Anda di halaman 1dari 18

Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................

(Diodemus, et al)

ANALISIS PEMANFAATAN FOTO UDARA HASIL PEMOTRETAN


UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) TIPE POST-PROCESSED
KINEMATIC (PPK) UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI
(Utilization of Aerial Photographs Captured by Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Post-
Processed Kinematic (PPK) Type for Topographic Mapping)

Pedro Diodemus1, Eko Budi Wahyono2, Yendi Sufyandi2


1
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
2
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jalan Tata Bumi No.5, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55293
E-mail: pedro.diodemus@atrbpn.go.id

ABSTRAK
Salah satu visi dari lima visi untuk Indonesia pada periode kedua masa jabatan Bapak Ir. H. Joko Widodo
sebagai Presiden Republik Indonesia yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur-infrastruktur besar. Guna
mendukung kebijakan pemerintah tersebut maka perlu adanya pengadaan informasi geospasial. Informasi
geospasial yang teliti merupakan pondasi pokok dalam pembangunan infrastruktur. Salah satu unsur
pengadaan informasi geospasial yaitu peta topografi. Selain melalui metode terestris, akuisisi data dalam
pemetaan topografi dapat diperoleh melalui metode fotogrametris menggunakan Unmanned Aerial Vehicle
(UAV) dengan modul Post-Processed Kinematic (PPK) yang akan menghasilkan foto udara. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui ketelitian geometri posisi horizontal dan posisi vertikal orthophoto sesuai standar
teknis Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2019 tentang
Peta Dasar Pertanahan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan penggunaan metode fotogrametris dan metode ekstra
terestris yang akan diuji secara deskriptif komparatif melalui uji-t statistik antara koordinat x, y, z orthophoto
yang telah terkoreksi dengan koordinat x, y, z hasil pengamatan ICP di lapangan. Hasil penelitian ini yaitu nilai
akurasi horizontal (CE90) sebesar 0,386 meter dan nilai akurasi vertikal (LE90) sebesar 0,551 meter dengan
uji-t yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara koordinat ICP hasil pengukuran
lapangan dengan koordinat x, y orthophoto maupun koordinat z DSM dengan tingkat signifikansi sebesar 5%.
Orthophoto pada penelitian ini memenuhi standar teknis skala maksimal 1:1.000 pada kelas 2 sedangkan DSM
mampu memenuhi standar teknis skala maksimal 1:2.500 pada kelas 2 dengan interval garis kontur sebesar
1 meter.
Kata Kunci: UAV PPK, topografi, ortophoto, penapisan DSM ke DTM
ABSTRACT
One of the five visions for Indonesia in the second term of office of Mr. Ir. H. Joko Widodo as President
of the Republic of Indonesia, namely carrying out the development of large infrastructure. In order to support
this government policy, it is necessary to provide geospatial information. Accurate geospatial information is a
fundamental foundation in infrastructure development. One of the procurement of geospatial information is a
topographic map. Apart from using the terrestrial method, data acquisition in topographic mapping can be
obtained through the photographic method using the Unmanned Aerial Vehicle (UAV) with the Post-Processed
Kinematic (PPK) module which will produce aerial photographs. This study aims to see the accuracy of
geometry in horizontal and vertical orthophoto positions according to the technical standards of the Regulation
of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning / National Land Agency Number 21 of 2019 concerning
Land Base Maps. The research method used is descriptive comparative with a quantitative approach. The
approach is carried out by using the photographic method and the extra terrestrial method which will be tested
in a comparative descriptive through statistical t-test between the corrected x, y, z coordinates of the
orthophoto with the x, y, z coordinates of the ICP observations in the field. The results of this study are the
horizontal accuracy value (CE90) of 0.386 meters and the vertical accuracy value (LE90) of 0.551 meters with
the t-test which shows that there is no significant difference between the ICP coordinates of the field
measurements with x, y orthophoto coordinates and z coordinates. DSM with a significance level of 5%.
Orthophoto in this study meets the technical standard of a maximum scale of 1: 1,000 in class 2, while the
DSM is able to meet the technical standard of a maximum scale of 1: 2,500 in class 2 with contour line intervals
of 1 meter.
Keywords: UAV PPK, topography, orthophoto, filtering DSM to DTM

885
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo berhasil memenangkan pemilihan presiden tahun
2019 dan mencanangkan lima visi untuk Indonesia pada periode kedua masa jabatannya (Bramasta,
2019). Salah satu visi tersebut ialah melanjutkan pembangunan infrastruktur-infrastruktur besar
antara lain jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan produksi rakyat yang akan
disambungkan dengan kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata, kawasan perkebunan,
kawasan perikanan, dan kawasan industri kecil. Guna mendukung kebijakan pemerintah tersebut
maka perlu adanya pengadaan informasi geospasial. Informasi geospasial yang teliti merupakan
pondasi pokok dalam pembangunan infrastruktur seperti pembangunan kereta cepat Jakarta –
Bandung. Pengadaan informasi geospasial tersebut berupa peta topografi skala 1:2.000,
penggunaan lahan, orthophoto, Digital Elevation Model (DEM), Digital Surface Model (DSM),
intensity LiDAR, jalur jalan, jalur SUTET dan SUTT, arah aliran air, kemiringan lahan, dan
inventarisasi jumlah bangunan disertai informasi ketinggian bangunan (Fitri, 2016). Proses akuisisi
data dilakukan dengan pesawat berawak menggunakan kamera metrik yang terintegrasi dengan
LiDAR sensor merk Leica.
Salah satu unsur pengadaan informasi geospasial yaitu peta topografi. Peta topografi digunakan
dalam perencanaan desain pembangunan, misi penyelamatan, pekerjaan geologi, perencanaan
militer, dan sebagai basemap untuk pembuatan peta lainnya. Selain metode terestris yang
digunakan untuk pembuatan peta topografi, ada metode lain yang bisa digunakan yaitu metode
fotogrametris yang akan menghasilkan foto udara dari Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Pemetaan
topografi melalui fotogrametri merupakan cara yang efektif dan efisien untuk memetakan area yang
luas sehingga pekerjaan pengukuran menjadi lebih cepat dan murah.
Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) merupakan sebuah
wahana terbang tanpa perlu pilot di dalamnya yang dikendalikan dari jarak jauh baik secara otomatis
maupun semi-otomatis. Platform fotogrameteri ini dapat melakukan pengukuran fotogrametri baik
skala kecil maupun skala besar dengan menggunakan sistem kamera atau kamera video, sistem
kamera termal atau inframerah, sistem Light Detection and Ranging (LIDAR), atau kombinasi
ketiganya. UAV standar saat ini memungkinkan pendaftaran, pelacakan posisi, dan orientasi dari
sensor yang diimplementasikan dalam sistem lokal maupun koordinat global. Oleh karena itu
teknologi UAV ini dapat dipahami sebagai alat pengukuran fotogrametri terbaru (Eisenbeiss, 2008
dalam Eisenbeiss, 2009).
Seiring perkembangan zaman, UAV tipe pemetaan mengalami transformasi teknologi yang
menggabungkan antara wahana udara dengan modul Post-Processed Kinematic (PPK) yang disebut
dengan UAV PPK. PPK yang tersemat dalam UAV memiliki prinsip yang sama dengan GNSS Engine.
Metode penentuan posisi yang akan digunakan yaitu differential post-processed kinematic atau PPK
dimana suatu titik ditentukan posisinya secara relatif terhadap titik lain yang diketahui koordinatnya
dan pengolahan data dilakukan berdasarkan waktu pengukuran yang sama antara base dan rover.
Proses pengukuran penentuan posisi yang dilakukan oleh GNSS Engine dan orientasi foto udara
yang dilakukan oleh Inertial Navigation System (INS) mampu menghasilkan ketelitian yang relatif
baik, yaitu 0,09 m & 0,18 m (north and east axis) dan 1,7 m (vertical axis) yang disebut dengan
metode direct georeferencing pada penelitian Gabrlik (2015) dalam Susetyo & Gularso (2018).
Metode pengolahan foto udara dengan PPK dapat mereduksi pemasangan Ground Control Point
(GCP) bukan menghilangkannya. Hal itu tersebut mampu menekan biaya survei dan pemasangan
GCP.
Foto udara hasil pemotretan UAV PPK harus dilakukan koreksi geometrik dengan cara
melakukan pengamatan di lapangan secara terestris menggunakan GNSS Geodetik melalui Ground
Control Point (GCP) untuk memposisikan foto udara pada posisi sebenarnya. Sedangkan untuk
melakukan checking point pada foto udara hasil pemotretan menggunakan UAV PPK dengan point
di lapangan melalui pengamatan Independent Check Point (ICP). Dari hasil checking point tersebut
dapat diketahui ketelitian geometri pemetaan topografi menggunakan UAV PPK terhadap titik
horizontal maupun titik vertikal pada area luas yang memiliki variasi ketinggian yang beragam.
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zhang et al. (2019b), menunjukkan pengulangan,
reproduktivitas, dan efisiensi alur kerja PPK-SfM dalam konteks pemantauan permukaan bumi 4D
dengan fotogrametri SfM putaran waktu. Penelitian Mustofa et al. (2016) menunjukkan bahwa faktor

