Anda di halaman 1dari 8

Diana Mayasari (20/459872/SP/29720)

Artikel populer ini dapat diakses melalui https://medium.com/@dianamayasari/kecerdasan-


buatan-dalam-pusaran-dilema-humanisme-dan-diskresi-birokrasi-9db682409248

Kecerdasan Buatan dalam Pusaran Dilema Humanisme dan Diskresi Birokrasi

Foto oleh Lukas melalui Unsplash

Belakangan ini, wacana Presiden Jokowi untuk mereformasi birokrasi dengan menghapus
sejumlah struktur eselon secara permanen dan menggantikannya dengan kecerdasan buatan kian
santer terdengar. Saya penasaran, lalu mencoba menelusuri sejak kapan wacana tersebut
didengungkan. Rupanya, rencana tersebut telah dilemparkan oleh Presiden Jokowi di depan
kementerian/lembaga saat pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2020-2024 pada 2019 lalu.
Berjudul “Ini Bidang PNS yang Bakal Diganti Robot, Semoga Bukan Anda!”, berita ini sukses
membuat saya mencari tahu lebih lanjut terkait urgensi dari wacana ini. Berwujud robot,
kecerdasan buatan diharapkan mampu mempercepat kinerja birokrasi, sehingga birokrasi menjadi
lebih responsif terhadap perubahan dunia. Beragam pertimbangan dikeluarkan oleh pemerintah
untuk merealisasikan hal tersebut. Selain sebagai tanggapan atas reformasi birokrasi,
pembengkakan anggaran yang digelontorkan untuk aparatur sipil negara (ASN) turut dijadikan
pertimbangan atas penerapan kecerdasan buatan di lingkup birokrasi. Selain itu, pertimbangan
yang tidak kalah penting atas wacana tersebut adalah rendahnya kinerja birokrasi dalam pelayanan
dan administrasi publik.

Dalam konteks terakhir, rupanya wajah buruk birokrasi tidak tergerus oleh waktu. Reformasi
birokrasi yang telah lama diupayakan untuk efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pelayanan
publik belum terlihat di ranah ini. Pandangan ini tentunya tidak berdiri sendiri. Hal ini bisa
disandarkan dengan realita bahwa pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai oleh
menjamurnya praktik pungutan liar, rumitnya prosedur dan alur pelayanan, sulitnya akses
pelayanan, nihilnya transparansi biaya pelayanan, buruknya sarana pengaduan, dan tidak adanya
kepastian waktu dan biaya pelayanan. Praktik-praktik tersebut yang kemudian diturunkan menjadi
indikator penilaian kepatuhan standar pelayanan publik oleh Ombudsman Republik Indonesia
dalam UU Nomor 25 Tahun 2009. Pada September hingga November 2013, survei tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 129 dari 183 negara yang buruk dalam
pelayanan publik. Dari sini, diketahui pula bahwa unit pelayanan pada tingkat Dinas Provinsi
sebanyak 60,5 persen berada dalam kategori merah dan unit pelayanan pada tingkat instansi
Pemerintah Kota/Kabupaten sebanyak 55,9 persen berada dalam kategori merah.

Terlepas dari wajah buruk tersebut, birokrasi tetap diakui sebagai struktur pemerintahan yang
memiliki peran besar dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan di dunia ketiga (Eisenstadt dalam Gedeona, 2013). Di Indonesia,
peran penting birokrasi tidak hanya terbatas pada kegiatan administrasi dan pelayanan publik.
Peran penting birokrasi turut merasuk ke dalam bidang kehidupan masyarakat, seperti pengaturan,
pengawasan/pengendalian, dan penyelenggaraan pemerintahan; agen pembangunan; serta
pemberdayaan masyarakat (Bryant dan White dalam Gedeona, 2013). Mengingat bahwa birokrasi
di Indonesia memiliki peran sebegitu besarnya, penerapan kecerdasan buatan dalam wujud robot
perlu dipertanyakan: bagaimana nasib atas diskresi dan humanisme yang bersenyawa dalam
tubuh birokrasi?

