Anda di halaman 1dari 24

Islam Sebagai Objek Studi dan Penelitian

Mirza Azkia Muhammad Adiba

Mirza Azkia Muhammad Adiba

Follow

6 min read

Sep 25, 2022

Share

A. Islam Sebagai Objek Kajian dan Penelitian

Islam mempunyai peran serta kontribusi besar dalam kehidupan manusia saat melaksanakan aktivitas
dan kewajiban, sehingga mampu melindungi dan menyelematkan. Seperti dari arti Islam sebagai tujuan
menuju keselamatan, karena itu dari abad 19 agama Islam sudah dijadikan objek atau kajian studi
hingga penelitian agama hingga dewasa ini.

Studi Kajian Islam dibangun berlandaskan aksiologis atau tujuan tertentu, kajian berkaitan dengan Islam
tentu diarahkan untuk kemanfaatan tertentu. Untuk sebagai penganut Islam sendiri, kajian ini
dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mendalam dan benar menegnai agama Islam dari
berbagai aspeknya, dan diharapkan umat muslim sendiri mampu menjalankan sekaligus mengamalkan
secara benar, tepat dan istiqomah.

Dalam konteks aga Islam sebagai objek studi (penelitian), Mudzhar membuat kategorisasi agama Islam
atas Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai hasil dari sejarah. Seperti pada umunya, objek penelitian
atau studi mempunyai dua aspek, historis dan normatif.
Memahami Islam secara menyeluruh merupakan hal sangat penting meskipun tidak harus secara detail,
menurut Nasrudin ada empat cara untuk memahami Islam secara benar.

1) Islam harus dipelajari dari sumber asli, Al-Qur’an dan As-sunnah Rasulullah

2) Islam harus dipelajari secara integral tidak parsial

3) Islam dipelajari dari perpustakaan dan ditulis oleh ulama besar, kaum za’uma dan sarjana Islam.

4) Islam dipelajari dari ketentuan normatif teologis di Al-Qur’an, kemudian dihubungkan dengan
kenyataan histors, empiris, dan sosiologis di masyarakat.

Sementara, terdapat lima objek dalam melakukan penelitian kajian studi Islam, diantaranya;

1) Scripture (naskah) atau sumber ajram-ajaran Islam

2) Penganut atau pemimpuin agama Islam yaitu sikap, perilaku, penghayatan dari penganutnya.

3) ritus-ritus, lembaga, ibadahnya,seperti shalat, haji, puasa, pernikahan, waris, dan sejenisnya.

4) alat-alat (sarana) dalam elaborasi dan pengalaman agama Islam, seperti Musholla, Masjid, Sekolah
Islam, dan lain-lain.

5) Organisasi keagamaan tempat kumpulan orang Islam, contohnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’,
Persis, dan lain-lain.

B. Metode Pengkajian Islam


Metode digunakan untuk memberikan pemahaman Islam secara komperhensif dan utuh, dengan
tujuannya memamdu perjalanan umat muslim dalam menghadapi dan menjawab permasalahan ajaran
keislaman secara varoatif. Dengan menggunakan metode yang tepat diharapkan mampu melahirkan
sebuah perbaikan baik secara internal maupun eksternal.

Penelitian agama dan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut dapat
membedakan jenis metode penelitian. Penelitian agama sasarannya adalah agama sebagai doktrin,
pengembangan metodologi penelitian sudah terbuka bahkan sudah pernah dirintis. Sementara
penelitian keagamaan sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial, tidak perlu membuat metodelogi
penelitian sosial secara umum.

J.G. Frazer, mendefinisikan agama adalah sebuah ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan
yang lebih tinggi daripada manusia yang dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya lam dalam
kehidupan manusia.

Sementara, Afif Muhammad memaparkan bahwa terdapat metode-metode dalam penelitian pemikiran
(Keagamaan), diantaranya

1) Metode Komparasi

Metode ini bertujuan untuk menemukan tipe, karakter atau kategori sebuah pemikiran, untuk
selanjutnya diposisikan dalam bentuk peta pemikiran secara umum.

Komparasi dapat didefinisikan sebagai upaya penting untuk melakukan penyelidikan dan bagian inti dari
proses pembentukan, pengujian dan penerapan generalisasi tentang agama pada peringkat manapun.
Asumsi ini berlandaskan: Pertama, keragaman informasi, keterangan, pendapat yang selalu muncul
dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya masalah agama dan antar agama. Kedua, Kalangan
intelektual adalah orang yang selalu membutuhkan keragaman pendapat, argumentasi, prinsip,
keyakinan, mazhab, agama dan lain-lain, untuk menjadi bahan kajian ternmasuk melalui perbandingan.

2) Metode Deskripsi
Metode ini dapat digunakan untuk meneliti sebuah pemikiran tanpa adanya analisa secara kritis, dengan
menggunakan objek penelitiannya adalah gagasan atau ide manusia atau seorang tokoh yang
terkandung dalam bentuk manuskrip, naskah, teks, media cetak seperti buku, kitab atau buku.

3) Metode Filologi

Metode ini dipergunakan apabila sumber datanya adalah naskah atau manyskrip, dengan tujuan untuk
mendekripsikan secara cermat dan kritis pemikiran dalam naskah melalui analisis tajam terhadap kata-
kata yang digunakan.

4) Metode Hermeneutika

Secara umum, metode ini memfokuskan pada tiga aspek, yaitu Dunia pengarang, dunia teks, dunia
pembaca. Penekanan terhadap metode fenomenologis berfokus pada mendudukkan yang lebih tinggi
kemampuan manusia untuk berpikir reflektif dan jauh lebih adalah menggunakan logika reflektif,
disamping logika induktif dan deduktif serta logika probolistik.

5) Metode Fenomenologi

Fenomenologi artinya pandangan berfikir dengan berfokus pada pengalaman subjektif manusia dan
interpretasi duina. Dalam pendekata studi Islam melalui kajian fenomenologis, meliputi;

a. Pengklasifikasian terhadap fenomena dan tradisi keagamaan yang berbeda.

b. Pencarian terhadap motif atau ide dasar dalam tradisi keagamaan.

c. Pendefinisian fenomena keagamaan dalam fenomena keagmaan dalam struktur fondamental asli

d. Pembahasan dan pengetahuan terhadap fenomena keagamaan sesuai dengan struktur manusia
e. Intrepretasi sejarah

6) Metode Institusi

Adalah metode perenungan (kontemplasi) yang intens dan mendalam. Penggunaan metode ini adalah
orang atau manusia dapat menentukan pendapat mengenai sesuatu berdasarkan pengetahuan yang
langsung atau didapat secara cepat melalui proses tak disadari atau tak dipikirkan terlebih dahulu.

7) Metode Tekstual

Metode tekstual merupakan cara mengkaji Islam melalui pendekatan wahyu, baik dalam bentuk tulisan
atau Al-Qur’an maupun tak tertulis atau As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama-ulama dari
klangan salafi menggunakan metode ini.

8) Metode Filsafat

Penggunaan metode ini bertujuan untuk memberikan kesimpulan umum dengan melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap akar permasalahan. Metode ini sifatnya dasar dengan cara radikal dan integral,
karena pembahasannya dari segi esensi.

9) Metode Analisis Semiotik

Secara umum metode ini mempelajari ilmu tanda atau signifikasi. Tanda sendiri mempunyai peran
penting dalam agama. Pemahaman agama Islam tidak terbatas pada tulisan saja, namun situs, kesenian,
dan lainnya juga mempunyai satu ikatan satu antar lainnya.