886
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian planimetrik orthophoto adalah pola
persebaran GCP. Penelitian ini lebih fokus pada ketelitian geometrik foto udara hasil pemotretan
low-cost UAV PPK untuk pemetaan topografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketelitian
geometri posisi horizontal dan posisi vertikal foto udara hasil pemotretan UAV PPK sesuai standar
teknis Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2019
tentang Peta Dasar Pertanahan (Kementerian ATR/BPN, 2019).

METODE
Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
Dalam pemetaan fotogrametri, UAV memiliki keunggulan dari segi biaya yang relatif murah,
lebih populer di kalangan masyarakat, dan mudah diaplikasikan untuk pemetaan daerah yang relatif
kecil dibandingkan dengan pesawat berawak. Keunggulan pada UAV tersebut bisa diperoleh dengan
berbagai syarat yaitu perancangan desain UAV terkait keterbatasan ruang, berat, dan penempatan
komponen dalam body; aspek operasional saat take-off dan landing; pengalaman pilot drone
terampil; masalah pengolahan data yang besar dan kompleks; keterbatasan penerbangan karena
kondisi cuaca, cahaya, angin, topografi, batas telekomunikasi, tinggi terbang, dan durasi terbang
(Saadatseresht et al., 2015 dalam Purwanto, 2017).
Jika dibandingkan pemotretan foto udara menggunakan kamera metrik dengan pesawat
berawak, pemetaan fotogrametri menggunakan UAV dengan kamera non-metrik dapat menekan
biaya yang tinggi. Menurut Gularso et al. (2015), pemetaan menggunakan metode foto udara sangat
dipengaruhi oleh jenis kamera dan wahana yang digunakan dilihat dari efisiensi biaya. Pada
pemotretan menggunakan kamera metrik dengan ukuran area yang akan dipetakan relatif kecil (±
100 Ha) akan menjadi kurang efisien karena volume pekerjaan yang kecil tidak sebanding dengan
biaya operasional yang tinggi. Penggunaan kamera standar non-metrik berformat kecil pada UAV
menjadi salah satu metode alternatif yang biasa disebut dengan Small Format Aerial Photography
(SFAP).

Survei Fotogrametri dalam UAV PPK

Kegiatan akuisisi data lapangan berupa pengukuran Ground Control Point (GCP) memiliki peran
yang sangat penting untuk menghasilkan ketelitian geometrik foto udara yang baik. Berbagai
rintangan harus dihadapi dalam kegiatan ini seperti kondisi medan yang sulit diakses dan tidak bisa
direposisi karena merupakan daerah pertampalan antar image, personil yang dibutuhkan lebih
banyak daripada survei fotogrametris itu sendiri, serta memerlukan waktu yang cukup lama dan
biaya yang relatif tinggi. Berbagai upaya untuk meminimalisir jumlah GCP terus dilakukan, salah
satunya yaitu direct georeferencing (Susetyo & Gularso, 2018).
Direct georeferencing adalah teknik untuk menentukan parameter exterior orientation (EO) di
kamera secara real-time menggunakan integrasi sensor penentuan posisi berupa Global Positioning
System (GPS) dan sensor orientasi berupa Inertial Measurement Unit (IMU) menurut Tanathong &
Lee 2014 dalam Susetyo & Gularso (2018). Teknologi tersebut berada dalam module UAV (GNSS
engine) untuk penentuan posisi akurasi tinggi dan akurasi orientasi absolut metadata image
sehingga mampu menghasilkan orthophoto dengan ketelitian geometrik yang baik.
Penentuan posisi menggunakan RTK-NTRIP dan RTK-Radio sering mengalami masalah unstable
connectivity antara base receiver dan UAV karena sinyal internet maupun radio yang terhalang
vegetasi lebat maupun interferensi gelombang. Metode penentuan posisi survei fotogrametris Post-
Processed Kinematic (PPK) mampu mengatasi masalah itu. Hal itu disebabkan oleh pemrosesan data
setelah penerbangan yang menghilangkan resiko loss signal. Selain itu, ephemeris data (data yang
berisi tentang informasi posisi, waktu, dan “kesehatan”) satelit GNSS yang tersedia selama post-
processing seringkali dapat memberikan solusi yang akurat (Zhang et al. 2019a). Penggunaan
metode PPK dalam penentuan posisi melalui UAV tertera pada Gambar 1.

887
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 1. Proses akuisisi data foto udara menggunakan metode PPK .

Ground Control Point (GCP)

Titik kontrol tanah dikenal dengan istilah Ground Control Point (GCP) adalah objek di permukaan
bumi yang dapat diidentifikasi dan memiliki informasi spasial bereferensi terhadap tanah (x, y, z).
Data GCP dibutuhkan dalam proses bundle adjustment untuk mendapatkan koordinat tanah (Ulfiani
et al., 2016). Persebaran titik GCP harus didesain dengan baik dengan cara tidak boleh terkumpul
pada satu spot tertentu pada desain persebarannya. Distribusi (jumlah dan kerapatan) GCP sedapat
mungkin tersebar merata pada daerah pemotretan terutama di setiap lebar foto seperti pada
Gambar 2. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kesalahan pada hasil dari proses
fotogrametri. Semakin baik penyebaran titik GCP maka pengikatan titik GCP terhadap orientasi foto
akan semakin baik.