Street Level Bureaucracy sebagai Penerjemah Kebijakan

Di dalam konsep birokrasi, dikenal istilah street level bureaucracy (SLB). Ini merupakan sebuah
konsep birokrasi yang memiliki lokus di mana negara dan masyarakat memiliki kontak langsung
— atau dalam berbagai peran, pemerintah dapat berinteraksi dengan masyarakat. Dalam sebuah
kondisi semacam itu, hubungan SLB dengan proses kebijakan menjadi sangat penting. Lipsky
dalam Hupe (2015) berpandangan bahwa kebijakan publik harus dibuat di tingkatan birokrasi
paling bawah. Selain Lipsky, studi Winter dalam Hupe (2015) turut menunjukkan bahwa SLB
memiliki peran yang lebih penting sebagai pembuat kebijakan individu yang menyampaikan
kebijakan kepada warga negara sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Artinya, SLB lah yang
menerjemahkan kebijakan tersebut kepada masyarakat, sehingga berhasil tidaknya atas kebijakan
yang ditetapkan akan tergantung oleh pelaksana SLB tersebut.

Dalam memainkan peran sebagai penerjemah kebijakan kepada masyarakat, SLB memiliki
diskresi yang dimaknai sebagai sebuah inovasi baru untuk mereformulasikan kebijakan yang
ditetapkan oleh pejabat atasnya dengan tujuan baik. Hal ini mengingatkan saya pada momen ketika
membuat E-KTP. Sewaktu SMA, sekolah saya pernah didatangi mobil dari Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Dari sudut-sudut kelas, diumumkan bahwa bagi siswa kelahiran
tahun 2002 dan dibawahnya diharapkan masuk ke dalam ruang 1 untuk membuat E-KTP.
Meskipun banyak siswa kelahiran tahun 2002 yang belum genap berusia 17 tahun, mereka tetap
diizinkan untuk turut membuat E-KTP — saat itu juga — untuk kemudian hasilnya diambil ketika
sudah genap berusia 17 tahun. Lain halnya dengan kisah teman saya. Dengan semburat kesal di
wajahnya, dia bercerita bahwa pembuatan E-KTP di daerahnya tidak semulus kisah saya. Agar
memperoleh hasil E-KTP secara cepat, ia harus merogoh kocek untuk membayar calo dan
pungutan liar. Ini adalah sebuah rahasia umum di mana pelaksanaan pelayanan E-KTP kerap
memunculkan celah maladministrasi yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil
keuntungan pribadi. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang menjadi penting di jantung
administrasi dan pelayanan publik dalam mencapai tujuan kebijakan yang diimplementasikan oleh
SLB adalah kebijaksanaan manusia itu sendiri. Pada pengalaman saya saat membuat E-KTP,
Disdukcapil sebagai birokrasi terbawah mengusung kebijakan untuk melayani pembuatan E-KTP
dengan metode “jemput bola” untuk menghindari maladministrasi.

Peristiwa ini sejatinya mengafirmasi temuan dari Rainey dalam Bullock (2019) yang menyatakan
bahwa birokrat manusia cukup mampu secara efisien, efektif, dan adil dalam menyelesaikan
berbagai tugas administratif. Mereka sering termotivasi untuk melayani publik, menemukan
makna dalam membantu orang lain, dan bekerja untuk membantu secara efisien dan efektif
memanfaatkan sumber daya publik untuk menyediakan barang publik. Mereka dengan cerdik
memuaskan, berkoordinasi, dan berkompromi untuk menangani banyak tugas yang dituntut dari
mereka.

Paradigma Humanisme dalam New Public Service

Secara harfiah, humanisme diartikan sebagai kemampuan manusia dalam mengejar perolehan dan
penerapan pengetahuan dengan tujuan manusiawi. Ini merupakan sebuah kepercayaan bahwa
pengetahuan harus dipahami sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu bagi seseorang, bukan
tujuan itu sendiri. Dalam menjalankan perannya, birokrat harus memiliki paradigma humanisme
guna memperhatikan sisi kemanusiaan dari orang, kelompok, atau masyarakat secara luas.

James Perry, editor dari Public Administration Review menyebutkan bahwa terdapat tiga cara di
mana birokrasi terancam punah sebagai kekuatan dalam pemerintahan: meningkatnya kegagalan
pelaksanaan kebijakan, pengabaian lapangan oleh pendidikan tinggi, dan kegagalan lapangan
untuk mempertahankan pelayanan secara ideal (Herbel, 2018). Analisis ini kemudian diperluas
oleh Jerry Herbel yang menambahkan bahwa pemutusan hubungan historis antara administrasi
publik dan humanisme turut menjadi alasan keempat dari hilangnya kekuatan birokrasi. Hal ini
dikarenakan penerapan dari peran birokrasi harus memiliki penilaian individu dan rasionalitas
otonom untuk mendorong kehidupan publik. Hal ini lebih penting dari sekadar efisiensi dan
efektivitas belaka (Herbel, 2018). Selain itu, Herbel juga berpendapat bahwa emosi, ambisi, dan
moralitas manusia merupakan pusat dari apa yang membuat birokrasi bekerja (Herbel, 2018). Dari
sini dapat diketahui bahwa humanisme merupakan paradigma yang memiliki urgensi dalam
jalannya sebuah birokrasi.

