Anda di halaman 1dari 11

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Geografia Technica, Jil. 18, Edisi 1, 2023, hlm 123 hingga 133

LANGSUNGGEOREFERENCING DALAM KENDARAAN TAK BERMANNEDAERIAL

MENGGUNAKAN SISTEM SATELIT QUASI-ZENITH

Agung SYETIAWAN1, Yunus SUSILO2*, Susilo SUSILO1, Surono SURONO3, Wahono


WAHONO4,5, Yudha Ahmad SIDDIQ6, Subekti HARTO7,Yustisi LUMBAN-GAOL1,
Abdurrahman ABDURRAHMAN5, Sutrisno SUTRISNO8dan Abdurrahman ABDURRAHMAN9

DOI: 10.21163/GT_2023.181.09

ABSTRAK:
Untuk menghasilkan data topografi yang akurat, Unmanned Aerial Vehicle (UAV) masih mengandalkan Ground Control
Points (GCPs) untuk georeferencing. Namun penggunaan GCPs memiliki beberapa keterbatasan antara lain terkait biaya
dan waktu yang diperlukan untuk pengukuran di lapangan. Selain itu, tidak semua area dapat diakses untuk
pengukuran GCP karena medan yang sulit diakses atau alasan keamanan. Georeferensi langsung, metode untuk
menentukan posisi dan orientasi kamera secara tepat pada UAV menggunakan antena geodetik Global Navigation
Satellite System (GNSS). Post Processing Kinematic (PPK) atau koordinat real-time dapat diterapkan untuk menentukan
posisi kamera. Salah satu satelit yang mengirimkan koreksi pada penjelajah di Bumi adalah Quasi-Zenith Satellite
System (QZSS). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akurasi ortofoto hasil georeferensi langsung menggunakan
koordinat presisi dari satelit QZSS. Parameter terbang yang digunakan pada sidelap 60% dan overlap 80% pada
ketinggian terbang rata-rata 300 m diatas permukaan tanah sehingga menghasilkan 135 foto dengan nilai Ground
Sampling Distance (GSD) 6 cm. Keakuratan georeferensi langsung menggunakan QZSS secara horizontal dan vertikal
masing-masing sebesar 1,134 m dan 1,617 m. Sedangkan hasil metrik yang sama dengan menggunakan GCP
konvensional adalah 0,417 m secara horizontal dan 0,419 m secara vertikal. Dengan hasil tersebut maka akurasi
horizontal Direct Georeferencing menggunakan koreksi dari QZSS dapat digunakan untuk pemetaan skala besar skala
1:5.000 kelas 1, sedangkan akurasi vertikal dapat digunakan untuk pemetaan skala besar skala 1:5.000 kelas 3. .
Georeferensi langsung dengan menggunakan koreksi QZSS berpotensi mendukung percepatan kegiatan pemetaan
skala besar di Indonesia.

Kata kunci:Georeferensi Langsung, Kendaraan Udara Tak Berawak, Sistem Satelit Quasi-Zenith, Pemetaan
Skala Besar

1PusatPenelitian Geospasial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jalan Jakarta-Bogor Km. 46,
Cibinong 16911, Indonesia, agungsyetiawan@gmail.com,susilosarimun@gmail.com,yust012@brin.go.id
2Teknik Geomatika, Universitas Dr. Soetomo, Semolowaru 84 Surabaya 60111, Indonesia,
yunus.susilo@unitomo.ac.id
3Magellan Systems Jepang, Pusat Inkubator Penelitian Amagasaki, #315 7-1-3, Hyogo, Jepang,
surono@magellan.jp
4Universitas Muhammadiyah Malang, Jalan Tlogomas No. 246, Malang 65145, Indonesia,
wahono@umm.ac.id
5Moto Doro Teknologi, Bukit Cemara Tidar J4 No.34 Sukun, kota Malang, Indonesia, wahono@umm.ac.id,
abdurrahman19940607@gmail.com
6PHW IV, Perhutani Divre Jawa Timur, Terusan Kawi No.3, Malang, Indonesia,
yudhaahmadsiddiq@gmail.com
7Kantor Pelayanan Surveyor Kadaster Berlisensi Muchammad Masykur dan rekanan, Kalila Residence C-10,
Malang 65142, Indonesia, subekti_harto@yahoo.co.id
8Urban Navigasi Indonesia, Alam Bukit Raya warga C6 no 3, Randuagung, Kabupaten Gresik, Indonesia,
trisno.urbanav@gmail.com
9AMZ Geoinfo Solution, Gayungsari XI / 54, Surabaya, Indonesia, Abdurrahman9@gmail.com
*Email penulis yang sesuai:yunus.susilo@unitomo.ac.id
124

