Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN DEMOKRATIS

DOSEN PENGAMPU
CHANDRA MAULANA SA.g M, hum

Disusun oleh :

DISUSUSN OLEH

HOSEH SRIDEVI
IRMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGI ILMU TARBIYAH DARUL ULUM KUBU RAYA
(STITDAR)
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
BAB I ........................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan ...........................................................................................................2
BAB II ......................................................................................................................3
PEMBAHASAN ........................................................................................................3
A. Pengertian Pendidikan Prakolonial ...............................................................3
B. Kosmologi Sistem Pendiidkan ........................................................................4
C. Ontologi Pendidikan Pra Kolonial .................................................................5
D. Aksiologi Pendidikan Pra Kolonial: Ancaman Pragmatisme .........................9
BAB III ................................................................................................................... 11
PENUTUP .............................................................................................................. 11
A. Kesimpulan .................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 12

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memperkenankan kita semua berada dalam kasih-Nya. Tak lupa pula kita panjatkan
puji syukur kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita kemasa
dimana kita bisa belajar dan berkembang dengan baik dengan sikap keteladanan
beliau.
Dalam makalah ini, kita akan membahas tentang Filsafat Pendidikan
Demokratis makalah ini dibuat agar sekranya kita semua dapat memahami materi
tentang Filsafat Pendidikan Demokratis ini dapat memperoleh pengetahuan yang
baik serta memanfaatkan pengetahuan yang kita dapatkan dengan baik pula.
Terlepas dari hal tersebut sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami menerima saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kuburaya, 14 September 2023

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupaka salah satu aspek kehidupan budaya yang
memegang peranan penting dalam rangka pembangunan nasional. Garis besar
pendidikan di Indonesia melaui tiga fase yaitu, masa tradisional, masa kolonial,
dan masa kemardekaan. Pendidikan masa kolonial didirikan untuk kepentingan
kolonial sendiri. Penyelenggaraan pendidikan dibedakan antara bangsa Eropa
dengan orang pribumi. Pengajaran pendidikan di Hindia Belanda dalam
penerapannya menggunakan sistem pengajaran Belanda, pemerintah Belanda
menyediakan sekolah yang beranekaragam untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Sebelum pemerintah Belanda menyelenggarakan sekolah di Jawa, diluar
Jawa telah ada sekolah khusus untuk bangsa yang beragama kristen, Tetapi
keadaan sekolah tersebut tidak terpelihara. Sejak belanda menggantikan
kedudukan VOC, kembalinya berkuasa di Hindia Belanda (sesudah tahun
1816), sudah timbul pemikiran untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-
anak pribumi untuk mendidik tenaga yang akan mengisi jabatan-jabatan
pemerintah, terutama di kantor residen.
Perhatian pemerintah memberikan pendiidkan kepada golongan bumi
putra mulai muncul ketika mereka memerlukan tenaga terdidik dengan biaya
murah. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan pekerja dan pegawai yang
terampil dan terdidik semakin meningkat. Pemerintah merasakan bahwa tanpa
bantuan penduudk bumi putra yang terdidik, pembangunan ekonomi di Hindia
Belanda tidak akan berhasil, untuk itu dibukalah pendidikan untuk golongan
bumi putra agar pelaksanaan Tanam Paksa bisa mendatangkan keuntungan
besar sehingga dapat memperbaiki kondisi ekonomi Belanda.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan uraian dalam latar belakang, maka penulis merumuskan
masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya :
1. Apa pengertian pendidikan pra Kolonial?
2. Apa itu Kosmologi sistem pendidikan?
3. Apa itu Ontology pendidikan pra kolonial?
4. Apa itu Aksiologi pendidikan pra kolonial ancaman pragmatisme?
C. Tujuan
1. Mengetahui pendidikan pra kolonial
2. Mengetahui kosmologi sistem pendidikan
3. Mengetahui Ontology pendidikan pra kolonial, dan
4. Mengetahui Aksiologi pendidikan pra kolonial: ancaman pragmatisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Prakolonial
Pendidikan Prakolonial dimengerti sebagai sebuah penyelenggaraan
pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang
mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan
batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum
dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang
di maksud mengacu pada abad ke-17, yakni sebelum Jan Peterson Coen
melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.
Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa
pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial
memiliki model pemerinntahan kerajaan. Sementara itu, model pendidikan
yang diterapkan adalah pendidikan yang didasarkan pada pengetahuan
keagamaan. Ditengah-tengah masyarakat rakyat nusantara, model pendidikan
pesantren meruapakan bentuk pendisikan yang telah dijalankan berabad-abad
bahkan hingga era kolonial. Dalam perkembanganmya, ada jalan cacing sosial
ketika istitusi pesantren memproduksi identitas islam nusantara. Hal itu bertitik
tolak belakang dari hasil penelitian Ronald Alan Bull yang memperlihatkan
adanya hubungan antara pembentukan identitas sosial dan perkbangaan
pesantren. Metode analisis memanfaatkan filsafat sosial, Khususnya dalam
prespektif poskolonial dan dibantu oleh metode filsafat social berupa dialektika
Hegel.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan modern baru diupayakan
oleh pemerintah Hindia belanda dalam sistem perundang-undangan
(Regeeringsreglement, yakini singkatan dari Reglement op het beleid van
regeering van Nederland Indie). Ketika Napoleon jatuh, Belanda membentuk
pemerintah pada 1816 di Hindia belanda. Terdapat beberapa perubahan UUD,
tetapi selama itu tidak menyentuh persoalan pendidikan di hindia belanda.
Demikianlah pula pada tahun 1836 tidak pernah menyebbutkan tentang
pendidikan. Barulah pada perubahan tahun 1856 terdapat pasal yang