Sumber: DAT/EM 2015 dalam Purwanto, (2017)


Gambar 2. Rencana Distribusi GCP.

Penentuan lokasi dan jumlah GCP yang akan dilakukan pengamatan bergantung pada bentuk
dan luasan Area of Interest (AOI) serta harus memperhatikan Strength of Figure (SoF) atau kekuatan
jaringan dari sebaran titik kontrol tanah sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang Kerangka
Kontrol Horizontal (KKH). Menurut Suradji et al. (2009) dalam Taftazani et al. (2016), lokasi
penentuan GCP mengacu pada obstruksi maksimal 15º ke semua arah; bebas dari multipath effect;
tidak mengganggu fasilitas umum; mudah diakses dan diidentifikasi.

888
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

Independent Check Point (ICP)

Titik cek bebas atau dikenal dengan istilah Independent Check Point (ICP) adalah titik-titik yang
sudah teridentifikasi pada citra atau foto udara tetapi berlainan posisi dengan titik-titik kontrol tanah.
ICP merupakan quality control dari objek dengan cara membandingkan koordinat model dengan
koordinat sebenarnya (Wikantika, 2006). Titik cek bebas bertujuan untuk menguji keakuratan titik
kontrol tanah/Ground Control Point (GCP) dan ketelitian citra hasil koreksi geometrik yang tidak
diikutkan pada proses pengolahan foto udara. Penempatan titik-titik ICP diusahakan terdistribusi
merata dan tidak keluar dari cakupan titik-titik GCP. Untuk daerah dengan topografi yang bervariasi,
metode selective sampling lebih tepat digunakan. Jumlah ICP dan kerapatannya ditentukan
berdasarkan variasi terrain. Lokasi dengan variasi terrain yang lebih kompleks akan diberikan ICP
dengan jumlah dan kerapatan yang lebih tinggi (Purwanto, 2017).
Persebaran titik-titik ICP yang digunakan untuk uji ketelitian geometri menggunakan aturan
distribusi titik uji. Objek yang digunakan sebagai titik uji harus dapat diidentifikasi dengan jelas di
lapangan maupun di peta yang akan diuji dan merupakan objek yang relatif tetap dalam jangka
waktu yang singkat. Area yang akan dilakukan pengujian dibagi menjadi 4 (empat) kuadran dengan
distribusi ideal titik uji di setiap kuadran minimal sejumlah 20% (persen) dari keseluruhan jumlah
titik uji (n). Jarak antar titik uji dengan interval minimal 10% (persen) dari jarak diagonal (C)
kumpulan data (BSN, 2015). Distribusi ideal titik uji dan jarak ideal antar titik uji selengkapnya
tertuang dalam Gambar 3.

(a) Distribusi ideal titik uji (b) Jarak ideal antar titik uji
Sumber: BSN, 2015
Gambar 3. Distribusi dan Jarak Ideal antar Titik Uji.

Digital Elevation Model (DEM)


Digital Elevation Model (DEM) adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari
permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan
koordinat (Tempfli 1991 dalam Wardana et al., 2019). Jensen (2007) dalam Martiana et al. (2017)
mengatakan, DEM merupakan database yang menampung titik-titik ketinggian dari suatu
permukaan yang terbentuk dari kumpulan array titik-titik tinggi ground point dari point clouds.
Berdasarkan jenisnya, DEM dibagi menjadi 2 jenis yaitu Digital Surface Model (DSM) dan Digital
Terrain Model (DTM).
Digital Surface Model (DSM) merupakan model dari elevasi permukaan bumi yang tampak pada
sensor kamera seperti bangunan dan pohon. Sedangkan, Digital Terrain Model (DTM) yaitu bentuk
digital dari terrain yang menggambarkan permukaan tanah dan tidak termasuk objek diatasnya.
DTM menggambarkan dimensi permukaan medan yang terdiri dari X, Y, Z dalam bentuk digital yang
tidak hanya mencakup ketinggian dan elevasi geografis lainnya tetapi juga fitur alami seperti sungai,
jalur punggungan dan lain-lain (Aji et al., 2019).
DTM merupakan model medan digital yang hanya memuat informasi ketinggian permukaan
tanah (bare earth surface) tanpa terpengaruh oleh vegetasi atau fitur buatan manusia lainnya. DTM

889
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

disertai fitur-fitur tambahan yang memberikan representasi permukaan topografi yang lebih baik,
contohnya breakline dari punggungan bukit atau aliran air dan sungai. DTM mampu memodelkan
relief secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan. (Jensen, 2007 dalam Martiana et al.,
2017). Perbedaan antara DSM dan DTM ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbedaan DSM dan DTM (Sumber: Kumar, 2017).

DEM ialah representasi digital ketinggian suatu dataran berupa regular grid (biasanya memiliki
format raster) atau Triangular Irregular Network (TIN) suatu segitiga (biasanya memiliki format
vektor). DEM dapat dibuat dengan pengumpulan data manual berupa titik-titik tinggi, breaklines,
contours, dan aplikasi yang dikembangkan dari algoritma interpolasi atau triangulasi Delaunay yang
mengubah data ini menjadi regular grids atau TINs (Li et al., 2005 dalam Aber et al., 2010). Dengan
munculnya fotogrametri digital, hal tersebut menjadi mungkin untuk melakukan ekstraksi informasi
elevasi secara otomatis dari stereomodels menggunakan teknik stereo-correlation atau image-
matching.
Kamera pada UAV merekam cahaya yang dipantulkan dari objek yang terlihat di permukaan
bumi. Algoritma feature matching juga mengekstraksi titik ketinggian dari berbagai objek yang
terdekat dengan kamera. DEM yang diekstraksi secara langsung dari hasil stereomodels akan
membentuk model permukaan bumi yang tampak pada kamera (DSM) dan bukan model permukaan
terrain bumi sebenarnya (DTM). Akurasi algoritma feature matching dapat terganggu jika menemui
objek yang terdapat bayangan di sekitarnya, berada di area tersembunyi, dan tertutup oleh vegetasi
yang lebat (Kasser & Egels, 2002 dalam Aber et al., 2010).
Lokasi penelitian ini berada di sebagian Desa Harjobinangun, sebagian Desa Pakembinangun,
sebagian Desa Umbulmartani. Alasan dipilihnya lokasi ini karena terletak sepanjang kanan dan kiri
Jalan Kaliurang yang membentang dari Utara ke Selatan sehingga dapat memudahkan akses peneliti
untuk melakukan pengamatan GCP maupun ICP. Lokasi yang dipilih juga cukup representatif karena
memiliki kontur beragam sehingga bisa diperoleh topografi yang variatif.
Bahan penelitian yang digunakan berupa data pengukuran base station PPK, data pengukuran
receiver rover pada modul UAV PPK, data pengukuran titik kontrol baik GCP maupun ICP, foto udara
hasil pemotretan menggunakan UAV PPK, data hasil filtering DSM ke DTM, dan data garis kontur.
Dalam memperoleh bahan penelitian tersebut, diperlukan alat penelitian berupa Software maupun
hardware, antara lain:
a) Google Earth sebagai visualisasi awal batas area penelitian dan penentuan posisi premark
b) Global Mapper 19 64-bit sebagai aplikasi transformasi sistem koordinat orthophoto
c) Microsoft Word 2019 dan Microsoft Excel 2019 sebagai aplikasi pembuatan laporan dan
penghitungan ketelitian
d) Agisoft Photoscan Professional 1.5.1 sebagai aplikasi pengolahan foto udara
e) PCI Geomatica 2018 sebagai aplikasi filtering DSM ke DTM
f) ArcMap 10.6 sebagai aplikasi pembuatan layout Peta Topografi
g) DJI Phantom 3 Professional sebagai wahana pengambilan foto udara
h) Receiver base Emlid dengan tipe u-blox sebagai reference station untuk penentuan posisi
dengan metode differential post-processed kinematic.
i) Receiver rover dengan tipe skytraq sebagai modul PPK yang terletak diatas UAV untuk
perekaman titik – titik koordinat.

