Anda di halaman 1dari 12

PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI DI ZAMAN

REFORMASI SAMPAI SEKARANG DAN BAGAIMANA BENTUK


PENANGANANNYA

Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Hukum dan HAM

Dosen Pengampu : Dr. Wahyu Donri T S.H., M.Hum

Penyusun Kelompok 3 Kelas 4/A

1. Suci Nurfadila 2010631010040

2. Aris Munandar 2010631010056

3. Fhadel Fawwaz Alfhayet 2010631010081

4. Natalia Evira Palit 2010631010126

Fakultas Hukum

Prodi Ilmu Hukum

Universitas Singaperbangsa Karawang

Tahun Ajaran 2021/2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persoalan penegakan hak asasi manusia memang selalu menjadi sorotan menarik di
mata publik, tidak terkecuali di Indonesia. Hal ini karena eksistensi hak asasi manusia selalu
melekat pada setiap diri manusia. Selain itu, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia juga menjadi salah satu tolak ukur kemajuan sebuah bangsa dan negara.

Gelapnya masa lalu bangsa Indonesia di masa Orde Baru maupun Orde Lama telah
memicu kesadaran masyarakat sipil untuk menuntut dan mendorong upaya perlindungan,
penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM yang lebih baik. Kesadaran tersebut bersama-
sama dengan gerakan demokrasi telah berhasil meruntuhkan kekuasaan rejim Orde Baru dan
melahirkan era baru, yaitu era reformasi.

Era Reformasi merupakan sebuah era yang menjadi truning point dari perembangan
hak asasi manusia di Indonesia. setelah runtuhnya orde baru dengan rezim kekuasaan yang
otoriter serta permasalahan-permasalahan pelanggaran HAM pada masa itu. Reformasi hadir
dengan salah satu yang menjadi tujuannya yaitu ditegakannya jaminan hak asasi manusia.
Transisi politik yang terjadi di indonesia dari era orde baru menuju era reformasi 1998
berimplikasi pada penegakan nilai-nilai hak asasi manusia.

Penegakan HAM menjadi salah satu agenda utama di era reformasi. Gerakan
masyarakat sipil yang mengusung pentingnya penegakan HAM berdampingan dengan proses
demokratisasi telah mampu diwujudkan dalam berbagai produk hukum dan konsep kebijakan
pemerintah melalui Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Cita-cita yang diinginkan
adalah penyelesaian berbagai pelanggaran HAM masa lalu, mencegah terjadinya pengulangan
pelanggaran HAM, serta memenuhi dan memajukan HAM sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi.

Dalam era Reformasi sampai sekarang telah banyak dibuat instumrn-instrumen hukum
yang menjadi alat untuk menjamin penegakan hak asasi manusia. Berbagai instumen hukum
tersebut tentunya menunjukan bagaimana kedudukan hak asasi manusia dari era reformasi
sampai sekarang.

2
Namun, kemajuan dan perkembangan hak asasi manusia di era reformasi sampai
sekarang juga tidak dapat terlepas dari berbagai permasalahan di dalamnya. Meskipun pada era
reformasi ini telah banyak memberikan jaminan atas perlindungan terhadap hak asasi manusia,
tetapi permasalahan-permasalahan hak asasi manusia juga masih sering muncul.

Pelanggaran-pelanggaran Hak asasi Manusia masih sering terjadi, dan selalu banyak
sekali aduan-aduan terkait dengan masalah-masalah Hak Asasi Manusia. Selain permasalahan-
permasalahan HAM yang baru masalah HAM di era reformasi juga masih dibayang-bayangi
oleh pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu. Permasalahan yang muncul ini juga
berkaitan dengan kedudukan Hak Asasi Manusia di era reformasi sampai saat ini yang mana
permasalahan tersebuat harus segera ada penanganannya dan segera diselesaikan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka penulis dalam penelitian ini
menyimpulkan beberapa rumusan masalah antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan HAM Sejak Zaman Reformasi Sampai Saat Ini?


