Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2023


UNIVERSITAS PATTIMURA

PONV
(Post-operative Nausea and Vomiting)

Disusun oleh:
Renov J. Latumahina
(2020-84-032)

PEMBIMBING
dr. Jilientasia G. Lilihata, Sp. An, M.Ked.Klin

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan refrat dengan judul “PONV”.

Refrat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Anestesi. Penyusunan Refrat ini dapat diselesaikan dengan

baik karena adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

dr. Jilientasia G. Lilihata, Sp. An, M.Ked.Klin, selaku pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam

menyelesaikan Refrat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Refrat ini masih

belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari

berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan Refrat ini

kedepannya. Semoga laporan Refrat dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua

pihak yang membutuhkan.


DAFTAR ISI

PONV............................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
BAB II TINJAUAN TEORI..........................................................................................6
2.1 Definisi................................................................................................................6
2.2 Etiologi................................................................................................................6
2.3 Epidemiologi.......................................................................................................7
2.4 Patofisiologi.........................................................................................................8
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mual dan Muntah Pasca Operasi...............9
2.5.1 Faktor pasien.................................................................................................9
2.5.2 Faktor pra operasi.......................................................................................10
2.5.3 Faktor intraoperatif.....................................................................................11
2.5.4 Faktor pasca operasi...................................................................................14
2.6 Penilaian PONV dengan skor APFEL...............................................................15
2.7 Tatalaksana PONV............................................................................................16
2.7.1 Terapi non farmakologi..............................................................................16
2.7.2 Terapi Farmakologi....................................................................................17
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah kejadian yang umum terjadi

setelah anestesi dan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan pasien.

PONV (Postoperative nausea and vomiting), yang merupakan singkatan dari mual

dan muntah pasca operasi, didefinisikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan

yang terjadi setelah proses pembedahan dalam rentang waktu 24-48 jam setelah

operasi dilakukan.1,2

Penyebab PONV adalah multifaktorial, risiko tertinggi untuk PONV tampaknya

berusia muda hingga paruh baya, wanita yang tidak merokok dengan riwayat PONV

atau mabuk perjalanan (semuanya merupakan faktor risiko independen). Penggunaan

anestesi volatil (agen anestesi inhalasi), operasi berkepanjangan, penggunaan nitro

oksida, dan kebutuhan pasca operasi untuk opioid semuanya meningkatkan risiko

PONV.2 PONV dapat disebabkan oleh beberapa kondisi perioperatif, termasuk

kecemasan, opioid, anestesi inhalasi (volatil) dimana sebagian besar praktik anestesi

menggunakan obat ini setiap hari. PONV yang berlebihan dapat menyebabkan
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit , dan sindrom aspirasi paru yang dapat

meningkatkan biaya perawatan kesehatan.1

PONV secara umum masih berada pada kisaran 20% - 30%. Namun, pada

kelompok pasien dengan risiko tinggi tertentu, angka kejadian mual dan muntah

pasca operasi ini bisa mencapai 70%-80%. Dengan kata lain, meskipun ada kemajuan

dalam pengobatan, masih ada sejumlah pasien yang mengalami mual dan muntah

setelah operasi, terutama pada mereka yang memiliki faktor risiko tinggi. Pada

kondisi tertentu, PONV dapat menyebabkan komplikasi pasca operasi, terutama pada

pasien yang tidak dapat mentoleransi peningkatan denyut jantung atau tekanan darah,

tekanan intratoraks, atau tekanan vena sentral.1


BAB II
TINJAUAN TEORI

II.1 Definisi

PONV (Postoperative nausea and vomiting), yang merupakan singkatan dari

mual dan muntah pasca operasi, didefinisikan sebagai pengalaman tidak

menyenangkan yang terjadi setelah proses pembedahan dalam rentang waktu 24 jam

setelah operasi dilakukan.1,2

II.2 Etiologi

Pasien dengan risiko tertinggi untuk PONV tampaknya berusia muda hingga

paruh baya, wanita yang tidak merokok dengan riwayat PONV atau mabuk

perjalanan (semuanya merupakan faktor risiko independen). Penggunaan anestesi

volatil (agen anestesi inhalasi), operasi berkepanjangan, penggunaan nitro oksida, dan

kebutuhan pasca operasi untuk opioid semuanya meningkatkan risiko PONV.