3
menyatakan bahwa Het openbaar onderwijs wormt een voorwerp van
aanhoudende zorg den gouverneur-generaal. Artinya: pengajaran negeri
adalah hal yang senantiasa menjadi perhatian gubernur jendral. Pasal
berikutnya memperlihatkan adanya keberpihakkan pemerintah hindia belanda.
Bukti pasal 126 dikatakan bahwa pemberian pengajaran kepada anak-anak
bangsa eropa dibolehkan secara bebas. Demikian pula pada pasal 127 berbunyi
berikut ini: Voldoend Openbaar Lager Onderwijs Moet dit Vordert en de
omstandingheden het toelkaten. Artinya: harus ada pemberian pengajaran
rendah dari pemerintah yang mencakupi keperluan bangsa Eropa.
Keberpihakan tersebut jelas dilakukan kepada pihak eropa.
Pada pasal 128 dalam soal itu menyebutkan De Gouverneur-general
zorgt Voor de opriching van scholen, tendenste van de inlandse bevoling. Dan
ini berarti bahwa untuk rakjat gubernur djendral di serahi mendirikan sekolah-
sekolah. Lain tidak lebih dari mendirikan-pun tidak-tidak ada di sebut-sebut di
situ tentang keharusan: tentang kebutuhan, tentang perlunja ada usaha yang
mencukupi dan lain-lain sebagainya.
Pada masa itu, pendirian sekolah di kabupaten adalah untuk
mendidikan calon pegawai. Dengan demikian, lahirlah sebuah peraturan
tentang pendisikan pada masa itu, yang di sebut dengan Reglement Voor het
Inlasch onderwijs (peraturan pengajaran untuk bumiputera).
B. Kosmologi Sistem Pendiidkan
Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, kosmos (susunan) dan logos
(keteraturan). Kosmologi adalah ilmu yang menyelidiki asal-usul, struktur,
hubungan antara ruang dan waktu dalam alam semesta.
Secara etimologi (secara bahasa) pendidikan berasal dari kata didik,
dengan kata kerja mendidik yang berarti memelihara atau memberi pelatihan
mengenai akhlak dan pemikiran, dalam hal ini pendidikan merupakan proses
menuju kedewasaan. Menegaskan keselarasan antara teori dan praktik yang
dijalankan untuk menjadi suatu kebiasaan. Bagi Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan berangkat dari filosofi keberadaan manusia sebagai bagian dari
alam yang harus beriringan dengan kodrat alam, ketulusan mengabdi kepada

