Anda di halaman 1dari 1

Teori konflik Dahrendorf :

teori konflik harus dilihat sebagai perkembangan transisional


dalam sejarah teori sosiologi

Konflik menjadi bagian dari gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Sifatnya
inheren artinya konflik akan terus terjadi setiap ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja.
Dalam pandangan ini, masyarakat menjadi arena atau tempat konflik atau pertentangan dan
integrasi yang senantiasa berlangsung.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik dirumuskan sebagai percecokan; perselisihan;
pertentangan; ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan
antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan
sebagainya).

Menurut Ralf Dahrendorf:


1. konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam system ( ditentukan oleh kekuasaan)
kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan
perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
2. Kelompok kepentingan (elemen masyarakat)
3. kelompok semu yaitu menduduki peranan tapi tidak menyadari ( kerja sama dan konflik)
(kondisi sosial)
4. masyarakat sebagai suatu hal yang statis, tetapi dapat berubah oleh adanya konflik sosial
yang terjadi.(control sosial)
5. Perubahan ( menempati posisi tertentu, mereka akan berperilaku menurut cara yang
diharapkan. Individu ”disesuaikan” atau “menyesuaikan diri” dengan perannya

- Dahrendorf melihat teori konflik sebagai perspektif alternatif yang dapat


digunakan menurut situasi. Bila kita tertarik terhadap konflik, kita dapat
menggunakan teori konflik; bila kita ingin meneliti ketertiban kita harus
menggunakan perspektif fungsional

Fungsionalisme Struktural memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi secara
fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium.

Anda mungkin juga menyukai