890
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

j) GNSS Geodetik South Galaxy G1 sebagai alat pengukuran GCP dan ICP dengan metode RTK -
NTRIP
k) Printer Epson L120 Series sebagai alat pencetakan laporan
l) Personal Computer (processor AMD Ryzen 5 3600 6-Core Processor; memory RAM 16 Gb;
DirectX 12; vga card NVIDIA GeForce GTX 1660 Super 6 Gb) sebagai alat pemrosesan foto
udara hasil pemotretan UAV PPK
m) Kain untuk premark
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dituangkan melalui diagram alir pada Gambar 5
berikut ini.

Gambar 5. Diagram alir kerangka pemikiran.

Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan koordinat ICP (x, y, z) pada
orthophoto hasil pemotretan dengan UAV PPK dengan koordinat ICP (x, y, z) hasil pengamatan di
lapangan. Selanjutnya dilakukan uji statistik (uji – t) terhadap koordinat ICP orthophoto dengan
koordinat ICP lapangan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari

891
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

perlakuan yang berbeda terhadap sampel yang sama. Penghitungan perbedaan atau pergeseran
koordinat ICP tersebut dinyatakan dalam Persamaan 1.

∆L𝑖 = √(x ′ − 𝑥)² + (y ′ − 𝑦)² + (z ′ − 𝑧)2 …………………………………………………..……………………(1)

dimana:
∆L𝑖 = pergeseran 3 dimensi titik i
x’, y’, z’ = koordinat pada ICP orthophoto
x, y, z = koordinat pada ICP lapangan

Perbedaan koordinat ICP tersebut kemudian dihitung rata-ratanya (∆L) kemudian dihitung pula nilai
simpangan baku atau standar deviasinya (S) yang ditunjukkan melalui Persamaan 2 dan 3.
Perbedaan koordinat ICP orthophoto dengan koordinat ICP lapangan diuji secara statistik berupa uji
– t menggunakan Persamaan 4. Data tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan
Kementerian ATR/BPN (2019). Nilai CE90 dan LE90 diperoleh dengan Persamaan 5.
Σ∆L𝑖
∆L = 𝑛
………………………………………………………………..………………………………………………….(2)
Σ (∆L𝑖− ∆L)²
𝑆=√ n−1
……………………………………………………………..……………………………………………(3)

dimana:
∆L = rata-rata pergeseran titik 3 dimensi
∆Li = pergeseran 3 dimensi titik i
n = jumlah sampel
S = nilai simpangan baku atau standar deviasi
∆L
thitung = s/√n
…………………………………………………………..…………………………………………..……….(4)
dimana
∆L = rata-rata pergeseran titik 3 dimensi
n = jumlah sampel
S = nilai simpangan baku atau standar deviasi
CE90 = 1,5175 x RMSEr
LE90 = 1,6499 x RMSEz

[(𝑋𝑑𝑎𝑡𝑎 −𝑋𝑐𝑒𝑘 )2 +(𝑌𝑑𝑎𝑡𝑎 −𝑌𝑐𝑒𝑘 )2 ]


RMSEr = √ …………………………………………………….……………………….(5)
𝑛

(𝑍𝑑𝑎𝑡𝑎 −𝑍𝑐𝑒𝑘 )2
RMSEz = √ 𝑛
…………………………………………………………………….…………………………..(6)

dimana:
RMSEr = Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz = Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
n = jumlah sampel

Akuisisi Data Lapangan

Perencanaan misi jalur terbang UAV PPK menyesuaikan dengan luasan AOI sebesar 121Ha.
Jalur terbang terbagi menjadi 6 bagian dengan arah dari barat ke timur dan dari utara ke selatan.
Tiap jalur terbang memiliki pengaturan overlap 80% dan sidelap 60% dengan tinggi terbang
100meter diatas permukaan tanah lokasi awal terbang. Lebar antar jalur terbang rata-rata 50meter
dengan panjang rata-rata 380meter sehingga total maksimal tidak lebih dari lima kilometer karena
keterbatasan baterai drone dalam sekali terbang yang membawa beban modul PPK. Software
pengaturan jalur terbang yang digunakan yaitu Litchi.
Akuisisi data berupa foto udara menggunakan drone DJI Phantom 3 Professional dengan modul
PPK tipe skytraq sebagai receiver rover. Perangkat GNSS Engine tersebut terletak di atas drone

892
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

sebagai GNSS antenna kemudian di samping drone terdapat dua buah yaitu powerbank sebagai
sumber tenaga PPK dan EGNSS PPK Mounting sebagai data logger dengan output u-blox (*.ubx).
Modul PPK pada UAV berfungsi sebagai perekaman koordinat posisi UAV pada saat pemotretan
udara.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengolahan Data PPK

Proses pengolahan data PPK dibagi menjadi tiga tahap, yaitu konversi data mentah dari u-blox
menjadi RINEX, pengolahan integrasi data receiver base dari base station PPK dan data receiver
rover dari modul skytraq UAV, dan geotagging foto udara. Proses pengolahan data ini menggunakan
Software RTKLIB yang terdiri dari RTKCONV sebagai raw data converter dan RTKPOST sebagai
pengolah data base dan rover. Software GeoSetter digunakan sebagai pengolahan geotagging foto
udara.
Konversi data mentah dari u-blox menjadi RINEX menghasilkan data observation file (*.obs)
dan navigation file (*.nav). Observation file mengandung tiga data pokok penting dalam pengukuran
GPS yang terdiri dari data ukuran waktu, data kode, dan data fase. Navigation file menyimpan pesan
navigasi pengamatan satelit GPS berupa informasi mengenai koefisien koreksi jam satelit, parameter
posisi satelit saat bergerak dalam orbitnya, dan parameter koreksi ionosfer.
Pengolahan data secara Post-Processed Kinematic dilakukan melalui RTKPOST dengan
memberikan data input berupa data observasi dan navigasi dari rover serta data observasi dari base.
Proses pengolahan data secara PPK memiliki output berupa nmea file. Data hasil PPK inilah yang
akan digunakan dalam proses geotagging.
Hasil pengolahan data GPS secara PPK juga dapat diketahui dari tracking position UAV pada
saat pengukuran. Hasil tracking tersebut ditandai dengan titik-titik dengan warna yang berbeda,
yaitu warna hijau yang mengindikasikan bahwa titik koordinat tersebut mempunyai fix solution,
warna kuning untuk float solution dan warna merah untuk single solution. Hasil tracking position
UAV pada gambar 6 menunjukkan bahwa pengolahan data secara PPK menghasilkan nilai bersolusi
fix yang ditandai dengan grafik hasil titik koordinat tracking UAV yang berwarna hijau.