4
Tuhan demi mencapai kesempurnaan diri. Pendidikan juga tidak boleh
berdasarkan karena paksaan, namun harus dilandasi kekayaan batiniyah,
dengan jiwa yang tentram dan mencintai tanah air bukan dicetak dan dibentuk
sama antara seluruh manusia. Jadi menurut penulis Kosmologi Sistem
Pendidikan adalah asal-usul sitem pendidikan yang ada di Indonesia pada
prakolonial (fase sebelu penjajahan), dan ada pada sistem pendidikan pesantren
merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Ia menjadi tonggak
penting sejarah perkembangan dan pengajaran Islam di Indonesia.
Pendidikan yang paling tua di Nusantara berada di dalam sejarah
pesantren. Dalam konteks filosofis, hal itu dilihat melalui kajian poskolonial
dan metode dialektika Hegel. Dalam asas – asas dasar filsafat sosial, maka tesis
utama adalah individu, anti-tesinya adalah kelompok, sedangkan sintesisnya
adalah negara. Ini merupakam teori klasik tentang negara, yang sudah harus
dipahami oleh para peminat filsafat sosial. Sebab, bahwasanya gagasan-
gagasan filsafat politik sosial kontemporer tidak pernah jauh dari pemikiran
Hegel.
Pendidikan di Nusantara didasari oleh peran dan fungsi pesantren
dalam tiga era, yakni pesantren masa pra-kolonial, kolonial, dan pasca-
kolonial. Pada masa pra-kolonial pesantren menjadi satu struktur kekuasaan
monarki. Pada masa kolonial, pesantrenmenjadi institusi yang berjarak dan
melakukaan kritik sosial terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pada masa
pasca-kolonial, pesantren berposisi ambigu kerena dukungan terhadap
pemerintah terancam, oleh ideologi materilasme, pragmatis, dan hedonisme.
Rekomendasinya, pendidikan di Nusantara bukanlah sesuatu yang mati, tetpai
merupakan respon atas perkembangan fenomenal sosial.
C. Ontologi Pendidikan Pra Kolonial
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang berada
being dan Logos berarti pikiran logic. Jadi, Ontologi berarti ilmu yang
membahas tentang hakiket sesuatu yang ada/berada atau dengan kata lain
artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan
berwujud dan berdasarkan pada logika. Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu

5
yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara
rohani. Disis lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas
tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari sesuatu yang ada.
Ontologi pendidikan dimengerti sebagai pencaharian esensi dari
pendidika prakolonial. Esensi tersebut diperoleh melalui eksistensi yang
menjadi dalam kurun waktu yang di mulai dari masa runtuhnya Majapahit abad
ke-15 hingga masuknya Belanda ke Batavia (abad ke-18).
1. Idealisme Pendidikan Pasca-Renaisance
Pendidikan Pasca-renaisance ditandai dengan situasi yang menganut
kebangkitan akal sehat dalam menangkap keimanan dan pengetahuan.
Karena itu, kehadiran Islam dalam pandangan Hegel dianggap sebagai
Revolusi Timur. Secara filosofis, konsep teologi (tauhid) dianggapnya
memiliki orisionalitas dibandingkan dengan ideologi para pendahulunya,
yakni Yahudi dan Kristen. Tuhan Yahudi hanya untuk orang yahudi,
sedangkan Tuhan Islam untuk seluruh umat manusia. Karena itu,
kebebasan manusia diserahkan kepada Tuhan yang satu dan manusai
mengabdi kepada-Nya. Inilah yang kemudian disebut Hegel sebagai
fanatisme. Karena itu, menurut Hegel (2004:492), abstraksi mewranai
pemikiran orang Islam. Tujuan mereka adalah menetapkan pemujaan
abstrak dan mereka berjuang untuk mencapainya dengan semangat yang
manyala-nyala. Semangat ini adalah fanatisme,yaitu semangat sesuatu
yang abstrak. Hakikat fanatifisme hanya berkaitan dengan hubungan
destruktif yang gersang dengan yang konkret; namun pada saat yang
sama, orang Islam mampu untuk mengadakan peninggian ynag terbesar
satu peninggian yang bebas dari kepentingan yang picik, dan disatukan
dengan segala kebaikan yang berhubungna dengan keluhuran budi dan
keberanian.
2. Identitas Pesantren
Muhammad Abdullah dalam “Tradisi Intelektual Islam dalam
Sastra Melayu da Sastra Pesantren 1996” menuliskan tentang tradisi
intelektual yang terjadi pada tahun 1500-an. Menurutnya pada kurun