Agama Sendiri bisa diteliti melalui beberapa metode atau dengan cara lain, diantaranya:
1) Historis

Metode ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiswa masa lalu dengan sistematis dan obyek dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi dan menyusun secara sistematis bukti-bukti untuk
mengemukakan fakta dan kesimpulan yang kuat.

2) Penelitian kasus dan penelitian lapangan

Metode ini mempelajari secara intensif mengenai latar belakang keadaan dan interaksi lingkungan uint
sosial, individual, kelompok, dan atau lembaga masyarakat.

3) Penelitian korasional

Bertujuan melakukan deteksi terhadap variasi-variasi pada suatu faktor dengan variasi pada faktor atau
faktor yang lebih,

4) Penelitian kausa-komperatif

Menyelidiki adanya kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara berdasar pengamatan terhadap
akibat yang ada mencari kembali faktor yang menjadi penyebab melalui data tertentu.

5) Penelitian eksperimental sungguhan

Dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara mengenekan kepada
satu atau lebih kemlompok eksperimental dan memperbandingkan hasil dengan satu atau kelompok
kontrol yang dikenal kondisi perlakuan.

6) Penelitian tindakan
Metode ini memiliki tujuan pengembangan keterampilan atau pendekatan baru dan memecahkan
masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau aktualisasi lainnya.

7) Penelitian Survey

Dalam metode ini informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner.

8) Grounded research

Adalah penelitian dikumpulkan menggunakan wawancara bebas karena peneliti tidak memulai
penelitiannya dengan teori atau hipotesis yang akan diuji, melainkan bertolak dari data dari yang
dikumpulkan.

C. Pendekatan Pengkajian Islam

Pendekatan studi Islam merupakan cara kerja dengan tujuan mempermudah seseorang untuk
mengetahui serta mendalami Islam secara uinversal dengan harapan tidak muncul pola pikir dangkal.
Metodelogi studi Islam mempunyai peran sebagai usaha secara sistematis dalam membentuk manusia
agar bersikap, berpikir dan bertindak sesuai dengan ajaran Islam untuk keselamatan dan kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.

Charles mengemukakan bahwa ada dua jenis penulis agama. Pertama, peneliti dilandasi dengan
komitmen terhadap agamanya. Kedua, peneliti mempunyai tujuan untuk menuntaskan rasa ingin
tahunya. Keduanya, kemudian dipetakan kembali sebagai berikut.

1) Pendekatan Normatif (Keagamaan)

Pendekatan ini memfokuskan terhadap aspek atau kepentingan dari setiap agama masing masing,
prinsionya adalah bagaimana memahami teks-teks tertulis dalam kitab suci atau Al-Qur’an, ada tiga
pendekatannya.
a. Pendekatan Filologi dan Historis

Pendekatan Filologi ini digunakan untuk memahami naskah-naskah kuno dari penulisnya, biasanya
berupa naskah atau manuskrp dituli ulama terdahulu agar mampu dipahami sehingga dapat
dilaksanakan di masa kini dan mendatang. Ruang lingkup filologi biasanya mencangkup sejarah, teologi
hukum, mistik dan lain-lain.

Sementara pendekatan Historis merupakan analisa atas peristiwa masa silam, kajiannya diambil dari
kondisi, pengalaman terdahulu perubahan dan perkembangan sebuah peristiwa, hukum bahkan cerita
sejarah sexara akurat dan detail.

b. Pendekatan Ilmu Sosial

Pendekatan ini dilakukan dengan sesama manusia, antar organisasi, antar lembaga, dengan tujuan
mempercepat silaturahmi dan saling mengenali satu sama lain. Objek pendekatan ini adalah masyarakat
yang bersifat empiris, teoritis, dan kumulatif.

c. Pendekatan Fenomenologi

Fenomenologi untuk mengkaji Islam adalah seorang peneliti memahami dan menganalisis Islam bukan
atas dasar nilai-nilai tertuang dalam teks bersifat normatif, namun bagaimana peneliti memahami dan
menganalisis berdasarkan pemahaman dan pengamalan umat muslim. Ciri Pendekatan Fenomenologi,
yaitu. Pertama, sebagai usaha untuk memahami agama lain dengan melepaskan atribut agama peneliti.
Kedua, sebagai usaha untuk mengelempokkan struktur dasar dari fenomena agama dengan melintasi
batas dan komunitas agama dan bahasa.

Daftar Pustaka

Afif Muhammad.2004. Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid
Quthb. Bandung: Pena Merah
Arifin,H.M. 1992. Menguak Misteri Ajaran-Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: golden trayon press

Binder, Leonard. 1976. The Study of The Middle East; Research and Scholarship ib The Humanities an
The Social Sciences. New York; John Wiley dan Sons

Moeleong,Lexy. 2005. Metodologi Penenlitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Moh. Nasir Mahmud. 2013. Orientalisme: Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam. Kudus:
MASEIFA Jendela Ilmu

Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir.2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana

Muhajir, Pendekatan Komparatif Dalam Studi Islam, Jurnal Al-Munqidz, Volume 2, Edidi 2 Juli 2013

Muhajir,Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin

Nata,Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam. Jakarta:Rajawali pers

Rozak, Abdul. 2001. Cara Memahami Islam. Metodologi Studi Islam. Bandung: Gema Media Pusakatama

Suparlan, Metode Pendekatan Dalam Kajian Islam. FONDATA: Jurnal Pendidikan dasar, Volume 3, Nomor
1, Maret 2019

Sya Alatas, Pengertian Studi Islam, Islam Sebagai Objek Kajian, Pendekatan Islam Normatif dan Islam
Historis 1. №1 (2015)
3

Metodelogi

Studiislam

Komunikasi

Pengertian Filsafat Islam

Sebelum lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud
dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang
Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang Islam.
Karena berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan bertentangan satu sama
lain adalah hal yang wajar. Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo dan sophia. Philo berarti cinta dan
sophia berarti kebijaksanaan atau kebenaran. Sedang menurut istilah, filsafat diartikan sebagai upaya
manusia untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai Tuhan, alam semesta
dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan
tersebut. Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau “falsafah”. Karena
menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan
dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar kata falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan
dengan akar kata (wazan) fa’lala. Musa Asy’arie (2002:6) menjelaskan, bahwa hakikat filsafat Islam
adalah filsafat yang bercorak Islami, yang dalam bahasa Inggris dibahasakan menjadi Islamic Philosophy,
bukan the Philosophy of Islam yang berarti berpikir tentang Islam. Dengan demikian, Filsafat Islam
adalah berpikir bebas, radikal (radix) yang berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan
karakter yang dapat memberikan keselamatan dan kedamaian hati. Dengan demikian, Filsafat Islam
tidak netral, melainkan memiliki keberpihakan (komitmen) kepada keselamatan dan kedamaian (baca:
Islam). Menurut Al-Farabi dalam kitabnya Tahshil as-Sa’adah, filsafat berasal dari Keldania (Babilonia),
kemudian pindah ke Mesir, lalu pindah ke Yunani, Suryani dan akhirnya sampai ke Arab. Filsafat pindah
ke negeri Arab setelah datangnya Islam. Karena itu filsafat yang pindah ke negeri Arab ini dinamakan
filsafat Islam. Walaupun di kalangan para sejarawan banyak yang berbeda pendapat dalam penamaan
filsafat yang pindah ke Arab tersebut. Namun kebanyakan di antara mereka menyimpulkan, bahwa
filsafat yang pindah tersebut adalah filsafat Islam (Al-Ahwani, 1984:2). Dalam perspektif Islam, filsafat
merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran atau yang haq dengan
bahasa pemikiran yang rasional. Sebagaimana kata Al-Kindi (801-873M), bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia. Ibn Sina (980-1037M)
juga mengatakan, bahwa filsafat adalah menyempurnakan jiwa manusia melalui konseptualisasi hal
ihwal dan penimbangan kebenaran teoretis dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena
dalam ajaran Islam di antara nama-nama Allah juga terdapat kebenaran, maka tidak terelakkan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara filsafat dan agama (C.A Qadir, 1989: 8). Pada zaman dulu di
kalangan umat Islam, filsafat Islam merupakan kisah perkembangan dan kemajuan ruh. Begitu pula
mengenai ilmu pengetahuan Islam, sebab menurut al-Qur’an seluruh fenomena alam ini merupakan
petunjuk Allah, sebagaimana diakui oleh Rosental, bahwa tujuan filsafat Islam adalah untuk
membuktikan kebenaran wahyu sebagai hukum Allah dan ketidakmampuan akal untuk memahami Allah
sepenuhnya, juga untuk menegaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal (C.A. Qadir, 1989:
ix). Filsafat Islam jika dibandingkan dengan filsafat umum lainnya, telah mempunyai ciri tersendiri
sekalipun objeknya sama. Hal ini karena filsafat Islam itu tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam.
Filsafat Islam berpedoman pada ajaran Islam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam
adalah merupakan hasil pemikiran manusia secara radikal, sistematis dan universal tentang hakikat
Tuhan, alam semesta dan manusia berdasarkan ajaran Islam.

