Anda di halaman 1dari 14

PENERAPAN BIAYA EKSTERNALITAS PADA

USAHA PETERNAKAN AYAM RAS


DI KOTA TARAKAN

Oleh:

FAIKATUSHALIHAT
I012231021

ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR
ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Biaya Eksternalitas…………..……………….……………………………...3
B. Limbah Peternakan Ayam Ras di Kota Tarakan……………………….....5
C. Penerapan Biaya Eksternalitas pada Usaha Peternakan Ayam Ras di
Kota
Tarakan……………………………………………………………………..7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................11
B. Saran ....................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usaha peternakan ayam ras petelur dan pedaging dalam pengelolaannya
menghadapi berbagai tantangan dan hambatan seperti manajemen
pemeliharaan yang lemah, fluktuasi harga sarana produksi, fluktuasi harga
produk, margin usaha rendah, persaingan yang semakin ketat, dan kurangnya
ketersediaan kawasan usaha ternak yang pada akhirnya menimbulkan masalah-
masalah lingkungan. Dalam menyikapi tantangan dan hambatan tersebut,
peternakan masa kini harus 2 menerapkan konsep agribisnis untuk terus
berkembang dan menarik minat masyarakat (Rohani & Susanti, 2011).

Selain itu, peternakan harus menerapkan konsep lingkungan atau


berwawasan lingkungan, artinya pembangunan peternakan maupun aktifitas
usaha yang dilakukan tidak merusak lingkungan atau menyebabkan pencemaran
dan degradasi (Dwiwati, 2016) Setyowati (2008) berpendapat bahwa mayoritas
peternakan ayam berdiri di lingkungan permukiman masyarakat. Kurangnya
perhatian peternak akan pengolahan limbah mulai dirasakan masyarakat dan
menjadi suatu ‘pengganggu’ atau dampak negatif yang perlu diperhatikan
penanganan limbah dari usahanya seperti feses, sisa pakan, limbah air
pembersih ternak/kandang.

Biaya lingkungan (environmental quality costs) adalah biaya yang


dikeluarkan karena adanya penurunan kualitas lingkungan atau kemungkinan hal
itu terjadi di masa yang akan datang. Dengan ini, biaya lingkungan berarti
membicarakan mengenai pengolahan, deteksi, perbaikan, dan pencegahan
degradasi lingkungan (Hansen, Mowen, & Guan, 2007). (Januarti, 2005).

Konsekuensi lingkungan yang menciptakan biaya-biaya yang harus


dikeluarkan peternak secara tepat dan efektif menjadi mutlak dilakukan selaras
dengan fungsinya agar memberikan dampak positif bagi kualitas lingkungan dan
keberlanjutan usaha peternakan. Biaya lingkungan dalam perhitungannya akan
ditinjau berdasarkan biaya total produksi, kemauan peternak membayar

1
kompensasi (willingness to pay) dan jumlah minimum kemauan masyarakat
untuk menerima kompensasi (willingness to accept).

Salah satu pemicu kasus pencemaran lingkungan oleh peternakan adalah


keterbatasan areal atau belum ada areal khusus untuk usaha peternakan,
akhirnya pemilik usaha membangun peternakan di antara permukiman
penduduk. Infovet (1996) dalam Linggotu, Paputungan, & Polii (2016)
menyatakan, hal tersebut terjadi sebagai implikasi rencana tata ruang yang
kurang konsisten. Dasar ini kemudian dilakukan analisis biaya lingkungan (sosial
dan fisik) limbah peternakan ayam ras di Kota Tarakan, selain untuk memberi
solusi pertanggungjawaban lingkungan peternakan, penelitian ini diharapkan
mampu menjadi rekomendasi terbentuknya kebijakan kawasan usaha
peternakan (kunak) di Kota Tarakan yang dapat memberi jarak pada peternakan
dan permukiman serta pelaku usaha dan masyarakat yang senantiasa menjaga
lingkungannya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan biaya eksternalitas pada usaha peternakan ayam

ras di kota Tarakan?