2. Bagaimana Permasalahan dan Penanganan HAM Sejak Zaman Reformasi Samapai
Saat Ini?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengatahui Kedudukan HAM Sejak Zaman Reformasi Sampai Saat Ini


2. Mengetahui Permasalahan dan Penanganan HAM Sejak Zaman Reformasi Samapai
Saat Ini

3
PEMBAHASAN

A. Kedudukan HAM Sejak Zaman Reformasi Sampai Saat Ini

Upaya menempatkan hak asasi manusia menjadi hak konstitusional warga negara mencapai
puncaknya pada perubahan kedua UUD 1945. Sejak era reformasi, terlihat penegakan HAM
mengalami pembelokan arus dari pembelengguan ke kebebasan. Berbagai peraturan
perundang-undangan lebih berpihak pada perlindungan HAM. Perubahan UUD 1945 memuat
rincian HAM secara jauh lebih banyak, serta adanya pembuatan UU tentang HAM, Pengadilan
HAM, ratifikasi berbagai konvensi internasional tentang HAM, perubahan UU tentang
kekuasaan kehakiman, pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Komnas HAM untuk
menangani pelanggaran HAM. Amandemen Kedua tentang HAM merupakan prestasi
gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua
itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan
konstitusionalitas HAM di dalam Undang-Undang Dasar, Mulai dari awal penyusunan
Undang-Undang Dasar pada tahun 1945 hingga masa reformasi saat ini merupakan diskursus
hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa hak
asasi manusia dikenal dalam budaya Indonesia.

Saat ini, dunia tidak lagi memandang hak asasi manusia sekedar sebagai perwujudan paham
individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusia lebih dipahami secara
manusiawi sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan hakikat kemanusiaan kita, apapun
latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, atau pekerjaan kita. Secara
umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita
sebagai manusia yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin, melindungi, serta memenuhi hak-hak


warga negaranya melalui konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan
konsep HAM bagi masyarakat Barat yang lahir sebagai hasil dari pertentangan dan perlawanan
atas hegemoni kekuasaan, maka HAM yang tercantum dalam UUD 1945 lahir sebagai
konsensus dari proses permufakatan yang berlangsung secara damai. Setelah perubahan kedua
UUD 1945 (1999-2002), Konstitusi NKRI benar-benar merupakan konstitusi yang berbasiskan
Hak Asasi Manusia (HAM) melalui 10 (sepuluh) pasal HAM yang tercantum dalam Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J, sehingga lebih memperkokoh paradigma bernegara, sebagaimana
dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945.

4
Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan hukum yang
signifikan semenjak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia
Nomor 129 Tahun 1998 tentang “Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia”,
atau yang lebih dikenal dengan istilah “RAN HAM”, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal
15 Agustus 1998. Dalam Keppres tersebut ditegaskan 4 (empat) pilar utama pembangunan
HAM di Indonesia yaitu:

(1) persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional HAM.

(2) diseminasi dan pendidikan HAM.

(3) pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas dan

(4) pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah
disahkan Indonesia.

Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum
proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-
Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999
dicapai konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai
turunan dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan
yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai
dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga
pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan, dan masyarakat adat
(indigenous people).

Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang ditetapkan dalam Undang-
Undang HAM ini antara lain meliputi: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturuanan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi,
hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita,
dan hak anak.

HAM masih terbagi-bagi terutama antara hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial,
dan budaya. Bahkan hak asasi tertentu masih dipandang sebagai yang paling penting dan utama
dibandingkan hak asasi lainnya. Padahal menurut Asbjorn Eide dan Allan Rosas, perangkat

5
hak asasi manusia yang berbeda itu bersifat saling berhubungan dan tidak dapat dibagi. HAM
di bidang sipil dan politik tidak dapat dipisahkan dari HAM di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya. Menurut Nickel, hak-hak kesejahteraan merupakan tanggapan bagi klaim-klaim moral
yang kuat. Klaim untuk memiliki kehidupan, yang mendasari hak atas makanan, merupakan
klaim yang sama dengan yang mendasari hak untuk bebas dari pembunuhan.

Dalam hal kedudukannya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini merupakan payung
hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM. Undang-Undang
tersebut berprinsip pada ‘natural rights’, yaitu melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia. Hak-hak di dalamnya merujuk pada norma-norma hak yang
terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

Dalam kaitannya dengan kedudukan HAM di Indonesia, pasca reformasi, produk hukum
mengenai HAM menjadi lebih banyak dihasilkan dibandingkan sebelum reformasi. Sangat
berbeda dengan para pendiri negara, khususnya para perancang UUD yang harus berargumen
dan mengajukan berbagai landasan filosofis untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam
rancangan UUD, maka para perancang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Komisi
Perubahan UUD 1945 memasukkan norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang
dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh Statuta Roma ke dalam produk hukum
tersebut dengan mengalir tanpa banyak hambatan.

Setelah era reformasi, selain lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, terdapat pula
peraturan-peraturan lain mengenai ham seperti Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya terdapat ketentuan pidana bagi pelanggaran
HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusian, Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Selain itu, perlindungan dari kekerasan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.