1. PERKENALAN
Penggunaan teknologi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk kegiatan pemetaan semakin meningkat karena
menawarkan foto udara dengan resolusi yang sangat tinggi. Dibandingkan metode lain seperti sensor satelit,
fotogrametri berbasis UAV memberikan lebih banyak manfaat terkait akuisisi data dan resolusi temporal yang
dihasilkan (Liu et al., 2022). Dengan kemampuan tersebut, UAV sering digunakan untuk keperluan pemetaan cepat
seperti manajemen bencana (Restas, 2015), pertanian presisi (Candiago et al., 2015;
Syetiawan & Haidar, 2019), pemantauan tanah longsor (Godone et al., 2020; D. Turner et al., 2015), dan
perubahan pesisir (N Long et al., 2016; Nathalie Long et al., 2016).
Keakuratan dan presisi fotogrametri sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kualitas
gambar, kalibrasi kamera, parameter penerbangan, algoritma pemrosesan gambar, tutupan lahan dan
tekstur permukaan, serta intensitas sinar matahari (H. Zhang et al., 2019). Untuk menghasilkan data
topografi yang akurat, UAV masih mengandalkan Ground Control Points (GCPs) untuk georeferensi (James
et al., 2017; IL Turner et al., 2016). Sedangkan kualitas GCP bergantung pada kepadatannya, yaitu jumlah
dan sebarannya (Sanz-Ablanedo et al., 2018). Georeferensi adalah proses pencatatan hasil penyesuaian
bundel dan proses fotogrametri ke sistem koordinat tertentu (Cramer et al., 2000; Kraus, 1993). Namun
penggunaan GCPs memiliki beberapa keterbatasan antara lain terkait biaya dan waktu yang diperlukan
untuk pengukuran di lapangan. Selain itu, tidak semua area dapat diakses untuk pengukuran GCP karena
medan yang sulit diakses atau alasan keamanan, misalnya rawa, gletser, atau area militer.

Seiring dengan perkembangan teknologi satelit navigasi saat ini, antena geodetik yang presisi dapat
diintegrasikan ke dalam sistem UAV. Tujuannya agar setiap foto udara dapat direferensikan pada koordinat
yang tepat, suatu teknik yang disebut georeferensi langsung. Proses georeferensi langsung mengharuskan
perangkat memiliki posisi akurat hingga level cm untuk mendapatkan posisi dan orientasi kamera yang
tepat dalam pengukuran UAV (Liu et al., 2022). Metode komputasi penentuan posisi seperti Post Processing
Kinematic (PPK) atau koordinat real-time yang koreksinya diperoleh dari sinyal radio atau langsung dari
satelit, dapat diterapkan untuk menentukan posisi kamera. Salah satu satelit yang mengirimkan koreksi
pada penjelajah di Bumi adalah Quasi-Zenith Satellite System (QZSS).
Beberapa sarjana telah mempelajari penggunaan QZSS untuk pemosisian kinematik waktu nyata yang
dikombinasikan dengan multi-GNSS dapat meningkatkan akurasi pemosisian (Kitamura et al., 2014; Odolinski et
al., 2015). QZSS merupakan satelit augmentasi regional milik Jepang yang digunakan sebagai pelengkap sistem
satelit yang sudah ada seperti Global Positioning System (GPS) atau Beidou Satellite Navigation System (BDS)
(Kubo et al., 2004; Wu et al., 2004) . Satelit QZSS pertama kali diluncurkan pada tahun 2010 dan dioperasikan
bersama dengan GPS dan memungkinkan pemrosesan gabungan dari kedua sistem (Hauschild et al., 2012). Selain
itu, peningkatan jumlah satelit QZSS, menjadi empat pada tahun 2018, menghasilkan peningkatan ketersediaan,
keandalan, integritas, dan akurasi posisi yang mencakup wilayah Asia-Pasifik (Zaminpardaz et al., 2018; Q. Zhang
et al., 2018) . Satelit QZSS memiliki tiga orbit kuasi-zenith/QZO (QZS-1, QZS-2, QZS-4), namun terdapat satu satelit
yang memiliki orbit bumi geostasioner/GEO (QZS-3) (Zhu et al., 2020) . Pada tahun 2023, QZSS diharapkan dapat
diperluas menjadi sistem tujuh satelit, yang memungkinkannya menyediakan layanan positioning, navigasi, dan
timing (PNT) yang lebih baik (Li et al., 2021). Hal ini menjadi keuntungan bagi metode georeferensi langsung pada
UAV. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akurasi ortofoto hasil georeferensi langsung menggunakan
koordinat presisi dari satelit QZSS. Meningkatnya jumlah sistem QZSS diharapkan dapat memberikan manfaat
positif khususnya pada aplikasi pemetaan cepat menggunakan UAV di seluruh Indonesia.