C. Tujuan

Mengetahui penerapan biaya eksternalitas pada usaha peternakan ayam

ras di kota Tarakan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Biaya Eksternalitas

Fitriani (2013) menyatakan bahwa upaya sistematis dan terpadu yang


dapat dilakukan dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup untuk
mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dikatakan
sebagai perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Upaya tersebut secara
sistematis meliputi pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakkan hukum (Gunawan, 2012).
Kelangsungan perusahaan, industri, dan usaha lainnya dapat terjamin jika
mampu memegang pedoman perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam aktivitas usahanya. Kurangnya perhatian akan hal ini dapat menimbulkan
masalah yang serius, khususnya pada usaha yang didirikan di lingkungan
permukiman penduduk (Rahmawati & Achmad. T., 2012). Biaya lingkungan
timbul sebagai respon adanya penerapan pengelolaan lingkungan. Biaya
tersebut dikeluarkan oleh suatu usaha untuk bertanggung jawab atas kerusakan
lingkungan yang dilakukan selama berlangsungnya aktifitas usaha (Niasari,
2019). Pendorong biaya lingkungan menjadi prioritas utama bagi perusahaan
dan minat yang intens terbagi menjadi dua. Pertama, banyak negara telah
menerapkan peraturan lingkungan secara signifikan dan semakin ketat di masa
yang akan datang, hukum dan peraturan tersebut terkait dengan hukuman dan
denda yang terbilang besar untuk menciptakan insentif kuat dalam
pematuhannya. Kedua, penyelesaian masalah lingkungan merupakan isu yang
semakin kompetitif, perusahaan mengakui tujuan bisnis dan penyelesaian
masalahan lingkungan adalah suatu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lain
(Hansen & Mowen, 2005).
Pembebanan biaya lingkungan pada suatu usaha memberi dampak pada
kinerja keuangannya. Hal tersebut dibuktikan pada beberapa penelitian terdahulu
seperti Tunggal & Fachrurrozie (2014) yang menyatakan penerapan sistem
manajemen lingkungan dan pengalokasian biaya berpotensi membangun
hubungan harmonis antar perusahaan dan penduduk serta manfaat yang

3
diterima oleh investor 6 sangat berdampak pada nilai perusahaan di masa
depan. Kinerja lingkungan dan biaya lingkungan memiliki pengaruh positif
dengan kinerja keuangan suatu perusahaan sesuai dengan penelitian Al-Sharairi
tahun 2005.
Hansen & Mowen (2007) mengklasifikasikan biaya lingkungan sebagai
berikut:
1. Biaya pencegahan atau environmental prevention cost untuk
mencegah kerusakan lingkungan yang berasal dari produksi dan limbah. Seperti
biaya alat pengolahan limbah atau teknologi pencegahan pencemaran limbah.
2. Biaya deteksi atau environmental detection cost untuk menentukan
kesesuaian badan usaha dengan standar lingkungan yang berlaku apakah
produk, proses, dan kegiatan lainnya telah memenuhi standarisasi. Seperti biaya
pengecekkan kondisi kesehatan ternak.
3. Biaya kegagalan internal atau environmental internal failure cost
terjadinya kontaminasi limbah pada proses produksi (dalam badan usaha) namun
belum berdampak pada lingkungan. Seperti gaji bagi pengelola sisa pakan
terbuangan atau biaya daur ulang kotoran.
4. Biaya kegagalan eksternal atau environmental external failure cost
untuk pertanggungjawaban akibat pemakaian limbah yang mengganggu
lingkungan atau kontaminasi limbah yang diproduksi telah mencapai lingkungan.
Seperti biaya perbaikan lingkungan tercemar atau pemberian ganti
rugi/kompensasi pada penduduk yang terkena dampak atau disebut dengan
kompensasi sosial (biaya sosial).
Biaya lingkungan yang akan diperhitungkan dalam analisis ini terbagi atas
biaya lingkungan fisik dan biaya lingkungan sosial. Berdasarkan teori akuntansi
manajemen lingkungan (environmental accounting) penentuan biaya lingkungan
aspek fisik dapat ditinjau dari informasi fisik seperti data keadaan, jumlah, dan
tujuan dari energi, air, dan materi yang digunakan pada proses/aktivitas usaha
yang berpotensi menjadi produk fisik dan menjadi limbah/emisi. Biaya lingkungan
fisik akan dikeluarkan perusahaan untuk aktifitas penanganan limbah dan
perbaikan lingkungan yang tercemar, juga aktifitas yang berkaitan dengan alur
bahan dan energi ke lingkungan seperti deteksi dan pencegahan di waktu
mendatang (perlindungan lingkungan). 7 Biaya lingkungan sosial atau societal
cost merupakan biaya lingkungan eksternal (environmental external cost) yang