II. Filsafat, Ilmu dan Agama

Faishal Haq dalam makalahnya, Filsafah Agama dan Filsafah Ilmu Agama (Studi Tentang Perbedaan)
berkesimpulan, bahwa Filsafat Agama memiliki dua pengertian: pertama, berpikir tentang dasar-dasar
agama secara logis dan bebas tanpa terikat oleh ajaran agama dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan
kebenaran suatu agama; kedua, berpikir tentang dasar-dasar agama secara kritis-analitis dengan tujuan
untuk menyatakan kebenaran agama, bahwa ajaran agama tidak bertentangan dengan logika.
Sedangkan Filsafat Ilmu Agama adalah hasil kreasi pemikiran yang logis, sistematis dan radikal
berdasarkan pada pengalaman hidup, baik langsung atau tidak langsung mengenai keyakinan adanya
aturan hidup yang bersumber dari suatu kekuasaan yang absolut. Perbedaan keduanya menurut Faishal
adalah, bahwa Filsafat Agama membahas dasar-dasar agama secara analitis-kritis tanpa terikat oleh
ajaran-ajaran agama dan menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentangan dengan
logika. Sementara Filsafat Ilmu Agama adalah hasil kreasi berpikir berdasarkan pengalaman hidup
tentang dasar-dasar agama secara logis, sistematis dan radikal yang berguna bagi perkembangan ilmu
pada umumnya dan khususnya ilmu agama. Dari pengertian di atas, saya melihat belum ada perbedaan
yang berarti mengenai Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu Agama. Oleh sebab itu sebelum lebih jauh
membicarakan Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu Agama saya kira kita perlu memahami dulu apa itu
filsafat, ilmu dan agama.

Filsafat

Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan dan prinsip-
prinsip mencari kebenaran. Berfilsafat berarti berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat
dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos yang
berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat sebagaimana
pengertiannya semula termasuk bagian dari pengetahuan, sebab pada permulaannya (baca: zaman
Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretik maupun praktik). Akan tetapi lama
kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari
filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu eksakta,
lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat
Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van Peursen, 1989 : 1). Secara garis besar, Jujun S. Suriasumanteri
(dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991:14) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni:
(1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/ agama); (2)
pengetahuan tentang indah dan yang tidakindah (yang disebut dengan estetika/ seni) dan (3)
pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan logika/ilmu). Ilmu merupakan
suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi
merupakan misteri. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang
objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan
agama. Objek kajian filsafat meliputi objek material dan objek formal, fisik dan metafisik, termasuk
Tuhan, alam dan manusia, sedangkan objek formalnya adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (yang
wujud), baik yang fisik maupun yang metafisik. Ilmu (Ilmu Pengetahuan) Berbeda dengan filsafat, ilmu
berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk
meramalkan dan mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan
mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna sepenuhnya mengenai objek
yang diungkapkannya (Dep. P & K, tt.: 21 dan lihat Cony et al. 1988 : 45). Berbeda dengan filsafat, ilmu
hanya membatasi diri pada objeknya yang empiris dan terukur dari manusia dan alam nyata (fisik). Ilmu
mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan
mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat
rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal
(lihat juga Jujun, 1990: 106-107). Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang
berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah jelajah yang
bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan
sisi lain dari pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh maknanya. Filsafat
Ilmu Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara
untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya
dengan epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman
manusia, juga mengenai logika dan metodologi. Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan
filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filasafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu,
atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu (Koento Wibisono,1988 : 7). Karena pengetahuan
ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak
dapat dipishkan dari filsafat pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu seringkali tumpang tindih
(Koento Wibisono,1988 : 7). Agama Agama merupakan sistem kepercayaan terhadap sesuatu
yang dianggap memiliki kekuatan supra natural (Tuhan). Agama merupakan sistem peribadatan dan
penyembahan (worship) terhadap Yang Mutlak dan sistem peraturan (norma) yang mengatur hubungan
antarmanusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, unsur-unsur agama
meliputi: kepercayaan (kredo), peribadatan (ritus) dan norma. Agama merupakan sumber pengetahuan
tentang moral, penilaian mengenai yang baik dan yang buruk. Agama memberikan petunjuk tentang
tujuan yang harus dicapai oleh manusia. Antara filsafat, ilmu dan agama memiliki tujuan yang sama,
yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal
atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka
kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang
kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas
dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau
wilayah yang fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah
metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut
kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung
dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Pada umumnya agama dimulai dari
sikap percaya (iman), tetapi kadang-kadang juga dimulai dari keraguan sebagaimana dalam filsafat dan
ilmu. Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu
terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa
serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang
sebenarnya. Dalam konteks studi agama, manusia perlu menggunakan pendekatan secara utuh dan
komperehensif. Ada dua pendekatan dalam studi agama secara komperehensif tersebut, yaitu: Pertama,
pendekatan rasional-spikulatif. Pendekatan ini adalah pendekata filsafat (philosophical approach),
misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah eskatologis-
metafisik, epistemologi, etika dan estetika; kedua, pendekatan rasional-empirik. Pendekatan ini adalah
pendekatan ilmu (scientific approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait
dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan
sejarah masa lampau umat manusia. Bagi Jujun (1990:198), agama memerintahkan manusia untuk
mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup secara alamiah sesuai dengan tujuan
dan asas moral yang diridhai Tuhan. Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya
memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka akan membawa bencana
dan kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without religion is blind, religion without science is
lame. Secara rinci Franz Magnis Suseso (1991:20) menjelaskan, bahwa filsafat membantu agama dalam
empat hal: pertama, filsafat dapat menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif; kedua, filsafat
membantu memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama
dalam menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK dengan agama;
keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan ideologi-ideologi baru.

Filsafat Agama Atau Filsafat Ilmu Agama?