2. WILAYAH STUDI

Pengambilan foto udara dilakukan di Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Wilayah penelitian merupakan bagian dari PERHUTANI yang sebagian besar didominasi oleh
vegetasi, mempunyai ketinggian kurang lebih 600 m di atas permukaan laut dan luas wilayah kurang lebih
50 hektar. Gambar 1menggambarkan area of interest (AOI) pada penelitian ini, dimana terdapat
perbedaan ketinggian hingga 100 m antara bagian timur dan barat. Oleh karena itu, foto udara diambil
pada ketinggian terbang rata-rata 300 m di atas permukaan tanah.
Agung SYETIAWAN, Yunus SUSILO, Susilo SUSILO, Surono SURONO, Wahono WAHONO, Yudha … 125

Gambar 1.Parameter perolehan data di wilayah penelitian.

Penerbangan direncanakan arah timur-barat dengan nilai Ground Sampling Distance (GSD) 6 cm.
Selanjutnya kami menggunakan 60% sidelap dan 80% overlap sehingga menghasilkan 135 foto dengan
durasi penerbangan kurang lebih 20 menit.

3. DATA DAN METODE

3.1. Spesifikasi sensor dan UAV


Untuk pengambilan data foto udara, kami menggunakan UAV sayap tetap bernama FARM Mapper VTOL V2.0
dengan lebar sayap 2100 mm yang dilengkapi dengan fitur Vertical Take-Off and Landing (VTOL). Keunggulan
fixedwing adalah memiliki pesawat yang lebih aerodinamis sehingga dapat terbang lebih lama dibandingkan jenis
multi-rotor (Boon et al., 2017).Tabel 1(kiri) memberikan spesifikasi lengkap kendaraan, danTabel 1 (kanan)
menggambarkan spesifikasi kamera yang digunakan. UAV tersebut menggunakan kamera CMOS tipe Sony A6000
dengan resolusi 24,3 Mega Pixel. Penelitian ini menggunakan lensa kamera mirrorless. Selanjutnya antena MSJ
dipasang pada bagian atas fixed-wing untuk menerima sinyal QZSS (dapat dilihat padaGambar 2). Jarak antara
antena MSJ dan kamera non-metrik adalah 13 cm secara vertikal.

Gambar 2. Pemasangan antena QZSS pada UAV sayap tetap.


126

Tabel 1.
Spesifikasi Kamera UAV dan Non Metrik.

Pemeta PERTANIAN VTOL V2.0 Sony Alpha ILCE A6000

Epo+Fiberkarbon (Bentang Sayap E-mount Sony 20mm tetap,


badan pesawat: Lensa
2100mm) F2.8
Penerbangan
Jeruk kubus Pixhawk Piksel 24,3 MP
Pengendali:
GPS +
GPS di sini M8N Jenis sensor Sensor CMOS
Kompas:
Kontrol
Manual dan Otomatis Dimensi 120x67x45mm
Sistem:
Radio
RFD 900x Jenis Tanpa cermin
Telemetri:

Servo: Emax 3504 MD Sensor Optik Tipe APS-C (23,5 x 15,6 mm)

4120 430 Kv*1


Motor: Kecepatan rana 1/4000 hingga 30 detik
5008 400 Kv*4
sensor,
Kecepatan Udara Digital
Sensor: Barometer, Magnetometer, Prosesor Prosesor gambar Bionz X
Giroskop 3 Sumbu
Baterai: LiPo 16.000 MAh 6S (2unit)

3.2. Parameter titik kontrol


Penelitian ini membandingkan hasil ortofoto dari proses georeferensi langsung menggunakan
koordinat presisi QZSS dan metode konvensional menggunakan GCPs. Oleh karena itu, kami mengukur
titik kontrol menggunakan GNSS geodesi dan membaginya menjadi Ground Control Points (GCPs) dan
Independent Check Points (ICPs), seperti yang ditunjukkan pada gambarGambar 3. Total ada 20 titik
kendali, delapan titik di antaranya GCP, dan sisanya ICP. Semua titik kontrol tersebar merata di seluruh
wilayah penelitian. Metode ortofoto konvensional menggunakan GCP untuk proses georeferensi dan
menguji keakuratan hasilnya menggunakan ICP. Sebaliknya, metode georeferensi langsung menggunakan
seluruh titik kontrol untuk memeriksa keakuratan hasil ortofoto.
Titik kontrol diukur menggunakan Leica GS14 dan SOUTH Galaxy G1. Waktu pengamatan setiap titik
adalah satu jam dengan selang waktu lima detik untuk perekaman data satelit. Pengolahan data GNSS
dilakukan dengan menggunakan metode diferensial statis yang mengacu pada titik kendali geodetik (ID:
TTG.1290). Penelitian ini menggunakan segmen satelit dari GPS dan GLONASS.Meja 2 menyajikan
parameter pengolahan data GNSS secara lengkap untuk mendapatkan koordinat setiap titik kendali.

Meja 2.
Parameter Pemrosesan Titik Kontrol.

