Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

MENYIKAPI INTOLERANSI DAN KONSEP TOLERANSI TERHADAP KONFLIK


BERAGAMA DI INDONESIA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Ujian Akhir Semester mata kuliah
Kewarganegaraan pada
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Dosen Pengampu :

Amelia Ayu Paramitha, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Ariawan Adinata
NIM 225040107111025

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu Tindakan


yang sama sekali tidak bisa dibenarkan “ (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015)
Pernyataan yang disampaikan tersebut membuka pikiran kita bahwa kaum muda sangat
diharapkan mampu melanjutkan hidup bangsanya dengan saling menghormati dan saling
mencintai. Ditangan kaum muda nantinya sebuah bangsa akan maju dan berkembang
walaupun ditengah kekuasaan para elitnya yang bergelimang kekayaan dan kekuasaan.
Kita dapat mengambil contoh beberapa daerah seperti Timur Tengah, Afrika, bahkan
beberapa negara Eropa seperti Perancis, Turki, dan Irlandia yang sudah lebih dulu terjadi
berbagai macam konflik sesama warga yang mengatasnamakan kesucian Tuhan, tentunya
kita tidak ingin melihat hal tersebut dipraktekkan di negara Indonesia ini.

Terlebih sejak kemajuan teknologi semakin maju, intoleransi menjadi suatu


permasalahan besar yang dihadapi Indonesia dalam era digital ini. Intoleransi sendiri
merupakan kejadian karena adanya salah paham antara beberapa pihak yang terjadi
diakibatkan banyaknya berita atau informasi digital yang tidak sesuai. Hal ini menyebabkan
permasalahan intoleransi serta memberikan kerugian terhadap beberapa kelompok
minoritas di masyarakat. Hingga saat ini setidaknya ada 31 kasus intoleransi sepanjang
2019 menurut Imparsial. Kasus yang terjadi didominasi pelanggaran terhadap kebebasan
beragama dan berkeyakinan.

Dari beberapa kasus yang telah terjadi, maka dapat terlihat bahwa dalam perbuatan
kekerasan atas nama agama pastinya memiliki penyebab yang mendasarinya. Sehingga
menimbulkan banyak penafsiran kelompok tentang penyebab terjadinya kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Sebagian lagi melakukan pembenaran kekerasan atas nama
agama yang hingga saat ini terus berlangsung di Indonesia maupun di negara-negara
lainnya. Sehingga, dibutuhkanlah suatu sikap dalam menghadapi intoleransi tersebut yang
perlu kita ambil dan kita lakukan kedepannya melihat dari berbagai penyebab yang
mendasarinya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana itu sikap intoleransi?

2. Bagaimana itu sikap toleransi?

3. Bagaimana peran agama dan wawasan kebangsaan dalam menyikapi


toleransi dan intoleransi?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui bagaimana menyikapi multicultural di Indonesia

2. Memahami pengetian sikap toleransi dan intoleransi

3. Memahami bagaimana bertindak terhadap sikap toleransi dan intoleransi

4. Mengetahui peran agama serta wawasan kebangsaan dalam menyikapi


intoleransi

5. Memahami langkah yang diambil untuk menindaklanjuti terjadinya


intoleransi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Intoleransi

Indonesia dengan karakteristik multikultural yang membuatnya kaya akan


kebhinekaan, mulai dari suku, budaya, ras, agama, dan Bahasa. (Hidayat, 2021).
Kekayaan tersebut tidak jarang menimbulkan berbagai permasalahan serta konflik bagi
Indonesia yang mengacu pada banyaknya perbedaan kepercayaan serta budaya. Dengan
keberagaman perbedaan budaya, maka kehidupan bermasyarakat seakan terpisah
kedalam berbagai kelompok serta golongan yang apabila tidak diatasi dengan baik akan
menimbulkan intoleransi. Sikap intoleransi berasal dari prefik “in-” yang memiliki arti
“tidak, bukan” dan kata dasar toleransi yang memiliki arti bersifat menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian pribadi (Halimah,
2018). Sehingga dapat kita simpulkan bahwa intoleransi merupakan suatu sikap dimana
tidak terjadi penerimaan atau sikap menghargai adanya perbedaan.

Definisi toleran-intoleran merupakan sebuah tindakan, bukan lagi hanya sebuah


pola piker apalagi aturan. Cohen menjelaskan bahwa sikap ini merupakan tindakan
disengaja oleh seseorang yang berprinsip menahan diri dari campur tangan perilaku
dalam situasi keragaman, sekalipun dia percaya bahwa dia memiliki kekuatan untuk
mengganggu.