Penyebab PONV adalah multifaktorial dan diyakini berasal dari zona pemicu

kemoreseptor di batang otak, dari efek langsung yang diinduksi opiat pada saluran

gastrointestinal (GI) dan anestesi lain serta sistem vestibular melalui gerakan dan dari

sensitisasi saraf. sistem ini oleh agen yang biasa digunakan dalam anestesiologi. Jenis

dan lokasi pembedahan juga berperan, dan pembedahan mata dan timpani,

pembedahan intrakranial, perut, dan ginekologi menimbulkan peningkatan risiko


PONV. Dehidrasi, aspirasi, perubahan elektrolit, dan komplikasi perioperatif lainnya

atau komorbiditas dapat memperburuk PONV.2

PONV dapat disebabkan oleh beberapa kondisi perioperatif, termasuk

kecemasan, opioid, anestesi inhalasi (volatil) dimana sebagian besar praktik anestesi

menggunakan obat ini setiap hari. PONV yang berlebihan dapat menyebabkan

dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit , dan sindrom aspirasi paru yang dapat

meningkatkan biaya perawatan kesehatan.1

II.3 Epidemiologi

Meskipun telah terjadi perkembangan yang signifikan dalam penanganan mual

dan muntah pasca operasi (PONV) serta pengenalan obat anti-mual yang baru,

kejadian PONV secara umum masih berada pada kisaran 20% - 30%. Namun, pada

kelompok pasien dengan risiko tinggi tertentu, angka kejadian mual dan muntah

pasca operasi ini bisa mencapai 70%-80%. Dengan kata lain, meskipun ada kemajuan

dalam pengobatan, masih ada sejumlah pasien yang mengalami mual dan muntah

setelah operasi, terutama pada mereka yang memiliki faktor risiko tinggi.2,3

Masih tetap menjadi masalah dengan kejadian 10% untuk pasien tanpa faktor

risiko dan 21%, 39%, 59% & 78% untuk pasien dengan 1, 2, 3 & 4 faktor risiko

masing-masing. Menurut penelitian yang dilakukan di Ethiopia, prevalensi PONV

tinggi yaitu 36,2% dengan faktor terkait riwayat mabuk perjalanan , riwayat PONV

sebelumnya, durasi anestesi yang lama, operasi besar, operasi ginekologi. Mual

muntah pasca operasi adalah salah satu kondisi yang tidak memuaskan pasien.
Banyak publikasi atau makalah telah dihasilkan dari penelitian tersebut, namun hasil

yang ditemukan cenderung beragam atau berbeda-beda. Dengan kata lain, penelitian

yang telah dilakukan dalam waktu yang lama ini menghasilkan temuan yang tidak

selalu konsisten atau seragam.1

II.4 Patofisiologi

Sekalipun fisiologi PONV sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami,

kontrol utama mual dan muntah muncul dari pusat muntah, yang terletak di medlula

oblongata.1 Ada dua area dalam sistem saraf yang memainkan peran penting dalam

mengendalikan muntah dan mual, adalah :4

1. Pusat muntah - terletak di dalam formasi retikuler lateral medula oblongata,

yang mengontrol dan mengkoordinasikan gerakan yang terlibat dalam muntah

2. Zona pemicu kemoreseptor - terletak di area postrema (terletak di aspek

inferoposterior ventrikel ke-4), yang terletak di luar sawar darah otak dan oleh

karena itu dapat merespons rangsangan di dalam sirkulasi

Pusat muntah dalam otak menerima sinyal dari berbagai sumber, termasuk zona

pemicu kemoreseptor di dalam tubuh, informasi dari saluran pencernaan, input dari

sistem vestibular yang mengatur keseimbangan dan gerakan, serta pengaruh struktur

kortikal seperti penglihatan, penciuman, dan nyeri, yang semuanya dapat

menyebabkan mual. Ada lima reseptor kunci yang terlibat dalam muntah. Ini

adalah muskarinik (M 1 ), dopaminergik (D 2 ), histaminergik (H 1 ), 5-

hidroksitriptamin atau 5-HT 3 (serotonin), dan neurokinin NK 1 (zat P). Jika


rangsangan yang diterima cukup kuat, pusat muntah akan menginstruksikan otot-otot

seperti diafragma, perut, dan otot perut untuk memicu respons muntah. Banyak

neurotransmiter yang terlibat dalam mengatur proses muntah. Hal ini memiliki

implikasi klinis yang penting, karena obat antiemetik (obat anti-mual) dapat

ditargetkan untuk memengaruhi aktivitas neurotransmiter. Mekanisme biologis yang

kompleks mengatur muntah melibatkan berbagai zona dan reseptor di dalam tubuh.