Parameter Keterangan

Modus penentuan posisi Diferensial statis


Basis TTG.1290
Sinyal frekuensi Frekuensi Ganda (L1 dan L2) SRGI
Data 2013 (ITRF.08 epoch 2012) 10
Topeng Ketinggian (˚)
Interval data satelit 5 detik
Satelit ephemeris Siaran
Segmen satelit GPS dan GLONASS
Agung SYETIAWAN, Yunus SUSILO, Susilo SUSILO, Surono SURONO, Wahono WAHONO, Yudha … 127

Gambar 3.Konfigurasi titik kontrol di wilayah studi. Segitiga merah melambangkan GCP, lingkaran kuning melambangkan ICP,
dan garis hijau mewakili area yang diminati.

3.3. Penilaian akurasi


Penelitian ini menilai akurasi produk ortofoto dari metode georeferensi langsung dan
penggunaan GCP dengan menguji akurasi geometrik. Hasilnya dievaluasi dengan
membandingkan koordinat foto udara dengan koordinat kendali pengukuran di lapangan.
Ketentuan ketelitian geometri mengacu pada Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial
(BIG) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyediaan Informasi Geospasial. Keakuratan
geometrik data geospasial ditunjukkan padaTabel 3. Ketelitian geometrik peta dinyatakan
dalam Circular Error dengan tingkat kepercayaan 90% (CE90) untuk komponen horizontal dan
90% Linear Error (LE90) untuk komponen vertikal. Pengukuran ketelitian geometri dilakukan
dengan menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE). Nilai RMSE komponen horizontal dan
vertikal dapat dilihat pada persamaan 1 dan 2. Sedangkan perhitungan nilai CE90 dan LE90
masing-masing dapat dilihat pada persamaan 3 dan 4:

RMSEhorisontal= √-[( − ℎ )2+( − ℎ )2] (1)

RMSEvertikal= √-[( − ℎ )2]


(2)
128

90 = 1,5175 RMSEhorisontal (3)

90 = 1,6499 RMSEvertikal (4)

Di mana adalah jumlah total pos pemeriksaan di peta, adalah koordinat pada sumbu – X, adalah
koordinat pada sumbu – Y, adalah koordinat pada sumbu – Z,RMSEhorisontaladalah kesalahan pada
posisi horizontal (XY), danRMSEvertikalkesalahan pada posisi vertikal (Z). Posisi horizontal pada
penelitian ini mengacu pada Sistem Koordinat Proyeksi UTM, sedangkan posisi vertikal mengacu
pada ketinggian ellipsoid WGS84.

Tabel 3.
Akurasi Geometri Data Geospasial Berdasarkan Peraturan Kepala BIG Nomor 18 Tahun 2021.

skala 1:5.000 skala 1:1.000


TIDAK Aspek
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

1 Resolusi spasial (m) 0,25 0,50 0,75 0,05 0,10 0,15

2 Hor. akurasi (CE90) (m) 1 2 3 0,20 0,40 0,60

3 Belukar. akurasi (LE90) (m) 0,50 0,75 1 0,10 0,15 0,20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambar 4menunjukkan hasil pemrosesan titik kontrol menggunakan perangkat lunak pengolah data
GNSS komersial. Hasil pengolahan titik kendali menunjukkan presisi horizontal berkisar antara 0,007 m
hingga 0,031 m, sedangkan presisi vertikal berkisar antara 0,006 m hingga 0,098 m. Selain itu, RMSE
bervariasi antara 0,013 m dan 0,039 m dengan solusi tetap ambiguitas fase untuk semua titik kontrol. Hasil
akurasinya cukup untuk georeferensi atau sebagai checkpoint.

Akurasi Titik Kontrol


0,12
0,09
0,06
0,03
0
ICP01

ICP02

ICP03

ICP04

ICP05

ICP06

ICP07

ICP08

ICP09

ICP10

ICP11

ICP12
GCP01

GCP02

GCP03

GCP04

GCP05

GCP06

GCP07

GCP08

H.Prec. (M) V.Sebelumnya. (M) RM (m)

Gambar 4.Hasil pemrosesan titik kontrol.

Proses selanjutnya adalah pengolahan foto udara, dimana terlebih dahulu dilakukan proses
geotagging untuk menginput koordinat presisi QZSS ke dalam foto. Koordinat tepat satelit QZSS digunakan
untuk menentukan posisi titik utama kamera dan parameter orientasi eksternal. Gambar 5menunjukkan
rekonstruksi foto selaras menggunakan koordinat akurat dari satelit QZSS. Hal ini menunjukkan bahwa
foto tersebut tidak sejajar, ditandai dengan sedikitnya area yang tumpang tindih dengan foto lainnya.
Selanjutnya, hasil tie point dari beberapa pasang foto yang tumpang tindih digunakan untuk membangun
awan titik padat (disajikan dalamGambar 6). Bagian barat daerah penelitian banyak ditumbuhi vegetasi.
Akibatnya, beberapa tempat memiliki lubang di awan karena rekonstruksi titik ikat yang tidak sempurna.
Total point cloud yang terbentuk sebanyak 7.155.017 untuk luas penelitian 50 hektar.
Agung SYETIAWAN, Yunus SUSILO, Susilo SUSILO, Surono SURONO, Wahono WAHONO, Yudha … 129

Gambar 5.Rekonstruksi foto selaras menggunakan koordinat tepat dari satelit QZSS.