Dalam sikap intoleransi dasarnya terdapat dua kata kunci yang berperan sebagai
prinsip utamanya yaitu: Kesenjangan (intent) dan tidak-mengganggu (non-interfence).
Dalam buku Religion, Tolerance, and Intolerance: Views from across the diciplines
karya Russell Powell dan Steve Clarke mereka memosisikan dua sikap yaitu “tidak
mengganggu” sebagai inti dari toleransi dan harus bersifat secara langsung atau dengan
sengaja terhadap orang lain maka seseorang tersebut dapat dikatakan tolerean.
Sehingga, suatu kesengajaan menjadi suatu prinsip keharusan yang sangat penting,
dimana apabila seseorang tidak mengganggu orang lain yang berbeda hanya karena
mereka acuh dan abai, maka orang tersebut belum dapat dikatakan toleran.

2.2 Faktor Penyebab Intoleransi

Intoleransi merupakan sikap yang tidak terjadi begitu saja, melainkan tentunya
ada faktor penyebab yang melataarbelakangi munculnya sikap intoleransi. Faktor yang
membuat sikap ini muncul dapat disebabkan atas kepribadian, pengetahuan, hubungan
dengan kekuasaan, serta rasa menganggap suatu golongan benar (Halimah, 2018).

1. Kepribadian (cara pandang ekstrem terhadap suatu tindakan yang


menyebabkan perilaku intoleran). Sikap ini berpotensi membawa sikap
intoleransi yang dipicu oleh ketidaksiapan seseorang dalam menerima
perbedaan keyakinan dengan kebenaran.

2. Pengetahuan (tidak bisa membedakan kebenaran dengan keyakinan).


Merupakan suatu sikap dimana tidak dapat membedakan antara konsep
dengan realitas, serta tidak dapat membedakan mana yang semestinya ada
di benaknya dengan apa yang sebenarnya terjadi di luar kendali dirinya.

3. Hubungan dengan kekuasaan, bukan hanya seseorang yang merasa


terganggu kekuasaannya namun juga menganggap yang berbeda adalah
ancaman terhadap kekuasaan dan eksistensinya.

4. Menganggap pribadi maupun golongan paling benar, hal ini munvul


disebabkan dia merasa bahwa orang lain tidak ada yang bernasib
seberuntung dirinya dalam memahami suatu kebenaran. Yang pada
akhirnya dia akan berusaha meyakinkan orang lain yang memiliki
perbedaan dengan dirinya.

Sehingga di Indonesia dapat kita lihat suatu sikap intoleransi ini muncul akibat
adanya sikap eksklusivitas dari beberapa kelompok tertentu yang pada hal ini mudah
menghakimi atau mengkafiri orang lain menurut diskusi yang digelar oleh International
Center for Islam and Pluralism. Penyebab lain yang berpotensi menyebabkan
terjadinya intoleransi adalah karena faktor adanya globalisasi dimana masyarakat dapat
dengan mudah bertukar informasi. Hal ini dapat dijadikan suatu ajang untuk
mempelajari budaya lain dengan mudah. Seharusnya, hal ini mampu meningkatkan
toleransi yang disebabkan terbukanya masyarakat terhadap perbedaan. Namun,
sangatlah disayangkan bahwa masih banyak terjadi penyalahgunaan kesempatan
tersebut dimana masyarakat lebih mempergunakan keuntungan tersebut untuk
membanggakan golongan tersendiri yang mereka pilih. Hal ini tidak dapat sepenuhnya
dikatakan salah, namun bukan berarti masyarakat dapat dengan wewenangnya
menjatuhkan budaya lain.

Kasus konflik perpecahan sering terjadi pada suatu negara sejak dahulu hingga
saat ini. Apabila kita kembali berkaca pada Indonesia pada zaman dahulu, negara ini
menyimpan banyak sekali arsip kasus yang sempat berujung pada perpecahan. Sebagai
contoh ada pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Kelompok Separatis
Bersenjata di Papua, Konflik Sampit di Kalimantan, an Konflik Agama di Ambon.
Tidak lain beberapa contoh kasus tersebut dilatarbelakangi oleh rasa intoleransi serta
tentunya ada rasa etnosentrisme terhadap budayanya. Pada saat ini seiring
berkembangnya teknologi terutama pada kalangan anak muda sebuah teknologi
eksistensinya bagaikan pisau bermata dua yang dapat memberikan dampak positif serta
negative. Teknologi yang apabila kita manfaatkan dengan baik akan mempermudah
akses informasi serta berbagai manfaat lainnya. Namun, tidak menutup kemungkinan
keberadaan teknologi berkemungkinan menyebabkan suatu perpecahan dengan cara
memperluas penyebaran berita hoax terutama yang memicu perselisihan seperti adu
domba antar suku, ras, atau agama. Terlebih kepada rakyat dengan tingkat literasi
rendah, pada umumnya mereka akan lebih mudah percaya dengan isu hoax yang sedang
marak.