2.2 Permasalahan dan Penanganan HAM Sejak Zaman Reformasi Sampai Saat Ini

Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan hukum


yang signifikan semenjak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia
Nomor 129 Tahun 1998 tentang “Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia”,
atau yang lebih dikenal dengan istilah “RAN HAM”, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal

6
15 Agustus 1998.45 Dalam Keppres tersebut ditegaskan 4 (empat) pilar utama pembangunan
HAM di Indonesia sebagai berikut:

(1) persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional HAM

(2) diseminasi dan pendidikan HAM

(3) pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas dan

(4) pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah disahkan
Indonesia”.

Meskipun era reformasi banyak memberikan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia
dengan dibentuknya berbagi instrument hukum tetapi permasalahan HAM juga masih sering
sekali terjadi dan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi bahkan belum bisa terselesaikan.
Permasalahan-permasalaham HAM di era reformasi ini bukan hanya saja permasalahan yang
baru muncul tetapi juga permasalahan-permasalahan yang terjadi sebelumnya yang masih
belum terselesaikan.

Pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa orde baru setidaknya ada
15 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang berada dibawah penanganan Kejaksaan
Agung. Dari jumlah tersebut, menurut penjelasa Jaksa Agung ST Burhanudin, baru tiga kasus
yang dapat dituntaskan yaitu kasus Timor-Timur tahun 1999, kasus tanjong priok 1984, dan
peristiwa Abepura 2000. Sementara untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum
diselesaikan, 8 diantaranya adalah kasus yang terjadi sebelum terbitnya Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, meliputi Peristiwa 1965, Peristiwa Penembakan
Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, Peristiwa
Penculikan dan Penghilangan orang secara paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang
KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di
Banyuwangi tahun 1998, sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU
Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo
Keupok di Aceh.

Selain dari pelanggaran HAM masa lalu, permasalahan-permasalahan lain dari


pelanggaran HAM ini juga muncul setelah era reformasi bahkan sampai sekarang salah satu
contoh misalnya Berdasarkan data dari Komnas HAM, pada tahun 2015 dapat diidentifikasi
terdapat 3 tema hak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM, yaitu: (i) hak memperoleh
keadilan sebanyak 3.252 berkas, (ii) hak atas kesejahteraan sebanyak 3.407 berkas, dan (iii)

7
hak atas rasa aman sebanyak 646 berkas. Pada tahun 2014, ketiga hak tersebut juga paling
banyak diadukan ke Komnas HAM. Berlanjut pada tahun 2015, tema hak memperoleh keadilan
yang menempati urutan pertama hak paling banyak diadukan, pada umumnya berkaitan erat
dengan proses hukum di kepolisian/militer/PPNS. Tema hak atas kesejahteraan yang menjadi
tema hak kedua paling banyak diadukan, berkisar pada kepemilikan tanah. Kemudian pada
urutan ketiga adalah pengaduan mengenai hak atas rasa aman, tenteram, dan perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Adapun pada tahun
2016, hingga bulan April, laporan pengaduan ke Komnas HAM masih didominasi oleh hak
memperoleh keadilan dan hak atas kesejahteraan.

Senada dengan itu, Kontras memberikan catatan kritis terhadap kondisi HAM di tahun
2019. Hasil temuanya menyebutkan ada situasi di mana demokrasi dan penegakan HAM
berjalan mundur dengan parameter indikator yang berkaitan dengan persoalan kasus HAM dan
kebijakan pemerintah tahun 2019. Terdapat tiga petisi besar yang menyebabkan kemunduran
demokrasi selama satu tahun belakangan. Pertama, dinamika politik selama dan usai pemilihan
presiden dan wakil presiden yang memuncak dalam peristiwa kekerasan pada tanggal 21-23
Mei 2019. Kedua meletupnya kemarahan rakyat Papua atas serangan rasisme kepada terhadap
mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Ketiga rangkaian demonstrasi mahasiswa dan
masyarakat pada bulan September yang menolak sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU)
buatan DPR RI dan Pemerintah. Ketiga peristiwa besar itu, telah menyebabkan kriminalisasi
terhadap demonstran, dengan dilakukannya penangkapan dan penahanan yang sewenang-
wenang hingga jatuhnya korban jiwa.

Demikian juga halnya dengan rilis dari Setara Institute dalam Ringkasan Laporan
Indeks Kinerja HAM 2015-2019 SETARA Institute for Democracy and Peace Jakarta, yang
memberikan penilaiannya secara umum bahwa pada periode pemerintahan Joko Widodo–Jusuf
Kalla selama 2014-2019, komitmen terhadap HAM masih rendah. Hasil temuan laporan
tersbeut diantarnya menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu mengalami
kemandekan dan ketiadaan inisiasi yang signifikan. Berkas sembilan kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung ke Komnas HAM, di antaranya peristiwa
1965-1966, Talangsari Lampung 1989, Penembakan Misterius 1982-1985, Trisakti,
SemanggiI, Semanggi II, Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Wasior dan Wamena,
Simpang KAA 3 Mei 1999 Aceh, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh.