Gambar 6.Bangun proses cloud yang padat.

Perbedaan utama antara georeferensi langsung menggunakan QZSS dan GCP konvensional adalah
proses perolehan koordinat yang akurat. Sebelum memperoleh foto udara, penerima QZSS perlu
menginisiasi satelit selama 5-10 menit untuk menetapkan koordinat. Sebaliknya, GCP konvensional
memerlukan total waktu pengamatan sekitar 8 jam (untuk 8 titik kendali) sesuai dengan keakuratan titik
kendali yang dibutuhkan. Georeferensi langsung berdasarkan Unit Pengukuran Inersia (IMU) dan GNSS
lebih disukai karena efisiensi waktu dan biaya dibandingkan penerapan lapangan GCP, survei, dan
pengenalan dalam gambar.
Gambar 7menunjukkan hasil mosaik ortofoto menggunakan georeferensi langsung dan GCP konvensional.
Keakuratan georeferensi langsung menggunakan QZSS secara horizontal dan vertikal masing-masing sebesar
1,134 m dan 1,617 m (Tabel 4). Sementara itu, hasil metrik yang sama menggunakan GCP konvensional (Tabel 5)
adalah 0,417 m secara horizontal dan 0,419 m secara vertikal. Sebuah studi oleh Turner dkk. (Turner et al., 2012)
menunjukkan hasil serupa, dimana georeferensi langsung menghasilkan akurasi horizontal sebesar 1,2 m ketika
GCP konvensional meningkatkan akurasi hingga 0,10-0,15 m. Integrasi QZSS dan GPS dapat menghasilkan Real-
Time Kinematic Precise Point Positioning yang akurat pada tingkat akurasi hingga cm dengan konstelasi 4 satelit
(Asari et al., 2016). Namun dalam penerapan kendaraan yang bergerak diperlukan koordinat yang lebih cepat.
Masih terdapat sinyal koreksi kesalahan dari QZSS karena koneksi satelit ke UAV yang terbang cepat dan
karakteristik lingkungan di sekitar pengukuran seperti
130

efek ionosfer. Selain itu, Syetiawan dkk. (Syetiawan et al., 2020) mengungkapkan bahwa georeferensi langsung
dapat menghasilkan akurasi horizontal hingga 4 cm menggunakan kinematik pasca-pemrosesan pada area
penelitian yang relatif kecil. Metode georeferensi langsung sangat bergantung pada keakuratan GNSS yang
digunakan untuk merekam posisi kamera. Alih-alih melakukan post-processing pada posisi kamera, koordinatnya
langsung dikoreksi dari QZSS dalam penelitian ini.

Gambar 7.Residu pada komponen horizontal georeferensi langsung (kiri) dan GCP konvensional (kanan).

Gambar 8.Interpolasi residu metode georeferensi langsung: Residu Horizontal (kiri);


Residu Vertikal (kanan).

Residu hasil georeferensi langsung tertinggi pada komponen horizontal sebesar 2,6 m, sedangkan
pada komponen vertikal sebesar 4,9 m.Gambar 7menggambarkan sebaran residu pada komponen
horizontal, dimana berbasis GCPs terutama berbeda pada tingkat sentimeter, dengan residu paling besar
sebesar 0,25 m pada titik ICP01.Angka 8menunjukkan interpolasi sisa pada komponen horizontal dan
vertikal menggunakan georeferensi langsung. Secara keseluruhan, residu horizontal yang paling signifikan
terjadi di bagian barat wilayah studi, yang curam, dengan perbedaan ketinggian sekitar 100 m
dibandingkan wilayah timur.
Selain itu georeferensi langsung dengan menggunakan koreksi QZSS dapat digunakan untuk
pemetaan skala besar skala 1:5.000 kelas 2 mengingat ketelitian horizontal dan kelas 3 berdasarkan
ketelitian vertikal.Tabel 3. Di sisi lain, akurasi horizontal dan vertikal dari metode GCPs konvensional
Agung SYETIAWAN, Yunus SUSILO, Susilo SUSILO, Surono SURONO, Wahono WAHONO, Yudha … 131