Zona pemicu kemoreseptor, yang merespons perubahan kimia dalam tubuh,

melibatkan reseptor dopamin dan 5HT3. Aparatus vestibular, yang bertanggung

jawab atas keseimbangan dan gerakan, mengandalkan reseptor asetilkolin dan

histamin. Sementara itu, di saluran pencernaan, reseptor dopamin memainkan peran

penting. Pusat muntah, yang merupakan pusat pengatur dalam otak, berinteraksi

dengan histamin dan reseptor 5HT3. Pengetahuan tentang interaksi kompleks antara

berbagai zona dan reseptor ini memiliki dampak signifikan dalam pengembangan

pendekatan pengobatan, terutama dalam pengembangan obat antiemetik yang dapat

ditargetkan untuk meredakan mual dan muntah secara lebih efektif.2,4

II.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mual dan Muntah Pasca Operasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi PONV adalah sebagai berikut:

II.5.1 Faktor pasien

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi risiko mual dan muntah pasca

operasi (PONV) pada pasien. Salah satunya adalah jenis kelamin, di mana wanita

cenderung lebih mungkin mengalami PONV daripada pria. Faktor ini menjadi salah
satu pemicu terkuat dalam kasus pasien. Selain itu, riwayat mabuk perjalanan atau

riwayat muntah setelah operasi sebelumnya juga dapat meningkatkan risiko PONV,

seperti halnya pada pasien yang tidak merokok. Namun, pada perokok, sensitivitas

terhadap zona pemicu mual (CTZ) secara bertahap berkurang. Usia juga memiliki

peran penting, dengan pasien yang berusia di bawah 50 tahun memiliki risiko yang

lebih tinggi terhadap PONV. Meskipun demikian, data terbaru menunjukkan bahwa

indeks massa tubuh (IMT) tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan

peningkatan risiko PONV. Selanjutnya, penundaan pengosongan lambung juga dapat

berkontribusi pada risiko PONV, terutama pada pasien dengan patologi abdomen,

diabetes mellitus, hipotiroidisme, kehamilan, peningkatan tekanan intrakranial,

riwayat muntah darah, atau kondisi perut penuh. Semua faktor ini perlu diperhatikan

dalam penilaian risiko PONV dan dapat menjadi dasar untuk pengembangan strategi

pencegahan dan pengobatan yang lebih efektif.

II.5.2 Faktor pra operasi

Evaluasi faktor risiko mual dan muntah pasca operasi (PONV), terdapat beberapa

aspek yang perlu diperhatikan. Puasa perioperatif, meskipun terkadang dianggap

sebagai faktor risiko, belum dapat diidentifikasi secara pasti sebagai penyebab

langsung PONV. Sementara itu, aspek kecemasan pada pasien, walaupun memiliki

peran dalam pengalaman pasca operasi, secara klinis mungkin tidak memiliki

relevansi yang signifikan dalam meramalkan atau memprediksi kejadian PONV.


II.5.3 Faktor intraoperatif

a. Faktor Bedah.

Jenis pembedahan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap insiden

mual dan muntah pasca operasi (PONV). Pembedahan seperti

kolesistektomi, operasi ginekologi, dan laparoskopi cenderung berkaitan

dengan tingkat insiden PONV yang tinggi. Selain itu, durasi pembedahan

juga memiliki pengaruh yang berarti, di mana operasi dengan waktu yang

lebih lama cenderung meningkatkan risiko PONV. Dalam kaitannya,

peningkatan durasi operasi sebanyak 30 menit saja dapat memberikan

peningkatan risiko PONV hingga 60%. Pemahaman mendalam tentang jenis

pembedahan dan durasinya sebagai faktor risiko PONV memiliki implikasi

penting dalam perencanaan dan manajemen pasca operasi untuk mengurangi

dampak yang mungkin terjadi.5,6

b. Faktor Anestesi

 Anestesi umum.

o Nitrogen oksida.

Penurunan yang bermakna pada muntah pasca operasi tercatat jika

nitrous oxide dihindari pada pasien yang menjalani prosedur

laparoskopi. Dua meta-analisis telah menunjukkan bahwa menghindari

nitrous oxide mengurangi risiko PONV.5


o Peningkatan distensi abdomen akibat pertukaran nitrogen oksida dan

nitrogen dalam gas yang masuk ke saluran pencernaan selama

pemakaian masker.5

o Agen inhalasi:

Eter dan siklopropana menyebabkan insiden PONV yang lebih tinggi

karena peningkatan katekolamin endogen. Sevoflurane, enflurane,

desflurane, dan halotan dikaitkan dengan tingkat PONV yang lebih

rendah. Efek anestesi yang mudah menguap pada PONV bergantung

pada dosis dan menonjol pada 2-6 jam pertama setelah pembedahan.