4
diasumsikan sebagai biaya yang dianggarkan perusahaan untuk memberikan
ganti rugi atau kompensasi kepada penduduk yang terkena dampak seperti
polusi suara, polusi udara, penurunan kualitas air, dan pencemaran lingkungan
berupa penyebaran lalat yang disebabkan oleh aktifitas usaha.
B. Limbah Peternakan Ayam Ras di Kota Tarakan
Industri ayam ras berkembang dari skala kecil sejak tahun 1980 dan
mencapai skala komersial dengan tingkat kemajuan yang pesat, menjadi
pemenuh kebutuhan dalam negeri dan beberapa telah diekspor (Yusdja, 2004).
Peternakan ayam ras di Kota Tarakan memiliki populasi yang cukup besar
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Utara. Tercatat pada
Badan Pusat Statistik (2013) mengenai data Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Utara populasi unggas menurut jenis unggas di Kalimantan Utara,
Tarakan memiliki populasi ayam kampung sebanyak 971.701 ekor (64% dari total
populasi di lima kabupaten/kota), ayam ras pedaging sebanyak 3.390.250 ekor
(77.49% dari total populasi di lima kabupaten/kota), dan populasi ayam ras
petelur sebanyak 22.462 ekor atau 71.39% dari total populasi pada tahun 2013.
12 Populasi ternak ayam ras di Kota Tarakan pada tahun 2019 masih terbilang
meningkat di mana populasi ayam ras pedaging sebanyak 3.753.915 ekor dan
ayam ras petelur sebanyak 40.400 ekor (Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan, 2019). Memiliki perbandingan populasi cukup jauh mengindikasikan
bahwa peternakan ayam ras pedaging di Kota Tarakan lebih banyak diusahakan
dan telah mencapai skala usaha yang cukup besar dibandingkan peternakan
ayam ras petelur.
Usaha peternakan ayam ras sering dianggap sebuah usaha yang
menjanjikan karena selain sistem pasar terbuka, adanya pengembangan
teknologi membuat pengusahaan ayam ras menjadi lebih mudah. Selain itu
perkembangan jumlah penduduk dan banyaknya industri jasa boga membuat
permintaan akan produk hasil peternakan ayam ras menjadi semakin tinggi.
Ayam ras memiliki hasil produk utama yaitu daging dan telur, tetapi memiliki hasil
produk sampingan seperti limbah atau feses. Menurut Acher & Nicholson (1992)
dalam Wihandoyo (2004), data produksi feses dan urine ayam ras petelur dapat
mencapai rata-rata 114 kg per 1.000 ekor dengan kadar air 75%, sedangkan
ayam ras pedaging memiliki produksi feses dan urine mencapai rata-rata 68 kg
per 1.000 ekor dengan kadar air 30%. 2.1.8

5
Limbah usaha peternakan ayam diartikan sebagai sisa (buangan) dari
kegiatan usaha manusia, hal ini tertuang pada Peraturan Pemerintah No.
18/1999 Jo.PP 85/1999. Bahan buangan yang tidak terpakai dan berpotensi
memberi dampak negatif terhadap kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan
penduduk jika tidak mendapat pengelolaan yang baik, benar, dan bijak. Tidak
adanya penanganan limbah dapat mengancam kerusakan lingkungan dan
penurunan tingkat kesehatan penduduk.
Limbah utama yang dihasilkan oleh usaha peternakan ayam ras adalah
limbah padat, limbah cair dan limbah gas seperti kotoran ayam, bau yang kurang
sedap, sisa pakan, kulit telur, dan air buangan (habis pakai) yang biasa
digunakan dalam proses pencucian tempat pakan, tempat minum, dan pencucian
kandang (Nurtjahya, Rumentor, Salamena, Hernawan, Darwati, Soenarmo,
2003). Sumber pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah usaha
peternakan berasal dari kotoran ayam yang memiliki kandungan nitrogen dan
sulfida, di mana pada proses penumpukan maupun penyimpanan akan
terdekomposisi oleh mikroorganisme 13 membentuk gas amonia, nitrat, nitrit, dan
gas sulfida yang menyebabkan polusi udara (bau tidak sedap).
Kurang sempurnanya proses pencernaan atau pemberian protein
berlebihan pada pakan ternak dapat menjadi faktor kandungan gas amonia yang
tinggi pada kotoran ternak, sehingga tidak semua nitrogen berhasil diabsorbsi
sebagai asam amino, justru keluar sebagai amonia (Rachmawati, 2000).
Senyawa yang menimbulkan bau mudah terbentuk pada kondisi kotoran ternak
yang masih basah tertumpuk dengan kotoran baru, senyawa ini dapat tercium
bahkan pada konsentrasi yang kecil.
Konsentrasi amonia yang tinggi di udara dapat menurunkan kualitas
udara yang menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada
manusia dan hewan ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan
lingkungan peternakan yang kurang baik akan berpotensi menurunkan
produktivitas ternak, meningkatkan biaya kesehatan ternak, keuntungan menipis
dan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri. Menurut Pratiwi (2011) dalam
Purnomo (2015) penduduk di sekitar peternakan ayam berkemungkinan
mengalami gangguan kesehatan terutama gejala psikosomatis yaitu gangguan
fisik dari berlebihannya kegiatan psikologis dalam mereaksikan emosi seperti
mual, muntah, pusing, gangguan tidur, dan penurunan nafsu makan.