Gambar 6. Hasil tracking GPS pada UAV jalur 1.

Langkah terakhir sebelum dilakukan proses image matching yaitu geotagging yang merupakan
proses penambahan informasi berupa nilai koordinat pada foto. Data yang diperlukan pada proses
geotagging yaitu data foto udara dan data GPS hasil olahan PPK (*.nmea). Perangkat lunak yang
digunakan pada proses geotagging yaitu GeoSetter. Geotagging tidak hanya dapat dilakukan secara
otomatis pada kamera yang sudah terhubung dengan GPS tetapi juga dapat dilakukan secara

893
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

manual, yaitu dengan cara mengintegrasikan waktu pengambilan foto dengan waktu perekaman
data GPS. Tujuan geotagging adalah mensinkronkan koordinat pada foto udara dengan data
koordinat hasil pengukuran PPK yang sudah diolah. Oleh karena itu, koordinat foto udara yang
dihasilkan tidak hanya berupa data absolute melainkan berupa data PPK.

Pengolahan Data Foto Udara

Proses pengolahan data foto udara dilakukan dengan metode Structure from Motion (SfM) yang
memperkirakan struktur 3D dari urutan gambar dua dimensi yang bertampalan dan diperoleh dari
berbagai point of view. Software yang mendukung prinsip kerja SfM adalah Agisoft Photoscan
Professional. Metode pengolahan foto udara dengan PPK pada umumnya tanpa menggunakan titik
kontrol tanah atau dikenal dengan istilah direct georeferencing, akan tetapi pada penelitian ini
menggunakan 4 titik kontrol tanah. Nilai Z/height/altitude pada koordinat empat titik kontrol tanah
dan 10 titik cek bebas hasil pengamatan menggunakan RTK-NTRIP merupakan data tinggi
elipsoid/tinggi geodetik. Data tinggi elipsoid dikoreksi untuk mendapatkan tinggi geoid/tinggi
ortometrik dengan rumus pada Persamaan 7.

H = h – N………………..……………………………………………….……………………………………………...(7)

dimana:
H : tinggi geoid/tinggi ortometrik
h : tinggi elipsoid/tinggi geodetik
N : undulasi geoid

Rumus tersebut sesuai dengan isi dari Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 1 Tahun
2020 tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar untuk Pembuatan Peta Dasar Skala
Besar (BIG, 2020). Nilai undulasi geoid diperoleh dari model geoid yang terdapat pada layanan situs
https://srgi.big.go.id/geoid-active milik BIG. Hasil koreksi nilai undulasi geoid pada empat titik
kontrol tanah dan 10 titik cek bebas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil koreksi nilai undulasi geoid 4 GCP dan 10 ICP.


Nama Titik Tinggi Ellipsoid (m) Undulasi Geoid (m) Tinggi Ortometrik (m)
GCP 1 426.409 26.601 399.808
GCP 2 426.324 26.601 399.723
GCP 5 398.163 25.536 371.627
GCP 7 394.797 25.560 368.237
ICP 1 431.741 25.601 405.140
ICP 2 433.048 25.601 406.447
ICP 3 416.800 25.601 390.199
ICP 4 425.027 25.601 398.426
ICP 5 419.044 25.601 392.443
ICP 6 411.778 25.601 385.177
ICP 7 400.135 25.601 373.534
ICP 8 400.276 25.560 373.716
ICP 9 402.644 25.560 376.084
ICP 10 416.846 25.601 390.245

Tahapan pengolahan foto udara menggunakan Agisoft Photoscan Professional dimulai dari
import photo yaitu input file foto udara hasil geotagging dengan GeoSetter. Foto udara yang telah
disinkronisasi dengan koordinat hasil olahan PPK tersebut dimasukkan ke dalam workspace melalui
menu workflow. Ada dua pilihan input foto yaitu add photos (menambahkan foto secara langsung)
maupun add folder (menambahkan folder yang berisi foto yang akan kita input).
Tahap kedua yaitu align photo dimana software akan mencari poin-poin yang sesuai satu sama
lain di antara foto-foto yang tumpang tindih (overlap). Software kemudian melakukan estimasi posisi
kamera dari masing-masing foto dan membangun model sparse ponit cloud. Setting box parameter
dengan accuracy high agar penentuan perkiraan posisi kamera menjadi lebih akurat berbanding
lurus dengan waktu yang lebih lama. Pada pair preselection pilih reference karena foto-foto yang

894
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

saling bertampalan dibangun berdasarkan posisi kamera sudah diketahui koordinatnya. Key point
limit diisi 40.000 yang bermakna jumlah maksimal 40.000 titik yang akan dideteksi pada suatu foto
sedangkan tie point limit diisi 4.000 yang berarti jumlah maksimal 4.000 titik yang sama antar foto.
Tahap ketiga yaitu camera calibration dan optimize camera yang berfungsi untuk kalibrasi
parameter pada kamera foto agar dapat meminimalisir error pada foto udara. Tahap keempat yaitu
input GCP atau georeferencing yang berfungsi sebagai titik sekutu yang menghubungkan antara
sistem koordinat hasil pertampalan align photos dengan sistem koordinat pada permukaan bumi.
Pada menu reference pilih import csv lalu masukkan file csv yang berisi Lat/Lon/Alt koordinat
premark GCP. Klik kanan pada masing-masing GCP di kolom markers lalu pilih filter photos by
markers sehingga muncul foto-foto yang berisikan premark GCP yang telah kita amat. Pilih foto yang
memiliki gambar premark GCP yang terletak di sekitar bagian tengah foto untuk dilakukan moving
markers. Arahkan markers ke titik ujung segitiga premark tepat dimana dilakukan pengamatan
hingga error meter dan error pixel mengecil.
Tahap kelima yaitu build dense point cloud yang melanjutkan output dari align photos berupa
sparse point cloud tadi. Fungsi build dense point cloud yaitu membuat titik awan jarang menjadi
lebih rapat dengan kenampakan unsur RGB yang lebih baik. Setting yang digunakan yaitu quality
high yang membuat kerapatan titik-titik awan menjadi lebih tinggi dan geometri yang semakin akurat
sedangkan depth filtering aggressive yang membuat penyaringan noise dan reduksi kesalahan fokus
menjadi lebih tinggi.
Tahap keenam yaitu build mesh atau pembentukan jaring dengan dasar pembuatan dari dense
point cloud. Tahapan ini menggunakan prinsip interpolasi yang membentuk Triangular Irregular
Network (TIN) yaitu poligon segitiga kecil yang saling terhubung membentuk objek di permukaan
bumi. Pada setting box pilih surface type height field 2.5D dan face count pilih medium untuk
menentukan jumlah poligon TIN yang akan terbentuk. Pada source data pilih dense cloud yang
merupakan hasil dari tahapan sebelumnya. Hasil dari build mesh dapat dilihat pada Gambar 7.
Tahap ketujuh yaitu build texture berupa model fisik 3D dari kenampakan-kenampakan yang
ada di area liputan foto. Setting parameter untuk tahapan ini yaitu mapping mode Orthophoto,
blending mode Mosaic, texture size/count 4096, enable hole filling checked, enable ghosting filter
checked. Parameter texture size/count berfungsi untuk membuat tekstur semakin detil dengan file
size yang semakin besar pula sedangkan pada blending mode Mosaic akan memberikan nilai yang
seimbang antara komposisi warna dan detil tekstur.
Tahap kedelapan yaitu build tiled model yang digunakan untuk pembuatan model 3D lanjutan
setelah tahapan build texture. Tahapan ini merupakan tahapan workflow yang memakan waktu
paling lama dalam pemrosesannya. Build tiled model mampu menghasilkan pemodelan 3D yang
lebih halus, tajam, dan detil daripada build texture. Adapun setting parameter yang dipakai yaitu
source data dense cloud agar lebih banyak titik awan yang digunakan untuk pemrosesan
pembentukan model 3D. Dalam parameter face count pilih medium yang menunjukkan jumlah
poligon optimal untuk tiled model block dengan tingkat rincian yang sesuai. Hasil dari build tiled
model dapat dilihat pada Gambar 8.
Tahap kesembilan yaitu build DEM yang menggambarkan kenampakan elevasi permukaan bumi
secara digital dalam format raster. Setting parameter untuk build DEM yaitu source data tiled model
agar output berupa DSM mampu menampilkan pemodelan 3D yang lebih detil, tajam, dan halus
sesuai output tahapan build tiled model tadi.
Tahap kesepuluh yaitu build Orthomosaic dimana hasil dari image matching yang telah
dilakukan pengolahan sehingga saling bertampalan dan memiliki proyeksi orthogonal. Pembangunan
orthophoto bersumber dari DEM sesuai setting parameter pada pilihan surface. Gambar 9
menunjukkan hasil build Orthomosaic setelah dilakukan export dengan cara klik kanan Orthomosaic
pada workspace – export Orthomosaic – export JPEG/TIFF/PNG – export. Export Orthomosaic
bertujuan agar file hasil export dapat digunakan dan diolah di Software spasial lain seperti ArcGIS,
AutoCAD Map 3D, Global Mapper, dan lain-lain. Tiap proses pengolahan data foto udara pada menu
workflow Agisoft Photoscan Professional akan menghasilkan processing report yang berfungsi
sebagai kontrol kualitas pengolahan foto udara.