Anestesi yang mudah menguap merupakan penyebab utama PONV

dini (0-2 jam setelah pembedahan); anestesi ini tidak berdampak pada

PONV yang tertunda (2-24 jam setelah pembedahan).5

o Etomidate:

Infus etomidate terus menerus sebagai bagian dari teknik anestesi

seimbang secara nyata meningkatkan kejadian muntah pasca operasi.5

o Penggunaan ketamin sebagai agen induksi anestesi memiliki dampak

negatif pada pemulangan pasien, termasuk munculnya mimpi yang

jelas dan halusinasi, serta insiden mual dan muntah pasca operasi

(PONV) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang

menerima kombinasi barbiturat dan nitrous oxide. Efek muntah


tersebut disebabkan oleh pelepasan katekolamin endogen sebagai

reaksi sekunder terhadap penggunaan ketamin.5

o Propofol:

Obat ini populer untuk anestesi rawat jalan karena karakteristik

pemulihannya yang baik, termasuk pemulihan yang cepat dan

mengurangi PONV.

o Dibandingkan dengan teknik inhalasi atau intravena total (IV),

penggunaan teknik anestesi nitrous oxide-opioid-relaksasi cenderung

memiliki insiden muntah pasca operasi yang lebih tinggi. Kemunculan

muntah saat menggunakan anestesi campuran terkait dengan

penggunaan kombinasi opioid-nitrogen oksida, yang memiliki efek

langsung dalam merangsang zona pemicu mual (CTZ).

o Opioid adalah jenis obat yang dapat menyebabkan muntah melalui

rangsangan terhadap reseptor opioid yang berada di zona pemicu mual

(CTZ). Meskipun kontribusi opioid selama operasi cenderung lemah

dalam merangsang muntah, tidak ada perbedaan signifikan di antara

berbagai jenis opioid dalam hal efek ini. 5,6

 Anestesi Regional

Untuk mengurangi risiko mual dan muntah pasca operasi (PONV)

secara signifikan dibandingkan dengan anestesi umum. Pasien yang

menerima anestesi regional memiliki risiko PONV yang sembilan


kali lebih rendah daripada mereka yang menerima anestesi umum.

Proses muntah setelah prosedur blok saraf regional cenderung lebih

jarang terjadi dibandingkan dengan anestesi umum. Namun, dalam

blok saraf pusat, risiko muntah lebih tinggi dibandingkan dengan

blok saraf perifer karena dampak pada sistem saraf simpatis yang

terkait, yang dapat menyebabkan hipotensi postural yang kemudian

berkontribusi pada mual dan muntah. Dalam kasus anestesi epidural

dengan penggunaan opioid, insiden mual mungkin lebih rendah

dengan penggunaan opioid yang lebih larut dalam lemak seperti

fentanil dan sufentanil, karena distribusi rostral yang lebih terbatas

dari tempat suntikan epidural lumbal ke zona pemicu mual (CTZ)

dan pusat muntah, berbeda dengan opioid kurang larut dalam lemak

seperti morfin.5,6,7

II.5.4 Faktor pasca operasi

a. Nyeri: Nyeri visceral atau panggul adalah penyebab umum muntah pasca

operasi.

b. Ambulasi: Gerakan tiba-tiba, perubahan posisi, transportasi dari unit

pemulihan pasca anestesi ke bangsal pasca operasi dapat memicu mual dan

muntah pada pasien yang telah menerima senyawa opioid.

c. Opioid: Opioid Pasca operasi meningkatkan risiko PONV dengan cara yang

bergantung pada dosis, efek ini tampaknya bertahan selama opioid digunakan
untuk pengendalian nyeri pada periode pasca operasi.30 Terlepas dari rute

pemberian, insidensi mual dan muntah tampaknya serupa. Agen antiinflamasi

nonsteroid dapat digunakan pada periode perioperatif untuk mengurangi

kebutuhan opioid

d. Oksigen tambahan tidak lagi direkomendasikan untuk pencegahan PONV.

II.6 Penilaian PONV dengan skor APFEL

Pasien harus dinilai mengenai risiko awal PONV mereka berdasarkan alat

penilaian risiko APFEL untuk mengenali tingkat risiko mereka dan melakukan

penanggulangan yang sesuai. Selain itu, literatur juga merekomendasikan untuk

menilai faktor risiko berdasarkan faktor yang berhubungan dengan pasien, yang

berhubungan dengan anestesi, dan yang berhubungan dengan pembedahan. Kita dapat

menggunakan skor APFEL untuk memprediksi PONV yang mempertimbangkan

empat faktor risiko utama: Jenis kelamin perempuan, Riwayat mabuk perjalanan atau