2.3 Toleransi

Pada era modern ini, paradigma tentang globalisasi sangat memberikan


pengaruh terhadap sifat dan karakteristik manusia, terutama hal ini berpengaruh
terhadap paham-paham budaya luar yang mulai masuk ke Indonesia. Timbulnya sikap
intoleransi juga yang muncul karena berbagai latarbelakang yang menjadi penyebabnya
menimbulkan berbagai permasalahan baru terutama di Indonesia sehingga dibutuhkan
suatu kesadaran akan suatu sikap yang dinamakan toleransi dengan harapan mampu
terjadi antar umat beragama walaupun tidak jarang hal ini belum dapat berjalan dengan
baik serta masih muncul berbagai individu yang kurang peduli terhadap sikap ini
diakibatkan beberapa hal seperti hubungan darah atau keluarha, sahabat, teman, rekan
kerja maupun beberapa alas an lainnya.

Istilah toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolare” yang memiliki arti sabar
terhadap sesuatu. Sehingga, sikap toleransi merupakan perilaku manusia untuk
mengikuti aturan, dimana seseorang akan saling menghargai, menghormati terhadap
perilaku orang lain. Toleransi dalam suatu konteks sosial budaya dan agama memiliki
arti sikap serta perbuatan yang melarang adanya satu sikap diskriminisasi terhadap
kelompok ataupun golongan yang berbeda paham serta pendapat dengan kita pada suatu
lingkup masyarakat, baik dalam lingkup agama, di mana kelimpok beragama maupun
suatu kelompok masyarakat memberikan tempat tersendiri bagi kelompok agama lain
untuk bebas berpendapat pada lingkungan hidupnya.

Toleransi bukan hanya sekedar sikap untuk menerima perbedaan satu sama lain,
mengakui, saling terbuka, saling mengerti adanya perbedaan dan tidak mempersoalkan
perkara perbedaan walaupun tidak sepakat, namun toleransi merupakan suatu hal yang
terdapat pada mekanisme social manusia guna menyikapi keberagaman dan pluralitas
agama. Dalam penerapannya sehari-hari, toleransi dapat dilihat secara langsung dari
aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan sehari hari pada lingkungan masyarakat secara
gotong-royong baik kegiatan dengan kepentingan umum maupun perseorangan.

Indonesia dengan potensi keberagaman multikulturalnya dengan berbagai


macam agama, suku didalamnya yang tentunya memiliki berbagai macam ajaran
didalamnya yang menyeru kepada kebaikan terhadap sesama manusia, terutama dalam
hal toleransi maupun saling menghormati antar umat beragama. Dapat dikatakan
toleransi yang terjadi di Indonesia masih lebih baik apabila dibandingkan dengan
beberapa negara sebagai perbandingannya yang ada di luar sana. Masyarakat di
Indonesia tergolong masih menjunjung tinggi toleransi lebih baik untuk menjaga
kerukunan dan kedamaian antar umat beragama. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
peristiwa seperti yang ada di Desa Ngargoyoso di Gunung Lawu yang memiliki masjid,
gereja, dan pura berlokasi berdampingan, kemudian Gereja Katederal Jakarta yang
mengubah jadwal misa Ketika hari Idul Fitri tiba, ada juga pecalang yang beragama
hindu turut mengamankan jalannya salat Idul Fitri di Bali, kemudian umat islam di
Tabraw yang ikut serta membantu warga disana mempersiapkan haru besar natal di
Papua.