6
waktu itu tradisi intelektual kalangan pesantren masih kurang memeiliki
pengaruuh. Berdasarkan penelusuran sejarah, di kemudian memberikan
gambaran singkat tentang situasi intelektual masa itu. Dikatakan bahwa
Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri melakaukan dialog ilmiah
dalam buku-bukanya. Ketika Hamzah Fansuru memberikan
ajaran wahdat al-wujud, ar-Raniri langsung menanggapi dengan kitab
bertajuk Asrar al-Insan Fi Ma’rifati ar-Ruh wa ar-Rahman. Tulisan itu
dianggap Abdullah sebagai berikut: “Langkah ini merupakan langkah
pollitik Sultan untuk melindungi kekukasaannya ari berbagai ajaran
Hamzah Fansuri (1996:195)”. Buku – buku yang ditulis pada masa itu
tidak bisa dilepaskandari kehendak penguasa. Abdur Rauf as-Sinkili juga
menyebutkan terekat Syatariyah yang memiliki paham wahdat al-wujud.
Abdur Rauf juga menulis Daqaiq al-Huruf, Bayan Tajalli, Mir’at at-
Tullab, dan hidayat al-Balighah.
3. Pesantren Kolonial: Identifikasi Realitas Sosial
Mustari dalam disertasinya berrtajuk “Etika Religius Syekh Yusuf
dan Relevansinya bagi Dakwah Islam di Indonesia “(2009) mejelaskan
tentang perjalanan spriritual Syekh Yusuf pada masa awal abad ke-17.
Berdasarkan kajian terhadap 15 naskah yang telah dihasilkan oleh
Syekh Yusuf, Mustari sampai pada simpulan bahwa pandangannya
memiliki dua dimensi, yakni :
a. Dimensi sosial merujuk pada pentingnya tanggung jawab individu
di tengah-tengah masyarakat. Aspek sosial ini kemudian
dirumuskan dalam kata-kata kunci yang menjadi basis etika religius
Syekh Yusuf, yakni taubat, zuhud, tawakal, qana’ahm uzlah,
tawajjuh, sabar, rida, zikir, ikhlas, dan muraqabah.
b. Dimensi spiritual dilakukan malalui jalur tarekat, yakni syarikat,
tarekat, hakikat, dan makrifat. Jalur itu akan mendekatkan manusia
pada nilai-nilai ketuhanan yang hakiki.
Dua dimensi itulah yang kemudian dielaborasi Mustari untuk
melihat relevansi pesantren dan tokohnya dalam realitas sosial pada masa

7
itu. Etika religius yang dikembangkan di dalam struktur sosial pada masa
itu bermanfaat sebagai batu pijakan perkembangan nilai-nilai sosial pada
masa mendatang.
4. Pesantren Poskolonial: Koreksi Peran Negara
Fenomena pesantrena di masa poskolonial atau pos-kemerdekaan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan-perkembangan
yang terjadi sebelumnya. Pada masa kini, pesantren menghadapi
tantangan yang tidak ringan. Ada empat konstruksi pemikiran tentang
pesantren masa kemerdekaan. Pertama, menurut struktuural masa ini
merupakan kelanjutan peran organisasi keagamaan besar di Indonesia
yakni Nadhatul Ulama dan Muhammaddiyah memengaruhi jalannya
republik ini. Pada hakikatnya, dua organisasi itu menjadi basis massa
dalam pembentukan institusi pollitik dan sosial. Kedua, secara sosial-
kultural, peran pesantren sebagai institusi pendidikan masih berlangsung
melalui mekanisme formal, yakni terbentuknya institusi baru bernama
madrasah dan informal, yakni kehidupan pesantren salfiyah ditengah-
tengah masyarakat. Ketiga, secara politis, pada kenyataanya, tokoh-
tokoh yang mengedalikan republik ini juga dilahirkan dari lingkungan
pesantren. Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah salah satu tokoh
yang dilahirkan dari pendidikan pesantren yang dipercaya menjadi
Presiden Keempat Republik Indonesia. Keempat, secara antropologis,
pesantren merupakan ikatan dasar atas kemunculan institusi ekonomi,
politik, sosial, dan budaya yang berbasis pada budaya pesantren. Tokoh-
tokoh politik memiliki latar belakang budaya pesantren yang sangat kuat
sehinggan peran pesantren manjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan peardaban di Indonesia.
5. Identitas Baru Berbasis Pesantren
Dalam persepektif Islam Nusantara, Mustofa Bisri telah berhasil
membangun sebuah konstruksi baru tentang pesantren yang mengambil
jarak dengan industrilisasi yang mengatasnamakan modernitas.
Industrilisasi adalah proyek yang menjadikan manusia sebagai sebuah

8
sumber daya yang posisinya sama dengan sekrup di dalam sebuah mesin
pemintal uang. Manusia dilihat berdasarkan gunanya. Karena itu,
pesantren adalah mengembalikan manusia individu yang memiliki
dimensi spiritual dan sosial. Dimensi spiritual adalah pengungkapan
nilai-niali ultim dari diri manusia yang menhubungkan dengan kekuatan
tak terbatas (Allah). Sedangkan dimensi sosial adalah penciptaan
interaksi dengan lingkungan dan negara dalam konstruksi pembentukan
masayarakat madani.
D. Aksiologi Pendidikan Pra Kolonial: Ancaman Pragmatisme
Aksiologi adalah orientasi nilai. Bila dilihat kiprah pendidikan
pesantren dari masa ke masa, maka orientasi-prinetasi nilai pendidikan
pesantren mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pesantren
dijadikan sebagai simbol dan kiprahnya terancam Pragmatisme. Pemahaman itu
bisa diringkas dalam skema di bwah ini :
Tabel 1.1
Konstruksi Identitas Islam Nusantara dalam Tiga Zaman