895
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 7. Hasil sebagian area build mesh.

Gambar 8. Hasil sebagian area build tiled model.

Gambar 9. Hasil build Orthomosaic setelah dilakukan export.

Filtering DSM ke DTM

Output dari build DEM pada Software Agisoft Photoscan Professional ialah Digital Surface Model
(DSM) dimana seluruh apa yang ada di permukaan bumi baik rumah, gedung, pohon, mobil, semak
belukar, dan lain sebagainya ikut tersaji dalam raster image. Dalam pembuatan peta topografi, data
yang diperlukan untuk melakukan generate contour ialah Digital Terrain Model (DTM) yang
menggambarkan medan digital dari terrain permukaan tanah dan tidak termasuk objek diatasnya.
DTM menjadi source data untuk pembuatan contour line yang menghubungkan titik-titik tinggi
dengan ketinggian yang relatif sama dalam sebuah garis. Untuk mengonversi DSM menjadi DTM,
maka dilakukan filtering object diatas permukaan bumi menggunakan Software PCI Geomatica.
Pengolahan DSM dapat dilakukan pada PCI Geomatica dengan mengonversi file Tagged Image
File Format yang memiliki extension (*.tiff) menjadi file PCI Geomatics Database File yang memiliki
extension (*.pix) sehingga dapat dilakukan proses DEM editing. Proses DEM Editing berfungsi untuk
menghilangkan nilai ketinggian yang sesuai objek permukaan bumi dan mengganti pixel di bawah
permukaan dengan bare earth estimation. Proses ini dimulai dari pembuatan poligon pada area yang
akan dilakukan filtering seperti pohon, gedung, rumah, dan objek lainnya diatas permukaan bumi

896
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

dengan pembatasan berupa ground object. Filtering pada penelitian ini merupakan metode filtering
manual dimana interpreter membutuhkan kejelian dan penguasaan medan yang baik untuk
mengetahui mana yang objek berupa tanah maupun objek bukan berupa tanah. Metode filtering
manual menggunakan PCI Geomatica dengan pembatasan poligon berupa ground object dapat
dilihat pada Gambar 10. Sedangkan perbedaan data DSM dan data DTM sebelum dan sesudah
DEM editing dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 10. Pembuatan poligon untuk filtering objek pada DSM.

(a) DSM pada DEM editing (b) DTM pada DEM editing
Gambar 11. Tampilan DSM dan DTM pada DEM editing.

Pembuatan Peta Topografi

Pembuatan layout Peta Topografi dilakukan menggunakan Software ArcMap. Langkah awal
yaitu pembuatan garis kontur dengan source data berupa DTM hasil DEM editing pada PCI
Geomatica. Garis kontur dibuat melalui menu contour dengan interval 2,5meter dan diklasifikasikan
menjadi 2 bagian yaitu mayor kontur dan minor kontur. Index contour akan tampak pada mayor
kontur dengan interval 5meter sedangkan pada minor kontur tidak tampak. Klasifikasi mayor dan
minor kontur memanfaatkan fungsi modulus field calculator pada attribute table dengan rumus
[Contour] mod 5 = 0 yang berarti nilai kontur yang habis dibagi 5 memiliki harga -1 dan nilai kontur
yang tidak habis dibagi 5 memiliki harga 0. Garis kontur kemudian dilakukan symbology dengan
warna lebih tebal dan gelap pada mayot kontur sedangkan pada minor kontur warna lebih terang
dan tipis. Labelling mayor kontur dipilih secara laddering sehingga tampak rapi.
Peta topografi ini memuat informasi ketinggian berupa titik tinggi dan garis kontur. Titik tinggi
diperoleh dari data DTM yang telah dilakukan esktraksi tinggi melalui perintah Extract Values to
Points. Input point features diisi dengan data sebaran titik tinggi yang terdistribusi secara merata
pada seluruh AOI. Penambahan informasi pada muka peta berupa data-data pendukung antara lain

897
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

batas administrasi desa, jalan, sungai, selokan, penggunaan tanah, toponimi, nama desa, dan AOI
survei fotogrametri. Shapefile jalan, sungai, selokan, dan penggunaan tanah diperoleh dari hasil
digitasi orthophoto sedangkan toponimi diperoleh dari kenampakan objek orthophoto (kesesuaian
posisi) dan Google Maps (informasi toponimi). Peta topografi ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Selain peta topografi, peneliti juga membuat peta orthophoto yang terdiri dari orthophoto, batas
administrasi desa, dan AOI survei fotogrametri. Ketelitian peta berupa nilai CE90 dan LE90 juga
tertera pada informasi tepi peta. Peta orthophoto ini dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 12. Peta Topografi.

Gambar 13. Peta Orthophoto.