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Toleransi

Dalam pelaksanaannya, sikap toleransi tidak akan selalu berjalan dengan baik
benar. Tentunya akan ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya sikap toleransi,
diantaranya yaitu:

a.) Kultural-Teologis

Teori kultural yang cukup popular adalah modernisasi. Teori ini


menambahkan variable penjelas lain kedalam model: tingkat pembangunan
social-ekonomi di masyarakat. Teori ini berpendapat bahwa sejauh mana
masyarakat berkembang secara ekonomi maka akan mempengaruhi nilai-nilai
yang diyakini oleh umat beragama. Apabila ekonomi masyarakat berkembang
maka akan berpengaruh juga pada peningkatan rasa syukur masyarakat terhadap
kebebasan dan nilai-nilai toleransi. Sehingga teori ini mengacu pada faktor
social-ekonomi yang memberikan pengaruh pada tingkat toleransi

b.) Institusional

Apabila agama memberikan pengaruh berlebihan terhadap suatu


institusi negara maka akan mengancam suatu kapasitas negara untuk berlaku
atau bersikap adil terhadap kelompok minoritas agama ataupun non agama.
Suatu kehidupan beragama akan paling sehat apabila negara tidak melindungi
atau mendiskriminasi agama tertentu. Dengan adanya hal tersebut, agama
bersaing guna menyebarkan agama dan berinteraksi dengan bebas antara satu
dengan yang lainnya serta bersikap netral dan tidak memihak pihak manapun.

c.) Psikologis

Faktor psikologis merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam


toleransi beragama karena didalamnya terdapat tiga variabel yang berpengaruh.
Variabel pertama berkaitan dengan kapasitas kopgnitif, seperti didalamnya
terdapat aspek pendidikan dan kecerdasan berpolitik seseorang. Variabel kedua
adalah persepsi terhadap ancaman, hal ini beralasan karena intoleransi dianggap
sebagai suatu bentuk pertahanan diri maupun kelompok dari suatu ancaman
yang disebabkan kelompok lain. Variabel ketiga berhubungan dengan
predisposisi kepribadian. Seseorang yang memiliki predisp dengan norma
sosialosisi cenderung lebih menyesuaikan diri dengan norma sosial dan
menolak munculnya pandangan yang tidak wajar atau bertentangan.

Dalam proses berjalannya toleransi tentunya tidak lepas juga dari kendala dalam
pelaksanaannya. Secara teoritis dan logis, semua umat beragama yang ada pastinya
menginginkan kehidupan damai tanpa konflik terlebih lagi apabila mengatasnamakan
agama. Pada dasarnya, tidak aka nada agama maupun paham yang mengajarkan hal
buruk berhubungan dengan kekerasan maupun konflik. Tetapi, pada kenyataan tahap
pelaksanaannya toleransi yang menjadi suatu jalan penyelesaian permasalahan ini
berjalan dengan kurang baik disebabkan beberapa penghambat ketika mewujudkan
toleransi antar umat beragama, yaitu :

a.) Fanatisme dan Radikalisme


Sikap ini mempercayai bahwa agama maupun paham yang mereka anut
merupakan suatu hal yang paling baik apabila dibandingkan dengan paham
yang dianut oleh orang lain secara berlebihan, jelas sikap ini akan menimbulkan
suatu gejala social. Apalagi apabila fanatisme dilengkapi radikalisme yang
berpotensi menyebabkan tindak kekerasan mengatasnamakan agama dan
melakukan pemaksaan terhadap orang lain.

b.) Sikap Sinkretisme

Sikap ini akan membawa seseorang menjadi komprimistis ataupun


mencampur urusan akidah dan ibadah antar agama yang menjadikan suatu sikap
toleransi yang kelewatan. Sikap ini justru dinilai berpotensi menimbulkan
permasalahan kontroversial dan rawan berujung terjadinya konflik internal
dalam suatu agama. Sikap ini mampu menjadi kendala toleransi intern dan antar
umat beragama. Suatu sikap toleransi yang benar ialah sikap tenggang rasa dan
empati guna terciptanua kerukunan tanpa didalamnya terdapat pencampuran
maupun perusakan akidah suatu agama.

2.5 Peran Agama dan Wawasan Kebangsaan

Agama didefinisikan sebagai kebutuhan manusia yang paling esensial yang


bersifat universal (A.M.Saefuddin, 1987). Dalam beberapa waktu terakhir agama
berperan besar dalam perilaku social dan ekonomo dan menjadi fokus baru neo-klasik
berbagai penelitian ekonomi dan social yang mengembangkan model permintaan dan
pasukan agama serta berpengaruh kepada perilaku tertentu.

Arah hidup seseorang yang beragama akan membawanya menghindari risiko


yang dipilih secara rasional dan didorong oleh keyakinan masyarakat, mereka juga
meyakini bahwa dengan beragama akan diperlukan untuk memastikan kehidupan
setelah kematian, sehingga hal ini akan membawa kesadaran dari dalam diri untuk
mampu bersikap dengan pantas. Berbeda hal dengan masyarakat atheis yang memiliki
paham bahwa agama hanya akan memberikan efek kecil terhadap penghindaran resiko.
Hal ini tidak berjalan lurus dengan peradaban yang dibangun dengan nilai-nilai
toleransi yang lebih mengedepankan kehidupan beragama untuk membentuk karakter
yang tidak bertentangan dengan kondisi sosial.