cocok untuk pemetaan skala besar skala 1:1.000 kelas 3. Georeferensi langsung menggunakan QZSS
kurang akurat dibandingkan akurasi GCP konvensional. Namun georeferensi langsung lebih efektif dalam
mengurangi waktu pengukuran lapangan sekaligus memastikan akurasi. Menurut Sutanta dkk. (2016),
hanya sedikit daerah di Indonesia yang telah menyelesaikan pemetaan rinci pada skala 1:5.000 dan
1:10.000. Apalagi mengingat luas daratan Indonesia hampir 2 juta kilometer persegi. Kebutuhan tersebut
pun semakin meningkat seiring dengan kebutuhan akan peta topografi dalam rencana detail tata ruang.
Oleh karena itu, georeferensi langsung dengan koreksi satelit QZSS berpotensi mendukung percepatan
kegiatan pemetaan skala besar di Indonesia.
Tabel 4.
Akurasi Georeferensi Langsung Horisontal dan Vertikal.
Horisontal
Vertikal
di m
titik identitas Δx (m) Δx^2 Δy (m) Δy^2 Δz (m) di m
(Δx̂ 2 +
(Δz^2)
Δy^2)
GCP01 - 0,058 0,003 -1,104 1,219 1,223 0,202 0,041
GCP02 - 0,081 0,007 -1,614 2,605 2,612 0,359 - 1,004 1.008
GCP03 0,129 -1,397 1,950 2,079 - 0,701 0,491
GCP04 - 0,500 0,250 -0,489 0,239 0,489 0,397 - 0,717 0,514
GCP05 0,157 - 0,436 0,190 0,347 1.776 3.154
GCP06 - 0,157 0,025 0,523 0,274 0,298 0,594 0,353
ICP01 0,023 0,001 - 0,365 0,133 0,134 1.524 2.323
ICP02 - 0,233 0,054 -0,328 0,108 0,162 0,139 - 0,543 0,295
ICP04 0,019 -0,884 0,782 0,801 0,940 0,884
ICP05 - 0,105 0,011 -0,477 0,227 0,238 - 0,279 0,078
ICP06 - 0,090 0,008 -0,483 0,233 0,241 0,440 0,194
ICP07 - 0,325 0,105 0,250 0,063 0,168 0,164 0,027
ICP08 0,095 0,009 - 0,226 0,051 0,060 0,137 0,019
ICP10 0,038 0,001 0,043 0,002 0,003 1.046 1.094
ICP11 - 0,361 0,131 0,135 0,018 0,149 - 0,075 0,006
ICP12 0,230 0,053 0,665 0,442 0,495 2.213 4.897
Total 9.499 15.377
Perbedaan 0,559 0,961
RMSE 0,748 0,980
Ketepatan 1.134 1.617

Tabel 5.
Akurasi Horizontal dan Vertikal GCP Konvensional.
Horisontal
Vertikal
di m
Δx^2 Δy^2 di m
PENGENAL
Δx (m) Δy (m) Δz (m)
titik (Δx^2 +
(Δz^2)
Δy^2)
ICP01 - 0,049 0,002 0,500 0,250 0,252 - 0,446 0,199
ICP02 - 0,315 0,099 - 0,224 0,050 0,150 0,150 0,022
ICP04 - 0,026 0,001 0,282 0,080 0,080 - 0,250 0,063
ICP05 - 0,123 0,015 - 0,101 0,010 0,025 0,236 0,056
ICP06 - 0,256 0,066 0,030 0,001 0,067 0,418 0,175
ICP07 - 0,074 0,005 - 0,066 0,004 0,010 - 0,173 0,030
ICP08 - 0,130 0,017 - 0,100 0,010 0,027 0,150 0,022
ICP09 - 0,190 0,036 - 0,270 0,073 0,109 - 0,226 0,051
ICP10 - 0,207 0,043 - 0,128 0,016 0,059 0,084 0,007
ICP11 - 0,244 0,060 0,011 0,000 0,060 - 0,290 0,084
ICP12 0,042 0,002 - 0,259 0,067 0,069 - 0,024 0,001
Total 0,907 0,710
Perbedaan 0,076 0,065
RMSE 0,275 0,254
Ketepatan 0,417 0,419
132

5. KESIMPULAN

Metode Direct Georeferencing sangat bergantung pada keakuratan GNSS yang digunakan untuk
merekam posisi kamera. Akurasi horizontal dan vertikal metode Direct Georeferencing
menggunakan QZSS adalah 1,134 m dan 1,617 m. Sesuai Peraturan Kepala BIG Nomor 18 Tahun
2021, ketelitian horizontal dan vertikal cukup untuk membuat peta skala besar 1:5.000. Tantangan ke
depan adalah menjaga kestabilan koreksi posisi satelit agar diperoleh posisi tepat secara real time.
Hasilnya, pembuatan peta skala besar dapat diselesaikan dengan cepat dengan tetap menjaga
kualitas produk akhir.
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan karena perekaman koordinat satelit tidak bersamaan
dengan waktu pembukaan lensa kamera. Kendaraan UAV melaju dengan kecepatan 8-12 m/s, sehingga
tidak mudah untuk menyinkronkan trigger kamera dengan frekuensi sampling penerima GNSS secara
sempurna. Oleh karena itu, kedepannya diharapkan terdapat sistem yang terintegrasi penuh, dimana
antena GNSS merekam posisi kendaraan secara bersamaan dan kamera merekam gambar.