PONV sebelumnya, Bukan perokok, dan Penggunaan opioid pasca operasi.1

Tentukan jumlah faktor risiko untuk PONV dengan menggunakan skor risiko

yang disederhanakan dari Apfel. Sesuai dengan pedoman, skor Apfel dibagi menjadi

Rendah (0–1), Ringan (2), dan Tinggi (3–4).8

Faktor Risiko Nilai


Penggunaan opioid pasca operasi 1
Bukan merokok 1
Jenis Kelamin Perempuan 1
Riwayat mabuk perjalanan atau PONV sebelumnya 1
Skor atau Jumlah 0-4
Tabel 2.1. Skor Apfel

II.7 Tatalaksana PONV

II.7.1 Terapi non farmakologi

Berbagai macam teknik nonfarmakologis telah digunakan untuk mengendalikan

gejala muntah pada periode pasca operasi secara sendiri atau kombinasi, termasuk

diantaranya adalah akupresur, akupunktur, dan stimulasi saraf listrik transkutan

(TENS). TENS yang dikombinasikan dengan gelang yang ditekan pada titik P-6

Neiguan efektif dalam mencegah PONV setelah laparoskopi kolesistektomi.

Terapi musik diduga dapat mengurangi kecemasan pasien, rasa sakit, dan

muntah, lama rawat inap di rumah sakit, dan kelelahan setelah pembedahan, seperti

perbaikan hernia, angiografi koroner, penggantian katup, bedah jantung, bedah

payudara, bedah sesar elektif, sigmoidoskopi, kolonoskopi, artroplasti lutut, bedah

tangan, sistoskopi, histerektomi, bedah ginekologi, bedah varises, bedah perut umum,

kolesistektomi laparoskopi, dan prosedur urologi. Namun, penelitian lain

menunjukkan bahwa terapi musik tidak secara signifikan mengurangi PONV.

Modalitas alternatif lain seperti pijat kaki dilaporkan dapat mengurangi rasa sakit dan

kejadian mual dan meningkatkan sirkulasi darah pada pasien yang menjalani

laparoskopi kolesistektomi.

Es batu beku mengurangi PONV pada pasien dengan risiko tinggi PONV yang

menjalani operasi pembedahan penggantian sendi. Tujuan terapeutik penting lainnya


untuk profilaksis PONV adalah untuk menghindari desaturasi oksigen bedah dan

mempertahankan saturasi oksigen jaringan otot pada > 70% dari nilai awal dan

saturasi oksigen otak normal. Terapi alternatif nonfarmakologis ini dapat

menghasilkan efek aditif terhadap obat antiemetik standar tanpa meningkatkan efek

samping atau menghasilkan interaksi obat yang merugikan.

II.7.2 Terapi Farmakologi

Penanganan dan profilaksis intraoperatif pada tahap ini, rencana yang tepat harus

disusun untuk intra dan pasca operasi manajemen untuk pasien dengan risiko

menengah dan tinggi.9

o Cairan yang memadai (kristaloid 10-30 ml/kg)

o Metode hemat opioid (NSAID, parasetamol, agonis alfa, infus lignokain

untuk prosedur abdomen, ketamin, anestesi lokal/neuraxial/regional)

o Anestesi yang mudah menguap dan anestesi hemat nitrous oxide (N2O)

(Total Anestesi Intravena)

o Menghindari antikolinesterase untuk pemulihan

o Penggunaan antiemetik spesifik dari kelas yang berbeda: 1-2 agen untuk

menengah dan 3 atau lebih banyak obat untuk pasien berisiko tinggi.

Kelas antiemetik yang disarankan:9

a. Agen lini pertama

1. Kortikosteroid (deksametason)

2. Antagonis 5HT (ondansetron)


b. Agen lini kedua:

1. Antagonis reseptor dopamin 2 (proklorperazin, metoklopramid)

2. butyrophenone (droperidol, haloperidol)

c. Agen lini ketiga

1. Antikolinergik (hyoscine)

2. Antihistamin (siklizin, prometazin) hati-hati.

Perhatian khusus dengan prometazin - daftar terbatas karena efek kaustik

(nekrotik) jaringan jika diekstravasasi. Hanya digunakan pada PONV yang parah

sebagai pengobatan lini terakhir.