6
Pendirian usaha peternakan ayam yang berdekatan dengan permukiman
penduduk dirasakan dampak yang nyata pada aspek lingkungan dan kesehatan,
secara teknis jarak ideal kandang peternakan dengan permukiman penduduk
minimal 500 meter untuk menghindari pencemaran lingkungan dari segi lokasi
peternakan (Yuwanta, 2004). Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
usaha peternakan sangat sulit dihindari, isu ini semakin tajam khususnya pada
usaha peternakan yang berdekatan dengan permukiman (Vigne, 2009).
Pencemaran lingkungan yang telah terjadi sepanjang masa pengusahaan
peternakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik usaha (peternak).
Untuk menghindari konflik horizontal penduduk, pertanggungjawaban yang dapat
dipilih peternak adalah pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada penduduk
yang telah terkena dampak karena kurangnya perhatian peternak pada
pengolahan limbah. Bukan hanya itu, memusatkan perhatian untuk melakukan
pengelolaan limbah guna meminimalisir terjadinya pencemaran lingkungan
menjadi faktor utama untuk menjamin tidak adanya kemungkinan terjadi
kerusakan lingkungan di masa yang akan datang.
C. Penerapan Biaya Eksternalitas pada Usaha Petenakan Ayam Ras di
Kota Tarakan
1. Membangun Pasar Hipotetik
Proses membangun pasar hipotetik adalah memberikan penjelasan dan
penggambaran tentang permasalahan yang terkait dengan peternakan ayam ras
pedaging di sekitar permukiman penduduk. Hal ini ditujukan agar masyarakat
memiliki kesadaran akan permasalahan lingkungan dan gambaran berapa biaya
lingkungan yang bersedia dibayarkan atau bersedia diterima.
Menyikapi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah
peternakan ayam ras, maka peternak berkewajiban melakukan upaya
pertanggungjawaban lingkungan. Upaya tersebut berupa pengalokasian biaya
lingkungan (sosial dan fisik). Biaya lingkungan fisik akan digunakan peternak
untuk melakukan penanganan limbah di mana peternak bersedia melakukan
penambahan tenaga kerja khusus penanganan limbah yang biaya lingkungan
fisiknya setara dengan pengupahan tenaga kerja. Adapun biaya lingkungan
sosial yang ditujukan untuk penduduk dalam rangka pengurangan gangguan,
mendukung kualitas permukiman dan jaminan kesehatan berupa kompensasi
sosial yang biayanya didasarkan dengan iuran tarif kesehatan BPJS.