Lantas bagaimanakah dengan Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu Agama? Apakah Filsafat Agama
membicarakan agama dalam perspektif filsafat? Atau filsafat dalam perspektif agama? Apakah Filsafat
Ilmu Agama berarti berbicara tentang filsafat ilmu dalam persepektif agama? Atau agama dalam
perspektif filsafat ilmu? Atau berbicara tentang ilmu-ilmu agama dalam perspektif filsafat ilmu?
Sebetulnya term Filsafat Ilmu Agama itu tidak lazim digunakan, yang lazim digunakan adalah Filsafat
Agama (Philosophy of Religion), bukan Philosophy of Religious Science ataupun Philosophy of Religious
Studies. Persoalannya, apakah semua agama memiliki bangunan keilmuannya? Apakah agama itu ilmu?
Dalam konteks Islam, memang ada konsep tentang ilmu. Hal ini sebagaimana yang diakui oleh H.A.R.
Gibb, bahwa Islam lebih dari sekadar sistem teologi, tetapi ia sarat dengan peradaban (Islam is indeed
much more then a system of theology its complete of civilization). Islam memiliki sistem ajaran. Sistem
ajaran inilah yang kemudian menjadi sangat luas cakupannya. Ada ajaran tentang akidah, ajaran tentang
syari’ah dan ajaran tentang akhlak (etika). Tiga aspek ajaran dalam Islam itu masing-masing memiliki
perspektif bangunan keilmuannya. Dari ajaran akidah memunculkan Ilmu Kalam, dari ajaran syari’ah
memunculkan Ilmu Fiqh dan dari ajaran akhlak memunculkan Ilmu Akhlak (Etika). Dari sudut ini, maka
jika term Filsafat Ilmu Agama ini dapat digunakan (sebagai sesuatu yang lazim), maka yang dimaksud
adalah Filsafat tentang Ilmu Agama, seperti Filsafat Teologi (Filsafat Kalam), Filsafat Hukum Islam (Fiqh),
Filsafat Pendidikan Islam dan seterusnya. Apa yang ditulis oleh Harun Nasution dalam karyanya, Falsafat
Agama,* (Lihat, Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973), sesungguhnya juga
berisikan filsafat tentang Tuhan dan Manusia dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini, maka Filsafat
Agama yang ditulis oleh Harun lebih tepat disebut dengan Filsafat Teologi Islam (Filsafat Kalam), atau
Filsafat Islam.

III. Faktor-faktor Timbulnya Filsafat Islam

Timbulnya filsafat dalam dunia Islam dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor dorongan ajaran Islam

Untuk membuktikan adanya Allah, Islam menghendaki agar umatnya memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi. Dan penciptaan tersebut tentu ada yang menciptakannya. Pemikiran yang demikian itu
kemudian menimbulkan penyelidikan dengan pemikiran filsafat.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua hal: pertama,
karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena
pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat
diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka (Ghallab: 121). Agama Islam selalu menyeru
dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun
mendapatka perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-
Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka
pada posisi yang luhur Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan
pentingnya membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru: “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5). Sebagian ahli tafsir
berpendapat, Al-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan “iqra” dalam ayat pertama itu berarti
“belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti “bacalah dalam shalatmu”
dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu” (Binti Syathi’, 1968:20. Bandingkan dengan Jawad
Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim Mahmud, 1979:55-56). Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat
dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan agama dan dunia (Mahmud,
1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492). Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa
Malaikat pun diperintahkan untuk sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama: “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu memang orang-orang
yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-
32).

Faktor Perpecahan di Kalangan Umat Islam (intern)

Setelah khalifah Islam yang ketiga, Usman bin Affan terbunuh, terjadi perpecahan dan pertentangan di
kalangan umat Islam. Perpecahan dan pertentagan tersebut pada mulanya adalah karena persoalan
politik. Tetapi kemudian merembet ke bidang agama dan bidang-bidang lain. Untuk membela dan
mempertahankan pendapat-pendapat mereka serta untuk menyerang pendapat lawan-lawannya,
mereka berusaha menggunakan logika dan khazanah ilmu pengetahuan di masa lalu, terutama logika
Yunani dan Persi, sampai akhirnya mereka dapat berkenalan dan mendalami pemikiran-pemikiran yang
berasal dari kedua negeri tersebut. Kemudian mereka membentuk filsafat sendiri, yang dikenal dengan
nama filsafat Islam.

Faktor Dakwah Islam

Islam menghendaki agar umatnya menyampaikan ajaran Islam kepada sesama manusia. Agar orang-
orang yang diajak masuk Islam itu dapat menerima Islam secara rasional, maka Islam harus disampaikan
kepada mereka dengan dalil-dalil yang rasional pula. Untuk keperluan itu diperlukan filsafat.

Faktor Menghadapi Tantangan Zaman (ekstern)

Zaman selalu berkembang, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan segala perkembangan. Tetapi
hal itu bergantung kepada pemahaman umatnya. Karena itu setiap zaman berkembang, menghendaki
pula perkembangan pemikiran umat Islam terhadap agamanya. Pengembangan pemikiran tersebut
berlangsung di dalam filsafat.

Faktor Pengaruh Kebudayaan Lain

Setelah daerah kekuasaan meluas ke berbagai wilayah, umat Islam berjumpa dengan bermacam-macam
kebudayaan. Mereka menjadi tertarik, lalu mempelajarinya dan akhirnya terjadi sentuhan budaya
diantara mereka. Hal ini banyak sekali ditemukan dalam beberapa teori filsafat Islam, misalnya “teori
emanasi” dari Al-Farabi.