PENGAKUAN

Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) No. 48/V/KS/07/2022
antara Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN) dan Fakultas Teknik UNITOMO.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung penelitian ini.
Lokasi penelitian dan fasilitas yang digunakan dalam penelitian ini disediakan oleh Perhutani PHW IV
Jawa Timur. Magellan System Japan (MSJ) menyediakan perangkat penerima sinyal QZSS. Moto Doro
dan Urban Navigasi Indonesia didukung perlengkapan UAV dan kamera non-metrik. Kantor
Pelayanan Surveyor Kadaster Berlisensi Muchammad Masykur melengkapi perangkat GNSS dan
melakukan pengukuran titik kendali. Program penelitian bencana alam, Badan Penelitian Ilmu
Kebumian dan Kelautan, BRIN, mendukung sebagian penelitian ini secara finansial dengan nomor
hibah B-676/III/PR.01.03/12/2021.

REFERENSI

Asari, K., Matsuoka, S., & Amitani, H. (2016). Aplikasi QZSS RTK-PPP pada Mobil Otonom.Proses
Pertemuan Teknis Internasional Divisi Satelit Institut Navigasi ke-29 (ION GNSS+ 2016), 2136–
2142. https://doi.org/10.33012/2016.14840
Boon, MA, Drijfhout, AP, & Tesfamichael, SG (2017). Perbandingan Uav Sayap Tetap dan Multi-Rotor
untuk Aplikasi Pemetaan Lingkungan: Studi Kasus.ISPRS - Arsip Internasional Ilmu
Fotogrametri, Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, 47–54.
Candiago, S., Remondino, F., De Giglio, M., Dubbini, M., & Gattelli, M. (2015). Mengevaluasi Multispektral
Gambar dan Indeks Vegetasi untuk Aplikasi Pertanian Presisi dari Gambar UAV.Penginderaan jauh, 7(4),
4026–4047. https://doi.org/10.3390/rs70404026
Cramer, M., Stallmann, D., & Haala, N. (2000). Georeferensi Langsung menggunakan GPS/Orientasi Eksterior Inersia
untuk Aplikasi Fotogrametri. Dalam T. Schenk & G. Vosselman (Eds.),Arsip Internasional Fotogrametri
dan Penginderaan Jauh. Jil. XXXIII, Bagian B3(hal.198–205). Amsterdam.
Godone, D., Allasia, P., Borrelli, L., & Gulla, G. (2020). UAV dan Struktur dari Pendekatan Gerak ke Monitor
Evolusi Tanah Longsor Maierato.Penginderaan jauh,Jil. 12. https://doi.org/10.3390/rs12061039
Hauschild, A., Steigenberger, P., & Rodriguez-Solano, C. (2012). Analisis sinyal, orbit dan sikap Jepang
satelit QZSS pertama Michibiki.Solusi GPS,16(1), 127–133. https://doi.org/10.1007/s10291-011-0245- 5

James, MR, Robson, S., & Smith, MW (2017). Deteksi perubahan topografi berbasis ketidakpastian 3-D dengan
fotogrametri struktur-dari-gerak: peta presisi untuk kontrol darat dan survei georeferensi langsung.Proses
dan Bentuk Lahan Permukaan Bumi,42(12), 1769–1788. https://doi.org/10.1002/esp.4125
Agung SYETIAWAN, Yunus SUSILO, Susilo SUSILO, Surono SURONO, Wahono WAHONO, Yudha … 133