Paradigma atas humanisme ini kemudian dikerangkai dalam era new public service (NPS) yang
diterapkan oleh sistem birokrasi saat ini. Dalam era NPS, teori dasar dari birokrasi yang ideal
adalah keharusan untuk responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai-nilai yang ada. Ini
mengandung makna bahwa karakter dan nilai yang dikandung dalam peran birokrasi harus berisi
preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat (Dwiyanto dalam Mahsyar, 2011). Ciri
humanisme dari birokrat dengan pendekatan NPS ini dapat terlihat dari pemerintah yang berusaha
melayani warga negaranya dengan bertanya apa yang mereka butuhkan, memenuhi kebutuhan
mereka, memberikan kebutuhan yang mereka belum sadar bahwa itu adalah hak yang harus
mereka peroleh. Selain itu, hal yang menjadi ciri humanisme dari birokrat dapat terwujud dari
akuntabilitas yang berbentuk multiaspek. Birokrat yang humanistik dianggap harus bertanggung
jawab baik dari hukum, komunitas, sosial, nilai-nilai, dan norma politik (Ningtyas, 2017).

Kecerdasan Buatan dalam Sistem Birokrasi

Dalam kaitannya dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, kecerdasan buatan tidak akan
pernah menjadi pengganti birokrat sepenuhnya. Nilai-nilai kemanusiaan yang dibutuhkan dalam
menyelenggarakan pemerintahan tidak bisa diimplementasikan dalam sistem kecerdasan buatan.
Hal ini disebabkan oleh proses keputusan dari sistem kecerdasan buatan yang rasional dan sangat
tergantung pada pemrograman dasar. Meskipun penerapan dari kecerdasan buatan ini sangat
berguna dalam administrasi publik berupa otomatisasi alur kerja dan informasi, optimalisasi
kualitas layanan, serta peningkatan efisiensi kerja. Bagaimanapun, untuk menjadi penyelenggara
pemerintah dan mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan manusia, dibutuhkan
empati, emosi, dan pemahaman tentang kemanusiaan. Jika manusia mampu memprogram
kecerdasan buatan untuk memahami standar etika semacam itu, maka penelitian tentang
kecerdasan buatan memiliki kapasitas untuk meningkatkan kehidupan manusia yang seharusnya
menjadi tujuan akhir dari setiap kemajuan teknologi. Namun, tanpa akses menuju emosi atau
kesadaran, ia memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan bagi manusia yang terlibat (Banerjee
dalam (Wirtz et al., 2020).

Terlepas dari hal tersebut, saya meyakini bahwa masyarakat akan tetap memperoleh manfaat dari
kecerdasan buatan apabila dikembangkan dengan mempertimbangkan keamanan manusia. Dalam
hal ini, pemerintah harus memberikan batasan dengan pertanyaan: tujuan apa yang harus diarahkan
untuk dicapai? Sebab, dalam mengembangkan sebuah inovasi dalam penyelenggaraan pemerintah,
kita harus mengetahui dengan jelas tentang tata kelola mana yang perlu dioptimalkan dan
keseimbangan atas efektivitas dan efisiensi.

Penerapan dari kecerdasan buatan dalam penyelenggaraan pemerintahan memerlukan tata kelola
yang memungkinkan pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bekerja sama
mengatur kebijakan dalam dunia yang dinamis tanpa kerusakan serius pada masyarakat. Dari sudut
pandang politik dan ekonomi, keberadaan kecerdasan buatan dapat menyebabkan kegagalan pasar.
Kegagalan pasar mengacu pada kondisi di mana sumber daya tidak mampu dialokasikan secara
efisien dan tidak semua peluang dipertimbangkan untuk pemangku kepentingan. Bozens dan
Zouridis dalam Bullock (2019) mengklaim bahwa birokrasi yang melakukan transisi ke tingkat
sistem hanya akan mempekerjakan tiga kelompok orang: (a) mereka yang aktif dalam proses
pemrosesan data, (b) manajer proses produksi, (c) dan mereka yang membantu masyarakat
berinteraksi dengan sistem informasi. Pergeseran ke birokrasi tingkat sistem ini dapat sangat
mengurangi ruang lingkup pekerjaan administratif yang akan diselesaikan oleh manusia dan
menyisakan sangat sedikit pekerjaan untuk birokrat tingkat bawah.