IV. Pertumbuhan Filsafat Islam

Filsafat, sebagaimana telah dijelaskan di muka berasal dari Keldania (sekarang Irak), kemudian pindah ke
Mesir, lalu ke Yunani, Suryani, dan akhirnya sampai ke negeri Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab
setelah datangnya Islam. Setelah kaum muslimin membentuk suatu negara raksasa yang membentang
dari penghujung negeri Cina di timur, sampai ke penghujung semenanjung Andalusia di Barat. Mereka
telah menerima dan memegang panji-panji peradaban dunia, mendalami berbagai disiplin ilmu dan seni,
serta merenungkan dasar-dasarnya. Watak ajaran Islam adalah terbuka, oleh sebab itu sesuai dengan
perkembangan dan perluasan wilayah Islam itu sendiri, maka ajaran Islam tidak bisa lepas dari
pergumulan dengan budaya dan pengetahuan bangsa lain serta berkembang semakin luas dan
menyangkut berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat. Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa
lain di dunia hampir tak bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya
kemurnian budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang memiliki pengaruh dan
bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas dan otentisitas ajaran. Oleh sebab itu ketika Islam
bersinggungan dengan budaya Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di
Yunanikan, diPersikan, diCinakan dst. Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian
berkembang sampai ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada akhir abad tersebut. Pada
wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati oleh karakteristik ajaran
Islam (baca: islamisasi). Karena sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan
kesempatan kepada pemeluknya untuk menyerap ide-ide dari banyak sumber (Khuz al-hikmata walau fi
ayyi wi’ain kana, Uthlub al-‘ilma walau bis-Shin). Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan umat
Islam menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina. Mereka mentransfer ilmu-
ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi bagian dari
peradaban Islam . Setelah diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari wahyu Tuhan.
Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran pandangan-pandangan kuno di
sekitar laut Tengah yang disistemasikan dan di susun dalam bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani.
Dari Aleksandria warisan itu dibawa ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen
Monofisit dan Nestorian hingga sampai Persia (melalui penterjemahan). Baghdad adalah sebuah kota
yang merupakan pusat studi ilmu pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu
pengetahuan yang bernama Bait al-Hikmah. Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani berpindah ke
Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke kota Haran pada zaman khalifah al-Must’dhid
(892-902). Pusat studi tersebut berpindah dari Haran ke Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang
mengajar di Baghdad saat itu antara lain: Quwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru
al-Farabi. Dari sinilah kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi hingga al-Ghazali dst.
Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam tidak bermaksud untuk menukilkan filsafat
secara langsung, dengan asumsi yang demikian itu belum dianggap penting, bahkan mereka tidak
bermaksud menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke Arab (Islam),
hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Hubungan itu telah
terjadi pada masa Jahiliyah walau hanya dalam batas tertentu. Sehubungan dengan perpindahan ilmu
asing ke Arab pada permulaan Islam, ada suatu cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah
sudah ada dokter yaitu, Al-Haris Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab. Diriwayatkan dari
Sa’ad Ibn Abi Waqas, bahwa ia pernah sakit dan Rasulullah datang menjenguknya, lalu Rasulullah
berkata (kepada Sa’ad): “Datanglah kamu kepada Haris Ibn Kildah, ia adalah seorang yang
mempraktikkan ilmu kedokteran”. Sebenarnya saat itu pengetahuan Al-Haris di bidang kedokteran
masih sedikit, ia belum menguasai pokok-pokok ilmu kedokteran dan cabang-cabangnya secara ilmiah,
karena hal itu memerlukan pengetahuan bahasa Suryani. Perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke
Jundishapur, serta penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah setelah dibangunnya
Iskandariyah, kota yang menjadi pusat peradaban Yunani. Pada masa kejayaan Iskandariyah ini banyak
ilmuawan yang bermunculan di sana. Mereka itu antara lain: Archimedes, Ptolemy, Galen, Euclid dan
lain-lain. Mereka telah meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti ilmu geometri, astronomi dan
kedokteran. Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan sampai pada abad ke-6
Masehi. Di sana lahir para ilmuwan generasi kedua yang menyusun kembali, memperbaiki dan
menyiapkan buku-buku para ilmuwan generasi sebelumnya untuk diajarkan kepada generasi
selanjutnya. Dari generasi kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan filsafat. Demikianlah halnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pindahnya filsafat ke Arab adalah
setelah Iskandariyah dibangun dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, dimana orang-orang Arab
menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat baik dari bahasa Yunani maupun dari
bahasa Suryani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan orang-orang
Arab pada mulanya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat. Kecenderungan bangsa Arab kala itu
pada ilmu pengetahuan bukan pada filsafat. Akan tetapi karena buku-buku yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab tersebut kebanyakan karya dari para Filosof Yunani, yang mencampuradukkan
antara filafat dan ilmu pengetahuan, maka orang-orang Arab yang mempelajari ilmu pengetahuan
terdorong pula untuk mengenal filsafat, mempelajari aliran-alirannya, riwayat hidup para filosof dan
pendapat-pendapat mereka mengenai hubungan ilmu pengetahuan dan filsafat. Karena pindahnya
filsafat ke negeri Arab tersebut adalah setelah datangnya Islam di negeri ini, maka akhirnya filsafat yang
pindah ke negeri Arab tersebut lebih dikenal dengan istilah filsafat Islam.