7
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP dan WTA
Nilai penawaran biaya lingkungan pada penelitian ini dilakukan dengan
metode pertanyaan terbuka sehingga diketahui pandangan dan kepedulian dari
masyarakat yang dapat dilihat dari besaran nilai WTP (dari peternak) atau WTA
(dari penduduk) yang diberikan. Nilai WTP biaya lingkungan fisik, peternak
bersedia untuk melakukan pengadaan atau penambahan tenaga kerja yang
secara khusus melakukan penanganan, pengolahan, dan pencegahan
pencemaran lingkungan oleh limbah peternakan dengan nilai WTP yang
disetarakan dengan upah tenaga kerja. Adapun besaran pengupahan tenaga
kerja per periode produksi yang diterapkan peternak dibedakan dalam empat
kategori yaitu: 1) Rp. 1.000.000; 2) Rp. 1.500.000; 3) Rp. 3.000.000; dan 4) Rp.
4.000.000. Untuk nilai WTP biaya lingkungan sosial, peternak ditawarkan untuk
memberikan kompensasi sosial berdasarkan tarif iuran kesehatan BPJS dalam
tiga kategori: 1) Rp. 42.000; 2) Rp. 100.000; dan 3) Rp. 150.000. Nilai WTA
penduduk terkait kompensasi sosial (biaya lingkungan sosial) juga didasarkan
dengan tarif iuran kesehatan BPJS tersebut.
3. Total Biaya Lingkungan Fisik dan Biaya Lingkungan Sosial

Total Biaya lingkungan fisik diperoleh dari nilai rata-rata WTP peternak
untuk biaya lingkungan fisik yang bersedia dibayar. Untuk biaya lingkungan
sosial, nilai rata-rata WTP peternak dan WTA penduduk dikonversikan terhadap
jumlah populasi penduduk di sekitar peternakan dengan jarak terdekat, di mana
ini diasumsikan sebanyak 15 KK (Kepala keluarga) atau penduduk untuk satu
lokasi peternakan.
4. Biaya Lingkungan

Biaya lingkungan menurut WTP peternak dan WTA penduduk menurut


WTP peternak, total biaya lingkungan yang harus dikeluarkan untuk biaya
lingkungan fisik dan biaya lingkungan sosial (kompensasi sosial) adalah Rp.
7.303.300. Adapun, total biaya lingkungan yang harus dikeluarkan peternak jika
biaya lingkungan sosial menggunakan nilai WTA penduduk yaitu sebesar Rp.
7.180.001,10. Biaya lingkungan sosial yang bersedia dibayarkan peternak (WTP)
memiliki nilai lebih besar dari biaya lingkungan sosial yang diinginkan penduduk
(WTA) (4.200.000 > 4.078.001,10) dengan selisih Rp. 121.998,90.
5. Biaya Produksi

8
Total biaya tetap rata-rata yang dikeluarkan peternak ayam ras dalam
satu periode sebesar Rp. 2.076.773,94 di mana dalam satu ekor ayam
mengeluarkan biaya tetap sebesar Rp. 644,96. Proporsi biaya tetap terbesar
berada pada biaya kandang yaitu sebesar Rp. 1.481.481,48 dengan persentase
71,34% dari total biaya tetap dalam satu periode produksi. Kandang merupakan
komponen paling penting bagi usaha peternakan. Luas dari kandang akan
menentukan kapasitas ternak yang dapat ditampung dan biaya yang dikeluarkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Nurung (2005) bahwa peternakan ayam dengan
skala usaha 2.500 ekor tergolong memiliki kandang yang besar dengan rata-rata
panjang 31,38 m dan lebar 5,43 m. Kandang dengan ukuran yang besar memiliki
biaya pembuatan maupun sistem sewa yang sangat besar, sehingga pemilik
peternakan harus memelihara ternak sesuai dengan kapasitas kandang untuk
mengefisienkan biaya kandang.
Biaya variabel yang dikeluarkan peternak dalam Rupiah per periode
produksi (per PP), per ekor ayam ras, dan per kg bobot ayam. Proporsi biaya
variabel terbesar dialokasikan pada pembelian pakan yaitu Rp. 130.014.000,00
dengan persentase sebesar 72,65%. Hal ini mendukung pendapat Fadillah
(2013) bahwa biaya yang memiliki proporsi terbesar dalam biaya total suatu
usaha peternakan adalah pakan, pengeluarannya dapat mencapai 60-70% dari
biaya total produksi. Faktor yang menyebabkan pakan menjadi biaya dengan
alokasi cukup besar karena pakan yang diberikan merupakan pakan jadi
(komplit) baik pada fase starter ataupun finisher untuk menghindari ternak
kekurangan pakan. Proporsi biaya variabel terbesar kedua merupakan alokasi
biaya pembelian DOC (Day Old Child) yaitu bibit ayam (anak ayam berumur satu
hari) sebesar Rp. 39.460.000,00 dengan persentase sebesar 22,05%.
6. Biaya Total Produksi
Penerimaan peternak ayam ras pedaging di Kota Tarakan berasal dari
penjualan ayam, pupuk kandang yaitu feses/kotoran ternak, sekam, dan karung
dengan rata-rata harga penjualan sebagai berikut:
a. Penjualan Ayam Rp. 28.900/kg
b. Penjualan Pupuk Kandang Rp. 30.000/karung
c. Penjualan Sekam Rp. 10.000/karung
d. Penjualan Karung Rp. 5.000/karung