8
Pada praktinya sampai hari ini penyelesaian serta penegakan permasalahan-
permasalahan Hak Asasi Manuisa ini cukup sulit dilakukan dan beberapa bahkan sampai hari
ini belum bisa diselesaikan, salah satunya misalnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu, Dalam konteks ini Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan sejumlah
hambatan dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu
yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Untuk kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, terdapat
kesulitan untuk memperoleh alat bukti. Sebab, faktor waktu yang sudah terlampau lama dan
tempat kejadian perkara yang sudah berubah.

Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus


pelanggaran HAM, Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindak lanjutinya dengan
menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23
April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU
Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam
Keppres tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat
dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.

Pada awal masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri, Keppres ini langsung


mengalami revisi, yakni dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Keppres No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang mengalami perubahan
dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus and tempus
delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok, yaitu
penambahan kalimat wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan
September 1999 untuk kasus Timor Timur serta bulan September 1984 untuk kasus Tanjung
Priok.

Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU


No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM
dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini
merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya mewujudkan
supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan didasari adanya pengaturan

9
mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD
1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan HAM
itu sendiri.

Dengan segala problematika dalam penegakkan hukum terhadap pelanggaran HAM


berat, tentu tidak bisa terus didiamkan begitu saja, karena dengan mendiamkan dan berusaha
melupakan serta mengaburkannya bagi generasi muda tentu akan menimbulkan masalah baru.
Sehingga pada akhirnya harus dicarikan alternatif lain jika cara penegakkan hukum
berdasarkan undang-undang yang telah ada sulit untuk dituntaskan. Salah satu alternative yang
saat ini menngemuka adalah wacana dihidupkannya kembali Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi sebagai jalan penyelesaian secara non yudisial. Tentunya terlepas dari pro dan
kontra terhadap rencana ini, pada akhirnya harus didasarkan pada orientasi penyelesaian kasus-
kasus pelanggaran HAM tersebut secara menyeluruh dengan mengedapankan keutuhan bangsa
dan negara.

Pada intinya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia saat ini
mengikuti dengan apa yang ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dan
Undang-undang 26 tahun 2000, sebagai salah satu instrument hukum yang hadir setelah era
reformasi sampai sekarang. Namun pada praktiknya masih perlu banyak perbaikan dari setiap
aspek penegakan HAM, karena masih banyak kasus pelanggaran Ham berat yang masih belum
diselesaikan.

10
KESIMPULAN

Dalam hal kedudukannya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini merupakan payung
hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM. Undang-Undang
tersebut berprinsip pada ‘natural rights’, yaitu melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia.

Pasca reformasi, produk hukum mengenai HAM menjadi lebih banyak dihasilkan
dibandingkan sebelum reformasi. Sangat berbeda dengan para pendiri negara, khususnya para
perancang UUD yang harus berargumen dan mengajukan berbagai landasan filosofis untuk
memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam rancangan UUD, maka para perancang Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Komisi Perubahan UUD 1945 memasukkan norma-norma
ataupun prinsip-prinsip HAM dari berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh Statuta Roma ke
dalam produk hukum tersebut dengan mengalir tanpa banyak hambatan.

11
Daftar pustaka

Direktorat Bina HAM, 2004, Monograf Mata Kuliah Hukum dan HAM, Jakarta : Kementerian Hukum
& HAM RI.

Kurnia, TironSlamet 2005. Reparasi (Reparation) terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia,
Bandung : Citra Aditya Bakti

Smith, Rhona K.M., Njal Høstmælingen, dkk, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.

Thontowi, Jawahir. 2002, Hukum Internasional di Indonesia, Yogyakarta : Madyan Press

Janedjri M. Gaffar. 2012. Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah


Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 193.

Moh. Mahfud MD. 2011. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers,
hlm. 176.

Rhona K.M. Smith, Njal Hostmaelingen, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, hlm. 243.

Saafroedin Bahar. 1996. Hak Asasi Manusia: Analis Komnas HAM dan Jajaran Hankam/ABRI. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, hlm. 4-6.

Majda El Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai
dengan amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana, hlm. 67.

Satya Arinanto. 2008. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 5-6.

Rhona K.M. Smith, Njal Hostmaelingen, dkk. Op.cit, hlm. 243-244.

Muladi. 2009. Hak Asasi Manusia – Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat. Bandung: Refika Aditama, hlm. 12.

12

Anda mungkin juga menyukai