Pada saat ini, juga diperlukan penguatan nilai-nilai kebangsaan seperti


penguatan ideologi pancasila dan konstitusi yang pada kesempatan ini dapat
dipermudah dengan perkembangan TIK. Diperlukan juga kesadaran dari masyarakat
untuk menegakkan azas dan aturan hukum yang berlaku. Pada era digital 4.0 ini kita
harus bersama menegakkan konsensus yang menjamin tegaknya konstitualisme yang
umumnya dipahami bersandar kepada tiga elemen kesepakatan, yaitu: 1) Kesepakatan
tentang tujuan cita-cita bersama; 2) Kesepakatan atas the tule of law sebagai landasan
pemerintahan atas penyelenggaraan negara; 3) Kesepakatan tentang bentuk institusi
dan prosedur ketatanegaraan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia yang dikenal sebagai negara Multikultural dengan beragamnya


perbedaan budaya dan agama. Dengan potensi tersebut kehidupan bermasyarakat yang
ada didalamnya seakan terbagi kedalam berbagai kelompok atau golongan. Hal ini
seakan menimbulkan suatu kompetisi bagi masyarakat dalam menunjukkan mana yang
memiliki kekuatan paling mendominasi. Apabila kedepannya hal ini tidak mampu
dihadapi dengan baik, maka akan terjadi suatu hal yaitu intoleransi.

Berbagai kasus negative yang telah terjadi diharapkan hanya menjadi catatan
khusus bagi berbagai pihak meliputi akademisi, pemerintah, aparat penegak hukum
yang diharapkan kedepannya tidak tercatat kembali berbagai hal negative yang terjadi.
Agar Indonesia selalu terjaga kedamaiannya seperti misi pengembangan sumber daya
manusia yang diusung oleh pemerintah yaitu “SDM Unggul Indonesia Maju” maka
dibutuhkan langkah strategis dan sistematis kemudian dijalankan secara konsisten oleh
seluruh warga dengan tidak menunjukkan sikap intoleransi dan antisosial pada
kehidupan bermasyarakat. Kemudian dari sisi akademis mampu memberikan
keselarasan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan Pendidikan
Agama agar tidak terjadi ketimpangan antara softskill dan hardskill serta kesadaran
dalam bersikap, sehingga generasi muda nantinya tidak hanya kuat dalam berpikir
secara akademis namun juga dapat memperkuat dirinya dengan pengetahuan agama
yang dapat menuntun hidupnya dengan baik serta mengurangi potensi terjadinya sikap
intoleransi.
Daftar Pustaka

Alfons, Matius, ‘Imparsial: Ada 31 Kasus Intoleransi di Indonesia, Mayoritas Pelarangan


Ibadah’, Imparsial: Ada 31 Kasus Intoleransi di Indonesia, Mayoritas Pelarangan
Ibadah, 17 Nov 2019, https://news.detik.com/berita/d4787954/imparsial ada 31 Kasus
Intoleransi di indonesi mayoritas pelarangan ibadah, accessed 13 Dec 2022.

Kusuma, R. A. (2019). Dampak Perkembangan Teknologi Informasi Dan


KomunikasiTerhadap Perilaku Intoleransi Dan Antisosial Di Indonesia. Mawa'izh:
Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 10(2), 273—90.
https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/maw/article/view/932.

Azzahra, F. R. (2021). Intoleransi di Masyarakat: Tugas Prospektiv, Universitas


Pembangunan Nasional Veteran Jakarta,
https://repository.upnvj.ac.id/14872/1/Pulau%20Kawio(Kelompok%20Esai%204)_Int
oleransi%20di%20Masyarakat_Prospektiv.pdf, diakses 13 Des 2022

Halimah, S. (2018). Memangkas Paham Intoleran dan Radikalisme melalui Pembelajaran


Agama Islam yang Bervisi Rahmatan Lil Alamin: Memangkas Paham Intoleran dan
Radikalisme melalui Pembelajaran Agama Islam yang Bervisi Rahmatan Lil
Alamin. Al-Makrifat: Jurnal Kajian Islam, 3(2), 130-148. Retrieved from
http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/makrifat/article/view/3212

Shofiah, Fitriani (2020). Keberagaman dan Toleransi Antar Umat Beragama. Jurnal Studi
islemanan Volume 20, No.2, Tahun 2020. Retrieved from
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis

Anda mungkin juga menyukai