Pengobatan PONV paling efektif dengan kombinasi agen, dan pencegahan lebih

baik daripada memulai terapi setelah timbulnya gejala. Banyak fasilitas kesehatan

telah mengembangkan algoritme standar berdasarkan skor risiko dari faktor-faktor

yang tercantum di atas. Misalnya, memiliki 4 faktor risiko dapat berkaitan dengan

kira-kira 80% kemungkinan PONV. Dalam kondisi seperti ini, beberapa algoritme

menyarankan 4 agen antiemetik untuk digunakan sebagai profilaksis sebagai

pencegahan. Agen yang digunakan sebagai antiemetik termasuk antagonis serotonin

(antagonis 5-HT3) seperti ondansetron, agen antidopaminergik seperti droperidol,

antihistamin seperti dimenhidrinat, dan obat transdermal antikolinergik skopolamin

(paling baik digunakan sebelum operasi). Selain itu, deksametason steroid dosis

rendah biasanya diberikan sebagai pengobatan lini pertama atau kedua, dan obat baru

aprepitant (antagonis NK1) telah terbukti sangat berguna untuk pencegahan PONV
ketika diberikan pada periode sebelum operasi. Metoklopramid, selain mengurangi

risiko aspirasi dengan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah dan

meningkatkan pengosongan lambung, juga memiliki efek antiemetik.,8,10


Perawatan setelah operasi untuk pasien yang gagal melakukan profilaksis atau

yang tidak diobati yang berisiko

o Memulai formulir GS MR174A Jalur Mual dan Muntah Pasca Operasi

o Dosis dan waktu pemberian obat yang dipilih harus dicatat dan

ditandatangani.

o Skor mual harus didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan observasi

rutin di bangsal.

Tabel 2.2. Pengamatan selama perawatan rutin di bangsal.

SKOR MUAL

0 = Tidak ada mual − Jika skornya ≥1, lanjutkan sesuai diagram alur di

formulir.
1 = Mual saja
− Jika pengobatan gagal dalam 3 jam berikutnya, Anda

2 = 1-2 kali muntah dalam 15 menit harus segera mendaftar untuk rawat inap hari itu juga.

− Tindak lanjut oleh dokter anestesi yang hadir atau

dokter anestesi yang sedang bertugas harus dilakukan.


3 = lebih dari 2 kali muntah atau
− Dokumentasi dalam catatan anestesi dan filenya.
muntah terus menerus
Tabel. 2.3: Afinitas lokasi reseptor dari obat antiemetik yang tersedia
Jumlah tanda positif (+) menunjukkan aktivitas reseptor.
(Tabel ini dimodifikasi dengan izin dari White PF (ed). Anestesi dan Pembedahan Rawat Jalan.
London, W.B. Saunders, 1997 Halaman 442133)
Tabel 2.4. Dosis profilaksis dan durasi pemberian obat antiemetik

Golongan obat Obat Dosis Waktu Efek samping


Serotonin (5-HT3 Ondansetron 4-8 mg secara Akhir operasi Sakit kepala, konstipasi, kemerahan, kelelahan,
receptor) intravena (IV) tidak enak badan, peningkatan enzim hati
antagonists setiap 4-8 jam
Granisetron 1–2 mg IV

Ramosetron 0.3 mg IV0.1 mg


PO

Palonosetron 0.075–0.25 mg
IV
Kortikosteroid Dexamethasone 4–10 mg IV Setelah induksi anestesi Peningkatan kadar glukosa darah, diabetes
melitus, hipotensi/hipertensi
Butirofenon Droperidol 0.625–1.25 mg Setelah induksi anestesi Efek psikomimetik, gejala ekstrapiramidal,
IV penyakit Parkinson, sedasi, pusing, interval QT
yang berkepanjangan
Antagonis Aprepitant 40 mg orally 1-2 jam sebelum induksi Sakit kepala, konstipasi, kelelahan
neurokinin Fosaprepitant 150 mg IV Setelah induksi anestesi
(reseptor NK-1)
Antikolinergik Scopolamine Tempel Malam hari sebelum operasi Pusing, mulut kering, gangguan penglihatan,
transdermal 0,3- atau waktu sebelum operasi takikardia, kebingungan, retensi urin
0,6 setiap 24 jam
Antagonis Metoclopramide 10–25 mg IV 15-30 menit sebelum akhir Sedasi, hipotensi (injeksi cepat), sakit kepala,
Dopamin (D2) operasi gejala ekstrapiramidal
Amisulpride IV 5–10 mg IV Saat induksi anestesi
I. Obat antiemetik perioperatif yang digunakan untuk pengobatan dan/atau

pencegahan PONV

Bruderer dkk mengusulkan profilaksis PONV standar untuk pembedahan rawat

jalan berdasarkan skor risiko Apfel pasien, ondansetron (skor risiko Apfel 2),

deksametason tambahan (skor risiko Apfel 3), dan droperidol tambahan (skor risiko

Apfel 4).