Prakolonial Kolonial Pascakolonial


Realitas Wahdatul wujud Kritik social Basis massa
Strategis Relasi pesantren- Strategi Legistimasi
kerajaan nonkooperatif kultural
Orientasi Pemurnian nilai Nilai perjuangan Ritual
Islam
Sumber: Diolah berdasarkan konstruksi teoretis
Skema di atas memberikan informasi penting tentang arah ke depan
pesantren. Jika dan hanya jika masyarakat Indonesia mempercayai konstitusi
sebagai tujuan bersama dan pesantren merupakan benteng tarakhir dari intitusi
nurani, peradaban baru haruslah didasarkan pada kultur yang pernah terbentuk
selama 500 tahun terakhir. Uraian diatas memberikan informasi tentang
pentingnya kajian sejarah pesantren sebagai titik pijak membangun identitas
Islam nusantara. Secara umum, pesantren memberikan arti penting dalam
pembangunan identitas kebangsaan. Hal itu terlihat dalam dialektika sejarah
pesantren dalam hubungannya dengan pembentukan negara-negara. Secara

9
khusus, pendidikan pesantren dapat dilihat berdasarkan relasi kekuasaan yang
turut mendukungnya karena pesantren berdiri bukan hanya berdiri sebagai
identitas keagamaan, tetapi telah menjadi intitusi sosial dan kebudayaan.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa pendidikan pesantren di
Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam orientasi dan
fungsinya selama berabad-abad. Dalam tiga zaman yang berbeda, pesantren
telah menjalankan peran yang berbeda pula. Pada masa prakolonial, pesantren
memiliki orientasi utama dalam pemurnian nilai Islam. Hubungan pesantren
dengan kerajaan sangat erat, dan pesantren berfungsi sebagai lembaga
pemelihara nilai-nilai agama.
Selama masa kolonial, pesantren menghadapi tantangan dengan
munculnya kritik sosial terhadap penjajahan. Pesantren menjadi basis
perjuangan dan mengadopsi nilai-nilai perjuangan dalam pendidikannya.
Hubungan dengan pemerintah kolonial menjadi nonkooperatif.
Setelah kemerdekaan, pesantren mulai berfokus pada legitimasi kultural
dan ritual. Mereka mendukung pembentukan identitas Islam Nusantara dan
menjadi basis massa yang mendukung peradaban baru di Indonesia.
Pentingnya kajian sejarah pesantren sebagai titik pijak untuk
membangun identitas Islam Nusantara dan kebangsaan Indonesia sangat jelas.
Pesantren bukan hanya menjadi institusi keagamaan tetapi juga institusi sosial
dan kebudayaan yang mendukung peradaban bangsa. Dengan memahami peran
pesantren dalam sejarah dan hubungannya dengan pembentukan negara-negara,
masyarakat Indonesia dapat membangun peradaban baru yang didasarkan pada
nilai-nilai dan kultur yang telah berkembang selama 500 tahun terakhir. Dalam
konteks ini, pesantren memiliki peran penting dalam pembentukan identitas
kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat apabila ada kesalahan dan
kekurangan mohon di maafkan dan mohon di beri masukan. Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari lupa dan dosa. Sekian dan terima
kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W. M. (2006). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia.
Acetylena, Sita. (2018). Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara. Malang:
Madani.
Burhani, A. N. (2016). Islam Nusantara: Sejarah, Lintasan, dan Perkembangan.
Dimyathi, H., Burhani, A. N., & Baso, A. (1996). Pesantren & Kitab Kuning.
Duncan, C. R. (2009). Pesantren dan Modernisasi: Islam, Kebudayaan, dan Politik
di Jawa.
Hamka. (1991). Revolusi Islam di Indonesia dan Hubungannya dengan Revolusi
Dunia.
http://filsafatpendidikan2ciwaru.blogspot.com/2016/12/kosmologi-sistem-
pendidikan.html
Mudzhar, M. A. (2017). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Waktu Abad 20.
Rohman, Saifur. dan Wibowo, Agus. (2016). Filsafat Pendidikan Masa
Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suaedy, A. (2007). Islam, Pendidikan, dan Perubahan Sosial: Kajian Historis atas
Pesantren al-Munawwir di Kalimantan Selatan.
Van Bruinessen, M. (1995). Pesantren dan Kitab Kuning.
Wardiono, Kelik, Manajemen kepemimpinan Pondok Pesantren Thfizul Qur’an.
CV. Ainun Media

12

Anda mungkin juga menyukai