NIM : Z1A023184
Mata Kuliah : Teori Pembangunan
Pada tahun 2018, tingkat pengangguran 6,85%, lalu pada tahun 2019 terjadi penurunan
sehingga tingkat pengangguran Kota Tasikmalaya sebesar 6,78%, pada tahun 2020 terjadi
kenaikan akibat pandemi COVID-19 sebesar 7,99%, pada tahun 2021 sebesar 7,66%, pada tahun
2022 sebesar 6,62%, pada tahun 2023 sebesar 3,5%. Pergerakan perubahan tingkat pengangguran
kota Tasikmalaya memiliki peran penting dalam menentukan tingkat kemiskinan di Kota
Tasikmalaya. Seharusnya tingkat pengangguran yang dinamis memberikan dampak pada
perubahan tingkat kemiskinan di Kota Tasikmalaya. Dengan semakin berkurangnya tingkat
pengangguran, dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau memiliki hubungan yang positif.
Kemiskinan yang terjadi memiliki hubungan tersendiri dengan tingkat Upah Minimum
Regional atau UMR. Upah minimum merupakan Rizki Maulana Prasetyo / WELFARE Jurnal Ilmu
Ekonomi, Volume 3, Nomor 1, Mei 2022 / Halaman 33-38 [35] upah yang ditetapkan minimum
dalam suatu wilayah (Sumarsono: 2003). Upah minimum yang dibayarkan merupakan upah yang
terendah yang diizinkan oleh perusahaan kepada tenaga kerja (Case dan Fair: 2005). Jadi, upah
minimum merupakan upah terendah yang dibayarkan oleh perusahaan pada wilayah tertentu.
Tingkat Upah Minimum Regional atau UMR di Kota Tasikmalaya yang terus bertambah. Pada
tahun 2018 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar Rp1.931.435. Pada tahun 2019 tingkat UMR
Kota Tasikmalaya sebesar Rp2.086.529. Pada tahun 2020 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar
Rp2.264.093. Pada tahun 2021 tingkat UMR Kota Tasikmalaya sebesar Rp2.264.093 . Pada tahun
2022 tingkat UMR kota Tasikmalaya sebesar Rp2.363.389. Pada tahun 2023 tingkat UMR kota
Tasikmalaya sebesar Rp2.533.341,02 (Herpinto: 2023).
Tabel 4. Tingkat UMR Kota Tasikmalaya
Tahun 2018-2023
Tahun UMR
2018 1.931.435
2019 2.086.529
2020 2.264.093
2021 2.264.093
2022 2.363.389
2023 2.533.34,02
Sumber: Herpinto, 2023
368
11,60%
0 0 0
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2018 2019 2020 2021 2022 2023
Berdasarkan pada grafik diatas, keterkaitan fenomena kemiskinan dan Jemaah Haji
sangatlah berkaitan. Dimana dapat memicu naiknya angka kemiskinan serta memicu kurangnya
Jemaah Haji. Atas dasar pertimbangan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ‘illat berupa
kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak pada sementara bangsa kita yang kini hidup dalam
kemiskinan maka hukum haji ulang yang pada awalnya sunnah, hemat penulis bisa bergeser
menjadi makruh, dalam arti lebih baik ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan.
Oleh karena itu, mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang telah meraih gelar
haji/hajjah dan berkeinginan untuk melaksanakannya lagi untuk kali kedua dan seterusnya,
urungkan niat itu. Ikhlaskan dan serahkan dana haji ulang itu kepada mereka yang kini tengah
tertindas, baik secara ekonomis maupun politis untuk karya-karya yang produktif dan monumental.
Kalau kita berhaji tiga kali, misalnya, kemudian meninggal maka tidak ada lagi nilai tambah
bagi ibadah kita. Berbeda bila kita cukup berhaji sekali saja, kemudian dana yang dua kali itu,
misalnya, kita gunakan untuk mengentaskan rakyat miskin atau menciptakan lapangan kerja baru,
dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi kreatif dan produktif, tentu kita akan tetap
memperoleh pahala yang berkesinambungan, meski kita telah terbujur kaku di liang kubur.
Sumber :
OPINI: Haji dan Persoalan Kemiskinan (harianjogja.com)
Prasetyo, R. M. (2022). Pengaruh Tingkat Pengangguran Dana Upah Minimum Regional terhadap
Tingkat Kemiskinan Kota Tasikmalaya Tahun 2017-2021. WELFARE Jurnal Ilmu
Ekonomi, 3(1), 33-38.
Janah, M. (2020). Peran Ulama Dalam Pengentasan Kemiskinan di Kota Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, 2018. Jumlah Penduduk dan laju pertumbuhan
Kabupaten Tasikmalaya.