Kekhawatiran terhadap peresepan obat anti-muntah yang meluas terutama terkait

dengan peningkatan biaya yang terkait dengan praktik ini, terutama ketika antiemetik

eksklusif yang mahal diresepkan. Selain itu, efek samping dan interaksi obat yang

merugikan yang terkait dengan penggunaan rutin antiemetik profilaksis juga menjadi

perhatian lain (misalnya efek ekstrapiramidal, sedasi, aritmia, hipotensi ortostatik).

Efek samping yang terkait dengan penggunaan rutin obat antiemetik profilaksis

(misalnya kegelisahan, mulut kering, mengantuk, sakit kepala, takikardia, hipotensi,

dan kelelahan) juga dapat memperpanjang masa rawat inap di fasilitas bedah dan

waktu untuk memulai kembali aktivitas rutin kehidupan sehari-hari.

Obat antiemetik yang saat ini tersedia untuk pengobatan dan pencegahan PONV

meliputi antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine (5-HT3), antagonis reseptor

neurokinin-1 (NK-1), kortikosteroid, butyrophenones, metoklopramid, fenotiazin,

proklorperazin, antihistamin, dan antikolinergik (Tabel 2.5). Dosis profilaksis

konvensional dan waktu yang disarankan untuk pemberian antiemetik tercantum pada
Tabel 5. Apfel et al. melaporkan bahwa droperidol, deksametason, dan dondansetron

memiliki kemanjuran antiemetik yang serupa ketika diberikan untuk profilaksis.

1. Antagonis reseptor NK-1.


Antagonis reseptor NK-1 dengan nilai waktu paruh eliminasi yang panjang efektif

untuk profilaksis dan pengobatan PONV. Gesztesi dkk. menemukan bahwa antagonis

reseptor NK-1 CP-122 (200 mg PO) mengurangi episode emetik dibandingkan

dengan ondansetron (4 mg IV) selama 24 jam pertama setelah pembedahan

ginekologi.

Fosaprepitant 150 mg IV, formula lipid yang larut dalam air dari antagonis

reseptor NK-1, dibandingkan dengan ondansetron 4 mg IV ketika diberikan sebelum

induksi anestesi pada pasien rawat inap dengan risiko PONV sedang hingga tinggi

(skor Apfel yang disederhanakan ≥2) yang menjalani anestesi umum, didapatkan

penurunan yang lebih besar pada kejadian muntah selama 48 jam pertama setelah

pembedahan.

2. Antagonis dopamin dan obat gastrokinetik.

Metoklopramid merupakan salah satu antiemetik yang paling banyak digunakan

untuk mengobati PONV jika antagonis 5-HT3, deksametason, dan/atau profilaksis

droperidol tidak berhasil. Sebuah telaah sistematis melaporkan bahwa pada pasien

yang menjalani persalinan sesar dengan anestesi neuraxial, penggunaan

metoklopramid 10 mg IV efektif dan aman untuk pencegahan awal PONV.

Amisulpride telah terbukti efektif dalam mengobati PONV setelah profilaksis yang
gagal dalam mengobati pasien dengan risiko PONV rendah hingga sedang yang tidak

menerima profilaksis PONV sebelumnya, pasien dengan risiko sedang hingga tinggi,

atau pasien dengan risiko tinggi PONV yang mengalami gejala muntah setelah

profilaksis dengan deksametason atau deksametason.

3. Butyrophenone.

Droperidol, yang bekerja pada reseptor dopamin sentral, adalah pengobatan

antiemetik yang sangat hemat biaya, terlepas dari risiko efek samping ekstrapiramidal

dan potensi untuk memperpanjang interval QT elektrokardiografi.

4. Steroid glukokortikoid.

Deksametason, suatu kortikosteroid, telah terbukti sebagai antiemetik yang efektif

bila diberikan dengan dosis 4-12 mg IV. Namun, Ormel dkk. menemukan bahwa

deksametason 4-5 mg sama efektifnya dengan 8-10 mg dalam hal kemanjuran

antiemetik Singh dkk menyimpulkan bahwa deksametason memiliki efektivitas

antiemetik yang sama dibandingkan dengan antagonis reseptor 5-HT3 hingga 24 jam

setelah operasi, namun masih ada kekhawatiran mengenai potensi komplikasi

(misalnya, penyembuhan luka yang tertunda, hiperglikemia, dan risiko infeksi) pada

pasien yang "berisiko" (misalnya, penderita diabetes).