Uji Ketelitian Geometri

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 21
Tahun 2019 tentang Peta Dasar Pertanahan, pengujian ketelitian geometri terdiri atas 2 bagian yaitu
akurasi horizontal dan akurasi vertikal. Nilai ketelitian horizontal ditunjukkan melalui CE90 sedangkan
nilai ketelitian vertikal ditunjukkan melalui LE90. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kesalahan posisi

898
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

pada peta dengan posisi sebenarnya baik secara horizontal maupun vertikal tidak melebihi nilai
ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%.
Pada penelitian ini uji ketelitian geometri dilakukan dengan membandingkan 10 titik cek bebas
hasil pengukuran lapangan dengan 10 titik cek bebas hasil pricking premark pada orthophoto dan
pada data DSM. Pricking premark dilakukan pada pixel area sudut segitiga premark. Pricking dibuat
dengan memperhatikan batas perubahan warna pixel antara orange (kain premark ICP) dengan
warna sekitar premark. Pembuatan shapefile baru dengan tipe point diperlukan sebagai wadah untuk
10 koordinat hasil pricking yang akan digunakan dalam tabel uji ketelitian horizontal. Uji ketelitian
horizontal dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji ketelitian horizontal.


(D X)2
Nomor Nama X X (D X) (D X)2 Y Y (D Y) (D Y)2 + (D
Titik Titik Y)2
Lapangan (m) Orthophoto (m) (m) (m) Lapangan (m) Orthophoto (m) (m) (m) (m)
1 ICP 1 301329,470 301329,431 -0,039 0,002 652079,762 652080,004 0,242 0,058 0,060
2 ICP 2 301583,250 301583,253 0,003 0,000 652043,698 652044,017 0,319 0,102 0,102
3 ICP 3 301049,386 301049,564 0,178 0,032 651791,157 651791,012 -0,145 0,021 0,053
4 ICP 4 301423,680 301423,742 0,062 0,004 651869,016 651869,027 0,011 0,000 0,004
5 ICP 5 301535,651 301535,475 -0,176 0,031 651709,869 651709,835 -0,034 0,001 0,032
6 ICP 6 301337,401 301337,167 -0,234 0,055 651553,595 651553,538 -0,057 0,003 0,058
7 ICP 7 300958,851 300959,078 0,227 0,052 651373,862 651373,799 -0,063 0,004 0,056
8 ICP 8 301212,322 301212,168 -0,154 0,024 651257,822 651257,551 -0,271 0,073 0,097
9 ICP 9 301625,518 301625,349 -0,169 0,028 651264,298 651264,191 -0,107 0,011 0,040
10 ICP 10 301876,546 301876,175 -0,371 0,137 651669,359 651669,444 0,085 0,007 0,145

Untuk memperoleh nilai akurasi vertikal, maka dibutuhkan pricking premark pada data DSM.
Pricking pada DSM dapat dilakukan pada Software Global Mapper maupun ArcMap dengan
memanfaatkan fitur Identify maupun Feature Info Tool. Buka data DSM dengan shapefile hasil
pricking orthophoto lalu pilih Identify (Identify from All layers) pada ArcMap dan klik pada point ICP
dengan map scale 1:1 maka akan diperoleh pixel value/nilai Z. Uji ketelitian vertikal dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji ketelitian vertikal.


Nomor Nama Z Z (D Z) (D Z)2
Titik Titik ICP Lapangan (m) ICP Digital Surface Model (m) (m) (m)
1 ICP 1 405,140 404,551 -0,589 0,347
2 ICP 2 406,447 405,830 -0,617 0,381
3 ICP 3 390,199 390,237 0,038 0,001
4 ICP 4 398,426 398,291 -0,135 0,018
5 ICP 5 392,443 392,658 0,215 0,046
6 ICP 6 385,177 385,413 0,236 0,056
7 ICP 7 373,534 373,663 0,129 0,017
8 ICP 8 373,716 373,842 0,126 0,016
9 ICP 9 376,084 375,604 -0,480 0,230
10 ICP 10 390,245 390,315 0,070 0,005
Jumlah 1,117
Rata-Rata 0,112
RMSE 0,334
LE90 0,551

Berdasarkan Tabel 3, nilai RMSEr yang diperoleh sebesar 0,254meter sehingga mampu
menghasilkan nilai CE90 sebesar 0,386meter. Menurut Kementerian ATR/BPN (2019), orthophoto
pada penelitian ini memiliki skala maksimal 1:1.000 pada kelas 2. Pada uji ketelitian vertikal di Tabel
4, nilai koordinat Z yang digunakan sudah dilakukan koreksi terhadap nilai undulasi geoid. Begitu
pula dengan nilai Z pada keempat titik kontrol tanah telah dilakukan koreksi terhadap nilai undulasi
geoid sebelum proses input GCP di Agisoft Photoscan Professional. Hal tersebut menyebabkan DSM
hasil export build DEM sudah sesuai dengan koordinat Z ortometrik dengan nilai RMSEz sebesar
0,334meter dan nilai LE90 sebesar 0,551 meter. Berdasarkan nilai LE90, DSM mampu menghasilkan
skala maksimal 1:2.500 pada kelas 2 dengan interval garis kontur sebesar 1 meter.

899
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Uji Komparatif/Uji-t

Uji komparatif/uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan antara
koordinat x, y, z ICP hasil pengukuran lapangan dengan koordinat x, y orthophoto maupun koordinat
z DSM. Penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% (α = 0,05) dengan demikian
taraf kepercayaan yang diperoleh yaitu 95%. Hasil penghitungan uji-t dapat dilihat pada tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa jumlah total pergeseran tiga dimensi 10 ICP sebesar
1,960meter dengan rata-rata sebesar 0,196meter. Besaran simpangan baku atau standar deviasi
yaitu 0,588 sehingga mendapatkan t-hitung sebesar 1,054. Dengan jumlah sampel 10 maka
memperoleh t-tabel 2,262 sehingga nilai t-hitung < nilai t-tabel yaitu 1,054 < 2,262. Oleh karena
itu, H0 diterima yang bermakna bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara koordinat ICP
hasil pengukuran lapangan dengan koordinat x, y orthophoto maupun koordinat z DSM.

Tabel 5. Uji komparatif/uji-t.


√(D X)2 +
Nomor Nama X X (D X) (D X)2 Y Y (D Y) (D Y)2 Z Z (D Z) (D Z)2 (D Y)2 +
Titik Titik (D Z)2
Lapangan (m) Orthophoto (m) (m) (m) Lapangan (m) Orthophoto (m) (m) (m) Lapangan (m) DSM (m) (m) (m) (m)
1 ICP 1 301329,470 301329,431 0,039 0,002 652079,762 652080,004 -0,242 0,058 405,140 404,551 0,589 0,347 0,638
2 ICP 2 301583,250 301583,253 -0,003 0,000 652043,698 652044,017 -0,319 0,102 406,447 405,830 0,617 0,381 0,695
3 ICP 3 301049,386 301049,564 -0,178 0,032 651791,157 651791,012 0,145 0,021 390,199 390,237 -0,038 0,001 0,232
4 ICP 4 301423,680 301423,742 -0,062 0,004 651869,016 651869,027 -0,011 0,000 398,426 398,291 0,135 0,018 0,149
5 ICP 5 301535,651 301535,475 0,176 0,031 651709,869 651709,835 0,034 0,001 392,443 392,658 -0,215 0,046 0,280
6 ICP 6 301337,401 301337,167 0,234 0,055 651553,595 651553,538 0,057 0,003 385,177 385,413 -0,236 0,056 0,338
7 ICP 7 300958,851 300959,078 -0,227 0,052 651373,862 651373,799 0,063 0,004 373,534 373,663 -0,129 0,017 0,269
8 ICP 8 301212,322 301212,168 0,154 0,024 651257,822 651257,551 0,271 0,073 373,716 373,842 -0,126 0,016 0,336
9 ICP 9 301625,518 301625,349 0,169 0,028 651264,298 651264,191 0,107 0,011 376,084 375,604 0,480 0,230 0,520
10 ICP 10 301876,546 301876,175 0,371 0,137 651669,359 651669,444 -0,085 0,007 390,245 390,315 -0,070 0,005 0,387
∆Li 1,960
∆L 0,196
S 0,588
t-hitung 1,054
t-tabel 2,262