V. Perkembangan Filsafat Islam

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab belum mempunyai
filsafat. Akan tetapi dengan mengatakan bahwa filsafat tidak terdapat pada bangsa Arab pada
permulaan Islam, bukan berarti mereka tidak menghiraukan filsafat. Setelah filsafat meninggalkan
Yunani, ia dikembangkan oleh orang Islam, sehingga filsafat tersebut menjadi bagian terpenting dari
kebudayaan Islam. Beratus tahun filsafat itu lepas dari bangsa Yunani, selama itu pula filsafat dibangun
oleh orang Islam. Pada saat pertama kali filsafat itu pindah ke dalam masyarakat Islam belum kelihatan
bahwa filsafat tersebut merupakan bagian dari peradaban. Ia baru kelihatan peranannya dalam
peradaban Islam pada abad ke-9 Masehi, yaitu di masa pemerintahan Abassiyah. Filsafat muncul dalam
gelanggang pemerintahan Islam. Rupanya sebelum itu filsafat merupakan sesuatu yang belum matang di
kalangan kaum muslimin. Dari abad ke-9 sampai abad ke-12 filsafat berkembang dengan suburnya
dalam khazanah ilmu pengetahuann dan masyarakat Islam. Masa ini adalah masa perkembangan filsafat
yang tiada taranya dalam dunia Islam. Dunia Islam telah melahirkan ahli-ahli filsafat Islam yang banyak
jumlahnya, bahkan ada yang sampai diberi julukan sebagai “guru kedua” filsafat, yaitu Al-Farabi. Guru
pertamanya adalah Aristoteles, dan sampai saat ini belum ada guru ketiganya. Demikianlah halnya,
filsafat mengalami perkembangan yang pesat di dunia Islam yaitu pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Akan tetapi pada abad ke- 12 secara tiba-tiba perkembangan filsafat Islam terhenti, karena mendapat
serangan dari ahli-ahli agama. Banyak ahli-ahli filsafat dihukum sebagai orang-orang mulhid (atheis),
akibatnya pada akhir abad ke-12 menghilanglah filsafat dari kebudayaan Islam. Buku-buku filsafat
betapapun besar dan tinggi nilainya, dibakar dalam perunggunan di musim dingin dan akhirnya pada
abad ke 14. Tidak seorangpun lagi dalam dunia Islam yang berani mempelajari filsafat, apalagi
menamakan dirinya sebagai filosuf. Sebab dengan demikian akan menyebabkan dia dihukumi sebagai
orang mulhid. Sejak itulah perkembangan filsafat di dunia Islam menjadi tertinggal. Sementara dunia
Barat yang pada mulanya mempelajari filsafat dari orang-orang Islam mengalami kemajuan yang amat
pesat sampai saat ini. Demikianlah, filsafat Islam telah mengalami perkembangan yang pesat dalam
kurun waktu yang sangat lama, akan tetapi setelah mendapat serangan dari ahli-ahli agama, filsafat
Islam menjadi mandek. Kemandekan filsafat Islam inilah yang dianggap oleh sebagian kalangan, yang
menyebabkan tertinggalnya umat Islam saat ini dari negara-negara Barat. V1. Gerakan Keilmuan Islam
dan Pengaruhnya Terhadap Renaissance Wahyu pertama yang turun (Q.S. Al-’Alaq :1-5) itu --dan
sejumlah hadis Nabi-- memiliki implikasi besar terhadap perkembangan keilmuan pada masa-masa
berikutnya. Sebagaimana yang dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141) bahwa pada awal timbulnya Islam,
barulah tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-tulis. Nabi juga menganjurkan para
pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Aisyah, isterinya pun belajar membaca. Anak
angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Para tawanan perang
dibebaskan setelah mereka dapat mengajar sepuluh orang muslim untuk membaca dan menulis (meski
Nabi sendiri ummi, tetapi ke-ummi-an beliau sangat beralasan untuk menolak anggapan, bahwa al-
Qur’an itu ciptaannya). Beberapa wahyu (nash) penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi
dukungan dan respon Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika
tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya. Demikianlah,
gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam rangka pengamalan ilmu
pengetahuan. Jika pada mulanya aktivitas keilmuan itu hanya telaah agama yang lebih khusus, maka
pada periode berikutnya menjadi berkembang secara menyeluruh dan dalam skop yang lebih luas. Jika
pada umumnya kajian keislaman hanya terpusat pada al-Qur’an, al-Hadits, Kalam, Fiqh serta ilmu
gramatika bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), maka pada periode berikutnya, setelah kemenangan Islam
ke berbagai wilayah, kajian itu berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, astronomi,
fisika dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan ini bisa dibuktikan pada masa kegemilangannya, antara abad 8-15
Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-1258) hingga jatuhnya Granada (1492). Perluasan wilayah Islam
dimulai sejak khalifah Abu Bakar As-Shiddiq hingga dinasti ‘Abbasiyah. Berturut-turut jatuh ke tangan
Islam adalah, wilayah: Damsyik (629), seluruh Syam dan Irak (673), Mesir hingga Maroko (645), Persi
(646), Samarkand (680) dan seluruh Andalusia (719). Satu abad kemudian (setelah hijrah), negara Islam
telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India yang
melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaannya (Poeradisastro, 1986: 8). Bahwa jauh sebelum
umat Islam menaklukkan wilayah Timur Dekat, Syria merupakan tempat bertemunya dua negara “super
power” waktu itu, Roma dan Persia. Bangsa Syria memang memiliki peran penting dalam menyebarkan
ilmu pengetahuan dan peradaban Yunani ke Timur dan Barat, terutama kaum Monofisit¯ dan
Nestorian¯. Hanya saat itu ilmu pengetahuan (seperti kedokteran) tetap merupakan pengetahuan
sekuler dan dengan demikian kedudukannya lebih rendah daripada pengobatan spiritual yang
merupakan hak istimewa para pendeta ((lihat C.A. Qadir, 1989:34-35). Sebagaimana kata De Boer
(1961:13), bahwa berdasarkan peraturan mazhab Nisibi, mulai tahun 590, kitab-kitab suci dilarang
dibaca dalam satu ruangan dengan buku-buku mengenai profesi keduniaan (sekuler). Di pusat-pusat
ilmu pengetahuan, seperti di Antokiah, Ephesus dan Iskandariah, penterjemahan buku-buku Yunani ke
dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Syria (Suryani) tetap dilakukan dan tetap memiliki pengaruh
yang besar, bahkan setelah pusat-pusat kota itu ditaklukkan oleh umat Islam. Ketika pemikiran-
pemikiran Yunani itu merasuk pada umat Kristiani dan mewarnai pemikiran tokoh gereja, Nestorius,
Uskup Constantinopel, maka serta merta mendapat tantangan keras dari kaum konservatif dan
ortodoks, sehingga pada tahun 481, ajaran-ajarannya dilarang oleh gereja. Tetapi meski begitu,
Nestorius dan sebagian pengikutnya tetap tidak mau tunduk dan malah melarikan diri ke Syria. Di sinilah
ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani itu dan bahkan mendirikan sekolah-sekolah
serta tetap aktif menterjemah. Karya-karya Yunani yang diterjemahkan antara lain mnengenai filsafat
dan logika (C.A Qadir, 1989:35). Perluasan wilayah Islam ke berbagai penjuru telah membawa
konsekuensi bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan “globalisasi“ dunia
saat itu: ras, bahasa, tradisi, budaya, agama dan bangsa itu sendiri. Islam harus berhadapan dengan
agama yang beragam: Yahudi, Kristen, Zoroaster, Manes, Hindu dan seterusnya, dengan aneka
budayanya: Yunani, Romawi, Mesir (Qibti dan Nubia) dan Persi. Heteroginitas dan globalisasi itu
menuntut umat Islam untuk senantiasa mampu menampilkan ajaran-ajarannya dalam bentuk yang
kosmopolit dan egaliter. Di sinilah kemudian umat Islam juga mulai mempelajari karya-karya Yunani
untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, suatu bahasa yang masih serumpun dengan
bahasa Arab. Upaya ini terus berlanjut hingga masa kegemilangannya pada masa dinasti Abbasiyah.
Pada abad ini (abad 7), terdapat dua pusat ilmu pengetahuan: di Haran dan Jundishapur. Tsabit bin
Qurra’ dan anaknya, Sinan bin Tsabit, serta kedua cucunya, Tsabit dan Ibrahim adalah produk-produk
pendidikan lembaga Aleksandria (Haran) ini, yang ahli dalam bidang matematika dan astronomi.
Sementara di Jundishapur, Khosru Anusirwan (521-579) mendirikan lembaga studi filsafat dan
kedokteran. Karena letaknya yang dekat dengan Baghdad, maka dengan mudah lembaga tersebut
berpengaruh terhadap umat Islam di sana (C.A Qadir, 1989: 36, Watt, 1987: 56). Oleh karena
Jundhisapur berdekatan dengan Baghdad, maka hubungan politis orang-orang Persia dengan khalifah
Abbasiyah sangat erat, yang memiliki dampak positif bagi umat Islam di sana. Sejak awal Jundishapur
telah menyumbangkan tabib-tabib istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtisyu yang
mengabdi kepada khalifah dengan penuh hormat. Mereka juga banyak membantu pembangunan:
rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti pola Jundishapur selama pemerinyahan
Harun Al-Rasyid (789-809) dan penerusnya Al-Makmun (813-833) (Majid Fakhry, 1983: 4, Watt: 56). Satu
hal yang perlu dicatat, bahwa ketika bangsa Arab menaklukkan negeri-negeri di Asia Barat dan Timur
dekat, mereka tidak mengganggu urusan bahasa dan kebudayaan bangsa yang mereka taklukkan
tersebut. Itulah sebabnya, di bagian awal sejarah Islam, sebelum dinasti Mu’awiyyah memberlakukan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi, bahasa Persi dan Yunani tetap dipergunakan pada
waktu itu, hingga secara resmi diganti dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu karya Yunani yang masih ada
sebagian berbahasa Persi dan sebagian lain tetap berbahasa Yunani (lihat C.A Qadir, 1989: 37). Ilmu
pengetahuan yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Umayyah di
bawah pemerintahan Marwan bin Hakam (684-685) adalah ilmu kedokteran. Ketika itu seorang dokter
bernama Masarjaweh menerjemahkan buku yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Ahran bin
A’yun dari bahasa asli Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut masih tersimpan baik di
pertustakaan hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (718-720). Kemudian buku itu dipindahkannya
ke mushalla dengan maksud agar dapat dimanfaatkan oleh umum. Sebagian riwayat menyebutkan,
bahwa orang yang pertama kali menterjemahkan itu adalah Khalid bin Yazid Al-Umawi (w. 678) dan
buku yang diterjemah adalah ilmu kimia (Shun’ah) yang tekenal saat itu (Al-Ahwani, 1962: 31). Segera
setelah penobatan khalifah Abbasiyah, dilakukanlah penerjemahan karya-karya ilmiah dan filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab secara serius. Dimasa kekuasaan Harun Al-Rasyid telah banyak
diterjemahkan karya mengenai astronomi, satu diantaranya adalah Siddhanta --sebuah risalah India
yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibrahim Al-Fazari (w. 806). Sebuah karya astronomi lainnya adalah
Quadripartitus karya Ptolemy dan karya-karya lain mengenai astrologi. Selain bernilai ilmiah, karya-karya
terjemahan itu mempunyai nilai praktis. Yahya bin Bitriq misalnya telah menterjemahkan Timaeus, karya
Plato dan De Anima, Analytica Priori dan Secret of Secret-nya Aristoteles. Saat itu tidak hanya khalifah
dan wazir-wazir saja yang menaruh perhatian terhadap para filosof dan ilmuwan, melainkan juga
masyarakat biasa. Misalnya keluarga Banu Musa, seorang hartawan terpandang telah menyumbangkan
banyak uangnya untuk keperluan terjemahan tersebut. Ia mengutus orang-orang pergi ke Byzantium
untuk membeli naskah-naskah Yunani dan mengupah para penterjemah dengan harga tinggi. Beberapa
karya selain astrologi dan matematika yang diusahakan adalah karya mengenai atom (the Treatise on
the Atom) dan karya mengenai kekekalan dunia ( Treatise on the Eternity of the World), dua risalah yang
bernilai filosofis (C.A Qadir, 1989:39). Nampaknya Baghdad tidak ingin ketinggalan dengan tradisi
Aleksandria dan Jundishapur, maka dibangunlah Lembaga Ilmu Pengetahuan (Bait al-Hikmah) tahun 830
oleh Al-Ma’mun (813-833) sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat yang sarat dengan
fasilitasnya: ada perpustakaan, laboratorium penterjemahan dan observatorium bintang. Penterjemah
penting di Bait al-Hikmah ini adalah Hunayn bin Ishaq (w. 873) seorang Kristen Haran dan murid
Hasawaih, seorang yang berjasa besar dalam menterjemah karya-karya medis klasik, ia sendiri juga
sebagai dokter pribadi Harun Al-Rasyid. Di samping Hunayn, terdapat penterjemah lain, seperti Qusta
bin Laqa (seorang Kristen juga) dan Tsabit bin Qurra’ (w. 901) dari kalangan penyembah bintang-bintang
(Sabi’ah) yang bersama murid-muridnya menterjemahkan karya astronomi (lihat pula C.A Qadir,
1989:40). Seperti yang diidentifikasi oleh Ahmad Hanafi (1982:66-73), bahwa karya-karya Plato dan
Aristoteles yang diterjemahkan itu adalah:

Theatetus, Cratylus, Sophistes, Permanides.

Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan semuanya tercatat dalam buku Al-
Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh al-Hukama’ karya Al-Qafti;

Timaeus, buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dengan ulasan Plutarchus.
(Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya tersebut);

Phado, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan Phaedrus karya tentang cinta, keduanya
merupakan disiplin psikologi;

Politicus, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dan Law (undang-
undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi;

Sedangkan karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti:

Categorie (Al-Maqalat) berisi tentang sepuluh macam ke yang diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’,
lantas diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn dan selanjutnya diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi
dengan ulasannya dari Iskandar Aphrodisis;

Interpretation yang dunia Arab Islam dikenal dengan nama Pori-Armenias, berisi keterangan mengenai
bahasa: proposisi dan bagian-bagiannya. Karya tersebut semula diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’ (ke
dalam bahasa Persi kuno) kemudian disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunain;
Analytica Priaora (uraian pertama) ysng membahas tentang metode keilmuan. Diterjemahkan oleh
Mattius bin Yunus ke dalam bahasa Suryani. Kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn;

Analytica Posteriora (uraian kedua) diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dan Abu Utsman al-Damsyiqi;

Sophistic Elenchi (kesalahan-kesalahan Sofistik) disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunayn
dengan judul Al-Hikmah al-Muwawwahah (filsafat yang menipu);

De Caelo (langit) diterjemahkan oleh Petrick, kemudian diringkas oleh Naicholas Damascus;

Anima (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn (semula diterjemahkan oleh Yahya bin Bitrik, pen.);

Ethica Nicomachaes yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut Aristoteles.