Betametason juga telah terbukti sebagai antiemetik yang efektif .Aasboe et al.

membandingkan betametason 12 mg intramuskular (IM) dengan saline ketika

diberikan 30 menit sebelum dimulainya operasi dan melaporkan bahwa betametason


mengurangi rasa sakit dan mual pasca operasi pada pasien rawat jalan yang menjalani

operasi rawat jalan kaki (hallux valgus) atau prosedur hemoroid.Nordin et al. yang

membandingkan betametason 8 mg per os (PO) dan betametason 8 mg IV ketika

diberikan 1 jam sebelum induksi anestesi pada pasien yang menjalani operasi bypass

lambung Roux-y, betametason memiliki manfaat yang terbatas dalam mencegah

PONV.
BAB III

KESIMPULAN

Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah pengalaman tidak

menyenangkan yang terjadi setelah proses pembedahan dan dapat mempengaruhi

pasien dalam waktu 24 jam setelah operasi dilakukan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi PONV meliputi faktor pasien seperti jenis kelamin, riwayat mabuk

perjalanan, dan merokok, serta faktor pra operasi seperti puasa perioperatif dan

kecemasan. Faktor intraoperatif, seperti jenis pembedahan, durasi operasi, dan tipe

anestesi yang digunakan, juga memiliki pengaruh besar terhadap risiko PONV. Pasca

operasi, faktor seperti nyeri, ambulasi, dan penggunaan opioid juga dapat memicu

mual dan muntah.

Penilaian risiko PONV dapat dilakukan dengan menggunakan skor APFEL, yang

mempertimbangkan faktor risiko seperti jenis kelamin, riwayat mabuk perjalanan

atau PONV sebelumnya, merokok, dan penggunaan opioid pasca operasi. Skor risiko

ini membantu dalam meramalkan tingkat risiko PONV pada pasien, sehingga

tindakan pencegahan dan penanganan yang sesuai dapat dilakukan. Meskipun telah

ada perkembangan dalam pengobatan mual dan muntah pasca operasi, kejadian

PONV masih relatif tinggi, terutama pada kelompok pasien dengan faktor risiko

tertentu. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan lebih lanjut diperlukan untuk

mengatasi masalah ini secara lebih efektif.


DAFTAR PUSTAKA

1. Teshome D, Fenta E, Hailu S. Preoperative prevention and postoperative

management of nausea and vomiting in resource limited setting: A systematic

review and guideline. Int J Surg Open. 2020;27:10-17.

doi:10.1016/j.ijso.2020.10.002

2. Daniel C. Sizemore; Abhishek Singh; Anterpreet Dua; Karampal Singh; Brian

W. Grose. Postoperative Nausea. Published online 2022.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK500029/

3. White PF, Elvir-Lazo OL, Yumul R, Cruz Eng H. Management strategies for

the treatment and prevention of postoperative/postdischarge nausea and

vomiting: An updated review. F1000Research. 2020;9.

doi:10.12688/f1000research.21832.1

4. Denholm L, Gallagher G. Physiology and pharmacology of nausea and

vomiting. Anaesth Intensive Care Med. 2018;19(9):513-516.

doi:10.1016/j.mpaic.2018.06.010

5. Shaikh S, Nagarekha D, Hegade G, Marutheesh M. Postoperative nausea and

vomiting: A simple yet complex problem. Anesth Essays Res. 2016;10(3):388.

doi:10.4103/0259-1162.179310
6. Jabalameli M, Rouholamin S, Gourtanian F. A comparison of the effects of

fentanyl and remifentanil on nausea, vomiting, and pain after cesarean section.

Iran J Med Sci. 2011;36(3):183-187.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23357939

7. Lee H-M, Kil HK, Koo BN, Song MS, Park JH. Comparison of Sufentanil-

and Fentanyl-based Intravenous Patient-controlled Analgesia on Postoperative

Nausea and Vomiting after Laparoscopic Nephrectomy: A Prospective,

Double-blind, Randomized-controlled Trial. Int J Med Sci. 2020;17(2):207-

213. doi:10.7150/ijms.39374

8. Stanford Medicine, School of Medicine DA. PONV Prophylaxis Guidelines.

https://ether.stanford.edu/policies/PONV_prophylaxis_guidelines.html

9. Principles G. Post-Operative Nausea and Vomiting Guideline. 2022;

(December):1-6.

https://www.wacountry.health.wa.gov.au/~/media/WACHS/Documents/About

-us/Policies/Post-Operative-Nausea-and-Vomiting-Guideline---Albany-and-

Katanning-Hospitals.PDF?thn=0

10. Gan TJ, Belani KG, Bergese S, et al. Fourth Consensus Guidelines for the

Management of Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg.

2020;131(2):411-448. doi:10.1213/ANE.0000000000004833

Anda mungkin juga menyukai