Sementara itu, kecerdasan buatan akan membatasi penerapan atas kebijakan garis depan. Sebab,
dalam pemberian layanan publik yang terkomputerisasi, birokrat akan seluruhnya kehilangan
kekuasaan diskresi mereka (Buffat dalam Bullock, 2019). Untuk itu, dengan rasionalitas yang
terdapat pada kecerdasan buatan, akan lebih baik apabila kecerdasan buatan tersebut diterapkan
untuk kegiatan yang memiliki prosedur normal, bersifat konsisten, serta tidak memerlukan analisis
tingkat tinggi. Sementara itu, untuk tugas-tugas yang mengandung kompleksitas tinggi tetap
dibebankan kepada manusia. Hal ini mengingat bahwa sejatinya kecerdasan buatan mampu
melengkapi sejumlah limitasi manusia dalam menjalankan perannya sebagai birokrasi, seperti bias
kognitif, subjektivitas yang tinggi, rentan korupsi, dan keterbatasan untuk memproses data dalam
jumlah besar (Kahneman dalam Bullock, 2019).

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah tersampaikan di atas, saya menyadari bahwa pemerintah memiliki
urgensi yang cukup tinggi ketika melemparkan wacana atas penerapan kecerdasan buatan untuk
membantu jalannya birokrasi. Namun, hal yang patut menjadi sorotan adalah bagaimana kemudian
penerapan atas kecerdasan buatan tersebut dibatasi. Karena, bagaimanapun robot —sebagai wujud
dari kecerdasan buatan— tidak akan mampu sepenuhnya menggantikan manusia. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan, nilai-nilai humanisme yang dimiliki manusia serta fungsi
diskresi yang ditetapkan untuk birokrat jauh lebih penting dari sekadar tujuan efektivitas dan
efisiensi kerja saja. Dengan demikian, akan lebih baik apabila pemerintah menempatkan
kecerdasan buatan sebagai pembantu atas jalannya birokrat, bukan sebagai pengganti manusia
sepenuhnya, seperti yang diberitakan oleh media.
Referensi

Bullock, J. B. (2019). Artificial Intelligence, Discretion, and Bureaucracy. American Review of


Public Administration, 49(7), 751–761. https://doi.org/10.1177/0275074019856123

Gedeona, H. T. (2013). Birokrasi Dalam Praktiknya Di Indonesia : Netralitas Atau Partisan ?


Jurnal Ilmu Administrasi, 10(2), 232–245.

Herbel, J. (2018). Humanism and bureaucracy: The case for a liberal arts conception of public
administration. Journal of Public Affairs Education, 24(3), 395–416.
https://doi.org/10.1080/15236803.2018.1429819

Hupe, P. (2015). Understanding Street-level Bureaucracy (1st ed.). Bristol University Press.

Mahsyar, A. (2011). Masalah Pelayanan Publik di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi


Publik. Otoritas : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2), 81–90.
https://doi.org/10.26618/ojip.v1i2.22

Ningtyas, T. (2017). Pengelelolaan Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Manajemen Publik


Dan Kebijakan Publik, 1–12.

Ombudsman. (2019). Hasil Penilaian Survei Kepatuhan Standar Pelayanan Publik.


https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwk--hasil-penilaian-survei-kepatuhan-standar-
pelayanan-publik

Putri, C. A., & Sembiring, L. J. (2021). Ini Bidang PNS yang Bakal Diganti Robot, Semoga Bukan
Anda! https://www.cnbcindonesia.com/news/20211130075413-4-295348/ini-bidang-pns-
yang-bakal-diganti-robot-semoga-bukan-anda

VOI. (2021). Alasan ASN Mau Diganti Robot: Karena Kita Tidak Punya Uang?
https://voi.id/bernas/109378/alasan-asn-mau-diganti-robot-karena-kita-tidak-punya-uang

Wirtz, B. W., Weyerer, J. C., & Sturm, B. J. (2020). The Dark Sides of Artificial Intelligence: An
Integrated AI Governance Framework for Public Administration. International Journal of
Public Administration, 43(9), 818–829. https://doi.org/10.1080/01900692.2020.1749851

Anda mungkin juga menyukai