Kemudian pada abad ke-10 muncul dua penterjemah terkemuka: Yahya bin ‘Adi dan gurunya, Abu Bisyr
Matta yang memiliki kontribusi besar dalam menterjemahkan karya-karya Aristoteles, khususnya
mengenai logika. Matta misalnya dianggap berjasa atas terjemahan karya logika Aristoteles: Categories,
Hermeunetica, Analytica Priora, Analytica Posteriora dan sebuah komentar tentang Isagoge Porphyry,
pengantar pengantar Analytica dan a Treatise on Conditional Syllogism (Majid Fakhry, 1983:16). Hampir
semua sejarawan (baik Timur maupun Barat) sepakat, bahwa umat Islam memiliki peran besar dalam
memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/Eropa pada abad pertengahan, baik di bidang sosial-
budaya maupun ilmu pengetahuan. Berkembangnya ilmu pengetahuan Barat sekarang yang dapat
melahirkan teknologi yang sangat canggih (sophisticated), tak lain adalah berkat ilmu pengetahuan yang
telah berkembang selama kurang lebih tiga belas abad silam di tangan pekar-pakar Muslim kenamaan.
Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells, maka, orang Muslim adalah “bapak
angkat”-nya. Dalam perspektif sejarah, dunia modern sekarang ini mendapatkan sinarnya lewat orang
Muslim, bukan lewat orang latin (Jujun, 1990:13). Baik Roger Bacon –yang dianggap sebagai pencetus
metode eksperimen di Barat –tak lain adalah hanya seorang yang telah mentransfer karya-karya kaum
Muslimin, Seperti Ibn Sina dan Ibn Haitsam (lihat juga Madkur, 1986: 114). Sepert yang telah kita lihat,
bahwa kebudayaan dan peradaban Muslim masuk ke wilayah Eropa malalui dua cara: studi orang Barat
ke Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penterjemahan. Sebagaimana pengakuan Phillip K.
Hitti (1970: 170), bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam banyak hal merembes ke alam pikiran orang-
orang Barat. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah Spanyol Islam yang menunjukkan salah satu
perkembangan yang terbaik di Eropa pada abad pertengahan. Antara pertengahan abad ke-8 dan
permulaan abad ke-13 bangsa Arab merupakan pendukung utama suluh kebudayaan dan peradaban di
seluruh dunia, serta pengantar munculnya renaissace di Eropa Barat. Hitti lantas menunjuk para penulis
kenamaan Islam, misalnya: Ibn Hazm (994-1064) seorang penulis produkltif (kurang lebih 400 buah
karyanya) mengenai: sejarah, teologi, hadits, ilmu mantiq dan puisi, Ibn Zaidun (1003-1071) seorang
penyair utama bangsa Arab, Ibn al-Khatib (w. 1371) dan Ibn Khaldun (1332-1406) seorang pakar sejarah
(ilmu sosial), Ibn al-Awwan penulis risalah mengenai biologi yang sangat bagus, Ibn al-Baitar ahli media
dan Ibn Thufail (w. 1185) dengan karya populernya Hay bin Yaqqdhan, yang oleh banyak penulis
dianggap mengilhami Danile Defol dengan karyanya Robinson Crusoe (lihat Hitti,1970:170-185). Spanyol
memang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu, dimana banyak para mahasiswa
Eropa yang belajar di Universitas-universitas di sana, Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada. Paus
Sylvester II adalah orang nomor satu gereja yang datang ke Cordova untuk belajar matematika dan
astronomi. Dia pulalah yang mengintrodusir angka Arab (ghubar) yang digunakan di Spanyol ke dunia
Barat. Pada saat itu umat Islam juga tampil sebagai pedagang-pedagang besar dalam lalu lintas
perdagangan internasional, sehingga peradaban dan kebudayaannya mengelaborasi dari Asia hingga
Eropa (lihat Nouruzzaman, 1986: 96). Transmisi ilmu pengetahuan Eropa melalui penterjemahan
dilakukan dengan gencar sekali. Penterjemahan buku-buku bahasa Arab ke bahasa latin telah ditemui
sejak abad ke-9. Di perpustakaan Tripoli diketemukan dua buah manuskrip yang tercatat dalam sejarah
pada abad-10 berbahasa Latin yang berasal dari bahasa Arab. Usaha besar-besaran untuk
menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin terjadi pada abad 12-13, yang
berpusat di Cordova. Meski setelah kota tersebut jatuh ke tangan umat Kristiani (1085) dan tidak pernah
lepas dari cengkeramannya, situasinya tetap tidak berubah, peradaban dan kebudayaan Muslim tetap
bersinar. Hingga dua abad kemudian penduduk Toledo masih menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
ilmu pengetahuan dan juga bahasa resmi (Nouruzzaman, 1986: 99, Madkur, 1986:126). Gerakan
penterjemahan ini disemangati oleh Alfonso yang mendapat julukan “Si Bijak” raja Castilla (1252-1284).
Ia juga seorang pakar berbagai disiplin ilmu, termasuk yang menulis karya Cronica General yang salah
satu babnya berisi sejarah hidup Rasulullah, begitu juga dengan penterjemahan buku Kalilah wa Dimnah.
Toledo memiliki para penterjemah terkemuka dan profesional. penterjemahan mula-mula dilakukan dari
bahasa Arab ke bahasa Ibrani, atau ke bahasa Castilla, baru kemudian ke bahasa Latin. Ini berbeda
dengan orang-orang yang menterjemahkan pertama-tama dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Meski
begitu ada juga orang-orang yang Latin yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke
bahasa Latin, sebagaimana juga ada orang Arab yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa
Yunani ke bahasa Arab (lihat Nouruzzaman, 1986:102 dan Ibrahim Madkur, 1986:129). Di antara para
pakar luar Spanyol yang pernah bekerja sebagai penterjemah di Toledo tercatat nama-nama seperti:
Gerard dari cremona (Itali) meninggal tahun 1187, Michael Scott, Inggris (m. 1236) dan Robert dari
Chester (Inggris). Tidak diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak
abad ke-12, ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang Arab melalui Sicilia dan
Andalusia dan terjemahan buku-buku. Pengaruh tersebut begitu kuat pada abad ke-13 dan bergema
selama dua abad sesudahnya hingga era renaissace. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka
abad 13 yang tidak mempunyai hubungan dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m.
1282) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka Roger Bacon lebih mendukung Ibn Sina,
sementara filsafat St. Thomas Aquinas telah menggabungkan filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd (Madkur,
1986:139,140). Demikianlah karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibnu Thufail,
Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi dan seterusnya. Toledo memang jembatan bagi dunia Barat dalam
mencerdaskan bangsa dan perasaan seni. Sementara menurut Abdus Salam (1983:9), Toledo dan
Salerno merupakan awal penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalakan cemerlang. Di
sinilah maka ketika George Sarton - seorang pakar sejarah sains - membagi daur era penciptaan sains,
Islam tampil progresif. George Sarton membagi prestasi sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era
berjangka waktu sekitar setengah abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama:
Pertama, tahun 450 sampai 400 S.M adalah era Plato, yang lantas diikuti oleh oleh Aristoteles, Euklides
dan Archimedes; Kedua, dari tahun 600 sampai tahun 700 M adalah era China dengan tokoh utamanya
Hsiian Tsang dan I Ching; Ketiga, dari tahun 750-1100 M, 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir,
Khawarizmi, Razi, Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsam dan Umar Khayam, mereka adalah
bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah tahun 1100 ini muncul
nama-nama Barat untuk pertama kalinya: Gerardo dari Cremona dan Roger Bacon, tetapi kehormatan
ini masih harus dibagi selama 250 tahun berikutnya dengan nama-nama Ibn Rusyd, Nasiruddin, Thusi,
Ibn Nafis, para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan ‘teori perkembangan darah’. Ya,
kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam niscaya bangsa Barat tak akan semaju seperti
sekarang. Filsafat Islam, meskipun mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11 M di Persia dan negeri-
negeri Islam timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhruddin Al-Razi, tidaklah
sekadar hijrah ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat di tangan Ibn Bajah, Ibn Thufail dan
Ibn Rusyd dan akhirnya mati mengering di ujung Barat dunia Islam. Filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali
oleh Nashiruddin Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M, sementara dua generasi sebelumnya
suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh Syuhrawardi yang menamainya mazhab
Pencerahan (isyraq). Lebih lanjut, “sains mistisisme” atau ‘irfan (gnosis) terumuskan kira-kira pada
waktu yang bersamaan oleh Ibn ‘Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif
dengan tradisi filsafat Islam maupun dengan teologi atau kalam yang saat itu telah menjadi semakin
“filosofis” (S.H Nashr dalam Yazdi,1994: 8). Hasil dari semua perkawinan-silang ini adalah beberapa
kegiatan filsafat yang ekstensif di Persia yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Quthbuddin Syirasi,
Dabiran Katibi, Atsiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani, keluarga Dasytaki serta tokoh-tokoh lain yang
sedikit sekali dikenal di dunia Barat. Masa pendekatan dan pencampuran ini, yang berlangsung selama
kira-kira tiga abad, mencapai kulminasinya dengan Mazhab Isfahan yang di bangun oleh Mir Damad
pada abad ke10 H/16 M dan mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra, muridnya. Meskipun terjadi
pasang surut pada masa akhir periode Safawi dan pengrusakan sebagian besar kota Isfahan akibat
sebuan bangsa Afghan pada abad ke-12 H/18 M, namun obor filsafat Islam yang menyala kembali di
tangan Mulla Sadra terus berlanjut hingga masa dinasti Qajar ketika sekali lagi Isfahan, di bawah Mullah
‘Ali Nuri menjadi pusat besar filsafat ini, sementara Teheran juga mulai muncul sebagai pusat kegiatan
filsafat sejak abad ke-13 H/19 M hingga seterusnya. Selama masa ini sejumlah filosof penting seperti
Hajji Mullah Hadi Sabziwari dan Mullah ‘Ali Zunuri muncul di atas gelanggang dan menulis makalah-
makalah penting yang dibaca kalangan-kalangan tradisional Persia hingga sekarang. Mereka juga melatih
banyak siswa yang mengemban tradisi yang hidup dari mazhab ini dengan menekankan pengajaran
secara lisan dan tulisan hingg masa dinasti Pahlevi dan dunia semasanya (Nashr, dalam Yazdi, 1984:8).

·Sampai dimana absolutisitas agama itu? Dalam perspektif agama Islam, absolutisitas agama adalah
pada wilayah ijma’ ulama’, atau pada wilayah dalil muhkamat, seperti: tentang keesaan Tuhan,
kebenaran al-Qur’an dan kebenaran perintah shalat dst. Sementara pada wilayah dalil musytarak dan
mutasyabihat yang masih menjadi perselisihan ulama’ (karena perbedaan penafsiran, interpretasi),
maka bersifat relatif. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa relativitas dimaksud adalah relativitas dalam
konteks kebenaran, bukan dalam konteks salah dan keliru. Karena sesuai dengan jaminan Tuhan
terhadap upaya ulama’/mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum itu sendiri, yaitu jaminan pahala
(Izda ijtahada al-hakim fa ashaba falahu ajrani wa izda akhthaa falahu ajrun wahid).
*Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau “falsafah”. Karena menurutnya,
filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan dengan
bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar kata falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan wazan
fa’lala. Dengan demnikian istilah “filsafah” yang digunakan A. Faishal Haq malah tidak lazim/umum.

*Kaum Monofisit adalah sebuah sekte Kristen yang berbendirian, bahwa hanya satu kodrat dalam diri
Kristus.

*Kaum Nestorian adalah penganut ajaran Nestorius, Uskup Konstantinopel, yang berpendirian bahwa
Kristus mempunyai dua pribadi yang dapat dibedakan satu sama lain, yang satu Ilahi dan yang lainnya

Anda mungkin juga menyukai