KESIMPULAN
Pemanfaatan foto udara hasil pemotretan UAV PPK mampu menghasilkan Peta Topografi
dengan nilai akurasi horizontal (CE90) sebesar 0,386 meter dan nilai akurasi vertikal (LE90) sebesar
0,551meter. Nilai CE90 sebesar 0,386 meter menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan
posisi horizontal objek di peta dengan posisi yang dianggap sebenarnya tidak lebih besar dari radius
lingkaran 0,386 meter. Nilai LE90 sebesar 0,551 meter menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau
perbedaan nilai ketinggian objek di peta dengan nilai ketinggian sebenarnya tidak lebih besar dari
jarak 0,551 meter. Hasil uji komparatif/uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara koordinat ICP hasil pengukuran lapangan dengan koordinat x, y orthophoto
maupun koordinat z DSM dengan tingkat signifikansi sebesar 5%.
Berdasarkan Kementerian ATR/BPN (2019, orthophoto pada penelitian ini memenuhi standar
teknis skala maksimal 1:1.000 pada kelas 2 sedangkan DSM mampu memenuhi standar teknis skala
maksimal 1:2.500 pada kelas 2 dengan interval garis kontur sebesar 1 meter.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sunarto, S.T. selaku Kepala Laboratorium
Pengukuran dan Pemetaan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional beserta seluruh staf yang telah
membantu dalam perizinan dan penyediaan peralatan UAV, GNSS Geodetik, dan Personal Computer
selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Catur Aries Rokhmana,
S.T., M.T. selaku dosen Universitas Gadjah Mada beserta tim yang telah membantu dalam
penyediaan modul PPK dan pengoperasiannya.

DAFTAR PUSTAKA
Aber, J., Marzolff, I., & Ries, J. (2010). Small-Format Aerial Photography: Principles, Techniques and
Geoscience Applications. Elsevier Science. Amsterdam.
Aji, D.S., Sabri, L.M., & Prasetyo, Y. (2019). Analisis akurasi DEM dan foto tegak hasil pemotretan dengan
pesawat nir awak DJI Phantom 4. Jurnal Geodesi Undip, 8(2), 08-18.

900
Analisis Pemanfaatan Foto Udara Hasil Pemotretan Unmanned Aerial Vehichle ............................................................ (Diodemus, et al)

BIG (Badan Informasi Geospasial). (2020). Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 1 Tahun 2020
tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar Untuk Pembuatan Peta Dasar Skala Besar. Badan
Informasi Geospasial. Bogor.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). (2015). Standar Nasional Indonesia: Ketelitian Peta Dasar . Katalog
Nomor 8202. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Bramasta, D.B. (2019). 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari:
https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-indonesia?page=all.
[18 Januari 2020].
Eisenbeiss, H. (2009). UAV Photogrammetry. Disertasi ETH Zurich. Switzerland.
Fitri, L. (2016). Peran Airbone LiDAR dalam Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kereta Cepat Jakarta –
Bandung. Prosiding Seminar Nasional 3rd CGISE dan FIT ISI 2016, Departemen Teknik Geodesi Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Gularso, H., Rianasari, H., & Silalahi, F.E.S. (2015). Penggunaan foto udara format kecil menggunakan wahana
udara nir-awak dalam pemetaan skala besar. Jurnal Ilmiah Geomatika, 21(1), 37-44.
http://dx.doi.org/10.24895/JIG.2015.21-1.472.
Kementerian ATR/BPN (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional). (2019). Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2019 tentang Peta
Dasar Pertanahan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.
Kumar, H. (2017). 3D Landscape (DSM/DTM) Service. Diakses dari: https://www.satpalda.com/blogs/3d-
landscape-dsmdtm-service. [11 Februari 2020].
Martiana, D.N., Prasetyo, Y., & Wijaya, A.P. (2017). Analisis akurasi DTM terhadap penggunaan data point
clouds dari foto udara dan LAS LIDAR berbasis metode penapisan slope-based filtering dan algoritma
macro terrasolid. Jurnal Geodesi Undip, 6(1), 293-302.
Mustofa, H.A., Prasetyo, Y., & Hani’ah. (2016). Analisis ketelitian planimetrik orthophoto pada topografi
perbukitan dan datar berdasarkan kuantitas titik kontrol tanah. Jurnal Geodesi UNDIP, 5(4), 73-81.
Purwanto, T.H. (2017). Pemanfaatan foto udara format kecil untuk ekstraksi digital elevation model dengan
metode stereoplotting. Majalah Geografi Indonesia, 31(1), 73-89. https://doi.org/10.22146/mgi.24246.
Susetyo, D.B. & Gularso, H. (2018). Analisis akurasi pemetaan menggunakan direct georeferencing. Jurnal
Ilmiah Geomatika, 24(2), 99-106. http://dx.doi.org/10.24895/JIG.2018.24-1.826.
Taftazani, M.I., Andaru, R., & Rahardjo, U. (2016). Pengukuran titik kontrol tanah dan pemotretan udara UAV
kawasan titik nol kilometer Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional 3rd CGISE dan FIT ISI 2016.
Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ulfiani, D.F.D., Suwardhi, D., & Wisayantono, D. (2016). Kajian pemetaan digital skala besar berbasis teknologi
fotogrametri UAV dan close range. Prosiding Seminar Nasional 3rd CGISE dan FIT ISI 2016. Departemen
Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wardana, K.P.W., Subiyanto, S., & Hani’ah. (2019). Analisis tinggi tanaman padi menggunakan model 3D Hasil
pemotretan UAV dengan pengukuran lapangan. Jurnal Geodesi Undip, 8(1), 378-387.
Wikantika, K. (2006). Aspek ketelitian planimetrik citra satelit quickbird dalam pembuatan peta garis skala
besar. Jurnal ITENAS, 10(2), 58-63.
Zhang, H., Jague, E.A., Clapuyt, F., Wilken, F., Vanacker, V., & Oost K.V. (2019a). Evaluating the potential of
Post-Processing Kinematic (PPK) georeferencing for UAV-based structure-from-motion (SfM)
photogrammetry and surface change detection. Earth Surface Dynamics, 7(3), 807-827.
https://doi.org/10.5194/esurf-7-807-2019.
Zhang, H., Jague, E.A., Clapuyt, F., Wilken, F., Vanacker, V., & Oost K.V. (2019b). Evaluating the potential of
PPK direct georeferencing for UAV-SfM photogrammetry and precise topographic mapping. Earth Surface
Dynamics Discussion, 1-34. https://doi.org/10.5194/esurf-2019-2.

901
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Halaman ini sengaja kami kosongkan

902

Anda mungkin juga menyukai