Kitamura, M., Ota, T., & Amano, Y. (2014). Meningkatkan Ketersediaan dan Akurasi Pemosisian Multi-GNSS
Menggunakan QZSS.Prosiding International Technical Meeting Divisi Satelit Institut Navigasi
ke-27 (ION GNSS+ 2014), 2341–2345. Tampa.
Kraus, K. (1993).Fotogrametri. Diambil dari https://books.google.co.id/books?id=dJlQAQAAIAAJ Kubo,
N., Wu, F., & Yasuda, A. (2004). Resolusi Ambiguitas GPS Integral dan QZSS.TRANSAKSI
MASYARAKAT JEPANG UNTUK ILMU PENERBANGAN DAN ANGKASA,47(155), 38–43. https://
doi.org/10.2322/tjsass.47.38
Li, X., Pan, L., & Yu, W. (2021). Penilaian dan Analisis Penentuan Posisi Titik Tepat QZSS Empat Satelit
dan Pengolahan Data Terintegrasi Dengan GPS.Akses IEEE,9, 116376–116394. https://doi.org/
10.1109/ACCESS.2021.3106050
Liu, X., Lian, X., Yang, W., Wang, F., Han, Y., & Zhang, Y. (2022). Penilaian Akurasi UAV Direct
Metode Georeferensi dan Dampak Konfigurasi Titik Kontrol Tanah.Drone,Jil. 6.https://doi.org/
10.3390/drones6020030
Panjang, N, Millescamps, B., Pouget, F., Dumon, A., Lachaussée, N., & Bertin, X. (2016). Penilaian Akurasi
Topografi Pesisir Berasal dari Gambar UAV.Arsip Internasional Ilmu Fotogrametri,
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial,XLI-B1, 1127–1134. https://doi.org/10.5194/
isprsarchives-XLI-B1-1127-2016
Panjang, Nathalie, Millescamps, B., Guillot, B., Pouget, F., & Bertin, X. (2016). Pemantauan Topografi a
Saluran Masuk Pasang Surut Dinamis Menggunakan Citra UAV.Penginderaan jauh,Jil. 8. https://doi.org/10.3390/
rs8050387 Odolinski, R., Teunissen, PJG, & Odijk, D. (2015). Gabungan frekuensi tunggal BDS, Galileo, QZSS dan GPS
RTK.Solusi GPS,19(1), 151–163. https://doi.org/10.1007/s10291-014-0376-6
Restas, A. (2015). Aplikasi Drone untuk Mendukung Penanggulangan Bencana.Jurnal Teknik Dunia dan
Teknologi,03, 316–321. https://doi.org/10.4236/wjet.2015.33C047
Sanz-Ablanedo, E., Chandler, JH, Rodríguez-Pérez, JR, & Ordóñez, C. (2018). Akurasi Tak Berawak
Survei Fotogrametri Kendaraan Udara (UAV) dan SfM sebagai Fungsi Jumlah dan Lokasi Titik Kontrol
Darat yang Digunakan.Penginderaan jauh,Jil. 10.https://doi.org/10.3390/rs10101606
Sutanta, H., Aditya, T., & Astrini, R. (2016). Ketersediaan Kota Cerdas dan Informasi Geospasial, Status Terkini
di Kota-Kota di Indonesia.Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku,227, 265–269. https://doi.org/
10.1016/j.sbspro.2016.06.070
Syetiawan, A., Gularso, H., Kusnadi, GI, & Pramudita, GN (2020). Penggunaan Pemetaan Topografi yang Tepat
Georeferensi Langsung di UAV.Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan, 1–10. Syetiawan, A.,
& Haidar, M. (2019). Pemetaan Perkebunan Sawit Rakyat dari Foto Udara Non Metrik
Menggunakan Analisis Berbasis Objek.Majalah Ilmiah Globe,21(1), 53–62.
https://doi.org/10.24895/MIG.2019.21-1.990
Turner, D., Lucieer, A., & De Jong, SM (2015). Analisis Deret Waktu Dinamika Longsor Menggunakan
Kendaraan Udara Tak Berawak (UAV).Penginderaan jauh,Jil. 7. https://doi.org/10.3390/rs70201736 Turner,
D., Lucieer, A., & Watson, C. (2012). Teknik Otomatis untuk Menghasilkan Mosaik Georektifikasi
dari Citra Kendaraan Udara Tak Berawak (UAV) Resolusi Ultra Tinggi, Berdasarkan Awan Titik Structure from
Motion (SfM).Penginderaan jauh,Jil. 4.https://doi.org/10.3390/rs4051392
Turner, IL, Harley, MD, & Drummond, CD (2016). UAV untuk survei pantai.Teknik Pesisir,
114, 19–24. https://doi.org/10.1016/j.coastaleng.2016.03.011
Wu, F., Kubo, N., & Yasuda, A. (2004). Analisis kinerja augmentasi GPS menggunakan Japanese Quasi-Zenith
Sistem Satelit.Bumi, Planet dan Luar Angkasa,56(1), 25–37. https://doi.org/10.1186/BF03352488 Zaminpardaz, S.,
Wang, K., & Teunissen, PJG (2018). Hasil penentuan posisi presisi tinggi pertama di Australia dengan
sistem satelit regional QZSS Jepang yang baru.Solusi GPS,22(4), 101. https://doi.org/10.1007/s10291-
018-0763-5
Zhang, H., Aldana-Jague, E., Clapuyt, F., Wilken, F., Vanacker, V., & Van Oost, K. (2019). Mengevaluasi
potensi georeferensi kinematik pasca-pemrosesan (PPK) untuk fotogrametri struktur-dari-gerak
(SfM) berbasis UAV dan deteksi perubahan permukaan.Dinamika Permukaan Bumi,7(3), 807–827.
https://doi.org/10.5194/esurf-7-807-2019
Zhang, Q., Yang, W., Zhang, S., & Yao, L. (2018). Evaluasi Kinerja QZSS Augmenting GPS dan BDS
Pemosisian Epoch Tunggal Frekuensi dengan Data Aktual di Wilayah Asia-Pasifik.Jurnal Internasional
Geo-Informasi ISPRS,7(5). https://doi.org/10.3390/ijgi7050186
Zhu, S., Yue, D., He, L., Liu, Z., & Chen, J. (2020). Analisis komprehensif kompatibilitas antara QZSS
dan GPS di kawasan Asia-Pasifik: Kualitas sinyal, RTK dan PPP.Kemajuan dalam Penelitian Luar Angkasa,66(2), 395–
411. https://doi.org/10.1016/j.asr.2020.04.003

Anda mungkin juga menyukai