9
Penerimaan dengan proporsi terbesar berasal dari penjualan ayam dan
pupuk kandang. Penjualan ayam memenuhi hingga 97,74% dari total
penerimaan, sedangkan penjualan pupuk kandang memiliki persentase 2,15%
dari total penerimaan. Biaya total produksi usaha peternakan ayam ras pedaging
adalah Rp. 181.027.573,94 per periode dan pendapatan yang diterima pemilik
peternakan dalam satu periode sebesar Rp. 76.788.426,06.
7. Persentase Biaya Lingkungan pada Struktur Biaya Total
Biaya lingkungan berdasarkan WTP peternak memiliki proporsi sebesar
3,88% dari biaya total produksi usaha peternakan ayam ras di mana biaya
lingkungan fisik memiliki persentase 1,65% dan biaya lingkungan sosial memiliki
persentase 2,23%. Persentase biaya lingkungan fisik berdasarkan Willingness to
Pay (WTP) peternak dan biaya lingkungan sosial berdasarkan Willingness to
Accept (WTA) responden penduduk memiliki proporsi sebesar 3,72% dari biaya
total produksi usaha peternakan ayam ras, di mana biaya lingkungan sosial
menurut WTA responden penduduk sebesar 2,17%.

10
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Biaya lingkungan yang direkomendasikan kepada peternakan ayam ras


pedaging dikategorikan menjadi dua yaitu biaya lingkungan fisik dan biaya
lingkungan sosial (kompensasi sosial). Berdasarkan WTP dari peternak, nilai
biaya lingkungan fisik yang bersedia dibayarkan sebesar Rp. 3.103.300/periode
dan nilai biaya lingkungan sosial (kompensasi sosial) sebesar Rp.
280.000/KK/periode. Adapun berdasarkan nilai WTA penduduk, nilai biaya
lingkungan sosial (kompensasi sosial) yang diinginkan penduduk sebesar Rp.
271.866,74/KK/periode. Nilai kompensasi sosial WTP lebih besar dari nilai WTA
dengan perbandingan nilai 1,03.
B. Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung
jawabkan nantinya. Olehkarena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran tentang pembahasan makalah diatas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Andri, R.W., & Suresti, A. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan


peternak ayam ras petelur di Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten
Lima 50 Kota. Jurnal Peternakan Indonesia, 13(3), 205-214.

Azhari, F. (2018). Peran modal sosial dalam pengembangan jaringan usaha kecil
menengah (studi kasus: rumah makan padang). Jurnal Administrasi
Bisnis, 59(1), 153-162.

Badan Pusat Statistik Kota Tarakan. (2020). Kependudukan: Jumlah penduduk


berdasarkan jenis kelamin tahun 2020. Kota Tarakan: Badan Pusat
Statistik Kota Tarakan.

Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Utara. (2013). Populasi unggas menurut


jenis unggas di Kalimantan Utara. Kalimantan Utara: Badan Pusat
Statistik Kalimantan Utara.

Fatimah, S., Wulandari, C., & Herwanti, S. (2016). Analisis kesediaan menerima
(wta) sebagai proksi pembayaran jasa lingkungan air di Pekon Datar
Lebuay Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus. Sylva Lestari,
4(3), 59-70.

Gunawan, E. (2012). Tinjauan teoritis biaya lingkungan terhadap kualitas produk


dan konsekuensinya terhadap keunggulan kompetitif perusahaan. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, 1(2), 47-50.

Jayanti, D.I., Santi, S.N., & Naria, E. (2013). Analisis kadar amoniak di udara dan
sanitasi peternakan serta keluhan kesehatan pada pekerja di peternakan
ayam di Desa Sei Limbat Kecamatan Selesai Kabupaten Langka.
Lingkungan dan Kesehatan Kerja, 4(3), 1-9.

12

Anda mungkin juga menyukai