau bahkan haram?

Secara umum, ada tiga kategori pengulangan pelaksanaan ibadah haji.


1. Mengulangi karena haji yang terdahulu (yang pertama) belum sah lantaran ada beberapa
syarat dan rukunnya yang mungkin tidak sempat (lupa) dijalankan.
2. Mengulangi karena haji yang terdahulu tidak memenuhi syarat dan rukunnya secara
sempurna. Namun pelaksana justru merasa belum pas, karena ibadahnya tidak dilakukan
dengan khusyuk, misalnya.
3. Mengulangi karena semata-mata untuk memperbanyak amalan sunnah. Dua kategori yang
disebut belakangan itulah, yang menurut hemat penulis, relevan dengan kritik al-Ghazali
kepada orang-orang yang kemaruk melaksanakan ibadah haji.
Harus diakui, selama ini masyarakat menganggap ibadah haji itu hukumnya wajib dan
sunnah bagi yang bermaksud mengulanginya. Para ulama menetapkan hukum wajib dan sunnah
tersebut karena mendasarkan pemikirannya kepada Alquran yang dianggapnya qath'i (pasti),
sebagaimana firman-Nya : "Allah mewajibkan atas manusia untuk menyengaja bait (pergi ke
Baitullah untuk menunaikan ibadah haji) bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana"
(QS.3:97).
Adapun penetapan hukum sunnah haji ulang didasarkan pada Hadis yang bersifat zanny
(belum pasti) yang diriwayatkan Imam Ahmad: "Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi
ibadah haji itu hukumnya sunnah". Meskipun demikian, ada seorang ahli fikih asal Irak, Ibrahim
bin Yazid al-Nakha'i, yang hidup pada era pemerintahan Bani Umayyah berpendapat lain. Dia
pernah mengeluarkan fatwa hukum bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunnah. Artinya,
mengulangi ibadah haji sesudah haji yang pertama itu hukumnya makruh. Lalu, apa yang dijadikan
pertimbangan dalam menetapkan hukum (istimbath al-ahkam) haji makruh tersebut ?
Sebagaimana diketahui, dalam menetapkan hukum Islam, jika mujtahid memperoleh
petunjuk dalam nash maka operasionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan menjadi perhatian utama
bagi mereka, seperti hukum wajibnya haji yang ditunjuk oleh Alquran QS.3:97 di atas. Akan tetapi,
hukum dasar wajib seperti tersurat dalam nash tersebut, bisa mengalami perubahan ketika dijumpai
illat (alasan hukum) yang dapat mempengaruhi hukum dasar itu. Dari sini lalu muncul sebuah
kaidah hukum, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Artinya, ada atau tidaknya
suatu hukum itu sangat bergantung pada sebab-sebab yang mempengaruhinya.

Tabel 5. Jumlah Jemaah Haji Kota Tasikmalaya


Tahun 2018-2023
Tahun Jemaah Haji (org)
2018 - (org)
2019 677 (org)
2020 0 (org)
2021 0 (org)
2022 368 (org)
2023 658 (org)
Sumber: Open Data Kota Tasikmalaya,2023.
C. Grafik Rank Kemiskinan & Rank Jemaah Haji di Kota Tasikmalaya 2018-2023

Tingkat Kemiskinan Jemaah Haji Kota


Kota Tasikmalaya Tasikmalaya

12,97% 13,13% 667 658


12,71% 12,72% 12,72%

368
11,60%
0 0 0

2018 2019 2020 2021 2022 2023 2018 2019 2020 2021 2022 2023

Berdasarkan pada grafik diatas, keterkaitan fenomena kemiskinan dan Jemaah Haji
sangatlah berkaitan. Dimana dapat memicu naiknya angka kemiskinan serta memicu kurangnya
Jemaah Haji. Atas dasar pertimbangan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ‘illat berupa
kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak pada sementara bangsa kita yang kini hidup dalam
kemiskinan maka hukum haji ulang yang pada awalnya sunnah, hemat penulis bisa bergeser
menjadi makruh, dalam arti lebih baik ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan.
Oleh karena itu, mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang telah meraih gelar
haji/hajjah dan berkeinginan untuk melaksanakannya lagi untuk kali kedua dan seterusnya,
urungkan niat itu. Ikhlaskan dan serahkan dana haji ulang itu kepada mereka yang kini tengah
tertindas, baik secara ekonomis maupun politis untuk karya-karya yang produktif dan monumental.
Kalau kita berhaji tiga kali, misalnya, kemudian meninggal maka tidak ada lagi nilai tambah
bagi ibadah kita. Berbeda bila kita cukup berhaji sekali saja, kemudian dana yang dua kali itu,
misalnya, kita gunakan untuk mengentaskan rakyat miskin atau menciptakan lapangan kerja baru,
dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi kreatif dan produktif, tentu kita akan tetap
memperoleh pahala yang berkesinambungan, meski kita telah terbujur kaku di liang kubur.

Sumber :
OPINI: Haji dan Persoalan Kemiskinan (harianjogja.com)
Prasetyo, R. M. (2022). Pengaruh Tingkat Pengangguran Dana Upah Minimum Regional terhadap
Tingkat Kemiskinan Kota Tasikmalaya Tahun 2017-2021. WELFARE Jurnal Ilmu
Ekonomi, 3(1), 33-38.
Janah, M. (2020). Peran Ulama Dalam Pengentasan Kemiskinan di Kota Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, 2018. Jumlah Penduduk dan laju pertumbuhan
Kabupaten Tasikmalaya.

Anda mungkin juga menyukai